Anda di halaman 1dari 42

Laporan Pendahuluan

WAHAM

I.

Definisi
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-menerus, tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006)
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah.
Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien
(Aziz R, 2003).
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi di pertahankan dan
tidak dapat di ubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien
yang sudah kehilangan control (Depkes RI,2000)

II.

Jenis-jenis Waham
1. Waham Kebesaran
Suatu kenyataan palsu dimana seorang memperluas atau memperbesar kepentingan
dirinya, baik kualitas tindakan/kejadian/orang disekelilingnya, dalam bentuk tidak
realistik. Waham ini timbul akibat perasaan yang tidak wajar, tidak aman dan rasa rendah
diri yang secara sadar dihalangi oleh komponen ideal dan efektif dari waham itu sendiri.
Isi dari waham kebesaran sering menunjukkan kekecewaan, kegagalan, dan perasaan
2.

tidak aman.
Waham Berdosa
Timbul perasaan bersalah yang luar biasa dan merasakan suatu dosa yang besar. Penderita

3.

percaya sudah selayaknya ia di hukum berat.


Waham Curiga
Individu merasa selalu disindir oleh orang-orang sekitarnya. Individu curiga terhadap
sekitarnya. Biasanya individu yang mempunyai waham ini mencari-cari hubungan antara
dirinya dengan orang lain di sekitarnya, yang bermaksud menyindirnya atau menuduh
hal-hal yang tidak senonoh terhadap dirinya. Dalam bentuk yang lebih ringan, kita kenal
Ideas of reference yaitu ide atau perasaan bahwa peristiwa tertentu dan perbuatanperbuatan tertentu dari orang lain (senyuman, gerak-gerik tangan, nyanyian dan

4.

sebagainya) mempunyai hubungan dengan dirinya.


Waham Somatik atau Hipokondria

Keyakinan tentang berbagai penyakit yang berada dalam tubuhnya seperti ususnya yang
5.
6.

membusuk, otak yang mencair.


Waham Keagamaan
Waham yang keyakinan dan pembicaraan selalu tentang agama.
Waham Nihilistik
Keyakinan bahwa dunia ini sudah hancur atau dirinya sendiri sudah meninggal.

7. Waham sisip pikir :


Klien yakin bahwa ad aide atau pikiran orang lain yang disisipkan kedalam pikirannya,
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.
8. Waham siar pikir :
Klien yakin orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan walaupun tidak dinyatakannya
kepada orang tersebut , diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.
III.

Rentang Respon Neurobiology


Respon neurobiologis merupakan berbagai respon perilaku klien yang terkait dengan fungsi
otak. Gangguan neurobiologist ditandai dengan gangguan sensori persepsi : halusinasi dan
gangguan proses pikir : waham atau umumnya dikenal dengan penyakit psikotik.
Psikodinamika
Gangguan respon neurobiologis atau respon neurobilogis yang maladaptif terjadi karena
adanya :
1. Lesi pada area frontal, temporal dan limbic sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan
pada otak dalam memproses informasi.
2. Ketidak mampuan otak untuk menyeleksi stimulus.
3. Ketidak seimbangan antara dopamin dan neurotransmitter lainnya.

Respon Adaptif

- Fikiran logis

Respon Maladaptif

-Distorsi fikiran

-Gangguan proses fikir

- Persepsi akurat

-Ilusi

-Waham

- Emosi konsisten

-Reaksi emosi berlebihan

-Perilaku disorganisasi

Dengan pengalamn

atau kurang

- Perilaku sesuai

-Perilaku sesuai

-Isolasi sosial

- Berhubungan sosial

-Menarik diri

-Sulit berespon emosi

Respon neurobiologis individu dapat diidentifikasi sepanjang rentang respon adaptif sampai
dengan respon maladaptif.
Dalam tatanan keperawatan jiwa, respon neurobiologis yang sering muncul adalah gangguan
isi pikir : waham. Pada bab ini akan dibahas secara khusus mengenai waham.
Gangguan isi pikir merupakan ketidak mampuan individu memproses stimulus internal dan
eksternal secara akurat. Gangguan ini diidentifikasi dengan adanya waham, yaitu keyakinan
individu yang tidak dapat divalidasi atau dibuktikan dengan realitas (Haber, 1982). Keyakinan
individu tersebut tidak sesuai dengan tingkat intelektual dan latar belakang budayanya
(Rawlin, 1993) dan tidak dapat digoyahkan atau diubah denagn alas an yang logis (Cook &
Fontaine, 1987) serta keyakinan tersebut diucapkannya berulang kali.
IV.

Proses Terjadi Waham


Menurut (Iyus Yosep, 2014) proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara fisik maupun
psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang dengan status
sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan menderita.
Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan
kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi
kesenjangan antara Reality dengan selft ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana
tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang dianggap sangat cerdas, sangat
berpengalaman dn diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi karena sangat
pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh
rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang ( life span history ).
2. Fase lack of self esteem

Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self
ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan yang
tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi komunikasi
yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap
memasang self ideal yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat
jauh.

Dari

aspek

pendidikan

klien,

materi,

pengalaman,

pengaruh,support

system semuanya sangat rendah.


3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia katakan
adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi
menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya
untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi
prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara
optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang
dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena
besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi
pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan
klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan
klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan
tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai
terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma ( Super Ego ) yang
ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap bahwa
semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering
disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih
sering menyendiri dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi sosial ).
6. Fase improving

Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan yang
salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan dengan
traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi ( rantai yang hilang ).
Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan
ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan
cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan
menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
V.

Etiologi
Faktor presdisposisi
1.

Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan menggangu hubungan interpersonal seseorang. Hal ini
dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakir dengan gangguan presepsi, klien
menekankan perasaan nya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif

2.

Faktor sosial budaya


Seseorang yang merasa di asingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbul nya waham

3.

Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda bertentangan dapat menimbulkan ansietas
dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan

4.

Faktor biologis
Waham di yakini terjadi karena ada nya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak atau
perubahan pada sel kortikal dan lindik

5.

Faktor genetic

Faktor presipitasi
1.

Faktor sosial budaya


Waham dapat di picu karena ada nya perpisahan dengan orang yang berarti atau di
asingkan dari kelompok.

2.

Faktor biokimia
Dopamin, norepinepin, dan zat halusinogen lain nya di duga dapat menjadi penyebab
waham pada seseorang

3.

Faktor psikologis\
Kecemasan yang memanjang dan terbatasan nya kemampuan untuk mengatasi masalah
sehingga

klien

mengembangkan

koping

untuk

menyenagkan.
VI.

Tanda dan Gejala


Kognitif :
a.

Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata

b. Individu sangat percaya pada keyakinannya


c.

Sulit berfikir realita

d. Tidak mampu mengambil keputusan


Afektif
a.

Situasi tidak sesuai dengan kenyataan

b. Afek tumpul
Perilaku dan Hubungan Sosial
a.

Hipersensitif

b. Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal


c.

Depresi

d. Ragu-ragu
e.

Mengancam secara verbal

f.

Aktifitas tidak tepat

g. Streotif
h. Impulsive
i.

Curiga

Fisik
a.

Higiene kurang

b. Muka pucat
c.

Sering menguap

d. BB menurun

menghindari

kenyataan

yang

VII.

Penatalaksanaan
1.

Psikofarmakologi

2.

Pasien hiperaktif / agitasi anti psikotik low potensial

3.

penarikan diri high potensial

4.

ECT tipe katatonik

5.

Psikoterapi

6.

Perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga, terapi supportif

Laporan Pendahuluan
DEFISIT PERAWATAN DIRI
I.

Definisi
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri
(mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).

Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya
guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi
kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan
perawatan diri ( Depkes 2000).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara
kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, kurang perawatan
diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan untuk
dirinya (Tarwoto dan Wartonah 2000).
II.

Klasifikasi
1. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas
2.

mandi/kebersihan diri.
Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias.
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan memakai

3.

pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.


Kurang perawatan diri : Makan
Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk menunjukkan

4.

aktivitas makan.
Kurang perawatan diri : Toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjannah : 2004, 79 ).

III.

Etiologi
Menurut Tarwoto dan Wartonah, Penyebab kurang perawatan diri adalah sebagai berikut :
a.

Kelelahan fisik

b.

Penurunan kesadaran.

Menurut Depkes (2000: 20), penyebab kurang perawatan diri adalah:


a.

Faktor prediposisi
1.

Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif

2.

terganggu.
Biologis

3.

Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
Kemampuan realitas turun

Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan
4.

ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.


Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi
lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.

b.

Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami individu
sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000: 59) Faktor faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:
1)

Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya
dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan
dirinya.

2)

Praktik Sosial
Pada anakanak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan
terjadi perubahan pola personal hygiene

3)

Status Sosial Ekonomi


Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,
shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.

4)

Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat
meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus
menjaga kebersihan kakinya.

5)

Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.

6)

Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri
seperti penggunaan sabun, sampo dan lainlain

7)

Kondisi fisik atau psikis

Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu
bantuan untuk melakukannya.
Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene antara lain sebagai berikut :
1)

Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya
kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering terjadi adalah :
Gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan
telinga dan gangguan fisik pada kuku.

2)

Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan
kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri,
aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.

c.

Penilaian terhadap stress


Pada umumnya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa tidak aman
dalam berhubungan dengan oranglain. Biasanya klien berasal dari lingkungan yang penuh
permasalahan,ketegangan,

kecemasan

dimana

tidak

mungkin

mengembangkan

kehangatan emosional dalam hubungan yang positif dengan oranglain yang menimbulkan
rasa aman. Klien semakin tidak dapat melibatkan diri dalam situasi baru. Ia berusaha
mendapatkan rasa aman tetapi hidup itu sendiri begitu menyakitkan dan menyulitkan
sehingga rasa aman itu tidak tercapai. Hal ini menyebabkan ia mengembangkan
rasionalisasi dan mengaburkan realitas daripada mencari penyebab kesulitan serta
menyesuaikan diri dengan kenyataan. Keadaan dimana seorang individu mengalami atau
beresiko mengalamai suatu ketidakmampuan dalam menangani stressor internal atau
lingkungan dengan adekuat karena ketidakadekuatan sumber-sumber (fisik,psikologis,
perilaku atau kognitif).
IV.

Tanda dan Gejala


Adapun tanda dan gejala dari defisit perawatan diri antara lain sebagai berikut :
a.

Mandi/ Hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh atau
mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan
perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh serta masuk dan keluar mandi

b.

Berpakaian/ berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan pakaian,
menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian. Klien juga memiliki
ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam , memilih pakaian, menggunakan alat
tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian, menggunakan kaos kaki,
mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan, mengambil pakaian dan
mengenakan sepatu.

c.

Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,mempersiapkan makanan,
menangani perkakas, mengunyah makanan,menggunakan alat tambahan, mendapatkan
makanan, membuka container, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan
dari wadah lalu memasukkannya ke mulut,melengkapi makanan, mencerna makanan
menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas serta mencerna
cukup makanan dengan aman

d.

BAB/ BAK ( Toileting )


Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau
kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban. Memanipulasi pakaian untuk toileting,
membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat dan menyiram toilet atau kamar kecil.
Keterbatasan perawatan diri diatas biasanya diakibatkan karena stressor yang cukup berat
dan sulit ditangani oleh klien ( klien bias mngurus atau merawat dirinya sendiri baik
dalam hal mandi,berpakaian, berhias , makan, maupun BAB dan BAK. Bila tidak
dilakukan intervensi oleh perawat, maka kemungkinan klien bias mengalami masalah
risiko tinggi isolasi sosial.

V.

Penatalaksanaan
1.

Perawatan dini hari. Merupakan perawatan yang dilakukan pada waktu bangun tidur
untuk melakukan tindakan seperti perapian dalam pengambilan bahan pemeriksaan
(Urine/Feses), memberikan pertolongan, mempersiapkan pasien dalam melakukan makan
pagi dengan melakukan tindakan perawatan diri, seperti mencuci muka, tangan, dan
menjaga kebersihan mulut

2.

Perawatan pagi hari. Perawatan yang dilakukan setelah makan pagi dengan melakukan
perawatan diri seperti melakukan pertolongan dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi,
mandi atau mencuci rambut, melakukan pijatan punggung, membersihkan mulut, kuku
dan rambut, serta merapikan tempat tidur

3.

Perawatan siang hari. Perawatan yang dilakukan setelah melakukan berbagai tindakan
pengobatan atau pemeriksaan dan setelah makan siang. Berbagai tindakan perawatan diri
yang dapat dilakukan antara lain mencuci muka dan tangan, membersihkan mulut,
merapika tempat tidur dan melakukan pemeliharaan kebersihan lingkungan kesehatan
klien

4.

Perawatan menjelang tidur. Perwatan diri yang dilakukan pada saat menjelang tidur agar
klien beristrirahat dengan tenang. Berbagai kegiatan yang dapat dilakukan antara lain
pemenuhan kebutuhan eliminasi, mencuci tangan dan muka, membersihkan mulut dan
memijat daerah punggung.

Laporan Pendahuluan
HARGA DIRI RENDAH
I.

Definisi
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negative terhadap diri sendiri atau kemampuan diri.
Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai
keinginan sesuai ideal diri ( Keliat, 1998).
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang
negative, dapat secara langsung atau tidak langsung di ekspresikan.
Seseorang yang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang
bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa apa, tidak kompeten, gagal,
malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang dengan

konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan
yang dihadapinya. Akan ada dua pihak yang bisa disalahkannya, entah itu menyalahkan diri
sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain (Rini, J.F, 2002).
Konsep diri terdiri atas komponen-komponen berikut ini :
a.

Citra tubuh (Body Image)


Citra tubuh (Body Image) adalah kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak
disadari terhadap tubuhnya. Termasuk persepsi masa lalu dan sekarang, serta perasaan
tentang ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi. Yang secara berkesinambungan
dimodifikasi dengan persepsi dan pengalaman yang baru (Stuart & Sundeen, 1998).

b.

Ideal Diri (Self Ideal)


Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan
standar, aspirasi, tujuan atau nilai personal tertentu (Stuart & Sundeen, 1998). Sering juga
disebut bahwa ideal diri sama dengan cita cita, keinginan, harapan tentang diri sendiri.

c.

Identitas Diri (Self Identifity)


Identitas adalah pengorganisasian prinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab
terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi, dan keunikkan individu (Stuart &
Sundeen, 1998). Pembentukan identitas dimulai pada masa bayi dan terus berlangsung
sepanjang kehidupan tapi merupakan tugas utama pada masa remaja

d. Peran Diri (Self Role)


Serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan
fungsi individu di berbagai kelompok sosial.Peran yang diterapkan adalah peran dimana
seseorang tidak mempunyai pilihan. Peran yang diterima adalah peran yang terpilih atau
dipilih oleh individu (Stuart & Sundeen, 1998).
e.

Harga Diri (Self Esteem)


Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan
menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga diri yang
tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri tanpa syarat, walaupun
melakukan kesalahan, kekalahan, tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga
(Stuart & Sundeen, 1998).

II.

Etiologi

Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu yang tidak efektif akibat
adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system pendukung kemunduran perkembangan
ego, pengulangan umpan balik yang negatif, difungsi system keluarga serta terfiksasi pada
tahap perkembangan awal (Townsend, M.C. 1998 : 366).
Menurut Carpenito, L.J (1998 : 82) koping individu tidak efektif adalah keadaan dimana
seorang individu mengalami atau beresiko mengalami suatu ketidakmampuan dalam
mengalami stessor internal atau lingkungan dengan adekuat karena ketidakkuatan sumbersumber (fisik, psikologi, perilaku atau kognitif).
Sedangkan menurut Townsend, M.C (1998 : 312) koping individu tidak efektif merupakan
kelainan perilaku adaptif dan kemampuan memecahkan masalah seseorang dalam memenuhi
tuntutan kehidupan dan peran. Adapun Penyebab Gangguan Konsep Diri Harga Diri Rendah,
yaitu :
a.

Factor Presdisposisi
Faktor- faktor yang mempengaruhi harga diri rendah meliputi :
1. Faktor predisposisi gangguan citra tubuh
a.

Kehilangan atau kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi)

b. Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh (akibat pertumbuhan dan


perkembangan atau penyakit)
c.

Proses patologik penyakit dan dampaknya terhadap struktur maupun fungsi


tubuh

d. Prosedur pengobatan seperti radiasi, kemoterpi, transplantasi


2. Faktor predisposisi gangguan harga diri
a.

Penolakan dari orang lain

b. Kurang penghargaan
c.

Pola asuh yang salah : terlalu dilarang, terlalu dikontrol, terlalu dituruti, terlalu
dituntut dan tidak konsisten

d. Persaingan antar saudara


e.

Kesalahan dan kegagalan yang berulang

f.

Tidak mampu mencapai standar yang ditentukan

3. Faktor predisposisi gangguan peran

a.

Transisi peran yang sering terjadi pada proses perkembangan, perubahan situasi
dan keadaan sehat sakit

b. Ketegangan peran, ketika individu menghadapi dua harapan yang bertentangan


secara terus menerus yang tidak terpenuhi
c.

Keraguan peran, ketika individu kurang pengetahuannya tentang harapan peran


yang spesifik dan bingung tentang tingkah laku peran yang sesuai

d. Peran yang terlalu banyak


4. Faktor predisposisi gangguan identitas diri
a.

Ketidak percayaan orang tua pada anak

b. Tekanan dari teman sebaya


c.
b.

Perubahan dari struktur sosial

Factor Presipitasi
Faktor pencetus terjadinya gangguan konsep diri bisa timbul dari sumber internal maupun
eksternal klien, yaitu :
a.

Trauma, seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan kejadian


yang mengancam kehidupannya.

b. Ketegangan peran, berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dimana
individu mengalaminya sebagai frustasi, ada tiga jenis transisi peran :
c.

Transisi peran perkembangan adalah perubahan normative yang berkaitan dengan


pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan dalam kehidupan
individu atau keluarga dan norma-norma budaya, nilai-nilai dan tekanan penyesuaian
diri.

d. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambahnya atau berkurangnya anggota


keluarga melalui kelahiran atau kematian.
e.

Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan
sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan oleh : Kehilangan bagian tubuh. Perubahan
bentuk, ukuran, panampilan, dan fungsi tubuh. Perubahan fisik berhubungan dengan
tumbuh kembang normal. Prosedur medis keperawatan.

III.

Rentang Respon

Rentang Respon
Konsep diri merupakan aspek kritikal dan dasar dari perilaku individu. Individu dengan
konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang terlihat dari kemampuan
interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Konsep diri yang negatif
dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang maladaptif. Rentang respon individu
terhadap konsep dirinya dapat dilihat pada gambar 1.

Respon Adaptif
Aktualisasi diri

Respon Maladaptif
Konsep-diri

Harga diri

positif

rendah

Kerancuan Identitas

Depersonalisasi

Rentang respon konsep diri (Stuart & Sundeen, 1998, hlm. 374 ).
1.

Konsep diri positif merupakan bagaimana seseorang memandang apa yang ada pada
dirinya meliputi citra dirinya, ideal dirinya, harga dirinya, penampilan peran serta
identitas dirinya secara positif. Hal ini akan menunjukkan bahwa individu itu akan

2.

menjadi individu yang sukses.


Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap dirinya sendiri, termasuk
kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, pesimis, tidak ada harapan dan
putus asa. Adapun perilaku yang berhubungan dengan harga diri yang rendah yaitu
mengkritik diri sendiri dan/ atau orang lain, penurunan produktivitas, destruktif yang
diarahkan kepada orang lain, gangguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa
bersalah, perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri, keluhan fisik, menarik diri secara

3.

sosial, khawatir, serta menarik diri dari realitas.


Kerancuan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk mengintegrasikan
berbagai identifikasi masa kanak kanak ke dalam kepribadian psikososial dewasa yang
harmonis. Adapun perilaku yang berhubungan dengan kerancuan identitas yaitu tidak ada
kode moral, sifat kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal eksploitatif,
perasaan hampa. Perasaan mengambang tentang diri sendiri, tingkat ansietas yang tinggi,
ketidak mampuan untuk empati terhadap orang lain.

4.

Depersonalisasi merupakan suatu perasaan yang tidak realistis dimana klien tidak dapat
membedakan stimulus dari dalam atau luar dirinya (Stuart & Sundeen, 1998). Individu
mengalami kesulitan untuk membedakan dirinya sendiri dari orang lain, dan tubuhnya
sendiri merasa tidak nyata dan asing baginya.

IV.

Proses terjadinya
Harga diri rendah merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan
menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi
adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun
melakukan kesalahan,kekalahan, dan kegagalan, tetapi merasa sebagai seorang yang penting
dan berharga.
Gangguan harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak orang dan diekspresikan melalui
tingkat kecemasan yang sedang sampai berat.Umumnya disertai oleh evalauasi diri yang
negative membenci diri sendiri dan menolak diri sendiri. Gangguan harga diri atau harga diri
rendah dapat terjadi secara :
a.

Situasional
Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, missal harus dioperasi, kecelakaan, dicerai suami,
putus sekolah, putus hubungan kerja, dll. Pada pasien yang dirawat dapat terjadi harga
diri rendah karena prifasi yang kurang diperhatikan : pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan, harapan akan struktur, bentuk dan
fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/sakit/penyakit, perlakuan petugas yang
tidak menghargai.

b.

Kronik
Yaitu perasaan negative terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu sebelum sakit/dirawat.
Pasien mempunyai cara berpikir yang negative. Kejadian sakit dan dirawat akan
menambah persepsi negative terhadap dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respons yang
maladaptive, kondisi ini dapat ditemukan pada pasien gangguan fisik yang kronis atau
pada pasien gangguan jiwa.

V.

Tanda dan gejala


1. Mengejek dan mengkritik diri
2. Merasa bersalah dan khawatir, menghukum dan menolak diri sendiri
3. Mengalami gejala fisik, missal : tekanan darah tinggi

4.
5.
6.
7.
8.
i.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
VI.

Menunda keputusan
Sulit bergaul
Menghindari kesenangan yang dapat meberi rasa puas
Menarik diri dari realitas, cemas, panic, cemburu, curiga, halusinasi
Merusak diri : harga diri rendah menyokong pasien untuk mengakhirinya hidup
Merusak/melukai orang lain
Perasaan tidak mampu
Pandangan hidup yang pesimistis
Tidak menerima pujian
Penurunan produktivitas
Penolakan terhadap kemampuan diri
Kurang memerhatikan perawatan diri
Berpakaian tidak rapih
Berkurang selera makan
Tidak berani menatap lawan bicara
Lebih banyak menunduk
Bicara lambat dengan nada suara lemah.

Mekanisme Koping
Menurut Keliat (1998), mekanisme koping pada klien dengan gangguan konsep diri dibagi
dua yaitu:
a.

Koping jangka pendek


1. Aktivitas yang memberikan kesempatan lari sementara dari krisis, misalnya :
pemakaian obat, ikut musik rok, balap motor, olah raga berat dan obsesi nonton
televisi.
2. Aktivitas yang memberi kesempatan mengganti identitas, misalnya: ikut kelompok
tertentu untuk mendapat identitas yang sudah dimiliki kelompok, memiliki kelompok
tertentu, atau pengikut kelompok tertentu.
3. Aktivitas yang memberi kekuatan atau dukungan sementara terhadap konsep diri atau
identitas diri yang kabur, misalnya: aktivitas yang kompetitif, olah raga, prestasi
akademik, kelompok anak muda.
4. Aktivitas yang memberi arti dari kehidupan, misalnya: penjelasan tentang keisengan

b.

akan menurunnya kegairahan dan tidak berarti pada diri sendiri dan orang lain.
Koping jangka panjang
1. Semua koping jangka pendek dapat berkembang menjadi koping jangka panjang.
Penyelesaian positif akan menghasilkan ego identitas dan Keunikan individu.
2. Identitas negatif merupakan rintangan terhadap nilai dan harapan masyarakat. Remaja
mungkin menjadi anti sosial, ini dapat disebabkan karena ia tidak mungkin

mendapatkan identitas yang positif. Mungkin remaja ini mengatakan saya mungkin
lebih baik menjadi anak tidak baik.
3. Individu dengan gangguan konsep diri pada usia lanjut dapat menggunakan egooriented reaction (mekanisme pertahanan diri) yang bervariasi untuk melindungi diri.
Macam mekanisme koping yang sering digunakan adalah : fantasi, disosiasi, isolasi,
proyeksi.
4. Dalam keadaan yang semakin berat dapat terjadi deviasi perilaku dan kegagalan
penyesuaian sebagai berikut: psikosis, neurosis, obesitas, anoreksia, nervosa, bunuh
diri criminal, persetubuhan dengan siapa saja, kenakalan, penganiayaan.

Laporan Pendahuluan
RESIKO PERILAKU KEKERASAN

I.

Definisi
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan
(fitria, 2009).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba
dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun orang lain (Yoseph, 2007).
Menurut Townsend (2000), amuk (aggresion) adalah tingkah laku yang bertujuan untuk
mengancam atau melukai diri sendiri dan orang lain juga diartikan sebagai perang atau
menyerang
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif

II.

Etiologi
Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori
biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam
Purba dkk, 2008) adalah:
a.

Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem
limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan
dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik
merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan
pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku
kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu

membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif.
Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam
teorinya tentang respons terhadap stress.
3)

Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan
genetik karyotype XYY.

4)

Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak
kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus
temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti
ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.

b.

Teori Psikologik
1)

Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep
diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang
dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku
agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap
rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.

2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua
mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise
atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak
memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.

Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku
guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan
cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c.

Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap
perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan
sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan
mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan
sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.

Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan
(Yosep, 2009):
1.

Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam
sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.

2.

Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.

3.

Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan


dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan
konflik.

4.

Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai
seorang yang dewasa.

5.

Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan
tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.

6.
III.

Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap

Rentang Respon
Respon Adaptif

Respon Maladaptif

Asertif
Klien mampu

Frustasi
Klien gagal

Pasif
Klien merasa

Agresif
Klien

Kekerasan
Perasaan marah

mengungkapka

mencapai tujuan

tidak dapat

mengekspresikan

dan bermusuhan

n marah tanpa

kepuasan/saat

mengungkapkan

secara fisik, tapi

yang kuat dan

menyalahkan

marah dana tidak

perasaannya,

masih terkontrol,

hilang control,

orang lain dan

dapat

tidak berdaya

mendorong

disertai amuk,

memberikan

menemukan

dan menyerah

orang lain

merusak

kelegaan

alternatifnya

dengan ancaman

lingkungan

IV.

Tanda dan gejala


Didapatkan melalui observasi dan wawancara
a.

Observasi, seperti muka merah, pandangn tajam, nada suara tinggi, berdebat, memakskan
kehendak, merampas makanan dari oang lain dan memukul jika tidak senang.

b.

Wawancara, didapatkan data-data penyebab marah dan tanda-tanda marah yang dirasakan
klien.

Tanda dan gejala verbal dan non verbal


1)

Verbal
a.

Berargumentasi dan berteriak

b.

Banyak menuntut, mengeluh dan mengekspresikan tujuan ke orang lain dengan


mengancam.

2)

V.

c.

Gangguan berfikir

d.

Disorientasi terhadap waktu, tempat dan orang.

Non verbal
a.

Aktivitas motorik meningkat.

b.

Postur mengaku sambil mengencangkan kepalan tangan dan rahang.

c.

Ekspresi wajah marah.

d.

Mengurangi kontak mata, exstement.

e.

Diam yang ekstrim.

Penatalaksanaan

Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
a.

Medis
Dalam pandangan psikiatri (Ilmu Kedokteran Jiwa), jika seseorang mengalami suatu
gangguan atau penyakit, maka yang sakit atau terganggu itu bukan terbatas pada aspek
jiwanya saja atau raganya saja, tetapi keduanya sebagai kebutuhan manusia itu sendiri .
menurut pandanga holistik, manusia juga tidak terlepas dari lingkungannya, karena itu
pengobatan yang dilakukan juga harus memperlihatkan ketiga aspek tersebut sebagai
suatu kesatuan.
Adapun penalaksanaan medik menurut MIF Baihaqi, dkk, 2005 sebagai berikut :
a. Somatoterapi
Dengan tujuan memberikan pengaruh-pengaruh langsung berkaitan dengan badan,
biasanya dilakukan dengan :
1)

Medikasi psikotropik
Medikasi psikotropik berarti terapi langsung dengan obat psikotropik atau
psikofarma yaitu oabnat-obat yang mempunyai efek terapeutik langsung pada
proses mental pasien karena efek obat tersebut pada otak

2)

Terapi Elektrokonvulsi (ECT)


Terapi ini dilakukan dengan cara mengalirkan listrik sinusoid ke tubuh
penderita menerima aliran listrik yang terputus-putus.

3)

Somatoterapi yang lain


a)

Terapi konvulsi kardiasol, dengan menyuntikkan larutan kardiazol 10%


sehingga timbul konvulsi

b) Terapi koma insulin, dengan menyuntikkan insulin sehingga pasien menjadi


koma, kemusian dibiarkan 1-2 jam, kemudian dibangunkan dengan
suntikan gluk
b. Psikoterapi
Psikoterapi adalah salah satu pengobatan atau penyembuhan terhadap suatu gangguan
atau penyakit, yang pada umumnya dilakukan melalui wawancara terapi atau melalui
metode-metode tertentu misalnya : relaksasi, bermain dan sebagainya. Dapat dilakukan
secara individu atau kelompok, tujuan utamanya adalah untuk menguatkan daya tahan

mental penderita, mengembankan mekanisme pertahanan diri yang baru dan lebih baik
serta untuk mengembalikan keseimbangan adaptifnya.
c. Manipulasi lingkungan
Manipulasi llingkunagan adalah upaya untuk mempengaruhi lingkungan pasien,
sehingga bisa membantu dalam proses penyembuhannya. Teknis ini terutama diberikan
atau diterapkan kepada lingkungan penderita, khususnya keluarga.
Tujuan utamanya untuk mengembangkan atau merubah / menciptakan situasi baru
yang lebih kondusif terhadap lngkungan. Misalnya dengan mengalihkan penderita
kepada lingkunmgan baru yang dipandang lebih baik dan kondusif, yang mampu
mendukung proses penyembuhan yang dilakukan.
b.

Penatalaksanaan keperawatan
1) Psikoterapeutik
2) Lingkungan terapieutik
3) Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
4) Pendidikan kesehatan

Laporan Pendahuluan
HALUSINASI

I. Definisi
Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau pola stimulus disertai gangguan respon yang
kurang, berlebihan, atau distorsi terhadap stimulus tersebut. (Nanda, 2012)
Halusinasi adalah persepsi yang tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar. Walaupun tampak
sebagai sesuatu yang khayal, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental
penderita yang tersepsi. (Yoseph, 2010)
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan sensori
persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau
penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. (Damaiyanti, 2008)
Stuart & Laria di dalam bukunya mengatakan halusinasi adalah kesalahan persepsi yang
berasal dari lima indra (pendengaran, penglihatan, peraba, pengacap, penghidung. (Nurjanah,
2008;7)
II. Rentang Respon Neurobiologis

Respon Adaptif
Fikiran logis
Persepsi akurat
Emosi konsisten
Dengan pengalaman atau kurang
Perilaku sesuai
Hubungan sosial

Distorsi fikiran (fikiran kotor)


ilusi
reaksi emosi berlebihan
Perilaku aneh dan tidak biasa
Menarik diri

Respon Maladaptif
Gangguan fikir/delusi
Halusinasi
Perilaku disorganisasi
Isolasi Sosial

Keterangan
1. Respon Adaptif
a. Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang masih
dapat diterima oleh norma-norma dan budaya yang umum berlaku, dengan kata lain
individu tersebut masih dalam batas-batas normal dalam menyelesaikan masalahnya
b.
c.

(Depkes RI,2000;115)
Pikiran logis ( pikiran yang masuk akal )
Persepsi akurat merupakan persepsi yang mengacu pada identifikasi dan interpretasi
awal dari suatu stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra

d.

(Stuart and Sundeen, 1998;302)


Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu emosi yang digambarkan dengan istilah
mood dan afek. Mood adalah suasana emosi, sedangkan afek mengaju kepada ekspresi
emosi yang dapat diamati dari ekspresi wajah, gerakan tangan, tubuh dan suara ketika
individu menceritakan perasaannya (Depkes RI, 2000;135)

2.

e. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran
f.
Hubungan social adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan.
Respon psikososial
a. Pikiran yang menyimpang atau inkoherensia yaitu gangguan dalam bentuk bicara,
sehingga satu kalimatpun sudah sukar ditangkap atau diikuti maksudnya (Maramis,
b.

2000;114)
Ilusi adalah interpretasi atau penilaian yang salah tetang pencerapan yang sungguh

c.

terjadi, karena rangsang panca indera (Maramis, 1998;120)


Reaksi emosional berlebih atau kurang yaitu afek dan emosi yang tidak wajar
dalam situasi tertentu (terganggu secara kwalitatif), umpamanya ketawa terkikih
saat wawancara, bila ekstrim akan menjadi inadequate yaitu afek dan emosi
yang bertentangan dengan keadaan atau isi fikir dengan isi bicara (Maramis,

d.
e.
3.

1998;109)
Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran.
Menarik diri atau nengasingkan diri (with-drawn) tidak mau bergaul atau kontak

dengan orang lain, suka melamun (day dreaming) (Hawari 2001;45)


Respon Maladaptif
a. Resspon Maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial dan budaya lingkungannya (Depkes RI,
b.

2000;115)
Delusi adalah keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak
diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realitas sosial (Stuart and Sundeen,

c.

1998;119)
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera
seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasarnya mungkn organic,

d.

fungsional, psikotik, ataupun histerik (Maramis, 1998;119)


Ketidakmampuan mengalami emosi yaitu ketidakmampuan individu terhadap

e.

penyelesaian masalah secara adaptif (Depkes RI, 2000)


Isolasi sosial adalah keadaan orang yang tidak dapat bergaul dengan masyarakat
umum, karena kecelakaan atau bencana, karena sengaja dibuat untuk maksud

III.

tertentu (Eksperiment, menyepi, cuci otak) (Maramis, 1998;743)


Jenis-jenis halusinasi
Menurut (Menurut Stuart, 2007), jenis halusinasi antara lain :
1. Halusinasi pendengaran (auditorik)
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara suara orang, biasanya
klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya
dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

2. Halusinasi penglihatan (Visual)


Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya,
gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks.
Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan seperti :
darah, urine atau feses. Kadang kadang terhidu bau harum. Biasanya berhubungan
dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
4. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang
terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan,
merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
6. Halusinasi Kinesthetic
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota badannya
bergerak-gerak. Misalnya phantom phenomenom atau tungkai yang diamputasi selalu
bergerak-gerak (phantom limb). Sering pada skizofrenia dalam keadaan toksik tertentu
akibat pemakaian obat tertentu.
7. Halusinasi Viseral
Timbulnya perasaan tertentu didalam tubuhnya
a. Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya sudah tidak
biasanya lago serta tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Sering pada skizofrenia
dan sindrom lobus parietalis. Misalnya sering merasa dirinya terpecah dua.
b. Derealisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya yang tidak sesuai
dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala sesuatu yang dialaminya dalam impian.
IV. Etiologi
Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
1. Biologis
a. Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitianpenelitian yang berikut:
b. Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas
dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik
berhubungan dengan perilaku psikotik

c. Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan
masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya
skizofrenia.
d. Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi
yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia
kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi
otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi
2.

(post-mortem).
Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi
psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan

3.

orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan,
konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi
disertai stress.

Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan
yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan
kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1.

Kesehatan
Nutrisi dan tidur kurang, ketidakseimbangan irama sikardian, kelelahan dan infeksi, obatobatan sistem syaraf pusat, kurangnya latihan dan hambatan untuk menjangkau pelayanan

2.

kesehatan.
Lingkungan
Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah tangga, kehilangan kebebasab
hidup dalam melaksanakan pola aktivitas sehari-hari, sukar dala, berhubungan dengan
orang lain,

3.

isolasi

sosial,

kurangnya

ketidakmampuan mendapat pekerjaan.


Sikap

dukungan

sosialm

tekanan

kerja, dan

Merasa tidak mampu, putus asam merasa gagal, merasa punya kekuatan berlebihan,
merasa malang, rendahnya kemampuan sosialisasi, ketidakadekuatan pengobatan dan
4.

penanganan gejala
Perilaku
Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, rasa tidak
aman, gelisah, bingung, perilaku merusak, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan, bicara sendiri. Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung
pada jenis halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adannya tanda-tanda dan
perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar
mengetahui jenis halusinasinya saja. Validasi informasi tentang halusinasi yang iperlukan
meliputi :
1.
2.
3.

Isi halusinasi
Menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang dikatakan.
Waktu dan frekuensi
Kapan pengalaman halusianasi munculm berapa kali sehari.
Situasi pencetus halusinasi
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul.
Perawat bisa mengobservasi apa yang dialami klien menjelang munculnya halusinasi

4.

untuk memvalidasi pertanyaan klien.


Respon klien
Sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien. Bisa dikaji dengan apa yang
dilakukan oleh klien saat mengalami pengalamana halusinasi. Apakah klien bisa
mengontrol stimulus halusinasinya atau sebaliknya.

V.

Manifestasi Klinis
Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku dengan
pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri, secara tiba-tiba
marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati
sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang dialaminya (apa yang
dilihat, didengar atau dirasakan). Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan tahapan
halusinasi (Budi Anna Keliat, 1999) :
a.

Tahap 1: halusinasi bersifat tidak menyenangkan


Gejala klinis:
1.
2.

Menyeriangai/tertawa tidak sesuai


Menggerakkan bibir tanpa bicara

3.
4.
5.

Gerakan mata cepat


Bicara lambat
Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan

b. Tahap 2: halusinasi bersifat menjijikkan


Gejala klinis:
1.
2.
3.
c.

Cemas
Konsentrasi menurun
Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata

Tahap 3: halusinasi bersifat mengendalikan


Gejala klinis:
1.
2.
3.
4.

Cenderung mengikuti halusinasi


Kesulitan berhubungan dengan orang lain
Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah
Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti petunjuk).

d. Tahap 4: halusinasi bersifat menaklukkan


Gejala klinis:
1.
2.
3.
4.
VI.

Pasien mengikuti halusinasi


Tidak mampu mengendalikan diri
Tidak mamapu mengikuti perintah nyata
Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.

Tahapan Halusinasi
Tahapan halusinasi ada 4 yaitu (Stuart dan Laraia, 2001):
1. Comforting
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas sedang, kesepian, rasa bersalah dan
takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan
ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah
2.

tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik.


Condemning
Pada ansietas berat pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang
dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas
seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah),
asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan

3.

halusinasi dengan realita.


Controling

Pada ansietas berat, klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain,
berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam
4.

kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
Consquering
Terjadi pada panik Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon
terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi
klien sangat membahayakan.

VII.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dna ketakutan klien akibat halusinasi,
sebaiknya pada permulaan pendekatan dilakukan secara individual dan usahakan agar
terjadi kontak mata, kalau bisa pasien disentuh atau dipegang. Pasien jangan di isolasi
baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati klien,
bicaralah dengan klien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya klien
diberitahu. Klien diberitahu tindakan yang akan dilakukan. Di ruangan itu hendaknya
disediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk
berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah
dan permainan.
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali klien menolak obat yang diberikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi
yang diterimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus
mengamati agar obat yang diberikan betul ditelannya, serta reaksi obat yang diberikan.
3. Menggali permasalahan klien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah klien
yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang
ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga klien atau orang lain
yang dekat dengan klien.
4. Memberi aktivitas pada klien
Klien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga,
bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan klien ke

kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Klien diajak menyusun
jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga klien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data klien agar ada
kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari
percakapan dengan klien diketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki
yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas.
Perawat menyarankan agar klien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam
permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya diberitahukan pada
keluarga klien dan petugas lain agar tidak membiarkan klien sendirian dan saran yang
diberikan tidak bertentangan.
Farmako:
1. Anti psikotik:
a.

Chlorpromazine (Promactile, Largactile)

b. Haloperidol (Haldol, Serenace, Lodomer)


c.

Stelazine

d. Clozapine (Clozaril)
e.

Risperidone (Risperdal)

2. Anti parkinson:
a.

Trihexyphenidile

b. Arthan

Laporan Pendahuluan
RESIKO BUNUH DIRI
I.

Definisi
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti diri
sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan
bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah
dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas

bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang
diinginkan. (Stuart dan Sundeen, 1995. Dikutip Fitria, Nita, 2009)
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yangdapat mengancam
kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena merupakan perilaku untuk
mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri disebabkan karena stress yang tinggi dan
berkepanjangan dimana individu gagal dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan
dalam mengatasi masalah. Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan
untuk beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat terjadi
karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal melakukan hubungan yang berarti, perasaan
marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri sendiri, cara untuk
mengakhiri keputusasaan (Stuart, 2006).
II.

Klasifikasi
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
1.

Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri mungkin
mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih lama lagi

2.

atau mengomunikasikan secara non verbal.


Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh individu

3.

yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.


Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan.
Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan terjadi jika tidak
ditemukan tepat pada waktunya.

Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri, meliputi:
1. Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor lingkungan
yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang untuk bunuh diri.
2. Bunuh diri altruistic
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan kehormatan
seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
3. Bunuh diri egoistic
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam diri
seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
III.

Etiologi

1.

Faktor predisposisi
Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang perilaku resiko
bunuh diri meliputi:
a. Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk bunuh diri yaitu gangguan
b.

alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.


Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko bunuh diri

c.

adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.


Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini, dan
berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan dengan

d.

bunuh diri.
Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko untuk

e.

perilaku resiko bunuh diri


Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat menimbulkan perilaku

resiko bunuh diri.


2. Faktor presipitasi
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadia yang memalukan, seperti
masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum, kehilangan pekerjaan, atau
ancaman pengurungan. Selain itu, mengetahui seseorang yang mencoba atau melakukan
bunuh diri atau terpengaruh media untuk bunuh diri, juga membuat individu semakin
rentan untuk melakukan perilaku bunuh diri.
3. Penilaian stressor
Upaya bunuh diri tidak mungkin diprediksikan pada setiap tindakan. Oleh karena itu,
perawat harus mengkaji faktor resiko bunuh diri pada pasien
4. Sumber koping
Pasien dengan penyakit kronis, nyeri, atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat
melakukan perilaku destruktif-diri. Sering kali pasien secara sadar memilih untuk bunuh
diri.
5. Mekanisme koping
Stuart (2006) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego yang berhubungan
dengan perilaku destruktif-diri tidak langsung adalah penyangkalan, rasionalisasi,

intelektualisasi, dan regresi. Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme


koping. Ancaman bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan
pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi merupakan kegagalan
koping dan mekanisme adaptif pada diri seseorang.
IV.

Rentang respon
Respon Adaptif

Respon Maladaptif

Peningkatan
Beresiko
Destruktif
Pencederaan
Bunuh diri
diri
destruktif
diri
diri
Keterangan :
1. Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara
wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri. Sebagai contoh seseorang
mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda mengenai loyalitas terhadap
2.

pimpinan ditempat kerjanya.


Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami
perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya dapat
mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah semangat bekerja ketika dirinya
dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan secara

3.

optimal.
Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat
(maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri.
Misalnya, karena pandangan pimpinan terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka seorang

4.

karyawan menjadi tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak optimal.
Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan diri

5.

akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.


Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan nyawanya
hilang.

V.

Manifestasi Klinis
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
a.

Mengungkapkan keinginan untuk mati.

b.

Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.

c.

Impulsif.

2. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).


3. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
4. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis
mematikan).
5. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan mengasingkan
diri).
6. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi, psikosis dan
menyalahgunakan alcohol).
7. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal).
8. Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan dalam
karier).
9. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
10. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
11. Pekerjaan.
12. Konflik interpersonal.
13. Latar belakang keluarga.
14. Orientasi seksual.
15. Sumber-sumber personal.
16. Sumber-sumber social.
17. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
VI.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis
1. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan terapi elektro konvulsi.
2. Diberikan obat obat terutama anti depresan dan psikoterapi
Penatalaksanaan Keperawatan
1. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan meminta
2.

bantuan dari keluarga atau teman.


Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:
a.

Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.

b.

Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif.

c.

Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting

d.

Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien

e.
3.

Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan

Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:


a.

Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya

b.

Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing cara penyelesaian masalah

c.

Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih baik

Laporan Pendahuluan
ISOLASI SOSIAL
A.

Pengertian
Isolasi social adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan
kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu
untuk membuat kontak (Carpenito, 2008).
Isolasi social adalah suatu sikap individu menghindari diri dari interaksi dengan orang
lain. Individu merasa bahwa ia kehilanngan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan
untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan (Yosep, 2009, hlm.229).
Isolasi social adalah keadaan ketika seorang individu mengalami penurunan atau bahkan
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. (Keliat dan Kemat, 2009,
hlm. 93).

B.

Penyebab

1.

Faktor Predis Posisi


Beberapa faktor pendukung yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah :

a.

Faktor Perkembangan
Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu / pengasuh kepada
bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya.

b.

Faktor komunikasi dalam keluarga


Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk mengembangkan
gangguan tingkah laku. Sikap bermusuhan / hostilitas. Sikap mengancam dan menjelek
jelekkan anak. Ekspresi emosi yang tinggi. Orang tua atau anggota keluarga sering berteriak,
marah untuk persoalan kecil / spele, sering menggunakan kekerasan fisik untuk mengatasi
masalah,

selalu

mengkritik,

mengkhayalkan,

anak

tidak

diberi

mengungkapkan pendapatnya tidak memberi pujian atas keberhasilan anak .

kesempatan

untuk

c.

Faktor sosial budaya


Isolasi sosial atau mengasingkan diri lingkungan merupakan faktor pendukung terjadinya
gangguan berhubungan. Contoh : Individu yang berpenyakit kronis, terminal, menyandang cacat
atau lanjut usia. Demikianlah kebudayaan yang mengizinkan seseorang untuk tidak keluar ruman
(pingit) dapat menyebabkan isolasi sosial.

d.

Faktor biologi
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa, insiden tertinggi
skizofrenia di temukan pada keluarganya yang anggota keluarga menderita skizofrenia.

2.

Faktor Presipitasi
Stresor presipitas terjadi isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor Internal maupun
eksternal meliputi.

a.

Stressor sosial budaya


Stressor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya penurunan
stabilitas keluarga seperti : perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai kehilangan pasangan
pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara .

b.

Stressor Giokimic
Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta traktus saraf dapat
merupakan indikasi terjadinya skizofrenia

c.

Stressor biologic dan lingkungan sosial


Beberapa penelitian membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat interaksi
antara individu, lingkungan, maupun biologis.

d.

Stressor psikologis
Kecemasan yang tertinggi akan menyebabkan menurunya kemampuan individu untuk
berhubungan dengan orang lain. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk
mengatasi stres. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak
pada fase sinibiotik sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.

1)

Hubungan ibu dan anak

Ibu dengan kecemasan tinggi akan mengkomunikasikan kecemasannya pada anak,


misalnya dengan tekanan suara yang tinggi, hal ini membuat anak bingung, karena belum dapat
mengklasifikasikan dan mengartikan pasien tersebut.
2)

Dependen versus Interdependen


Ibu yang sering membatasi kemandirian anak, dapat menimbulkan konflik, di satu sisi
anak ingin mengembangkan kemandiriannya.
C.

Manifestasi Klinis

1.

Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.

2.

Menghidar dari orang lain (menyendiri)

3.

Klien tampak memisahkan diri dari orang lain misalnya pada saat makan.

4.

Tidak merawat dan memperhatikan kebersihan diri.

5.

Komunikasi kurang / tidak ada.

6.

Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain / perawat.

7.

Tidak ada kontak mata : klienlebih sering menunduk.

8.

Mengurung diri di kamar / tempat terpisah, klien kurang dalam mobilitas.

9.

Menolak berhubungan dengan orang lain.

10. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari, artinya perawatan diri dan kegiatan rumah tangga seharihari tidak dilakukan.
D.

Akibat
Perilaku isolasi sosial : menarik diri dapat berisiko terjadinya perubahan persepsi sensori
halusinasi (Townsend, M.C, 1998 : 156). Perubahan persepsi sensori halusinasi adalah persepsi
sensori yang salah (misalnya tanpa stimulus eksternal) atau persepsi sensori yang tidak sesuai
dengan realita/kenyataan seperti melihat bayangan atau mendengarkan suara-suara yang
sebenarnya tidak ada (Johnson, B.S, 1995:421). Menurut Maramis (1998:119) halusinasi adalah
pencerapan tanpa adanya rangsang apapun dari panca indera, di mana orang tersebut sadar dan
dalam keadaan terbangun yang dapat disebabkan oleh psikotik, gangguan fungsional, organik
atau histerik.

E.

Penatalaksanaan

1.

Farmakoterapi

2.

Terapi fisik ECT (Elektro Compution Teraphy)

3.

Terapi psikologi

4.

Terapi social

5.

Bila serangan pertama

a)

Membangkitkan dan diagnosis

b)

Pemeriksaan psikologi

c)

Pemeriksaan kimia rutin, skrinning, roksikologi, VDRL dan uji fungsi tiroid

d)

Elektroensefologram (untuk menyingkirkan epilepsy logus temperralit, neoplasma)

Anda mungkin juga menyukai