Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

MENTAL HEALTH NURSING


ANSIETAS,KEHILANGAN/BERDUKA,WAHAM,RESIKOBUNUH DIRI
DAN DEFICIT PERAWATAN DIRI

Disusun oleh:

RISA DAMAYANTI 135070218113024

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
WAHAM
1. Definisi
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah. Keyakinan
klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien. Waham
dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya penolakan, kekerasan,
tidak ada kasih sayang, pertengkaran orang tua dan aniaya. (Budi Anna Keliat, 1999).

Waham adalah keyakinan klien tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak
dapat diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah
kehilangan control. (Depkes RI, 2002)

Waham adalah keyakinan yang salah dan menetap dan tidak dapat dibuktikan dalam kenyataan
(Sulistiawati, 2005).

2. Proses terjadinya waham


- Fase lack of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara fisik maupun
psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang dengan status sosial
dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang
salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara
Reality dengan selft ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi menginginkan
dipandang sebagai seorang dianggap sangat cerdas, sangat berpengalaman dan
diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya pengakuan
bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan saat
tumbuh kembang (life span history).

- Fase lack of self esteem


Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self ideal
dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan yang tidak
terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya. Misalnya, saat
lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi komunikasi yang canggih,
berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self
ideal yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat jauh. Dari aspek
pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support system semuanya sangat rendah.
- Fase control internal eksternal
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia katakan
adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi
menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya
untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas
dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal.
Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien
itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan
keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau
konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.

- Fase environment support


Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan klien
merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut
sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya
kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (Super Ego) yang ditandai dengan
tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.

- Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap bahwa
semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering disertai
halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering
menyendiri dan menghindar interaksi sosial (Isolasi sosial).

- Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan yang
salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan dengan
traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang).
Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan
ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan
cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan
menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi social.

3. Klasifikasi
Adapun jenis-jenis waham menurut Marasmis, stuart and sundeen ( 1998) dan Keliat (1998)
waham terbagi atas beberapa jenis, yaitu:

a. Waham agama: keyakinan klien terhadap suatu agama secara berlebihan diucapkan beulang
kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

Contoh: “Kalau saya mau masuk surge saya harus menggunakan pakaian putih setiap hari”
atau klien mengatakan bahwa dirinya Tuhan yang dapat mengendalikan makhluknya.

b. Waham kebesaran: klien yakin secara berlebihan bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuatan
khusus diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

Contoh: “Saya ini pejabat di Departemen kesehatan lho…” atau “saya punya tambang emas”
c. Waham somatic: klien meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya teganggu dan terserang
penyakit, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

Contoh: klien selalu mengatakan bahwa dirinya sakitkanker, namun setelah dilakukan
pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya sel kanker pada tubuhnya.

d. Waham curiga : kecurigaan yang berlebihan dan tidak rasional dimana klien yakin bahwa ada
seseorang atau kelompok orang yang berusaha merugikan atau mencurigai dirinya, diucapkan
beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

Contoh: “Saya tahu.. semua saudara saya ingin menghancurkan hidup saya karena
merekasemua iri dengan kesuksesan yang saya alami”.

e. Waham nihilistic: klien yakin bahwa dirinya sudah ridak ada di dunia atau sudah meninggal,
diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

“ini kan alam kubur, semua yang ada disini adalah roh-roh”
f. Waham bizar
1) Sisip pikir: klien yakin ada ide pikiran orang lain yang dsisipkan di dalam pikiran yang
disampaikan secara berulang dan tidak sesuai dengan kenyataan

2) Siar pikir: klien yakin bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan walaupun dia
tidak menyatakan kepada orang tersebut, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan.

3) Kontrol pikir: klien yakin pikirannya dikontrol oleh kekuatan dari luar.

4. Rentang respon (Keliat, 1999)


Respon Adaptif Respon
Maladaptif

Pikiran logis Distorsi pikiran Gangguan pikiran

 Pikiran logis  Kadang proses  Gangguan isi piker


 Persepsi akurat berpikir terganggu halusinasi
 Emosi konsisten Ilusi
 Perubahan proses emosi
dengan  Reaksi emosi  Perilaku kacau/tidak
pengalaman berlebihan /kurang terorganisasi
\
 Perilaku sesuai  Perilaku aneh/tdk  Isolasi sosial
 Hubungan social biasa
harmonis  Menarik diri
5. Etiologi

Faktor Predisposisi
- Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal seseorang. Hal ini
dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien
menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif

- Faktor Sosial Budaya


Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya waham
- Faktor Psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat menimbulkan ansietas
dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan

- Faktor Biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak, atau
perubahan pada sel kortikal dan limbik

Faktor Presipitasi
- Faktor Sosial Budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau diasingkan
dari kelompok

- Faktor Biokimia
Dopamin, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya dapat diduga menjadi penyebab
waham pada seseorang
- Faktor Psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi masalah
sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan yang menyenangkan

6. Manifestasi klinis
a. Status Mental
a) Deskripsi Umum
Pasien biasanya berdandan dengan baik dan berpakian baik, tanpa bukti adanya
disintegritas nyata pada kepribadian atau aktifitas harian. Tetapi pasien mungkin terlihat
aneh, pencuriga atau bermusuhan.

b) Mood, Perasaan dan Afek


Mood pasien biasanya konsisten atau sejalan dengan isi waham. Misalnya pasien dengan
waham kejar akan curiga.

c) Gangguan Persepsi
Menurut DSM-IV-TR, waham raba atau cium mungkin ditemukan jika hal tersebut
konsisten dengan waham.

d) Pikiran
Gangguan isi pikiran berupa waham merupakan gejala utama dari gangguan ini. Waham
biasanya bersifat sistematis dan karakteristiknya adalah dimungkinkan.

b. Sensorium dan Kognisi


a) Orientasi dan Daya Ingat
Pasien dengan gangguan waham menetap biasanya tidak memiliki kelainan dalam
orientasi, serta daya ingat dan proses kognitif lainnya tidak terganggu.

b) Pengendalian Impuls
Klinis harus memeriksa pasien dengan gangguan waham menetap untuk menentukan
ada atau tidak gagasan atau rencana melakukan material wahamnya dengan bunuh diri,
membunuh atau melakukan tindakan kekerasan. Insidensinya tidak diketahui pada
penyakit ini.

c. Pertimbangan dan Tilikan


Pasien dengan gangguan waham menetap hampir seluruhnya tudak memiliki tilikan terhadap
konsisi mereka dan hampir seluruhnya dibawa ke rumah sakit oleh keluarga, perusahaan atau
polisi.

d. Kejujuran
Pasien dengan gangguan waham menetap biasanya dapat dipercaya dalam informasinya. 7.
Pohon masalah
8. Diagnose
Menurut Diagnostic Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV) criteria
diagnostic untuk gangguan delusional adalah:

a. Waham yang tidak aneh (yaitu melibatkan situasi yang terjadi dalam kehidupan nyata,
seperti sedang diikuti, diracuni, ditulari infeksi, dicintai jarak jauh, atau dikhianati oleh
pasangan atau kekasih atau menderita sesuatu penyakit) selama sekurangnya satu bulan.

b. Kriteria A untuk skizofrenia tidak pernah dipenuhi. Catatan: halusinasi taktil dan cium
mungkin ditemukan pada gangguan delusional jika berhubungan dengan tema waham.

c. Terlepas dari pengaruh waham atau percabangannya, fungsi tidak terganggu dengan jelas
dan kacau.

d. Jika episode mood telah terjadi secara bersama-sama dengan waham, lama totalnya adalah
relative singkat disbanding periode waham

e. Gangguan adalah bukan Karena efek fisiologis langsung suatu zat (misalnya obat yang
disalhgunakan, suatu medikasi atau sudatu kondisi medis umum).

Menurut PPDGJ-III criteria diagnostic untuk gangguan waham menetap adalah:


1. Waham merupakan satu-satunya ciri klinis yang khas atau gejala yang paling menonjol.
Waham tersebut harus sudah ada sedikitnya tiga bulan lamanya dan harus bersifat khas
pribadi bukan budaya setempat.
2. Gejala depresif atau bahkan suatu episode depresif lengkap mungkin terjadi secara
intermitten, dengan syarat bahwa waham-waham tersebut menetap pada saat-saatp tidak
terdapat gangguan afektif itu.

3. Tidak boleh ada bukti-bukti tentang adanya penyakit otak.


4. Tidak boleh ada halusinasi auditorik atau hanya kadang-kadang saja ada dan bersifat
sementara.

5. Tidak ada riwayat gejala-gejala skizofrenia (waham dikendalikan, siar pikiran, penumpukan
afek, dsb)

9. Penatalaksanaan
Terdapat beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita gangguan waham
menetap, yaitu :

a. Perawatan di Rumah Sakit


Pada umumnya pasien dengan gangguan waham menetap dapat diobati atas dasar
rawat jalan. Tetapi klinis harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, diperlukan
pemeriksaan medis dan neurologis pada diri pasien untuk menentukan apakah
terdapat kondisi medis nonpsikiatrik yang menyebabkan penyakit ini. Kedua, pasien
perlu diperiksa tentang kemampuannya mengendalikan impuls kekerasan yang
mungkin berhubungan dengan waham. Ketiga, perilaku tentang waham mungkin
secara bermakna telah memperngaruhi kemampuannya untuk berfungsi didalam
keluarga atau pekerjaannya.

b. Farmakoterapi
Antipsikotik telah digunakan sejak tahun 1970 sebagai pengobatan gangguan waham
menetap. Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa Pimozide(Orap) mungkin efektif
pada gangguan waham menetap tipe somatik. Terapi kombinasi sering dilakukan,
termasuk mengkombinasi obat antipsikotik dengan antidepresan. Secara keseluruhan,
penderita gangguan waham menetap sangat berespon terhadap pengobatan
(antipsikosit) yang diberikan, dimana 50% dilaporkan sembuh dari gejalanya, 90%
menunjukkan adanya perubahan dari klinisnya.
c. Psikoterapi
Memberikan informasi dan edukasi yang benar mengenai penyakit pasien, sehingga
diharapkan keluarga dapat menerima pasien dan mendukungnya ke arah
penyembuhan. Memberitahukan kepada keluarga untuk tidak memberikan tekanan
emosional kepada pasien, Keluarga juga diharapkan mampu mengawasi kepatuhan
pasien untuk kontrol minum obat, dan meminta keluarga untuk lebih mendengarkan
dan berkomunikasi dengan pasien. Tanda terapi yang berhasil mungkin adalah suatu
kepuasan penyesuaian sosial.

ASUHAN KEPERAWATAN PENGKAJIAN

1. Identitas klien (Inisial, Umur, Alamat, Pekerjaan, Tanggal pengkajian)


2. Alasan masuk
Terjadi gangguan proses pikir
3. Factor presipitasi / riwayat penyakit sekarang
4. Factor predisposisi
5. Status mental
a. Penampilan
Berdandan dengan baik dan berpakaian rapi, mungkin terlihat ekstrentik dan aneh. b.
Kesadaran

c. Disorientasi
Tidak memiliki kelainan dalam orientasi kecuali klien waham spesifik terhadap orang
tempat, dan waktu.

d. Aktivitas motoric/psikomotor
e. Afek/emosi
f. Presepsi
- Proses pikir (Sirkumstansial, Flight of ideas, Kehilangan asosiasi, Tangensial, Blocking,
Pengulangan bicara)
- Isi pikir (Obsesi, Depersonalisasi, Hipokondria, Fobia, Ide terkait, Pikiran magic,
waham: agama, curiga, somatic, nihilistic, kebesaran, siar pikir, sisip pikir, control pikir)

6. Fisik (keadaan umum, TTV, keluhan)


7. Pengkajian psikososial
8. Aktivitas sehari-hari
9. Mekanisme koping
10. Masalah psikososial dan lingkungan

Format pengkajian klien dengan perubahan proses pikir: waham (Kelliat, 1999) 
Proses pikir

[ ] Sirkumstansial [ ] Tangensial
[ ] Flight of ideas [ ] Blocking
[ ] Kehilangan assosiasi [ ] Pengulangan bicara  Isi pikir

[ ] Obsesi [ ] Fobia
[ ] Depersonalisasi [ ] Ide terkait
[ ] Hipokondria [ ] Pikiran magis
 Waham
[ ] Agama [ ] Somatic [ ] Kebesaran [ ] Curiga
[ ] Nihilistik [ ] Sisip pikir [ ] Siar pikir [ ] Kontrol pikir Keterangan:

• Sirkumtansial: pembicaraan yang berbelit-belit tapi sampai pada tujuan pembicaraan


• Tangensial: pembicaraan berbelit-belit tapi tudak sampai tujuan pembicaraan
• Flight of ideas: pembicaraan meloncat dari satu topik ke topik lainnya masih ada hubungannya
yang tidak logis dan tidak sampai tujuan

• Blocking: pembicaraan berhenti tiba-tiba tanpa gangguan eksternal kemudian dilanjutkan


kembali

• Kehilangan asosiasi: pembicaraan tidak ada hubungan antara satu kalimat dengan kalimat yang
lain. klien tidak menyadarinya.

• Pengulangan bicara
• Obsesi:pikiran yang selalu muncul walaupun klien berusaha menghilangkannya
• Fobia: Ketakutan yang patologis/tidak logis terhadap objek/situasi tertentu
• Depersonalisasi: Perasaan klien yang asing terhadap diri sendiri, orang atau lingkungan
• Ide terkait: Keyakinan klien terhadap kejadian yang terjadi, lingkungan yang bermakna dan
terkait pada irinya

• Hipokondri: keyakinan terhadap adanya gangguan organ dalam tubuh yang sebenarnya tidak
ada.

• Pikiran magis: Keyakinan klien tentang kemampuannya melakukan hal-hal yang mustahil/diluar
Pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengkaji waham:
1) Apakah pasien memiliki pikiran/isi pikir yang berulang-ulang diungkapkan dan menetap?
2) Apakah pasien takut terhadap objek atau situasi tertentu, atau apakah pasien cemas secara
berlebihan tentang tubuh atau kesehatannya?

3) Apakah pasien pernah merasakan bahwa benda-benda disekitarnya aneh dan tidak nyata?
4) Apakah pasien pernah merasakan bahwa ia berada diluar tubuhnya?
5) Apakah pasien pernah merasa diawasi atau dibicarakan oleh orang lain?
6) Apakah pasien berpikir bahwa pikiran atau tindakannya dikontrol oleh orang lain atau kekuatan
dari luar?

7) Apakah pasien menyatakan bahwa ia memiliki kekuatan fisik atau kekuatan lainnya atau yakin
bahwa orang lain dapat membaca pikirannya.

ANALISA DATA
Data Masalah
Data subyektif: Perubahan proses pikir: waham

• Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling kebesaran.


hebat

• Klien mengatakan bahwa ia memiliki kebesaran atau


Nanda: gangguan identitas
kekuasaan khusus
pribadi berhubungan dengan
Data obyektif: gangguan psikiatrik ditandai
dengan deskripsi waham
• Klien terus berbicara tentang kemampuan yang dimilikinya tentang diri sendiri
• Pembicaraan klien cenderung berulang-ulang

• Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan

Masalah Keperawatan lain yang mungkin muncul (Fitria, 2009):


1) Resiko tinggi perilaku kekerasan
2) Perubahan proses piker: waham
3) Isolasi social
4) Harga diri rendah
NOC: Distorted Thought Self-Control

INDIKATOR 1 2 3 4 5
Mengakui terjadinya halusinasi atau delusi
Menjauhkan diri dari munculnya halusinasi atau delusi
Menjauhkan diri dari merespon halusinasi atau delusi
Memonitor frekuensi halusinasi atau delusi
Mendiskripsikan konten/isi yg di halusinasikan atau di delusikan
Melaporkan terjadinya peningkatan dalam halusinasi atau delusi
Meminta untuk memvalidasi tentang realita
Menunjukkan pola pemikiran yang logis
Menunjukkan realita berdasarkan pemikiran
Menunjukkan pemikiran yang sesuai

NOC: Identity
INDIKATOR 1 2 3 4 5

Mengafirmasi identitas diri secara verbal

Menunjukkan keselerasan (kongruen) tentang dirinya secara verbal


maupun non verbal

Pemahaman yang jelas tentang dirinya secara verbal

Bantahan tentang kepercayaan yang salah tentang diri

Bantahan gambaran negative tentang diri

NIC: Delusion Management


1. Membangun hubungan saling percaya dengan klien
2. Hindari berdebat tentang kepercayaan (yang diyakini) klien salah
3. Hindari memperkuat delusi klien
4. Focus pada diskusi perasaan yang pokok dari pada isi delusi
5. Sediakan kenyamaan dan kepastian
6. Dorong klien untuk memvalidasi keyakinan delusional dengan orang yang dipercaya
7. Dorong klien untuk memverbalisasikan delusi pada caregiver sebelum bertindak pada mereka
8. Bantu klien untuk mengidentifiksi situasi dimana lingkungan tidak menerima untuk diskusi
tentang delusinya (waham)

9. Menitor munculnya delusi yang dapat membahayakan diri atau kasar


10. Lindungi klien dan sekitar dari kebiasaan yang didasari delusi yang dapat menyakiti
11. Berikan obat antipsikotik dan anti ansietas seacara teratur (kolaborasi)
12. Ajarkan pada keluarga (orang sekitar) tentang bagaimana menghadapi klien yang sedang
mengalami delusi.

EVALUASI
S: Klien mulai dapat mengungkapkan keyakinan sesuai kebenaran (realita)
O: klien dapat berkomunikasi sesuai kebenaran, klien dapat mengkonsumsi obat dengan teratur dan
benar.

A: masalah sebagian teratasi


P: intervensi terus dilakukan hingga klien dapat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan yang
realsitis
DEFISIT PERAWATAN DIRI
A. Definisi
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna
memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi
kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan
perawatan diri (Depkes 2000). Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu
tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
psikis.

Defisit Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia didalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya,kesehatannya dan kesejahteraannya sesuai
dengan kondisi kesehatannya.Klien dinyatakan terganggu perawatan dirinya jika tidak dapat
melakukan perawatan dirinya. (Aziz R., 2003)

Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan
kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti
mandi (hygiene), berpakaian atau berhias, makan, dan BAB atau BAK (toileting) (Fitria, 2009).
Pengertian yang hampir sama diungkapkan oleh Wilkinson, (2006) defisit perawatan diri
menggambarkan suatu keadaan seseorang yang mengalami gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas perawatan diri, seperti mandi, berganti pakaian, makan dan toileting.
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan
proses piker sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri menurun.Kurang
perawatan diri tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri diantaranya mandi,makan
dan minum secara mandiri,berhias secara mandiri, dan toileting.

B. Komponen deficit perawatan diri


1. Mandi / hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh atau
mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan perlengkapan
mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi. Gangguan kebersihan ini
ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor.
2. Berpakaian / berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan pakaian,
menanggalkan pakaian serta memperoleh atau menukar pakaian. Klien juga memiliki
ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian menggunakan alat
tambahan, menggunakan kancing tarik, melepasakan pakaian, menggunakan kaos kaki,
mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan, mengambil pakaian dan
mengenakan sepatu. Ketidakmampuan ini ditandai dengan rambut acak-acakan, pakaian
kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak bercukur, pada pasien
wanita tidak berdandan.

3. Makan
Klien tidak mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan
makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat tambahan,
mendapatkan makanan, membuka container, memanipulasi makanan dalam mulut,
mengambil makanan dari wadah lalu memasukkannya kedalam mulut, melengkapi makan,
mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarkat, mengambil cangkir atau gelas,
serta mencerna cukup makanan dengan aman. Makanan berceceran dan makan tidak pada
tempatnya,

4. BAB/BAK (toileting)
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau kamar
kecil, duduk atau berdiri dari jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting , membersihkan
diri setelah BAB / BAK dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil. Pasien BAB / BAK
tidak pada tempatnya.

C. Penyebab
Menurut Depkes (2000) penyebab kurang perawatan diri adalah:
1. Faktor Predisposisi
a. Perkembangan, Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.

b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan
ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri. d. Sosial

Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi


lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.

2. Faktor presipitasi
Menurut Wartonah (2006) ada beberapa faktor persipitasi yang dapat menyebabkan
seseorang kurang perawatan diri. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari berbagai stressor
antara lain:

a. Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya
karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli terhadap
kebersihannya.

b. Praktik social
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi
perubahan pola personal hygiene.

c. Status sosioekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,
sampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.

d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat
meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus dia harus
menjaga kebersihan kakinya. Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri
adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual, hambatan
lingkungan, cemas, lelah atau lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan
individu kurang mampu melakukan perawatan diri (Nanda, 2006).
3. Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene menurut Wartonah (2006) yaitu : a.
Dampak fisik

Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya


kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering terjadi adalah :
Gangguan integritas kulit, gangguan membrane mukosa mulut, infeksi pada mata dan
telinga dan gangguan fisik pada kuku.

b. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan
kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri,
aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.

D. Pohon masalah
Effect Risiko tinggi isolasi social

Core problem Defisit perawatan diri

Causa Harga diri rendah kronis
E. Tanda dan gejala
Menurut Mukhripah (2008) kurang perawatan diri sering ditemukan adanya tanda dan gejala
sebagai berikut:

a. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan bau, kuku
panjang dan kotor.

b. Ketidakmampuan berhias atau berdandan, ditandai dengan rambut acakacakan, pakaian kotor
dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak bercukur, pada pasien wanita
tidak berdandan.

c. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan ketidakmampuan mengambil makan


sendiri, makan berceceran, dan makan tidak pada tempatnya.
d. Ketidakmampuan BAB atau BAK secara mandiri, ditandai dengan BAB atau BAK tidak pada
tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah BAB atau BAK.

Adapun jenis dan karakteristik kurang perawatan diri tanda dan gejala menurut Nanda (2006)
meliputi :

1. Kurang perawatan diri mandi atau hygiene


Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas mandi atau kebersihan diri secara mandiri,
dengan batasan karakteristik ketidakmampuan klien dalam memperoleh atau mendapatkan
sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan perlengkapan mandi,
mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi.

2. Kurang perawatan diri berpakaian atau berhias


Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas berpakaian dan berhias untuk diri sendiri,
dengan batasan karakteristik ketidakmampuan klien dalam mengenakan pakaian dalam,
memilih pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan
pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang
memuaskan, mengambil pakaian dan mengenakan sepatu.
3. Kurang perawatan diri makan
Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas makan, dengan batasan karakteristik
ketidakmampuan klien dalam mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah
makanan, menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka container,
memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu memasukkannya
ke mulut, melengkapi makan, mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarakat,
mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.

4. Kurang perawatan diri toiletingKerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas toileting,


dengan batasan karakteristik ketidakmampuan klien dalam pergi ke toilet atau menggunakan
pispot, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian
untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB atau BAK dengan tepat, dan
menyiram toilet atau kamar kecil.
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
1. Identitas klien
a) Nama
b) Jenis kelamin
c) Umur
d) tinggal
e) Status
2. Riwayat kesehatan
a. RKS (riwayat kesehatan saat ini) :lelah,badan bau,rambut kotor dan pemalas
b. RKD (riwayat kesehatan dahulu) : apakah pernah sebelumnya mengalami deficit
perawatan diri,dan apa-apa saja cara yang digunakan untuk mengatasi masalah ini.

c. RKK (riwayat kesehatan keluarga) : adakah keluarga mengalami deficit perawatan diri
sebelumnya.

3. Keluhan utama
Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri, Defisit perawatan diri dan Isolasi Sosial

ANALISA DATA

Data Masalah
Data subyektif: Defisit perawatan diri

• Klien mengatakan dirinya malas mandi karena airnya dingin atau di


RS tidak tersedia alat mandi.

• Klien mengatakan dirinya malas berdandan.

• Klien mengatakan ingin di suapi makan.

• Klien mengatakan jarang membersihkan alat kelaminnya setelah BAK


atau BAB.

• Pasien merasa lemah

• Malas untuk beraktivitas  Merasa tidak berdaya.

Data obyektif:

• Ketidakmampuan mandi/membersihkan diri ditandai dengan


rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki, dan berbau, serta kuku panjang
dan kotor.

• Ketidakmampuan berapakaian/berhias ditandai dengan rambut


acakacakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, tidak
bercukur (laki-laki), atau tidak berdandan (wanita).

• Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai dengan


ketidakmampuan mengambil makan sendiri

• Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri ditandai BAB/BAK tidak


pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK

• Rambut kotor, acak – acakan  Badan dan pakaian kotor dan bau 
Mulut dan gigi bau.

• Kulit kusam dan kotor

• Kuku panjang dan tidak terawat


Diagnosa lain yang mungkin muncul (Fitria, 2009):
- Harga diri rendah
- Risiko tingi isolasi sosial

NOC: Self care : activities of daily living (ADL)

INDIKATOR 1 2 3 4 5
Klien terbebas dari bau badan
Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLs
Dapat melakukan ADLS dengan bantuan

NOC lain yang bisa diambil:


• Self care : bathing
• Self care : hygiene
• Self care : dressing
• Self care : eating
• Self care : toileting

NIC: Self Care assistane : ADLs


• Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.
• Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias,
toileting dan makan.

• Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self-care.
• Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai kemampuan yang
dimiliki.

• Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri bantuan ketika klien tidak mampu
melakukannya.

• Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk memberikan bantuan hanya jika
pasien tidak mampu untuk melakukannya.

• Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.


• Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan aktivitas sehari-hari.
RISIKO BUNUH DIRI 1.
Definisi

Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan.
Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi
(Captain, 2008). Menciderai diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).

2. Tanda Dan Gejala


Pengkajian orang yang bunuh diri juga mencakup apakah orang tersebut tidak membuat rencana
yang spesifik dan apakah tersedia alat untuk melakukan rencana bunuh diri tersebut adalah:
keputusasaan, celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berguna, alam perasaan
depresi, agitasi dan gelisah, insomnia yang menetap, penurunan BB, berbicara lamban, keletihan,
menarik diri dari lingkungan sosial.

Adapun petunjuk psikiatrik anatara lain: upaya bunuh diri sebelumnya, kelainan afektif,
alkoholisme dan penyalahgunaan obat, kelaianan tindakan dan depresi mental pada remaja,
dimensia dini/ status kekacauan mental pada lansia.

Sedangkan riwayat psikososial adalah: baru berpisah, bercerai/ kehilangan, hidup sendiri, tidak
bekerja, perubahan/ kehilangan pekerjaan baru dialami, faktor-faktor kepribadian: implisit, agresif,
rasa bermusuhan, kegiatan kognitif dan negatif, keputusasaan, harga diri rendah, batasan/
gangguan kepribadian antisosial

3. Etiologi
Adapun faktor yang mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri a.
Faktor predisposisi

Stuart (2006) menebutkan bahwa faktor prediposisi yang menunjang perilaku resiko bunuh diri
meliputi:

1. Diagnosa Psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat klien berisiko untuk bunuh diri yaitu gangguan alam
perasaan/gangguan afektif, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.

2. Sifat Kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko bunuh diri adalah
rasa bermusuhan/antipati, implusif, dan depresi.

3. Lingkungan Psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini, dan
berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan dengan bunuh
diri.

4. Biologis
Berdasarkan gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan
perilaku agresif dan kecemasan. Selain itu juga terjadi peningkatan adrenalin dan dopamine.
Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro Encephalo
Graph (EEG)

5. Psikologis
Penjelasan berdasarkan Freud menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180
degrees”, mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang atau obek yang
diinginkan. Secara psikologis, individu ang berisiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi
dirinya dengan orang ang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih saang ini
dan berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh.

6. Sosiokultural
Penjelasan dari sosiolog Durkheim yang memandang perilaku bunuh diri sebagai hasil dari
hubungan individu dengan masyarakt, yang menekankan apakah individu terintegrasi dan
teratur atau tidak dengan masyarakat.

b. Faktor Presipitasi
Stuart (2006)menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang memalukan,
seperti masalah interpersonal, dipermalukan didepan umum, kehilangan pekerjaan, atau
ancaman pengurungan. Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah
perasaan terisolasi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal melakukan hubungan yang
berarti, kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan
marah/bermusuhan dan bunuh diri sebagai hukuman pada diri sendiri, serta cara untuk
mengakhiri keputusan.

c. Respon Terhadap Stres


1. Kognitif: klien mengalami stre dapat mengganggu proses kognitif, seperti pikiran kacau,
menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.

2. Afektif: respon ungkapan hati klien yang sudah terlihat jelas dan nata akibat adanya
stressor dalam dirinya, seperti cemas, sedih, dan marah.
3. Fisiologis:repon fisiologis terhadap stres dapat diidentifikasi menjadi dus Local Adaptation
Syndrome (LAS) yang merupakan respon lokal tubuh terhadap stressor dan Genital
Adaptation Syndrome (GAS) adalah reaksi menyeluruh terhadap stressor yang ada.

4. Perilaku: klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat
melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar memilih untuk
melakukan tindakan bunuh diri.

5. Sosial: struktur sosial dan kehidupan bersosial dapat menolong atau bahkan mendorong
klien melakukan bunuh diri. Isolasi sosial dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan
keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan
masyarakat lebih mampu menolerasi stres dan menurunkan angka bunuh diri. Aktif dalam
kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang melakukan tindakan bunuh diri.

d. Kemampuan mengatasi masalah atau sumber koping


1. Kemampuan personal: kemampuan yang diharapkan pada klien resiko bunuh diri yaitu
kemampuan untuk mengatasi masalah.

2. Dukungan sosial: dukungan untuk individu yang di dapat dari keluarga, teman, kelompok,
atau orang-orang disekitar klien dan dukungan terbaik yang diperlukan oleh klien adalah
dari keluarga.

3. Asset material: ketersediaan materia anta lain akses pelayanan kesehatan, dana atau
finansial yang memadai, asuransi, jaminan pelayanan kesehatan,dll.
4. Keyakinan positif: merupakan keyakinan spiritual dan gambaran positif seseorang sehingga
dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat mempertahankan koping adaptif walaupun
dalam kondisi penuh dengan stressor. Keyakinan yang harus dikuatkan pada klien resiko
bunuhh diri adalah keyakinan mampu mengatasi masalah.

4. Rentang Respon Resiko Bunuh Diri (Rentang respon, Yosep, Iyus. 2009)

Adaptif Maladaptif

Peningkatan Diri Beresiko Destruksi Pencederaan Bunuh Diri


Diri
Distruktif Diri
Tidak Langsung
Keterangan:
1. Peningkatan Diri
Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara wajar terhadap
situasional yang membutuhkan pertahanan diri. Sebagai contoh, seseorang
mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda mengenai loyalitas terhadap
pimpinan di tempat kerjanya.

2. Beresiko Destruktif
Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami perilaku destruktif atau
menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri,
seperti seseorang merasa patah semangat bekerja ketika dirinya tidak dianggap loyal
terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.

3. Destruksi Diri Tidak Langsung


Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang
membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri. Misalnya, karena pandangan pimpinan
terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka seseorang karyaan menjadi tidak masuk kantor
atau bekerja seenaknya dan tidak optimal.

4. Pencederaan Diri
Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau penceredaan diri akibat hilangnya
harapan terhadap situasi yang ada.
5. Bunuh Diri
Seseorang telah melakukan upaya bunuh diri sampai dengan hilangnya nyawa.
Perilaku bunuh diri menurut Stuart dan Sundeen (1995) dibagi menjadi tiga kategori yaitu sebagai
berikut.

- Upaya bunuh diri (suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan menuju bunuh diri
dan bila kegiatan itu sampai tuntas maka akan menyebabkan kematian. Kondisi ini terjadi
setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan. Orang yang hanya berniat melakukan
upaya bunuh diri dan tidak benar-benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda
tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya

- Isyarat bunuh dir (suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha
mempengaruhi perilaku orang lain

- Ancaman bunuh diri (suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara langsung atau tidak
langsung, verbal atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri. Orang
tersebut mungkin menunjukkan secara verbal bahwa dia tidak aka nada di sekitar kita lagi
atau juga mengungkapkan secara nonverbal berupa pemberian hadiah, wasiat, dan
sebagainya. Kurangnya respons positif dari orang sekitar dipersepsikan sebagai dukungan
untuk melakukan tindakan bunuh diri.

ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Pengkajian orang yang bunuh diri mencakup apakah orang tersebut tidak membuat rencana yang
spesifik dan apakah tersedia alat untuk melakukan rencana bunuh diri tersebut adalah: keputusasaan,
celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berguna, alam perasaan depresi, agitasi dan
gelisah, insomnia yang menetap, penurunan BB, berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari
lingkungan sosial.

Adapun petunjuk psikiatrik anatara lain: upaya bunuh diri sebelumnya, kelainan afektif, alkoholisme
dan penyalahgunaan obat, kelaianan tindakan dan depresi mental pada remaja, dimensia dini/ status
kekacauan mental pada lansia.
Sedangkan riwayat psikososial adalah: baru berpisah, bercerai/ kehilangan, hidup sendiri, tidak bekerja,
perubahan/ kehilangan pekerjaan baru dialami, faktor-faktor kepribadian: implisit, agresif, rasa
bermusuhan, kegiatan kognitif dan negatif, keputusasaan, harga diri rendah, batasan/ gangguan
kepribadian antisosial

ANALISA DATA

Data Masalah
Data Subyektif : Risiko bunuh diri, diri

• Mengungkapkan keinginan bunuh diri Risiko menciderai

• Mengungkapkan keinginan untuk mati. sendiri/orang lain

• Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan

• Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya dari


keluarga

• Berbicara tentang kematian, menanyakan tentang dosisi obat


yang memtikan

• Mangungkapkan adanya konflik interpersonal

• Mengungkapkan telah menjadi korban perilaku kekerasan saat


kecil

Data obyektif :

• Impulsif
• Menunjukan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi
sangat patuh)

• Ada riwayat penyakit mental (depresi,


psikosism dan penyalahgunaan alkohol)

• Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau penyakit


terminal)

• Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan


pekerjaan, atau kegagalan dalam karier)
• Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun

• Status perkawinan yang tidak harmonis

NOC: Aggression control

INDIKATOR 1 2 3 4 5
Mampu menahan diri dari ledakan emosi secara verbal.
Mampu menahan diri dari kekerasan pada diri sendiri/orang lain.
Mampu menahan diri dari membahayakan diri/orang lain.
Mampu menahan diri dari merusak barang-barang
Mampu mengidentifikasi kapan saat marah dan frustasi.

NIC:
1. Risk identification
Lakukan pengkajian resiko menciderai diri, orang lain dan lingkungan:
- Mengkaji riwayat kekerasan yang pernah dilakukan (bentuk, waktu,frekwensi, penyebab,
akibat).

- Mengkaji resiko kekerasan (dgn instrument assault and violence assessmenttool dari Stuart
and Laraia, 2001).

- Mengkaji resiko bunuh diri (dgn instrument inpatient suicide/self harmassessment dari
Stuart and Laraia, 2001)
- Mengkaji resiko melarikan diri (instrument Risk Of Absence without Permission,
Nurjanah,2007)

2. Complex relationship building


- Lakukan pendekatan dengan tenang dan meyakinkan
- Memperkenalkan diri dg sopan
- Tanyakan nama lengkap
- Ciptakan iklim yang hangat
- Mengatur perasaan pribadi yang ditimbulkan oleh pasien yang mempunyaiefek negative
pada interakasi

- Pelihara postur tubuh terbuka.


- Jelaskan tujuan setiap tindakan.
3. Anger control assistance
- Bina hubungan saling percaya
- Lakukan pendekatan dengan tenang dan meyakinkan.
- Bantu pasien untuk mengidentifikasi perasaan seperti marah, cemas, bermusuhan atau
kesedihan yang menghalangi dalam berinteraksi dg orang lain.

- Dengarkan ungkapan kemarahan klien, hindari melakukan perlawanan.


- Batasi situasi yang meningkatkan frustasi/kemarahan sampai pasien dapat
mengekpresikan dengan adaptif.

- Sediakan jaminan untuk pasien bahwa staf perawat akan melakukan intervensi untuk
mencegah pasien kehilangan control.

- Bantu pasien mengidentifikasi sumber kemarahan.


- Bantu klien mengidentifikasi konskwensi dari ekspresi marah yang tidak tepat.
4. Enviroment management: violence prevention
- Cek pasien bahwa tidak memiliki senjata atau barang yang potensial sebagai senjata (ikat
pinggang, korek, gunting,dsb).

- Atur ruangan tunggal untuk pasien yang yang bersiko menyakiti orang lain.
- Tempatkan pasien dengan masalah resiko menyakiti diri sendiri dengan teman sekamar lain
untuk menurunkan isolasi.

- Tempatkan pasien di ruang tidur yang dekat dengan perawat.


- Jauhkan barang yang bisa digunakan sebagai senjata dari lingkungan.
- Monitor keamanan barang yang dibawa oleh pengunjung.
- Batasi pasien menggunakan barang yang potensial menjadi senjata.
- Monitor penggunaan barang yang potensial menjadi senjata seperti alat cukur.
- Gunakan alat makan dari plastic atau kertas.5)
5. Seclusion (Isolasi)
- Dapatkan order dari dokter (atau sesuai kebijakan RS).
- Identifikasi bersama klien dan keluarga tentang tingkah laku yang memerlukan tindakan
seklusi.

- Jelaskan prosedur, tujuan dan lama intervensi ini kepada klien dan keluarga dengan bahasa
yang dimengerti dan jelaskan tindakan ini bukan sebagai hukuman.

- Jelaskan pada klien dan keluarga mengenai batasan tingkah laku yang disyaratkan untuk
menghentikan tindakan ini.

- Buat kontrak dengan klien bahwa klien akan mengontrol perilaku dan tidak akan melakukan
kekerasan (jika mungkin).

- Ajarkan cara mengontrol diri dengan cara yang tepat.


- Singkirkan barang-barang yang memungkinkan untuk dijadikan senjata dari area seklusi.
- Bantu kebutuhan nutrisi, eliminasi, hidrasi dan perawatan diri.
- Sediakan makanan dan minuman dengan alat dari plastic/kertas.
- Temui / bersama klien secara periodic.
- Atur kebersihan area seklusi.6)
6. Physical restrain (pengikatan)
- Dapatkan order dari dokter (atau sesuai kebijakan RS).
- Sediakan bagi pasien privasi dan pengawasan yang adekuat.
- Sediakan staf yang cukup dalam mengaplikasikan tindakan restrain fisik.
- Jelaskan prosedur, tujuan dan waktu intervensi kepada pasien dan keluarga dan jelaskan
bahwa tindakan ini bukan sebagai hukuman.

- Jelaskan pada klien dan keluarga mengenai batasan tingkah laku yang disyaratkan untuk
menghentikan tindakan ini.

- Monitor respon pasien terhadap prosedur.


- Amankan restrain dari jangkauan pasien.
- Monitor kondisi kulit pada daerah yang dilakukan restrain.
- Monitor warna, suhu dan sensasi pada daerah yang dilakukan restrain.
- Sediakan pergerakan dan latihan sesuai tingkat control diri pasien, kondisi dan kemampuan.

- Posisikan pasien untuk mendapatkan kenyamanan dan pencegahan aspirasi dan luka.
- Bantu perubahan posisi secara periodic.
- Bantu memenuhi kebutuhan nutrisi, eliminasi, hidrasi dan kebersihan diri.
- Evaluasi secara interval, kebutuhan pasien untuk melanjutkan intervensi restrain.
- Libatkan pasien, dengan cara yang tepat, dalam membuat keputusan untuk
menghentikanatau mengurangi batasan dari bentuk intervensi.

- Lepaskan restrain secara berangsur sesuai dengan peningkatan control diri.


- Monitor respon pasien terhadap dilepasnya restrain.7)
7. Medication administration
- Melaksanakan pengobatan dengan mengikuti prinsip ³lima benar´ dalam pemberian
obatobatan (dalam kondisi amuk biasanya klien diberi anti manik injeksi Haloperidol 5mg).

- Monitor efektifitas obat


- Observasi efek samping pengobatan (Ekstra Piramidal Sindrom, Hipotensi).
- Dokumentasikan pengobatan dan respon pasien.
8. Self care assistance
- Monitor kemampuan dan kebutuhan pasien perlengkapan adaftif dalam kebersihan diri,
berpakain, toileting dan makan.

- Sediakan bantuan sampai pasien mampu secara penuh melakukan perawatan diri.
9. Vital signs monitoring
- Monitor tekanan darah, nadi, suhu, status pernafasan sebelum, selama dan setelah
tindakan secara teratur.

EVALUASI
Tanda-tanda keberhasilan asuhan keperawatan yang harus dicapai oleh klien dan keluarganya
berdasarkan perilaku bunuh diri yang ditampilkan.

1. Bagi klien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan bunuh diri, keberhasilan
asuhan keperawatan ditandai dengan keadaan klien yang tetap aman dan selamat

2. Bagi keluarga dengan anggota (klien) yang memberikan anacaman atau melakukan percobaan
bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga berperan
serta dalam melindungi anggota keluarga yang mengancam atau mencoba bunuh diri

3. Bagi klien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai
dengan hal-hal sebagai berikut :

• Klien mampu mengungkapkan perasaanya


• Klien mampu meningkatkan harga dirinya
• Klien mampu menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik
4. Bagi klien yang memberikan isyarat bunuh diri keberhasilan asuhan keperawatan ditandai
dengan kemampuan keluarga dalam merawat klien dengan resiko bunuh diri. Untuk itu
diharapkan keluarga mampu melakukan hal-hal berikut :

• Menyebutkan kembali tanda dan gejala bunuh diri


• Memperagakan kembali cara-cara yang dapat dilakukan untuk melindungi anggota
keluarga yang berisiko bunuh diri

• Menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia dalam merawat anggota keluarga yang
berisiko bunuh diri.
DAFTAR PUSTAKA

Captain, C, 2008, Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy, Volume 6, Alih Bahasa Budi
Santosa, Philadelphia

Chopra, Shivani dan Raheel A. Khan. 2009. Delusional Disorder. Diunduh dari: www.emedicine.com.
Dibuka pada tanggal 10 April 2016.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision. 2009. Philadelphia:
Lippincot Williams & Wilkins.
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan
Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba Medika.

Grover, Sandeep, Nitin Gupta dan Suhendra Kumar Matto. 2005. Delusional Disorder: An Overview.
Diunduh dari: www.gjpsy.uni-goettingen.de. Dibuka pada tanggal 10 April 2016.
Iyus.2009.Keperawatan Jiwa.Cetakan Kedua (edisi revisi).Bandung:PT Refrika Aditama.
Kaplan, Harorld I, Benjamin J. Sadock dan Jack A. Grebb. 1997. Gangguan Delusional. Jakarta:
Binapura Aksara.
Keliat, Budi Anna., Akemat., Helena, Novy., Nurhaeni, Heni. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa
Komunitas. Jakarta : EGC.

Lowenstein,Daniel H dan Brian K. Alldredge . 2005. Mental Health and Delusional Disorder. Diunduh
dari: www.webmed.com/schizophrenia/delusional-disorder. Dibuka pada tanggal 10 April
2016.

Sadock, Benjamin J, Virginia A. Sadock dan Pedro Ruiz. 2009. Kaplan & Sadock’s: Comprehensive
Textbook of Psychiatry Volume 1 Ninth Edition. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins
Stuart, G.W.2006.Buku Saku Keperawatan Jiwa.Jakarta:EGC.

Wilkinson, J,M., & Ahern, Nancy R. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. (9th ed.). (Penerjemah :
Wahyuningsih, Esty.). Jakarta: EGC.
Yosep, I.2010.Keperawatan Jiwa.Bandung:PT Refrika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai