Anda di halaman 1dari 129

LAPORAN PENDAHULUAN 7 DIAGNOSA KEPERAWATAN JIWA

WAHAM, HALUSINASI, RISIKO BUNUH DIRI, RISIKO PERILAKU


KEKERASAN, DEFISIT PERAWATAN DIRI, ISOLASI SOSIAL DAN
HARGA DIRI RENDAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Stase Pendidikan Profesi


Keperawatan Jiwa (PPKJ) Program Pendidikan Profesi Ners

Disusun Oleh :
Nama Mahasiswa : Rani Tiara
NIM : 221FK09016

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA TASIKMALAYA
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN WAHAM

1.2 Konsep waham


1.2.1 Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan
secara kuat/terus menerus namun tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi
Anna Keliat, 2011 : hal. 165). Waham adalah keyakinan seseorang yang
berdasarkan penilaian realitas yang salah, keyakinan yang tidak
konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya,
ketidakmampuan merespons stimulus internal melalui proses interaksi /
informasi secara akurat (Yosep, 2010).
1.2.2 Klasifikasi waham
1. Waham Kebesaran
Yaitu menyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus, diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh : “Saya ini adalah salah satu keturunan dari ratu Elizabeth di
Inggris” atau ”saya pernah menjabat sebagai presiden Amerika
Serikat sebelum Barak Obama”
2. Waham curiga
Yaitu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya, diucapkan berulang kali tetapi tidak
sesuai kenyataan. Contoh : “Saya tau anda ingin membunuh saya
karena iri dengan keberhasilan saya.”
3. Waham agama
Yaitu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan,
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh
“Kalau saya mau masuk surga saya harus menggunakan pakaian
serba putih setiap hari.”
4. Waham somatic
Yaitu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya
terganggu/terserang penyakit, diucapkan berulang kali tetapi tidak
sesuai kenyataan. Contoh : “ Saya terkena penyakit Kanker.” Setelah
dilakukan pemeriksaan ternyata tidak ditemukan tanda-tanda kanker
namun pasien tetap mengatakan ia terserang kanker.
5. Waham nihilistic
Yaitu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal,
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh : “Ini
kan alam kubur ya, semua yang ada disini adalah roh-roh.”
1.2.3 Rentang respon
Rentang respons neurobiologis Waham. (sumber : Keliat, 2009).
Rentang respon
Respon adatif respons maladatif

1. Pikiran logis 1. Kadang proses pikir 1. Gangguan proses


2. Persepsi akurat terganggu Ilusi pikir (waham)
3. Emosi konsisten 2. Reaksi Emosi 2. Halusinasi
dengan berlebihan/ kurang 3. Kerusakan emosi
pengalaman 3. Perilaku tidak sesuai 4. Perilaku tidak sesuai
4. Hubungan sosial 4. Menarik diri 5. Ketidakteraturan
Isolasi sosial

1.2.4 Faktor predisposisi


Faktor penyebab waham dikutip dari Fitria (2009) :
1. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan
perkembangan interpersonal seseorang. Hal ini dapat meningkatkan
stress dan ansietas yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien
menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektualdan
emosi tidak efektif.
2. Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan
timbulnya waham.
3. Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda / bertentangan, dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap
kenyataan
4. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrifik otak, pembesaran
ventrikel di otak, atau perubahan pada sel kortikal limbik.
5. Faktor Genetik : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan
sistem saraf yang berhubungan dengan respon biologis yang
maladaptif.
6. Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan
korteks limbic
7. Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin dan
glutamat.
1.2.5 Faktor presipitasi
1. Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang
berarti, atau diasingkan dari kelompok.
2. Faktor biokimia
Dopamin, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat
menjadi penyebab waham seseorang.
3. Faktor psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk
mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang menyenangkan
4. Faktor biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan nerobiologis yang
maladaptive termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak
yang mengatur perubahan isi informasi dan abnormalitas pada
mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan
5. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
6. Adanya gejala pemicu
Pemicu yang biasanta terdapat pada respon neurobiologist yang
maladaptive berhubungan denagn kesehatan lingkungan, sikap dan
prilaku individu, seperti: gizi buruk, kurang tidur,infeksi, keletihan,
rasa bermusuhan atau lingkunag yang penuh kritik, masalah
perumahan, kelainan terhadap penampilan, stress agngguan dalam
berhubungan interpersonal, kesepian, tekanan pekerjaa, kemiskinan,
keputusasaan dan sebaigainya.
1.2.6 Fase-fase waham
Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan
klien baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan
waham dapat terjadi pada orang-orang dengan status sosial dan
ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan
menderita. Keinginan iauntuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga
klien yang secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan
antara reality dengan selft ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang
sarjana tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang dianggap
sangat cerdas, sangat berpengalaman dan diperhitungkan dalam
kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya pengakuan
bahwa ia eksis didunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya
penghargaan saat tumbuh kembang (life span history).
2. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya
kesenjangan antara self ideal dengan self reality (kenyataan dengan
harapan) serta dorongan kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan
standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya. Misalnya,
saat lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi
komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki
kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal yang
melebihi lingkungan tersebut. Sedangkan self reality-nya sangat
jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh,
support system semuanya sangat rendah.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini
atau apa-apa yang ia katakana adalah kebohongan, menutupi
kekurangan dan tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi menghadapi
kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat berat, karena
kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan
diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena
kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal.
Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa
sesuatu yang dikatakan klienitu tidak benar, tetapi hal ini tidak
dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan
menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif
tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan
pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam
lingkungannya menyebabkan klien merasa didukung, lama
kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut
sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari
sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak
berfungsinya norma (Super Ego) yang ditandai dengan tidak ada
lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan
kebohongannya serta menganggap bahwa semua orang sama yaitu
akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering disertai
halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya.
Selanjutnya klien lebih sering menyendiri dan menghindar
interaksi sosial ( Isolasi sosial)
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi,
setiap waktu keyakinan yang salah pada klien akan meningkat.
Tema waham yang muncul sering berkaitan dengan traumatik masa
lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang
hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi
waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting
sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan cara
konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-
apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi
sosial.
1.2.7 Manifestasi klinis
Tanda dan gejala dari perubahan isi pikir waham yaitu : klien
menyatakan dirinya sebagai seorang besar mempunyai kekuatan
pendidikan atau kekayaan luar biasa, klien menyatakan perasaan
dikejar-kejar oleh orang lain atau sekelompok orang, klien menyatakan
perasaan mengenai penyakit yang ada dalam tubuhnya menarik diri dan
isolasi, sulit menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain,rasa
curiga yang berlebihan, kecemasan yang meningkat, sulit tidur, tampak
apatis,suara memelan, ekspresi wajah datar, kadang tertawa atau
menangis sendiri, rasatidak percaya kepada orang lain, gelisah
(Nisa,2012)
1.2.8 Mekanisme koping
Mekanisme koping yaitu semua aktivitas kognitif dan motorik
yang dilakukan oleh seseorang yang sakit untuk mempertahankan
intrgritas tubuh dan psikisnya, memulihkan fungsi yang rusak dan
membatasi adanya kerusakan yang tidak bisa dipulihkan (dipowski,
2009). Mekanisme koping yaitu:
1. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang disadari dan
berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara reakstik tuntunan
situasi stress.
2. Perilaku menyerang, digunakan untuk mengubah atau mengatasi
hambatan pemenuhan kebutuhan.
3. Prilaku menarik diri, digunakan baik secara fisik maupun psikologic
untuk memindahkan seseorang dari sumber stress.
4. Prilaku kompromi, digunakan untuk mengubah cara seseoprang
mengoprasikan, menmgganti tujuan atau mengorbankan aspek
kebutuhan personal seseorang.
1.2.9 Sumber koping
Ada beberapa sumber koping individu yang harus dikaji yang
dapat berpengaruh terhadap gangguan otak dan prilaku kekuatan dalam
sumber koping dapat meliputi seperti : modal intelegensi atau
kreativitas yang tinggi. Orang tua harus secara aktif mendidik anak-
anaknya, dewasa muda tentang keterampilan koping karena mereka
biasanya tidak hanya belajar dan pengamatan. Sumber keluarga dapat
berupa pengetahuan tentang penyakit, finansial yang cukup
ketersediaan waktu dan tenaga dan kemampuan untuk memberikan
dukungan secara berkesinambungan.
1.2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksnaan klien dengan waham meliputi farmko terapi, ECT
dan terapi lainnya seperti: terapi psikomotor, terapi rekreasi, terapi
somatic, terapi seni, terapi tingkah laku, terapi keluarga, terapi spritual
dan terapi okupsi yang semuanya bertujuan untuk memperbaiki
perilaku klien dengan waham pada gangguan skizofrenia.
Penatalaksanaan yang terakhir adalah rehablitasi sebagai suatu proses
refungsionalisasi dan pengembangan bagi klien agar mampu
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan
masyarakat.
1. Farmakologi
Obat antipsikotik merupakan obat terpilih yang mengatasi
gangguan waham. Pada kondisi gawat darurat, klien yang teragitasi
parah, harus diberikan obat antipsikotik secara intramuskular.
Sedangkan jika klien gagal berespon dengan obat pada dosis yang
cukup dalam waktu 6 minggu, anti psikotik dari kelas lain harus
diberikan. Penyebab kegagalan pengobatan yang paling sering
adalah ketidakpatuhan klien minum obat. Kondisi ini harus
diperhitungkan oleh dokter dan perawat. Sedangkan terapi yang
berhasil dapat ditandai adanya suatu penyesuaian sosial, dan bukan
hilangnya waham pada klien.
2. Psikoterapi
Elemen penting dalam psikoterapi adalah menegakkan
hubungan saling percaya. Terapi individu lebih efektif dari pada
terapi kelompok. Terapis tidak boleh mendukung ataupun
menentang waham, dan tidak boleh terus-menerus membicarakan
tentang wahamnya. Terapis harus tepat waktu, jujur dan membuat
perjanjian seteratur mungkin. Tujuan yang dikembangkan adalah
hubungan yang kuat dan saling percaya dengan klien. Kepuasan
yang berlebihan dapat meningkatkan kecurigaan dan permusuhan
klien, karena disadari bahwa tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi.
Terapis perlu menyatakan pada klien bahwa keasyikan dengan
wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu
kehidupan konstruktif. Bila klien mulai ragu-ragu dengan
wahamnya, terapis dapat meningkatkan tes realitas.
Sehingga terapis perlu bersikap empati terhadap pengalaman
internal klien, dan harus mampu menampung semua ungkapan
perasaan klien, misalnya dengan berkata : “Anda pasti merasa sangat
lelah, mengingat apa yang anda lalui, “tanpa menyetujui setiap mis
persepsi wahamnya, sehingga menghilangnya ketegangan klien.
Dalam hal ini tujuannya adalah membantu klien memiliki keraguan
terhadap persepsinya. Saat klien menjadi kurang kaku, perasaan
kelemahan dan inferioritasnya yang menyertai depresi, dapat timbul.
Pada saat klien membiarkan perasaan kelemahan memasuki terapi,
suatu hubungan terapeutik positif telah ditegakkan dan aktifitas
terpeutik dapat dilakukan.

3. Terapi Keluarga
Pemberian terapi perlu menemui atau mendapatkan keluarga
klien, sebagai sekutu dalam proses pengobatan. Keluarga akan
memperoleh manfaat dalam membantu ahli terapi dan membantu
perawatan klien.
1.2.11 Konsep asuhan waham
1. Pengkajian
a. Identitias klien
Identitas ditulis lengkap meliputi nama, usia dalam tahun,
alamat, pendidikan, agama, status perkawinan, pekerjaan, jenis
kelamin, nomor rekam medis dan diagnosa medisnya.
b. Alasan masuk
Tanyakan pada keluarga / klien hal yang menyebabkan klien
dan keluarga datang ke Rumah Sakit, yang telah dilakukan
keluarga untuk mengatasi masalah dan perkembangan yang di
capai.
Tanyakan pada klien / keluarga, apakah klien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan, mengalami,
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan,
kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal
c. Faktor predisposisi
1) Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat
mempengaruhi respon psikologis dari klien.
2) Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak atau SSP,
pertumbuhan dan perkembangan individu pada prenatal,
neonates dan anak-anak.
3) Sosial Budaya
Seperti kemiskinan, konflik sosial budaya (peperangan,
kerusuhan, kerawanan), kehidupan yang terisolasi serta
stress yang menumpuk.
d. Aspek fisik / biologis
Mengukur dan mengobservasi tanda-tanda vital: TD, nadi,
suhu, pernafasan. Ukur tinggi badan dan berat badan, kalau
perlu kaji fungsi organ kalau ada keluhan.
e. Aspek psikososial
1) Membuat genogram yang memuat paling sedikit tiga generasi
yang dapat menggambarkan hubungan klien dan keluarga,
masalah yang terkait dengan komunikasi, pengambilan
keputusan dan pola asuh.
2) Konsep diri
a) Citra tubuh: mengenai persepsi klien terhadap tubuhnya,
bagian yang disukai dan disukai.
b) Identitas diri: status dan posisi klien sebelum dirawat,
kepuasan klien terhadap status dan posisinya dan kepuasan
klien sebagai laki-laki / perempuan.
c) Peran: tugas yang diemban dalam keluarga / kelompok
dan masyarakat dan kemampuan klien dalam
melaksanakan tugas tersebut.
d) Ideal diri: harapan terhadap tubuh, posisi, statu, tugas,
lingkungan dan penyakitnya.
e) Harga diri: hubungan klien dengan orang lain, penilaian
dan penghargaan orang lain terhadap dirinya, biasanya
terjadi pengungkapan kekecewaan terhadap dirinya
sebagai wujud harga diri rendah.
3) Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam
kehidupan. bagaimana peran serta dalam kegiatan dalam
kelompok/masyarakat serta ada/tidak hambatan dalam
berhubungan dengan orang lain
4) Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah.
Apa agama/keyakinan klien. Bagaimana persepsi, nilai,
norma, pandangan dan keyakinan diri klien, keluarga dan
masyarakat setempat tentang gangguan jiwa sesui dengan
norma budaya dan agama yang dianut
f. Status mental
Nilai penampilan klien rapi atau tidak, amati pembicaraan
klien, aktivitas motorik klien, alam perasaan klien (sedih, takut,
khawatir), afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi
klien, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat
konsentrasi dan berhitung, kemampuan penilaian dan daya tilik
diri.
1) Penampilan
Observasi penampilan umum klien yaitu penampilan
usia, cara berpakaian, kebersihan, sikap tubuh, cara
berjalan, ekspresi wajah, kontak mata.
2) Pembicaraan
Bagaimana pembicaraan yang didapatkan pada klien,
apakah cepat, keras. Gagap, inkoheren, apatis, lambat,
membisu dan lain-lain.
3) Aktivitas motorik (psikomotor)
Aktivitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik perlu
dicacat dalam hal tingkat aktivitas (latergik, tegang, gelisah,
agitasi), jenis (TIK, tremor) dan isyarat tubuh yang tidak
wajar.
4) Afek dan emosi
Afek merupakan nada perasaan yang menyenangkan
atau tidak menyenangkan yang menyertai suatu pikiran dan
berlangsung relatif lama dan dengan sedikit komponen
fisiologis/fisik serta bangga, kecewa. Emosi merupakan
manifestasi afek yang ditampilkan/diekspresikan keluar,
disertai banyak komponen fisiologis dan berlangsung relatif
lebih singkat/spontan seperti sedih, ketakutan, putus asa,
kuatir atau gembira berlebihan.
5) Interaksi selama wawancara
ABagaimana respon klien saat wawancara,
kooperatif/tidak, bagaimana kontak mata dengan perawat
dan lain-lain.
6) Persepsi sensori
Memberikan pertanyaan kepada klien seperti “apakah
anda sering mendengar suara saat tidak ada orang? Apa
anda mendengar suara yang tidak dapat anda lihat? Apa
yang anda lakukan oleh suara itu. Memeriksa ada/ tidak
halusinasi, ilusi.
7) Proses pikir
Bagaimana proses pikir klien, bagaimana alur pikirnya
(koheren/inkoheren), bagaimana isi pikirannya
realitas/tidak.
8) Kesadaran
Bagaimana tingkat kesadaran klien menurun atau meninggi.
9) Orientasi.
Bagaimana orientasi klien terhadap waktu, tempat dan
orang.
10) Memori
Apakah klien mengalami gangguan daya ingat, seperti:
efek samping dari obat dan dari psikologis.
11) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Apakah klien mengalami kesulitan saat berkonsentrasi,
bagaimana kemampuan berhitung klien, seperti: disaat
ditanya apakah klien menjawab pentanyaan sesuai dengan
yang ditanyakan oleh observer.
12) Kemampuan penilaian
a) Skor : tidak ada
Karakteristik : tidak cukup informasi
b) Skor 1 : sangat berat
Karakteristik : keputusan yang diambil maladatif
dan perilakunya berisiko membahayakan diri sendiri
dan orang lain
c) Skor 2 : berat
Karakteristik : Penilaian yang dialami maladatif
d) Skor 3 : sedang
Karakteristik : Tidak mampu membuat penilaian
sederhana (konstruktif) dan adatif meskipun telah
mendapat bantuan orang lain
e) Skor 4: ringan
Karakteristik : Mampu membuat penilaian
sederhana dengan bantuan orang lain
13) Gaya tilik diri
Apakah klien mengingakari penyakit yang diderita,
apakah klien menyalahkan hal-hal diluar dirinya.
g. Kebutuhan persiapan pulang
1) Kemampuan makan klien, klien mampu menyiapkan dan
membersihkan alat makan.
2) Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan
membersihkan WC serta membersihkan dan merapikan
pakaian.
3) Mandi klien dengan cara berpakaian, observasi kebersihan
tubuh klien.
4) Istirahat dan tidur klien, aktivitas di dalam dan di luar rumah.
5) Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksi yang dirasakan
setelah minum obat.
h. Masalah psikososial dan lingkungan
Dari data keluarga atau klien mengenai masalah yang dimiliki
klien.
i. Pengetahuan
Data didapatkan melalui wawancara dengan klien kemudian tiap
bagian yang dimiliki klien disimpulkan dalam masalah.
j. Aspek medis
Terapi yang diterima oleh klien: ECT, terapi antara lain seperti
terapi psikomotor, terapi tingkah laku, terapi keluarga, terapi
spiritual, terapi okupasi, terapi lingkungan. Rehabilitasi sebagai
suatu refungsionalisasi dan perkembangan klien supaya dapat
melaksanakan sosialisasi secara wajar dalam kehidupan
bermasyarakat

2. Analisa Data
Data Fokus Masalah
Gejala dan tanda mayor : Waham (D.0105)
Subjektif :
1. Mengungkapkan isi
waham
Objektif
1. Menunjukkan prikalu
sesuai isi waham
2. Isi pikir tidak sesuai
realitas
3. Isi pembicaraan sulit
dimengerti
Gejala dan Tanda Minor :
Subjektif
1. Merasa sulit
berkonsentrasi
2. Merasa Khawatir
Objektif
1. Curiga berlebihan
2. Waspada berlebihan
3. Bicara berlebihan
4. Sikap menentang atau
permusuhan
5. Wajah tegang
6. Pola tidur berubah
7. Tidak mapu mengambil
keputusan
8. Flight of idea
9. Produktifitas kerja
menurun
10. Tidak mampu merawat
diri
11. Menarik diri

3. Diagnosa keperawatan
Gangguan proses pikir : Waham
4. Intervensi
Perencanaan
Tgl Diagnosa
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Gangguan Pasien mampu : Setelah pertemuan pasien SP 1
Proses Pikir :  Berorientasi kepada dapat memenuhi  Identifikasi kebutuhan pasien
Waham realitas secara bertahap kebutuhannya  Bicara konteks realita (tidak mendukung
 Mampu berinteraksi dgn atau membantah waham pasien)
orang lain & lingkungan  Latih pasien untuk memenuhi
 Menggunakan obat dgn kebutuhannya
prinsip 6 benar  Masukkan dalam jadwal harian pasien

Setelah pertemuan pasien SP 2


mampu :  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1)
 Menyebutkan kegiatan  Identifikasi potensi/ kemampuan yang
yang sudah dilakukan dimiliki
 Mampu menyebutkan  Pilih dan latih potensi/ kemampuan yang
serta memilih dimiliki
kemampuan yang  Masukkan dalam jadwal kegiatan pasien
dimiliki
Setelah pertemuan pasien SP 3
dapat menyebutkan  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1&2)
kegiatan yang sudah  Pilih kemampuan yang dapat dilakukan
dilakukan dan mampu  Pilih dan latih potensi kemampuan lain
memilih kemampuan lain yang dimiliki
yang dimiliki.  Masukkan dalam jadwal kegiatan pasien

Keluarga mampu : Setelah pertemuan SP 1


 Mengidentifikasi waham keluarga mampu :  Identifikasi masalah keluarga dalam
pasien  Mengidentifikasi merawat pasien
 Memfasilitasi pasien masalah menjelaskan  Jelaskan proses terjadinya waham
untuk memenuhi cara merawat pasien  Jelaskan tentang cara merawat pasien
kebutuhannya waham
 Mempertahankan  Latih (simulasi) cara merawat
program pengobatan  RTL keluarga/ jadwal merawat pasien
pasien secara optimal

Setelah pertemuan SP 2
keluarga mampu :  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1)
 Menyebutkan kegiatan  Latih keluarga cara merawat (langsung
yang sesuai dilakukan ke pasien)
 Mampu memperagakan  RTL keluarga
cara merawat pasien

Setelah pertemuan SP 3
keluarga mampu :  Evaluasi kemampuan keluarga
 Mengidentifikasi  Evaluasi kemampuan pasien
masalah dan mampu  RTL keluarga
menjelaskan cara Follow up
merawat pasien Rujukan
Intervensi Menurut SDKI :
Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana tindakan

Waham (D.0105) Setelah dilakukan tindakan Manajemen Waham (I.09295)


keperawatan selama ..x24 Tindakan
diharapkan status orientasi Observasi :
membaik dengan kriteria 1. Monitor waham yang
hasil : isinya membahayakan diri
1. Verbalisasi waham sendiri, orang lain dan
menurun (5) lingkungan
2. Perilaku waham 2. Monitor efek terapeutik
menurun (5) dan efek samping obat
3. Perilaku sesuai realita Terapeutik :
membaik (5) 1. Bina hubungan
4. Isi piker sesuai realita interpersonal saling
membaik (5) percaya
5. Pembicaraan membaik 2. Tunjukkan sikap tidak
(5) menghakimi secara
konsisten
3. Diskusikan waham
dengan perfokus pada
perasaan yang mendasari
waham
4. Hindari perdebatan
tentang keyakinan yang
keliru, nyatakan keraguan
sesuai fakta
5. Hindari memperkuat
gagasan waham
6. Sediakan lingkungan
aman dan nyaman
7. Berikan aktivitas rekreasi
dan penglihatan sesuai
kebutuhan
8. Lakukan intervensi
pengontrolan perilaku
waham (mis limit setting,
pembatasan wilayah,
pengekangan fisik atau
seklusi)
Edukasi :
1. Anjurkan mengungkapkan
dan memvalidasi waham
(uji realitas) dengan orang
yang dipercaya (pemberi
asuhan/keluarga)
2. Anjurkan melakukan
rutinitas harian secara
konsisten
3. Latih manajemen stress
4. Jelaskan tentang waham
serta penyakit terkait (mis,
delirium, skizofrenia, atau
depresi), cara mengatasi
dan obat yang diberikan
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian obat,
sesuai indikasi
DAFTAR PUSTAKA

1. Fitria, N. (2009). Prinsip Dasar Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan


Strategi Pelaksanaan. Jakarta : Salemba Medika.
2. Herdman Ade. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika
3. Keliat, Budi Anna. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN
(Basic Course). Jakarta : EGC.
4. Keliat, B. A, dkk. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN
(Basic Course). Yogyakarta: EGC
5. PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi
dan Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP
6. PPNI. PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI):
Definisi dan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
7. PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan
Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI
8. Yosep, I. (2010). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi Penyakit Halusinasi

Persepsi adalah daya mengenal barang, kualitas atau hubungan serta


perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui dan mengartikan
setelah panca inderanya mendapat rangsang. Jadi persepsi dapat terganggu oleh
gangguan otak, seperti kerusakan otak, keracunan, obat halusinogenik dan oleh
gangguan jiwa, seperti emosi tertentu dapat mengakibatkan ilusi, psikosa dapat
menimbulkan halusinasi atau oleh pengaruh lingkungan sosiobudaya, hal ini
akan mempengaruhi persepsi karena penilaian yang berbeda dan orang dari
lingkungan sosiobudaya yang berbeda juga. (Trimelia, 2011).
Persepsi sensori adalah daya mengenal barang, kualitas, hubungan,
perbedaan sesuatu, hal tersebut melalui proses mengamati, mengetahui dan
mengartikannya setelah panca indera mendapatkan rangsangan. (Lilik, 2011).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Pasien
memberikan persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh pasienmengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara. Halusinasi adalah salah satu gejala
gangguan jiwa dimana pasien mengalami perubahan sensori persepsi: merasakan
sensori palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penciuman.
Halusinasi adalah persepsi pasien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang
nyata, artinya pasien menginterpretasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus /
rangsangan dari luar. Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa halusinasi adalah salah satu gangguan jiwa yang mengalami perubahan
persepsi terhadap lingkungan tanpa ada nya objek yang nyata (Direja, 2011).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana pasien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebetul
nya tidak ada (Damayanti, 2008). Halusinasi adalah persepsi yang tanpa dijumpai
adanya rangsangan dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang “khayal”,
halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental penderita yang
“teresepsi” (Yosep, 2010).
Halusinasi pendengaran adalah jenis halusinasi yang paling banyak terjadi,
diantara mendengar suara-suara, paling sering adalah suara manusia yang
menyuruh untuk melakukan suatu tindakan (Videbeck, 2008). Respon pasien
akibat terjadinya halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman,
gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata atau tidak
nyata (Yosep, 2010). Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa halusinasi pendengaran adalah respon pasienakibat halusinasi yang
berupa suara-suara dan perasaan takut .\

2. Tanda dan gejala Halusinasi


Pasien dengan gangguan persepsi halusinasi dapat memperlihatkan berbagai
manifestasi klinis yang bis akita amati dalam prilaku mereka sehari-hari.
NANDA (2010) tanda dan gejala halusinasi meliputi :
a. Konsentrasi kurang
b. Selalu rubah respon dari rangsangan
c. Kegelisahan
d. Perubahan sensori akut
e. Mudah tersinggung
f. Disorientasi waktu, tempat dan orang
g. Perubahan kemampuan pemecahan masalah
h. Perubahan pola prilaku
i. Bicara dan tertawa sendiri
j. Mengatakan melihat dan mendengar sesuatu, padahal objek sebenarnya tidak
ada
k. Menarik dari
l. Mondar-mandir
m. Individu terkadang sulit berfikir dan mengambil keputusan
n. Tidak mampu mengurus dirinya sendiri.
3. Klasifikasi Halusinasi
Menurut Yosep (2007) halusinasi terdiri dari delapan jenis yaitu:
a. Halusinasi Pendengaran (Auditif, Akustik) Paling sering dijumpai dapat
berupa bunyi mendenging atau suara bising yang tidak mempunyai arti,
tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau kalimat yang
bermakna. Biasanya suara tersebut ditujukan pada penderita sehingga tidak
jarang penderita bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut.
b. Halusinasi Penglihatan (visual, Optik) Lebih sering terjadi pada keadaan
delirium (penyakit organik). Biasanya sering muncul bersamaan dengan
penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat gambaran-gambaran
yang mengerikan.
c. Halusinasi Penciuman (Olfaktorik) Halusinasi ini biasanya berupa mencium
sesuatu bau tertentu dan dirasakan tidak enak, melambangkan rasa bersalah
pada penderita. Bau dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap
penderita sebagai suatu kombinasi normal.
d. Halusinasi Pengecapan (Gustatorik) Walaupun jarang terjadi, biasanya
bersamaan dengan halusinasi penciuman penderita merasa mengecap
sesuatu. Halusinasi gastorik lebih jarang dari halusinasi gustatorik.
e. Halusinasi Perabaan (Taktil) Merasa diraba, disentuh, ditiup atau seperti ada
ulat yang bergerak dibawah kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis
dan skizofrenia.
4. Rentang respon

Respons Adaptif Respon maladaftif


Pikiran logis Pikiran kadang Kelainan pikiran
menyimpang
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi Konsisten Reaksi emosional Ketidakmampuan untuk
mengalami emosi
Prilaku sesuai hubungan Prilaku ganjil atau tak Ketidakteraturan, isolasi
sosial lazim, menarik diri sosial.
Sumber :Stuart & Laraia (2005)
Keterangan gambar:
a. Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial
budaya yang berlaku dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu akan dapat memecahkan masalah tersebut.
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
3) Emosi konsisten merupakan manifestasi peran saat yang konsisten atau efek
keluar disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak
lama.
4) Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas yang
wajar.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.
b. Respon psikososial meliputi:
1) Proses pikir terganggu proses pikir yang menimbulkan gangguan.
2) Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang yang benar-
benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indra.
3) Emosi berlebihan atau kurang.
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas untuk
menghindari interaksi dengan orang lain.
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain.
c. Respon Maladaptife adalah respon indikasi dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial dan budaya dan lingkungan, adapun
respon maladaptife ini meliputi:
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
sosial.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah satu atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakkan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
4) Perilaku tak terorganisir merupakan perilaku yang tidak teratur.
5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh individu dan diterima sebagai ketentuan oleh
orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang negative mengancam
5. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2007) Faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah :
1) Biologis Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan
dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami.
2) Psikologis Keluarga, pengasuh dan lingkungan pasiensangat mempengaruhi
respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang
dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau
tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien. Seseorang yang merasa tidak
diterima lingkungannya sejak bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan
tidak percaya pada lingkungannya.
3) Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi
realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan,
bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
6. Faktor Presipitasi
Secara umum pasiendengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa
dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006). Faktor presipitasi
terjadinya gangguan halusinasi adalah :
a. Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang
mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stress Lingkungan Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi
terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan
perilaku.
c. Sumber Koping Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam
menanggapi stressor. Pada pasien dengan halusinasi, biasanya menggunakan
pertahanan diri dengan menggunakan pertahanan diri dengan cara proyeksi
yaitu untuk mengurangi perasaan emasnya pasienmenyalahkan orang lain
dengan tujuan menutupi kekurangan yang ada pada dirinya.
7. Mekanisme Koping Dan sumber koping
Pada halusinasi terdapat 3 mekanisme koping yaitu
1) Menarik diri dan pasien sudah asyik dengan pengalaman internalnya.
2) Proyeksi: Menggambarkan dan menjelaskan persepsi yang membingungkan
(alam mengalihkan respon kepada sesuatu atau seseorang).
3) Regresi: Terjadi dalam hubungan sehari-hari untuk memproses masalah dan
mengeluarkan sejumlah energi dalam mengatasi cemas.
Pada halusinasi ada 4 sumber koping yaitu :
1) Personal ability: Ketidakmampuan memecahkan masalah, ada gangguan dari
kesehatan fisiknya, ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain,
pengetahuan tentang penyakit dan intelegensi yang rendah, identitas ego
yang tidak adekuat.
2) Social support : Hubungan antara individu, keluarga, kelompok, masyarakat
tidak adekuat, komitmen dengan jaringan sosial tidak adekuat
3) Material asset : Ketidakmampuan mengelola kekayaan, misalnya boros atau
santa pelit, tidak mempunyai uang untuk berobat, tidak ada tabungan, tidak
memiliki kekayaan dalam bentuk barang, tidak ada pelayanan kesehatan
dekat tempat tinggal
4) Positif belief : Distress spiritual, tidak memiliki motivasi, penilaian negatif
terhadap pelayanan kesehatan, tidak menganggap itu suatu gangguan.

B. Proses terjadinya masalah


Halusinasi berkembang melalui empat fase, menurut Direja (2011), yaitu
sebagai berikut :
1. Fase pertama
Disebut juga sebagai fase comforting yaitu fase yang menyenangkan. Pada
tahap ini msuk dalam golongan nonpsikkotik. Karateristik: klien mengalami
stress, cemas, perasaan perpisahan, rasa bersalah, kesepian yang memuncak, dan
tidak dapat diselesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang
menyenangkan, cara ini hanya menolong sementara.
Perilaku klien: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai menggerakan bibir
tanpa suara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asyik
dengan halusinasinya, dan suka menyendiri.
2. Fase kedua
Disebut dengan fase condemming atau ansietas berat yaitu halusinasi menjadi
menjijikan, termasuk dalam psikotik ringan. Karateristik: pengalaman sensori
menjijikan dan menakutkan, kecemasan meningkat, melamun, dan berfikir sendiri
jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas dan klien tidak ingin
orang lain tahu, dan ia tetap mengontrolnya.
Perilaku klien: meningkatnya tanda-tanda sitem saraf otonom seperti
peningkatan denyut jantung
3. Fase ketiga
Fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori menjadi
berkuasa. Termsuk dalam gangguan psikotik. Karateristik: bisikan, suara, isi
halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi
terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya.
Perilaku klien: kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya
beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor dan
tidak mematuhi perintah.
4. Fase keempat
Fase conquering atau panic yaitu klien lebur dengan halusinasinya. Termasuk
dalam psikotik berat. Karateristik: halusinasinya berubah menjadi mengancam,
memerintah, dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang
control, dan tidak dapat berhubungan secara nayat dengan orang lain di
lingkungan.
Perilaku klien: perilaku terror akibat panic, potensi bunuh diri, perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri atau kakatonik, tidak mampu merespon terhadap
perintah kompleks, dan tidk mampu berespons lebih dari satu orang.
C. Kemungkinan Data Focus Pengkajian
1. Pengkajian Keperawatan (Direja, 2011)
a) Identitas Pasien
Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tanggal lahir,
umur, asal suku bangsa, agama, status perkawinan, pendidikan, tanggal
MRS (masuk rumah sakit) dan nama orang tua serta pekerjaan orang tua.
b) Keluhan Utama
Mengkaji alasan pasien dibawa ke rumah sakit serta upaya apa yang telah
dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah pasien. c.
c) Faktor Predisposisi
1) Biologis
Abnormalitas yang menyebabkan respon neurobiologi yang
maladaptif termasuk hal-hal penelitian pencitraan otak yang
menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan
skizofrenia, lesi pada area frontal, temporal dan limbic. Beberapa
kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia seperti dopamine
neutranmitter yang berlebihan dan masalah pada respon dopamine.
2) Psikologis
Teori psikodinamika yang menggambarkan bahwa halusinasi terjadi
karena adanya isi alam tidak sadar yang masuk alam sadar sebagai
suatu respon terhadap konflik psikologis dan kebutuhan yang tidak
terpenuhi, sehingga halusinasi merupakan gambaran dan rangsangan
keingan dan ketakutan dialami oleh pasien.

3) Sosial budaya
Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap gangguan psikotik
lain tetapi diyakini sebagai penyebab utama gangguan.
d) Faktor Presipitasi
1) Biologi
Stressor biologi yang berhubungan dengan respon neurobiologi yang
maladaptif, termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang
mengatur proses informasi dan abnormalisasi pada mekanisme pintu
masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk
selektif menghadapi rangsangan.
2) Stress Lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang
berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan
terjadinya gangguan perilaku.
3) Pemicu Gejala
Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurobiologi yang
maladaptif berhubungan dengan kesehatan (gizi buruk, infeksi),
lingkungan rasa bermusuhan/lingkungan yang penuh kritik,
gangguan dalam hubungan interpersonal, sikap dan perilaku (keputus
asaan, kegagalan).

e) Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari
pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon
neurobiologi:
1) Regresi
Menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku
kembali seperti pada perilaku perkembangan anak atau
berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas.
2) Proyeksi
Keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi pada
orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai
upaya untuk menjelaskan keraguan persepsi).
3) Menarik Diri
Reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghidar
sumber stressor, misalnya menjauhi polusi, sumber infeksi, gas,
beracun dan lain-lainn, sedangkan reaksi psikologis individu
menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat,
sering disertai rasa takut dan bermusuhan. Kemudian data yang
diperoleh dapat dikelompokkan menjadi dua macam sebagai
berikut :
a. Data Subjektif
Data yang disampaikan secara lisan oleh pasien dan keluarga.
Data ini diperoleh melalui wawancara perawat kepada pasien
dan keluarga. Data langsung didapat oleh perawat disebut
data primer, dan data yang di ambil dari hasil catatan tim
kesehatan lain sebagai data sekunder.
b. Data Objektif
Data yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan
melalui observasi atau pemeriksaan langsung.
D. Diagnosa Keperawatan
Gangguan persepsi sensori (D.0085)
E. Analisa Data

No. Data Fokus Masalah

1. Gejala dan tanda mayor : Gangguan Persepsi


Data subyektif : Sensori
1. Mendengar suara bisikan atau melihat
bayangan
2. Merasakan sesuatu melalui indera perabaan,
penciuman atau pengecapan
Data Objektif :
1. Distorsi sensori
2. Respons tidak sesuai
3. Bersikap seolah melihat, mendengar,
mengecap, meraba atau mencium sesuatu

F. Intervensi Keperawatan
Menurut SDKI :

No Diagnosa Tujuan Intervensi

1 Gangguan Persepsi Setelah dilakukan Observasi


Sensori tidakan keperawatan 5. Periksa status mental, status
diharapkan persepsi sensori, dan tingkat kenyamanan
sensori membaik, (mis. nyeri, kelelahan)
dengan keriteria hasil : Terurapeutik
1. Verbalisasi 1. Diskusikan tingkat toleransi
mendengar bisikan terhadap beban sensori (mis.
menurun bising, terlalu terang)
2. Verbalisasi melihat 2. Batasi stimulus lingkungan (mis.
bayangan menurun cahaya, suara, aktivitas)
3. Verbalisasi 3. Jadwalkan aktivitas harian dan
merasakan sesuatu waktu istirahat
melalui indra 4. Kombinasikan prosedur/tindakan
perabaan menurun dalam satu waktu, sesuai
4. Verbalisasi kebutuhan
merasakan sesuatu Edukasi
melalui indra 1. Ajarkan cara meminimalisasi
penciuman stimulus (mis. mengatur
menurun pencahayaan ruangan, mengurangi
kebisingan, membatasi kunjungan)

Kolaborasi
1. Kolaborasi dalam meminimalkan
prosedur/tindakan
2. Kolaborasi pemberian obat yang
mempengaruhi persepsi stimulus

Strategi Pelaksanaan :
DAFTAR PUSTAKA

PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan


Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP
PPNI. PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi
dan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan
Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI
LAPORAN PENDAHULUAN RISIKO BUNUH DIRI
I. KASUS RESIKO BUNUH DIRI
A. Definisi
Bunuh Diri adalah suatu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri
untuk mengakhiri kehidupan. Bunuh Diri merupakan koping terakhir dari individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Jenny. Dkk., 2010).
Bunuh Diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah
pada kematian (Stuart, 2007, dikutip Dez, Delicious, 2009). Bunuh diri adalah
beresiko menyakiti diri sendiri dan cedera yang mengancam jiwa (Nanda-I, 2012).
B. Tanda dan Gejala Resiko Bunuh Diri
Menurut Fitria (2009), tanda dan gejala dari Risiko Bunuh Diri adalah :
a. Mempunyai ide untuk Bunuh Diri.
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
c. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
d. Implusif.
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
f. Memiliki riwayat percobaan Bunuh Diri.
g. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat
dosis
mematikan).
h. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah, dan
mengasingkan diri).
i. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis dan menyalahgunakan alkohol).
j. Kesehatan fisik (biasanya pada Klien dengan penyakit kronik atau terminal).
k. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalam karir).
l. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
m. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
n. Pekerjaan.
o. Konflik interpersonal.
p. Latar belakang keluarga.
q. Orientasi seksual.
r. Sumber-sumber personal.
C. Tingkatan Resiko Bunuh Diri
a. Isyarat Bunuh Diri
Isyarat Bunuh Diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin
Bunuh Diri, misalnya dengan mengatakan “Tolong jaga anak-anak karena saya
akan pergi jauh!” atau “segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.” Pada
kondisi ini Klien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya,
tetapi tidak disertai dengan ancaman dan percobaan Bunuh Diri. Klien
umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/ sedih/ marah/ putus
asa/ tidak berdaya. Klien juga mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri
sendiri yang menggambarkan Risiko Bunuh Diri.
b. Ancaman Bunuh Diri
Ancaman Bunuh Diri umunya diucapkan oleh Klien, yang berisi keinginan
untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan
alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif Klien telah memikirkan
rencana Bunuh Diri, tetapi tidak disertai dengan percobaan Bunuh Diri.
Walaupun dalam kondisi ini klien belum pernah mencoba Bunuh Diri,
pengawasan ketat harus dilakukan. Kesempatan sedikit saja dapat
dimanfaatkan Klien untuk melaksanakan rencana Bunuh Dirinya.
c. Percobaan Bunuh Diri
Percobaan Bunuh Diri adalah tindakan Klien mencederai atau melukai diri
untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, Klien aktif mencoba Bunuh
Diri dengan cara gantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau
menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi.
D. Klasifikasi Resiko Bunuh Diri
1. Jenis Bunuh Diri
a. Bunuh Diri egoistik
Akibat seseorang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
b. Bunuh Diri alturistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
c. Bunuh Diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.
E. Rentang Respon Resiko Bunuh Diri
Skema, rentang respons protektif diri (Yusuf & Hanik, 2015)

Adaptif Maladaptif

Peningkatan diri Pertumbuhan Perilaku Pencederaan Bunuh diri


Peningkatan destruktif diri diri
Berisiko tak langsung
Keterangan :
1. Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai
pengharapan, yakin, dan kesadaran diri meningkat.
2. Pertumbuhan-peningkatan beresiko, yaitu merupakan posisi pada rentang
yang masih normal dialami individu yang mengalami pengembangan
perilaku.
3. Perilaku destruktif diri tak langsung, yaitu setiap aktivitas yang merusak
kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian, seperti
perilaku merusak, mengebut, berjudi, tindakan kriminal, terlibat dalam
rekreasi yang beresiko tinggi, penyalahgunaan zat, perilaku yang
menyimpang secara sosial, dan perilaku yang menimbulkan stres.
4. Pencederaan diri, yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri yang
dilakukan dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri sendiri,
tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk melukai
tubuh. Bentuk umum perilaku pencederaan diri termasuk melukai dan
membakar kulit, membenturkan kepala atau anggota tubuh, melukai
tubuhnya sedikit demi sedikit, dan menggigit jari.
5. Bunuh Diri, yaitu tindakan agresif yang langsug terhadap diri sendiri untuk
mengakhiri kehidupan.
F. Faktor Predisposisi Resiko Bunuh Diri
Menurut Stuart Gw & Laraia (2005), faktor predisposisi bunuh diri antara lain :
1. Diagnostik
> 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,
mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat
membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan apektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko bunuh diri
adalah rasa bermusuhan, implisif dan depresi.
3. Lingkungan psikososial
Seseorang yang baru mengalami kehilangan, perpisahan/perceraian, kehilangan
yang dini dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan bunuh diri.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko
penting untuk prilaku destruktif.
5. Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan depominersik
menjadi media proses yang dapat menimbulkan prilaku destrukif diri.
G. Faktor Presipitasi Resiko Bunuh Diri
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:
1. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti.
2. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusan.
H. Mekanisme Koping Resiko Bunuh Diri
Seorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping yang
berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial, rasionalization,
regression dan megical thinking. Mekanisme pertahanan diri yang ada seharusnya
tidak ditentang tanpa memberikan koping alternatif.
I. Penatalaksanaan
Pencegahan bunuh diri menurut Conwell terdiri atas pencegahan primer,
sekunder dan tertier. Pencegahan primer adalah suatu upaya pencegahan terjadinya
perilaku bunuh diri atau keadaan yang berkembang menjadi menjadi upaya bunuh
diri. Pencegahan sekunder adalah suatu upaya pencegahan dengan cara
menemukan sedini mungkin krisis bunuh diri dan melakukan tindakan agar tidak
berlanjut menjadi bunuh diri. Sedangkan pencegahan tertier adalah tindakan yang
ditujukan untuk menyelamatkan sesorang yang melakukan bunuh diri, mengurangi
gejala psikiatris dan penyakit sosial pada kelompok risiko. Penanganan di ruang
gawat darurat dan di bangsal rawat inap psikiatri merupakan pelayanan tertier
(WHO, 2010).
Evaluasi pertama di ruang gawat darurat merupakan unsur yang penting
dalam penanganan pasien psikiatri yang berisiko bunuh diri. Sangat mungkin
dalam penanganan tersebut dilakukan kerjasama dengan bagian lain (Roan, 2008).
Setelah itu, pasien gangguan mental dapat diberikan terapi sesuai indikasi dengan
tujuan utama menangani gejala mental akutnya. Langkah berikutnya adalah
melakukan intervensi psikologis. Sejumlah proses psikologis yang mendahului ide
dan perilaku bunuh diri dapat meningkat bila muncul stresor. Peran terapis adalah
mengenali faktor tersebut. Selama proses tersebut pencegahan dapat dilakukan
dengan membatasi sarana dan prasarana yang mungkin digunakan untuk
melakukan bunuh diri, banyak kasus bunuh diri dapat dicegah.
Begitu pula percobaan bunuh diri di rawat inap. Penderita depresi dapat
melakukan bunuh diri justru di saat mereka tampak mulai pulih (paradoxal suicide)
(Surilena, 2014). Pengenalan faktor risiko sangat penting bagi klinisi yang
merawat pasien psikiatri rawat inap. Petugas kesehatan harus cermat menilai
kondisi pasien secara keseluruhan. Faktor-faktor yang harus dinilai adalah status
mental terbaru, ide-ide terakhir mengenai kematian dan bunuh diri, rencana bunuh
diri terbaru, seberapa siap orang itu, dan sesegera apa aksi tersebut akan
dijalankan, sistem pendukung individu (WHO, 2010). Banyak pasien bunuh diri
menggunakan preokupasi bunuh diri untuk melawan depresi yang tidak
tertahankan dan rasa putus asa. Penilaian potensi bunuh diri melibatkan penggalian
riwayat psikitrik yang lengkap, pemeriksaan status mental pasien yang
menyeluruh, dan pertanyaan tentang gejala depresi, pikiran, tujuan, rencana dan
usaha bunuh diri (Sadock, 2013; Roy, 2010).
Cara terbaik untuk mengetahui apakah seseorang mempunyai ide untuk bunuh
diri adalah dengan menanyakan langsung. Tidak seperti yang diyakini selama ini,
membicarakan mengenai bunuh diri tidak membuat ide tersebut tertanam dalam
kepala seseorang. Kenyataannya mereka malah merasa bersyukur dan lega bisa
berbicara secara terbuka mengenai hal-hal dan pertanyaan yang membebani
mereka (WHO, 2010). Penilaian faktor risiko dapat mempergunakan The
California Risk Estimator for Suicide. The California Risk Estimator for Suicide
dirancang sebagai suplemen terhadap penilaian klinis, bukan sebagai pengganti
terutama untuk pasien dengan gangguan mood yang menonjol. Pemeriksaan yang
menyeluruh diindikasikan dalam setiap gangguan emosional yang berat.
Adanya keunikan individual menunjukkan bahwa jika skala tidak konsisten
dengan penilaian klinis, maka penilaian klinis harus lebih diutamakan. Di rumah
sakit, pasien mungkin menerima medikasi antidepresan atau antipsikotik sesuai
dengan indikasi; terapi individual, terapi kelompok dan juga terapi keluarga.
Pasien mendapatkan dukungan sosial rumah sakit dan rasa aman. Terapi ECT
(Electro Convulsive Theraphy) mungkin diperlukan untuk pasien yang terdepresi
parah. Pasien yang memiliki gagasan bunuh diri akut memiliki prognosis yang
lebih baik dari pada pasien yang mencoba bunuh diri secara kronis (Sadock, 2013;
Roy, 2010). Pengamatan yang terus-menerus oleh perawat khusus, pengurungan
dan pengikatan tidak dapat mencegah bunuh diri jika pasien teguh, terutama
individu yang ingin melakukan bunuh diri biasanya menjadi lebih kreatif untuk
menemukan metode bunuh dirinya. Namun demikian, harus diperhatikan agar
memeriksa barang-barang pasien dan orang-orang yang berkunjung ke bangsal
untuk mencari benda-benda yang dapat digunakan untuk bunuh diri dan secara
berulang mencari eksaserbasi gagasan bunuh diri (Sadock, 2013; Roy, 2010).
Penting juga mencermati kemungkinan pasien melakukan bunuh diri tidak di
dalam ruang rawat inap psikiatri tetapi masih dalam lingkungan rumah sakit. Bisa
di halaman, kebun, dapur atau tempattempat lain yang biasanya luput dari
pengamatan petugas.
Idealnya, pasien rawat inap yang mencoba bunuh diri mengalami depresi
harus ditempatkan dalam bangsal yang terkunci, dimana jendela dipasang terali,
ruangan pasien harus berlokasi dekat tempat perawatan untuk memaksimalkan
pengamatan oleh perawat. Tim yang mengobati harus diperiksa secara berulang
dan terus-menerus mengawasi secara langsung. Pasien yang sedang pulih dari
depresi, bunuh diri berada pada risiko khusus. Saat depresi menghilang, pasien
memiliki energi untuk melakukan bunuh diri .
II. PROSES TERJADINYA MASALAH (PSIKODINAMIKA)
Proses terjadinya bunuh diri dimulai dari adanya isyarat bunuh diri yang
ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri, misalnya
dengan mengatakan “Tolong jaga anak-anak karena saya akan pergi jauh!” atau
“Segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.” Pada kondisi ini pasien mungkin sudah
memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, tetapi tidak disertai dengan ancaman dan
percobaan bunuh diri. Selanjutnya adalah adanya ancaman bunuh diri biasanya
diucapkan oleh pasien, yang berisi keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk
mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara
aktif pasien telah memikirkan rencana bunuh diri, tetapi tidak disertai dengan
percobaan bunuh diri. Tahap terakhir adalah adanya percobaan bunuh diri yaitu
tindakan pasien mencederai atau melukai diri untuk mengakhiri kehidupannya.
6 Metode yang digunakan untuk seserang melakukan percobaan bunuh diri
pada umumnya selain memiliki fungsi untuk mengakhiri hidup juga memiliki makna
tersendiri seperti motif atau harapan yang mendasari. Metode yang digunakan dapat
berupa gantung diri, melukai diri dengan benda tajam seperti memotong urat nadi,
menusuk atau menembak dirinya sendiri, menelan racun atau obat sampai over dosis,
menjatuhkan diri dari gedung tinggi, membakar diri, menabrakkan diri, dan lain – lain
(Kartono, 2008).
III.KEMUNGKINAN DATA FOKUS PENGKAJIAN
Menurut Dermawan dan Rusdi (2013) data perilaku resiko bunuh diri dapat
diperoleh melalui observasi atau wawancara tentang perilaku berikut Cenderung tidak
kooperatif, kontak mata kurang, tidak mau menatap lawan bicara, diam, Kesadaran
berubah, kemampuan mengadakan hubungan serta pembatasan dengan dunia luar dan
dirinya sendiri sudah terganggu pada taraf tidak sesuai dengan kenyataan (secara
kualitatif).
IV. MASALAH KEPERAWATAN
1. Resiko bunuh diri

V. ANALISA DATA
No Data Masalah Keperawatan

1. Ds : Resiko bunuh diri


1. Klien mengatakan : “lama sekali ini
sakit kepala ku”
2. Klien mengatakan : “lebih baik mati ka
saja kalo begini”

Do :

1. Klien tampak cemas

2. Klien tampak pucat

3. Klien tampak tidak bergairah

4. Klien sering mengulang kata-kata yang


diucapkannya

VI. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Resiko bunuh diri

VII. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


a. Intervensi
NO Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1. Resiko Bunuh Setelah dilakukan Observasi


Diri intervensi keperawatan - Identifikasi mood
selama 1x 24 jam maka - Identifikasi risiko keselamatan diri
kontrol diri meningkat atau orang lain
dengan kriteria hasil : - Monitor fungsi kognitif
1. Perilaku melukai diri - Monitor aktivitas dan tingkat simulasi
sendiri menurun lingkungan
2. Verbalisasi keinginan Terapeutik
bunuh diri menurun - Fasilitasi pengisian kuesioner self-
3. Verbalisasi isyarat report
bunuh diri - Berikan kesempatan untuk
4. Verbalisasi ancaman menyampaikan perasaan
bunuh diri Edukasi :
5. Verbalisasi rencana
- Jelaskan tentang gangguan mood dan
bunuh diri
penanganannya
- Anjurkan berperan aktif dalam
pengobatan dan rehabilitasi, jika
perlu
- Anjurkan rawat inap sesuai indikasi
- Anjurkan mengenali pemicu
gangguan mood
- Anjurkan memonitor mood secara
mandiri
- Anjurkan keterampilan koping dan
penyelesaian masalah baru
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat, jika
perlu
- Rujuk untuk psikoterapi

b. Strategi Pelaksanaan
No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
1 Risiko 1. Klien 1.Menjawab SP 1
Bunuh mendapat salam 1. Menemani klien secara terus
Diri perlindungan 2.Ada kontak menerus sampai ia dapat
dari mata dipindahkan ketempat yang aman
lingkungannya 3.Menerima 2. Menjauhkan semua benda yang
2. Klien dapat perawat berbahaya (mis., pisau, silet, gelas,
mengungkapka 4.Mau berjabat tali pinggang)
n perasaannya tangan 3. Memeriksa apakah klien benar-
3. Klien dapat 5.Menceritakan benar telah meminum obatnya, jika
meningkatkan penderitaan secara klien mendapatkan obat
harga dirinya terbuka dengan 4. Menjelaskan pada Klien bahwa
4. Klien dapat orang lain akan melindungi klien sampai
menggunakan 6.Klien dapat tidak ada keinginan bunuh diri
cara menyebutkan cara SP 2
penyelesaian mengatasi 1. Mendiskusikan tentang cara
yang baik keinginan Bunuh mengatasi keinginan bunuh diri,
Diri dan yaitu dengan meminta bantuan dari
menyelesaikan Perawat atau teman
masalah yang 2. Meningkatkan harga diri klien
sudah mampu dengan cara :
dilakukan a.Memberi kesempatan klien untuk
mengungkapkan persaannya
Memberikan pujian bila klien
mengatakan perasaan yang
positif
c. Meyakinkan Klien bahwa
dirinya penting
d. Membicarakan tentang
keaadaan yang sepatutnya
disyukuri oleh Klien
3. Meningkatkan kemampuan
menyelesaikan masalah dengan
cara :
a. Mendiskusikan dengan klien
cara menyelesaikan masalah
SP 3
1. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1
dan SP 2)
2. Diskusikan dengan Klien
efektivitas masing-masing cara
penyelesaian masalah
3. Diskusikan dengan Klien cara
menyelesaikan masalah yang lebih
baik

DAFTAR PUSTAKA
Nanda, 2012. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Buku
Kedokteran : EGC.
Fitria, N. (2009), Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, dan Hanik Endang Nihayati, 2015, Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa, Salemba Medika, Jakarta
Stuart & Laraia. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Jakarta: EGC.
Sadock, BJ., Sadock, V.A. dan Kaplan & Sadock’s., 2010. Ganggaun Pervasif dalam
: Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed 2. Jakarta : EGC
Ariani, M., Soeselo, D. A., & Surilena. (2014). Karakteristik Pola Asuh dan
Psikopatologi Orang Tua Penyandang Retardasi Mental Ringan di Sekolah
Luar Biasa-C (SLBC) Harapan Ibu. Damianus Journal of Medicine, 13(2)
(74-83).

PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan


Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP
PPNI. PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi
dan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan
Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI

LAPORAN PENDAHULUAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN

VIII. KASUS PERILAKU KEKERASAN


J. Definisi
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan di mana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan (Elshy Pangden Rabba, Dahrianis, 2014).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain dan
lingkungan yang timbul sebagai kecemasan dan ancaman (Hadiyanto, 2016).
K. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala, marah, suka marah, pandangan tajam, otot tegang, nada
suara tinggi berdebat, selalu memaksakan kehendak dan memukul bila tidak
sengaja ditandai dengan: Fisik, Mata melotot/ pandangan tajam, tangan mengepal,
rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, seta postur tubuh kaku. Verbal,
mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras,
kasar dan ketus (Keliat, 2013)
Prilaku, menyerang orang lain, melukai diri sendiri atau orang lain, merusak
lingkungan, amuk atau agresif. Emosi, tidak adekuat, tidak aman dan nyaman,
merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin
berkelahi, menyalahkan dan menuntut. Intelektual, mendominasi, cerewet, kasar
berdebat, meremehakan dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada
sarkasme. Spiritual, merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak
bermoral dan kreativitas terhambat. Social, menarik diri, pengasingan,
penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran. Perhatian, bolos, melarikan diri, dan
melakukan penyimpangan seksual (Keliat, 2013)
L. Tingkatan
Tingkat perilaku kekerasan menurut Jeffrey dkk (2006):
1. Ringan, merupakan perilaku kekerasan yang diperlihatkan pasien dengan
gangguan jiwa hanya sebatas intimidasi terhadap orang-orang disekitarnya.
Pasien belum melakukan kekerasan verbal tetapi sudah menunjukkan
kekerasan emosional. Bentuknya merupakan emosional verbal seperti mata
melotot, melihat dengan tajam atau mengepalkan tangan.
2. Menengah (sedang), merupakan perilaku kekerasan yang sudah dilakukan
pasien tatapi tidak mengakibatkan cedera yang berarti. Pasien dengan
gangguan jiwa sudah menyerang dengan intensitas yang rendah, misalnya
memukul tapi dengan jenis pukulan yang tidak terlalu keras.
3. Berat, merupakan perilaku kekerasan yang benar-benar dilakukan pasien
dengan gangguan jiwa dalam intensitas yang berat. Biasanya akan
mengakibatkan cedera serius pada orang yang diserang.
M. Klasifikasi
1. Irritable agression
Merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan marah. Agresi ini dipicu
oleh oleh frustasi dan terjadi karena sirkuit pendek pada proses penerimaan dan
memahami informasi dengan intensitas emosional yang tinggi (directed against
an available target).

2. Instrumental agression
Suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan
tertentu. Misalnya untuk mencapai tujuan politik tertentu dilakukan tindak
kekerasan secara sengaja dan terencana.
3. Mass agression
Suatu tindak agresi yang dilakukan oleh massa sebagai akibat kehilangan
individualitas dari masing-masing individu. Pada saat orang berkumpul
terdapat kecenderungan berkurangnya individualitas, bila ada ada seseorang
yang mempelopori tindak kekerasan maka secara otomatis semua akan ikut
melakukan kekerasan yang dapat semakin meninggi karena saling
membangkitkan. Pihak yang menginisiasi tindak kekerasan tersebut bisa saja
melakukan agresi instrumental (sebagai provokator) maupun agresi
permusuhan karena kemarahan tidak terkendali (Keliat, 1996 dalam Muhith,
2015).
N. Rentang Respon
Menurut yosep (2010) rentang respon marah dibagi menjadi 5 yaitu:

Rentang Respon Kemarahan (Yosep, 2010)

1. Asertif yaitu mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa


menyalahkan atau menyakiti orang lain, hal ini dapat
menimbulkan kelegaan pada individu
2. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan
karena yang tidak realistis atau hambatan dalam proses
pencapaian tujuan.
3. Pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaan marah yang sekarang dialami,
dilakukan dengan tujuan menghindari suatu tuntunan nyata.
4. Agresif merupakan hasil dari kemarahan yang sangat tinggi atau
ketakutan / panik. Agresif memperlihatkan permusuhan, keras
dan mengamuk dengan ancaman, member kata-kata ancaman
tanpa niat melukai. Umumnya klien dapat mengontrol perilaku
untuk tidak melukai orang lain.
5. Kekerasan sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk. Perilaku
kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain secara
menakutkan, memberi kata-kata ancaman, melukai pada tingkat
ringan sampai pada yang paling berat. Klien tidak mampu
mengendalikan diri.
O. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan
adalah factor biologis, psikologis dan sosiokultural
1. Faktor Biologis
1) Instinctual Drive Theory ( Teori Dorongan Naluri)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat.

2) Psychosomatic Theory (Teori Psikosomatik)


Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologi terhadap stimulus
eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini sistim limbik
berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa
marah (Deden dan Rusdin, 2013)

2. Factor Psikologis
1) Frustation Aggresion Theory (Teory Agresif-Frustasi)
Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi
frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu
gagal atau menghambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu
berprilaku agresif karena perasaan prustasi akan berkurang melalui perilaku
kekerasan.

2) Behavior Theory (Teori Perilaku)


Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia
fasilitas/situasi yang mendukung.

3) Eksistensial Theory ( Teori Eksistensi)


Bertingkah laku adalah kebutuhan dasar manusia, apabila kebutuhan
tersebut tidak dapat terpenuhi melalui berprilaku konstruktif, maka
individu akan memenuhi melalui berprilaku destruktif.

3. Faktor Sosiokultural
1) Sosial Environment Theory (Teori Lingkungan Sosial)
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mendukung individu untuk
merespon asertif atau agresif.

2) Sosial Learning Theory (Teori Belajar Sosial)


Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui proses
sosialisasi(Deden dan Rusdin, 2013)

P. Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat unik.
Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik, kehilangan, kematian)
amaupun dalam (putus hubungan dengan orang yang berarti, kehilangan rasa
cinta, takut terhadap penyakit fisik). Selain itu lingkungan yang terlalu rebut,
padat, kritikan yang mengaruh pada penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu
perilaku kekerasan (Deden dan Rusdin, 2013)
Q. Mekanisme Koping
Menurut Prastya, & Arum (2017). Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme
koping klien, sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan koping yang
konstruktif dalam mengekpresikan kemarahannya.Mekanisme koping yang umum
digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi,
proyeksi, represif, denial dan reaksi formasi. Perilaku yang berkaitan dengan risiko
perilaku kekerasan antara lain:
a. Menyerang atau menghindar
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan system syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epinefrin yang menyebabkan tekanan darah
meningkat, takikardi, wajah marah, pupil melebar, mual, sekresi HCL
meningkat, peristaltik gaster menurun, kewaspadaan juga meningkat, tangan
mengepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
b. Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan perilaku asertif adalah
cara yang terbaik, individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa
menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis dan dengan perilaku
tersebut individu juga dapat mengembangkan diri.
c. Memberontak
Perilaku muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku untuk
menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan akibat konflik perilaku untuk
menarik perhatian orang lain.
R. Penatalaksanaan
Penatalaksaan perilaku kekerasan bisa juga dengan melakukan terapi restrain.
Restrain adalah aplikasi langsung kekuatan fisik pada individu, tanpa injin
individu tersebut, untuk mengatasi kebebasan gerak, terapi ini melibatkan
penggunaan alat mekanis atau manual untuk membatasi mobilitas fisik pasien.
Terapi restrain dapat diindikasikan untuk melindungi pasien atau orang lain dari
cidera pada saat pasien lagi marah ataupun amuk (Hastuti, Agustina, &
Widiyatmoko 2019). Tindakan yang dilakukan perawat untuk mengatasi resiko
perilaku kekerasan yaitu melakukan Strategi Pelaksanaan (SP) yang dilakukan
oleh klien dengan perilaku kekerasan adalah diskusi mengenai cara mengontrol
perilaku kekerasan secara fisik, obat, verbal, dan spiritual.
Mengontrol perilaku kekerasan secara fisik dapat dilakukan dengan cara
latihan tarik nafas dalam, dan pukul kasur atau bantal. Mengontrol secara verbal
yaitu dengan cara menolak dengan baik, meminta dengan baik, dan mengungkapka
dengan baik. Mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual dengan cara shalat
dan berdoa. Serta mengontrol perilaku kekerasan dengan minum obat secara
teratur dengan prinsip lima benar (benar klien, benar nama obat, benar cara minum
obat, benar waktu minum obat, dan benar dosis obat), (Sujarwo & Livana, 2018).
IX. PROSES TERJADINYA MASALAH (PSIKODINAMIKA)
Stres, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stres dapat menyebabkan kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat
menimbulkan kemarahan. Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara,
yaitu: mengungkapkan secara verbal, menekan dan menantang. Kemarahan diawali
oleh adanya stressor yang berasal dari internal atau eksternal. Stressor internal seperti
penyakit, hormonal, dendam, kesal sedangkan stressor ekternal bisa berasal dari
ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu, penggusuran, bencana dan
sebagainya, hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada sistem
individu (disruption and loss). Videbeck (2008) mengatakan pemaknaan dari individu
pada setiap kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan menjadi hal terpenting.
X. KEMUNGKINAN DATA FOKUS PENGKAJIAN
Menurut Dermawan dan Rusdi (2013) data perilaku kekerasan dapat diperoleh
melalui observasi atau wawancara tentang perilaku berikut,marah tanpa sebab, muka
merah dan tegang, pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan kuat, menggepalkan
tangan, bicara kasar, suara tinggi, menjerit atau berteriak, mengancam secara verbal
dan fisik, melempar atau memukul benda atau orang lain, merusak barang atau benda
dan tidak mempunyai kemampuan mencegah atau mengontrol perilaku kekerasan.
XI. MASALAH KEPERAWATAN
1. Perilaku Kekerasan

XII. ANALISA DATA


No Data Masalah Keperawatan
1 DS : Resiko perilaku

Klien mengatakan pernah melempar kekerasan

barang-barang yang ada


dirumahnya, pernah memukul keluarganya
dan marahmarah kepada adiknya.

Objektif :

Klien tampak memandang orang lain


dengan tatapan bermusuhan dan tampak
gelisah.

XIII. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Resiko perilaku kekerasan

XIV. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


a. Intervensi
NO Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1. Risiko Perilaku Setelah dilakukan Observasi :

Kekerasan intervensi keperawatan - Identifikasi kebutuhan keselamatan

(D.0146) selama 1x 24 jam maka (mis. Kondisi fisik, fungsi kognitif,


kontrol diri meningkat dan riwayat perilaku)
dengan kriteria hasil : - Monitor perubahan status
6. Perilaku menyerang keselamatan kerja
menurun Terapeutik
7. Perilaku merusak - Hilangkan bahaya keselamatan
menurun lingkungan (mis. Fisik, biologi dan
8. Suara keras menurun kimia) jika diperlukan
9. Bicara ketus menurun - Modifikasi lingkungan untuk
meminimalkan bahaya dan resiko
- Sediakan alat bantu keamanan
lingkungan (mis. Commode chair
dan pegangan tangan)
- Gunakan perangkat pelindung (mis.
Pengekangan fisik, rel samping,
pintu terkunci, pagar)
- Hubungi pihak berwenang sesuai
masalah komunitas masalah (mis.
Puskesmas, polisi, damkar)
- Fasilitasi relokasi ke lingkungan
yang aman
- Lakukan program skrining bahaya
lingkungan (mis. Timbal)
Edukasi :
Ajarkan individu, keluarga dan
kelompok risiko tinggi bahaya
lingkungan.

b. Strategi Pelaksanaan
No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
1 Perilaku 1. Mengidentif 1. Menyebutkan SP 1
Kekerasan ikasi penyebab penyebab, tanda, 1. Identifikasi penyebab tanda dan
dan tanda gejala dan akibat gejala serta akibat perilaku
perilaku perilaku kekerasan
kekerasan kekerasan 2. Latih secara fisik 1 : tarik nafas
2. Menyebutka 2. Memperagakan dalam
n jenis perilaku cara fisik 1 untuk 3. Masukkan dalam jadwal harian
kekerasan yang mengontrol pasien
pernah perilaku SP 2
dilakukan kekerasan 1. Evaluasi SP1
3. Menyebutka 2. Latih cara fisik 2 : pukul kasur /
n cara bantal
mengontrol 3. Masukkan dalam jadwal harian
perilaku pasien
kekerasan SP 3
4. Mengontrol 1. Evaluasi SP1 dan SP2
perilaku 2. Latih secara sosial / verbal
kekerasan secara 3. Menolak dengan baik
: fisik, sosial / 4. Memeinta dengan bik
verbal spiritual, 5. Mengungkapkan dengan baik
terapi 6. Memasukan dalam jadwal kegiatan
psikofarmaka klien
SP 4
1. Evaluasi SP 1, 2 dan 3
2. Latih secara spiritual berdo’a
3. Masukan dalam jadwal klien
SP 5
1. Evaluasi SP 1, 2, 3 dan 4
2. Latih patuh obat : minum obat
secara teratur dengan prinsip 5B
3. Susun jadwal minum obat dengan
teratur
4. Masukan dalam jadwal kegiatan
klien

DAFTAR PUSTAKA
Elshy Pangden Rabba, Dahrianis, S. P. R. (2014). Hubungan Antara Pasien
Halusinasi Pendengaran Terhadap Resiko Perilaku Kekerasan Di Ruang
Kenari RS. Khusus Daerah Provinsi Sul-Sel, 4, 470-475
Hadiyanto. 2016. Teori dan Pengembangan Iklim Kelas dan Iklim Sekolah. Jakarta:
Kencana.
Keliat, B.A., dan Akemat. (2013). Keperawatan Jiwa: Terapi Aktivitas Kelompok,
ED. 2
Jeffrey S. Nevid, J.S, Rathus, S.A & Green, B.2006. Psikologi Abnormal Jilid 2.
Jakarta: Erlangga.
Iyus, Yosep., 2010, Keperawatan Jiwa. Bandung : Refia Aditama
Dermawan, R., & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.

LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

I. Kasus (Masalah Utama)


Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalai kelainan
dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan
sehari hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur,
tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan penampilan
tidak rapi.
Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan dalam : kebersihan diri,
makan, berpakaian, berhias diri, makan sendiri, buang air besar atau kecil
sendiri (toileting) (Keliat B. A, dkk, 2011).
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah timbul pada pasien
gangguan jiwa. Pasien gangguan iwa kronis sering mengalami
ketidakpedulian merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif
dan menyebabkan pasien dikucilkan baik dalam keluarga maupun
masyarakat (Yusuf, Rizky & Hanik,2015:154)
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan
diri secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian atau berhias, makan, dan
BAB atau BAK (toileting) (Fitria, 2009).
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat
adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas
perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari ketidakmampuan
merawat kebersihan diri diantaranya mandi, makan dan minum secara mandiri,
berhias secara mandiri, dan toileting.

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Faktor Predisposisi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kurang perawatan diri
adalah, Perkembangan. Dalam perkembangan, keluarga yang terlalu
melindungi dan memanjakan klien dapat menimbulkan perkembangan
inisiatif dan keterampilan. Lalu faktor predisposisi selanjutnya adalah Faktor
Biologis, beberapa penyakit kronis dapat menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri secara mandiri. Faktor selanjutnya adalah
kemampuan realitas yang menurun. Klien dengan gangguan jiwa
mempunyai kemampuan realitas yang kurang, sehingga menyebabkan
ketidak pedulian dirinya terhadap lingkungan termasuk perawatan diri.
Selanjutnya adalah faktor Sosial, kurang dukungan serta latihan kemampuan
dari lingkungannya, menyebabkan klien merasa
B. Faktor Presipitasi.
Yang merupakan factor presipitasi defisit perawatan diri adalah
kurangnya atau penurunan motivasi, kerusakan kognisi, atau perseptual,
cemas, lelah / lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu
kurang mampu melakukan perawatan diri. Sedangkan menurut Depkes tahun
2000 faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah body Image,
praktik social, status sosial ekonomi, pengetahuan, budaya, kebiasaan dan
kondisi fisik.
Berikut penjabarannya. gambaran individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik
sehingga individu tidak perduli dengan dirinya. Pada anak anak selalu
dimanja dalam kebersihan diri maka,kemungkinan akan terjadi perubahan
pola personal hygiene.
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan, seperti sabun, sikat gigi,
shampoo dan alat mandi lainnya yang membutuhkan uang untuk
menyediakannya.
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan, misalnya pada pasien penderita
DM yang harus menjaga kebersihan kakinya. Pada factor Budaya, terdapat
budaya di sebagian masyarakat tertentu jika individu sakit tidak boleh
dimandikan. Ada pula kebiasaan seseorang yang enggan menggunakan
produk tertentu dalam perawatan diri, missal sabun, shampoo, dll.
Sedangkan, untuk factor kondisi fisik, pada keadaan tertentu / sakit
kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk
melakukan nya.

C. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri


Menurut Nanda (2012),jenis perawatan diri terdiri dari :
1. Defisit perawatan diri : mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
2. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berpakaian dan berhias untuk diri sendiri
3. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan
secara mandiri
4. Defisit perawatan diri : eliminasi / toileting
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri.
D. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009) adalah
sebagai berikut :
1) Mandi/Hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,memperoleh
atau mendapatkan sumber air,mengatur suhu atau aliran air
mandi,mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk
dan keluar kamar mandi
2) Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian ,menanggalkan pakaian,serta memperoleh atau menukar
pakaian.Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian
dalam,memilih pakaian,mengambil pakaian dan mengenakan sepatu
3) Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,mempersiapkan
makanan,melengkapi makanan,mencerna makanan menurut cara yang
diterima masyarakat,serta mencerna cukup makanan dengan aman
4) Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil,duduk atau bangkit dari jamban,memanipulasi
pakaian untuk toileting,membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan
tepat,dan menyiram toilet atau kamar kecil.

E. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Pola perawatan diri Kadang perawatan tidak melakukan perawatan


seimbang diri tidak seimbang diri

Gambar 1. Rentang Respon Defisit Perawatan Diri


Keterangan :
1. Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan mampu
untuk berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien
seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
2. Kadang perawatan diri kadang tidak : saat klien mendapatkan stresor
kadang kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
3. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan
tidak bisa melakukan perawatan saat stresor.

A. Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongan nya di bagi 2 (Stuart &
Sundeen, 2000), yaitu :
 Mekanisme Koping Adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi,
pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah :
Klien bisa memenuhi kebutuhan perawatan diri secara mandiri.

 Mekanisme Koping Mal Adaptif


Mekanisme koping yang menghambat, fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan. Kategori nya adalah : Tidak mau merawat diri.

III.Penjabaran Masalah
a) Pohon Masalah
Effect Gangguan pemeliharaan
Kesehatan (BAB/BAK,
mandi, makan, minum)
Core problem Defisit perawatan diri

Causa Menurunnya motivasi dalam


Perawatan diri

Isolasi sosial : menarik diri

Gambar 2: Pohon Masalah Defisit Perawatan Diri


(Sumber : Keliat, 2006)

b) Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji :


Masalah yang ditemukan adalah : Defisit Perawatan Diri (SP 1 Kebersihan
Diri, SP 1 Makan, SP 1 Toileting (BAB / BAK), SP 1 Berhias)
Contoh data yang biasa ditemukan dalam Defisit Perawatan Diri :
Kebersihan Diri adalah :
a) Data Subjektif :
Pasien merasa lemah,malas untuk beraktivitas,dan merasa tidak berdaya
b) Data Objektif :
Rambut kotor acak-acakan,badan dan pakaian kotor serta bau, mulut dan
gigi bau,kulit kusam dan kotor,kuku panjang dan tidak terawat.
c) Mekanisme Koping :
Regresi, penyangkalan, isolasi social menarik diri, intelektualisasi.
Defisit perawatan diri bukan merupakan bagian dari komponen pohon
masalah (causa,core problem,effect) tetapi sebagai masalah pendukung.
a) Effect
b) Core Problem
c) Causa
d) Defisit Perawatan Diri.

c) Diagnosa keperawatan
 Defisit Perawatan Diri : Ketidakmampuan merawat kebersihan diri
 Menurunnya motivasi dalam merawat diri

d) Rencana keperawatan

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


DEFISIT PERAWATAN DIRI : KEBERSIHAN DIRI

Tgl No Dx. Perencanaan


.D Keperawatan Tujuan Kriteria hasil Intervensi
x
I Defisit TUM :
Perawatan Klien dapat
Diri : melakukan
Merawat perawatan
Kebersihan diri secara
Diri mandiri 1.   Setelah …x 1.      Bina hubungan
interaksi klien saling percaya
TUK 1 : menunjukkan dengan :
Klien dapat tanda – tanda ·         Beri salam setiap
membina percaya pada berinteraksi
hubungan perawat : ·         Perkenalkan nama,
saling ·         Wajah cerah, nama panggilan
percaya tersenyum perawat, dan tujuan
·         Mau berkenalan perawat
·         Ada kontak berinteraksi.
mata ·         Tanyakan dan
·         Bersedia panggil nama
menceritakan kesukaan klien
perasaan ·         Tunjukkan sikap
·         Bersedia empati, jujur dan
mengungkapkan menepati janji
masalahnya setiap kali
berinteraksi.
·         Tanyakan perasaan
klien dan masalah
yang dihadapi klien
·         Buat kontrak
interaksi yang jelas
·         Dengarkan dengan
empati
·         Penuhi kebutuhan
dasar klien
TUK 2 : 2.    Dalam…x 2. diskusikan
Klien interaksi klien dengan klien :
mengetahui menyebutkan : ·         Penyebab klien
pentingnya ·         Penyebab tidak tidak merawat diri
perawatan merawat diri ·         Manfaat menjaga
diri ·         Manfaat perawatan diri
menjaga untuk keadaan
perawatan diri fisik, mental dan
·         Tanda-tanda sosial
bersih dan rapi ·         Tanda-tanda
·         Gangguan yang perawatan diri yang
dialami jika baik
perawatan diri ·         Penyakit atau
tidak gangguan
diperhatikan kesehatan yang bisa
dialami oleh klien
bila perawatan diri
tidak adekuat
TUK 3 : 3.1 Dalam …x3.1 diskusika frekuensi
Klien interaksi klien menjaga perawatan
mengetahui menyebutkan diri selama ini
cara-cara frekuensi         Mandi
melakukan menjaga         Gosok gigi
perawatan perawatan diri :         Keramas
diri ·         Frekuensi        Berpakain
mandi         Berhias
·         Frekuensi        Gunting kuku
gosok gigi 3.2 diskusikan cara
·         Frekuensi praktek perawatan
keramas diri yang baik dan
·         Frekuensi ganti benar
pakaian         Mandi
·         Frekuensi        Gosok gigi
berhias         Keramas
·         Frekuensi        Berpakain
gunting kuku         Berhias
3.2 Dalam …x        Gunting kuku
interaksi klien3.3 berikan pujian untuk
menjelaskan setiap respon kliken
cara menjaga yang positif
perawatan diri :
·         Cara mandi
·         Cara gosok gigi
·         Cara keramas
·         Cara
berpakaian
·         Cara berhias
·         Cara gunting
kuku
TUK 4 : 4. Dalam …x 4.1 Bantu klien saat
Klien dapat interaksi klien perawatan diri :
melaksanaka mempraktekan ·         Mandi
n perawatan perawatan diri ·         Gosok gigi
diri dengan dengan dibantu ·         Keramas
bantuan oleh perawat : ·         Berpakain
perawat ·         Mandi ·         Berhias
·         Gosok gigi ·         Gunting kuku
·         Keramas 4.2 Beri pujian setelah
·         Berpakain klien selesai
·         Berhias melaksanakan
·         Gunting kuku perawatan diri
TUK 5 : 5. Dalam …x 5.1 Pantau klien
Klien dapat interaksi klien dalam
melaksanaka melaksanakan melaksanakan
n perawatan praktek perawatan diri :
secara perawatan diri ·         Mandi
mandiri secara mandiri :·         Gosok gigi
·         Mandi 2x sehari
·         Keramas
·         Gosok gigi ·         Berpakain
sehabis makan ·         Berhias
·         Keramas 2x ·         Gunting kuku
seminggu 5.2 Beri pujian saat
·         Ganti pakaian klien melaksanakan
1x sehari perawatan diri
·         Berhias sehabis secara mandiri
mandi
·         Gunting kuku
setelah mulai
panjang
TUK 6 : 6.1 Dalam …x 6.1 Diskusikan
Klien interaksi dengan keluarga :
mendapatkan keluarga ·         Penyebab klien
dukungan menjelaskan tidak melaksanakan
keluarga cara-cara perawatan diri
untuk membantu klien ·         Tindakan yang
meningkatka dalam telah dilakukan
n perawatan memenuhi klien selama di
diri kebutuhan Rumah Sakit dalam
perawatan menjaga perawatan
dirinya diri dan kemajuan
6.2 Dalam …x yang telah dialami
interaksi oleh klien
keluarga ·         Dukungan yang
menyiapakan bisa diberika oleh
sarana keluarga untuk
perawatan diri meningkatkan
klien : sabun kemempuan klien
mandi, pasta dalam perawatan
gigi, sikat gigi, diri
sampo, handuk, 6.2 Diskusikan
pakaian bersih, denagn keluarga
sandal dan alat tentang :
berhias ·         Sarana yang
6.3 Keluarga diperlukan untuk
mempraktekan menjaga perawatan
perawatan diri diri klien
kepada klien ·         Anjurkan kepada
keluarga
menyiapkan sarana
tersebut
6.3 Diskusikan
dengan keluarga
hal-hal yang perlu
dilakukan keluarga
dalam perawatan
diri :
·         Anjurkan keluarga
untuk
mempraktekan
perawatan diri
(mandi, gosok gigi,
keramas, ganti
baju, berhias dan
gunting kuku)
·         Ingatkan klien
waktu mandi,
gosok gigi,
keramas, ganti
baju, berhias dan
gunting kuku
·         Bantu jika klien
mengalami
hambatan dalam
perawatan diri
·         Berikan pujian atas
keberhasilan klien
STRATEGI PELAKSANAAN (SP) 1 PASIEN
DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI : KEBERSIHAN DIRI
(Pengkajian dan melatih cara menjaga kebersihan diri : Mandi, gosok gigi, cuci rambut)
A. Proses Keperawatan

1. Kondisi Klien

Data Subjektif :
Pasien merasa lemah,malas untuk beraktivitas,dan merasa tidak berdaya

Data Objektif :
Rambut kotor dan acak-acakan, badan dan pakaian kotor serta bau, mulut dan

gigi bau,kulit kusam dan kotor,

2. Diagnosa Keperawatan

Defisit Keperawatan Diri : Mandi, Gosok gigi, cuci rambut


3. Tujuan Tindakan keperawatan

b. Klien dapat membina hubungan saling percaya.

c. Klien dapat menjelaskan, pentingnya kebersihan diri.

d. Klien dapat menjelaskan cara menjaga kebersihan diri.

e. Klien dapat melaksanakan perawatan diri dengan bantuan perawat.

f. Klien dapat melaksanakan perawatan diri secara mandiri.

4. Tindakan Keperawatan

a. Bina hubungan saling percaya.

b. Jelaskan pentingnya perawatan diri yang baik..

c. Ajarkan klien mempraktekan cara perawatan diri : mandi, gosok gigi dan
cuci rambut

d. Bantu klien mempraktekan cara perawatan diri.

e. Anjurkan klien memasukan kegiatan perawatan diri secara mandiri di


dalan jadwal kegiatan harian.
B. Strategi Komunikasi.

1. Fase Orientasi

a. Salam Teurapeutik

“Assalamualaikum..!! Selamat Pagi Bu, Perkenalkan nama saya Suster bekti,


Saya Mahasiswa Praktik dari Stikes Pertamedika, saya akan dinas diruangan Ini
selama 3 minggu. Hari ini saya dinas pagi, dari jam 07 pagi sampai jam 2 siang.
Saya akan merawat ibu selama di RS ini, nama ibu siapa? Senang nya dipanggil
apa.”
b. Evaluasi / Validasi

“Bagaimana perasaan ibu hari ini..? Apakah ibu sudah mandi & gosok gigi..? ”

c. Kontrak

 Topik :

“Baiklah bu.. Bagaimana kalau kita diskusi tentang kebersihan diri..?”


 Waktu :

“ Berapa lama ibu mau mengobrolnya..?, Bagaimana kalau 15 menit..?”


 Tempat :

“ Ibu maunya kita ngobrol dimana..?, Bagaimana kalau di ruang tamu..?”


2. Fase Kerja

“Berapa kali ibu mandi dalam sehari..?, Menurut ibu, apa sih kegunaan mandi..?,
Apa alasan ibu sehingga tidak mau mandi..?, Menurut ibu, apa manfaatnya kalau
kita menjaga kebersihan dir kiti,,? Kira – kira tanda tanda orang yang merawat diri
dengan baik, seperti apa yaa..? Kalau kita tidak teratur menjaga kebersihan diri,
masalah apa menurut ibu yang bias timbul..? Sekarang coba ibu sebutkan alat apa
saja yang digunakan untuk menjaga kebersihan diri, seperti kalau kita mandi, cuci
rambut, gosok gigi… apa saja yang disiapkan..? Benar sekali..!! Ibu perlu
menyiapkan pakaian ganti, handuk, sabun, sikat gigi, sampo dan odol serta sisir.
Wahhhh… Bagus sekali..!! Ibu bias menyebutkan dengan benar..”.
3. Fase Terminasi

a. Evaluasi Subjektif dan Objektif :

“..Bagaimana perasaan ibu setelah, kita membicarakan tentang cara merawat


kebersihan diri? Baguss sekali Bu..! Nah, sekarang, coba ibu sebutkan, cara
perawatan diri yang telah kita pelajari dan latih tadi..? Bagus sekali..!!
b. RTL

“ Baiklah bu, tadi ibu sudah menyebutkan manfaat bagi kita jika kita menjaga
kebersihan diri, dan kita juga sudah melakukan latihan, cara Merawat diri,
masukan kedalam jadwal yaa..! Selanjutnya jangan lupa untuk melakukan
sesuai jadwal ya bu..! mandi 2 X Sehari, gosok gigi 2 X sehari juga, keramas 2
X Seminggu. Bagaimana bu..? Bisa dilakukan..? Baguss sekali, ibu mau
mencoba melakukannya..!”
c. Kontrak yang akan datang

 Topik :

“..Baiklah ibu, cukup untuk hari ini, besok kita akan bertemu lagi, dan
membicarakan tentang kebutuhan dan latihan cara makan dan minum yang
baik dan benar, apakah ibu bersedia..?..”
 Waktu :

“.. Ibu mau jam berapa dan berapa lama..? bagaimana kalau jam 11,,? Baik
bu kita akan berbincang selama 15 menit”

 Tempat :

“..Ibu maunya kita berbincang dimana..? bagaimana kalau di ruang


makan..? baiklah bu, besok saya akan kesini jam 11 ya..! Sampai Jumpa
besok ya bu.. Saya permisi. Assalamualaikum..Wr. Wb..”.
LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL

A. Konsep Isolasi sosial


1. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan seorang individu yang mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain di sekitarnya. Pasin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain disekitarnya
(Keliat, 2011). Isolasi sosial menurut Townsend, dalam Kusumawati F dan
Hartono Y (2010) adalah suatu keadaan kesepian yang dirasakan seseorang
karena orang lain menyatakan negatif dan mengancam.
2. Rentang Respon
Menurut Stuart (2007). Gangguan kepribadian biasanya dapat dikenali pada
masa remaja atau lebih awal dan berlanjut sepanjang masa dewasa. Gangguan
tersebut merupakan pola respon maladaptive, tidak fleksibel, dan menetap yang
cukup berat menyababkan disfungsi prilaku atau distress yang nyata.
Respon adaptif respon maladatif

1. Menyendiri 1. Kesepian 1. Manipulasi

2. Otonomi 2. Menarik diri 2. Impulsive

3. Kebersamaan 3. Ketegantungan 3. Narsisme

4. Saling
ketergantungan

Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan dengan cara yang
dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut Riyardi S dan Purwanto T.
(2013) respon ini meliputi:
1. Menyendiri
Merupakan respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa
yang telah terjadi atau dilakukan dan suatu cara mengevaluasi diri dalam
menentukan rencana-rencana.
2. Otonomi
Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial, individu
mamapu menetapkan untuk interdependen dan pengaturan diri.
3. Kebersamaan
Merupakan kemampuan individu untuk saling pengertian, saling
member, dan menerima dalam hubungan interpersonal.
4. Saling ketergantungan
Merupakan suatu hubungan saling ketergantungan saling tergantung
antar individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah dengan cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama
dan masyarakat. Menurut Riyardi S dan Purwanto T. (2013) respon
maladaptive tersebut adalah:
1. Manipulasi
Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan
orang lain sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah
mengendalikan orang lain dan individu cenderung berorientasi
pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol digunakan sebagai
pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi alat
untuk berkuasa pada orang lain.
2. Impulsif
merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai
subyek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak
mampu merencanakan tidak mampu untuk belajar dari pengalaman
dan miskin penilaian
3. Narsisme
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku
ogosentris, harga diri yang rapuh, terus menerus berusaha
mendapatkan penghargaan dan mudah marah jika tidak mendapat
dukungan dari orang lain
4. Isolasi sosial
Adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan
atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain
3. Factor Predisposisi
Menurut Fitria (2009) faktor predisposisi yang mempengaruhi masalah
isolasi sosial yaitu:
1. Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahap tumbuh kembang terdapat tugas tugas perkembangan
yang harus terpenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial.
Apabila tugas tersebut tidak terpenuhi maka akan menghambat fase
perkembangan sosial yang nantinya dapat menimbulkan suatu masalah.
2. Faktor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang
termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan
ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan dimana seorang anggota
keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu
bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang
menghambat untuk hubungan dengan lingkungan diluar keluarga.
3. Faktor sosial budaya
Norma-norma yang salah didalam keluarga atau lingkungan dapat
menyebabkan hubungan sosial, dimana setiap anggota keluarga yang tidak
produktif seperti lanjut usia, berpenyakit kronis dan penyandang cacat
diasingkan dari lingkungan sosialnya.
4. Faktor biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi
gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien skizfrenia
yang mengalami masalah dalam hubungan memiliki struktur yang
abnormal pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk
sel-sel dalam limbic dan daerah kortikal.
4. Factor Presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor
presipitasi dapat dikelompokan sebagai berikut:
1. Faktor eksternal
Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang ditimbulkan oleh
faktor sosial budaya seperti keluarga.
2. Faktor internal
Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress yang terjadi akibat
kecemasan atau ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan
dengan keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini
dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau
tidak terpenuhi kebutuhan individu.
5. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala yang muncul pada klien dengan isolasi sosial menurut
Dermawan D dan Rusdi (2013) adalah sebagai berikut:
6. Gejala Subjektif
a. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
b. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
c. Respon verbal kurang atau singkat
d. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
e. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
f. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
7. Gejala objektif
a. Menjawab pertanyaan dengan singkat, yaitu “ya” atau “tidak” dengan
pelan
b. Respon verbal kurang dan sangat singkat atau tidak ada
c. Berpikir tentang sesuatu menurut pikirannya sendiri
d. Menyendiri dalam ruangan, sering melamun
e. Mondar-mandir atau sikap mematung atau melakukan gerakan secara
berulang-ulang
f. Apatis (kurang acuh terhadap lingkungan)
g. Ekspresi wajah tidak berseri
h. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
i. Kontak mata kurang atau tidak ada dan sering menunduk
j. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya (Trimelia,
2011: 15)

6. Mekanisme Koping
Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan
yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme
yang sering digunakan pada isolasi sosial adalah regresi, represi, isolasi.
(Damaiyanti, 2012: 84)
2) Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.
3) Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran pikiran yang tidak dapat
diterima secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
4) Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan
timbulnya kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan
motivasi atau bertentangan antara sikap dan perilaku.
Mekanisme koping yang muncul yaitu:
1. Perilaku curiga : regresi, represi
2. Perilaku dependen: regresi
3. Perilaku manipulatif: regresi, represi
4. Isolasi/menarik diri: regresi, represi, isolasi (Prabowo, 2014:113)
7. Penatalaksanaan
Menurut dalami, dkk (2009) isolasi sosial termasuk dalam kelompok
penyakit skizofrenia tak tergolongkan maka jenis penatalaksanaan medis yang
bisa dilakukan adalah:
1. Electro Convulsive Therapy (ECT)
Adalah suatu jenis pengobatan dimana arus listrik digunakan pada otak
dengan menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan dibagian temporal
kepala (pelipis kiri dan kanan). Arus tersebut menimbulkan kejang grand
mall yang berlangsung 25-30 detik dengan tujuan terapeutik. Respon
bangkitan listriknya di otak menyebabkan terjadinya perubahan faal dan
biokimia dalam otak.
2. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting
dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi:
memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang
terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa adanya, memotivasi
pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya secara verbal, bersikap
ramah, sopan, dan jujur kepada pasien.
3. Terapi Okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang
dalam melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan
maksud untuk memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan harga diri
seseorang. (Prabowo, 2014: 113)
A. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitias klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tangggal MRS, informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat
klien.
b. Alasan masuk
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain),
komunikasi kurang atau tidak ada, berdiam diri dikamar, menolak interaksi
dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan sehari-hari.
c. Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak
realistis, kegagalan / frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya;
perubahan struktur sosial.
Terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan, bercerai
dengan suami, putus sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang
terjadi (korban perkosaan, dipenjara tiba-tiba) perlakuan orang lain yang
tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang
berlangsung lama.
d. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan, TB, BB) dan
keluhan fisik yang dialami oleh klien.
e. Aspek Psikososial
a) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b) Konsep diri
1. Citra tubuh : Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang
berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau
yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh, persepsi
negatif tentang tubuh. Preokupasi dengan bagia tubuh yang hilang,
mengungkapkan keputusasaan, mengungkapkan ketakutan.
2. Identitas diri : Ketidak pastian memandang diri, sukar menetapkan
keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan.
3. Peran : Perubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit,
proses menua, putus sekolah, PHK.
4. Ideal diri : Mengungkapkan keputusasaan karena penyakitnya :
mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
5. Harga diri : Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah
terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan
martabat, mencederai diri, dan kurang percaya diri.
c) Klien mempunyai gangguan/hambatan dalam melakukan hubunga sosial
dengan orang lain/terdekat, kelempok masyarakat.
d) Kenyakinan klien terhadap tuhan dan kegiatan untuk ibadah (spiritual).
f. Status Mental
Kontak mata klien kurang/tidak dapat mepertahankan kontak mata, kurang
dapat memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang mampu
berhubungan denga orang lain, Adanya perasaan keputusasaan dan kurang
berharga dalam hidup.
g. Kebutuhan persiapan pulang.
Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan. Klien mampu
BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC, membersikandan
merapikan pakaian. Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat
rapih. Klien dapat melakukan istirahat dan tidur, dapat beraktivitas didalam
dan diluar rumah. Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan
benar.
h. Mekanisme Koping
Apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada
orang lain (lebih sering menggunakan koping menarik diri.
i. Aspek Medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi, ECT,
Psikomotor, therapy okopasional, TAK, dan rehabilitas.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi social
2. Harga diri rendah
3. Halusinasi
3. Pohon Masalah

Perilaku kekerasan

effect

Resiko gangguan sensori :halusinasi

Core problem
Isolasi Sosial
4. Intervensi keperawatan

No SDKI SLKI SIKI

1 Isolasi sosial Setelah dilakukan tidakan Terapi aktivitas


keperawatan diharapkan Observasi
isolasi social teratasi, 1. Identifikasi defisit tingkat
dengan keriteria hasil : aktivitas
5. Minat interaksi sosial 2. Identifikasi kemampuan
meningkat berpartisipasi dalam
6. Perilaku menarik diri aktivitas yang diinginkan
menurun 3. Identifikasi strategi
7. Perilaku bermusuhan meningkatkan partisipasi
menurun dalam aktivitas
8. Perilaku bertujuan 4. Identifikasi makna aktivitas
kontak mata membaik (mis. Bekerja) dan waktu
luang
5. Monitor respon, emosional,
fisik, sosial, dan spiritual,
terhadap aktivitas

Terurapeutik
1. Fasilitasi fokus pada
kemampuan, bukan defisit
yang di alami
2. Fasilitasi memilih aktifitas
dan tetapkan tujuab
aktivitas yang konsisten
sesuai kemampuan fisik,
psiologis, dan sosial.
3. Koordinasikan pemilihan
aktivitas sesuai usia
4. Fasilitasi makna aktivitas
yang dipilih
5. Libatkan keluarga dalam
aktivitas, jika perlu

Edukasi
1. Jelaskan metode aktivitas
fisik sehari – hari, jika
perlu
2. Ajarkan cara melakukan
aktivitas yang di pilih
3. Anjurkan melakukan
aktifitas fisik, sosial,
spiritual, dan kognitif
dalam menjaga fungsi dan
Kesehatan
4. Ajarkan terlibat dalam
aktivitas kelompok atau
terapi, jika perlu
5. Anjurkan keluarga untuk
memberi penguatan positif
atas partisipasi dala
aktivitas

Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan terap
okupasi dalam
merencanakan dan
memonitorprogram
akitivitas, jika sesuai
2. Rujuk pada pusat atau
program aktivitas
komunitas, jika perlu
5. Sterategi Pelaksanaan

Tgl Diagnosa Perencanaan


Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Isolasi Sosial Pasien mampu : Setelah pertemuan pasien Sp 1 (tgl )
 Menyadari mampu:  Indentifikasi penyebab
penyebab isolasi  Membina hubungan  Siapa yang satu rumah dengan pasien?
social saling percaya  Siapa yang dekat dengan pasien? Apa
 Berinteralsi dengan  Menyadari penyebab sebabnya
orang lain isolasi social keuntungan  Siapa yang tidak dekat dengan pasien
dan kerugian berinteraksi apa sebabnya?
dengan orang lain  Tanyakan ke untungan dan kerugian
 Melakukan interaksi berinteraksi dengan orang lain
dengan orang lain secara
 Tanyakan pendapat pasien tentang
bertahap
kebiasaan berinteraksi dengan orang
lain
 Tayakan apa yang menyebabkan pasien
tidak ingin berinteraksi dengan orang
lain
 Diskusikan ke untungan bila pasien
memiliki banyak teman dan bergaul
akrab dengan mereka
 Diskusikan kerugian bila pasien hanya
mengurung diri dan tidak bergau
dengan orang lain
 Jelaskan pengaruh isolasi social
terhadap kesehatan fisik mereka
 Latih berkenalan
 Jelaskan kepada klien cara berinteraksi
dengan orang lain
 Berikan contoh cara beriteraksi dengan
orang lain
 Beri kesempatan pasien
memperaktekkan cara berinteraksi
dengan orang lain yang dilakukan di
hadapan perawat
 Mulailah bantu pasien berinteraksi satu
oarnag teman /anggota keluarga
 Bila pasien sudah menunjukkan
kemajuan tingkat jumlah interaksi
dengan 2,3,1, orang dan seterusnya.
 Beri pujian untuk setiap kemajuan
interaksi yang telah di lakukan oleh
pasien.
 Siap mendengarkan ekspresi perasaan
pasien setelah berinteraksi dengan
orang lain, mungkin pasien akan
mengkungkapkan keberhasilan atau
kegagalan, beri dorongan terus menerus
agar pasien tetap semangat
meningkatkan interaksinya
 Masukkan jadwal kegiatan pasien.
Sp 2 (tgl )
 Evaluasi sp 1
 Latih berhubungan social secara
bertahap
 Masukkan dalam jadwal kegiatan
pasien
Sp 3 (tgl )
 Evaluasi sp 1dan 2
 Latih cara berkenalan dengan 2orang
atau lebih
 Masukkan jadwal kegiatan pasien
Keluarga mampu : Setelah x pertemuan keluarga SP 1
Merawat pasien mampu :  Identifikasi masalah yang dihadapi
isolasi sosial di rumah  Masalah isolasi sosial keluarga dalam merawat pasien
dan dampaknya pada  Penjelasan isolasi sosial
pasien  Cara merawat pasien isolasi sosial
 Penyebab isolasi sosial  Latih (simulasi)
 Sikap keluarga untuk  RTL keluarga / jadwal keluarga untuk
membantu pasien merawat pasien.
mengatasi isolasi
sosialnya
 Pengobatan yang
berkelanjutan dan
mencegah putus obat
 Tempat rujukan dan
fasilitas kesehatan yang
tersedia bagi pasien.
SP 2
 Evaluasi SP1
 Latih langsung ke pasien
 RTL keluarga / jaddwal keluarga untuk
merawat pasien
SP 3
 Evaluasi SP1 dan SP2
 Latih langsung ke pasien
 RTL keluarga/ jadwal keluarga untuk
merawat pasien
SP 4
 Evaluasi kemampuan keluarga
 Evaluasi kemampuan pasien
 Rencana tindak lanjut keluarga
 Follow up
 Rujukan

6.
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.


Maramis, W.f. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9
Surabaya: Airlangga UniversitY Press.
Rasmun. 2001. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatrik Terintegrasi Dengan
Keluarga, Edisi I. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Stuart, G.W & Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan
Jiwa (Terjemahan). Jakarta:EGC
LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


I.1. Definisi
Menurut NANDA dikutip oleh Direja (2011:142) Harga diri rendah
adalah ”evaluasi diri/perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang
negatif dan dipertahankan dalam waktu yang lama”. Sedangkan menurut
Keliat, dalam Fajariyah (2012) Harga diri rendah adalah “penilaian
tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai
dengan ideal diri”.
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga,tidak berarti,dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negative terhadap diri
sendiri dan kemampuan diri.Gangguan harga diri dapat di jabarkan
sebagai perasaan yang negative terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan
diri, serta merasa gagal mencapai keinginan (Farida,2011).
Harga diri rendah situasional terjadi bila seseorang mengalami
trauma yang terjadi secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan,
cerai, putus sekolah, putus hubungan kerja,perasaan malu karena sesuatu
telah terjadi,misalnya pemerkosaan, dituduh KKN, dipenjara secara tiba-
tiba (Fitria, 2013). Gangguan diri atau harga diri rendah dapat terjadi
secara Situasional Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus
dioperasi, kecelakaan,dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja.
Pada pasien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena prifasi
yang kurang diperhatikan. Pemeriksaan fisik yang sembarangan,
pemasangan alat yang tidak sopan, harapan akan struktur, bentuk dan
fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/penyakit, perlakuan
petugas yang tidak menghargai. (Makhripah & Iskandar, 2012).
Berdasarkan berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
gangguan harga diri rendah adalah gangguan konsep diri dimana harga
diri merasa gagal mencapai keinginan, perasaan tentang diri yang negatif
dan merasa dirinya lebih rendah dibandingkan orang lain. Gangguan
harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak orang dan
diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai berat.
Umumnya disertai oleh evaluasi diri yang negatif membenci diri sendiri
dan menolak diri sendiri.
I.2. Tanda dan Gejala
Tanda gejala harga diri rendah menurut (Carpenito 2003) antara lain
yaitu perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat
tindakan terhadap penyakit, rasa bersalah terhadap diri sendiri,
merendahkan martabat, gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri,
tidak ingin bertemu dengan orang lain, lebih suka sendiri, percaya diri
kurang, sukar mengambil keputusan, mencederai diri. Akibat harga diri
yang rendah disertai harapan yang suram, ingin mengakhiri kehidupan.
Tidak ada kontak mata, sering menunduk, tidak atau jarang melakuakan
kegiatan sehari-hari, kurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian
tidak rapi, berkurang selera makan, bicara lambat dengan nada lemah.
Adapun tanda dan gejala harga diri rendah adalah Menurut Fitria (2014),
sebagai berikut :
1) Mengkritik diri sendiri.
2) Perasaan tidak mampu.
3) Pandangan hidup yang pesimis.
4) Penurunan produktivitas
5) Penolakan terhadap kemampuan diri.
Selain data di atas, dapat juga mengamati penampilan seseorang dengan
harga diri rendah, terlihat dari kurang memperhatikan perawatan diri,
berpakaian tidak rapi, selera makan kurang, tidak berani menatap lawan
bicara, lebih banyak menunduk, bicara lambat dengan nada suara pelan.
I.3. Tingkatan
Menurut Fitria (2014) klasifikasi harga diri rendah yaitu:
1. Situasional : Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis yang
terjadi secara situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul
secara tiba tiba misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan,
menjadi korban pemerkosaan, atau menjadi narapidana sehingga haru
masuk penjara. Selain itu, dirawat dirumah sakit juga bisa
menyebabkan rendahnya harga diri seseorang dikarenakan penyakit
fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman,
harapan yang tidak tercapai akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh,
serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan
keluarga.
2. Kronik : Gangguan konsep diri: harga diri rendah biasanya sudah
berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau
sebelum dirawat. Klien sudah memiliki pemikiran negatif sebelum
dirawat dan menjadi semakin meningkat saat dirawat.
I.4. Rentang Respon

(Stuart, 2013)
1. Respon adaptif : Aktualisasi diri dan konsep diri yang positif serta
bersifat membangun (konstruktif) dalam usaha mengatasi stressor
yang menyebabkan ketidak seimbangan dalam diri sendiri.
a. Aktualisasi diri
Respon adaptif yang tertinggi karena individu dapat
mengespresikan kemampuan yang dimiliki.
b. Konsep diri positif
Individu dapat mengidentifikasi kemampuan dan kelemahan
secara jujur dan dalam menilai suatu masalah individu berfikir
secara positif dan realistis.
2. Respon Maladaptif : Aktualisasi diri dan konsep diri yang negatif
serta bersifat merusak (destruktif) dalam usaha mengatasi stressor
yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam diri sendiri
a. Harga Diri Rendah : Transisi antara respon konsep diri adaptif
dan maladaptif.
b. Keracunan identitas adalah kegagalan individu dalam
kemalangan aspek psikososial dan kepribadian dewasa yang
harmonis.
c. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realitis terhadap
diri sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan
serta tidak dapat membedakan dirinya dengan orang lain.
(Fajariyah, 2012)
Pohon Masalah
I.5. Psikopatologi

I.6. Komponen Konsep Diri


a. Citra tubuh
Citra tubuh adalah kumpulan sikap individu baik yang
disadari maupun tidak terhadap tubuhnya, termasuk persepsi masa
lalu atau sekarang mengenai ukuran, fungsi, keterbatasan, makna,
dan objek yang kontrak secara terus menerus (anting, make up,
pakaian, kursi roda, dan sebagainya). Baiknya masa lalu maupun
sekarang. Citra tubuh merupakan hal pokok dalam knsep diri.
Citra tubuh harus realistis karena semakin seseorang dapat
menerima dan menyukai tubuhnya ia akan lebih bebas dan merasa
aman dari kecemasan sehingga harga dirinya akan meningkat.
Sikap individu terhadap tubuhnya mencerminkan aspek penting
dalam dirinya misalnya perasaan menarik atau tidak, gemuk atau
tidak, dan sebagainya.
b. Ideal Diri
Persepsi individu tentang seharusnya berprilaku berdasarkan
standar, aspirasi, tujuan, tau nilai yang diyakininya. Penetapan
ideal diri dipengaruhi oleh budaya, keluarga, ambisi, keinginan,
dan kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan norma
serta prestasi masyarakat setempat. Individu cenderung menyusun
tujuan yang sesuai dengan kemampuannya, kultur, realita,
menghindari kegagalan dan rasa cemas, serta infeiority.
c. Harga Diri
Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dan
menganalisis seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. Harga
diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Individu akan
merasa harga dirinya tinggi bila sering mengalami keberhasilan.
Sebaliknya, individu akan merasa harga diri nya rendah bila sering
mengalami kegagalan, tidak dicintai, atau tidak diterima
lingkungan. Harga diri dibentuk sejak kecil dari adanya
penerimaan dan perhatian. Harga diri akan meningkat sesuai
meningkatnya usia dan sangat terancam pada masa pubertas.
Coopersmith dalam buku Stuart dan Sudden (2002) mmenyatakan
bahwa ada empat hal yang dapat meningkatkan harga diri anak
naik, yaitu:
1) Memberikan kesempatan untuk berhasil
2) Menanamkan idealisme
3) Mendukung aspirasi/ide
4) Membantu membentuk koping
d. Peran
Serangkaian pola sikap, perilaku, nilai, dan tujuan yang
diharapkan oleh masyarakat sesuai posisinya
dimasyarakat/kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana
untuk berperan serta dalamkehidupan sosial dan merupakan cara
untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang
berarti. Hal hal yang mempengaruhi penyesuaian individu
terhadap peran antara lain sebagai berikut.
1) Kejelasan perilaku yang sesuai dengan peran dan
pegetahuannya tentang peran yang diharapkan
2) Respons/tanggapan yang konsisten dari orang yang berarti
terhadap perannya
3) Kesesuaian norma budaya dan harapannya dengan perannya
4) Perbedaan situasi yang dapt menimbulkan penampilan peran
yang tidak sesuai
e. Identitas diri
Identitas adalah kesadaran tentang “diri sendiri” yang dapat
diperbolehkan individu dari observasi dan penilaian terhadap
dirinya, serta menyadari individu bahwa dirinya berbedadengan
orang lain. Pengertian identitas adalah organisasi, sintesis dari
semua gambaran utuh dirinya, serta tidak dipengaruhi oleh
pencapaian tujuan, atribut/jabatan, dan peran. Dalam identitas diri
ada otonomi yaitu mengerti dan percaya diri, hormat terhadap diri,
mampu menguasai diri, mengatur diri, dan menerima diri. Ciri
individu dengan identitas diri yang positif adalah sebagai berikut:
1) Mengenal diri sebagai individu yang utuh terpisah dari orang
lain
2) Mengakui jenis kelamin sendiri
3) Memandang berbagai aspek diri sebagai suatu keselarasan
4) Menilai diri sendiri sesuai penilain masyarakat
5) Menyadari hubungan masa lalu, sekarang, dan yang akan
datang
6) Mempunyai tujuan dan nilai yang disadari
Ciri individu yang berkepribadian sehat antara lain sebagai berikut:
1) Citra tubuh positif dan sesuai
2) Ideal diri realistis
3) Harga diri tinggi
4) Penampilan peran memuaskan
5) Identitas jelas
Adapun menurut Fajariyah (2012) konsep diri adalah semua pikiran,
kepercayaan, dan keyakinan yang diketahui tentang dirinya dan
mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain.
Adapun komponen konsep diri :
a. Gambaran diri (body image) adalah pandangan seseorang terhadap
tubuhnya.
b. Ideal diri (self ideal) adalah persepsi individu tentang perilaku
yang harus dilakukan sesuai dengan standar, aspirasi, tujuan atau
nilai yang ditetapkan.
c. Harga diri (self esteem) adalah penilaian tentang nilai individu
dengan menganalisa kesesuaian perilaku dengan ideal diri.
d. Peran (role performance) adalah seperangkat perilaku yang
diharapkan masyarakat sesuai dengan fungsi individu didalam
masyarakat tersebut.
e. Identitas (identity) adalah penilaian individu terhadap dirinya
sebagai satu kesatuan yang utuh, berlanjut, konsisten, dan unik.

Ciri konsep diri :


1) Konsep diri yang positif
2) Gambaran diri yang tepat dan positif
3) Ideal diri yang realistis
4) Harga diri yang tinggi
5) Penampilan diri yang memuaskan
6) Identitas yang jelas

I.7. Faktor Predisposisi


Menurut Stuart Gail (2013), faktor predisposisi harga diri rendah sebagai
berikut :
a. Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidakrealistis, kegagalan yang berulang,
kurang memiliki tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang
lain, dan ideal diri yang tidak realistis.
b. Factor yang mempengaruhi performa peran adalah steriotif peran
gender,tuntutan peran kerja,dan harapan peran budaya,nilai- nilai
budaya yang tidak dapat di ikuti oleh individu. Di masyarakat
umumnya peran seseorang disesuaikan dengan jenis kelamin.
Misalnya seorang wanita dianggapkurang mampu, kurang mandiri,
kurang obyektif dan rasional. Sedangkan pria dianggap kurang
sensitif, kurang hangat kurang ekspresif dibanding wanita. Sesuai
dengan standar tersebut, jika wanita atau pria berperan tidak sesuai
lazimnya maka dapat menimbulkan konflik diri maupun hubungan
sosial.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas diri meliputi ketidakpercayaan
orang tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur
social. Orang tua yang selalu curiga pada anak akan menyebabkan
anak menjadi kurang percaya diri,ragu dalam mengambil keputusan
dan dihentikan rasa bersalah ketika akan melakukan sesuatu.
Kontrol orang tua yang berat pada anak remaja akan menimbulkan
perasaan benci pada orang tua. Teman sebaya merupakan faktor lain
yang berpengaruh pada identitas.
d. Faktor biologis
Adanya kondisi sakit fisik yang dapat mempengaruhi kerja hormon
secara umum yang dapat pula berdampak pada keseimbangan
neurotransmiter diotak.
I.8. Faktor Pesipitasi
Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi yang
dihadapi individu dan ia tidak mampu menyesuaikan situasi atas stresor
dapat mempengaruhi komponen. Stresor yang dapat mempengaruhi
gambaran diri adalah hilangnya bagian tubuh, tindakan operasi, proses
patologi penyakit, perubahan struktur dan fungsi tubuh, proses tumbuh
kembang, prosedur tindakan dan pengobatan. Sedangkan stressor yang
dapat mempengaruhi harga diri dan ideal diri adalah penolakan dan
kurang penghargaan diri dari orang tua dan orang yang berarti.
Faktor pencetus dapat berasal dari sumber internal ataupun eksternal
a. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau
menyaksikan peristiwa yang mengancam kesehatan.
b. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang
diharapkan dan individu mengalaminya sebagai frustasi. Ada tiga
jenis transisi peran :
1. Transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif yang
berkaitan dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap
perkembangan dalam kehidupan individu atau keluarga dan norma
budaya, nilai serta tekanan untuk menyesuaikan diri
2. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya
anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.
3. Transisi peran sehat-sakit terjadi akibat pergeseran dari keadaaan
sehat kekeadaan sakit. transisi ini dapat dicetuskan oleh :
4. Kehilangan bagian tubuh
5. Perubahan ukuran, bentuk, penampilan atau fungsi tubuh.
6. Perubahan fisik yang berhubungan dengan tumbuh kembang
normal.
7. Prosedur medis dan keperawatan. (Stuart, 2013).
I.9. Mekanisme Koping
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka pendek atau
jangka panjang serta penggunaan mekanisme pertahanan ego untuk
melindungi diri sendiri dalam menghadapi persepsi diri yang menyakitkan
(Stuart 2013) :
a. Pertahanan jangka pendek mencangkup berikut ini :
1. Aktifitas yang memberikan pelarian sementara dari krisis identitas
diri (misalnya konser musik, bekerja keras, menonton televisi
secara obsesif).
2. Aktifitas yang memberikan identitas pengganti sementara
(misalnya ikut serta klub sosial, agama, politik, kelompok gerakan
atau geng).
3. Aktifitas sementara menguatkan atau meningkatkan perasaan diri
yang tidak menentu (misalnya olahraga yang kompeletif, kontes
untuk mendapatkan popularitas).
4. Aktifitas yang merupakan upaya jangka pendek untuk membuat
identifitasi diluar dari hidup yang tidak bermakna saat ini (misalnya
penyalahgunaan obat).
b. Pertahanan jangka panjang mencakup :
1. Penutupan identitas, adopsi identitas premature yang diinginkan
oleh orang tedekat tanpa memperhatikan aspirasi, atau potensi diri
individu.
2. Identitas negatif asimsi identitas yang tidak sesuai dengan nilai dan
harapan yang diterima masyarakat.
I.10. Penatalaksanaan
Menurut Prabowo (2014) terapi pada gangguan jiwa skizofrenia dewasa
ini sudah dikembangkan sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi
bahkan metodenya lebih manusiawi dari pada masa sebelumnya. Terapi
yang dimaksud meliputi :
a. Psikofarmaka
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran yang hanya
diperoleh dengan resep dokter, dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu
golongan generasi pertama (typical) dan golongan kedua (atypical).
Obat yang termasuk golongan generasi pertama misalnya :
1) Chlorpromazine HCL
Indikasi: Skizofrenia dan kondisi yang berhubungan dengan
psikosis, trankulisasi dan kontrol darurat untuk gangguan perilaku.
Terapi tambahan untuk gangguan perilaku karena retardasi mental.

2) Haloperido
Indikasi: Skizofrenia akut dan kronik, status ansietas, gelisah dan
psikis labil disertai dengan mudah marah, menyerang, astenia,
delusi, halusinasi.
Kontraindikasi: Depresi endogen tanpa agitasi, gangguan saraf
dengangejala piramidal atau ekstrapiramidal, kondisi koma, depresi
SSP berat.
b. Psikoterapi
Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi
dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya
supaya ia tidak mengasingkan diri lagi karena bila ia menarik diri ia
dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk
mengadakan permainan atau latihan bersama. (Maramis, 2005 dikutip
oleh Prabowo, 2014)

c. Terapi kejang listrik


Electro convulsive therapy adalah pengobatan untuk menimbulkan
kejang granmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik
melalui elektrode yang dipasang satu atau dua temples. Therapi kejang
listrik diberikan pada
d. Terapi Modalitas
Terapi modalitas atau perilaku merupakan pengobatan untuk
skizofrenia yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan pasien.
Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk
meningkatkan kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri sendiri
dan latihan praktis dalam komunikasi interpersonal.

II. Konsep Asuhan Keperawatan


A. Proses Terjadinya Masalah (Psikodinamika)
Harga diri seseorang diperoleh dari diri sendiri dan orang lain.
Gangguan harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang,
perlakuan orang lain yang mengancam dan hubungan interpersonal yang
buruk. Tingkat harga diri seseorang berada dalam rentang tinggi sampai
rendah. Individu yang memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan
secara aktif dan mampu beradaptasi untuk berubah serta cenderung
merasa aman. Individu yang memiliki harga diri rendah melihat
lingkungan dengan cara negatif dan menganggap sebagai ancaman.
Hal ini sesuai dengan pendapat Barbara Kozier berikut: Level of self
esteem range from high to low. A person who has high self esteem deals
actively with the environtment, adapts effectively to change, and fells
secure.a person with low self esteem sees the environment as negative
and threatening (Driever dalam Kozier, 2003:845).
Self esteem dipengaruhi oleh pengalaman individu dalam
perkembangan fungsi ego, dimana anak-anak yang beradaptasi terhadap
lingkungan internal dan eksternal biasanya memiliki perasaan aman
terhadap lingkungan dan menunjukkan self esteem yang positif.
Sedangkan individu yang memiliki harga diri rendah cenderung untuk
mempersepsikan lingkungan negatif dan sangat mengancam. Mungkin
pernah mengalami depresi atau gangguan dalam fungsi egonya (Otong,
1995:297).
Sebuah hasil riset menyimpulkan bahwa harga diri rendah
diakibatkan oleh rendahnya cita-cita seseorang. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya tantangan dalam mencapai tujuan. Tantangan yang rendah
menyebabkan upaya yang rendah. Selanjutnya hal ini menyebabkan
penampilan seseorang yang tidak optimal (Malhi, 2008).
Dalam tinjuan life span history klien, penyebab terjadinya harga diri
rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas
keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya
sering tidak dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima.
Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah, pekerjaan, atau pergaulan.
Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan
menuntut lebih dari kemampuannya.
B. Kemungkingan Data Fokus Pengkajian
1. Pengumpulan Data
a) Identitas klien : Identitas klien meliputi nama,umur,jenis kelmain,
pendidikan, agama, pekerjaan, status marital, suku/bangsa, alamat,
nomor medrek, ruang rawat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal
pengkajian, dan diagnosa medis, dan identitas penanggung jawab.
b) Alasan masuk : Tanya kepada pihak klien/keluarga atau pihak
yang berkaitan dantuliskan hasilnya, apa yang menyebabkan klien
datang kerumah sakit, dan Apa yang sudah dilakukan
klien/keluarga sebelum atau sesudah berobat kerumah sakit.
c) Faktor predisposisi
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep
diri seseorang (Stuart, 2006).
1) Riwayat ganguan jiwa
2) Pengobata
3) Aniaya
4) Anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
5) Pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan
d) Pengkajian fisik : Tanda-tanda vital , Ukur dan observasi tanda-
tanda vital: tekanan darah, nadi, suhu, dan pernafasan klien, berat
badan, dan tinggi badan.
e) Pengkajian psikososial
1) Genogram
Kaji meliputi gambaran klien dengan tiga generasi ke atas,
pola asuh, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan
hubungan dengan anggota keluarga lainnya. Keluarga dari
klein sebelumnya pernah mengalami penyakit gangguan
kejiwaan, pola asuh yang kurang dari orang tuanya saat/sejak
dari kecil, jarang diikitsertakan dalam pengambilan keputusan,
dan hubungan klien dengan keluarga lainnya kurang harmonis.
pengambilan keputusan, dan faktor herediter (Azizah : 2011).
2) Konsep diri
a. Gambaran`diri : Disukai dan tidak disukai, klien akan
mengatakan tidak ada keluhan apapun.
b. Identitas diri : Kaji bagaiman kepuasan klien terhadap
jenis kelaminnya, status sebelum dirawat dirumah sakit.
Klien merasa tidak berdaya dan rendah diri sehingga tidak
mempunyai status yang dibanggakan atau diharapkan
dikeluarga maupun masyarakat
c. Peran : Biasanya pasien mengalami penurunan
produktifitas, ketegangan peran dan merasa tidak mampu
dalam melaksanakan tugas.
d. Ideal diri : Tanyakan harapan terhadap tubuh, posisi,
status, tugas/peran. Harapan klien terhadap lingkungan
(keluarga, sekola, tempat kerja, masyarakat),harapan klien
terhadap penyakitnya.
e. Harga diri : Pasien mengejek dan mengkritiki diri sendiri,
menurunkan martabat, menolak kemampuan yang dimiliki
yang nyata dan perasaan dirinya lebih penting.
f) Hubungan sosial
1) Klien tidak mempunyai orang yang berarti untuk mengadu
atau meminta dukungan
2) Pasien merasa berada dilingkungan yang mengancam.
3) Keluarga kurang memberikan penghargaan kepada klien.
4) Klien sulit berinteraksi karena berprilaku kejam dan
mengeksploitasi orang lain

g) Spiritual
1) Falsafah hidup
Pasien merasa perjalanan hidupnya penuh dengan ancaman,
tujuan hidup biasanya jelas, kepercayaannya terhadap sakit
serta engan penyembuhannya.
2) Konsep kebutuhan dan praktek keagamaan
Pasien mengakui adanya tuhan tetapi kurang yakin terhadap
Tuhan, putus asa karena tuhan tidak memberikan sesuatu yang
diharapkan dan tidak mau menjalankan kegiatan keagamaan.
h) Status mental
1) Penampilan
Penampilan tidak rapih, tidak sesuai karena klien kurang minat
untuk melakukan perawatan diri.
2) Pembicaraan
Klien dengan frekuensi lambat, tertahan, volume suara rendah,
sedikit bicara, inkoheren, dan bloking (Yosep, 2013).
3) Aktivitas motorik
Tegang, lambat, gelisah, dan terjadi penurunan aktivitas
interaksi (Yosep, 2013).
4) Alam perasaan
Klien biasanya merasa tidak mamapu dan pandangan hidup
yang pesimis (Yosep, 2013).
5) Afek
Afek klien biasanya tumpul yaitu klien tidak mampu berespon
bila ada stimulus emosi yang bereaksi (Yosep, 2013).
6) Interaksi selama wawancara
Biasanya kurang kooperatif dan mudah tersinggung
(Yosep,2013).
7) Persepsi
Klien mengalami halusinasi dengar/lihat yang mengancam
atau member perintah. (Keliat: 2011).
8) Proses pikir
Data diperoleh dari hasil observasi ketika wawancara tentang
sirkumtansial (pembicaraan yang berbelit-belit, tetapi samapai
pada tujuan pembicaraan). Tangensial (pembicaraan yang
berbelit-belit, tetapi tidak sampai pada tujuan pembicaraan).
Kehilangan asosiasi (pembicaraan tidak memiliki hubungan
antara satu kalimat dengan kalimat lainnya, serta klien tidak
menyadarinya). Fight of ideas (pembicaraan yang meloncat
dari satu toipik ke topik lain, masih ada hubungan yang tidak
logis dan tidak sampai pada tujuan). Blocking (pembicaraan
terhenti secara tiba-tiba tanpa gangguan eksternal kemudian
dilanjutkan kembali). Perseverasi (pembicaraan yang diulang
berkali-kali.
9) Isi pikir
Merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau menolak diri
sendiri, mengejek dan mengkritik diri sendiri (Yosep, 2013)
10) Tingkat kesadaran
Data tentang bingung (tampak bingung dan kacau) dan sedasi
(klien mengatakan malu bila bertemu orang lain karena dirinya
mengalami gangguan jiwa) diperoleh melalui wawancara dan
observasi, stupor (gangguan motorik seperti ketakutan,
gerakan yang di ulang-ulang, anggota tubuh klien dalam sikap
canggung yang dipertahankan dalam waktu lama.
11) Memori
Klien dengan harga diri rendah, umumnya tidak terdapat
gangguan pada memorinya, baik memori jangka pendek
ataupun memori jangka panjang. (Keliat : 2011).
12) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Tingkat konsentrasi terganggu dan mudah beralih atau tidak
mampu mempertahankan konsentrasi dalam waktu lama,
karena merasa cemas. Dan biasanya tidak mengalami
gangguan dalam berhitung. (Keliat : 2011).
13) Kemampuan menilai
Gangguan kemampuan penilaian ringan (dapat mengambil
keputusan yang sederhana dengan bantuan orang lain,
14) Daya tilik diri
Klien tidak tahu alasan dibawa ke Rumah Sakit dan tidak
menyadari mempunyai gangguan jiwa. (Keliat: 2011).
C. Masalah Keperawatan
Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji menurut Kartika (2015) :
1. Masalah utama
Gangguan konsep diri : harga diri rendah
Data subyektif :
a) Mengungkapkan ingin diakui jati dirinya.
b) Mengungkapkan tidak ada lagi yang peduli.
c) Mengungkapkan tidak bisa apa-apa.
d) Mengungkapkan dirinya tidak berguna.
e) Mengkritik diri sendiri.
f) Perasaan tidak mampu.
Data obyektif :
a) Merusak diri sendiri.
b) Merusak orang lain.
c) Ekspresi malu.
d) Menarik diri dari hubungan sosial.
e) Tampak mudah tersinggung.
f) Tidak mau makan dan tidak tidur.
2. Masalah keperawatan
Penyebab tidak efektifan koping individu.
Data subyektif :
a) Mengungkapkan ketidakmampuan dan meminta bantuan orang
lain.
b) Mengungkapkan malu dan tidak bisa ketika diajak melakukan
sesuatu.
c) Mengungkapkan tidak berdaya dan tidak ingin hidup lagi.
Data obyektif :
a) Tampak ketergantungan terhadap orang lain.
b) Tampak sedih dan tidak melakukan aktivitas yang seharusnya
dapat dilakukan.
c) Wajah tampak murung.
3. Masalah keperawatan
Akibat isolasi sosial menarik diri
Data subyektif :
a) Mengungkapkan enggan berbicara dengan orang lain
b) Klien mengatakan malu bertemu dan berhadapan dengan orang
lain.
Data obyektif :
a) Ekspresi wajah kosong tidak ada kontak mata ketika diajak bicara.
b) Suara pelan dan tidak jelas.
c) Hanya memberi jawaban singkat (ya atau tidak).
d) Menghindar ketika didekati.
D. Analisa Data
Analisa adalah kemampuan mengkaitkan data menghubungkan data
tersebut dengan konsep diri, teori dan prinsip yang relevan untuk
membuat kesimpulan dan menentukan masalah kesehatan dan
keperawatan klien. Menurut SDKI :
Data Fokus Masalah Keperawatan

Tanda dan Gejala Mayor Harga Diri Rendah Situasional


Data Subjektif : (D.0087)
1. Menilai diri negatif (mis, tidak berguna,
tidak tertolong)
2. Merasa malu/bersalah
3. Melebih-lebihkan penilaian negative
tentang diri sendiri
4. Menolak penilaian positif tentang diri
sendiri
Data Objektif :
1. Berbicara pelan dan lirih
2. Menolak berinteraksi dengan orang lain
3. Berjalan menunduk
4. Postur tubuh menunduk
Tanda dan Gejala Minor
Data Subjektif :
Sulit berkonsentrasi
Data Obejektif :
1. Kontak mata kurang
2. Lesu tidak bergairah
3. Pasif
4. Tidak mampu membuat keputusan
Tanda dan Gejala Mayor Isolasi Sosial : Menarik diri
Data Subjektif : (D.0121)
1. Merasa ingin sendiri
2. Merasa tidak aman ditempat
Data Objektif :
1. Menarik diri
2. Tidak berminat/menolak berinteraksi
dengan orang lain atau lingkungan
Tanda dan Gejala Minor :
Data Subjektif :
1. Merasa berbeda dengan orang lain
2. Merasa asyik dengan pikiran sendiri
3. Merasa tidak mempunyai tujuan yang
jelas
Data Objektif :
1. Afek datar
2. Afek sedih
3. Riwayat ditolak
4. Menunjukkan permusuhan
5. Tidak mampu memenuhi harapan orang
lain
6. Kondisi difabel
7. Tindakan tidak berarti
8. Tidak ada kontak mata
9. Perkembangan terlambat
10. Tidak bergairah/lesu
Tanda dan Gejala Mayor
Gangguan persepsi sensori :
Data Subjektif :
Halusinasi (D.0085)
1. Mendengar suaru bisikan atau melihat
bayangan
2. Merasakan sesuatu melalui indera
perabaan, penciuman atau pengcepan
Data Objektif :
1. Distorsi sensori
2. Respons tidak sesuai \
3. Bersikap seolah melihat, mendengar,
mengecap, meraba, atau mencium
sesuatu
Tanda dan Gejala Minor :
Data Subjektif :
Menyatakan kesal
Data Objektif :
1. Menyendiri
2. Melamun
3. Konsentrasi buruk
4. Disorientasi waktu, tempat, orang atau
situasi
5. Curiga
6. Melihat ke satu arah
7. Mondar-mandir
8. Bicara sendiri

E. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah situasional
2. Isolasi sosial : Menarik diri
3. Perubahan persepsi sensori : Halusinasi
F. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana tindakan

Harga diri rendah Setalah dilakukan tindakana Promosi Harga Diri (I.09308)
situasional keperawatan 3x24 jam Tindakan :
diharapkan terjadi Observasi :
peningkatan terhadap 1. Identifikasi budaya, agama,
perasaan poitif terhadap diri ras, jenis kelamin, dan usis
sendiri , dengan kriteria terhadap harga diri
hasil : 2. Monitor verbalisasi yang
1. Penilaian diri positif merendahkan diri sendiri
meningkat (5) 3. Monitor tingkat harga diri
2. Perasaan memiliki setiap waktu,sesuai kebutuhan
kelebihan atau Terapeutik :
kemampuan positif 1. Motivasi terlibat dalam
meningkat (5) verbalisasi untuk diri sendiri
3. Penerimaan penilaian 2. Motivasi menerima tantangan
positif terhadap diri atau hal baru
sendiri menngkat (5) 3. Diskusikan pernyataan harga
4. Minat mencoba hal diri
baru meningkat (5) 4. Diskusikan pengalaman yang
5. Berjalan meningkatkan harga diri
menampakkan wajah 5. Diskusikan persepsi diri
meningkat (5) negative
6. Postur tubuh 6. Diskusikan alasan mengkritik
menampakkan wajah diri atau rasa bersalah
meningkat (5) 7. Diskusikan penetapan tujuan
7. Konsentrasi realistis untuk mencapai harga
meningkat (5) diri yang lebih tinggi
8. Tidur meningkat (5) 8. Diskusikan bersama keluarga
9. Perasaan malu untuk menetapkan harapab
menurun (5) dan batasan yang jelas
10. Perasaan bersalah 9. Berikan umpan balik postif
menurun (5) atas peningkatan mencapai
11. Perasaan tidak mampu tujuan
melakukan apapun 10.Fasilitasi lingkungan dan
menurun (5) aktivitas yang meningkatkan
harga diri
Edukasi :
1. Jelaskan kepada keluarga
pentingnya dukungan dalam
perkembangan konsep positif
diri pasein
2. Anjurkan mengidantifikasi
kekuatan yang dimiliki
3. Anjurkan mempertahankan
kontak mata saat
berkomunikasi dengn orang
lain
4. Anjurkan membuka diri
terhadap kritik negative
5. Anjurkan mengevaluasi
perilaku
6. Ajarkan cara mengatasi
bullying
7. Latih peningkatan tanggung
jawab untuk diri sendiri
8. Latih pernyataan/kemampuan
positif diri
9. Latih cara berpikir dn
berperilaku postitif
10. Latih meningkatkan
kepercayaan pada kemampuan
dalam menangani situasi
ASUHAN PADA PASIEN DENGAN HARGA DIRI RENDAH
TGL DX PERENCANAAN
TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI
1 2 3 4 5
Gangguan konsep diri: Pasien mampu: Setelah…..pertemuan klien mampu: SP.1 (Tgl…............................)
harga diri rendah  Mengidentifikasi  Mengidentifikasi kemampuan aspek positif  Identifikasi kemampuan positif yang dimiliki
kemampuan dan yang dimiliki - Diskusikan bahwa pasien masih
aspek posiif yang  Memiliki kemampuan yang dapat digunakan. memiliki sejumlah kemampuan dari
dimiliki Memilih kegiatan sesuai kemampuan aspek positif seperti kegiatan pasien di
 Menilai kemampuan  Melakukan kegiatan yang sudah dipilih. rumah adanya keluarga dan lingkungan
yang dapat digunakan Merencanakan kegiatan yang sudah dilatih. terdekat pasien.
 Menetapkan/memilih - Beri pujian yang realistis dan hindarkan
kegiatan yang sesuai setiap kali bertemu dengan pasien
dengan kemampuan penilaian yang negative.
 Melatih kegiatan yang  Nilai kemampuan yang dapat dilakukan saat
sudah dipilih, sesuai ini
kemampuan - Diskusikan dengan pasien kemampuan
 Merencanakan yang masih digunakan saat ini
kegiatan yang sudah - Bantu pasien menyebutkannya dan
dilatihnya memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan
pasien
- Perlihatkan respon yang kondusif dan
menjadi pendengar yang aktif
 Pilih kemampuan yang akan dilatih
- Diskusikan dengan pasien beberapa
aktivitas yang dapat dilakukan dan
dipilih sebagai kegiatan yang akan pasien
lakukan sehari-hari
- Bantu pasien menetapkan aktivitas mana
yang dapat pasien lakukan secara
mandiri
 Aktivitas yang memerlukan bantuan
minimal dari keluarga
 Aktivitas apa saja yang perlu bantuan
penuh dari keluarga atau lingkungan
terdekat pasien
 Beri contoh pelaksanaan aktivitas
yang dapat dilakukan pasien
 Susun bersama pasien aktivitas atau
kegiatan sehari-hari pasien
 Nilai kemampuan pertama yang telah dipilih
- Diskusikan dengan pasien untuk
menetapkan urutan kegiatan (yang sudah
dipilih pasien)yang akan dilatihkan
- Bersama pasien dan keluarga
memeperagakan beberapa kegiatan yang
akan dilakukan pasien
- Berikan dukungan dan pujian yang nyata
sesuai kemajuan yang diperlihatkan
pasien.
 Masukan dalam jadwal kegiatan pasien
- Beri kesempatan pada pasien untuk
mencoba kegiatan
- Beri pujian atas aktivitas/kegiatan yang
dapat dilakukan pasien setiap hari
- Tingkatkan kegiatan sesuai dengan
toleransi dan setiap perubahan
- Susun daftar aktivitas yang sudah
dilatihkan bersama pasien dan keluarga
- Berikan kesempatan mengungkapkan
perasaannya setelah pelaksanaan
kegiatan. Yakinkan bahwa keluarga
mendukung setiap aktivitas yang
dilakukan pasien
SP.2 (Tgl….......................................)
 Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1)
 Pilih kemampuan kedua yang dapat
dilakukan
 Latih kemampuan yang dipilih
 Masukan dalam jadwal kegiatan pasien
SP.3 (Tgl…....................................)
 Evaluasi kegiatan yang lalu (SP.1 dan 2)
 Memilih kemampuan ketiga yang dapat
dilakukan
 Masukan dalam jadwal kegiatan pasien
Keluarga mampu: Setelah……pertemuan keluarga mampu: SP.1 (Tgl…............................)
Merawat pasien dengan  Mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki  Identifikasi masalah yang dirasakan dalam
harga diri rendah di pasien merawat pasien
rumah dan menjadi  Menyediakan fasilitas untuk pasien  Jelaskan proses terjadinya HDR
system pendukung yang melakukan kegiatan  Jelaskan tentang cara merawat pasien
efektif bagi pasien  Mendorong pasien melakukan kegiatan  Main peran dalam merawat pasien HDR
 Memuji pasien saat pasien dapat melakukan  Susun RTL keluarga/jadwal keluarga untuk
kegiatan merawat pasien
 Membantu melatih pasien
 Membantu menyusun jadwal kegiatan pasien
 Membantu perkembangan pasien
SP.2 (Tgl…............................)
 Evaluasi kemampuan SP.1
 Latih keluarga langsung ke pasien
 Menyusun RTL keluarga/jadwal
keluarga untuk merawat pasien
SP.3 (Tgl….................................)
 Evaluasi kemampuan keluarga
 Evaluasi kemampuan pasien
 RTL keluarga:
- Follow up
- Rujukan
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.

Bandung : Refika Aditama.

Direja,A.H.S.(2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Merdeka:

Yogyakarta.

Fajariyah. (2012). Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Harga Diri Rendah.

Jakarta : TIM.

Farida K, Yudi H. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Salemba Medika:

Jakarta.

Fitria, Nita. (2014). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan LP Dan SP Tindakan

Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Keliat, B.A., dkk. (2011). Manajemen Keperawatan Psikososial dan Kader

Kesehatan CMHN (Intermediate Course). Jakarta : EGC

NANDA, (2011). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011.

Cetakan 2011. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi

dan Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP

PPNI. PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI):

Definisi dan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan

Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI

Stuart, W.Gail. (2013). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa. (Edisi

1). (Terjemahan Budi Anna Keliat dan Jesika Parasibu).

Elsevier.:Singapoer.
Yosep, 1. (2013).keperawatan jiwa (Edisi revisi). PT Refika Aditam : Bandung.

Yusuf, Rizky F, Hanik E.N. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Salemba

Medika: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai