Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Karsinoma Hepatoselul er (Hepatoma)


Hepatoma disebut juga kanker hati atau karsinoma hepatoselul er atau
karsinoma hepato primer. Hepatoma merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak
normal yang di tandai dengan bertambahnya jumlah sel dalam hati yang memiliki
kemampuan membelah/mitosis disertai dengan perubahan sel hati yang menjadi
ganas.
Kanker hati sering disebut "penyakit terselubung". Pasien seringkali tidak
mengalami gejala sampai kanker pada tahap akhir, sehingga jarang ditemukan dini.
Pada pertumbuhan kanker hati , beberapa pasien mungkin mengalami gejala seperti
sakit di perut sebelah kanan atas mel uas ke bagian belakang dan bahu, bloating, berat
badan, kehilangan nafsu makan, kelelahan, mual, muntah, demam, dan ikterus.
Penyakit-penyakit hati lainnya dan masalah-masalah kesehatan juga dapat
menyebabkan gejala-gejala tersebut, tapi setiap orang yang mengalami gejala seperti
ini harus berkonsultasi dengan dokter (Hussodo, 2006).
Kanker Hati atau Karsinoma Hepato Seluler (KHS) merupakan tumor ganas
hati primer yang sering di jumpai di Indonesia. KHS merupakan tumor ganas dengan
prognosis yang amat buruk, di mana pada umumnya penderita meninggal dalam
waktu 2-3 bulan sesudah diagnosisnya di tegakkan (Misnadiarly, 2007) .

2.2. Anatomi dan fungsi Hati


2.2.1. Anatomi Hati
Hati merupakan organ tubuh yang terbesar dengan berat 1200 -1500 gram.
Pada orang dewasa ±1/50 dari berat badannya, sedangkan pada bayi kurang lebih
1/18 dari berat bayi. Posisi organ hati sebagian besar terletak di perut bagian kanan
atas dibawah diaphragma.
Hepar secara anatomis dibagi menjadi pars hepatic dexter dan sinister oleh
bidang yang melalui batas perlekatan ligamentum falciforme pada facies
diaphragmatica dan oleh fisurra atau fossa sagitalis sinistra pada facies visceralis.
Lobus hepatic dexter terbagi menjadi lobus quadratus yang terletak antara vena cava
inferior dan ligamentum venosum. Bagian kanan dan kiri hepar dipisahkan oleh
bidang anteroposterior yang melalui fossa sagitalis dextra di sebelah kanan bidang
tengah ligamnetum falciforme. Dengan demikian lobus quadratus dan separuh lobus
caudatus akan termasuk pars hepatic sinistra yang di lurus oleh pembuluh darah dan
saluran empedu sebelah kiri (Wibo wo, 2009).
Hati di suplai oleh dua pembuluh darah yaitu :
a. Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus, yang kaya akan
nutrisi seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air
dan mineral.
b. Arteri hepatica cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.
Cabang-cabang pembuluh darah vena porta hepatica dan arteri hepatica
mengalirkan darahnya ke sinusoid. Hepatosit menyerap nutrien, oksigen
dan zat racun dari darah sinusoid. Di dalam hepatosit zat racun akan di
netralkan sedangkan nutrien akan ditimbun atau di bentuk zat baru,
dimana zat tersebut akan disekresikan ke peradaran darah tubuh (Wibowo,
2009).

2.2.2. Fungsi Hati


a. Untuk metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat. Bergantung kepada
kebutuhan tubuh, ketiganya dapat saling dibentuk.
b. Untuk tempat penyimpanan berbagai zat seperti mineral (Cu, Fe) serta
vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E, dan K), glik ogen dan
berbagai racun yang tidak dapat dikeluarkan dari tubuh (contohnya :
pestisida DDT).
c. Untuk detoksifikasi dimana hati melakukan inaktivasi hormon dan
detoksifikasi toksin dan obat.
d. Untuk fagositosis mikroorganisme, eritrosit, dan leukosit ya ng sudah tua
atau rusak.
e. Untuk sekresi, dimana hati memproduksi empedu yang berperan dalam
emulsifikasi dan absorbsi lemak .
Hepar mensekresi kurang lebih satu liter cairan empedu ke dalam saluran
empedu yang terdiri dari pigmen empedu dan asam empedu. yang termasuk pigmen
emepedu adalah bilirubin dan biliverdin yang memberi warna tertentu pada feses.
Asam empedu yang di bentuk dari kolesterol membantu pencernaan lemak (Wibowo,
2009).
Sel hati biasanya membelah diri untuk mengganti sel yang terluka atau mati
karena usia. Semua proses ini berlangsung secara ketat dan rapi di atur oleh gen yang
ada dalam tiap sel. Sel kanker di mulai dari sebuah sel yang menyimpang dari pola
tersebut di atas. Sel tidak lagi membelah diri secara teratur/rapi, tetapi tumbuh tidak
teratur atau tumbuh liar yaitu tumbuh tidak normal (abnormal). Sel abnormal ini
kemudian membuat jutaan penggandaan/menggandakan dirinya sendiri atau
“cloning”. Sel-sel ini tidak menjalankan fungsinya secara normal sehingga
mengakibatkan fungsi liver menjadi tidak normal karena sel -sel ini hanya bergerak
untuk memperbanyak diri yang akhirnya membentuk gumpalan. Gumpalan itu bisa
jadi tumor jinak (yang hanya tumbuh secara lokal dan tidak menyebar) (Misnadiarly,
2007).

2.3. Epidemiologi dan Karakter Kl inis


Terdapat perbedaan mencolok dalam frekuensi HCC di berbagai negara di
dunia, yang erat kaitannya dengan prevalensi infeksi HBV. Angka insidensi tahunan
di Amerika Utara dan Selatan, Eropa utara dan tengah, dan Australia adalah 3 -7 kasus
per 100.000 populasi, sedangkan yang insidensinya pertengahan (hingga 20 kasus per
100.000) adalah Negara di sekitar Mediterranea (Hussodo, 2009) .
Frekuensi tertinggi di temukan di Taiwan, Mozambik dan Cina tenggara,
angka insidensi tahunan pada pria mendekati 150 per 100.000. Gambaran umum pada
daerah dengan insidensi tinggi adalah pembawa HBV sejak masa bayi, setelah
penularan vertikal dari ibu yang terinfeksi. Keadaan pembawa yang kronis ini
meningkatkan risiko HCC pada masa dewasa sebesar 200 kali lipat. Di daerah -daerah
ini sirosis mungkin tidak di temukan pada hamp ir separuh pasien HCC. Di dunia
Barat di mana jarang terdapat pembawa HBV, sirosis di temukan pada 85% hingga
90% kasus HCC, yang sering timbul dari penyakit hati kronis lainnya (Hussodo, 2009).
Di seluruh dunia, HCC terutama dijumpai pada laki-laki dengan perbandingan
antara 3:1 terutama di daerah dengan insidensi rendah dan di daerah yang
insidensinya tinggi perbandingannya 8:1. Hal ini berkaitan dengan tingginya
prevalensi infeksi HBV, alkoholisme dan penyakit hati kronis pada laki -laki. Di
setiap daerah, orang berkulit hitam memiliki angka serangan (attack rate) sekitar
empat kali lebih besar daripada kulit putih. Di daerah dengan insidensi tinggi, HCC
umumnya timbul pada masa dewasa (dekade ketiga hi ngga kelima) sedangkan di
daerah dengan insidensi rendah tumor ini paling sering di temukan pada orang
berusia enam puluh hingga tujuh puluh tahun (Hussodo, 2009) .
Gambar 2.1 Grafik Diagnosis Tahunan Karsinoma Hepatoseluler
( Sumber: http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1001683 )
2.3.1. Karakteristik Klinis
Di Indonesia (khususnya di Jakarta) HCC di temukan tersering pada median
umur antara 50-60 tahun dengan predominasi pada laki -laki. Rasio antara kasus laki -
laki dan perempuan berkisar antara 2 -6 : 1. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi
dari asimtomatik hingga dengan gejala dan tandanya yang sangat jelas disertai gagal
hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di
kuadran kanan-atas abdomen (Hussodo, 2009) .
Temuan fisis tersering pada HCC adalah hepatomegali dengan atau tanpa
‘bruit’ hepatik, splenomegali, asites, ikterus, demam dan atrofi otot. Sebagian dari
pasien yang di rujuk kerumah sakit karena perdarahan varises esofagus atau
peritonitis bakterial spontan (SBP) ternyata sudah menderita HCC. Pada suatu
laporan serial nekropsi didapatkan bahwa 50% dari pasien HCC telah menderita
asites hemoragik yang jarang ditemukan pada pasien sirosis hati saja. Pada 10%
hingga 40% pasien dapat ditemukan hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya
produksi enzim beta-hidroksimetilglutaril koenzim-A reduktase, karena tiadanya
kontrol umpan balik yang normal pada sel hepatoma (Hussodo, 2009) .

2.4. Etiologi
Penyebab karsinoma ini tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang
terlihat :
2.4.1. Virus Hepatitis B (HBV)
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC terbukti kuat,
baik secara epidemiologis klinis maupun eksperimental. Karsinogenisitas HBV
terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi
hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas protein
spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya perubahan hepatosit dari
kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat
karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh
kompensasi proliferatif merespons nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh
ekspresi berlebihan suatu atau bebe rapa gen yang berubah akibat HBV (Hussodo,
2009). Koinsidensi infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik lain seperti
aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya HCC tanpa melalui sirosis hati (HCC pada
hati non sirotik). Transaktifasi beberapa promoter selular atau viral tertentu oleh gen -
x HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya HCC, mungkin karena akumulasi
protein yang disandi HBx mampu menyebabkan proliferasi hepatosit. Dalam hal ini
proliferasi berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme protektif d ari
apoptosis sel (Hussodo, 2009) .

2.4.2. Virus Hepatitis C (HCV)


Prevalensi anti HCV pada pasien HCC di Cina dan Afrika Selatan sekitar
30% sedangkan di Eropa Selatan dan Jepang 70 -80%. Prevalensi anti HCV jauh
lebih tinggi pada kasus HCC dengan HbsAg -negatif daripada HbsAg-positif. Pada
kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi darah dengan anti HCV positif,
interval saat transfusi hingga terjadinya HCC dapat mencapai 29 tahun.
Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktivitas nekroinflamasi
kronik dan sirosis hati (Hussodo, 2009) .

2.4.3. Sirosis Hati


Lebih dari 80% penderita karsinoma hepatoselular menderita sirosis hati.
Peningkatan pergantian sel pada nodul regeneratif sirosis di hubungkan dengan
kelainan sitologi yang dinilai sebagai perubahan displasia praganas. Semua tipe
sirosis dapat menimbulkan komplikasi karsinoma, tetapi hubungan ini paling besar
pada hemokromatosis, sirosis terinduksi virus dan sirosis alkoholik (Hussodo, 2009) .

2.4.4. Aflaktosin
Aflaktosin B1 (AFB1) merupakan mitoksin yang di produksi oleh jamur
Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen.
Metabolit AFB1 yaitu AFB 1 -2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari
kelompok aflatoksin yang m ampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA
(Hussodo, 2009) .

2.4.5. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat
alkohol ( >50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita HCC melalui
sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari
alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan risiko terjadinya sirosis hati dan HCC pada
pengidap infeksi HBV atau HCV (Hussodo, 2009) .

2.5. Patogenesis
Telah dipastikan terdapat tiga keterkaitan etiologik yang utama : infeksi oleh
HBV, Penyakit hati kronis (khususnya yang berkaitan dengan HCV dan alkohol) dan
kasus khusus hepatokarsinogen dalam makanan (terutama aflatoksin)
- Banyak faktor, termasuk usia, jenis kelamin, bahan kimia, virus, hormon,
alkohol, dan gizi, berinteraksi dalam pembentukan HCC.
Sebagai contoh, penyakit yang paling besar kemungkinannya
menimbulkan HCC pada kenyataannya adalah tirosinemia herediter yang
sangat jarang, hampir 40% pasien akan terjangkit tumor ini walaupun
sudah dilakukan kontrol diet (Kumar, 2007).
- Patogenesis pasti HCC mungkin berbeda antara populasi prevalen -HBV
insidensi tinggi versus populasi dengan insidensi rendah (Negara Barat),
sedang pada penyakit hati kronis lainnya, seperti alkoholism, HCV, dan
hemokromatosis herediter lebih sering terjadi.
- Sirosis yang terjadi tampaknya merupakan kontirubutor penting, tetapi
tidak mutlak untuk muncul HCC (Kumar, 2007).
Banyak bukti epidemiologis yang mengaitkan infeksi HBV kronis dengan
kanker hati, dan terdapat bukti kuat yang mengisyaratkan peran infeksi HCV.
Penelitian molekular terhadap karsinogenesis HBV memperlihatkan bahwa genom
HBV tidak mengandung sekuensi onkogenik. Selain itu, tidak terdapat tempat selektif
untuk integrasi DNA virus ke genom pejamu, sehingga tidak terjadi mutasi atau
pengaktivan proto-onkogen tertentu. Faktor berikut diperkirakan berperan :
- Siklus kematian dan regenerasi sel yang berulang, seperti terjadi pada
hepatitis kronis apapun sebabnya, penting dalam patogenesis kanker hati
- Akumulasi mutasi selama siklus pembelahan kontinu sel akhirnya
menyebabkan sebagian hepatosit mengalam i transformasi. Instabilitas
genom lebih besar kemungkinannya terjadi jika terdapat DNA HBV yang
terintegrasi dan hal ini menimbulkan penyimpangan kromosom sep erti
delesi, translokasi dan duplikasi
- Analisis molekular terhadap sel tumor pada orang yang terinfeksi HBV
memperlihatkan bahwa setiap kasus bersifat klonal dalam kaitannya
dengan pola integrasi DNA HBV yang mengisyaratkan integrasi virus
mendahului atau menyertai proses transformasi
- Genom HBV mengkode suatu elemen regulatorik, protein X HBV yang
merupakan suatu activator transkripsional transacting pada banyak gen
dan terdapat di sebagian besar tumor deng an DNA HBV terintegrasi.
Tampaknya di sel hati yang terinfeksi HBV, protein X HBV menggang gu
pengendalian pertumbuhan normal dengan mengaktifkan proto -onkogen
sel pejamu dan mengacaukan kontrol daur sel. Protein ini juga memiliki
efek anti apoptotik
- Seperti pada virus papiloma manusia, sebagian (tetapi tid ak semua) studi
mengisyaratkan bahwa protein HBV tertentu mengikat dan mengaktifkan
gen penekan tumor TP53. Keterkaitan antara infeksi hepatitis C dan
kanker hati cukup kuat (Kumar, 2007).
Memang dibanyak belahan dunia termasuk Jepang dan Eropa tengah, inf eksi
HCV kronis merupakan faktor risiko terbesar terjadinya kanker hati. HCC pada
pengidap hepatitis C hampir selalu timbul pada sirosis. Didaerah tertentu didunia
seperti Cina dan Afrika Selatan, tempat HBV endemi k juga banyak terjadi pajanan
ke aflatoksin dalam makanan yang berasal dari jamur Aspergillus flavus . Toksin
yang sangat karsinogenik ini ditemukan dalam kacang dan padi -padian yang
“berjamur”.

Penelitian pada hewan memperlihatkan bahwa aflatoksin dapat berikatan


secara kovalen dengan DNA sel dan menyebabkan mutasi diproto -onkogen atau gen
penekan tumor terutama TP53. Namun karsinogenesis tidak terjadi kecuali jika hati
aktif secara mitosis, seperti pada kasus hepatitis virus kronis dengan pro ses kerusakan
dan perbaikan yang berulang -ulang (Kumar, 2007). Tidak ada satupun pengaruh yang
berkaitan dengan HCV berperan dalam pembentukan kolangiokarsinoma. Pengaruh
kausal yang diakui pada tumor yan g jarang ini adalah kolangitis sklerotikans primer,
infeksi kronis saluran empedu oleh cacing hati Opisthorchis sinensis dan yang
sejenis, serta riwayat pajanan ke Thorotrast (dahulu digunakan dalam radiografi
saluran empedu). Namun sebagian besar kolangiokarsinoma timbul tanpa adanya
faktor risiko sebelumnya (Kumar, 2007).

2.6. Patologi
Secara makroskopis karsinoma hepatoseluler dapat muncul sebagai masa
soliter besar, sebagai nodul multipel atau sebagai lesi infiltratif difus. Secara
mikroskopis, neoplasma d isusun oleh sel-sel hati abnormal dengan berbagai
diferensisasi. Tumor dengan diferensiasi yang lebih baik disusun oleh sel -sel mirip
sel hati yang teratur di dalam pita -pita yang terpisah oleh sinusoid -sinusoid.
Sel-sel ini berinti besar yang memperlihat kan anak inti yang menonjol dan
hiperkromasi dan dapat mengandung empedu di dalam sitoplasmanya. Tumor -tumor
yang kurang berdiferensiasi baik mempunyai lembaran -lembaran sel-sel anaplastik.
Invasi pada radikulus vena hepatika merupakan gambaran khas yang m embedakan
dengan adenoma. Sulit membedakan karsinoma hepatoselular berdiferensiasi buruk
dengan karsinoma metastatik (Chandrasoma, 2005) .
Pewarnaan imunohistokimia dapat memperlihatkan alfa -fetoprotein (AFP) di
dalam sel neoplasma. Karsinoma hepatoseluler juga mensekresi AFP ke dalam darah,
peningkatan kadar di jumpai pada 90% pasien, membuat pemeriksaan AFP serum
sebagai tes diagnostik yang penting. (Catatan : Kadar AFP juga dapat sedikit
meningkat pada beberapa kasus hepatitis dan sirosis, demikian juga pada beberapa
neoplasma sel germinal pada gonad). Karsinoma hepatoseluler cenderung
bermetastasis dini melalui pembuluh limfe ke kelenjar getah bening regional dan
melalui darah menimbulkan metastasis pada paru. Metastasis ke tempat lain terjadi
pada tahap akhir (Chandrasoma, 2005).
2.7. Stadium Klinis
Tingkat penyakit (stadium) hepatoma primer terdiri dari :
Ia : Tumor tunggal diameter ≤ 3 cm tanpa emboli tumor, tanpa
metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
Ib : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter ≤ 5 cm di
separuh hati, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh
IIa : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan ≤ 10
cm di separuh hati, atau dua tumor dengan gabungan ≤ 5 cm di
kedua belahan hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa
metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
IIb : Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan ≥ 10 cm
di separuh hati, atau tumor multiple dengan gabungan ≥ 5 cm di
kedua belahan hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa
metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
IIIa : Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh
utama vena porta atau vena kava inferior, metastasis kelenjar
limfe peritoneal jauh salah satu daripadan ya
IIIb : Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor,
metastasis (Desen, 2008).

2.8. Diagnosis
Melakukan pemeriksaan berkala bagi kelompok risiko tinggi antara lain
pengidap virus Hepatitis B dan C, dokter, promiskus, dan bagi orang yang
mempunyai anggota keluarga penderita kanker hati. Pemeriksaan dilakukan setiap 3
bulan sekali pada penderita sirosis hati dengan HBsAg positif dan pada penderita
hepatitis kronis dengan HBsAg negatif atau penderita penyakit hati kronis atau
dengan sirosis dengan HBsAg negatif pernah mendapat transfusi atau hemodialisa
diperiksa 6 bulan sekali. Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.

2.8.1. Anamnesis
Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam fase lanjut dengan
keluhan nyeri perut kanan atas. Sifat nyeri ialah nyeri tumpul, terus-menerus,
kadang- kadang terasa hebat apabila bergerak. Di samping keluhan nyeri perut ada
pula keluhan seperti benjolan di perut kanan atas tanpa atau dengan nyeri, perut
membuncit karena adanya asites dan keluhan yang paling umum yaitu merasa badan
semakin lemah, anoreksia, perasaan lekas kenyang, feses hitam, demam, bengkak
kaki, perdarahan dari dub ur (Sujono, 2000).

2.8.2. Pemeriksaan fisik


Biasanya hati terasa besar dan berbenjol -benjol, tepi tidak rata, tumpul,
kadang-kadang terasa nyeri bila ditekan. Bila letak tumor di lobus kiri maka
pembesaran hati terlihat di epigastrium, tapi bila tumor tersebut terletak di lobus
kanan maka pembesaran hati terlihat di hipokhondrium kanan (Sujono, 1999) .

2.8.3. Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan Alfa -
fetoprotein (AFP) yaitu protein serum normal yang disintesis oleh sel hati
fetal. Rentang normal AFP serum adalah 0 -20 ng/ml, kadar AFP
meningkat pada 60%-70% pada penderita kanker hati. (Hussodo, 2009)
2. Ultrasonografi (USG) Abdomen
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan FP, pasien sirosis hati
dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor
kecil pada pasien dengan risiko tinggi USG lebih sensitif dari pada AFP
serum berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati bekisar anatara
70%-80%. Tampilan USG yang khas untuk HCC kecil adalah gambaran
mosaik, formasi septum, bagian perifer sonolusen (ber -halo), bayangan
lateral yang dibentuk oleh pseudokapsul fibrotik, serta penyangatan eko
posterior. Berbeda dari metastasis, HCC dengan diameter kurang dari dua
sentimeter mempunyai gambaran bentuk cincin yan g khas.
USG color Doppler sangat berguna untuk membedakan HCC dari tumor
hepatik lain. Tumor yang berada di bagian atas -belakang lobus kanan
mungkin tidak dapat terdeteksi oleh USG. Demikian juga yang berukuran
terlalu kecil dan isoekoik. Modalitas imaging lain seperti CT-scan, MRI
dan angiografi kadang diperlukan untuk mendeteksi HCC, namun karena
beberapa kelebihannya, USG masih tetap merupakan alat diagnostik yang
paling populer dan bermanfaat (Hussodo, 2009) .

Gambar 2.2 Gambar Ultrasonografi (USG) Abdomen


(Sumber : http://emedicine.medscape.com/article/369226 -overview)

3. Strategi Skrining Dan Surveilans


Skrining dimaksudkan sebagai aplikasi pemeriksaan diagnostik pada
populasi umum, sedangkan surveillance adalah aplikasi berulang
pemeriksaan diagnostik pada populasi yang beresiko untuk suatu
penyakit sebelum ada bukti bahwa penyakit tersebut sudah terjadi.
Karena sebagian dari pasien HCC dengan atau tanpa sirosis adalah tanpa
gejala untuk mendeteksi dini H CC diperlukan strategi khusus terutama
bagi pasien sirosis hati dengan HBsAg atau anti -HCV positif.
Berdasarkan atas lamanya waktu penggandaan ( doubling time) diameter
HCC yang berkisar antara 3 sampai 12 bulan (rerata 6 bulan) dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan AFP serum dan USG abdomen setia 3
hingga 6 bulan bagi pasien sirosis maupun hepatitis kronik B atau C.
Cara ini di Jepang terbukti dapat menurunkan jumlah pasien HCC yang
terlambat dideteksi dan sebaliknya meningkatkan identifikasi tumor kecil
(dini). Namun hingga kini masih belum jelas apakah dengan demikian
juga terjadi penurunan mortalitas (liver-related mortality) (Husodo,
2009).

2.9. Terapi
Karena sirosis hati yang melatar belakanginya serta tingginya kekerapan
multi-nodularis, resektabilitas HC C sangat rendah. Di samping itu kanker ini juga
sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif. Pilihan terapi
ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor, serta
derajat pemburukan hepati k. Untuk menilai status klinis, sistem skor Child-pugh
menunjukkan estimasi yang akurat mengenai kesintasan pasien. Mengenai terapi
HCC menemukan sejumlah kesulitan karena terbatasnya penelitian dengan kontrol
yang membandingkan efikasi terapi bedah atau terapi ablative lokoregion al, di
samping besarnya heterogenitas kesintasan kelompok kontrol pada berbagai
penelitian individual (Husodo, 2009).
2.9.1. Reseksi Hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non -sirosis yang biasanya mempunyai fungsi
hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi he patik. Namun untuk pasien sirosis
diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati yang
dapat menurunkan angka harapan hidup. Parameter yang dapat digunakan untuk
seleksi adalah skor Child-Pugh dan derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin
serum dan derajat hipertensi portal saja. Subjek dengan bilirubin normal tanpa
hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70%.
Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastasis ekstrahepatik HCC difus atau
multifocal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi
ketahanan pasien menjalani operasi (Husodo, 2009).
2.9.2. Transplantasi Hati
Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan
kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang
mengalami disfungsi. Dilaporkan survival analisis 3 tahun mencapai 80% bahkan
dengan perbaikan seleksi pasien dan terapi perioperatif dengan obat antiviral seperti
lamivudin, ribavirin dan interferon dapat dicapai survival analisis 5 tahun 92%.
Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi tumor bahkan
mungkin diperkuat oleh obat anti rejeksi yang harus diberikan. Tumor yang
berdiameter kurang dari 3cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang
diameternya lebih dari 5cm (Husodo, 2009) .

2.9.3. Ablasi Tumor Perkutan


Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil
karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah. Dasar kerjanya
adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular dan fibrosis. Untuk tumor
(diameter <5cm). PEI bermanfaat untuk pasien dengan tumor kecil namun
resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non -child A.
Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang l ebih
tinggi daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar dari 3cm,
namun tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Selain itu, RFA lebih
mahal dan efek sampingnya lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan PEI.
Guna mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam poliprenoik
(polyprenoic acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan angka rekurensi
pada bulan ke-38 secara bermakna dibandingkan dengan kelompok plasebo
(kelompok plasebo 49%, kelompok terapi PEI atau reseksi kuratif 22%) (Husodo,
2009).

2.9.4. Terapi Paliatif


Sebagian besar pasien HCC di diagnosis pada stadium menengah -lanjut
(intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan meta
analisi, pada stadium ini hanya TAE/TACE (transarterial embolization/chemo
embolization) saja yang menunjukkan penurunan pertumbuhan tumor serta dapat
meningkatkan harapan hidup pasien dengan HCC yang tidak resektabel. TACE
dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi ha tinya
cukup baik (Child-Pugh) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vascular
atau penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal. Sebaliknya
bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C), serangan iskemik
akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping yang berat (Husodo, 2009).
Adapun beberapa jenis terapi lain untuk HCC yang tidak resektabel seperti
imunoterapi dengan interferon, terapi antiesterogen, antiandrogen, oktreotid, radiasi
internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut
untuk mendapatkan penilaian yang pasti (Husodo, 2009).

2.10. Prognosis
Pada umumnya prognosis karsinoma h epatoseluler adalah jelek. Tanpa
pengobatan kematian rata-rata terjadi sesudah 6-7 bulan setelah timbul keluhan
pertama. Dengan pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang sekitar 11 - 12
bulan. Bila karsinoma hepatoseluler dapat dideteksi secara dini, usaha -usaha
pengobatan seperti pembedahan dapat segera dilakukan misalnya dengan cara sub -
segmenektomi, maka masa hidup penderita dapat menjadi lebih panjang lagi.
Sebaliknya, penderita karsinoma h epatoseluler fase lanjut mempunyai masa
hidup yang lebih singkat. Kematian umumnya disebabkan oleh karena koma hepatik,
hematemesis dan melena, syok yang sebelumnya didahului dengan rasa sakit hebat
karena pecahnya karsinoma hepatoseluler. Oleh karena itu langkah-langkah terhadap
pencegahan karsinoma hepatoseluler haruslah dilakukan. Pencegahan yang paling
utama adalah menghindarkan infeksi terhadap HBV dan HCV serta menghindari
konsumsi alkohol untuk mencegah terjadinya sirosis (Siregar.A.Gontar, 2011).
2.11. Pencegahan
2.11.1. Pencegahan Primordial
Pencegahan yang dilakukan untu k mengindari kemunculan keterpaparan dari
gaya hidup yang berkontribusi meningkatkan risiko penyakit, dilakukan dengan:
a. Mengkonsumsi buah dan sayur yang mengandung vitamin, beta karoten,
mineral, dan tinggi serat yang dapat menjaga kondisi tubuh agar tetap
sehat.
b. Kurangi makanan yang mengandung lemak tinggi.
c. Kurangi makanan yang dibakar, diasinkan, diasap, diawetkan dengan
nitrit.
d. Pengontrolan berat badan, diet seimbang dan olahraga.
e. Hindari stres.
f. Menjaga lingkungan yang sehat dan bersih sehingga terhindar dari
penyakit menular (Elisabet.S, 2009).

2.11.2. Pencegahan Primer


Pencegahan primer adalah langka yang harus dilakukan untuk menghindari
insidens penyakit dengan mengendalikan penyakit dan faktor risiko.
a. Memperhatikan menu makanan terutama mengkonsumsi protein hewani
cukup.
b. Hindari mengkonsumsi minuman alkohol
c. Mencegah penularan virus hepatitis, imunisasi bayi secara rutin menjadi
strategi utama untuk pencegahan infeksi VB H dan dapat memutuskan
rantai penularan (Elisabet.S, 2009).
2.11.3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah pengobatan penderita dan mengurangi akibat -
akibat yang serius dari penyakit melalui diagnosa dini dan pemberian pengobatan.
Hepatoma sering ditemukan pada stadium lanjut maka perlu dilakukan pengamatan
berlaku pada kelompok penderita yang kemungkinan besar akan menderita hepatoma
dengan pemeriksaan USG dan AFP (Elisabet.S, 2009).

Anda mungkin juga menyukai