Anda di halaman 1dari 38

1

Efektivitas Program PROLANIS di Puskesmas Wates dalam


Mengontrol Hipertensi dan Mencegah Terjadinya Komplikasi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi merupakan keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah ≥140/90
mmHg secara kronis. Berdasarkan etiologi, hipertensi dapat dibagi menjadi hipertensi
primer, esensial, ataui diopatik dimana penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi
sekunder dimana ia berasosiasi dengan penyakit lain. Berdasarkan klasifikasi JNC
VII, hipertensi dapat dikategorikan menjadi pre hipertensi, hipertensi derajat 1, dan
hipertensi derajat 2.1 Hipertensi merupakan penyakit yang disebabkan oleh banyak
faktor, baik dari dalam tubuh maupun faktor lingkungan. Mekanisme dari dalam
tubuh yang berperan dalam hipertensi adalah aktivitas saraf simpatis, sistem renin-
angiotensin-aldosteron, disfungsi endotel, serta kadar natrium tinggi dengan retensi
cairan. Faktor lainnya seperti genetik, perilaku, dan gaya hidup juga berpengaruh
terhadap hipertensi.2
Hipertensi diperkirakan diderita oleh 20 % orang dewasa di seluruh dunia dan
meningkat pada usia lebih dari 60 tahun.3 Prevalensi hipertensi mencapai 1 miliyar di
dunia dan menyebabkan kematian pada 9.4 juta penduduk dunia setiap tahunnya.4
Angka kejadian hipertensi diperkirakan akan meningkat sebesar 60% pada tahun
2025.5 Secara umum angka kejadian hipertensi lebih tinggi di negara berkembang
dibanding dengan negara maju. 6
Hingga saat ini hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia
karena merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer.7
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, hipertensi merupakan
masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8%. 8 Di samping
itu, pengontrolan hipertensi belum adekuat meskipun obat-obatan yang efektif banyak
tersedia.7 Provinsi Jawa Timur menempati urutan ke enam prevalensi tertinggi di
Indonesia dengan angka 26,2%, sementara prevalensi di Kabupaten Jombang
mencapai 9.76 % (hipertensi menempati urutan ketiga dari 10 penyakit terbesar di
kabupaten jombang). 8 Pada tahun 2017, penderita hipertensi di Wilayah Puskesmas
Cukir terdapat 1.897 kasus sama dengan 7.16 % dari total kasus keseluruhan. Jumlah
ini merupakan salah satu jumlah kasus paling tinggi diantara jenis penyakit tidak
menular.9
Hipertensi merupakan salah satu jenis penyakit tidak menular, selain dari
asma, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), kanker, diabetes melitus, hipertiroid,
penyakit jantung, stroke, penyakit ginjal, dan penyakit sendi.8 Hipertensi yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada organ target seperti sistem
saraf pusat, ginjal, jantung, dan mata. Penyakit ini seringkali disebut silent killer
karena tidak adanya gejala dan tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada
organ-organ vital.10
Hipertensi menjadi faktor resiko utama penyakit jantung dan stroke yang
merupakan penyebab kematian dan disalibitas dini nomor satu di dunia. Selain itu,
hipertensi juga meningkatkan resiko gagal ginjal dan kebutaan.6 Hipertensi dapat
menyebabkan kerusakan pembuluh darah dalam ginjal sehingga mengurangi
kemampuan ginjal untuk memfiltrasi darah dengan baik.11 Penanganan terhadap
komplikasi-komplikasi hipertensi, seperti operasi bypass jantung, operasi arteri
carotis, serta dialisis, akan menghabiskan dana dalam jumlah besar, baik bagi pasien
maupun pemerintah.4
Pada tahun 2012, World Health Organization mencanangkan Global Plan
Action 2013-2020 yang bertujuan untuk mengurangi 25% kematian dini akibat
penyakit-penyakit tidak menular di tahun 2025, termasuk hipertensi. Mencegah dan
mengontrol tekanan darah tinggi merupakan salah satu langkah yang penting untuk
mencapai hal tersebut.6 Hal ini semakin meningkatkan kesadaran untuk melakukan
penatalaksanaan yang baik pada penyakit hipertensi. Tujuan pengobatan hipertensi
adalah untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas penyakit kardiovaskular.
Penurunan tekan sistolik harus menjadi perhatian utama, karena umumnya tekanan
diastolik akan terkontrol bersamaan dengan terkontrolnya sistolik.12 Tatalaksana
hipertensi dapat dilakukan melalui modifikasi daya hidup dan terapi medikamentosa.
Modifikasi daya hidup meliuputi penurunan berat badan, modifikasi diet Dietary
Approaches to Stop Hypertension (DASH), penurunan asupan garam, aktivitas fisik,
serta pembatasan konsumsi alkohol. Terapi medikamentosa yaitu dengan
menggunakan obat anti hipertensi. Sekali terapi hipertensi dimulai, pasien harus
kontrol secara rutin dan mendapat pengaturan dosis setiap bulan sampai target
tekanan darah tercapai. Setelah target tekanan darah tercapai, pengobatan harus
dilanjutkan, sehingga terapi bersifat seumur hidup dan terus dievaluasi secara
berkala.2
Sejak tahun 2014, Pemerintah Indonesia melalui BPJS Kesehatan telah
melaksanakan PROLANIS (Program Pengelolaan Penyakit Kronis) dalam rangka
menngontrol hipertensi dan mencegah terjadinya komplikasi maupun komorbid
lainnya. Aktifitas dalam PROLANIS meliputi aktifitas konsultasi medis/edukasi,
Home Visit, Reminder, aktifitas klub dan pemantauan status kesehatan. Puskesmas
Wates Kota Mojokerto telah melaksanakan program ini secara rutin sejak bulan
Oktober tahun 2018, namun hingga saat ini belum ada evaluasi terkait efektivitas
program ini dalam mengontrol hipertensi.

1.2 Identifikasi Masalah


Apakah program PROLANIS hipertensi di Puskesmas Wates Kota Mojokerto efektif
dalam mengontrol pasien hipertensi dan mencegah komplikasi?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan Umum :
Mengetahui efektivitas program PROLANIS di Puskesmas Wates Kota Mojokerto
dalam mengontrol pasien hipertensi dan mencegah terjadinya komplikasi.
Tujuan Khusus : ditambahi ini ya
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat terhadap pengembangan ilmu
Memperoleh data terkait efektivitas PROLANIS dalam mengontrol hipertensi
dan mencegah terjadinya komplikasi.
1.4.2 Manfaat terhadap pelayanan kesehatan
Agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas berdasarkan
hasil penelitian ini.
1.4.3 Manfaat terhadap tempat dilaksanakannya penelitian
Mendapat evaluasi terkait program PROLANIS dalam mengontrol hipretensi
dan mencegah komplikasi, sehingga dapat digunakan sebagai landasan untuk
melakukan evaluasi kebijakan dan teknis pelaksanaan
1.4.4 Manfaat bagi Masyarakat
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi
2.1.1. Definisi

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah ≥140/90 mmHg secara


kronis. Ia dapat dibagi menjadi hipertensi primer, esensial, atau idiopatik dimana
penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder dimana ia berasosiasi dengan
penyakit lain. Hipertensimerupakan penyakit genetik yang kompleks karena dapat
menyebabkan berbagai kerusakan pada target organ seperti sistem saraf pusat, ginjal,
jantung, dan mata. Jika hipertensi disuspek pada individu, haruslah dilakukan
pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya 2 kali di waktu yang berlainan.1

2.1.2. Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi untuk hipertensi seperti dari World Health
Organization (WHO), International Society of Hypertension (INH), European Society
of Hypertension (ESH), British Hypertension Society (BSH), Canadian Hypertension
Education Program (CHEP) tetapi umumnya digunakan JNC VII.22

Tabel 2.1. Klasifikasi menurut Joint National Committee VII (2003)

Klasifikasi Sistolik (Mmhg) Diastolik (Mmhg)


Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120 – 139 atau 80 -89
Hipertensi stage 1 140 – 159 atau 90 – 99
Hipertensi stage 2  160 atau  100

Klasifikasi tekanan darah diatas adalah untuk dewasa dengan usia ≥ 18 tahun.
Klasifikasi ini berdasarkan rata-rata dari dua atau lebih pengukuran, dalam keadaan
duduk, pada dua kunjungan atau lebih. Prehipertensi tidak termasuk dalam kategori
penyakit tetapi berfungsi untuk mengidentifikasi individual yang beresiko untuk
terjadi hipertensi agar dokter dan pasien dapat mengambil langkah prevensi terhadaap
peningkatan tekanan darah lebih lanjut. Individu pada kelompok ini tidak disarankan
untuk mendapatkan pengobatan tetapi cukup dengan hanya memodifikasi pola hidup
untuk menurunkan resiko mengalami penyakit hipertensi pada masa akan datang. 23

2.1.3. Epidemiologi
Hipertensi diperkirakan diderita oleh 20 % orang dewasa di seluruh dunia dan
meningkat pada usia lebih dari 60 tahun.3 Prevalensi hipertensi mencapai 1 miliyar di
dunia dan menyebabkan kematian pada 9.4 juta penduduk dunia setiap tahunnya.4
Angka kejadian hipertensi diperkirakan akan meningkat sebesar 60% pada tahun
2025.5 Secara umum angka kejadian hipertensi lebih tinggi di negara berkembang
dibanding dengan negara maju.6 Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2013, hipertensi merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu
sebesar 25,8%.8
Prevalensi hipertensi juga tergantung dari komposisi ras populasi yang
dipelajari dan kriteria yang digunakan. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan pada
populasi kulit hitam. Pada wanita, prevalensinya berhubungan erat dengan usia,
dengan terjadinya peningkatan setelah usia 50 tahun. Peningkatan ini mungkin
berhubungan dengan perubahan hormone saat menopause, meskipun mekanismenya
masih belum jelas. Dengan demikian, rasio frekuensi hipertensi pada wanita
disbanding pria meningkat dari 0,6 sampai 0,7 pada usia 30 tahun menuju 1,1 sampai
1,2 pada usia 65 tahun.1

2.1.4. Etiologi & Faktor Resiko


Hipertensi primer merupakan hasil dari interaksi antara faktor-faktor genetik
dan lingkungan walaupun mekanisme patogenik dari hipertensi pada mayoritas
individu masih tidak diketahui.1 Faktor-faktor resiko yang mendorong timbulnya
kenaikan tekanan darah tersebut adalah:
1. Faktor resiko, seperti:
 diet dan asupan garam
 stress
 ras
 obesitas
 merokok
 genetis
2. Sistem saraf simpatis
 Tonus simpatis
 Variasi diurnal
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokontriksi:
 Endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi remodelling dari
endotel, otot polos, dan interstisium juga memberikan kontribusi akhir
baik dalam meningkatkan resistensi perifer maupun peningkatan
4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin,
angiotensin, dan aldosteron.24

2.1.5. Patogenesis
Hipertensi terjadi apabila keseimbangan antara curahan jantung dan tahanan
perifer terganggu.25 Beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah
yang mempengaruhi rumus dasar: Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan
Perifer, dapat dilihat pada gambar:23

Sejumlah faktor secara khusus terlibat dalam terjadinya hipertensi, termasuk


asupan garam, obesitas, pekerjaan, asupan alkohol, ukuran keluarga, dan
kepadatan.Faktor ini penting dalam peningkatan tekanan darah bersamaan dengan
bertambahnya usia pada masyarakat yang lebih makmur, sebaliknya tekanan darah
menurun dengan bertambahnya usia pada kebudayaan yang lebih primitif.1
Gambar 2.1. Faktor-Fakor yang Berpengaruh pada Pengendalian Tekanan Darah23

a) Sensitivitas terhadap Garam

Faktor lingkungan yang mendapat perhatian paling besar adalah asupan


garam. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan
garam minimal.23 Bahkan faktor ini menggambarkan sifat heterogen dari populasi
hipertensi essensial. Penyebab sensitivitas khusus terhadap berbagai jenis garam ini,
dengan aldosteronisme primer, stenosis arteri renalis bilateral, penyakit parenkim
ginjal, atau hipertensi esensial rendah-renin bertanggung jawab terhadap sekitar
separuh pasien. Sisanya, patofisiologinya masih belum diketahui tetapi terdapat
beberapa postulated contributing factors termasuk asupan klorida, asupan kalsium,
defek membran sel yang menyeluruh, resistensi insulin dan nonmodulation.22
Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui
peningkatan volume plasma dan secara tidak langsung meningkatkan curah jantung,
dan tekanan darah. Biasanya peningkatan asupan garam ini akan diikuti oleh
peninggian ekskresi garam sehingga tercapai keadaan hemodinamik yang normal
tetapi pada pasien hipertensi essensial, mekanisme peningkatan ekskresi garam
tersebut terganggu.22

b) Ion Natrium, Klorid, dan Kalsium

Sebagian besar penelitian menilai peranan garam pada proses hipertensi


disimpulkan bahwa ion natrium yang penting. Akan tetapi, beberapa peneliti
menunjukkan bahwa ion klorida mungkin sama pentingnya. Kesimpulan ini
berdasarkan observasi pemberian garam natrium bebas klorida pada hewan coba
hipertensi yang sensitif terhadap garam gagal menaikkan tekanan arteri. Kalsium juga
terlibat dalam patogenesis beberapa bentuk hipertensi esensial. Asupan kalsium yang
rendah disertai dengan kenaikan tekanan darah pada penelitian epidemiologik;
kenaikan kadar kalsium sitosolik leukosit dilaporkan pada beberapa penderita
hipertensi; dan akhirnya, penghambat jalan masuk kalsium merupakan obat hipertensi
yang efektif. Beberapa pcnelitian melaporkan hubungan potensial antara bentuk
hipertensi yang sensitif terhadap garam dan kalsium. Disimpulkan bahwa dengan
beban garam dan defek kemampuan ginjal untuk mengekskresinya, terjadi kenaikan
sekunder dalam faktor natriuretik sekunder. Salah satu dari ini, disebut faktor
natriuretik seperti digitalis, menghambat ATPase kalium-natrium yang sensitif
ouabain dan dengan demikian mengakibatkan akumulasi Icalsium, intraseluler dan
otot polos vaskuler hiperreaktif.1

c) Defek Membran Sel

Penjelasan lain untuk hipertensi yang sensitif terhadap garam adalah defek
membran sel yang menyeluruh. Disimpulkan bahwa abnormalitas ini menunjukkan
perubahan membrana seluler yang tidak dapat dijelaskan dan defek ini terjadi pada
beberapa, mungkin semua, sel tubuh, terutama otot polos vaskuler. Karena defek ini,
selanjutnya terdapat akumulasi kalsium yang abnormal dalam otot polos vaskuler,
mengakibatkan responsivitas vaskuler yang tinggi terhadap obat vasokonstriktor.1

d) Resistensi Insulin

Resistensi insulin dan/atau hiperinsulinemia diduga bertanggung jawab


terhadap kenaikan tekanan arteri pada beberapa pasien dengan hipertensi.
Hiperinsulinisme menunjukkan adanya gangguan pengambilan glukosa oleh jaringan,
Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan peningkatan produksi insulin oleh sel
beta pankreas sehingga terjadilah keadaan hiperinsulinisme tersebut. Sifat ini menjadi
lebih luas dikenal sebagai bagian dari sindroma X, atau sindroma metabolik, yang
juga ditandai dengan obesitas, dislipidemia (khususnya peningkatan trigliserida), dan
tekanan darah yang tinggi. Resistensi insulin biasa pada pasien dengan diabetes
mellitus tipe II atau obesitas. Obesitas maupun diabetes mellitus terjadi lebih sering
pada penderita hipertensi dibandingkan normotensi. Akan tetapi, beberapa penelitian
menemukan bahwa hiperinsulinemia dan resistensi insulin lebih daripada hal
kebetulan, karena terjadi bahkan pada pasien hipertensi kurus yang bebas dari
diabetes mellitus.1

Hiperinsulinemia dapat meningkatkan tekanan arteri oleh satu atau lebih dari
empat mekanisme. Asumsi yang mendasarinya pada masing-masing adalah beberapa,
tetapi tidak semua, jaringan target insulin resisten terhadap efeknya. Khususnya
jaringan yang terlibat dalam homeostasis glukosa yang resisten (dengan demikian
menimbulkan hiperinsulinemia. Mula-mula, hiperinsulinemia menghasilkan retensi
natrium ginjal (paling sedikit secara akut) dan meningkatkan aktivitas simpatik. Salah
satu atau keduanya dapat mengakibatkan kenaikan tekanan arteri. Mekanisme lain
adalah hipertrofi otot polos vaskuler sekunder terhadap kerja mitogenik insulin.
Akhimya, insulin juga mengubah transpor ion melalui membran sel, dengan demikian
secara potensial meningkatkan kadar kalsium sitosolik dari jaringan vaskuler atau
ginjal yang sensitif terhadap insulin. Melalui mekanisme ini, tekanan arteri
ditingkatkan karena alasan yang sama dengan yang dijelaskan di atas untuk hipotesis
defek-membran. Akan tetapi, penting menunjukkan bahwa peranan insulin dalam
mengendalikan tekanan arteri adalah hanya dimengerti samar-samar, dan oleh karena
itu, potensinya sebagai faktor patogenik dalam hipertensi tetap tidak jelas.1

e) Nonmodulation

Ini adalah kelompok individu dengan hipertensi yang sensitive terhadap


garam tetapi penurunan respon adrenal terhadap restriksi sodium. Pada individual ini,
asupan garam tidak mempengaruhi respon vascular dari adrenal ataupun renal
terhadap angiotensin II. Individu ini mempresentasi 25 – 30% dari populasi
hipertensi, dimana aktivitas plasma reninnya normal atau tinggi jika diukur pada
individu dengan diet rendah garam, dan adalah hipertensi sensitive garam karena
defek pada ginjal untuk mensekresi garam dengan sempurna. Nonmodulation ini
lebih sering dietemukan pada pria dan wanita posmenopause.1

f) Genetik
Satu pendekatan untuk menilai hubungan tekanan darah dalam keluarga
(agregasi familial). Dari penelitian ini, ukuran minimum faktor genetik dapat
dinyatakan dengan koefisien korelasi kurang lebih 0,2. Akan tetapi, variasi ukuran
faktor genetik dalam penelitian yang berbeda menekankan kembali kemungkinan
sifat heterogen populasi hipertensi esensial. Selain itu, sebagian besar penelitian
mendukung konsep bahwa keturunan mungkin bersifat multifaktorial atau jumlah
defek genetiknya naik.1

Telah ditemukan gene yang bertanggungjawab terhadap 3 distinct tetapi


jarang monogenic hipertensif sindrom, dimana 2 daripadanya diturunkan secara
dominan.
1) Pasien dengan glucocorticoid-remediable hypertension (GRA) cenderung
terjadi onset yang lebih awal dengan peningkatan frekuensi untuk terjadinya
stroke dan terdapat bukti adanya hiperaldosteronism. Plasma aldosteron
tinggi, plasma rennin rendah, dan hipokalemi adalah sering. Telah ditemukan
chimeric gene yang mempunyai promoter kepada 11-hydroxylase gene dan
coding sequence untuk aldosterone synthase gene pada pasien ini yang
menyebabkan produksi aldosterone yang ektopik, dimana ia adalah
corticosteroid dependent.

2) Mutasi pada epithelial amiloride-sensitive sodium channel yang terletak di


collecting cortical tubule. Pasien juga mempunyai aktivitas aldosteron yang
tinggi, penekanan plasma rennin, dan hipokalemi.

3) Syndrome of apparent minerelocorticoid excess (AME) yang disebabkan oleh


defek pada renal 11-hydroxysteroid dehydrogenase. Pada pasien ini
protective conversion dari corstisol kepada cortisone yang tidak aktif tidak
terjadi, dan cortisol lokal bergabung dengan receptor minerelocorticoid pada
renal.1

2.1.6. Komplikasi
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Kerusakan organ – organ target yang umum ditemui pada
pasien hipertensi adalah: jantung (hipertrofi ventrikel kiri, angina / infark
miokardium, gagal jantung), otak (strok, transient ischemic attack), penyakit ginjal
kronis, penyakit arteri perifer, retinopati.1
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ – organ
tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau
karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi aterhadap reseptor AT I
angiotensinogen II, stres oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide
synthase, dan lain – lain.
Jantung
Adanya kerusakan organ target, terutama pada jantung dan pembuluh darah,
akan memperburuk prognosis pasien hipertensi. Tingginya morbiditas dan mortalitas
pasien hipertensi terutama disebabkan tibulnya penyakit kardiovaskular.
Faktor resiko:
1. Merokok
2. Obesitas
3. Kurangnya aktivitas fisik
4. Dislipidemia
5. Diabetes mellitus
6. Mikroalbuminuria atau LFG < 60 mL/menit
7. Usia (laki-laki > 55 tahun, perempuan > 65 tahun)
8. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskular prematur (laki-
laki < 55 tahun, perempuan < 65 tahun)23
Penyakit jantung adalah penyebab kematian yang paling umum pada pasien
hipertensi. Penyakit jantung hipertensif merupakan adaptasi fungsi dan struktur yang
mengarah pada hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi diastolik, gagal jantung kronik,
abnormalitas gangguan darah akibat penyakit jantung koroner aterosklerotik, penyakit
mikrovaskuler, dan aritmia jantung.1
Baik faktor genetik maupun hemodinamik berpengaruh terhadap hipertrofi
ventrikel kiri. Seseorang dengan hipertrofi ventrikel kiri beresiko tinggi untuk strok,
gagal jantung kronik, dan mati mendadak.Pengendalian hipertensi yang agresif dapat
menekan atau melawan perkembangan hipertrofi ventrikel kiri dan mengurangi resiko
penyakit kardiovaskular. Hipertrofi ventrikel kiri dapat dievaluasi dengan
elektrokardiogram.1
Abnormalitas fungsi diastolik, meliputi penyakit jantung tanpa gejala sampai
gagal jantung yang jelas terlihat, umum ditemukan pada pasien hipertensi. Pasien
dengan gagal jantung diastolik memiliki fraksi ejeksi yang tetap, yang mana
merupakan ukuran untuk fungsi sistolik.Kurang lebih 1/3 dari pasien dengan gagal
jantung kronik tidak memiliki gangguan pada fungsi sistolik namun memiliki
abnormalitas fungsi diastolik. Abnormalitas fungsi diastolik merupakan konsekuensi
awal dari penyakit jantung yang berhubungan dengan hipertensi dan dipicu oleh
hipertrofi dan iskemia ventrikel kiri. Fungsi diastolik dapat dievaluasi dengan
ekokardiografi dan angiografi radionuklir.1

Otak
Hipertensi adalah sebuah faktor resiko untuk infark dan perdarahan otak.
Kurang lebih 85 % dari pasien stroke disebabkan infark dan sisanya disebabkan
perdarahan, baik intraserebral maupun sub araknoid.Insidensi strok meningkat secara
progresif dengan meningkatnya tekanan darah, khususnya pada tekanan sistolik
individu berusia > 65 tahun. Pengobatan hipertensi secara pasti menurunkan resiko
strok baik iskemik dan perdarahan.1
Hipertensi juga berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif pada populasi
usia lanjut, dan penelitian longitudinal memberi kesan bahwa adanya hubungan
antara hipertensi usia pertengahan dengan penurunan kognitif usia lanjut. Gangguan
kognitif yang berhubungan dengan hipertensi dan pikun bisa jadi merupakan sebuah
konsekuensi dari infark tunggal akibat penyumbatan pada pembuluh darah besar atau
infark lakunar yang banyak akibat penyumbatan pembuluh darah kecil yang
berdampak iskemia substansi alba sub kortikal. Beberapa uji klinis menyatakan
bahwa terapi anti-hipertensif memiliki efek menguntungkan pada fungsi kognitif,
walaupun hal ini masih dalam penyelidikan.1
Aliran darah serebral tetap tidak berubah di sekitar jarak luas tekanan arteri
(tekanan arteri rata-rata 50 – 150 mmHg) melalui sebuah proses yang disebut
autoregulasi aliran darah. Pada pasien dengan sindroma klinis hipertensi maligna,
ensefalopati berhubungan dengan kegagalan autoregulasi aliran darah serebral pada
ambang batas atas tekanan, yang mengakibatkan vasodilatasi dan hiperperfusi. Gejala
dan tanda ensefalopati hipertensif dapat meliputi sakit kepala berat, mual dan muntah
(biasanya proyektil), tanda neurologis fokal, dan perubahan status mentalis. Tidak
diobati, ensefalopati hipertensif dapat berkembang menjadi stupor, koma, kejang, dan
kematian dalam hitungan jam. Sangat penting untuk membedakan ensefalopati
hipertensif dari sindroma neurologis yang mungkin berhubungan dengan hipertensi,
seperti iskemia serebral, strok perdarahan atau trombotik, gangguan kejang, lesi
massa, pseudotumor cerebri, delirium tremens, meningitis, porfiria intermiten akut,
kerusakan otak akibat trauma atau zat kimia, dan ensefalopati uremikum.1

Ginjal
Penyakit ginjal primer adalah penyebab hipertensi sekunder paling umum.
Sebaliknya, hipertensi adalah sebuah faktor resiko untuk kerusakan ginjal dan
Penyakit Ginjal Stadium Akhir.Penigkatan resiko berhubungan dengan tekanan darah
yang tinggi bertahap, terus – menerus, dan ada pada seluruh distribusi tekanan darah
di atas nilai optimal. Resiko ginjal tampak lebih erat hubungannya dengan tekanan
sistolik daripada diastolik, dan orang kulit hitam lebih beresiko menjadi Penyakit
Ginjal Stadium Akhir dibanding orang kulit putih pada seluruh tingkat tekanan
darah.1
Lesi vaskuler aterosklerotik yang berhubungan dengan hipertensi pada ginjal
pada awalnya mempengaruhi arteriol preglomerular, mengakibatkan perubahan
iskemik pada glomerulus dan struktur postglomerular. Kerusakan glomerulus dapat
juga merupakan konsekuensi dari kerusakan langsung pada kapiler glomerulus akibat
hipoperfusi pada glomerulus.Patologi glomerulus berkembang menjadi
glomerulosklerosis, dan tubulus renalis dapat juga menjadi iskemik dan secara
perlahan menjadi atrofi. Lesi ginjal yang berhubungan dengan hipertensi maligna
terdiri dari nekrosis fibrinoid dari arteriol aferen, terkadang memanjang hingga ke
glomerulus, dan dapat mengakibatkan nekrosis fokal pada glomerulus.1
Secara klinis, makroalbuminuria (rasio albumin/kreatinin sewaktu >300 mg /
g) atau mikroalbuminuria (rasio albumin / kreatinin urin sewaktu 30 – 300 mg / g)
adalah petanda awala dari kerusakan ginjal. Ini juga merupakan faktor resiko untuk
berkembanganya penyakit ginjal dan penyakit kardiovaskuler.1
Arteri perifer
Sebagai tambahan untuk yang berperan dalam patogenesi hipertensi,
pembuluh darah mungkin merupakan organ target penyakit aterosklerotik yang
muncul akibat meningkatnya tekanan darah dalam waktu yang lama.Pasien hipertensi
dengan penyakit arteri pada tungkai bawah memilki resiko yang meningkat untuk
penyakit kardiovakular di masa mendatang.Walaupun pasien dengan lesi stenosis
pada tungkai bawah bisa jadi tanpa gejala, klaudikasi intermiten adalah gejala klasik
penyakit arteri perifer.Hal ini dikarakteristikan dengan sakit nyeri pada betis atau
bokong saat berjalan yang hilang dengan beristirahat.Ankle-brachial Index adalah
metode yang efektif untuk mengevaluasi penyakit arteri perifer dan diartikan sebagai
rasio tekanan sistolik arteri pada pergelangan kaki terhadap lengan.Ankle-brachial
index< 0,9 dianggap sebagai diagnosis penyakit arteri perifer dan berhubungan
dengan > 50 % stenosis pada paling tidak satu pembuluh darah utama tungkai bawah.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ankle-bracial index < 0,8 berhubungan
dengan peningkatan tekanan darah, khususnya tekanan darah sistolik.1

2.1.7 Diagnosis
2.1.7.1 Anamnesis
Penilaian awal pasien hipertensi harus mencakup riwayat lengkap dan
pemeriksaan fisik untuk memastikan diagnosis hipertensi, menyaring faktor resiko
penyakit kardiovaskuler yang lain, menyaring penyebab sekunder hipertensi,
identifikasi konsekuensi kardiovaskuler dari hipertensi dan komorbid yang lain,
menilai tekanan darah-berhubungan dengan gaya hidup, dan menentukan kekuatan
untuk intervensi.25
Kebanyakan pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala khusus yang
dapat merujuk pada peningkatan tekanan darahnya.Walaupun sangat lazim dianggap
sebuah gejala peningkatan tekanan arteri, sakit kepala secara umum terjadi hanya
pada pasien dengan hipertensi berat.Secara karakteristik,sakit kepala terjadi pada pagi
hari dan terlokalisasi pada daerah oksipital. Gejala tidak spesifik lainnya yang dapat
berkaitan dengan peningkatan tekanan darah termasuk pusing, berdebar – debar,
mudah lelah, dan impotensi. Saat gejala muncul, secara umum berhubungan dengan
penyakit kardiovaskular atau manifestasi dari hipertensi sekunder.25

Riwayat relevan dari pasien


1. Durasi hipertensi

2. Terapi sebelumnya: respon dan efek samping

3. Riwayat keluarga penyakit hipertensi atau penyakit kardiovaskular

4. Riwayat pola makan dan psikososial

5. Faktor resiko lain: perubahan berat badan, dislipidemia, merokok, diabetes,


inaktif fisik

6. Bukti hipertensi sekunder: riwayat penyakit ginjal, perubhan penampilan,


lemah otot, berkeringat, berdebar – debar, tremor, erratic sleep, mendengkur,
tidur di siang bolong, gejala hipo- atau hipertiroid, pemakain agen yeng
meningkatkan tekanan

7. Bukti kerusakan oragan target: riwayat serangan iskemik sementara, stroke,


buta sementara, sakit dada, infark miokard, gagal jantung kongestif, fungsi
seksual

8. Komorbid lainnya

2.1.7.2 Pengukuran tekanan darah


Pengukuran tekanan darah yang nyata bergantung pada perhatian terhadap
detil teknik dan kondisi pengukuran. Akurasi intstrumen tekanan darah terotomatisasi
harus dipastikan. Sebelum mengukur, seseorang harus duduk tenang selama 5 menit
di tempat yang pribadi, tenang dengan suhu ruangan yang nyaman. Pusat dari cuff
harus pada ketinggian jantung, dan lebar dari cuff harus paling tidak menutup 40%
lingkar lengan; panjang cuff harus mengelilingi paling tidak 80 % lingkar lengan.
Penting untuk memperhatikan penempatan cuff, penempatan stetoskop, dan kecepatan
pengempisan cuff(2 mmHg/s). Tekanan darah sistolik adalah yang pertama pada
paling tidak dua denyut regular bunyi korotkoff, dan tekanan diastolik pada titik
dimana bunyi korotkoff terakhir terdengar.25

Pemeriksaan Fisik
Bentuk tubuh, termasuk tinggi dan berat badan, harus dicatat. Pada
pemeriksaan awal, tekanan darah harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik
pada posisi berbaring, duduk, dan berdir untuk mengevasluasi hipotensi postural.
Bahkan jika pulsasi femoralis normal pada palpasi, tekanan arteri harus diukur paling
tidak sekali di tungkai bawah pada pasien yang hipertensi ditemukan sebelum usia 30
tahun. Denyut jantung harus dicatat. Seseorang hipertensi mengalami peningkatan
prevalensi fibrilasi atrium.Leher harus dipalpasi untuk pembesaran kelenjar tiroid,
dan pasien harus dinilai untuk tanda- tanda hipo- dan hipertiroi. Pemerikasaan
pembuluh darah dapat memeberikan petunjuk tentang penyakit vaskular yang
mendasari dan harus mencakup pemeriksaan funduskopi, aukultasi untuk bising pada
arteri karotis dan femoralis., dan palpasi pada pulsasi femoralis dan pedalis. Retina
adalah satu-satunya jaringan yang mana arteri dan arteriol dapat diperiksa secara
langsung. Dengan meningkatnya keparahan hipertensi dan penyakit aterosklerotik,
perubahan funduskopi yang progresif termasuk meningkatnya refleks cahaya
arteriolar, defek penyilangan arteriovenosus, perdarahan dan eksudat, dan pada pasien
dengna hipertensi maligna, papiledema. Pemeriksaan jantung dapat menunjukkan S2
mengeras karena penutupan katup aorta dan sebuah S4 gallop, kontraksi atrial
melawan ventrikel kiri yang tidak kompliens. Hipertrofi ventrikel kiri dapat dideteksi
dengan membesarnya, memanjanganya dan berpindah ke lateralnya iktus
kordis.Bising abdomen, khususnya yang menyamping dan memanjang sepanjang
sistol hingga diastol, meningkatkan kemungkinan hipertensi renovaskuler.Ginjal pada
pasien dengan penyakit ginjal polikista dapat teraba di abdomen. Pemeriksaan fisik
harus mencakup evaluasi tanda-tanda gagal ginjal kronik ddan pemeriksaan
neurologis.25

2.1.7.3 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratoirum yang direkomendasikan bertujuan untuk
memeriksa komplikasi yang sedang atau telah terjadi.2
Tabel 2.2. Pemeriksaan yang direkomendasikan pada evaluasi awal pada pasien
hipertensi
Sistem Pemeriksaan
Organ

Ginjal Urinalisis mikroskopik, ekskresi albumin, serum BUN dan/atau


kreatinin

Endokirn Serum sodium, potassium, calcium, TSH

Metabolik Gula darah puasa, total cholesterol, HDL dan LDL, cholesterol,
triglycerides

Lainnya Hematokrit, elektrokardiogram

Pengukuran ulang fungsi renal, elektrolit serum, glukosa puasa, dan lipid harus
dilakukan setelah pemakaian agen antihipertensif yang baru dan per tahun, atau lebih
sering jika indikasi klinis.25

2.1.8. Tatalaksana
Tujuan dan Target Terapi

Tujuan utama dari pengobatan pasien hipertensi adalah untuk menurunkan


morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan renal. Pada percobaan klinik,
menurunkan tekanan darah dapat menurunkan resiko pada (1) Insidensi stroke
sebesar 35-40%; (2) infark myokard sebesar 20-25 %; dan (3) gagal jantung sebesar >
50%.22

Fokus utama dari terapi hipertensi adalah mencapai target tekanan darah
sistolik. Target tekanan darah adalah <140/90 mmHg sedangkan untuk individu
dengan diabetes dan penyakit ginjal, maka targetnya adalah < 130/80 mmHg.23
Berdasarkan JNC VIII, saat ini, seluruh target terapi hipertensi, baik untuk pasien
diabetes dan penyakit ginjal adalah <140/90 mmHg.26

Indikasi Terapi

Pasien dengan tekanan darah diastolik >90 mmHg atau tekanan sistolik >140 mmHg
dan telah diukur berulang kali, harus memulai pengobatan kecuali bila terdapat
kontraindikasi yang spesifik.25Tatalaksana hipertensi dapat dimulai dengan
modifikasi gaya hidup, namun terapi antihpertensi dapat langsung dimulai untuk
hipertensi derajat 1 dengan penyerta dan hipertensi derajat 2.2Terapi non
farmakologis berupa modifikasi gaya hidup direkomendasikan pada semua individu
dengan pre-hipertensi dan sebagai keharusan tambahan selain terapi farmakologis
pada penderita hipertensi.25

Terapi Non Farmakologis

Terapi non farmakologi bagi penderita hipertensi adalah dengan memodifikasi gaya
hidup.Berikut adalah langkah-langkah intervensi gaya hidup dalam pencegahan dan
terapi hipertensi sesuai yang direkomendasikan JNC 7:

1. Menurunkan berat badan


- Rekomendasi: menurunkan hingga menjaga berat badan normal (IMT
18.5 – 24.9 kg/m2.
- Kisaran pengurangan tekanan sistolik: 5-20 mmHg/10 kg
2. Mengadopsi pola makan DASH (Dietary Aproaches to Stop Hypertension)
- Rekomendasi: Meningkatkan konsumsi buah, sayur, produk susu
rendah lemak dengan kandungan lemak jenuh dan lemak total yang
sudah dikurangi.
- Kisaran pengurangan tekanan sistolik: 8-14 mmHg
3. Menurunkan asupan garam pada diet
- Rekomendasi: Mengurangi pemasukan garam sampai tidak lebih dari
100 mmol per hari (2.4 gram natrium atau 6 gram natrium klorida)
- Kisaran pengurangan tekanan sistolik: 2-8 mmHg
4. Meningkatkan aktifitas fisik
- Rekomendasi: Aktifitas fisik aerobic secara reguler seperti berjalan
minimal 30 menit per hari dan hampir setiap hari dalam satu minggu.
- Kisaran pengurangan tekanan sistolik: 4-9 mmHg
5. Mengurangi konsumsi alkohol yang berlebih
- Membatasi konsumsi alkohol sampai tidak lebih dari 2 porsi minuman
per hari untuk pria dan tidak lebih dari 1 porsi untuk wanita.
- Kisaran pengurangan tekanan distolik: 2-4 mmHg.2
-
Terapi Farmakologis

Pemilihan agen obat anti hipertensi dan kombinasi nya harus


mempertimbangkan kondisi setiap individu dan melihat berbagai faktor seperti umur,
derajat hipertensi, resiko penyakit kardiovaskuler lainya, kondisi komorbid, dan
memperhitungkan hal seperti biaya, frekuensi dosis dan efek samping.25

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis yang dianjurkan oleh JNC 7:

 Diuretika, terutama jenis Thiazide atau Aldosterone Antagonist


 Beta Blocker
 Calcium Channel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)
 Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
 Angiotensin II Receptor Blocker 23

Sekali terapi antihipertensi dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat
pengaturan dosis setiap bulan sampai target tekanan darah tercapai. Frekuensi kontrol
untuk hipertensi derajat 2 disarankan lebih sering. Setelah tekanan darah mencapai
target dan stabil, frekuensi kunjungan dapat diturunkan hingga menjadi 3-6 bulan
sekali. Namun, jika belum tercapai, diperlukan evaluasi terhadap pengobatan dan
gaya hidup, serta pertimbangan terapi kombinasi.Setelah tekanan darah tercapai,
pengobatan harus dilanjutkan dengan teteap memperhatikan efek samping dan
komplikasi hipertensi. Pasien perlu diedukasi bahwa terapi antihipertensi ini bersifat
jangka panjang (seumur hidup) dan terus dievaluasisecara berkala. 2

Menurut JNC VIII, pilihan antihipertensi didasarkan pada usia, ras, serta ada atau
tidaknya DM dan penyakit ginjal. Pada rasa kulit hitam, penghambat ACE dan ARB
tidak menjadi pilihan kecuali terhadap PGK, dengan atau tanpa DM.Algoritma terapi
farmakologis berdasarkan JNC VIII adalah sebagai berikut.26
Pasien hipertensi ≥ 18 tahun

Intervensi gaya hidup

Tetapkan target tekanan darah dan mulai antihipertensi berdasarkan usia, ada tidaknya DM
serta Penyakit Ginjal Kronis

Usia ≥ 60 tahun Usia ≤ 60 tahun Semua usia dengan Semua usia PGK,
Target tekanan darah Target tekanan darah DM, tanpa PGK dengan atau tanpa DM
sistolik <150 mmHg sistolik <140 mmHg Target tekanan darah Target tekanan darah
diastolik <90 mmHg diastolik <90 mmHg sistolik <140 mmHg sistolik <140 mmHg
diastolik <90 mmHg diastolik <90 mmHg
Bukan ras kulit Ras kulit hitam
hitam
Diuretik golongan tiazid atau Diuretik golongan penghambat ACE atau
penghambat ACE atau ARB tiazid CCB tunggal atau ARB, tunggal atau
atau CCB tunggal atau kombinasi kombinasi dengan obat
kombinasi kelas lain
Pilih strategi titrasi obat

A. Maksimalkan dosis obat pertama sebelum menambahkan obat kedua


B. Tambahkan obat kedua sebelum obat pertama mencapai dosis maksimal
C. Mulai dengan 2 obat beda kelas atau dalam bentuk obat kombinasi

Tekanan darah sesuai target? Ya


Tidak
Kembali tekankan modifikasi gaya hidup dan pengobatan
Untuk strategi A dan B, tambahkan titrasi tiazid, penghambat ACE, ARB, atau CCB
(gunakan obat dari kelas yang belum digunakan dan hindari kombinasi ACE ARB)
Untuk strategi C, tritrasi dosis obat sampai maksimal

Tekanan darah sesuai target? Ya


Tidak
Kembali tekankan modifikasi gaya hidup dan pengobatan
Untuk strategi A dan B, tambahkan titrasi tiazid, penghambat ACE, ARB, atau CCB
(gunakan obat dari kelas yang belum digunakan dan hindari kombinasi ACE ARB)
Untuk strategi C, tritrasi dosis obat sampai maksimal

Tekanan darah sesuai target? Ya


Tidak
Kembali tekankan modifikasi gaya hidup dan pengobatan
Tambahkan obat dari kelas baru (misalnya beta bloket, agonis aldosteron, atau yang lain)
dan/atau rujuk ke dokter spesialis
Tidak
Tekanan darah sesuai target?

Ya
Lanjutkan pengobatan dan kontrol

Gambar 2.2. Algoritma Tatalaksana Hipertensi berdasarkan JNC VIII2


Diuretika
Diantara obat oral antihipertensi yang tersedia, diuretika telah digunakan lebih
sering dari lainnya karena keefektivitasannya dan dengan dosis yang lebih rendah,
efek sampingnya dapat dikurangi. Diuretika terdiri dari berbagai tipedilihat dari
struktur dan tempat kerja pada nefron.Agen diuretika yang bekerja pada tubulus
proksimal (inhibitor karbonik anhidrase) jarang digunakan untuk terapi hipertensi.25,28

Terapi biasanya dimulai dengan memberikan jenis Thiazide dalam dosis


rendah, sendiri atau dikombinasikan dengan obat anti hypertensive lainnya. Thiazide
menghambat pompa Na+/Cl– pada tubulus konvolusi distal sehingga meningkatkan
ekskresi natrium. Untuk jangka panjang, mereka juga dapat bekerja sebagai
vasodilator. Thiazide aman untuk digunakan, efektif dan tidak mahal. Efek untuk
menurunkan tekanan darahnya dapat bertambah jika dikombinasikan dengan beta
blockers, ACE inhibitors, atau angiotensin receptor blockers. Dosis
hydrochlorothiazide yang biasa digunakan berkisar dari 6.25 sampai 50 mg/hari.25,28

Jika fungsi renal terganggu (contoh: serum kreatinin > 1.5 mg/dL) maka
diuretika loop atau metolazone dapat digunakan. Target utama dari agen ini adalah
kotransporter Na+-K+-2Cl– pada bagian tebal dari lengkung Henle. Selain itu
diuretika loop juga digunakan pada pasien dengan retensi natrium dan edema. Agen
yang menjaga kadar kalium (Potassium-sparing agent) bekerja dengan menghambat
kanal sodium di epitel pada nefron distal. Agen tipe ini merupakan agen
antihipertensif yang lemah tetapi dapat dikombinasikan dengan thiazide untuk
memproteksi terjadinya hipokalemia dapat diberikan untuk mengurangi resiko
terjadinya hipokalemia.25,28
Gambar 2.3. Nefron dan Tempat Kerja Berbagai Tipe Agen Diuretika28

Blocker dari sistem Renin-Angiotensin

ACE inhibitor bekerja dengan menurunkan produksi dari angiotensin II


sehingga mengurangi efek vasokonstriksi. ACE inhibitor juga mempunyai
mekanisme lain yang berkontribusi pada efek antihipertensif yaitu menaikkan level
bradikinin, mengurangi aktifitas sistem saraf simpatis dan menaikkan ekskresi
natrium dari renal. Angiotensin II receptor blocker mengeblok secara selektif
terhadap reseptor Angiotensin I yang bersifat vasokonstriktor, dan efek angiotensin II
yang terikat pada reseptor Angiotensin 2 berupa vasodilatasi semakin diperkuat.
Kedua tipe ini efektif sebagai agen hipertensif dan daapat digunakan sebagai
monoterapi atau kombinasi dengan diuretika, calcium antagonistsdan alpha-blocking
agents. 25,28

Efek samping dari ACE inhibitor dan Angiotensin receptor blocker termasuk
insufisiensi fungsi renal karena terjadi dilatasi arteriol eferen pada ginjal dengan lesi
stenotic di arteri renal. Pada pasien yang meminum ACE inhibitor, batuk kering
muncul pada sekitar 15% pasien dan angioedema muncul pada <1%. Hiperkalemia
seringkali muncul sebagai efek samping pada ACE inhibitor dan angiotensin receptor
blocker.25,28
Beta Blockers
β-Adrenergic receptor blockers menurunkan tekanan darah dengan mengurangi
output jantung dengan sebelumnya mengurangi detak jantung dan kontraktilitas.
Selain itu Beta blocker juga mempunyai efek terhadap sistem saraf pusat dan
menghambat pelepasan renin. Beta blocker efektif pada pasien hipertensi dengan
takikardia, dan potensi hipotensif dari agen ini dapat diperkuat dengan penambahan
diuretika. Pada pasien dengan gagal jantung kongestif, beta blocker telah terbukti
dapat menurunkan resiko untuk rawat inap dan mortalitas.25

Calcium Channel Blocker


Calcium antagonist mengurangi resistansi vaskuler melalui blockade kanal-L pada
pembuluh darah sehingga mengurangi kalsium intraseluler dan menurunkan
vasokonstriksi. Ada tiga kelas pada agen antihipertensif ini: phenylalkylamines
(verapamil), benzothiazepines (diltiazem) dan 1,4-dihydropyridines (nifedipine-like).
Digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan agen lainnya (ACE inhibitors,
beta blockers), calcium antagonists secara efektif menurunkan tekanan darah. Efek
samping yang dapat muncul adalah muka kemerahan, sakit kepala, edema pada
penggunaan dihydropyridine terkati dengan potensinya sebagai dilator arteriolar, dan
edema karena peningkatan pada gradient tekanan trans kapiler.25
Tabel 2.3. Jenis Antihipertensi Oral2
Kelas Obat Subkelas Contoh obat Dosis/hari Efek Samping
Diuretik Tiazid HCT 12.5-50 mg Hipokalemia,
Klortalidon 12.5-2.5 hiperurisemia,
Loop diuretic Furosemid mg hipoglikemia,
Iduretik hemat Amilorid 20-40 mg peningkatan
kalium 5-10 mg kolesterol dan
trigiliserid
Penyekat β Propoanolol 40-160 mg Bronkospasme,
Atenolol 25-100 mg bradikardia, blok
Bisoprolol 2.5-10 mg jantung, rasa
lelah, peningkatan
trigliserid
Penghambat Captoprol 25-100 mg Batuk-batuk,
ACE Ramipil 2.5-20 mg hiperkalemia,
Lisinopril 10-40 mg azotemia,
angioedema
ARB Valsartan 80-320 mg Hiperkalemia,
Irbesartan 150-300 azotemia
Losartan mg
25-100 mg
CCB Nonhididropiridin Verapamil 120-360 Edema,
Dihidropiridin Diltiazem mg konstipasie,
Amlodipin 120-540 bradikaria, blok
Nifedipin mg jantung
2.5-10 mg
30-60 mg
Agonist α Klonidin 0.1-0.8 mg Mulut kering,
sentral pusing, sedasi
ringan, kelellahan,
depresi, edema
Reserpin 0.1-0.25 Depresi, mimpi
mg buruk, diskinesia,
letargi
Agonis Spironolakton 25-50 mg Hiperkalemia,
aldosterone ginekomastia,
hiponatremia,
ruam

2.2. PROLANIS
2.2.1 Definisi
PROLANIS adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif yang
dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan Peserta, Fasilitas Kesehatan dan
BPJS Kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan
yang menderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan
biaya pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.
2.2.2. Tujuan
Mendorong peserta penyandang penyakit kronis mencapai kualitas hidup optimal
dengan indikator 75% peserta terdaftar yang berkunjung ke Faskes Tingkat Pertama
memiliki hasil “baik” pada pemeriksaan spesifik terhadap penyakit DM Tipe 2 dan
Hipertensi sesuai Panduan Klinis terkait sehingga dapat mencegah timbulnya
komplikasi penyakit.
2.2.3. Sasaran
Seluruh Peserta BPJS Kesehatan penyandang penyakit kronis (Diabetes Melitus Tipe
2 dan Hipertensi)
2.2.4. Aktivitas Prolanis
1. Konsultasi Medis Peserta Prolanis: jadwal konsultasi disepakati bersama
antara peserta dengan Faskes Pengelola.
2. Edukasi Kelompok Peserta Prolanis:
Kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan dalam upaya
memulihkan penyakit dan mencegah timbulnya kembali penyakit serta
meningkatkan status kesehatan bagi peserta PROLANIS.
3. Reminder melalui SMS Gateway:
Kegiatan untuk memotivasi peserta untuk melakukan kunjungan rutin kepada
Faskes Pengelola melalui pengingatan jadwal konsultasi ke Faskes Pengelola
tersebut.
4. Kunjungan Rumah:
Kegiatan pelayanan kunjungan ke rumah Peserta PROLANIS untuk
pemberian informasi/edukasi kesehatan diri dan lingkungan bagi peserta
PROLANIS dan keluarga.
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL

Hipertensi

Diet yang tidak teratur Tidak rutin kontrol dan Inaktivitas fisik
(konsumsi garam berlebihan minum obat
dan kurang konsumsi sayur
serta buah-buahan)

Komplikasi Hipertensi +
komorbid

Gambar 3.1. Kerangka Konseptual


Ini kan bahas tentang efektifitas prloanis dalam pengendalian penyakit HT, nah
masuk dibagian mananya dalam kerangka konseptual, harusnya masusk dek (kalau ini
kk umum hipertensi)
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Subjek Penelitian


Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh pasien hipertensi yang tergabung
dalam program PROLANIS sejak awal program ini dimulai yakni pada bulan
Oktober tahun 2018 di wilayah kerja Puskesmas Wates.

4.2 Kriteria Seleksi


a. Kriteria Inklusi
1. Pasien yang menderita hipertensi, baik terkontrol ataupun tidak
terkontrol, dan tergabung dalam program PROLANIS di Puskesmas
Wates sejak bulan Oktober tahun 2018
2. Menjalani pemeriksaan darah pada bulan Oktober 2018 (??? Yang aprilg
masuk inklusi????)
b. Kriteria eksklusi
1. Tidak mengikuti pemeriksaan darah rutin per 6 bulan pada bulan April
2019
2. Dikeluarkan dari program PROLANIS karena tidak pernah datang dan
mengikuti program tersebut
3. Pindah tempat tinggal / pindah faskes primer
4. Meninggal

4.3 Variabel dan Definisi Operasional


Variabel pada penelitian ini adalah karakteristik pasien meliputi, usia, jenis
kelamin, frekuensi kontrol, frekuensi mengikuti kegiatan bulanan PROLANIS, Index
Masa Tubuh (IMT), tekanan darah, urinalisis, profil lemak (kolesterol total,
trigliserida, HDL-C, LDL-C), dan faal ginjal (serum kreatinin dan ureum).
Tabel 4.1. Definisi Operasional Variabel Penelitian (ini langsung dijelaskan saja
kriteria skala nya, misal HT terkontrol brp tidak terkontrol brp atau pakai normat pre
dan HT), variabel lainnya juga sama di rincikan.. harus jelas ya sumber nya
No Variabel Definisi Operasional Skala Hasil
pengukuran
1 Usia Usia yang tercatat di identitas Rasio Tahun
pada kolom tanggal lahir

2 Jenis Kelamin Jenis kelamin yang tercatat di Nominal Laki-laki


identitas pada kolom jenis atau
kelamin perempuan
3 Frekuensi Rata-rata frekuensi pasien berobat Rasio Kali dalam
kontrol dan ke puskesmas untuk mengontrol bulan
mengambil obat hipertensi setiap bulannya selama
di puskesmas 6 bulan (Oktober 2018 – April
2019)
4 Frekuensi Frekuensi pasien mengikuti Rasio Kali dalam 6
mengikuti kegiatan bulanan PROLANIS bulan
kegiatan berdasarkan hasil rekap laporan
PROLANIS bulanan PROLANIS di
puskesmas
5 Indeks Masa Hasil dari pembagian antara berat Interval Kg/m2
tubuh badan (dalam kilogram) dengan
kuadrat tinggi badan (dalam
meter)
6 Tekanan darah Hasil dari pemeriksaan tekanan Interval MmHg
darah pada peserta PROLANIS
sesuai dengan yang tercantum
dalam laporan bulanan
PROLANIS
7 Urinalisis Hasil pemeriksaan mikroalbumin Rasio mg/L
kuantitatif dari laboratorium
klinik fortuna

8 Profil Lemak Hasil pemeriksaan kolesterol Rasio mg/dL


total, trigliserida, HDL-C, dan
LDL-C dari laboratorium klinik
fortuna
9 Faal ginjal Hasil pemeriksaan kadar Rasio mg/dL
serum kreatinin dan ureum dari
laboratorium klinik fortuna

4.4 Jenis Penelitian


Berdasarkan sudut pandang statistik yang digunakan dalam penelitian, jenis
penelitian ini adalah penelitian jenis observasional retrospective cohort.
4.5 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Laporan rekapan bulanan program PROLANIS
Rekapan daftar hadir beserta hasil pemeriksaan bulanan (tekanan darah, IMT)
pada peserta program PROLANIS bulan Oktober 2018 hingga April 2019
2. Laporan hasil laboratorium
Rekapan hasil pemeriksaan laboratorium peserta program PROLANIS pada bulan
Oktober 2018 dan April 2019
3. Data Rekam Medis
Data rekam medis mengenai data dasar pasien dan rutinitas pasien dalam berobat
ke puskesmas
4.6 Prosedur Penelitian
a. Pemilihan pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
b. Pengambilan data melalui rekapan bulanan program PROLANIS, hasil
laboratorium, serta data dasar dari rekam medis pasien.
c. Pengumpulan data dengan menggunakan Microsoft Excel.
d. Analisis data menggunakan SPSS.
e. Penulisan laporan hasil penelitian.

4.7 Pengumpulan dan Pengolahan Data


Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa laporan kegiatan bulanan
PROLANIS di puskesmas Wates, laporan hasil laboratorium dari klinik Fortuna, serta
data dasar pasien dari rekam medis puskesmas. Data yang diperoleh kemudian
dimasukkan kedalam Microsoft Excel, kemudian dipindahkan ke SPSS untuk
dilakukan analisis.

4.8 Aspek Etika


Isu etika yang terdapat pada penelitian ini adalah digunakannya data dasar
serta hasil pemeriksaan. Hal yang dilakukan oleh peneliti untuk menanggulangi
masalah tersebut adalah dengan tidak mencantumkan nama pasien ketika
memasukkan data pasien namun hanya menggunakan nomor kartu BPJS nya saja dan
diberikan koding berupa nomor dari nomor 1 hingga terakhir berdasarkan rekapan
bulanan laporan PROLANIS Puskesmas Wates.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fisher N.D.L, William G.H. Hypertensive Vascular Disease. Harrison’s Principle Of


Internal Medicine.16th Edition. New York: The Mc Graw Hill. 2005. 230: 1463 – 81.
2. Ed. Tanto C Et Al. Kapita Selekta Kedokteran Ed 4. Jakarta: Media Aesculapius.
2014 : 635-639.
3. The World Health Report 2002-Reducing Risks, Promoting Healthy Life. Geneva,
Switzerland: World Health Organization; 2002.
4. The World Health Organization. A Global Brief Of Hypertention, Silent Killer Global
Public Health Crisis. Geneva : World Health Organization Press. 2013.
5. Kearney PM, Whelton M, Reynolds K, Muntner P, Whelton PK, He J. Global Burden
Of Hypertension: Analysis Of Worldwide Data. The Lancet 2005; 365: 217–223.
6. World Health Organization Media Center. Diunduh Pada
Http://Www.Who.Int/Mediacentre/News/Releases/2013/World_Health_Day_2013040
3/En/
7. Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data Dan Informasi Kesehatan RI: Hipertensi.
Jakarta.
8. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta. 2013.
9. Data Puskesmas Cukir Kabupaten Jombang. 2016.
10. Departemen Kesehatan R.I.. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi, Jakarta
: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006.
11. Guyton, A.C. Fisiologi Manusia Dan Mekanisme Penyakit Edisi Ketiga, Jakarta:
EGC.2006
12. Gunawan. Farmakologi Dan Terapi, Edisi 5, Departemen Farmakologi Dan
Terapeutik Fakutas Kedokteran UI, Jakarta. 2008.
13. Kearney P, Whelton M, Reynolds K, Whelton P, He J. Worldwide Prevalence Of
Hypertension: A Systematic Review. J Hypertens 2004; 22: 1.19-1.
14. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo Jr JL Et Al.
The Seventh Report Of The Joint National Committee On Prevention, Detection,
Evaluation, And Treatment Of High Blood Pressure: The JNC 7 Report. JAMA 2003,
289.219.2560.
15. Elzubier AG, Husain AA, Suleiman IA, Hamid ZA. Drug Compliance Among
Hypertensive Patients In Kassala, Eastern Sudan. East Mediterr Health J2000; 6:
100–105.
16. Vrijens B, Vincze G, Kristanto P, Urquhart J, Burnier M. Adherence To Prescribed
Antihypertensive Drug Treatments: Longitudinal Study Of Electronically Compiled
Dosing Histories. Br Med J 2008; 336: 1114–1117.
17. Morisky DE, Ang A, Krousel-Wood M, Ward HJ. Predictive Validity Of A
Medication Adherence Measure In An Outpatient Setting. J Clin Hypertens.2008; 10:
348–354.
18. Osterberg, Lars, Blashke., Terrence. Adherence To Edication. The New
Englandjournal Of Medecine. 2006; 97: 353-487
19. World Health Organization, International Society Of Hypertension Writing Group.
World Health Organization (WHO)/International Society Of Hypertension (ISH)
Statement On Management Of Hypertension. J Hypertens 2003; 21: 1983–1992.
20. Sluijs E, Dulmen SV, Dijk LV, De Ridder D, Heerdink R, Bensing J. Patient
Adherence To Medical Treatment: A Meta Review. Nivel, Utrecht, 2006.
21. Niven, N. Psikologi Kesehatan, Edisi 2, EGC, Jakarta. 2002.
22. Yogiantoro, M. Hipertensi Esensial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. 143: 610-14.
23. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo Jr JL, Et Al.;
National Heart, Lung, And Blood Institute Joint National Committee On Prevention,
Detection, Evaluation, And Treatment Of High Blood Pressure National High Blood
Pressure Education Program Coordinating Committee. The Seventh Report Of The
Joint National Committee On Prevention, Detection, Evaluation, And Treatment Of
High Blood Pressure. NIH Publication. 2004.
24. Kotchen, A.T. Hypertensive Vascular Disease. Harrison’s Principles Of Internal
Medicine. 17th Edition. New York: The Mcgraw-Hill Companies, Inc. 2008. 241:
1549-62.
25. Hypertensive Vascular Disease. Robbins And Contran’s Pathologic Basis Of Disease.
7th Edition. Elsevier Saunders. 2005. 525 – 29
26. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb C, Handler J,
Et Al. 2014. Evidence-Based Guidlines For The Management Of High Blood
Pressure In Adults: Report From The Panel Members Appointed To The Eight Joint
National Committee (JNC 8). JAMA. 2013.
27. Kaplan, Norman M. Kaplan's Clinical Hypertension. 9th Edition. Lippincott Williams
& Wilkins. 2006. 6: 180-249.
28. Klabunde, R.E. General Pharmacology: Renal Handling Of Sodium And Water.
Cardiovascular Pharmacology Concepts. 2010. Diunduh pada :
Http://Www.Cvpharmacology.Com/Diuretic/Diuretics.Htm

Anda mungkin juga menyukai