Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

“Atresia Ani Pada An. M”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Akhir Profesi Ners Departemen Pediatri,

Di Ruang 15 Rumah Sakit Saiful Anwar

Oleh:

ABIDAH RAHMI HILMY

NIM: 170070301111012

PROGRAM STUDI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
ATRESIA ANI
DI RUANG 15 RSSA

Oleh :

ABIDAH RAHMI HILMY

NIM: 170070301111012

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

NIP. NIP.
1. DEFINISI
 Atresia ani terjadi karena tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya
berlubang karena cacat bawaan (Dewi, 2011 : 112).
 Atresia ani atau anus imperforadis adalah suatu keadaan dimana lubang anus
tidak berlubang. Atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak
ada dan “trepsis” yang artinya nutrisi atau makanan. Menurut istilah kedokteran
atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan
yang normal (Sudarti, 2010 : 75).
 Merupakan suatu kelainan bawaan dimana tidak ada lubang tetap pada anus
(Jitowiyono & Weni, 2011 : 102).
 Impoferata anus adalah tidak komplit perkembangan embrionik pada distal usus
(anus) atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi & Rita, 2006 :145).

2. KLASIFIKASI
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :
1. Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis
dicapai melalui saluran fistula eksterna.Kelompok ini terutma melibatkan bayi
perempuan dengan fistula rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana
fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang
adequate sementara waktu.
2. Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar
tinja.Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi
spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
a. Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat sfingter
internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat
hubungan dengan saluran genitourinarius.
b. Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter
eksternal berada pada posisi yang normal.
c. Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya
berhungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina
(perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.

3. ETIOLOGI
Penyebab atresia ani belum diketahui secara pasti tetap ini merupakan penyakit
anomaly kongenital (Bets. Ed 3 tahun 2002)
Akan tetapi atresia juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur.
b. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan.
c. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus,
rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat
sampai keenam usia kehamilan.

4. MANIFESTASI
Menurut Dewi(2011 : 112) manifestasi klinis dari atresia rekti atau anus impoferata
adalah :
1. Selama 24-48 jam pertama kelahiran, bayi mengalami muntah-muntah dan tidak ada
defekasi mekonium. Selain itu anus tampak merah.
2. Perut kembung baru kemudian disusul muntah.
3. Tampak gambaran gerak usus dan bising usu meningkat (hiperperistaltik) pada
auskultasi.
4. Tidak ada lubang anus.
5. Invertogram dilakukan setelah bayi berusia 12 jam untuk menentukan tingginya
atresia.
6. Terkadang tampak ileus obstruktif.
7. Dapat terjadi fistel. Pada bayi perempuan sering terjadi fistel rektovaginal, sedangkan
pada bayi laki-laki sering terjadi fistel rektourinal.
5. PATOFISIOLOGI
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum
dilakukan pada gangguan ini. Pemeriksaan fisik rectum kepatenan rectal dapat
dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
b. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel
mekonium.
c. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan
adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang
mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
d. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong. Ultrasound
terhadap abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena
massa tumor.
e. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut
sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk
1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
f. Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan
 Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah
tersebut.
 Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan
gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada
bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid,
kolon/rectum.
 Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah
dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah
antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.
g. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
h. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
i. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
j. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
k. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
l. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan
traktus urinarius.

7. PENATALAKSANAAN
a. Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan
kelainan.Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya.Untuk
kelainan dilakukan kolostomi, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen
(prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan.
Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada
pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga
memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan bertambah baik status nutrisnya.
b. Pengobatan
1) Aksisi membran anal (membuat anus buatan)
2) Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan dilakukan
korksi sekaligus (pembuat anus permanen)

8. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
1. Obstruksi
2. Perforasi
3. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
4. Komplikasi jangka panjang.
 Eversi mukosa anal
 Stenosis
5. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
6. Inkontinensia (akibat stenosis awal )
7. Prolaps mukosa anorektal.
8. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)
9. Sepsis

9. PENGKAJIAN
1. Pengkajian
a. Biodata klien
b. Riwayat keperawatan
c. Riwayat keperawatan/kesehatan sekarang
d. Riwayat kesehatan masa lalu
2. Riwayat tumbuh kembang
a. BB lahir abnormal
b. Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang pernah
mengalami trauma saat sakit
c. Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal
d. Sakit kehamilan tidak keluar mekonium
3. Pola nutrisi – Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan atresia ani
post kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan munta
dampak dari anestesi.
4. Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh
dibersihkan dari bahan – bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk buangan.
Oleh karena pada atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan
mengalami kesulitan dalam defekasi
5. Pola Aktivitas dan Latihan
Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.
6. Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan masa
lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
7. Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka inisisi.
8. Konsep Diri dan Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort. Terjadi
perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi
9. Peran dan Pola Hubungan
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit.
Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik untuk
melaksanakan peran
10. Pola Reproduktif dan Sexual
Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi
11. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi, Adanya faktor stress lama, efek
hospitalisasi, masalah keuangan,
12. Pola Keyakinan dan Nilai
Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang dipeluk
dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat dalam
memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya pelaksanaan ibadah
(Mediana,1998).
13. Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak
merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan
hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan
vagina.

10. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosa pre operasi:
1. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat,
muntah.
3. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan
prosedur perawatan.
Diagnosa post operasi:
1. Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan/ insisi luka.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari
kolostomi.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme sekunder terhadap
luka kolostomi.
4. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan kolostomi.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
Perencanaan keperawatan pada diagnosa preoperasi:
1. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
Tujuan: Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.
Kriteria hasil:
a. Penurunan distensi abdomen.
b. Meningkatnya kenyamanan.
Intervensi:
a. Lakukan enema atau irigasi rektal.
b. Kaji bising usus dan abdomen.
c. Ukur lingkar abdomen.
2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake, muntah.
Tujuan: Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.
Kriteria hasil:
a. Output urin 1-2 ml/ Kg/ Jam.
b. Capillary refill 3-5 detik.
c. Turgor kulit baik.
d. Membran mukosa lembab.
Intervensi:
a. Pantau TTV.
b. Monitor intake-output cairan.
c. Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV.
3. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan
prosedur perawatan.
Tujuan: Kecemasan orang tua dapat berkurang.
Kriteria hasil:
Klien tidak lemas.
Intervensi:
a. Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang anatomi dan fisiologi
saluran pencernaan normal.
b. Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua.
c. Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi.
Perencanaan keperawatan pada diagnosa postoperasi:
1. Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan/ insisi luka.
Tujuan: Rasa nyeri teratasi/ berkurang.
Kriteria hasil:
a. Klien tampak tenang dan merasa nyaman.
b. Klien tidak meringis kesakitan.
Intervensi:
a. Kaji skala nyeri.
b. Kaji lokasi, waktu dan intensitas nyeri.
c. Berikan lingkungan yang tenang.
d. Atur posisi klien.
e. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari
kolostomi.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
Kriteria hasil:
a. Penyembuhan luka tepat waktu.
b. Tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.
Intervensi:
a. Kaji area stoma.
b. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada area stoma.
c. Tanyakan apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
d. Kosongkan kantong kolostomi setelah terisi ¼ atau ⅓ kantong.
e. Lakukan perawatan luka kolostomi.
3. Resiko infeksi berhubungan masuknya mikroorganisme sekunder terhadap luka
kolostomi.
Tujuan: Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil:
a. Tidak ada tanda-tanda infeksi.
b. TTV normal.
c. Leukosit normal.
Intervensi:
a. Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
b. Pantau TTV.
c. Pantau hasil laboratorium.
d. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.
e. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
4. Perubahan eliminasi berhubungan kolostomi.
Tujuan: Gangguan pola eliminasi teratasi.
Kriteria hasil:
a. BAB normal.
b. Frekuensi buang air besar 1-2x/ hari.
Intervensi:
a. Kaji pola dan kebiasaan buang air besar.
b. Kaji faktor penyebab konstipasi/ diare.
c. Anjurkan orang tua klien untuk memberi minum banyak dan mengandung tinggi serat
jika konstipasi.
d. Lakukan perawatan kolostomi.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
Tujuan: Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah.
Kriteria hasil:
a. Menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan kolostomi dirumah.
Intervensi:
a. Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai mereka dapat
melakukan perawatan.
b. Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan perawat.
c. Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan melakukan dilatasi pada
anal secara tepat.
d. Ajarkan cara perawatan luka yang tepat.
e. Latih pasien untuk kebiasaan defekasi.
f. Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat).
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisike-3.

Jakarta : EGC

Dewi, Vivia Nanny Lia. 2011. Asuhan Neonatus Bayi Anak Balita. Jakarta : Salemba Medika

Hidayat, A. Azis Alimul . (2006) . Pengantar Ilmu Anak buku 2. Editor Dr Dripa Sjabana

Jitowiyono, Sugeng & Weni Kristiyanasari. 2011. Asuhan Keperawatan Nenonatus dan

Anak. Yogyakarta : Nuha Medika

Purwanto, Fitri .2001. Buku Pedoman Rencana Asuhan Keperawatan Bedah Anak.Jakarta :

Amarta Jakarta.

Sodikin. 2009. Keperawatan Anak Gangguan Pencernaan. Jakarta : EGC

Sudarti. 2010. Kelainan dan Penyakit Pada Bayi dan Anak. Yogyakarta : Nuha Medika

Suriadi & Rita Yulianni. 2006. Asuhan Keperawatn pada Anak. Jakarta : PT. Percetakan

Penebar Swadaya

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri Kurnianianingsih (ed),

Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai