Adapun kelemahan dari PP adalah fungsi kontrol dalam dokumen analisis dampak
lingkungan (Amdal) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/UPL) tidak pernah ada karena banyak
persoalan yang menghantui proses pembuatannya dokumen lingkungan Amdal
dan UKL/UPL dianggap sebagai proses administrasi sehingga fungsi pengawasan
publiknya hilang. Kelemahan ini diakui Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif
Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga menyampaikan dalam
catatan advokasi lingkungan Walhi bahwa kasus-kasus lingkungan terjadi karena
pelaku usaha dan pemerintah menyepelekan proses dan ketaatan dokumen
Amdal atau UKL/UPL, baginya banyak kasus Amdal dan UKL/UPL bodong, dibuat
dengan data yang tidak benar, mendapat penolakan masyarakat tetapi nyatanya
Amdal atau UKL/UPL tetap berlaku. Selain itu, upaya penegakan dari pemerintah
juga masih sangat lemahiii.
Pakar hukum lingkungan Mas Achmad Santosa mencoba membandingkan antara
PP No 27 Tahun 2012 dengan UU No 32 Tahun 2009. Dia mempersoalkan PP No
27 Tahun 2012 yang tidak mengatur proses pencabutan izin secara detail yang
memperhatikan kepentingan pihak-pihak terkait. Padahal, lanjutnya, UU No 32
Tahun 2009 menerapkan sistem efek berantai izin lingkungan. Artinya, jika izin
lingkungan dicabut, maka izin usaha dibatalkan. Selain itu, ia menilai PP No 27
Tahun 2012 melanggengkan birokratisasi perizinan di bidang lingkungan hidup.
Pasalnya, PP tersebut masih menerapkan izin perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, disamping izin lingkungan. Hal ini, menurutnya, bertentangan
REVIEW PP NO 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN & REVIEW KEPUTUSAN
DIRJEN PERTAMBANGAN UMUM TENTANG JAMINAN REKLAMASI NO 336K TAHUN
1996
Keputusan ini hadir dengan berinduk pada Keputusan Menteri Pertambangan dan
Energi Nomor 1211. K/008/M.PE / 1995 tanggal 17 Juli 1995 tentang Pencegahan
dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan
Usaha Pertambangan Umum. Yang menjadi fokus Keputusan Dirjen ini adalah
pengenjewantahan dari ketentuan pasal 29 untuk menjamin terlaksananya
reklamasi secara tepat tanpa membebani iklim investasi di bidang pertambangan
umum. Sejatinya Keputusan Dirjen ini tidak relevan jika dipakai sebagai dasar
hukum untuk melihat fenomena jaminan reklamasi kontemporer. Pasalnya, saat
ini ada peraturan baru yang lebih komprehensif dibandung keputusan dirjen
tersebut—yakni Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2010 tentang reklamasi
pasca-tambang.
Reklamasi merupakan istilah yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di media
massa. Biasanya jika kita mendengar kata reklamasi kita pasti merujuk pada
konflik reklamasi di teluk jakarta atau di tanjung benoa di Bali. Reklamasi dalam
pengertian keputusan Dirjen Pertambangan Umum di sini bukan kegiatan yang
dilakukan dengan tujuan menambah luasan daratan di wilayah laut lepas/perairan
untuk suatu aktivitas yang sesuai di wilayah tersebut, melainkan seperti yang ada
di pasal 1b Keputusan tersebut—yakni kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau
menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha
pertambangan umum agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai
peruntukannya.
Komponen biaya rencana reklamasi sebagaiman dimaksud dalam pasal 3 ayat 1
terdiri dari :
a. Biaya langsung dapat meliputi :
1. Biaya pembongkaran fasilitas tambang (bangunan, jalan, emplasemen), kecuali
ditentukan lain.
2. Biaya penataan kegunaan lahan yang terdiri dari : a. Sewa alat – alat berat; b.
Pengisian kembali lahan bekas tambang; c. Pengaturan permukaan lahan; d.
Penebaran tanah pucuk; e. Pengendalian erosi dan pengelolaan air.
3. Biaya revegetasu dapat meliputi : a. Analisis kualitas tanah; b. Pemupukan; c.
Pengadaan bibit; d. Penanaman; e. Pemeliharaan tanaman.
4. Biaya pencegahan dan penanggulangan air asam tambang
5. Biaya untuk pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan pasca tambang
Bentuk jaminan reklamasi dapat berupa deposito berjangka dan atau “ accounting
reserve”. Direktur Jenderal melakukan penyesuaian terhadap jumlah reklamasi
apabila : a. wilayah yang semula dikenakan jaminan reklamasi berubah dan tidak
sesuai lagi dengan rencana reklamasi semula b. biaya reklamasi berubah sebagai
akibat perubahan keadaan ekonomi di daerah pertambangan seperti upah tenaga
kerja, ongkos sewa peralatan, dan inflasi atau deflasi atau devaluasi.
Untuk menunjukkan keseriusan perusahaan dalam melakukan reklamasi dan
pascatambang, perusahaan harus menyerahkan dana jaminan reklamasi dan
pascatambang. Dana jaminan reklamasi ditempatkan di bank pemerintah
Indonesia atas nama pemegang IUP eksplorasi bersangkutan, sedangkan dana
pascatambang disimpan dalam bentuk rekening bersama dengan pemerintah,
deposito berjangka, bank garansi yang diterbitkan oleh bank pemerintah, atau
dalam bentuk cadangan akuntansi.
Perusahaan dapat meminta pencairan dana jaminan reklamasi ketika 20 persen
setelah kegiatan reklamasi dinyatakan selesai oleh Direktur Jenderal. Apabila
perusahaan pertambangan telah mendapat penghargaan lingkungan, maka
kepada perusahaan pertambangan tersebut akan diberikan 50 persen keringanan
dari besarnya jumlah jaminan reklamasi yang telah ditetapkan untuk satu tahun
berikutnya. Akan tetapi, Direktur Jenderal dapat memberikan peringatan secara
tertulis kepada perusahaan pertambangan apabila tidak menunjukkan
kesungguhan, gagal atau lalai dalam melaksanakan reklamasi sesuai dengan
Rencana Tahunan Pengelolaan Lingkungan (2) apabila dalam jangka waktu 60
hari setelah menerima surat peringatan yang dimaksud pada ayat 1 perusahaan
pertambangan tidak melaksanakan reklamasi, Direktur Jenderal melakukan
tindakan sebagai berikut: a. menunjuk pihak ketiga untuk menyelesaikan reklamasi
dengan menggunakan sebagian atau seluruh jaminan reklamasi yang ditempatkan
b. menghentikan atau menutup sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha
pertambangannya (3) Perusahaan pertambangan yang kegiatan usaha
pertambangannya dihentikan karena lalai atau gagal melaksanakan kewajiban
reklamasi, maka perusahaan pertambangan dan pemegang saham mayoritas
tidak diberikan lagi kesempatan untuk berusaha di bidang pertambangan umum.
Secara normatif, dengan adanya keputusan tersebut diharapkan lahan yang rusak
akibat eksploitasi kegiatan produksi pertambangan dapat diperbaiki dan berfungsi
seperti semula. Keputusan ini ingin mengikat perusahaan untuk
bertanggungjawab mengembalikan fungsi asli lahan setelah dirusak akibat
aktivitas tambang dengan kewajiban menyetor sejumlah biaya sebagai biaya
jaminan reklamasi. Namun keputusan ini bukannya tanpa celah, dalam praktiknya
para pemegang izin usaha pertambangan kerap cuci tangan terhadap bekas
lubang galian tambang.
Mereka cukup bayar dana jaminan reklamasi dan menyerahkan pengurusan bekas
lubang galian tambang kepada pemerintah daerah. Selain itu, menurut data dari
JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) pemegang izin usaha pertambangan juga
kerap mengemplang dana jaminan reklamasi. Dari temuan Jatam di daerah lokasi
areal tambang, bisa sebagian pemegang izin usaha pertambangan tak membayar
dana jaminan reklamasiv. Praktik cuci tangan ini bisa terjadi lantaran keputusan
dirjen pertambangan umum ini memberikan ruang bagi perusahaan tambang
berdasarkan anggapan bahwa reklamasi tersebut akan dilaksanakan oleh pihak
ketiga dengan catatan memberi sejumlah biaya reklamasi yang akan ditentukan
REVIEW PP NO 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN & REVIEW KEPUTUSAN
DIRJEN PERTAMBANGAN UMUM TENTANG JAMINAN REKLAMASI NO 336K TAHUN
1996
(lihat pasal 4). Adapun Negara perlu lebih tegas soal keputusan siapa yang harus
melakukan upaya reklamasi pascatambang dengan mewajibkan perusahaan
sebagai satu-satunya aktor yang harus melakukan reklamasi pascatambang.
Dugaan penyelewengan jaminan reklamasi pasca tambang saat ini mulai
mendapat sorotan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pengambilalihan
bisa dilakukan jika ada ada potensi kepentingan atau intervensi pejabat tertentu.
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitanvi. KPK mengultimatum
perusahaan tambang bermasalah di seluruh Indonesia hingga batas waktu 15 Mei
2017. Selanjutnya, komisi antirasuah itu akan membawa proses perizinan yang
dianggap belum mengantongi sertifikasi clean and clear (CNC) dari Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral ke ranah hukum .
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot
Ariyono mengatakan banyak permasalahan terjadi dalam penerbitan
pertambangan, dari pelanggaran area konservasi, kawasan lindung, tak
mengantongi NPWP, hingga kewajiban pembayaran jaminan reklamasi dan
pasca-tambang. Menurut Kementerian ESDM, utang pelaku usaha terhadap
negara atas pelanggaran pajak, jaminan reklamasi, dan pasca-tambang mencapai
Rp 23 triliunvii.
i Lihat Hardjasoemantri, Koesnadi. 2009. Hukum Tata Lingkungan Edisi 8. UGM Press. Yogyakarta. Hlm 14.
ii Diakses dari http://nasional.news.viva.co.id/news/read/149597-indonesia-rangking-empat-perusak-lingkungan diakses
pada 27 Februari 2017
iii
Diakses dari http://www.greeners.co/berita/lsm-kritik-wacana-penyederhanaan-izin-lingkungan/ diakses pada 27
Februari 2017
iv Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f9513c218152/pp-izin-lingkungan-rentan-di-judicial-review