WAHAM
I.
Definisi
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-menerus, tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006)
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah.
Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien
(Aziz R, 2003).
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi di pertahankan dan
tidak dapat di ubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien
yang sudah kehilangan control (Depkes RI,2000)
II.
Jenis-jenis Waham
1. Waham Kebesaran
Suatu kenyataan palsu dimana seorang memperluas atau memperbesar kepentingan
dirinya, baik kualitas tindakan/kejadian/orang disekelilingnya, dalam bentuk tidak
realistik. Waham ini timbul akibat perasaan yang tidak wajar, tidak aman dan rasa rendah
diri yang secara sadar dihalangi oleh komponen ideal dan efektif dari waham itu sendiri.
Isi dari waham kebesaran sering menunjukkan kekecewaan, kegagalan, dan perasaan
2.
tidak aman.
Waham Berdosa
Timbul perasaan bersalah yang luar biasa dan merasakan suatu dosa yang besar. Penderita
3.
4.
Keyakinan tentang berbagai penyakit yang berada dalam tubuhnya seperti ususnya yang
5.
6.
Respon Adaptif
- Fikiran logis
Respon Maladaptif
-Distorsi fikiran
- Persepsi akurat
-Ilusi
-Waham
- Emosi konsisten
-Perilaku disorganisasi
Dengan pengalamn
atau kurang
- Perilaku sesuai
-Perilaku sesuai
-Isolasi sosial
- Berhubungan sosial
-Menarik diri
Respon neurobiologis individu dapat diidentifikasi sepanjang rentang respon adaptif sampai
dengan respon maladaptif.
Dalam tatanan keperawatan jiwa, respon neurobiologis yang sering muncul adalah gangguan
isi pikir : waham. Pada bab ini akan dibahas secara khusus mengenai waham.
Gangguan isi pikir merupakan ketidak mampuan individu memproses stimulus internal dan
eksternal secara akurat. Gangguan ini diidentifikasi dengan adanya waham, yaitu keyakinan
individu yang tidak dapat divalidasi atau dibuktikan dengan realitas (Haber, 1982). Keyakinan
individu tersebut tidak sesuai dengan tingkat intelektual dan latar belakang budayanya
(Rawlin, 1993) dan tidak dapat digoyahkan atau diubah denagn alas an yang logis (Cook &
Fontaine, 1987) serta keyakinan tersebut diucapkannya berulang kali.
IV.
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self
ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan yang
tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi komunikasi
yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap
memasang self ideal yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat
jauh.
Dari
aspek
pendidikan
klien,
materi,
pengalaman,
pengaruh,support
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan yang
salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan dengan
traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi ( rantai yang hilang ).
Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan
ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan
cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan
menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
V.
Etiologi
Faktor presdisposisi
1.
Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan menggangu hubungan interpersonal seseorang. Hal ini
dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakir dengan gangguan presepsi, klien
menekankan perasaan nya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif
2.
3.
Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda bertentangan dapat menimbulkan ansietas
dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan
4.
Faktor biologis
Waham di yakini terjadi karena ada nya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak atau
perubahan pada sel kortikal dan lindik
5.
Faktor genetic
Faktor presipitasi
1.
2.
Faktor biokimia
Dopamin, norepinepin, dan zat halusinogen lain nya di duga dapat menjadi penyebab
waham pada seseorang
3.
Faktor psikologis\
Kecemasan yang memanjang dan terbatasan nya kemampuan untuk mengatasi masalah
sehingga
klien
mengembangkan
koping
untuk
menyenagkan.
VI.
b. Afek tumpul
Perilaku dan Hubungan Sosial
a.
Hipersensitif
Depresi
d. Ragu-ragu
e.
f.
g. Streotif
h. Impulsive
i.
Curiga
Fisik
a.
Higiene kurang
b. Muka pucat
c.
Sering menguap
d. BB menurun
menghindari
kenyataan
yang
VII.
Penatalaksanaan
1.
Psikofarmakologi
2.
3.
4.
5.
Psikoterapi
6.
Laporan Pendahuluan
DEFISIT PERAWATAN DIRI
I.
Definisi
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri
(mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya
guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi
kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan
perawatan diri ( Depkes 2000).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara
kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, kurang perawatan
diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan untuk
dirinya (Tarwoto dan Wartonah 2000).
II.
Klasifikasi
1. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas
2.
mandi/kebersihan diri.
Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias.
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan memakai
3.
4.
aktivitas makan.
Kurang perawatan diri : Toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjannah : 2004, 79 ).
III.
Etiologi
Menurut Tarwoto dan Wartonah, Penyebab kurang perawatan diri adalah sebagai berikut :
a.
Kelelahan fisik
b.
Penurunan kesadaran.
Faktor prediposisi
1.
Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif
2.
terganggu.
Biologis
3.
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan
4.
b.
Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami individu
sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000: 59) Faktor faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:
1)
Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya
dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan
dirinya.
2)
Praktik Sosial
Pada anakanak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan
terjadi perubahan pola personal hygiene
3)
4)
Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat
meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus
menjaga kebersihan kakinya.
5)
Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
6)
Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri
seperti penggunaan sabun, sampo dan lainlain
7)
Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu
bantuan untuk melakukannya.
Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene antara lain sebagai berikut :
1)
Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya
kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering terjadi adalah :
Gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan
telinga dan gangguan fisik pada kuku.
2)
Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan
kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri,
aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.
c.
kecemasan
dimana
tidak
mungkin
mengembangkan
kehangatan emosional dalam hubungan yang positif dengan oranglain yang menimbulkan
rasa aman. Klien semakin tidak dapat melibatkan diri dalam situasi baru. Ia berusaha
mendapatkan rasa aman tetapi hidup itu sendiri begitu menyakitkan dan menyulitkan
sehingga rasa aman itu tidak tercapai. Hal ini menyebabkan ia mengembangkan
rasionalisasi dan mengaburkan realitas daripada mencari penyebab kesulitan serta
menyesuaikan diri dengan kenyataan. Keadaan dimana seorang individu mengalami atau
beresiko mengalamai suatu ketidakmampuan dalam menangani stressor internal atau
lingkungan dengan adekuat karena ketidakadekuatan sumber-sumber (fisik,psikologis,
perilaku atau kognitif).
IV.
Mandi/ Hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh atau
mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan
perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh serta masuk dan keluar mandi
b.
Berpakaian/ berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan pakaian,
menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian. Klien juga memiliki
ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam , memilih pakaian, menggunakan alat
tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian, menggunakan kaos kaki,
mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan, mengambil pakaian dan
mengenakan sepatu.
c.
Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,mempersiapkan makanan,
menangani perkakas, mengunyah makanan,menggunakan alat tambahan, mendapatkan
makanan, membuka container, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan
dari wadah lalu memasukkannya ke mulut,melengkapi makanan, mencerna makanan
menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas serta mencerna
cukup makanan dengan aman
d.
V.
Penatalaksanaan
1.
Perawatan dini hari. Merupakan perawatan yang dilakukan pada waktu bangun tidur
untuk melakukan tindakan seperti perapian dalam pengambilan bahan pemeriksaan
(Urine/Feses), memberikan pertolongan, mempersiapkan pasien dalam melakukan makan
pagi dengan melakukan tindakan perawatan diri, seperti mencuci muka, tangan, dan
menjaga kebersihan mulut
2.
Perawatan pagi hari. Perawatan yang dilakukan setelah makan pagi dengan melakukan
perawatan diri seperti melakukan pertolongan dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi,
mandi atau mencuci rambut, melakukan pijatan punggung, membersihkan mulut, kuku
dan rambut, serta merapikan tempat tidur
3.
Perawatan siang hari. Perawatan yang dilakukan setelah melakukan berbagai tindakan
pengobatan atau pemeriksaan dan setelah makan siang. Berbagai tindakan perawatan diri
yang dapat dilakukan antara lain mencuci muka dan tangan, membersihkan mulut,
merapika tempat tidur dan melakukan pemeliharaan kebersihan lingkungan kesehatan
klien
4.
Perawatan menjelang tidur. Perwatan diri yang dilakukan pada saat menjelang tidur agar
klien beristrirahat dengan tenang. Berbagai kegiatan yang dapat dilakukan antara lain
pemenuhan kebutuhan eliminasi, mencuci tangan dan muka, membersihkan mulut dan
memijat daerah punggung.
Laporan Pendahuluan
HARGA DIRI RENDAH
I.
Definisi
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negative terhadap diri sendiri atau kemampuan diri.
Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai
keinginan sesuai ideal diri ( Keliat, 1998).
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang
negative, dapat secara langsung atau tidak langsung di ekspresikan.
Seseorang yang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang
bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa apa, tidak kompeten, gagal,
malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang dengan
konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan
yang dihadapinya. Akan ada dua pihak yang bisa disalahkannya, entah itu menyalahkan diri
sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain (Rini, J.F, 2002).
Konsep diri terdiri atas komponen-komponen berikut ini :
a.
b.
c.
II.
Etiologi
Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu yang tidak efektif akibat
adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system pendukung kemunduran perkembangan
ego, pengulangan umpan balik yang negatif, difungsi system keluarga serta terfiksasi pada
tahap perkembangan awal (Townsend, M.C. 1998 : 366).
Menurut Carpenito, L.J (1998 : 82) koping individu tidak efektif adalah keadaan dimana
seorang individu mengalami atau beresiko mengalami suatu ketidakmampuan dalam
mengalami stessor internal atau lingkungan dengan adekuat karena ketidakkuatan sumbersumber (fisik, psikologi, perilaku atau kognitif).
Sedangkan menurut Townsend, M.C (1998 : 312) koping individu tidak efektif merupakan
kelainan perilaku adaptif dan kemampuan memecahkan masalah seseorang dalam memenuhi
tuntutan kehidupan dan peran. Adapun Penyebab Gangguan Konsep Diri Harga Diri Rendah,
yaitu :
a.
Factor Presdisposisi
Faktor- faktor yang mempengaruhi harga diri rendah meliputi :
1. Faktor predisposisi gangguan citra tubuh
a.
b. Kurang penghargaan
c.
Pola asuh yang salah : terlalu dilarang, terlalu dikontrol, terlalu dituruti, terlalu
dituntut dan tidak konsisten
f.
a.
Transisi peran yang sering terjadi pada proses perkembangan, perubahan situasi
dan keadaan sehat sakit
Factor Presipitasi
Faktor pencetus terjadinya gangguan konsep diri bisa timbul dari sumber internal maupun
eksternal klien, yaitu :
a.
b. Ketegangan peran, berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dimana
individu mengalaminya sebagai frustasi, ada tiga jenis transisi peran :
c.
Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan
sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan oleh : Kehilangan bagian tubuh. Perubahan
bentuk, ukuran, panampilan, dan fungsi tubuh. Perubahan fisik berhubungan dengan
tumbuh kembang normal. Prosedur medis keperawatan.
III.
Rentang Respon
Rentang Respon
Konsep diri merupakan aspek kritikal dan dasar dari perilaku individu. Individu dengan
konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang terlihat dari kemampuan
interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Konsep diri yang negatif
dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang maladaptif. Rentang respon individu
terhadap konsep dirinya dapat dilihat pada gambar 1.
Respon Adaptif
Aktualisasi diri
Respon Maladaptif
Konsep-diri
Harga diri
positif
rendah
Kerancuan Identitas
Depersonalisasi
Rentang respon konsep diri (Stuart & Sundeen, 1998, hlm. 374 ).
1.
Konsep diri positif merupakan bagaimana seseorang memandang apa yang ada pada
dirinya meliputi citra dirinya, ideal dirinya, harga dirinya, penampilan peran serta
identitas dirinya secara positif. Hal ini akan menunjukkan bahwa individu itu akan
2.
3.
4.
Depersonalisasi merupakan suatu perasaan yang tidak realistis dimana klien tidak dapat
membedakan stimulus dari dalam atau luar dirinya (Stuart & Sundeen, 1998). Individu
mengalami kesulitan untuk membedakan dirinya sendiri dari orang lain, dan tubuhnya
sendiri merasa tidak nyata dan asing baginya.
IV.
Proses terjadinya
Harga diri rendah merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan
menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi
adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun
melakukan kesalahan,kekalahan, dan kegagalan, tetapi merasa sebagai seorang yang penting
dan berharga.
Gangguan harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak orang dan diekspresikan melalui
tingkat kecemasan yang sedang sampai berat.Umumnya disertai oleh evalauasi diri yang
negative membenci diri sendiri dan menolak diri sendiri. Gangguan harga diri atau harga diri
rendah dapat terjadi secara :
a.
Situasional
Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, missal harus dioperasi, kecelakaan, dicerai suami,
putus sekolah, putus hubungan kerja, dll. Pada pasien yang dirawat dapat terjadi harga
diri rendah karena prifasi yang kurang diperhatikan : pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan, harapan akan struktur, bentuk dan
fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/sakit/penyakit, perlakuan petugas yang
tidak menghargai.
b.
Kronik
Yaitu perasaan negative terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu sebelum sakit/dirawat.
Pasien mempunyai cara berpikir yang negative. Kejadian sakit dan dirawat akan
menambah persepsi negative terhadap dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respons yang
maladaptive, kondisi ini dapat ditemukan pada pasien gangguan fisik yang kronis atau
pada pasien gangguan jiwa.
V.
4.
5.
6.
7.
8.
i.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
VI.
Menunda keputusan
Sulit bergaul
Menghindari kesenangan yang dapat meberi rasa puas
Menarik diri dari realitas, cemas, panic, cemburu, curiga, halusinasi
Merusak diri : harga diri rendah menyokong pasien untuk mengakhirinya hidup
Merusak/melukai orang lain
Perasaan tidak mampu
Pandangan hidup yang pesimistis
Tidak menerima pujian
Penurunan produktivitas
Penolakan terhadap kemampuan diri
Kurang memerhatikan perawatan diri
Berpakaian tidak rapih
Berkurang selera makan
Tidak berani menatap lawan bicara
Lebih banyak menunduk
Bicara lambat dengan nada suara lemah.
Mekanisme Koping
Menurut Keliat (1998), mekanisme koping pada klien dengan gangguan konsep diri dibagi
dua yaitu:
a.
b.
akan menurunnya kegairahan dan tidak berarti pada diri sendiri dan orang lain.
Koping jangka panjang
1. Semua koping jangka pendek dapat berkembang menjadi koping jangka panjang.
Penyelesaian positif akan menghasilkan ego identitas dan Keunikan individu.
2. Identitas negatif merupakan rintangan terhadap nilai dan harapan masyarakat. Remaja
mungkin menjadi anti sosial, ini dapat disebabkan karena ia tidak mungkin
mendapatkan identitas yang positif. Mungkin remaja ini mengatakan saya mungkin
lebih baik menjadi anak tidak baik.
3. Individu dengan gangguan konsep diri pada usia lanjut dapat menggunakan egooriented reaction (mekanisme pertahanan diri) yang bervariasi untuk melindungi diri.
Macam mekanisme koping yang sering digunakan adalah : fantasi, disosiasi, isolasi,
proyeksi.
4. Dalam keadaan yang semakin berat dapat terjadi deviasi perilaku dan kegagalan
penyesuaian sebagai berikut: psikosis, neurosis, obesitas, anoreksia, nervosa, bunuh
diri criminal, persetubuhan dengan siapa saja, kenakalan, penganiayaan.
Laporan Pendahuluan
RESIKO PERILAKU KEKERASAN
I.
Definisi
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan
(fitria, 2009).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba
dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun orang lain (Yoseph, 2007).
Menurut Townsend (2000), amuk (aggresion) adalah tingkah laku yang bertujuan untuk
mengancam atau melukai diri sendiri dan orang lain juga diartikan sebagai perang atau
menyerang
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif
II.
Etiologi
Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori
biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam
Purba dkk, 2008) adalah:
a.
Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem
limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan
dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik
merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan
pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku
kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu
membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif.
Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam
teorinya tentang respons terhadap stress.
3)
Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan
genetik karyotype XYY.
4)
Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak
kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus
temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti
ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b.
Teori Psikologik
1)
Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep
diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang
dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku
agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap
rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua
mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise
atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak
memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku
guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan
cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c.
Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap
perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan
sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan
mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan
sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan
(Yosep, 2009):
1.
Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam
sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2.
Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3.
4.
Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai
seorang yang dewasa.
5.
Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan
tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
6.
III.
Rentang Respon
Respon Adaptif
Respon Maladaptif
Asertif
Klien mampu
Frustasi
Klien gagal
Pasif
Klien merasa
Agresif
Klien
Kekerasan
Perasaan marah
mengungkapka
mencapai tujuan
tidak dapat
mengekspresikan
dan bermusuhan
n marah tanpa
kepuasan/saat
mengungkapkan
menyalahkan
perasaannya,
masih terkontrol,
hilang control,
dapat
tidak berdaya
mendorong
disertai amuk,
memberikan
menemukan
dan menyerah
orang lain
merusak
kelegaan
alternatifnya
dengan ancaman
lingkungan
IV.
Observasi, seperti muka merah, pandangn tajam, nada suara tinggi, berdebat, memakskan
kehendak, merampas makanan dari oang lain dan memukul jika tidak senang.
b.
Wawancara, didapatkan data-data penyebab marah dan tanda-tanda marah yang dirasakan
klien.
Verbal
a.
b.
2)
V.
c.
Gangguan berfikir
d.
Non verbal
a.
b.
c.
d.
e.
Penatalaksanaan
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
a.
Medis
Dalam pandangan psikiatri (Ilmu Kedokteran Jiwa), jika seseorang mengalami suatu
gangguan atau penyakit, maka yang sakit atau terganggu itu bukan terbatas pada aspek
jiwanya saja atau raganya saja, tetapi keduanya sebagai kebutuhan manusia itu sendiri .
menurut pandanga holistik, manusia juga tidak terlepas dari lingkungannya, karena itu
pengobatan yang dilakukan juga harus memperlihatkan ketiga aspek tersebut sebagai
suatu kesatuan.
Adapun penalaksanaan medik menurut MIF Baihaqi, dkk, 2005 sebagai berikut :
a. Somatoterapi
Dengan tujuan memberikan pengaruh-pengaruh langsung berkaitan dengan badan,
biasanya dilakukan dengan :
1)
Medikasi psikotropik
Medikasi psikotropik berarti terapi langsung dengan obat psikotropik atau
psikofarma yaitu oabnat-obat yang mempunyai efek terapeutik langsung pada
proses mental pasien karena efek obat tersebut pada otak
2)
3)
mental penderita, mengembankan mekanisme pertahanan diri yang baru dan lebih baik
serta untuk mengembalikan keseimbangan adaptifnya.
c. Manipulasi lingkungan
Manipulasi llingkunagan adalah upaya untuk mempengaruhi lingkungan pasien,
sehingga bisa membantu dalam proses penyembuhannya. Teknis ini terutama diberikan
atau diterapkan kepada lingkungan penderita, khususnya keluarga.
Tujuan utamanya untuk mengembangkan atau merubah / menciptakan situasi baru
yang lebih kondusif terhadap lngkungan. Misalnya dengan mengalihkan penderita
kepada lingkunmgan baru yang dipandang lebih baik dan kondusif, yang mampu
mendukung proses penyembuhan yang dilakukan.
b.
Penatalaksanaan keperawatan
1) Psikoterapeutik
2) Lingkungan terapieutik
3) Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
4) Pendidikan kesehatan
Laporan Pendahuluan
HALUSINASI
I. Definisi
Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau pola stimulus disertai gangguan respon yang
kurang, berlebihan, atau distorsi terhadap stimulus tersebut. (Nanda, 2012)
Halusinasi adalah persepsi yang tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar. Walaupun tampak
sebagai sesuatu yang khayal, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental
penderita yang tersepsi. (Yoseph, 2010)
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan sensori
persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau
penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. (Damaiyanti, 2008)
Stuart & Laria di dalam bukunya mengatakan halusinasi adalah kesalahan persepsi yang
berasal dari lima indra (pendengaran, penglihatan, peraba, pengacap, penghidung. (Nurjanah,
2008;7)
II. Rentang Respon Neurobiologis
Respon Adaptif
Fikiran logis
Persepsi akurat
Emosi konsisten
Dengan pengalaman atau kurang
Perilaku sesuai
Hubungan sosial
Respon Maladaptif
Gangguan fikir/delusi
Halusinasi
Perilaku disorganisasi
Isolasi Sosial
Keterangan
1. Respon Adaptif
a. Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang masih
dapat diterima oleh norma-norma dan budaya yang umum berlaku, dengan kata lain
individu tersebut masih dalam batas-batas normal dalam menyelesaikan masalahnya
b.
c.
(Depkes RI,2000;115)
Pikiran logis ( pikiran yang masuk akal )
Persepsi akurat merupakan persepsi yang mengacu pada identifikasi dan interpretasi
awal dari suatu stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra
d.
2.
e. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran
f.
Hubungan social adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan.
Respon psikososial
a. Pikiran yang menyimpang atau inkoherensia yaitu gangguan dalam bentuk bicara,
sehingga satu kalimatpun sudah sukar ditangkap atau diikuti maksudnya (Maramis,
b.
2000;114)
Ilusi adalah interpretasi atau penilaian yang salah tetang pencerapan yang sungguh
c.
d.
e.
3.
1998;109)
Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran.
Menarik diri atau nengasingkan diri (with-drawn) tidak mau bergaul atau kontak
2000;115)
Delusi adalah keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak
diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realitas sosial (Stuart and Sundeen,
c.
1998;119)
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera
seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasarnya mungkn organic,
d.
e.
III.
c. Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan
masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya
skizofrenia.
d. Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi
yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia
kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi
otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi
2.
(post-mortem).
Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi
psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan
3.
orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan,
konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi
disertai stress.
Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan
yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan
kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1.
Kesehatan
Nutrisi dan tidur kurang, ketidakseimbangan irama sikardian, kelelahan dan infeksi, obatobatan sistem syaraf pusat, kurangnya latihan dan hambatan untuk menjangkau pelayanan
2.
kesehatan.
Lingkungan
Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah tangga, kehilangan kebebasab
hidup dalam melaksanakan pola aktivitas sehari-hari, sukar dala, berhubungan dengan
orang lain,
3.
isolasi
sosial,
kurangnya
dukungan
sosialm
tekanan
kerja, dan
Merasa tidak mampu, putus asam merasa gagal, merasa punya kekuatan berlebihan,
merasa malang, rendahnya kemampuan sosialisasi, ketidakadekuatan pengobatan dan
4.
penanganan gejala
Perilaku
Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, rasa tidak
aman, gelisah, bingung, perilaku merusak, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan, bicara sendiri. Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung
pada jenis halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adannya tanda-tanda dan
perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar
mengetahui jenis halusinasinya saja. Validasi informasi tentang halusinasi yang iperlukan
meliputi :
1.
2.
3.
Isi halusinasi
Menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang dikatakan.
Waktu dan frekuensi
Kapan pengalaman halusianasi munculm berapa kali sehari.
Situasi pencetus halusinasi
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul.
Perawat bisa mengobservasi apa yang dialami klien menjelang munculnya halusinasi
4.
V.
Manifestasi Klinis
Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku dengan
pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri, secara tiba-tiba
marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati
sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang dialaminya (apa yang
dilihat, didengar atau dirasakan). Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan tahapan
halusinasi (Budi Anna Keliat, 1999) :
a.
3.
4.
5.
Cemas
Konsentrasi menurun
Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata
Tahapan Halusinasi
Tahapan halusinasi ada 4 yaitu (Stuart dan Laraia, 2001):
1. Comforting
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas sedang, kesepian, rasa bersalah dan
takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan
ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah
2.
3.
Pada ansietas berat, klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain,
berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam
4.
kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
Consquering
Terjadi pada panik Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon
terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi
klien sangat membahayakan.
VII.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dna ketakutan klien akibat halusinasi,
sebaiknya pada permulaan pendekatan dilakukan secara individual dan usahakan agar
terjadi kontak mata, kalau bisa pasien disentuh atau dipegang. Pasien jangan di isolasi
baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati klien,
bicaralah dengan klien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya klien
diberitahu. Klien diberitahu tindakan yang akan dilakukan. Di ruangan itu hendaknya
disediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk
berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah
dan permainan.
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali klien menolak obat yang diberikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi
yang diterimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus
mengamati agar obat yang diberikan betul ditelannya, serta reaksi obat yang diberikan.
3. Menggali permasalahan klien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah klien
yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang
ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga klien atau orang lain
yang dekat dengan klien.
4. Memberi aktivitas pada klien
Klien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga,
bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan klien ke
kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Klien diajak menyusun
jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga klien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data klien agar ada
kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari
percakapan dengan klien diketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki
yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas.
Perawat menyarankan agar klien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam
permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya diberitahukan pada
keluarga klien dan petugas lain agar tidak membiarkan klien sendirian dan saran yang
diberikan tidak bertentangan.
Farmako:
1. Anti psikotik:
a.
Stelazine
d. Clozapine (Clozaril)
e.
Risperidone (Risperdal)
2. Anti parkinson:
a.
Trihexyphenidile
b. Arthan
Laporan Pendahuluan
RESIKO BUNUH DIRI
I.
Definisi
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti diri
sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan
bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah
dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas
bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang
diinginkan. (Stuart dan Sundeen, 1995. Dikutip Fitria, Nita, 2009)
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yangdapat mengancam
kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena merupakan perilaku untuk
mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri disebabkan karena stress yang tinggi dan
berkepanjangan dimana individu gagal dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan
dalam mengatasi masalah. Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan
untuk beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat terjadi
karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal melakukan hubungan yang berarti, perasaan
marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri sendiri, cara untuk
mengakhiri keputusasaan (Stuart, 2006).
II.
Klasifikasi
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
1.
Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri mungkin
mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih lama lagi
2.
3.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri, meliputi:
1. Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor lingkungan
yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang untuk bunuh diri.
2. Bunuh diri altruistic
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan kehormatan
seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
3. Bunuh diri egoistic
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam diri
seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
III.
Etiologi
1.
Faktor predisposisi
Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang perilaku resiko
bunuh diri meliputi:
a. Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk bunuh diri yaitu gangguan
b.
c.
d.
bunuh diri.
Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko untuk
e.
Rentang respon
Respon Adaptif
Respon Maladaptif
Peningkatan
Beresiko
Destruktif
Pencederaan
Bunuh diri
diri
destruktif
diri
diri
Keterangan :
1. Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara
wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri. Sebagai contoh seseorang
mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda mengenai loyalitas terhadap
2.
3.
optimal.
Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat
(maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri.
Misalnya, karena pandangan pimpinan terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka seorang
4.
karyawan menjadi tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak optimal.
Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan diri
5.
V.
Manifestasi Klinis
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
a.
b.
c.
Impulsif.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis
1. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan terapi elektro konvulsi.
2. Diberikan obat obat terutama anti depresan dan psikoterapi
Penatalaksanaan Keperawatan
1. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan meminta
2.
b.
c.
d.
e.
3.
b.
c.
Laporan Pendahuluan
ISOLASI SOSIAL
A.
Pengertian
Isolasi social adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan
kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu
untuk membuat kontak (Carpenito, 2008).
Isolasi social adalah suatu sikap individu menghindari diri dari interaksi dengan orang
lain. Individu merasa bahwa ia kehilanngan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan
untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan (Yosep, 2009, hlm.229).
Isolasi social adalah keadaan ketika seorang individu mengalami penurunan atau bahkan
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. (Keliat dan Kemat, 2009,
hlm. 93).
B.
Penyebab
1.
a.
Faktor Perkembangan
Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu / pengasuh kepada
bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya.
b.
selalu
mengkritik,
mengkhayalkan,
anak
tidak
diberi
kesempatan
untuk
c.
d.
Faktor biologi
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa, insiden tertinggi
skizofrenia di temukan pada keluarganya yang anggota keluarga menderita skizofrenia.
2.
Faktor Presipitasi
Stresor presipitas terjadi isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor Internal maupun
eksternal meliputi.
a.
b.
Stressor Giokimic
Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta traktus saraf dapat
merupakan indikasi terjadinya skizofrenia
c.
d.
Stressor psikologis
Kecemasan yang tertinggi akan menyebabkan menurunya kemampuan individu untuk
berhubungan dengan orang lain. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk
mengatasi stres. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak
pada fase sinibiotik sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.
1)
Manifestasi Klinis
1.
2.
3.
Klien tampak memisahkan diri dari orang lain misalnya pada saat makan.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari, artinya perawatan diri dan kegiatan rumah tangga seharihari tidak dilakukan.
D.
Akibat
Perilaku isolasi sosial : menarik diri dapat berisiko terjadinya perubahan persepsi sensori
halusinasi (Townsend, M.C, 1998 : 156). Perubahan persepsi sensori halusinasi adalah persepsi
sensori yang salah (misalnya tanpa stimulus eksternal) atau persepsi sensori yang tidak sesuai
dengan realita/kenyataan seperti melihat bayangan atau mendengarkan suara-suara yang
sebenarnya tidak ada (Johnson, B.S, 1995:421). Menurut Maramis (1998:119) halusinasi adalah
pencerapan tanpa adanya rangsang apapun dari panca indera, di mana orang tersebut sadar dan
dalam keadaan terbangun yang dapat disebabkan oleh psikotik, gangguan fungsional, organik
atau histerik.
E.
Penatalaksanaan
1.
Farmakoterapi
2.
3.
Terapi psikologi
4.
Terapi social
5.
a)
b)
Pemeriksaan psikologi
c)
Pemeriksaan kimia rutin, skrinning, roksikologi, VDRL dan uji fungsi tiroid
d)