OLEH:
Khairunnisa Salsabila 1840312262
Preseptor:
Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S (K)
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga
penulis menyelesaikan Case Report Session dengan judul Hipokalemia Periodik
Paralisis sebagai salah satu syarat telah mengikuti kepaniteraan klinik di bagian
Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Saya ucapkan
shalawat beriring salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat,
dan pengikutnya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada preseptor Dr. dr. Yuliarni
Syafrita, Sp.S(K) yang telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan
Case Report Session ini. Penulis menyadari bahawa Case Report Session ini
masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dan semoga Case Report Session ini bermanfaat untuk kita semua yang
telah membacanya.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
cairan ekstraselular yang disebut hipokalemia. Demikian juga, kelebihan
kalium dari cairan ekstraselular disebut hiperkalemia. Pengaturan
keseimbangan kalium terutama bergantung pada ekskresi oleh ginjal.
Periodik paralise adalah kelainan yang ditandai dengan hilangnya
kekuatan otot, umumnya terkait dengan abnormalitas K + dan abnormalnya
respon akibat perubahan K + dalam serum.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
2.1.1 Kalium
Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial elektrik
dalam tubuh dan menghantarkan aliran saraf di otot. Kalium mempunyai peranan
yang dominan dalam hal eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf, dan otot
3
lurik.
Kalium mempunyai peran vital di tingkat sel dan merupakan ion utama
intrasel. Ion ini akan masuk ke dalam sel dengan cara transport aktif, yang
memerlukan energi. Fungsi K nampak jelas terutama berhubungan dengan
aktivitas otot jantung, otot lurik, dan ginjal. Eksitabilitas sel sebanding dengan
rasio kadar K di dalam dan di luar sel. Berarti bahwa setiap perubahan dari rasio
ini akan mempengaruhi fungsi dari sel – sel yang akan menyebabkan timbulnya
keluhan keluhan dan gejala – gejala sehubungan dengan tidak seimbangnya kadar
3,4
kalium
Kadar kalium normal intrasel adalah 135 – 150 mEq/L dan ekstrasel adalah
3,5 – 5,5 mEq/L. Perbedaan kadar yang sangat besar ini dapat bertahan,
tergantung pada metabolisme sel. Dengan demikian situasi di dalam sel adalah
elektronegatif dan terdapat membrane potensial istirahat kurang lebih sebesar -90
mvolt.
5
2.2 EPIDEMIOLOGI
2.3 ETIOLOGI
6
tertentu dari sistem endokrin, seperti aldosteronisme, atau sindrom
Cushing, dapat menyebabkan kehilangan kalium.
6. Miskin diet asupan kalium
7. Adapun penyebab lain dari timbulnya penyakit hipokalemia : muntah
berulang-ulang, diare kronik, hilang melalui kemih (mineral kortikoid
berlebihan obat-obat diuretik).
2.4 KLASIFIKASI
Paralisis periodik dibagi menjadi dua golongan berdasarkan
penggolongan secara konvensional yaitu paralisis periodik primer atau
familial dan paralisis periodik sekunder. Paralisis periodik primer atau familial
merupakan kelompok gangguan akibat mutasi gen tunggal yang
mengakibatkan kelainan saluran K, Na, Cl pada sel otot - membran. Oleh
karena itu, ini juga dikenal sebagai channelopathies atau membranopathies 1.
Paralisis periodik sekunder diketahui oleh beberapa penyebab. Pada
paralisis periodik sekunder, tingkat kalium dalam serum tidak normal.
Riwayat penggunaan ACE inhibitor, angiotensin-II-reseptor-blocker, diuretik,
atau carbenoxolone memberikan petunjuk untuk diagnosis paralisis periodik
7
sekunder. Karakteristik klinis atau biokimia dari gagal ginjal kronis,
tirotoksikosis, paramyotonia kongenital, atau sindrom Andersen dapat
ditemukan kelumpuhan periodik sekunder. Berikut di bawah ini penggolongan
paralisis periodik secara konvensional 1.
A. Paralisis periodik primer atau familial:
1. Paralisis periodik hipokalemik
2. Paralisis periodik hiperkalemik
3. Paralisis periodik normokalemik
Semua di atas diturunkan secara autosomal dominan
B. Paralisis periodik sekunder:
1. Paralisis periodik hipokalemik.
a) Tirotoksikosis
b) Thiazide atau loop-diuretic induced
c) Nefropati yang menyebabkan kehilangan kalium
d) Drug-induced: gentamicin, carbenicillin,amphotericin-B, turunan
tetrasiklin, vitamin B12 , alkohol, carbenoxolone
e) Hiperaldosteron primer atau sekunder
f) Keracunan akut akibat menelan barium karbonat sebagai
rodentisida
g) Gastro-intestinal potassium loss
2. Paralisis periodik hiperkalemik:
a) Gagal ginjal kronis
b) Terapi ACE-inhibitor dosis tinggi, atau nefropati diabetik lanjut
c) Potassium supplements jika digunakan bersama potassium sparing
diuretics (spironolactone, triamterene, amiloride) dan atau ACE-
inhibitors.
d) Andersen’s cardiodysrhythmic syndrome
e) Paramyotonia congenita-periodic paralysis terjadi spontan atau
dipicu oleh paparan suhu dingin
2.5 PATOFISIOLOGI
8
kira 70 mEq) terutama dalam pada kompetemen ECF. Kadar kalium serum
normal adalah 3,5-5,5 mEq/L dan sangat berlawanan dengan kadar di dalam
sel yang sekitar 160 mEq/L. Kalium merupakan bagian terbesar dari zat
terlarut intrasel, sehingga berperan penting dalam menahan cairan di dalam sel
dan mempertahankan volume sel. Kalium ECF, meskipun hanya merupakan
bagian kecil dari kalium total, tetapi sangat berpengaruh dalam fungsi
neuromuskular. Perbedaan kadar kalium dalam kompartemen ICF dan ECF
dipertahankan oleh suatu pompa Na-K aktif yang terdapat dimembran sel.2
Rasio kadar kalium ICF terhadap ECF adalah penentuan utama
potensial membran sel pada jaringan yang dapat tereksitasi, seperti otot
jantung dan otot rangka. Potensial membran istirahat mempersiapkan
pembentukan potensial aksi yang penting untuk fungsi saraf dan otot yang
normal. Kadar kalium ECF jauh lebih rendah dibandingkan kadar di dalam
sel, sehingga sedikit perubahan pada kompartemen ECF akan mengubah rasio
kalium secara bermakna. Sebaliknya, hanya perubahan kalium ICF dalam
jumlah besar yang dapat mengubah rasio ini secara bermakna. Salah satu
akibat dari hal ini adalah efek toksik dari hiperkalemia berat yang dapat
dikurangi kegawatannya dengan meingnduksi pemindahan kalium dari ECF
ke ICF. Selain berperan penting dalam mempertahankan fungsi
nueromuskular yang normal, kalium adalah suatu kofaktor yang penting dalam
sejumlah proses metabolik.2
Homeostasis kalium tubuh dipengaruhi oleh distribusi kalium antara
ECF dan ICF, juga keseimbangan antara asupan dan pengeluaran. Beberapa
faktor hormonal dan nonhormonal juga berperan penting dalam pengaturan
ini, termasuk aldostreon, katekolamin, insulin, dan variabel asam-basa.2
Pada orang dewasa yang sehat, asupan kalium harian adalah sekitar
50-100 mEq. Sehabis makan, semua kalium diabsorpsi akan masuk kedalam
sel dalam beberapa menit, setelah itu ekskresi kalium yang terutama terjadi
melalui ginjal akan berlangsung beberapa jam. Sebagian kecil (<20%) akan
diekskresikan melalui keringat dan feses. Dari saat perpindahan kalium
kedalam sel setelah makan sampai terjadinya ekskresi kalium melalui ginjal
merupakan rangkaian mekanisme yang penting untuk mencegah hiperkalemia
9
yang berbahaya. Ekskresi kalium melalui ginjal dipengaruhi oleh aldosteron,
natrium tubulus distal dan laju pengeluaran urine. Sekresi aldosteron
dirangsang oleh jumlah natrium yang mencapai tubulus distal dan peningkatan
kalium serum diatas normal, dan tertekan bila kadarnya menurun. Sebagian
besar kalium yang di filtrasikan oleh gromerulus akan di reabsorpsi pada
tubulus proksimal. Aldosteron yang meningkat menyebabkan lebih banyak
kalium yang terekskresi kedalam tubulus distal sebagai penukaran bagi
reabsorpsi natrium atau H+. Kalium yang terekskresi akan diekskresikan
dalam urine. Sekresi kalium dalam tubulus distal juga bergantung pada arus
pengaliran, sehingga peningkatan jumlah cairan yang terbentuk pada tubulus
distal (poliuria) juga akan meningkatkan sekresi kalium.2
Keseimbangan asam basa dan pengaruh hormon mempengaruhi
distribusi kalium antara ECF dan ICF. Asidosis cenderung untuk
memindahkan kalium keluar dari sel, sedangkan alkalosis cenderung
memindahkan dari ECF ke ICF. Tingkat pemindahan ini akan meingkat jika
terjadi gangguan metabolisme asam-basa, dan lebih berat pada alkalosis
dibandingkan dengan asidosis. Beberapa hormon juga berpengaruh terhadap
pemindahan kalium antara ICF dan ECF. Insulin dan Epinefrin merangsang
perpindahan kalium ke dalam sel. Sebaliknya, agonis alfa-adrenergik
menghambat masuknya kalium kedalam sel. Hal ini berperan penting dalam
klinik untuk menangani ketoasidosis diabetik.2
Klasifikasi PP untuk kepentingan klinis, ditunjukkan pada tabel 1,
termasuk tipe hipokalemik, hiperkalemik dan paramyotonia.2
Tabel 2. Periodik paralisis primer.3
Sodium channel Hiperkalemi PP
Paramyotonia kongenital
Potassium-aggravated myotonia
Calcium channel Hipokalemik PP
Chloride channel Becker myotonia kongenital
Thomson myotonia congenital
10
Dasar fisiologis kelemahan otot flaksid adalah tidak adanya
eksitabilitas membran otot (yakni, sarkolema). Perubahan kadar kalium serum
bukan defek utama pada PP primer; perubahan metabolismse kaliuim adalah
akibat PP. Pada primer dan tirotoksikosis PP, paralisis flaksid terjadi dengan
relatif sedikit perubahan dalam kadar kalium serum, sementara pada PP
sekunder, ditandai kadar kalium serum tidak normal.
Tidak ada mekanisme tunggal yang bertanggung jawab untuk kelainan
pada kelompok penyakit ini. Mekanisme itu heterogen tetapi punya bagian
yang common traits. Kelemahan biasanya secara umum tetapi bisa lokal. Otot
– otot kranial dan pernapsan biasanya tidak terkena. Reflek regang tidak ada
atau berkurang selama serangan. Serat otot secara elektrik tidak ada
hantaran selama serangan.
Kekuatan otot normal diantara serangan tetapi, setelah beberapa tahun,
tingkat kelemahan yang menetap semakin berkembang pada beberapa tipe PP
(khususnya PP primer). Semua bentuk PP primer kecuali Becker myotonia
kongenital (MC) juga terkait autosomal dominan atau sporadik (paling sering
muncul dari point mutation).
Ion channel yang sensitif tegangan secara tertutup meregulasi
pergantian potensial aksi (perubahan singkat dan reversibel tegangan mebran
sel). Disana terdapat permeabelitas ion channel yang selektif dan bervariasi.
Energi-tergantung voltase ion channel terutama gradien konsentrasi. Selama
berlangsungnya potensial aksi ion natrium bergerak melintasi membran
melalui voltage-gated ion channel.
Masa istirahat membran serat otot dipolarisasi terutama oleh
pergerakan klorida melalui channel klorida dan dipolarisasi kembali oleh
gerakan kalium. Natrium, klorida dan kalsium channelopati sebagai sebuah
grup, dihubungkan dengan myotonia dan PP. Subunit fungsional channel
natrium, kalsium dan kalium adalah homolog. Natrium channelopati lebih
dipahami daripada kalsium atau klorida channelopati.3
2.6 GEJALA KLINIS
11
berat muncul pada awal masa kanak-kanak dan kasus yang ringan mungkin
muncul selambat-lambatnya dekade ketiga. Sebagian besar kasus muncul
sebelum umur 16 tahun. Kelemahan bisa mulai dari kelemahan sepintas pada
sekelompok otot yang terisolasi sampai kelemahan umum yang berat.
Serangan berat dimulai pada pagi hari, sering dengan latihan yang berat atau
makan tinggi karbohidrat pada hari sebelumnya.
Pasien bangun dengan kelemahan simetris berat, sering dengan
keterlibatan batang tubuh. Serangan ringan bisa sering dan hanya melibatkan
suatu kelompok otot pentig, dan bisa unilateral, parsial, atau monomelic.8
Hal ini bisa mempengaruhi kaki secara predominan; kadang – kadang,
otot ektensor dipengaruhi lebih dari fleksor. Durasi bervariasi dari beberapa
jam sampai hampir 8 hari tetapi jarang lebih dari 72 jam. Serangannya
intermiten dan infrekuen pada awalnya tetapi bisa meningkat frekuensinya
sampai serangan terjadi hampir setiap hari. Frekuensi mulai berkurang oleh
usia 30 tahun; hal ini jarang terjadi setelah umur 50 tahun.
Pengeluaran urin menurun selama serangan karena akumulasi air
intrasel meningkat. Myotonia interictal tidak sesering hyper PP. Otot
proksimal wasting daripada hipertropi, bisa terlihat pada pasien dengan
kelemahan permanen.3
Hipokalemia periodik Paralise
1. Kelemahan pada otot
2. Perasaan lelah
3. Nyeri otot
4. Restless legs syndrome
5. Tekanan darah dapat meningkat
6. Kelumpuhan atau rabdomiolisis (jika penurunan K amat berat)
7. Gangguan toleransi glukosa
8. Gangguan metabolisme protein
9. Poliuria dan polidipsia
10. Alkalosismetabolik
12
2.7 DIAGNOSIS
13
tahun akhir penyakit.
Potasium- Dekade Tidak ada · Dingin Serangan Hipertrofi otot
associated pertama kelemahan · Istirahat setelah kekakuan
myotonia latihan ringan - berat
Paramyotonia Dekade 2 – 24 jam Dingin Jarang parah Pseudohipertrofi
congenital pertama otot
Paradoksal
myotonia
Jarang kelemahan
menetap
Tirotoksikosis Dekade Beberapa Sama seperti Sama seperti Bisa berkembang
periodik ketiga dan jam sampai 7 hipokalemik PP hipokalemik menjadi
paralisis keempat hari hiperinsulinemia PP kelemahan otot
menetap
Hipokalemia
selama serangan
Tabel 3. Perbedaan gambaran bentuk umum periodik paralisis.4
14
- Alkalosis biasa menyertai hipokalemia dan menyebabkan pergeseran
K+ masuk sel.
- Asidosis menyebabkan kehilangan K+ langsung dalam urin.
5. Hormon tiroid: T3,T4 dan TSH
untuk menyingkirkan penyebab sekunder hipokalemia.
B. EKG (Elektrokardiografi)
Normal
Mild hipokalemia
Severe hipokalemia
C. EMG (Elektromiografi)
Di antara serangan, mungkin ada fibrilasi dan pengulangan keluaran
kompleks, meningkat dengan dingin dan menurun dengan latihan (dalam
15
paralisis periodik hipokalemik). Selama serangan, EMG akan
menunjukkan listrik diam, baik pada paralisis periodik hiperkalemik dan
paralisis periodik hipokalemik.
2.9 DIAGNOSIS BANDING
2.10 PENTALAKSANAAN
1. Selama serangan, suplemen oral kalsium lebih baik dari suplemen IV.
Yang terakhir diberikan untuk pasien yang mual atau tidak bisa menelan.
Garam kalium oral pada dosis 0,25 mEq/kg seharusnya diberikan setiap 30
menit sampai kelemahan improves. Avoiding IV fluid is prudent.6
2. Kalium Klorida IV 0,05-0,1 mEq/kgBB dalam manitol 5% bolus adalah
lebih baik sebagai lanjutan infus. Monitoring ECG dan pengukuran kalium
serum berturut dianjurkan.
3. Untuk profilaksis, asetazolamid diberikan pada dosis 125-1500 mg/hari
dalam dosis terbagi. Dichlorphenamide 50-150 mg/hari telah menunjukkan
keefektifan yang sama. Potasium-sparing diuretik seperti triamterene (25-
100 mg/hari) dan spironolakton (25-100 mg/hari) adalah obat lini kedua
untuk digunakan pasien yang mempunyai kelemahan buruk (worsens
16
weakness) atau mereka yang tidak respon dengan penghambat karbonik
anhidrase. Karena diuretik ini potassium sparing, suplemen kalium bisa
tidak dibutuhkan.6
4. Pemberian K melalui oral atau iv untuk penderita berat.
5. Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral karena lebih mudah.
Pemberian 40-60 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5
mEq/L, sedangkan pemberian 135-160 mEq dapat menaikkan kadar
kalium sebesar 2,5-3,5 mEq/L.
6. Bila kadar kalium dalam serum > 3 mEq/L, koreksi K cukup per oral.
7. Monitor kadar kalium tiap 2-4 jam untuk menghindari hiperkalemia
terutama
pada pemberian secara intravena.
8. Pemberian K intravena dalam bentuk larutan KCl disarankan melalui vena
yang besar dengan kecepatan 10-20 mEq/jam, kecuali disertai aritmia atau
kelumpuhan otot pernafasan, diberikan dengan kecepatan 40-100
mEq/jam. KCl dilarutkan sebanyak 20 mEq dalam 100 cc NaCl isotonik.6
9. Bila kadar K plasma sangat rendah, bisa langsung di koreksi secara IV
dengan kecepatan pemberian 10 meq/ jam, dikoreksi dengan rumus [K
normal – Kpasien] x 1/3 BB
10. Acetazolamide untuk mencegah serangan.6
11. Triamterene atau spironolactone apabila acetazolamide tidak memberikan
efek pada orang tertentu.6
12. Diet rendah karbohidrat dan rendah natrium bisa menurunkan frekuensi
serangan.6
13. Koreksi Magnesium (Mg)
Hipokalemia tidak dapat dikoreksi apabila konsentrasi Mg rendah,
sehingga perlu juga diperiksa. Peran Mg dalam fungsi seluler adalah
berperan dalam pertukaran ion Ca, Na dan K transmembran pada fase
depolarisasi dan repolarisasi, melalui aktivasi enzim Ca-ATPase dan Na-
ATPase. Defisiensi Mg akan menurunkan konsentrasi kalium dalam sel
dan meningkatkan konsentrasi Na dan Ca dalam sel yang pada akhirnya
mengurangi ATP intraseluler, sehingga Mg dianggap sebagai stabilisator
17
membrane sel. Mg juga merupakan regulator dari berbagai kanal ion.
Konsentrasi Mg yang rendah intraseluler membuat K keluar sel sehingga
mengganggu konduksi dan metabolisme sel. Pada pasien dengan
hipomagnesium, monitoring untuk serum Mg yang ingin dicapai adalah
antara 2 – 4 mmol/liter.
2.11 KOMPLIKASI
1. Batu ginjal akibat efek samping acetazolamide.
2. Arrhytmia.
3. Kelemahan otot progresif.
2.12 PROGNOSA
18
BAB III
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN :
Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 52 tahun
Suku bangsa : Minangkabau
Alamat : Ulu gadut, Padang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Autoanamnesis :
Seorang pasien, Ny. S. Perempuan, umur 52 tahun datang ke IGD RSUP
Dr. M. Djamil Padang dengan :
Keluhan Utama :
Lemah ke empat anggota gerak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Lemah keempat anggota gerak terjadi sejak 12 jam sebelum masuk rumah
sakit, terjadi tiba-tiba. Kelemahan lebih dirasakan pada lengan kanan,
pasien berjalan berpegangan pada dinding dan sulit menggenggam pada
tangan kanan
Awalnya pasien merasakan kakinya yang lemah dan sakit ketika dibawa
berjalan, lalu lama kelamaan tangan kanan pasien menjadi kaku dan tidak
bisa digerakkan. Keluhan ini dirasakan saat pasien sedang beristirahat
setelah beraktivitas (memasak)
Pasien juga mengeluhkan sakit dan kaku pada bahu
Pasien mengatakan sering merasa kelelahan terutama dirasakan sejak 1
minggu ini, keluhan selalu berkurang setelah pasien minum air kelapa
namun kali ini tidak.
Keluhan kebas pada keempat angggota gerak tidak ada
Gangguan BAB dan BAK tidak ada
Mual dan muntah tidak ada
19
Tidak ada keluhan gangguan penglihatan
Tidak ada keluhan sesak nafas
Tidak ada keluhan mulut mencong dan bicara pelo
Riwayat penurunan nafsu makan ada. Pasien mengalami penurunan berat
badan tapi tidak progresif.
PEMERIKSAAN FISIK
Umum
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : CM
Kooperatif : kooperatif
Nadi/ irama : 71x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Tekanan darah : 150/70 mmHg
Suhu : 36,5oC
20
Keadaan gizi : kurang
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 39 kg
Turgor kulit : baik
Kulit dan kuku : pucat tidak ada, sianosis tidak ada
Kelenjar getah bening
Leher : tidak teraba pembesaran KGB
Aksila : tidak teraba pembesaran KGB
Inguinal : tidak teraba pembesaran KGB
Torak
Paru
Inspeksi : simetris kiri dan kanan
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama reguler, bising tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen
Inspeksi : tidak tampak distensi
Palpasi : hepar dan lien tak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus normal
Korpus vertebrae
Inspeksi : deformitas tidak ada
Palpasi : gibus tidak ada
Status neurologikus
1. Tanda rangsangan selaput otak
Kaku kuduk : tidak ada
21
Brudzinsky I : tidak ada
Brudzinsky II : tidak ada
Tanda Kernig : tidak ada
2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Pupil isokor, diameter 3m/3mm , reflek cahaya +/+,
Muntah proyektil tidak ada
3. Pemeriksaan nervus kranialis
N. I (Olfaktorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subjektif (+) (+)
Objektif (dengan bahan) Tidak diperiksa Tidak diperiksa
N. II (Optikus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan (+) (+)
Lapangan pandang (+) (+)
Melihat warna (+) (+)
Funduskopi Tidak diperiksa Tidak diperiksa
N. III (Okulomotorius)
Kanan Kiri
Bola mata Ortho Ortho
Ptosis (-) (-)
Gerakan bulbus Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Ekso/endotalmus (-) (-)
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Refleks cahaya (+) (+)
Refleks akomodasi (+) (+)
Refleks konvergensi (+) (+)
N. IV (Trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah (+) (+)
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia (-) (-)
22
N. VI (Abdusen)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral (+) (+)
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia (-) (-)
N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik
Membuka mulut (+) (+)
Menggerakkan rahang (+) (+)
Menggigit (+) (+)
Mengunyah (+) (+)
Sensorik
Divisi oftalmika
- Refleks kornea (+) (+)
- Sensibilitas (+) (+)
Divisi maksila
- Refleks masetter (+) (+)
- Sensibilitas (+) (+)
Divisi mandibula
- Sensibilitas (+) (+)
N. VII (Fasialis)
Kanan Kiri
Raut wajah Simetris
Sekresi air mata Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Fissura palpebra (+) (+)
Menggerakkan dahi (+) (+)
Menutup mata (+) (+)
Mencibir/ bersiul (+) (+)
Memperlihatkan gigi (+) (+)
Sensasi lidah 2/3 depan (+) (+)
Hiperakusis (-) (-)
Plica nasolabialis Sama kiri dan kanan
N. VIII (Vestibularis)
Kanan Kiri
Suara berbisik (+) (+)
Detik arloji (+) (+)
Rinne tes Tidak diperiksa
Weber tes Tidak diperiksa
Schwabach tes Tidak diperiksa
23
- Memanjang
- Memendek
Nistagmus (-) (-)
- Pendular
- Vertikal
- Siklikal
Pengaruh posisi kepala (-) (-)
N. IX (Glossopharyngeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang (+)
Refleks muntah (Gag Rx) (+)
N. X (Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Simetris
Uvula Ditengah
Menelan Tidak ada disfagia
Suara Tidak sengau
Nadi Teratur, 71x/menit
N. XI (Asesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan (+) (+)
Menoleh ke kiri (+) (+)
Mengangkat bahu kanan (+) (+)
Mengangkat bahu kiri (+) (+)
N. XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Tidak ada deviasi
Kedudukan lidah dijulurkan Tidak ada deviasi
Tremor (-)
Fasikulasi (-)
Atropi (-)
4. Pemeriksaan koordinasi
Cara berjalan Baik Tes jari hidung Normal
Romberg tes Normal Tes hidung jari Normal
24
Reboundphenomen Normal Supinasi-pronasi Normal
Test tumit lutut Normal
6. Pemeriksaan sensibilitas
Sensibiltas taktil ++/++
Sensibilitas nyeri ++/++
Sensiblitas termis ++/++
Sensibilitas kortikal ++/++
Stereognosis ++/++
Pengenalan 2 titik ++/++
Pengenalan rabaan ++/++
7. Sistem refleks
a. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Kornea (+) (+) Biseps (++) (++)
Berbangkis (+) (+) Triseps (++) (++)
Laring (+) KPR (++) (++)
Masetter (+) (+) APR (++) (++)
Dinding perut Bulbokvernosus Tidak diperiksa
Atas (-) (-) Cremaster Tidak diperiksa
Tengah (-) (-) Sfingter Tidak diperiksa
Bawah (-) (-)
25
Tromner
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)
Tungkai (-) (-)
8. Fungsi otonom
- Miksi : baik
- Defekasi : baik
- Sekresi keringat: baik
9. Fungsi luhur : Baik
Kesadaran Tanda Dementia
Reaksi bicara Spontan Reflek glabela (-)
Fungsi intelek Baik Reflek snout (-)
Reaksi emosi Normal Reflek menghisap (-)
Reflek memengang (-)
Reflek palmomental (-)
Pemeriksaan laboratorium
Darah
Rutin :
Hb : 10.2 gr/dl
Leukosit : 4010/mm3
Trombosit : 180.000/mm3
Hematokrit : 30%
Kimia darah :
GDS : 130 mg/dl
Ureum : 13 mg%
Kreatinin : 0,9 mg %
Kalsium : 8,7 gr/dl
Natrium : 140 Mmol/l
Kalium : 2,1 Mmol/l
Clorida : 115 Mmol/l
26
segmen changes (-), U wave I, II, III, V2, V3, V4, V6. T bifasik di
II dan AvR
Diagnosis :
Diagnosis Klinis : Hipokalemia Periodic Paralisis
Diagnosis Topik : Ion Channel Gate
Diagnosis Etiologi : Idiopatik dd susp. Sekunder
Diagnosis Sekunder :-
Diagnosis Banding
(-)
Prognosis :
Quo ad vitam : dubia ed bonam
Quo ad sanam : dubia ed bonam
Quo ad fungsionam : dubia ed bonam
Terapi :
- Umum : Awasi keadaan umum (ABCD)
IVFD asering 12 jam/kolf
27
Diet MB TKTP 1700kkal
Khusus : Koreksi KCL 1 flaccon dalam 300 cc RL habis dalam 6 jam
KSR 2 x 600 po
28
O/ KU : sedang, Kesadaran : CMC, TD : 90/60, HR :57, RR : 18, T : 36.7
SI : Pulmo : Vesikuler, rhongki tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung : Irama regular, Murmur tidak ada, gallop tidak ada
SN : GCS : E4M6V5
Peningkatan TIK (-), TRM (-)
Mata : pupil isokor, Ø 3mm/3mm, RC +/+,
Motorik : 555/555 555/555
Sensorik (+) proprioseptif dan eksteroseptif baik
Otonom baik, Reflek fisiologis ++/++ ++/++, Reflek patologis --/-- --/--
A/ Periodik Paralisis
P/
- Umum : Awasi keadaan umum (ABCD)
IVFD asering 12 jam/kolf
Diet MB TKTP 1700kkal
Khusus : KSR 2 x 600 po
Rencana Periksa T3, T4, TSH
29
BAB IV
DISKUSI
30
ditegakkan dignosis klinis hipokalemia periodik paralisis. Diagnosis topik yaitu
Ion Channel Gate. Diagnosis etiologi yaitu idiopatik dd sekunder.
Terapi yang diberikan pada pasien berupa terapi umum dengan pengawasan
terhadap keadaan umum pasien (ABCD), pemberian IVFD Asering 12jam/kolf,
dan diet MB TKTP 1800kkal. Terapi khusus yang diberikan adalah KCl drip 1
flaccon dalam 300cc RL habis dalam 6 jam. Dan pemberian KSR 2x600mg
.Untuk terapi pada hari berikutnya disesuaikan dengan nilai kalium darah, dan
dikoreksi dengan kalium sesuai kebutuhan. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan adalah elektromiografi. Prognosis dari kasus ini adala dubia ad bonam.
31
DAFTAR PUSAKA
1. Browmn RH, Mendell JR., Braundwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser
SL, Longob DL, Jameson JR. 2012. Muscular dystrophies and other
muscle diseases. Harrison’s 9.-Principles of internal medicine. 15 th Eds.
USA: McGraw-Hill. pp.2538.
2. Kalita J, Nair PP, Kumar G. 2016. Renal tubular acidosis presenting as
respiratory paralysis: Report of a case and review of literature. Neurol
India. 58:106–108.
3. Lin SH, Lin YF, Halperin ML.2004. Hypokalemia and paralysis. Q J Med.
94:133–139.
4. Maurya PK, Kalita J, Misra UK. 2014. Spectrum of hypokalaemic periodic
paralysis in a tertiary care centre in India. Postgrad Med J. 86:692–695
5. Mujais SK and Katz AI. 2009. Kalium deficiency. In: Seldin DW,
Giebsich G, 3 th eds. The KIDNEY Physiology & patophysiology.
Philadelphia: Lippincott Williams & wilkins. pp. 1615 – 1646.
6. Robinson JE, Morin VI, Douglas MJ, Wilson RD. 2012. Familial
hypokalemic periodic paralysis and Wolff parkinson-white syndrome in
pregnancy. Canada Journal Anaesth. 47:160–164.
7. Saban I and Canonica A. 2015. Hypokalaemic periodic paralysis
associated with controlled thyrotoxicosis. Schweiz MedWochenchhr. 130.
8. Scott MG, Heusel JW, Leig VA, Anderson OS. 2016. Electrolytes and
blood gases. In Burtis CA, Ashwood ER. 5 th eds. Tietz fundamentals of
clinical chemistry. Philadelphia: WB Saunders. pp. 494–517.
9. Sternberg, D., Tabt,i N., Haingue, B., Fontaine, B., 2014, Hypokalemic
periodic Paralysis,. Gene Reviews. Funded by NIH University of
Washington, Seattle 19 May, 1–22.
32