PENDAHULUAN
1
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik menjelaskan tentang
“Kebijakan Publik dalam Negara Berkembang”.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dalam
pengembangan teori terkait kebijakan publik dalam negara berkembang dengan
topik sejenis, terutama bagi mahasiswa Jurusan Akuntansi di Politeknik Negeri
Sriwijaya.
2. Manfaat Praktis
Bagi pemerintah daerah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi tentang kebijakan publik dalam negara berkembang untuk peningkatan
kualitas pelayanan publik demi kemajuan negara.
2
1.4 Ruang Lingkup
Berdasarkan tujuan dan manfaat, batasan masalah pada peneitian ini hanya
terkait dengan kebijakan publik dalam negara berkembang, khususnya mengenai
kebijakan subsidi listrik tepat sasaran (SLTS).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan di negara-negara berkembang. Suap
dan penyalahgunaan wewenang serta jabatan bersumber dari prosedur yang
panjang dan berbelit-belit tersebut. Feodalisme dalam birokrasi yag terjadi di
negara-negara berkembang juga bersumber dari kelemahan prosedur yang
demikian. Dalam sistem birokrasi yang feodalistis, pejabat tidak merasa memiliki
fungsi sebagai pelayan masyarakat dalam pelaksanaan kebijkan, namun
sebaliknya merasa ingin dilayani masyarakat dalam memenuhi kepentingan
mereka.
Ketiga, perbaikan kualitas sumber daya aparatur. Perbaikan sumber daya
aparatur harus dimulai sejak awal pada waktu penerimaan atau rekrutmen.
Alasannya, bahan mentah yang berkualitas memiliki potensi untuk menjadi
produk yang baik kalau proses pembentukannya dilakukan juga secara baik an
tepat. Beberapa masalah aparatur pemerintah kita adalah rendahnya kompetensi,
tidak berintegritas, tidak kreatif, malas, menyukai intrik, dan matrealistis.
Akibatnya, banyak tugas tidak selesai, berkinerja rendah, tidak efektif, dan tidak
efesien.
Pembinaan sumber daya manusia harus terus-menerus dilakukan, baik
terkait mentalitas maupun keterampilan. Dewasa ini, berbagai pelatihan telah
banyak dilakukan, namun masih terlihat asal-asalan tanpa mengamati secara
mendalam persoalan pokok yang melatarbelakangi permasalahan sumber daya
manusia aparatur. Pembangunan keterampilan tanpa perbaikan mental tidak
memberikan banyak manfaat, sebaliknya perbaikan mentalitas tanpa peningkatan
keterampilan birokrasi juga tidak akan menghasilkan tenaga aparatur yang
dibutuhkan. Keterampilan birokrasi yang dimaksudkan di sini adalah keterampilan
untuk mengidentifikasi tujuan dan maslah, penetapam strategi, dan langkah-
langkah yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Hal ini antara lain berkenaan
dengan kemahiran dalam analisis kebijakan, manajemen strategis, dan
pengelolaan anggaran. Tanpa keterampilan birokrasi, seorang pimpinan tidak
dapat mengarahkan kegiatan manajemen dan akan mengakibatkan ketidakjelasan
kerja dan pencapaian tujuan jangka panjang.
5
2.2 Pembinaan Sistem Demokrasi
Di negara berkembang, demokrasi sulit bertumbuh secara baik.
Pertimbangan pokok masyarakat lebih tertuju pada masalah-masalah kebutuhan
dasar. Masyarakat masih melihat sistem politik sebgai persoalan lanjutan yang
tidak mendesak. Oleh karena itu, penyimpangan dan penyalahgunaan hak dan
kekuasaan rakyat mudah terjadi.Demokrasi adalah sistem pemerintahan modern
yang pelaksanaannya didasarkan pada kekuasaan dan keikutsertaan rakyat. Prinsip
demokrasi adalah “dari,oleh,dan untuk rakyat”. Rakyat menjadi tumpuan
kekuasaan, pelaksanaan, tujuan dari pemerintahan. Pemerintah yang
menyalahgunakan wewenang yang dipercayakan rakyat telah melakukan ksalahan
besar. Sebagai sanksi, wewenang yang mereka miliki harus dicabut atau
diturunkan dari kedudukannya.
Perwujudan sistem demokrasi dalam pemerintahan dilakukan melalui
sistem perwakilan atau lembaga legislatif. Para anggota legislatif adalah wakil-
wakil rakyat yang dilih oleh rakyat. Mereka bertugas menampung, memproses,
dan menyalurkan aspirasi rakyat untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena
itu, setiap undang-undang dan keputusan yang dibuat oleh lembaga legislatif tidak
lain untuk kepentingan rakyat semata.
Dalam sistem demokrasi, kedua model kepala pemerintahan tetap
bertanggung jawab kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara. Dalam
setiap negara, kedua sistem pemerintahan demokrasi ini memiliki variasi yang
sering kali tidak sama dengan tingkat kekuasaan kepala pemerintahan lainnya
yang menggambarkan derajat demokrasinya masing-masing.
Pelaksanaan sistem demokrasi di negara berkembang bervariasi sesuai
dengan tingkat demokrasi yang berbeda-beda. Sejalan dengan perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan kesadaran masyarat sitem demokrasi akan
semakin berkembang di masa yang akan datang. Rakyat akan semakin mampu
mengurus hak-hak dan kewajibannya sendiri.
6
pada rendahnya tingkat pendapatan per kapita yang diikuti tingginya tingkat
pengangguran, rendahnya produktivitas kerja, rendahnya tingkat pendidikan,
rendahnya daya beli dalam negeri sebagai akibat rendahnya tingkat upah, adn
rendahnya tingkat kesehatan masyarakat, serta kurangnya sarana-prasarana.
Kesemua hal ini membuat negara-negara berkembang berada dalam lingkaran
kemiskinan yang tidak berujung (vicious circles of property).
Bersama dengan kenyataan ini, terdapat ketimpangan ekonomi yang cukup
parah. Beberapa orang atau pihak dalam negara tersebut memiliki kekayaan
pribadi yang jauh melebihi kekayaan sebagian besar masyarakat. Ketimpangan
yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya gambaran yang realistis dalam
penilaian terhadap pertumbuhan ekonomi dari negara-negara tersebut.
Pemerataan pendapatan tidak dapat dilakukan dengan sekedar memotong
pendapatan yang kaya, kemudian dibagikan kepada yang miskin. Tetapi, harus
ada peningkatan keikutsertaan secara aktif. Artinya, keikutsertaan tersebut bukan
hanya karena prinsip “asal dapat kerja”, tetapi dengan suka rela dan inisiatif
sendiri. Kemungkinan ini dapat terjadi jika mereka memiliki keterampilan dan
kemampuan yang dapat diandalkan, yaitu dengan memiliki keterampilan dan
keterampilan lewat jalur pendidikan. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi di
negara berkembang harus didasarkan pada pendidikan. Pendidikan menjadi basis
dan hakikat pembangunan yang sesungguhnya. Kebijakan pembangunan harus
dilakukan dengan pengembangan kemampuan sumber daya manusia untuk
mampu hidup atas kemampuannya sendiri, tidak bergantung pada orang lain.
Dalam era pembangunan regional seperti MEE di Eropa dan MEA di ASEAN,
pengembangan dan peningkatan keahlian dan keterampilan merupakan kunci yang
harus diutamakan.
7
luas wilayahnya terbatas dan jumlah penduduknya sedikit memiliki pertimbangan
bahwa kestabilan politik menjadi lebih penting daripada kebebasan berpolitik. Di
sisi lain, negara yang wilayahnya luas dan penduduknya banyak menganggap
kebebasan berpolitik merupakan keniscayaan.
Pertimbangan lain yang harus dipikirkan adalah jaminan adanya kepastian
kebijakan. Artinya, setiap kebijakan yang dibuat dapat terjamin pelaksanaannya
sampai tuntas. Akan tetapi, hal ini tidak mudah terjadi. Perubahan pemerintahan
yang baru terbentuk justru jauh dalam waktu singkat, namun ada juga pemerintah
yang berkuasa lebih dari dua puluh tahun. Selain itu, pemerintah baru pada
umumnya memiliki kecenderungan untuk melakukan perubahan kebijakan yang
dijalankan pemerintah sebelumnya, meskipun terkadang jika dilihat dari
perspektif pembangunan kebijakan baru jauh lebih rendah kualitasnya daripada
yang terdahulu.
8
BAB III
CONTOH KEBIJAKAN
Berdasarkan teori kebijakan yang diuraikan di Bab II, maka kami akan
menjelaskan salah satu contoh kebijakan pemerintah tentang kebijakan Subsidi
Listrik Tepat Sasaran (SLTS).
Listrik menjadi salah satu komoditas signifikan bagi kehidupan masyarakat
baik itu untuk menjalankan industri, menggerakkan berbagai sektor bisnis, hingga
memenuhi kebutuhan fasilitas publik dan rumah tangga. Kementerian Energi dan
Sumber Daya Manusia menjadi badan yang bertanggung jawab atas ketersediaan
listrik negara. Oleh karenanya, elektrifikasi nasional dan pemerataan akses listrik
bagi seluruh masyarakat Indonesia menjadi fokus penting Kementerian ESDM.
Salah satu langkah yang diambil ialah melalui Kebijakan SLTS.
Pemerintah memberlakukan Kebijakan Subsidi Listrik Tepat Sasaran atau
SLTS sejak 1 Januari 2017 untuk memastikan subsidi listrik dinikmati oleh
masyarakat miskin dan tidak mampu. Kebijakan SLTS bertujuan untuk
memberikan keadilan kepada masyarakat miskin dan tidak mampu karena masih
terdapat 7 juta rumah tangga atau setara 28 juta individu di Indonesia yang belum
menikmati akses listrik permanen (Direktorat Jenderal Ketenagalistikan 2017).
Kebijakan diambil dengan pertimbangan pemberian subsidi tarif tenaga listrik
yang lebih tepat sasaran sehingga hanya diperuntukkan bagi Golongan Tarif R1
450 VA serta Golongan Tarif R2 900 VA miskin dan tidak mampu (Kementerian
ESDM 2016). Penerapan SLTS diharapkan dapat menghemat anggaran sekitar Rp
22 Triliun di akhir 2017 sehingga dapat dialokasikan salah satunya untuk
meningkatkan rasio elektrifikasi nasional yang baru mencapai 91% (Direktorat
Jenderal Ketenagalistrikan 2017).
Menurut Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (2017), kebijakan SLTS
sejalan dengan UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan UU Nomor 30
Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; bahwa pemerintah hanya menyediakan
subsidi bagi masyarakat tidak mampu. Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari
hasil Rapat Kerja Menteri ESDM dengan Komisi VII DPR-RI tanggal 22
September 2016, yakni kesepakatan mencabut subsidi secara bertahap bagi rumah
tangga 900 VA ekonomi mampu (Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan 2017).
9
Keputusan Pemerintah dan Komisi VII DPR-RI ditetapkan pada 13 Oktober 2016
melalui Permen ESDM Nomor 29 Tahun 2016 tentang Mekanisme Pemberian
Subsidi Tarif Tenaga Listrik untuk Rumah Tangga (Direktorat Jenderal
Ketenagalistrikan 2017).
Kementerian Sosial bersama Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan atau TNP2K mengelola Data Terpadu Program Penanganan Fakir
Miskin berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS. Tercatat sekitar 4,1 juta
rumah tangga miskin dan tidak mampu terdata sebagai pelanggan R1, sementara
data pelanggan PLN mencatat total sekitar 23 juta pelanggan R1 (Direktorat
Jenderal Ketenagalistrikan 2017). Dalam proses penerapan Kebijakan SLTS yang
mengacu pada Pemutakhiran Basis Data Terpadu 2015, Kementerian Sosial
melalui TNP2K menemukan bahwa Data Terpadu memiliki tingkat
ketidakakuratan sebesar 15% atau sekitar 4 juta dari 30 juta jiwa karena exclusion
error. Masih terdapat keluarga mampu yang masuk daftar miskin sehingga
mendapatkan subsidi serta keluarga miskin atau kurang mampu yang tidak masuk
daftar miskin sehingga tidak menerima subsidi (Marbun 2017 dalam Hidayat
2017). Inklusi maupun eksklusi yang tidak tepat ini menimbulkan kendala dalam
Kebijakan SLTS. Selain itu, pencabutan subsidi listrik disinyalir semakin
membebani kelompok-kelompok bawah masyarakat (Tribun News 2017).
10
BAB IV
11
besar. Sebagai sanksi, wewenang yang mereka miliki harus dicabut atau
diturunkan dari kedudukannya.
Kebijakan Subsidi Listrik Tepat Sasaran (SLTS) merupakan hasil
perwujudan sistem demokrasi dalam pemerintahan yang diakukan melalui sistem
perwakilan atau lembaga legislatif. Para anggota legislatif adalah wakil-wakil
rakyat yang dilih oleh rakyat. Mereka bertugas menampung, memproses, dan
menyalurkan aspirasi rakyat untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena itu,
kebijakan SLTS sejalan dengan salah satu UU dan keputusan yang dimana setiap
undang-undang dan keputusan yang dibuat oleh lembaga legislatif tidak lain untuk
kepentingan rakyat semata.
12
Kementerian Sosial dan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah dari
Kementerian Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan 2017) karena
kesejahteraan masyarakat turut menjadi fokus dari kedua kementerian tersebut.
13
ukuran, susunan, dan bentuk lembaga harus sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan
strategi.
Pada kebijakan Subsidi Listrik Tepat Sasaran (SLTS) ada lembaga yang
menaunginya yaitu Pemangku kepentingan utama yang terlibat dalam pelaksanaan
kebijakan ini adalah Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Sosial, TNP2K, PT PLN (Persero) dan Pemerintah Daerah. Bentuk
partisipasi dan keterlibatan dari Pemerintah Daerah adalah sebagaimana tertuang
dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 671/4809/SJ tanggal 16
Desember 2016 tentang Dukungan Penanganan Pengaduan Dalam Pelaksanaan
Kebijakan Subsidi Listrik Tepat Sasaran.
Perbaikan prosedur pada kebijakan SLTS didukung dengan aplikasi
elektronik sehingga memungkinkan pengaduan masyarakat tingkat
Desa/Kelurahan untuk segera diproses oleh Posko Pengaduan tingkat pusat. Untuk
mendukung kebijakan tersebut, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat
Edaran nomor 671/4809/SJ tanggal 16 Desember 2016 tentang Dukungan
Penanganan Pengaduan Dalam Pelaksanaan Kebijakan Subsidi Listrik Tepat
Sasaran (Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan 2017).
Perbaikan Sumber daya manusia pada kebijkan SLTS harus terus menerus
dilakukan, baik terkait mentalitas maupun keterampilan. Keterampilan birokrasi
yang dimaksudkan disini adalah ketermapilan untuk mengidentifikasi tujuan dan
masalah, penetapan strategi, dan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan. Kebijakan SLTS bertujuan untuk memberikan keadilan kepada
masyarakat miskin dan tidak mampu karena masih terdapat 7 juta rumah tangga
atau setara 28 juta individu di Indonesia yang belum menikmati akses listrik
permanen (Direktorat Jenderal Ketenagalistikan 2017). Kebijakan diambil dengan
pertimbangan pemberian subsidi tarif tenaga listrik yang lebih tepat sasaran
sehingga hanya diperuntukkan bagi Golongan Tarif R1 450 VA serta Golongan
Tarif R2 900 VA miskin dan tidak mampu (Kementerian ESDM 2016). Penerapan
SLTS diharapkan dapat menghemat anggaran sekitar Rp 22 Triliun di akhir 2017
sehingga dapat dialokasikan salah satunya untuk meningkatkan rasio elektrifikasi
nasional yang baru mencapai 91% (Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan 2017).
14
4.2.2 Pembahasan Pembinaan Sistem Demokrasi
Kebijakan Subsidi Listrik Tepat Sasaran (SLTS) merupakan hasil
perwujudan sistem demokrasi dalam pemerintahan yang diakukan melalui sistem
perwakilan atau lembaga legislatif. Para anggota legislatif adalah wakil-wakil
rakyat yang dilih oleh rakyat. Mereka bertugas menampung, memproses, dan
menyalurkan aspirasi rakyat untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena itu,
kebijakan SLTS sejalan dengan salah satu UU dan keputusan yang dimana setiap
undang-undang dan keputusan yang dibuat oleh lembaga legislatif tidak lain untuk
kepentingan rakyat semata.
Kebijakan SLTS memiliki dua landasan hukum utama, yakni UU Nomor
30 Tahun 2007 tentang Energi Pasal 7 yang menyatakan, “Pemerintah dan
Pemerintah Daerah menyediakan dana subsidi untuk kelompok masyarakat tidak
mampu” dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan Pasal 4 yang
menyatakan, “Untuk penyediaan tenaga listrik, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah menyediakan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu” (Arsip
Berita Kementerian ESDM 2016). Kebijakan SLTS turut diikuti Permen ESDM
Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan oleh PT
PLN, Permen ESDM Nomor 29 Tahun 2016 tentang Mekanisme Pemberian
Subsidi Tarif Tenaga Listrik untuk Rumah Tangga, dan Permen ESDM Nomor 18
Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Permen ESDM Nomor 28 Tahun 2016
tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PT PLN (Jaringan
Dokumentasi Informasi Hukum Kementerian ESDM 2017).
Sejak pemberlakuan Kebijakan SLTS, tarif listrik untuk rumah tangga 900
VA ekonomi mampu mengalami peningkatan setiap dua bulan sekali.
Kementerian ESDM mematok tarif Rp 791/KWh pada tahap pertama per 1
Januari 2017, Rp 1.034/KWh pada tahap kedua per 1 Maret 2017, dan Rp1.352/
KWh pada tahap ketiga per 1 Mei 2017. Kemudian mulai 1 Juli 2017,
diberlakukan tariff adjustment atau penyesuaian tarif setiap bulan bagi rumah
tangga 900 VA ekonomi mampu seperti dua belas golongan tarif non-subsidi
lainnya (Hidayat 2017). Penyesuaian tarif subsidi listrik sendiri dapat dipengaruhi
oleh harga minyak dan gas, inflasi, dan perubahan nilai tukar mata uang (Marbun
2017 dalam Hidayat 2017).
15
4.2.3 Pembahasan Kebijakan Dalam Pembangunan
Persoalan pokok yang dihadapi negara-negara berkembang adalah
rendahnya tingkat pembangunan ekonomi. Fenomena ini tercermin antara lain
pada rendahnya tingkat pendapatan per kapita yang diikuti tingginya tingkat
pengangguran, rendahnya produktivitas kerja, rendahnya tingkat pendidikan,
rendahnya daya beli dalam negeri sebagai akibat rendahnya tingkat upah, adn
rendahnya tingkat kesehatan masyarakat, serta kurangnya sarana-prasarana.
Kesemua hal ini membuat negara-negara berkembang berada dalam lingkaran
kemiskinan yang tidak berujung (vicious circles of property).
Bersama dengan kenyataan ini, terdapat ketimpangan ekonomi yang cukup
parah. Beberapa orang atau pihak dalam negara tersebut memiliki kekayaan
pribadi yang jauh melebihi kekayaan sebagian besar masyarakat. Ketimpangan
yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya gambaran yang realistis dalam
penilaian terhadap pertumbuhan ekonomi dari negara-negara tersebut.
Kebijakan SLTS merupakan salah satu upaya negara untuk menanggulangi
layanan publik yang tidak terjangkau akibat kemiskinan, yakni listrik.
Sebagaimana disampaikan Sefton (2006, 610), negara membutuhkan institusi
dalam sistem redistribusi demi menjamin pelayanan-pelayanan penting mengingat
ketidakpastian bisa hadir sewaktu-waktu. Oleh karenanya, Kebijakan SLTS
berusaha diterapkan secara komprehensif oleh Direktorat Jenderal
Ketenagalistrikan Kementerian ESDM yang bekerja sama dengan TNP2K dari
Kementerian Sosial dan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah dari
Kementerian Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan 2017) karena
kesejahteraan masyarakat turut menjadi fokus dari kedua kementerian tersebut.
Melalui Kebijakan SLTS, anggaran subsidi dialokasikan Kementerian
ESDM untuk mengupayakan pemerataan pemenuhan kebutuhan listrik sesuai
dengan Peraturan Menteri ESDM No. 38 tahun 2016. Pemerataan ini tak hanya
memerlukan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan secara masif tetapi juga
pendanaan yang besar (Arsip Berita Kementerian ESDM 2016). Menteri ESDM
Ignasius Jonan menerangkan bahwa sekitar 2.500 desa belum menerima listrik
sama sekali dan 10.000 hanya menikmati listrik ala kadarnya sehingga biaya
16
subsidi yang sebelumnya diberikan kepada 18 juta pelanggan mampu tersebut
akan dialokasikan untuk elektrifikasi desa-desa itu (Kumparan 2017). Hal senada
disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan
(2017 dalam Detak Riau 2017) yang menegaskan bahwa Pemerintah tidak hanya
berfokus pada pertumbuhan tetapi juga memperhatikan pemerataan, salah satunya
melalui pengaliran di 2.500 desa yang belum tersentuh listrik.
17
hanya golongan mampu yang dikenakan tarif non-subsidi, bukan golongan miskin
dan tidak mampu. Pemerintah sendiri berkomitmen untuk mengusahakan
turunnya tarif listrik non-subsidi.
18
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari Bab IV diatas, maka kesimpulan dari penelitian
ini yaitu :
1. Kebijakan pemerataan subsidi listrik telah menjadi wacana sejak tahun 2015.
Pemerintah kemudian memberlakukan Kebijakan Subsidi Listrik Tepat
Sasaran atau SLTS sejak 1 Januari 2017. Mengacu Data Terpadu Program
Penanganan Fakir Miskin yang dilansir TNP2K, subsidi listrik hanya
diperuntukkan bagi 23 juta pelanggan R1 450 VA dan 4,1 juta pelanggan R2
900 VA miskin dan tidak mampu, sedangkan subsidi untuk 18 juta pelanggan
R2 900 VA ekonomi mampu dialihkan pada tarif non-subsidi. Alokasi subsidi
ini diarahkan pada elektrifikasi nasional.
2. Kebijakan SLTS berlandaskan UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan
UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; bahwa pemerintah
hanya menyediakan subsidi bagi masyarakat tidak mampu.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan, maka
saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Adanya pemberian pendidikan berupa informasi atau akses untuk memperoleh
informasi kepada konsumen untuk mengetahui status hasil laporan pengaduan.
2. Adanya penjelasan tambahan dalam peraturan perundang-undangan terkait
pelaksanaan kebijakan SLTS tentang pemberian informasi hasil laporan
pengaduan kepada konsumen pengadu oleh pihak yang mempunyai akses
terhadap hasil laporan pengaduan
3. Mempermudah akses informasi dan komunikasi menuju saluran pengaduan
nasional sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat berkontribusi secara aktif
dan lebih mudah
19