Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN INDIVIDU

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


CHRONIC KIDNEY DISEASE

Disusun untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Gawat Darurat

Oleh:
Rismala Inas Mufidah
190070300111066

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
1) Definisi
Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi
ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa disertai penurunan glomerular
filtration rate (GFR). Selain itu, CKD dapat pula didefinisikan sebagai suatu keadaan
dimana GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa disertai
kerusakan ginjal (National Kidney Foundation, 2002).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan
irreversible dimana ginjal gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, yang menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah). CKD ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
irreversible pada suatu derajat atau tingkatan yang memerlukan terapi pengganti ginjal
yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Smeltzer, 2010).
2) Etiologi
Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah tinggi, yaitu
sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney Foundation, 2015). Keadaan lain
yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal diantaranya adalah penyakit peradangan
seperti glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, malformasi saat perkembangan janin
dalam rahim ibu, lupus, obstruksi akibat batu ginjal, tumor atau pembesaran kelenjar
prostat, dan infeksi saluran kemih yang berulang (Wilson, 2005).
Penyebab Chronic Kidney Disease (CKD) belum diketahui. Tetapi, beberapa kondisi
atau penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah atau struktur lain di ginjal
dapat mengarah ke CKD. Penyebab yang paling sering muncul adalah:
a. Diabetes Melitus
Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus. Jika
kadar gula darah mengalami kenaikan selama beberapa tahun, hal ini dapat
menyebabkan penurunan fungsi ginjal (WebMD, 2015).
b. Hipertensi
Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dapat menjadi penyebab
penurunan fungsi ginjal dan tekanan darah sering menjadi penyebab utama
terjadinya CKD (WebMD, 2015).
Kondisi lain yang dapat merusak ginjal dan menjadi penyebab CKD antara lain:
a. Penyakit ginjal dan infeksi, seperti penyakit ginjal yang disebabkan oleh kista
b. Memiliki arteri renal yang sempit.
c. Penggunaan obat dalam jangka waktu yang lama dapat merusak ginjal. Seperti obat
Non Steroid Anti Inflamation Drugs (NSAID), seperti Celecoxib dan Ibuprofen dan
juga penggunaan antibiotik (WebMD, 2015).
3) Klasifikasi
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit ginjal yang ditandai dengan
penurunan nilai laju filtrasi glomerulus atau Glomerular Filtration Rate (GFR) selama
tiga bulan atau lebih. Menurut (Derebail, et al., 2011)
Klasifikasi CKD Berdasarkan Nilai GFR
Stage Deskripsi GFR (ml/min per 1.73m2)
1 Fungsi ginjal normal, tetapi temuan urin, >90
abnormalitas struktur atau ciri genetik
menunjukkan adanya penyakit ginjal
2 Penurunan ringan fungsi ginjal, dan temuan lain 60-89
(seperti pada stadium 1) menunjukkan adanya
penyakit ginjal
3a Penurunan sedang fungsi ginjal 45-59
3b Penurunan sedang fungsi ginjal 30-44
4 Penurunan fungsi ginjal berat 15-20
5 Gagal ginjal <15 (atau dialisis)
Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang dimiliki oleh pasien
sekaligus sebagai dasar penentuan terapi oleh dokter. Semakin parah CKD yang
dialami, maka nilai GFRnya akan semakin kecil (National Kidney Foundation, 2010).
Chronic Kidney Disease stadium 5 disebut dengan gagal ginjal. Perjalanan klinisnya
dapat ditinjau dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dengan GFR sebagai
presentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar blood urea
nitrogen (BUN) (Wilson, 2005). Kadar BUN dapat diukur dengan rumus berikut (Hosten,
1990):
28
𝐵𝑈𝑁 = 𝑈𝑟𝑒𝑎 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ ×
60
Perjalanan klinis gagal ginjal dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama
merupakan stadium penurunan cadangan ginjal dimana pasien tidak menunjukkan
gejala dan kreatinin serum serta kadar BUN normal. Gangguan pada fungsi ginjal baru
dapat terdeteksi dengan pemberian beban kerja yang berat seperti tes pemekatan urin
yang lama atau melakukan tes GFR yang teliti (Wilson, 2005). Stadium kedua disebut
dengan insufisiensi ginjal. Pada stadium ini, ginjal sudah mengalami kehilangan
fungsinya sebesar 75%. Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat melebihi nilai
normal, namun masih ringan. Pasien dengan insufisiensi ginjal ini menunjukkan
beberapa gejala seperti nokturia dan poliuria akibat gangguan kemampuan pemekatan
Tetapi biasanya pasien tidak menyadari dan memperhatikan gejala ini, sehingga
diperlukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti (Wilson,2005). Stadium akhir dari gagal
ginjal disebut juga dengan endstage renal disease (ESRD). Stadium ini terjadi apabila
sekitar 90% masa nefron telah hancur, atau hanya tinggal 200.000 nefron yang masih
utuh. Peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum sangat mencolok. Bersihan kreatinin
mungkin sebesar 5-10 mL per menit atau bahkan kurang. Pasien merasakan gejala
yang cukup berat dikarenakan ginjal yang sudah tidak dapat lagi bekerja
mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit. Pada berat jenis yang tetap
sebesar 1,010, urin menjadi isoosmotis dengan plasma. Pasien biasanya mengalami
oligouria (pengeluran urin <500mL/hari). Sindrom uremik yang terjadi akan
mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh dan dapat menyebabkan kematian bila tidak
dilakukan RRT (Wilson, 2005).
Pengkategorian Status Glukosa
Parameter Keterangan Nilai
Gula darah puasa Normal <100 mg/dL
Toleransi Kelainan 100 – 125
Glukosa mg/dL
Diabetes Melitus ≥126 mg/dL
Gula Darah Dua Normal <140 mg/dL
Jam Setelah Makan
Toleransi Kelainan 140 – 199
Glukosa mg/dL
Diabetes Melitus ≥200 mg/dL

Klasifikasi Tekanan Darah Pada Orang Dewasa


Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 90-99
Hipertensi stage 2 ≥160 ≥100
4) Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi

Ginjal (Ren) adalah suatu organ yang mempunyai peran penting dalam
mengatur keseimbangan air dan metabolit dalam tubuh dan mempertahankan
keseimbangan asam basa dalam darah. Produk sisa berupa urin akan
meninggalkan ginjal menuju saluran kemih untuk dikeluarkan dari tubuh. Ginjal
terletak di belakang peritoneum sehingga disebut organ retroperitoneal (Snell,
2006). Ginjal berwarna coklat kemerahan dan berada di sisi kanan dan kiri kolumna
vertebralis setinggi vertebra T12 sampai vertebra L3. Ginjal dexter terletak sedikit
lebih rendah daripada sinistra karena adanya lobus hepatis yang besar. Masing-
masing ginjal memiliki fasies anterior, fasies inferior, margo lateralis, margo
medialis, ekstremitas superior dan ekstremitas inferior (Moore, 2002). Bagian luar
ginjal dilapisi oleh capsula fibrosa, capsula adiposa, fasia renalis dan corpus
adiposum pararenal. Masing masing ginjal memiliki bagian yang berwarna coklat
gelap di bagian luar yang disebut korteks dan medulla renalis di bagian dalam yang
berwarna coklat lebih terang. Medulla renalis terdiri dari kira-kira 12 piramis renalis
yang masingmasing memiliki papilla renalis di bagian apeksnya. Di antara piramis
renalis terdapat kolumna renalis yang memisahkan setiap piramis renalis (Snell,
2006).

Pembuluh darah pada ginjal dimulai dari arteri renalis sinistra yang membawa
darah dengan kandungan tinggi CO2 masuk ke ginjal melalui hilum renalis. Secara
khas, di dekat hilum renalis masing-masing arteri menjadi lima cabang arteri
segmentalis yang melintas ke segmenta renalis. Beberapa vena menyatukan darah
dari ren dan bersatu membentuk pola yang berbeda-beda, untuk membentuk vena
renalis. Vena renalis terletak ventral terhadap arteri renalis, dan vena renalis
sinistra lebih panjang, melintas ventral terhadap aorta. Masing-masing vena renalis
bermuara ke vena cava inferior (Moore, 2002). Arteri lobaris merupakan arteri yang
berasal dari arteri segmentalis di mana masing-masing arteri lobaris berada pada
setiap piramis renalis. Selanjutnya, arteri ini bercabang menjadi 2 atau 3 arteri
interlobaris yang berjalan menuju korteks di antara piramis renalis. Pada
perbatasan korteks dan medula renalis, arteri interlobaris bercabang menjadi arteri
arkuata yang kemudian menyusuri lengkungan piramis renalis. Arteri arkuata
mempercabangkan arteri interlobularis yang kemudian menjadi arteriol aferen
(Snell, 2006).
b. Fisiologi

Masing-masing ginjal manusia terdiri dari sekitar satu juta nefron yang
masingmasing dari nefron tersebut memiliki tugas untuk membentuk urin. Ginjal
tidak dapat membentuk nefron baru, oleh sebab itu, pada trauma, penyakit ginjal,
atau penuaan ginjal normal akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap.
Setelah usia 40 tahun, jumlah nefron biasanya menurun setiap 10 tahun.
Berkurangnya fungsi ini seharusnya tidak mengancam jiwa karena adanya proses
adaptif tubuh terhadap penurunan fungsi faal ginjal (Sherwood, 2001).
Setiap nefron memiliki 2 komponen utama yaitu glomerulus dan tubulus.
Glomerulus (kapiler glomerulus) dilalui sejumlah cairan yang difiltrasi dari darah
sedangkan tubulus merupakan saluran panjang yang mengubah cairan yang telah
difiltrasi menjadi urin dan dialirkan menuju keluar ginjal. Glomerulus tersusun dari
jaringan kapiler glomerulus bercabang dan beranastomosis yang mempunyai
tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira 60mmHg), dibandingkan dengan jaringan kapiler
lain.
Kapiler-kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel dan seluruh glomerulus
dilingkupi dengan kapsula Bowman. Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus
masuk ke dalam kapsula Bowman dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang
terletak pada korteks ginjal. Dari tubulus proksimal kemudian dilanjutkan dengan
ansa Henle (Loop of Henle). Pada ansa Henle terdapat bagian yang desenden dan
asenden. Pada ujung cabang asenden tebal terdapat makula densa. Makula densa
juga memiliki kemampuan kosong untuk mengatur fungsi nefron. Setelah itu dari
tubulus distal, urin menuju tubulus rektus dan tubulus koligentes modular hingga
urin mengalir melalui ujung papilla renalis dan kemudian bergabung membentuk
struktur pelvis renalis (Berawi, 2009).
Terdapat 3 proses dasar yang berperan dalam pembentukan urin yaitu filtrasi
glomerulus reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Filtrasi dimulai pada saat darah
mengalir melalui glomerulus sehingga terjadi filtrasi plasma bebas-protein
menembus kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Proses ini dikenal sebagai
filtrasi glomerulus yang merupakan langkah pertama dalam pembentukan urin.
Setiap hari terbentuk ratarata 180 liter filtrat glomerulus. Dengan menganggap
bahwa volume plasma rata-rata pada orang dewasa adalah 2,75 liter, hal ini berarti
seluruh volume plasma tersebut difiltrasi sekitar enam puluh lima kali oleh ginjal
setiap harinya. Apabila semua yang difiltrasi menjadi urin, volume plasma total akan
habis melalui urin dalam waktu setengah jam. Namun, hal itu tidak terjadi karena
adanya tubulus-tubulus ginjal yang dapat mereabsorpsi kembali zat-zat yang masih
dapat dipergunakan oleh tubuh. Perpindahan zat-zat dari bagian dalam tubulus ke
dalam plasma kapiler peritubulus ini disebut sebagai reabsorpsi tubulus. Zat-zat
yang direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui urin, tetapi diangkut oleh kapiler
peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Dari
180 liter plasma yang difiltrasi setiap hari, 178,5 liter diserap kembali, dengan 1,5
liter sisanya terus mengalir melalui pelvis renalis dan keluar sebagai urin. Secara
umum, zat-zat yang masih diperlukan tubuh akan direabsorpsi kembali sedangkan
yang sudah tidak diperlukan akan tetap bersama urin untuk dikeluarkan dari tubuh.
Proses ketiga adalah sekresi tubulus yang mengacu pada perpindahan selektif zat-
zat dari darah kapiler peritubulus ke lumen tubulus. Sekresi tubulus merupakan rute
kedua bagi zat-zat dalam darah untuk masuk ke dalam tubulus ginjal. Cara pertama
adalah dengan filtrasi glomerulus dimana hanya 20% dari plasma yang mengalir
melewati kapsula Bowman, sisanya terus mengalir melalui arteriol eferen ke dalam
kapiler peritubulus. Beberapa zat, mungkin secara diskriminatif dipindahkan dari
plasma ke lumen tubulus melalui mekanisme sekresi tubulus. Melalui 3 proses
dasar ginjal tersebut, terkumpullah urin yang siap untuk diekskresi (Sherwood,
2001).
Ginjal memainkan peranan penting dalam fungsi tubuh, tidak hanya dengan
menyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, namun juga dengan
menyeimbangkan tingkat-tingkat elektrolit dalam tubuh, mengontrol tekanan darah,
dan menstimulasi produksi dari sel-sel darah merah. Ginjal mempunyai
kemampuan untuk memonitor jumlah cairan tubuh, konsentrasi dari elektrolit-
elektrolit seperti sodium dan potassium, dan keseimbangan asam-basa dari tubuh.
Ginjal menyaring produk-produk sisa dari metabolisme tubuh, seperti urea dari
metabolisme protein dan asam urat dari uraian DNA. Dua produk sisa dalam darah
yang dapat diukur adalah Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin (Cr). Ketika
darah mengalir ke ginjal, sensor-sensor dalam ginjal memutuskan berapa banyak
air dikeluarkan sebagai urin, bersama dengan konsentrasi apa dari elektrolit-
elektrolit. Contohnya, jika seseorang mengalami dehidrasi dari latihan olahraga
atau dari suatu penyakit, ginjal akan menahan sebanyak mungkin air dan urin
menjadi sangat terkonsentrasi. Ketika kecukupan air dalam tubuh, urin adalah jauh
lebih encer, dan urin menjadi bening. Sistem ini dikontrol oleh renin, suatu hormon
yang diproduksi dalam ginjal yang merupakan sebagian daripada sistem regulasi
cairan dan tekanan darah tubuh (Ganong, 2009)/
5) Manifestasi Klinis
Pada Penyakit Ginjal Kronis (PGK) yang ringan, terkadang tidak dapat ditemukan
gejala apapun. Gejala seperti pruritus, malaise, kejenuhan, mudah lupa, nafsu seksual
menurun, mual, dan mudah lelah merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
penderita PGK. Gagal tumbuh merupakan keluhan utama pada penderita pra-remaja.
Gejala kelainan multi-sistem seperti systemic lupus erythematosus juga secara
kebetulan dapat terlihat. Kebanyakan penderita PGK memiliki tekanan darah yang tinggi
yang disebabkan oleh overload cairan atau hiperreninemia. Akan tetapi beberapa
penderita memiliki tekanan darah yang normal atau rendah, hal ini dapat terjadi bila
penderita memiliki kecenderungan hilangnya garam pada ginjal seperti pada medullary
cystic disease. Denyut nadi dan laju nafas cepat akibat dari anemia dan asidosis
metabolik. Apabila ginjal dapat diraba, maka diduga polycystic disease. Pemeriksaan
dengan oftalmoskop dapat menunjukkan adanya retinopati hipertensif atau diabetik
retinopati. Perubahan pada kornea biasanya dihubungkan dengan penyakit metabolik
seperti Fabry disease, cystinosis, dan Alport hereditary nephritis (Vincenti, 2012).
6) Patogenesis
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari, namun
perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini menyebabkan
berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi, terjadilah hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokin dan growth factor. Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
hingga pada akhirnya terjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Sklerosis nefron ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron progresif,
walaupun penyakit yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi (Suwitra, 2009).
Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai
bentuk. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di
ginjal pada DM (Wilson, 2005). Mekanisme peningkatan GFR yang terjadi pada
keadaan ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi
arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai oleh hormon
vasoaktif, Insuline-like Growth Factor (IGF) – 1, nitric oxide, prostaglandin dan
glukagon. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik
asam amino dan protein. Proses ini terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium
dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis (Hendromartono, 2009).
Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal. Hipertensi yang
berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada arteriol di
seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh
darah. Salah satu organ sasaran dari keadaan ini adalah ginjal (Wilson, 2005). Ketika
terjadi tekanan darah tinggi, maka sebagai kompensasi, pembuluh darah akan melebar.
Namun di sisi lain, pelebaran ini juga menyebabkan pembuluh darah menjadi lemah dan
akhirnya tidak dapat bekerja dengan baik untuk membuang kelebihan air serta zat sisa
dari dalam tubuh. Kelebihan cairan yang terjadi di dalam tubuh kemudian dapat
menyebabkan tekanan darah menjadi lebih meningkat, sehingga keadaan ini
membentuk suatu siklus yang berbahaya (National Institute of Diabetes and Digestive
and Kidney Disease, 2014).
7) Pemeriksaan Diagnostik
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal
ginjal.
b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal, identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit
termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
1) Pemeriksaan faal ginjal: Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat
serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal.
2) Pemeriksaan laboratorium etiologi GGK: Analisis urin rutin, mikrobiologi urin,
kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.
3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit: Progresivitas penurunan
faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan
indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang digunakan untuk memberi keyakinan akan diagnosis
banding yang sudah ditetapkan. Pemeriksaan penunjang harus selektif dan sesuai
dengan tujuannya, yaitu:
8) Penatalaksanaan
Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah sakit untuk
observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat kesadaran, fraktur
kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat ditangani hanya
dengan observasi neurologis dan membersihkan atau menjahit luka / laserasi kulit
kepala. Untuk cedera kepala berat, tatalaksana spesialis bedah saraf sangat diperlukan
setelah resusitasi dilakukan. Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua
kategori:
a. Terapi Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi
toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan
keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bikarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Packed Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus
hatihati karena dapat menyebabkan kematian mendadak (hipervolemik).
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint)
dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari
mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis
adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
5) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi sesuai dengan keadaan pasien.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada PGK stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari
15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan BUN
> 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia (kehilangan energi)
berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan
ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik
dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada
adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2009).
2) Dialisis peritoeal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, pasien
dengan stroke, pasien gagal ginjal terminal (GGT) dengan residual urin masih
cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality.
Indikasi nonmedik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukansendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar,
2006).
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi (Suwitra, 2009)
9) Komplikasi
a. Anemia
Kadar eritropoietin dalam sirkulasi rendah.eritropoetin rekombinan parenteral
meningkatkan kadar hemoglobin ,memperbaiki toleransi terhadap aktivitas fisik ,
dan mengurangu kebutuhan trasfusi darah. Pada pasien dengan gagal ginjal
stadium lanjut sebelum dialysis,eritropoiten mengkoreksi anemia dan memperbaiki
keadaan umum , tanpa mempengaruhi tingkat penurunan ginjal .Hipertensi
tergantung dosis terjadi pada 35% pasien dan biasanya bisa dikendalikan dengan
obat-obat penurunan tekanan darah,walaupun enselafalopati hipertensi bisa timbul
mendadak.
b. Penyakit Vaskular dan Hipertensi
Penyakit vascular merupankan penyebab utama kematian pada gagal ginjal kronik .
Pada pasien yang tidak menyandang diabetes,hipertensi mungkin merupakan
factor resiko yang paling penting.Sebagian besar hipertensi pada penyakit ginjal
kronik disebabkan hipervolemia akibat retensi natrium dan air.Keadaan ini biasanya
tidak cukup parah untuk bisa menimbulkan edema , namun mungkin terdapat ritme
jantung tripel.Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi
natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis, Jika fungsi ginjal
memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat.
c. Penyakit tulang
Hipokalisemia akibat penurunan sintesis 1,25-(OH)2D3, Hiperfosfatemia, dan
resistensi terhadap kerja PTH di perifer,semuanya turut menyebabkan penyakit
tulang adrenal . Terapinya dengan pembatasan fosfat makanan dengan atau tanpa
mengikat fosfat (kalsium bikarbonat bila kalsium belum meningkat akibat
hiperparatiroidisme tersier) dan penggunaan derivate Iα- hidroksilasi vitamin D
dosis rendah sedini mungkin.
d. Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat , ulkus peptikum lebih sering terjadi pada pasien
gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal. Namun demikian , gejala mual
,muntah anoreksia,dan dada seperti terbakar.Insidens esofagitis serta
angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat menyebabkan perdarahan . Gangguan
pengecap dapat berkaitan dengan bau napas yang menyerupai urin.
e. Hiperkalemia
Terjadi bila kalium yang normal diekskresi melalui ginjal terakumulasi didalam
darah.Keseimbangan elektolit ini dapat mengakibatkan serangan jantung ,
memberikan gejala seperti lemas, merasa tidak nyaman, merasa kram didaerah
perut .
f. Disfungsi seksual
Menurunnya libido dan impotensi sering terjadi.Hiperprolaktinemia ditemukan pada
setidaknya sepertiga jumlah pasien,menyebabkan efek inhibisi gonadotropin .
Kadar prolaktin bisa diturunkan dengan pemberian bromokriptin , walaupun sering
timbul efek (mual,muntah,mengantuk,hipotensi postural).
g. Sistem pernafasan
Pernafasan yang berat dan dalam (kussmaul) dapat terjadi pada pasien yang
penderita asidosis berat , komplikasi lain akibat GGK adalah paru-paru uremik dan
pneumonitis . Keadaan Oedem paru dapat terdapat pada thorak foto dimana
disertai kelebihan cairan akibat retensi natrium dan air, batuk non produktif juga
dapat terjadi sekunder dari kongesti paru-paru terutama saat berbaring,suara rales
akibat adanya trasudasi cairan paru.Kongesti pulmonal akan menghilang dengan
penurunan jumlah cairan tubuh melalui pembatasan garam dan hemodialisis.

Anda mungkin juga menyukai