Anda di halaman 1dari 19

Makalah

RUANG LINGKUP AKHLAK


DAN IMPLEMENTASINYA
TUGAS
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Akhlak pada jurusan
Teknik Lingkungan

Dosen Pembimbing:
Sri Mawaddah, M.A.

Oleh:
Rima Yusfarizal – 180702089
Ega Rosita Urbah – 180702042
Hari Khairuzzaman – 160702036

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis limpahkan kehadirat Allah SWT, karena atas


pertolongannya-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Ruang Lingkup Akhlak dan Implementasinya” ini tepat pada waktu yang
telah direncanakan. Tak lupa sholawat serta salam Penulis sampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat.

Dalam penyelesaian makalah ini tidak jarang penulis menemukan kesulitan-


kesulitan. Akan tetapi, berkat motivasi dan dukungan dari berbagai pihak,
kesulitan-kesulitan itu akhirnya dapat diatasi. Maka dari itu, melalui kesempatan
ini penulis menyampaikan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada berbagai
pihak yang telah membantu penulis.

Penulis menyadari selesainya makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan.


Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan. Akhirnya penulis berharap agar makalah ini bermanfaat.

Banda aceh, 14 Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1


1.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 1
1.3. Tujuan .................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3

2.1. Akhlak Kepada Allah .............................................................................. 3


2.2. Iman......................................................................................................... 4
2.3. Taqwa ...................................................................................................... 10
2.4. Ikhlas ....................................................................................................... 12

BAB III PENUTUP ............................................................................................ 15

3.1. Kesimpulan ............................................................................................ 15


3.2. Saran ........................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 16


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Akhlak bisa dibentuk melalui kebiasaan perilaku yang diamalkan dalam


pergaulan semata-mata taat kepada Allah dan tunduk kepada-Nya merupakan ciri-
ciri orang yang mempunyai akhlak. Oleh karena itu seseorang yang sudah benar-
benar memahami akhlak maka dalam bertingkah laku akan timbul dari hasil
perpaduan antara hati, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan yang menyatu
kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak bisa dipungkiri, untuk
menjadi manusia yang di sukai oleh Allah, rasulullah dan masyarakat sekitar kita
harus memiliki kepribadian yang bagus dan akhlak yang mulia.

Sedangkan akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan
yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk-Nya. Sehingga akhlak
kepada Allah dapat diartikan segala sikap atau perbuatan manusia yang dilakukan
tanpa berpikir lagi yang memang ada pada diri manusia sebagai hamba Allah
SWT.

Dalam ilmu tauihid dan tasawuf, akhlak kepada Allah ini disebut dengan
Habluminallah (hubungan makhluk dengan Allah).

Pada hakikatnya iman, taqwa dan ikhlas merupakan bagian implementasi dari
akhlak kepada Allah (bentuk pengaplikasian), yang seharusnya seluruh muslim
harus mengetahui makna sebenarnya dari ketiga aspek diatas, maka dari itu
melalui makalah yang berjudul “Ruang Lingkup Akhlak dan Implementasinya”,
akan memberi sedikit pencerahan tentang ketiga aspek diatas walaupun masih ada
kekurangan dalam materi ataupun referensi.

1.2. Rumusan Masalah


a. Akhlak kepada Allah
b. Beriman
c. Bertaqwa
d. Ikhlas
1.3. Tujuan
a. Menambah pemahaman tentang akhlak kepada Allah
b. Menambah pemahaman tentang iman
c. Menambah pemahaman tentang taqwa
d. Menambah pemahaman tentang ikhlas
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Akhlak Kepada Allah

Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap mahmudah atau perbuatan
baik manusia yang pada dasarnya harus dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
kepada khaliknya. Keharusan itu sangatlah logis karena begitu banyak nikmat
yang telah Allah berikan pada manusia, dimana dengan nikmat yang telah Allah
berikan itulah manusia dapat menjalani segala aktivitas kehidupannya sebagai
khalifah di muka bumi ini.

Menurut Prof. Dr. Abidin Nata melalui bukunya ada empat alasan mengapa
manusia harus berakhlak kepada Allah. Pertama, karena Allah-lah yang telah
menciptakan manusia dan seluruh alam semesta. Kedua, karena Allah telah
memberikan nikmat panca indera kepada manusia, berupa pendengaran,
penglihatan, akal pikiran dan anggota badan yang kokoh lagi sempurna. Ketiga,
Karena Allah-lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, baik berasal dari air, udara, tanah
dan lain sebagainya. Keempat, karena Allah-lah yang telah memuliakan manusia
dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan. Seperti dalam
firman Allah pada qur’an surat Al-Isra ayat 70 yang artinya “Dan sesungguhnya
telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan lautan,
kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.

Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa
tiada Tuhan melainkan Allah. Dan mengakui dan meyakini bahwa Allah memiliki
sifat-sifat terpuji yang jangankan manusia, malaikat saja tidak mempu menandingi
sifat-sifat Allah tersebut.

Ajaran Islam yang bersifat universl harus bisa diaplikasikan dalam kehidupan
individu, masyarakat, berbangsa dan bernegara secara maksimal. Pengaplikasian
tersebut tentu terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban seseorang kepada
Tuhan, Rasul-Nya, manusia dan lingkungannya. Khusus aktualisasi akhlak ( hak
dan kewajiban ) seorang hamba kepada Tuhannya terlihat dari pengetahuan, sikap,
prilaku dan gaya hidup yang dipenuhi dengan kesadaran tauhid kepada Allah
SWT, Hal itu bisa dibuktikan dengan berbagai perbuatan amal shaleh, ketaqwaan,
ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT secara ikhlas. Untuk itulah dalam menata
kehidupan, diperlukan norma dan nilai, diperlukan standar dan ukuran untuk
menentukan secara objektif apakah perbuatan dan tindakan yang dipilih itu baik
atau tidak, benar atau salah, sehingga yang dilihat bukan hanya kepentingan diri
sendiri, melainkan juga kepentingan orang lain, kepentingan bersama,
kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Dan untuk itulah setiap individu
dituntut memiliki komitmen moral, yaitu spiritual pada norma kebajikan dan
kebaikan.

2.2. Iman
2.2.1. Pengertian iman

Iman berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kata dasar amana yu’minu-imanan.
Artinya beriman atau percaya. Percaya dalam Bahasa Indonesia artinya meyakini
atau yakin bahwa sesuatu (yang dipercaya) itu memang benar atau nyata adanya.
Iman dapat dimaknai iktiraf, membenarkan, mengakui, pembenaran yang bersifat
khusus.

Sedangkan iman secara istilah adalah kepercayaan yang meresap ke dalam


hati, dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak (ragu), serta memberi
pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari. Jadi,
iman itu bukanlah semata-mata ucapan lidah, bukan sekedar perbuatan dan bukan
pula merupakan pengetahuan tentang rukun iman. Sesungguhnya iman itu
bukanlah semata-mata pernyataan seseorang dengan lidahnya, bahwa dia orang
beriman (mukmin), karena banyak pula orang-orang munafik yang mengaku
beriman dengan lidahnya, sedang hatinya tidak percaya.

Iman itu membentuk jiwa dan watak manusia menjadi kuat dan positif, yang
diwujudkan dalam bentuk perbuatan dan tingkah laku akhlakiah menusia sehari-
hari yang didasari/diwarnai oleh apa yang dipercayainya. Kalau kepercayaannya
benar maka benar dan baik pula perbuatannya, dan begitu pula sebaliknya.

Oleh karena itu Husain bin Muhammad Al-Jisr mengatakan bahwa setiap
orang mukmin adalah muslim, dan setiap orang muslim belum tentu mukmin.
Memang antara percaya kepada Tuhan dan menyerahkan diri dengan ikhlas
kepada Tuhan tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mempunyai hubungan
yang erat, yang satu mendasari dan yang lain melengkapi, menyempurnakan dan
memperkuatnya.

Keimanan kepada keesaan Allah itu merupakan hubungan yang semulia-


mulianya antara manusia dengan penciptanya. Oleh karena itu, barang siapa yang
memaksimalkan imannya kepada Allah maka Allah akan memberikan petunjuk
sehingga menjadi orang yang betul-betul beriman, dan itu merupakan kenikmatan
terbesar yang diberikan oleh Allah SWT.

Keimanan itu bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah
saja atau semacam keyakinan dalam hati saja. Tetapi keimanan yang sebenar-
benarnya adalah merupakan suatu akidah atau kepercayaan yang memenuhi
seluruh isi hati nurani. Iman juga bukan sekedar amal perbuatan yang secara
lahiriah merupakan ciri khas perbuatan orang-orang beriman. Sebab orang-orang
munafik pun tak sedikit yang secara lahiriyah mengerjakan amal ibadah dan
berbuat baik, sementara hati mereka bertolak belakang dengan perbuatan lahirnya,
apa yang dikerjakan bukan didasari keikhlasan mencari Ridha Allah SWT.

Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Menuturkan bahwa iman adalah membenarkan dan
meyakini Allah sebagai tuhan yang patut disembah. Iman sebenarnya merupakan
jalan untuk memuliakan akal pikiran manusia, dengan cara menerima semua
ketentuan Allah pada setiap sesuatu, baik yang nampak atau tidak nampak, yang
di tetapkan maupun yang di naikan. Iman juga menuntut aktif menggapai hidayah,
mendekatkan diri kepada-Nya, dan beraktifitas selayaknya aktifitas para kekasih-
Nya (hambanya yang saleh).

2.2.2. Unsur-unsur keimanan


Unsur-unsur iman atau disebut juga sebagai rukun iman. Rukun iman itu ada
enam, yaitu: iman kepada Allah, malaikatmalaikat Allah, kitab-kitab Allah, Rasul-
Rasul Allah, hari kiamat dan takdir baik buruk itu dari Allah.

a. Iman kepda Allah

Yang dimaksud iman kepada Alah adalah membenarkan adanya Allah swt,
dengan cara meyakini dan mengetahui bahwa Allah SWT wajib ada karena
dzatnya sendiri (Wajib Al-wujud li Dzathi), Tunggal dan Esa, Raja yang Maha
kuasa, yang hidup dan berdiri sendiri, yang Qadim dan Azali untuk selamanya.
Dia Maha mengetahui dan Maha kuasa terhadap segala sesuatu, berbuat apa yang
ia kehendaki, menentukan apa yang ia inginkan, tiada sesuatupun yang sama
dengan-Nya, dan dia Maha mengetahui.

Jadi dapat disimpulkan bahwa iman kepada Allah adalah mempercayai adanya
Allah swt beserta seluruh ke Agungan Allah swt dengan bukti-bukti yang nyata
kita lihat, yaitu dengan diciptakannya dunia ini beserta isinya.

b. Iman kepada malaikat Allah

Syaikh Hafizh bin Ahmad Hakami mengatakan, yang di maksud iman kepada
malaikat adalah meyakini adanya malaikat, sebagai hamba Allah yang selalu
tunduk dan beribadah.

Iman kepada Para Malaikat adalah percaya bahwa malaikat merupakan


makhluk ciptaan Allah swt yang tidak pernah membangkang perintah-Nya, juga
makhluk gaib yang menjadi perantara-perantara Allah swt dengan Para Rasul.
Kita percaya bahwa malaikat merupakan makhlk pilihan Allah, mereka tidak
berbuat dosa, tidak melawan kepada-Nya, pekerjaannya semata-mmata
menjunjung tinggi tugas yang diberikan kepada mereka masing-masing.

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, mengatakan dalam bukunya: malaikat


adalah makhluk agung, jumlahnya banyak dan tak terbilang, tidak ada yang bisa
menghitungnya selain Allah semata. Allah meciptakan mereka dari cahaya,
menciptaka mereka dengan tabiat baik, tidak mengenal kejahatan, dan mereka
tidak dperintahkan atapun melakukan itu. Karena itu mereka taat kepada Allah,
tidak mendurhkai apapun yang diperintahkan, dan melakukan perintah yang
disampaikan. Mereka bertasbih memahasucikan Allah siang dan malam tanpa
kenal lelah, tidak jemu untuk beribadah kepada Allah.

c. Iman kepada kitab-kitab Allah

Makna beriman kepada kitab-kitab Allah yang merupakan bagian dari akidah
mukmin ialah membenarkan secara pasti kalam khusus Allah yang Dia wahyukan
kepada Rasul pilihan-Nya, kemudian disatukan dan dsusun menjadi lembaran-
lembaran atau kitab-kitab suci.

Lembaran-lembaran dan kitab-kitab yang dketahui wajib diimani secara rinci,


dan yang tidak diketahui wajib diimani secara garis besar. Satu-satunya referensi
yang menjadi sumber untuk mengetahui kitab-kitab Allah secara rinci adalah Al-
Qur’an, karena Al-Qur’an dalah kitab yang terjaga sedemikian rupa, tidak ada
penambahan ataupun pengurangan, tidak ada pendistorsian, tidak ada perubahan
ataupun penggantian sama sekali di dalamnya. Al-Qur’an akan terus terjaga
dengan penjagaan Allah hingga mendekati ambang batas akhir kehidupan dunia
ini.

Intinya, Iman kepada kitab-kitab Allah swt ialah meyakini bahwa kitab-kitab
tersebut datang dari sisi Allah SWT yang diturunkan kepada sebagian Rasulnya.
Dan bahwasanya kitab-kitab itu merupakan firman Allah SWT yang Qadim, dan
segala sesuatu yang termuat didalamnya merupakan kebenaran. Dan kita tahu
kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasul itu ada empat yaitu kitab Taurat yang
diturunkan kepada Nabi Musa, Injil kepada Nabi Isa, Zabur kepada Nabi Daud
dan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw.

d. Iman kepada Rasul

Iman kepada Rasul adalah percaya dan yakin bahwa Allah swt telah mengutus
para Rasul kepada manusia untuk memberi petunjuk kepada manusia.

e. Iman kepada hari akhir


Hari akhir ialah Hari kiamat, juga termasuk hari kebangkitan (alba’ts), yaitu
keluarnya manusia dari kubur mereka dalam keadaan hidup, sesudah jazad mereka
dikembalikan dengan seluruh bagiannya seperti dulu kala di dunia.

Jadi, iman kepada hari kiamat adalah mempercayai dengan yakin bahwa Allah
akan membangkitkan manusia dari kuburnya. Kemudian Dia akan
memperhitungkan amalan mereka dan membalas amal perbuatannya sampai yang
berhak masuk surga akan menetap di surga dan orang yang berhak masuk
nerakajuga menetap di dalamnya.

f. Iman kepada Taqdir (Qadha dan Qadhar)

Iman kepada Qadha dan Qadhar adalah percaya bahwa segala hak, keputusan,
perintah, ciptaan Allah SWT yang berlaku pada makhluknya termasuk dari kita
(manusia) tidaklah terlepas dari qadar, ukuran, aturan dan kekuasaan Allah SWT.

Sebagai manusia biasa yang lemah kita harus percaya bahwa segala sesuatu
yang terjadi pada diri kita atas izin Allah SWT, jadi berserah dirilah kepada Allah
SWT, dengan cara berusaha, berdoa dan berikhtiar kepada Allah. Karena Allah
SWT memberi cobaan itu pasti sesuai dengan posisi kita masing-masing, tidak
ada yang kurang atau lebih. Artinya manusia hanya bisa berusaha dan
sesungguhnya Allah SWT yang akan menentukan.

Jadi sebagai seorang mukmin kita wajib percaya kepada rukun-rukun iman
yang akan menjadi benteng yang kokoh dalam kehidupan kita di dunia. Dan kita
memang harus yakin bahwa Alah-lah Tuhan kita, Islam sebagai agama,
Muhammad sebagai Rasul, al-Qur’an sebagai kitabullah dan petunjuk, serta kita
berpegang teguh kepada agama islam, beriman kepada semua yang telah
diciptakan Allah SWT.

2.2.3. Keutamaan iman

Kewajiban kita yang pertama kali sebagai manusia adalah beriman kepada
Allah. Setelah itu beriman kepada yang lain yang jelas telah diperintahkan dalam
Al-Qur’a dan Hadits Nabi.
Dengan iman inilah manusia akan memperoleh martabat yang tinggi dan
tingkatan yang mulia di sisi Allah. Sehingga siapa saja yang beriman kepada
Allah dan para Rasul-Nya maka akan memperoleh pahala yang besar.

Orang-orang yang benar-benar beriman atau orang-orang yang sempurna


imannya (beramal shalih dan bertaqwa kepada Allah) akan memperoleh pahala
berupa surga, yang gambarannya di bawah surga itu mengalir sungai-sungai,
mereka senantiasa dalam keridhaan Allah dan mereka kekal selama-lamanya di
dalam surga itu, yakni tak akan mengalami kematian lagi dan tidak akan
kehabisan waktu. Mereka di surga tidak menginginkan pindah tempat maupun ke
luar dari padanya. Jadi keimanan inilah yang akan menentukan nasib bagi
seseorang berabad-abad di alam akhirat kelak. Maka siapa saja yang
menginginkan pahala surga, hendaklah menjadi orang yang beriman dan
istiqomah di dalam keimanannya.

2.2.4. Hal-hal yang merusak keimanan

Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya mengemukakan bahwa tidak seperti


Nabi dan Rosul yang imannya selalu naik, iman seseorang itu kadang naik,
kadang turun. Atau bahkan akan turun terus sehingga akhirnya lenyap dan hatinya
pun akan gersang tanpa memiliki iman. Padahal orang yang seperti inilah yang
akan menghuni neraka. Oleh karena itu, kita haruslah tetap waspada dan hati-hati
dalam menjaga iman, sehingga iman kita akan terhindari hal-hal yang merusak.

Adapun hal-hal yang merusak keimanan adalah:

a. Syirik,
b. Melakukan sihir,
c. Memakan harta riba,
d. Membunuh jiwa manusia,
e. Memakan harta anak yatim,
f. Melarikan diri dari perang (jihad),
g. Menuduh wanita mukminat yang baik-baik berzina (qadzaf), dan lain
sebagainya.
Pada hakikatnya semua amalan buruk yang tidak disukai dan tidak diridhai
Allah dapat menurunkan kadar keimanan seseorang, maka dari itu istiqomah di
dalam menjaga iman dan belajar untuk menguatkan keimanan sangatlah
diperlukan dan diaplikasikan dalam kehidupan.

2.3. Taqwa
2.3.1. Pengertian taqwa

Taqwa berasal dari kata waqa, waqi dan wiqayah yang berarti takut, menjaga,
memelihara dan melindungi. Maka taqwa dapat diartikan sebagai sikap
memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengalaman ajaran agama islam.
Taqwa secara bahasa berarti penjagaan/ perlindungan yang membentengi manusia
dari hal-hal yang menakutkan dan mengkhawatirkan. Oleh karena itu, orang
yangbertaqwa adalah orang yang takut kepada Allah berdasarkan kesadaran
dengan mengerjakan perintah-Nya dan tidak melanggar larangan-Nya karena
takut terjerumus kedalam perbuatan dosa.

Sedangkan menurut syara’, dalam Kitab Syarah Riyadhus Shalihin (1/290),


Syeikh Utsaimin berkata, “Taqwa diambil dari kata wiqayah, yaitu upaya
seseorang melakukan sesuatu yang dapat melindungi dirinya dari azab Allah
SWT. dan yang dapat menjaga seseorang dari azab Allah SWT ialah dengan
melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Taqwa adalah bentuk peribadatan kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya


dan jika kita tidak melihat-Nya maka ketahuilah bahwa Dia melihat kita. Seruan
Allah pada surat Ali Imran ayat 102 yang berbunyi, “Bertaqwalah kamu sekalian
dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kamu sekali-kali mati kecuali
dalam keadaan muslim”, bermakna bahwa Allah harus dipatuhi dan tidak
ditentang, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa “ketakwaan


bukanlah menyibukkan diri dengan berpuasa di siang hari, shalat malam, dan
menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah
adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala
yang diwajibkan Allah. Termasuk dalam cakupan taqwa, yaitu dengan
membenarkan berbagai berita yang datang dari Allah dan beribadah kepada Allah
sesuai dengan tuntunan Syari’at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan.
Ketaqwaan kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, dimana saja dan kapan
saja. Maka hendaknya seorang insan selalu bertaqwa kepada Allah, baik ketika
dalam keadaan tersembunyi/ sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/ di
hadapan orang.

2.3.2. Ciri manusia bertaqwa

Seseorang akan disebut bertaqwa jika memiliki beberapa ciri. Dia seorang
yang melakukan rukun iman dan islam, menepati janji, jujur kepada Allah, dirinya
dan manusia lain dan juga menjaga amanah, Mencintai saudaranya sebagaimana
mencintai saudaranya sendiri. Manusia taqwa adalah sosok manusia yang tidak
pernah menyakiti dan tidak zhalim pada sesama, berlaku adil diwaktu marah dan
ridha, bertaubat dan selalu beristighfar kepada Allah, mengagungkan syi’ar-syi’ar
Allah, sabar dalam kesempitan dan penderitaan, beramar ma’ruf dan nahi munkar,
tidak peduli pada celaan orang-orang yang suka mencela, menjauhi syubhat,
mampu meredam nafsu yang dapat menggelincirkan dari shiratul mustaqim, dan
masih banyak lagi, selama amalan itu sesuai dengan perintah Allah dan syar’at
islam.

2.3.3. Jalan menuju taqwa


a. Muhasabah

Muhasabah yaitu evaluasi diri dan meningkatkan kualiatas diri dengan selalu
mengambil hikmah dari setiap sesuatu yang terjadi dalam diri kita.

b. Mu’ahadah

Mu’ahadah adalah mengingat-ingat kembali janji yang pernah kita katakan,


setiap saat shalat kita sering kali bersumpah kepada Allah (syahadat), dengan
demikian, ada baiknya kita kembali mengingat janji dan sumpah kita, semakin
sering kita mengingat janji dan sumpah kita insyaAllah kita akan senantiasa
menapaki kehidupan ini dengan nilai-nilai ketaqwaan.
c. Mujahadah

Mujahadah adalah bersungguh-sungguh kepada Allah SWT. terkadang


manusia beribadah tidak dibarengi dengan kesungguhan, hanya menggugugurkan
kewajiban saja, takut jatuh kedalam dosa dan menapaki kehidupan beragama asal-
asalan. Maka mujahadah tak terpisahkan dalam menggapai ketaqwaan di samping
muhasabah dan mu’ahadah.

d. Muraqabah

Makna muraqabah dalam al-qur’an adalah bahwa setiap pribadi muslim


merasa takut kepada Allah dalam setiap perbuatannya, gerakannya, tingkah
lakunya, dan bisikan hatinya dalam setiap waktu, merasa yakin dengan keyakinan
yang kuat bahwa Allah mengetahui terhadap segala sesuatu yang tersembunyi dan
sesuatu yang nampak. Oleh karena itu harus dilakukan perbandingan antara
perbuatan yang diniatkan untuk dilakukan dengan perintah-perintah dan larangan
dari Allah. Melaksanakan perbuatan itu apabila baik dan hanya semata-mata untuk
Allah serta menjauhi perbuatan itu seandainya terdapat maksiat, dosa dan hawa
nafsu.

e. Mua’aqabah

Mu’aqabah artinya mencoba memberi sangsi kepada diri sendiri manakala


melakukan sebuah kekhilafan, menegur dan memberi sangsi kepada diri apabila
melakukan kesalahan, hal ini merupakan bagian yang penting untuk diamalkan
agar senantiasa meningkatkan amal ibadah.

2.4. Ikhlas
2.4.1. Penegertian ikhlas

Pentingnya prilaku ikhlas dalam kehidupan sehari-hari sangat berperan sekali


dalam kehidupan, kerena ikhlas untuk menjalani sesuatu akan bernilai ibadah
disisi Allah. Secara umum pengertian ikhlas sebenarnya sangat luas dan
mencakup segala amal ibadah yang dilakukan manusia dengan dibarengi perasaan
tulus di dalam hati. Sebagai contoh, seseorang yang melakukan darma bakti atau
memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun
kecuali keridhaan Allah semata-mata, maka sikap tersebut dapat dinamakan
ikhlas.

Dalam pengertian yang lebih spesifik lagi, ikhlas pada hakikatnya adalah
“niat, sikap, atau perasaan yang timbul dalam hati nurani yang dalam pada diri
seseorang dan disertai dengan amal perbuatan”. Ikhlas juga dapat dimaknai
sebagai “ketulusan dalam mengabdikan diri kepada tuhan dengan segenap hati,
pikiran dan jiwa seseorang”. Dalam hal ini Muhammad al-Ghazali mengatakan
bahwa ikhlas yaitu “melakukan suatu amal semata-mata karena Allah, yakni
semata-mata karena iman kepada Allah”.

Dari argumen al-Ghazali di atas dapat dipahami, bahwa apabila seseorang


melaksanakan ibadah karena semata-mata mengharap ridha Allah dan bukan
karena sebab yang lainnya, maka sikap seperti ini dinamakan dengan ikhlas.
Berbicara lebih lanjut tentang ikhlas ini, pada prinsipnya Islam memandang sikap
ikhlas sebagai pengukuhan dari konsep keesaan Tuhan. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam ungkapan syahadah bahwa “sesungguhnya tidak ada Tuhan
selain Allah”.“Ungkapan pertama dalam syahadah ini membuahkan pengingkaran
terhadap syirik dalam jiwa seseorang”. Di samping itu, Islam juga turut
mengajarkan bahwa segala perbuatan amal ibadah tidak akan diterima Allah, jika
tidak disertai dengan sikap penuh keikhlasan.

2.4.2. Tujuan ikhlas

Soffandi dan Wawan Djunaedi berpendapat, bahwa tujuan dari ikhlas adalah
“membebaskan manusia dari godaan hawa nafsu jahat (lawwamah) dan kesalahan
kesalahannya sehingga ia dapat berdiri di hadapan Allah SWT dalam keadaan
lapang”. Sementara al-Qusyairi berpendapat bahwa tujuan ikhlas adalah “untuk
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT”.

Adapun al-Qurtubi menegaskan bahwa tujuan ikhlas pada hakikatnya adalah


“untuk meningkatkan martabat umat manusia selama di dunia hingga akhirat
nanti”. Hal ini di karenakan sikap ikhlas tersebut mencerminkan hubungan yang
harmonis sesama muslim, hubungannya dengan sang pencipta atau khalik yaitu
Allah SWT serta hubungan dengan diri pribadi sebagai seorang muslim yang
sejati. Ringkasnya, tujuan hidup bahagia dan sejahtera seperti yang diajarkan
Islam akan dapat dicapai, apabila hal-hal yang menyangkut dengan ikhlas itu
benar-benar dapat dihayati dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
tentu tidak terlepas dari konsep Islam itu sendiri yang mengajarkan manusia untuk
meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Orang-orang yang melakukan perbuatan dengan didasari keikhlasan, baik


urusan pribadinya, masyarakat, dan agamanya, pasti akan mengundang daya tarik
yang hebat, memperoleh kejutan dan dukungan yang berarti, mendapat bantuan
dan dorongan untuk mencapai cita-citanya. Dengan demikian, maka semangatnya
berkobar, kemauannya semakin membakar, dan kesungguhannya semakin
menyala-nyala, karena orang yang ikhlas akan sungguh-sungguh dalam
melakukan aktifitasnya sehingga ia akan tekun dengan pekerjaannya, agar
didapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita dan idamannya.

Begitu juga sebaliknya, orang-orang yang melakukan pekerjaan apapun yang


tidak dengan ikhlas, bahkan setiap pekerjaannya dititikberatkan pada suatu
keuntungan yang akan didapatnya dan tidak jelas, maka cepat atau lambat aibnya
akan terbongkar, pamrihnya akan diketahui dan orang-orang di sekitarnya akan
menghindar, teman dekatnya akan melupakannya, pembantu maupun pengagum-
pengagumnya akan tidak mengindahkan dirinya lagi, karenanya semangatnya
menjadi kendur, kemauan dan gairahnya semakin lemah, dan akhirnya hati dan
jiwanya dihinggapi putus asa. Maka segala rencana berantakan, usahanya terhenti
dan ia menderita kerugian besar, hidup merasa tanpa suatu harapan dan tujuan
yang jelas.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong melakukan suatu perbuatan


secara spontan tanpa pertimbangan dan proses berfikir terlebih dahulu dan tanpa
ada unsur paksaan. ilmu akhlak adalah suatu ilmu pengetahuan agama islam yang
berguna untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada manusia, bagaimana cara
berbuat kebaikan dan menghindarkan keburukan Akhlak pun memiliki kaitan erat
dengan etika, moral, kesusilaan dan kesopanan.

Pembahasan mengenai ruang lingkup akhlak adalah tentang perbuatan-


perbuatan manusia yang mendorong kepada baik atau buruknya. ilmu akhlak
bukanlah tingkah laku manusia melainkan perbuatan yang dilakukan atas
kemauan manusia itu sendiri yang selalu dilakukannya dan kemudian mendarah
daging dalam diri manusia itu sendiri.

3.2. Saran
Kami sangat menyadari akan kekurangan-kekurangan yang ada pada makalah
ini. Baik dari segi ilmunya maupun dari segi penulisannya. Itu semua disebabkan
kurangnya referensi yang digunakan dan kurangnya pengalaman penulis. Untuk
itu, apabila ada kritikan maupun saran dari pembaca yang bersifat membangun
sangat kami harapkan, agar dipenulisan berikutnya kami dapat memperbaikinya.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. 2014. Aqidah Akhlak. Bandung: Pustaka Setia.

Mahmud, Akilah. 2017. Akhlak Terhadap Allah dan Rasulullah Saw. Makasar:
UIN Alauddin Makassar. 11 (2) 57.

Soffandi dan Djunaedi, Wawan. 2001. Wawan. Akhlak Seseorang Muslim,


Jakarta: Pustaka Firdaus.

Anda mungkin juga menyukai