Disusun oleh:
Waham adalah keyakinan klien tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak
dapat diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah
kehilangan control. (Depkes RI, 2002)
Waham adalah keyakinan yang salah dan menetap dan tidak dapat dibuktikan dalam kenyataan
(Sulistiawati, 2005).
- Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap bahwa
semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering disertai
halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering
menyendiri dan menghindar interaksi sosial (Isolasi sosial).
- Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan yang
salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan dengan
traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang).
Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan
ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan
cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan
menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi social.
3. Klasifikasi
Adapun jenis-jenis waham menurut Marasmis, stuart and sundeen ( 1998) dan Keliat (1998)
waham terbagi atas beberapa jenis, yaitu:
a. Waham agama: keyakinan klien terhadap suatu agama secara berlebihan diucapkan beulang
kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh: “Kalau saya mau masuk surge saya harus menggunakan pakaian putih setiap hari”
atau klien mengatakan bahwa dirinya Tuhan yang dapat mengendalikan makhluknya.
b. Waham kebesaran: klien yakin secara berlebihan bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuatan
khusus diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh: “Saya ini pejabat di Departemen kesehatan lho…” atau “saya punya tambang emas”
c. Waham somatic: klien meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya teganggu dan terserang
penyakit, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh: klien selalu mengatakan bahwa dirinya sakitkanker, namun setelah dilakukan
pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya sel kanker pada tubuhnya.
d. Waham curiga : kecurigaan yang berlebihan dan tidak rasional dimana klien yakin bahwa ada
seseorang atau kelompok orang yang berusaha merugikan atau mencurigai dirinya, diucapkan
beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh: “Saya tahu.. semua saudara saya ingin menghancurkan hidup saya karena
merekasemua iri dengan kesuksesan yang saya alami”.
e. Waham nihilistic: klien yakin bahwa dirinya sudah ridak ada di dunia atau sudah meninggal,
diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
“ini kan alam kubur, semua yang ada disini adalah roh-roh”
f. Waham bizar
1) Sisip pikir: klien yakin ada ide pikiran orang lain yang dsisipkan di dalam pikiran yang
disampaikan secara berulang dan tidak sesuai dengan kenyataan
2) Siar pikir: klien yakin bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan walaupun dia
tidak menyatakan kepada orang tersebut, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan.
3) Kontrol pikir: klien yakin pikirannya dikontrol oleh kekuatan dari luar.
Faktor Predisposisi
- Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal seseorang. Hal ini
dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien
menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif
- Faktor Biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak, atau
perubahan pada sel kortikal dan limbik
Faktor Presipitasi
- Faktor Sosial Budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau diasingkan
dari kelompok
- Faktor Biokimia
Dopamin, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya dapat diduga menjadi penyebab
waham pada seseorang
- Faktor Psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi masalah
sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan yang menyenangkan
6. Manifestasi klinis
a. Status Mental
a) Deskripsi Umum
Pasien biasanya berdandan dengan baik dan berpakian baik, tanpa bukti adanya
disintegritas nyata pada kepribadian atau aktifitas harian. Tetapi pasien mungkin terlihat
aneh, pencuriga atau bermusuhan.
c) Gangguan Persepsi
Menurut DSM-IV-TR, waham raba atau cium mungkin ditemukan jika hal tersebut
konsisten dengan waham.
d) Pikiran
Gangguan isi pikiran berupa waham merupakan gejala utama dari gangguan ini. Waham
biasanya bersifat sistematis dan karakteristiknya adalah dimungkinkan.
b) Pengendalian Impuls
Klinis harus memeriksa pasien dengan gangguan waham menetap untuk menentukan
ada atau tidak gagasan atau rencana melakukan material wahamnya dengan bunuh diri,
membunuh atau melakukan tindakan kekerasan. Insidensinya tidak diketahui pada
penyakit ini.
d. Kejujuran
Pasien dengan gangguan waham menetap biasanya dapat dipercaya dalam informasinya. 7.
Pohon masalah
8. Diagnose
Menurut Diagnostic Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV) criteria
diagnostic untuk gangguan delusional adalah:
a. Waham yang tidak aneh (yaitu melibatkan situasi yang terjadi dalam kehidupan nyata,
seperti sedang diikuti, diracuni, ditulari infeksi, dicintai jarak jauh, atau dikhianati oleh
pasangan atau kekasih atau menderita sesuatu penyakit) selama sekurangnya satu bulan.
b. Kriteria A untuk skizofrenia tidak pernah dipenuhi. Catatan: halusinasi taktil dan cium
mungkin ditemukan pada gangguan delusional jika berhubungan dengan tema waham.
c. Terlepas dari pengaruh waham atau percabangannya, fungsi tidak terganggu dengan jelas
dan kacau.
d. Jika episode mood telah terjadi secara bersama-sama dengan waham, lama totalnya adalah
relative singkat disbanding periode waham
e. Gangguan adalah bukan Karena efek fisiologis langsung suatu zat (misalnya obat yang
disalhgunakan, suatu medikasi atau sudatu kondisi medis umum).
5. Tidak ada riwayat gejala-gejala skizofrenia (waham dikendalikan, siar pikiran, penumpukan
afek, dsb)
9. Penatalaksanaan
Terdapat beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita gangguan waham
menetap, yaitu :
b. Farmakoterapi
Antipsikotik telah digunakan sejak tahun 1970 sebagai pengobatan gangguan waham
menetap. Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa Pimozide(Orap) mungkin efektif
pada gangguan waham menetap tipe somatik. Terapi kombinasi sering dilakukan,
termasuk mengkombinasi obat antipsikotik dengan antidepresan. Secara keseluruhan,
penderita gangguan waham menetap sangat berespon terhadap pengobatan
(antipsikosit) yang diberikan, dimana 50% dilaporkan sembuh dari gejalanya, 90%
menunjukkan adanya perubahan dari klinisnya.
c. Psikoterapi
Memberikan informasi dan edukasi yang benar mengenai penyakit pasien, sehingga
diharapkan keluarga dapat menerima pasien dan mendukungnya ke arah
penyembuhan. Memberitahukan kepada keluarga untuk tidak memberikan tekanan
emosional kepada pasien, Keluarga juga diharapkan mampu mengawasi kepatuhan
pasien untuk kontrol minum obat, dan meminta keluarga untuk lebih mendengarkan
dan berkomunikasi dengan pasien. Tanda terapi yang berhasil mungkin adalah suatu
kepuasan penyesuaian sosial.
c. Disorientasi
Tidak memiliki kelainan dalam orientasi kecuali klien waham spesifik terhadap orang
tempat, dan waktu.
d. Aktivitas motoric/psikomotor
e. Afek/emosi
f. Presepsi
- Proses pikir (Sirkumstansial, Flight of ideas, Kehilangan asosiasi, Tangensial, Blocking,
Pengulangan bicara)
- Isi pikir (Obsesi, Depersonalisasi, Hipokondria, Fobia, Ide terkait, Pikiran magic,
waham: agama, curiga, somatic, nihilistic, kebesaran, siar pikir, sisip pikir, control pikir)
Format pengkajian klien dengan perubahan proses pikir: waham (Kelliat, 1999)
Proses pikir
[ ] Sirkumstansial [ ] Tangensial
[ ] Flight of ideas [ ] Blocking
[ ] Kehilangan assosiasi [ ] Pengulangan bicara Isi pikir
[ ] Obsesi [ ] Fobia
[ ] Depersonalisasi [ ] Ide terkait
[ ] Hipokondria [ ] Pikiran magis
Waham
[ ] Agama [ ] Somatic [ ] Kebesaran [ ] Curiga
[ ] Nihilistik [ ] Sisip pikir [ ] Siar pikir [ ] Kontrol pikir Keterangan:
• Kehilangan asosiasi: pembicaraan tidak ada hubungan antara satu kalimat dengan kalimat yang
lain. klien tidak menyadarinya.
• Pengulangan bicara
• Obsesi:pikiran yang selalu muncul walaupun klien berusaha menghilangkannya
• Fobia: Ketakutan yang patologis/tidak logis terhadap objek/situasi tertentu
• Depersonalisasi: Perasaan klien yang asing terhadap diri sendiri, orang atau lingkungan
• Ide terkait: Keyakinan klien terhadap kejadian yang terjadi, lingkungan yang bermakna dan
terkait pada irinya
• Hipokondri: keyakinan terhadap adanya gangguan organ dalam tubuh yang sebenarnya tidak
ada.
• Pikiran magis: Keyakinan klien tentang kemampuannya melakukan hal-hal yang mustahil/diluar
Pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengkaji waham:
1) Apakah pasien memiliki pikiran/isi pikir yang berulang-ulang diungkapkan dan menetap?
2) Apakah pasien takut terhadap objek atau situasi tertentu, atau apakah pasien cemas secara
berlebihan tentang tubuh atau kesehatannya?
3) Apakah pasien pernah merasakan bahwa benda-benda disekitarnya aneh dan tidak nyata?
4) Apakah pasien pernah merasakan bahwa ia berada diluar tubuhnya?
5) Apakah pasien pernah merasa diawasi atau dibicarakan oleh orang lain?
6) Apakah pasien berpikir bahwa pikiran atau tindakannya dikontrol oleh orang lain atau kekuatan
dari luar?
7) Apakah pasien menyatakan bahwa ia memiliki kekuatan fisik atau kekuatan lainnya atau yakin
bahwa orang lain dapat membaca pikirannya.
ANALISA DATA
Data Masalah
Data subyektif: Perubahan proses pikir: waham
INDIKATOR 1 2 3 4 5
Mengakui terjadinya halusinasi atau delusi
Menjauhkan diri dari munculnya halusinasi atau delusi
Menjauhkan diri dari merespon halusinasi atau delusi
Memonitor frekuensi halusinasi atau delusi
Mendiskripsikan konten/isi yg di halusinasikan atau di delusikan
Melaporkan terjadinya peningkatan dalam halusinasi atau delusi
Meminta untuk memvalidasi tentang realita
Menunjukkan pola pemikiran yang logis
Menunjukkan realita berdasarkan pemikiran
Menunjukkan pemikiran yang sesuai
NOC: Identity
INDIKATOR 1 2 3 4 5
EVALUASI
S: Klien mulai dapat mengungkapkan keyakinan sesuai kebenaran (realita)
O: klien dapat berkomunikasi sesuai kebenaran, klien dapat mengkonsumsi obat dengan teratur dan
benar.
Defisit Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia didalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya,kesehatannya dan kesejahteraannya sesuai
dengan kondisi kesehatannya.Klien dinyatakan terganggu perawatan dirinya jika tidak dapat
melakukan perawatan dirinya. (Aziz R., 2003)
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan
kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti
mandi (hygiene), berpakaian atau berhias, makan, dan BAB atau BAK (toileting) (Fitria, 2009).
Pengertian yang hampir sama diungkapkan oleh Wilkinson, (2006) defisit perawatan diri
menggambarkan suatu keadaan seseorang yang mengalami gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas perawatan diri, seperti mandi, berganti pakaian, makan dan toileting.
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan
proses piker sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri menurun.Kurang
perawatan diri tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri diantaranya mandi,makan
dan minum secara mandiri,berhias secara mandiri, dan toileting.
3. Makan
Klien tidak mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan
makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat tambahan,
mendapatkan makanan, membuka container, memanipulasi makanan dalam mulut,
mengambil makanan dari wadah lalu memasukkannya kedalam mulut, melengkapi makan,
mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarkat, mengambil cangkir atau gelas,
serta mencerna cukup makanan dengan aman. Makanan berceceran dan makan tidak pada
tempatnya,
4. BAB/BAK (toileting)
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau kamar
kecil, duduk atau berdiri dari jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting , membersihkan
diri setelah BAB / BAK dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil. Pasien BAB / BAK
tidak pada tempatnya.
C. Penyebab
Menurut Depkes (2000) penyebab kurang perawatan diri adalah:
1. Faktor Predisposisi
a. Perkembangan, Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan
ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri. d. Sosial
2. Faktor presipitasi
Menurut Wartonah (2006) ada beberapa faktor persipitasi yang dapat menyebabkan
seseorang kurang perawatan diri. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari berbagai stressor
antara lain:
a. Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya
karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli terhadap
kebersihannya.
b. Praktik social
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi
perubahan pola personal hygiene.
c. Status sosioekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,
sampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat
meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus dia harus
menjaga kebersihan kakinya. Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri
adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual, hambatan
lingkungan, cemas, lelah atau lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan
individu kurang mampu melakukan perawatan diri (Nanda, 2006).
3. Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene menurut Wartonah (2006) yaitu : a.
Dampak fisik
b. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan
kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri,
aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.
D. Pohon masalah
Effect Risiko tinggi isolasi social
↑
Core problem Defisit perawatan diri
↑
Causa Harga diri rendah kronis
E. Tanda dan gejala
Menurut Mukhripah (2008) kurang perawatan diri sering ditemukan adanya tanda dan gejala
sebagai berikut:
a. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan bau, kuku
panjang dan kotor.
b. Ketidakmampuan berhias atau berdandan, ditandai dengan rambut acakacakan, pakaian kotor
dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak bercukur, pada pasien wanita
tidak berdandan.
Adapun jenis dan karakteristik kurang perawatan diri tanda dan gejala menurut Nanda (2006)
meliputi :
c. RKK (riwayat kesehatan keluarga) : adakah keluarga mengalami deficit perawatan diri
sebelumnya.
3. Keluhan utama
Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri, Defisit perawatan diri dan Isolasi Sosial
ANALISA DATA
Data Masalah
Data subyektif: Defisit perawatan diri
Data obyektif:
• Rambut kotor, acak – acakan Badan dan pakaian kotor dan bau
Mulut dan gigi bau.
INDIKATOR 1 2 3 4 5
Klien terbebas dari bau badan
Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLs
Dapat melakukan ADLS dengan bantuan
• Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self-care.
• Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai kemampuan yang
dimiliki.
• Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri bantuan ketika klien tidak mampu
melakukannya.
• Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk memberikan bantuan hanya jika
pasien tidak mampu untuk melakukannya.
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan.
Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi
(Captain, 2008). Menciderai diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Adapun petunjuk psikiatrik anatara lain: upaya bunuh diri sebelumnya, kelainan afektif,
alkoholisme dan penyalahgunaan obat, kelaianan tindakan dan depresi mental pada remaja,
dimensia dini/ status kekacauan mental pada lansia.
Sedangkan riwayat psikososial adalah: baru berpisah, bercerai/ kehilangan, hidup sendiri, tidak
bekerja, perubahan/ kehilangan pekerjaan baru dialami, faktor-faktor kepribadian: implisit, agresif,
rasa bermusuhan, kegiatan kognitif dan negatif, keputusasaan, harga diri rendah, batasan/
gangguan kepribadian antisosial
3. Etiologi
Adapun faktor yang mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri a.
Faktor predisposisi
Stuart (2006) menebutkan bahwa faktor prediposisi yang menunjang perilaku resiko bunuh diri
meliputi:
1. Diagnosa Psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat klien berisiko untuk bunuh diri yaitu gangguan alam
perasaan/gangguan afektif, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
2. Sifat Kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko bunuh diri adalah
rasa bermusuhan/antipati, implusif, dan depresi.
3. Lingkungan Psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini, dan
berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan dengan bunuh
diri.
4. Biologis
Berdasarkan gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan
perilaku agresif dan kecemasan. Selain itu juga terjadi peningkatan adrenalin dan dopamine.
Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro Encephalo
Graph (EEG)
5. Psikologis
Penjelasan berdasarkan Freud menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180
degrees”, mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang atau obek yang
diinginkan. Secara psikologis, individu ang berisiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi
dirinya dengan orang ang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih saang ini
dan berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh.
6. Sosiokultural
Penjelasan dari sosiolog Durkheim yang memandang perilaku bunuh diri sebagai hasil dari
hubungan individu dengan masyarakt, yang menekankan apakah individu terintegrasi dan
teratur atau tidak dengan masyarakat.
b. Faktor Presipitasi
Stuart (2006)menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang memalukan,
seperti masalah interpersonal, dipermalukan didepan umum, kehilangan pekerjaan, atau
ancaman pengurungan. Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah
perasaan terisolasi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal melakukan hubungan yang
berarti, kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan
marah/bermusuhan dan bunuh diri sebagai hukuman pada diri sendiri, serta cara untuk
mengakhiri keputusan.
2. Afektif: respon ungkapan hati klien yang sudah terlihat jelas dan nata akibat adanya
stressor dalam dirinya, seperti cemas, sedih, dan marah.
3. Fisiologis:repon fisiologis terhadap stres dapat diidentifikasi menjadi dus Local Adaptation
Syndrome (LAS) yang merupakan respon lokal tubuh terhadap stressor dan Genital
Adaptation Syndrome (GAS) adalah reaksi menyeluruh terhadap stressor yang ada.
4. Perilaku: klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat
melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar memilih untuk
melakukan tindakan bunuh diri.
5. Sosial: struktur sosial dan kehidupan bersosial dapat menolong atau bahkan mendorong
klien melakukan bunuh diri. Isolasi sosial dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan
keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan
masyarakat lebih mampu menolerasi stres dan menurunkan angka bunuh diri. Aktif dalam
kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
2. Dukungan sosial: dukungan untuk individu yang di dapat dari keluarga, teman, kelompok,
atau orang-orang disekitar klien dan dukungan terbaik yang diperlukan oleh klien adalah
dari keluarga.
3. Asset material: ketersediaan materia anta lain akses pelayanan kesehatan, dana atau
finansial yang memadai, asuransi, jaminan pelayanan kesehatan,dll.
4. Keyakinan positif: merupakan keyakinan spiritual dan gambaran positif seseorang sehingga
dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat mempertahankan koping adaptif walaupun
dalam kondisi penuh dengan stressor. Keyakinan yang harus dikuatkan pada klien resiko
bunuhh diri adalah keyakinan mampu mengatasi masalah.
4. Rentang Respon Resiko Bunuh Diri (Rentang respon, Yosep, Iyus. 2009)
Adaptif Maladaptif
2. Beresiko Destruktif
Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami perilaku destruktif atau
menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri,
seperti seseorang merasa patah semangat bekerja ketika dirinya tidak dianggap loyal
terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
4. Pencederaan Diri
Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau penceredaan diri akibat hilangnya
harapan terhadap situasi yang ada.
5. Bunuh Diri
Seseorang telah melakukan upaya bunuh diri sampai dengan hilangnya nyawa.
Perilaku bunuh diri menurut Stuart dan Sundeen (1995) dibagi menjadi tiga kategori yaitu sebagai
berikut.
- Upaya bunuh diri (suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan menuju bunuh diri
dan bila kegiatan itu sampai tuntas maka akan menyebabkan kematian. Kondisi ini terjadi
setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan. Orang yang hanya berniat melakukan
upaya bunuh diri dan tidak benar-benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda
tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya
- Isyarat bunuh dir (suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha
mempengaruhi perilaku orang lain
- Ancaman bunuh diri (suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara langsung atau tidak
langsung, verbal atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri. Orang
tersebut mungkin menunjukkan secara verbal bahwa dia tidak aka nada di sekitar kita lagi
atau juga mengungkapkan secara nonverbal berupa pemberian hadiah, wasiat, dan
sebagainya. Kurangnya respons positif dari orang sekitar dipersepsikan sebagai dukungan
untuk melakukan tindakan bunuh diri.
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Pengkajian orang yang bunuh diri mencakup apakah orang tersebut tidak membuat rencana yang
spesifik dan apakah tersedia alat untuk melakukan rencana bunuh diri tersebut adalah: keputusasaan,
celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berguna, alam perasaan depresi, agitasi dan
gelisah, insomnia yang menetap, penurunan BB, berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari
lingkungan sosial.
Adapun petunjuk psikiatrik anatara lain: upaya bunuh diri sebelumnya, kelainan afektif, alkoholisme
dan penyalahgunaan obat, kelaianan tindakan dan depresi mental pada remaja, dimensia dini/ status
kekacauan mental pada lansia.
Sedangkan riwayat psikososial adalah: baru berpisah, bercerai/ kehilangan, hidup sendiri, tidak bekerja,
perubahan/ kehilangan pekerjaan baru dialami, faktor-faktor kepribadian: implisit, agresif, rasa
bermusuhan, kegiatan kognitif dan negatif, keputusasaan, harga diri rendah, batasan/ gangguan
kepribadian antisosial
ANALISA DATA
Data Masalah
Data Subyektif : Risiko bunuh diri, diri
Data obyektif :
• Impulsif
• Menunjukan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi
sangat patuh)
INDIKATOR 1 2 3 4 5
Mampu menahan diri dari ledakan emosi secara verbal.
Mampu menahan diri dari kekerasan pada diri sendiri/orang lain.
Mampu menahan diri dari membahayakan diri/orang lain.
Mampu menahan diri dari merusak barang-barang
Mampu mengidentifikasi kapan saat marah dan frustasi.
NIC:
1. Risk identification
Lakukan pengkajian resiko menciderai diri, orang lain dan lingkungan:
- Mengkaji riwayat kekerasan yang pernah dilakukan (bentuk, waktu,frekwensi, penyebab,
akibat).
- Mengkaji resiko kekerasan (dgn instrument assault and violence assessmenttool dari Stuart
and Laraia, 2001).
- Mengkaji resiko bunuh diri (dgn instrument inpatient suicide/self harmassessment dari
Stuart and Laraia, 2001)
- Mengkaji resiko melarikan diri (instrument Risk Of Absence without Permission,
Nurjanah,2007)
- Sediakan jaminan untuk pasien bahwa staf perawat akan melakukan intervensi untuk
mencegah pasien kehilangan control.
- Atur ruangan tunggal untuk pasien yang yang bersiko menyakiti orang lain.
- Tempatkan pasien dengan masalah resiko menyakiti diri sendiri dengan teman sekamar lain
untuk menurunkan isolasi.
- Jelaskan prosedur, tujuan dan lama intervensi ini kepada klien dan keluarga dengan bahasa
yang dimengerti dan jelaskan tindakan ini bukan sebagai hukuman.
- Jelaskan pada klien dan keluarga mengenai batasan tingkah laku yang disyaratkan untuk
menghentikan tindakan ini.
- Buat kontrak dengan klien bahwa klien akan mengontrol perilaku dan tidak akan melakukan
kekerasan (jika mungkin).
- Jelaskan pada klien dan keluarga mengenai batasan tingkah laku yang disyaratkan untuk
menghentikan tindakan ini.
- Posisikan pasien untuk mendapatkan kenyamanan dan pencegahan aspirasi dan luka.
- Bantu perubahan posisi secara periodic.
- Bantu memenuhi kebutuhan nutrisi, eliminasi, hidrasi dan kebersihan diri.
- Evaluasi secara interval, kebutuhan pasien untuk melanjutkan intervensi restrain.
- Libatkan pasien, dengan cara yang tepat, dalam membuat keputusan untuk
menghentikanatau mengurangi batasan dari bentuk intervensi.
- Sediakan bantuan sampai pasien mampu secara penuh melakukan perawatan diri.
9. Vital signs monitoring
- Monitor tekanan darah, nadi, suhu, status pernafasan sebelum, selama dan setelah
tindakan secara teratur.
EVALUASI
Tanda-tanda keberhasilan asuhan keperawatan yang harus dicapai oleh klien dan keluarganya
berdasarkan perilaku bunuh diri yang ditampilkan.
1. Bagi klien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan bunuh diri, keberhasilan
asuhan keperawatan ditandai dengan keadaan klien yang tetap aman dan selamat
2. Bagi keluarga dengan anggota (klien) yang memberikan anacaman atau melakukan percobaan
bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga berperan
serta dalam melindungi anggota keluarga yang mengancam atau mencoba bunuh diri
3. Bagi klien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai
dengan hal-hal sebagai berikut :
• Menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia dalam merawat anggota keluarga yang
berisiko bunuh diri.
DAFTAR PUSTAKA
Captain, C, 2008, Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy, Volume 6, Alih Bahasa Budi
Santosa, Philadelphia
Chopra, Shivani dan Raheel A. Khan. 2009. Delusional Disorder. Diunduh dari: www.emedicine.com.
Dibuka pada tanggal 10 April 2016.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision. 2009. Philadelphia:
Lippincot Williams & Wilkins.
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan
Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba Medika.
Grover, Sandeep, Nitin Gupta dan Suhendra Kumar Matto. 2005. Delusional Disorder: An Overview.
Diunduh dari: www.gjpsy.uni-goettingen.de. Dibuka pada tanggal 10 April 2016.
Iyus.2009.Keperawatan Jiwa.Cetakan Kedua (edisi revisi).Bandung:PT Refrika Aditama.
Kaplan, Harorld I, Benjamin J. Sadock dan Jack A. Grebb. 1997. Gangguan Delusional. Jakarta:
Binapura Aksara.
Keliat, Budi Anna., Akemat., Helena, Novy., Nurhaeni, Heni. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa
Komunitas. Jakarta : EGC.
Lowenstein,Daniel H dan Brian K. Alldredge . 2005. Mental Health and Delusional Disorder. Diunduh
dari: www.webmed.com/schizophrenia/delusional-disorder. Dibuka pada tanggal 10 April
2016.
Sadock, Benjamin J, Virginia A. Sadock dan Pedro Ruiz. 2009. Kaplan & Sadock’s: Comprehensive
Textbook of Psychiatry Volume 1 Ninth Edition. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins
Stuart, G.W.2006.Buku Saku Keperawatan Jiwa.Jakarta:EGC.
Wilkinson, J,M., & Ahern, Nancy R. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. (9th ed.). (Penerjemah :
Wahyuningsih, Esty.). Jakarta: EGC.
Yosep, I.2010.Keperawatan Jiwa.Bandung:PT Refrika Aditama.