Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.4. Etiologi
Penyebab karsinoma ini tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang
terlihat :
2.4.1. Virus Hepatitis B (HBV)
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC terbukti kuat,
baik secara epidemiologis klinis maupun eksperimental. Karsinogenisitas HBV
terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi
hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas protein
spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya perubahan hepatosit dari
kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat
karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh
kompensasi proliferatif merespons nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh
ekspresi berlebihan suatu atau bebe rapa gen yang berubah akibat HBV (Hussodo,
2009). Koinsidensi infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik lain seperti
aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya HCC tanpa melalui sirosis hati (HCC pada
hati non sirotik). Transaktifasi beberapa promoter selular atau viral tertentu oleh gen -
x HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya HCC, mungkin karena akumulasi
protein yang disandi HBx mampu menyebabkan proliferasi hepatosit. Dalam hal ini
proliferasi berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme protektif d ari
apoptosis sel (Hussodo, 2009) .
2.4.4. Aflaktosin
Aflaktosin B1 (AFB1) merupakan mitoksin yang di produksi oleh jamur
Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen.
Metabolit AFB1 yaitu AFB 1 -2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari
kelompok aflatoksin yang m ampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA
(Hussodo, 2009) .
2.4.5. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat
alkohol ( >50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita HCC melalui
sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari
alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan risiko terjadinya sirosis hati dan HCC pada
pengidap infeksi HBV atau HCV (Hussodo, 2009) .
2.5. Patogenesis
Telah dipastikan terdapat tiga keterkaitan etiologik yang utama : infeksi oleh
HBV, Penyakit hati kronis (khususnya yang berkaitan dengan HCV dan alkohol) dan
kasus khusus hepatokarsinogen dalam makanan (terutama aflatoksin)
- Banyak faktor, termasuk usia, jenis kelamin, bahan kimia, virus, hormon,
alkohol, dan gizi, berinteraksi dalam pembentukan HCC.
Sebagai contoh, penyakit yang paling besar kemungkinannya
menimbulkan HCC pada kenyataannya adalah tirosinemia herediter yang
sangat jarang, hampir 40% pasien akan terjangkit tumor ini walaupun
sudah dilakukan kontrol diet (Kumar, 2007).
- Patogenesis pasti HCC mungkin berbeda antara populasi prevalen -HBV
insidensi tinggi versus populasi dengan insidensi rendah (Negara Barat),
sedang pada penyakit hati kronis lainnya, seperti alkoholism, HCV, dan
hemokromatosis herediter lebih sering terjadi.
- Sirosis yang terjadi tampaknya merupakan kontirubutor penting, tetapi
tidak mutlak untuk muncul HCC (Kumar, 2007).
Banyak bukti epidemiologis yang mengaitkan infeksi HBV kronis dengan
kanker hati, dan terdapat bukti kuat yang mengisyaratkan peran infeksi HCV.
Penelitian molekular terhadap karsinogenesis HBV memperlihatkan bahwa genom
HBV tidak mengandung sekuensi onkogenik. Selain itu, tidak terdapat tempat selektif
untuk integrasi DNA virus ke genom pejamu, sehingga tidak terjadi mutasi atau
pengaktivan proto-onkogen tertentu. Faktor berikut diperkirakan berperan :
- Siklus kematian dan regenerasi sel yang berulang, seperti terjadi pada
hepatitis kronis apapun sebabnya, penting dalam patogenesis kanker hati
- Akumulasi mutasi selama siklus pembelahan kontinu sel akhirnya
menyebabkan sebagian hepatosit mengalam i transformasi. Instabilitas
genom lebih besar kemungkinannya terjadi jika terdapat DNA HBV yang
terintegrasi dan hal ini menimbulkan penyimpangan kromosom sep erti
delesi, translokasi dan duplikasi
- Analisis molekular terhadap sel tumor pada orang yang terinfeksi HBV
memperlihatkan bahwa setiap kasus bersifat klonal dalam kaitannya
dengan pola integrasi DNA HBV yang mengisyaratkan integrasi virus
mendahului atau menyertai proses transformasi
- Genom HBV mengkode suatu elemen regulatorik, protein X HBV yang
merupakan suatu activator transkripsional transacting pada banyak gen
dan terdapat di sebagian besar tumor deng an DNA HBV terintegrasi.
Tampaknya di sel hati yang terinfeksi HBV, protein X HBV menggang gu
pengendalian pertumbuhan normal dengan mengaktifkan proto -onkogen
sel pejamu dan mengacaukan kontrol daur sel. Protein ini juga memiliki
efek anti apoptotik
- Seperti pada virus papiloma manusia, sebagian (tetapi tid ak semua) studi
mengisyaratkan bahwa protein HBV tertentu mengikat dan mengaktifkan
gen penekan tumor TP53. Keterkaitan antara infeksi hepatitis C dan
kanker hati cukup kuat (Kumar, 2007).
Memang dibanyak belahan dunia termasuk Jepang dan Eropa tengah, inf eksi
HCV kronis merupakan faktor risiko terbesar terjadinya kanker hati. HCC pada
pengidap hepatitis C hampir selalu timbul pada sirosis. Didaerah tertentu didunia
seperti Cina dan Afrika Selatan, tempat HBV endemi k juga banyak terjadi pajanan
ke aflatoksin dalam makanan yang berasal dari jamur Aspergillus flavus . Toksin
yang sangat karsinogenik ini ditemukan dalam kacang dan padi -padian yang
“berjamur”.
2.6. Patologi
Secara makroskopis karsinoma hepatoseluler dapat muncul sebagai masa
soliter besar, sebagai nodul multipel atau sebagai lesi infiltratif difus. Secara
mikroskopis, neoplasma d isusun oleh sel-sel hati abnormal dengan berbagai
diferensisasi. Tumor dengan diferensiasi yang lebih baik disusun oleh sel -sel mirip
sel hati yang teratur di dalam pita -pita yang terpisah oleh sinusoid -sinusoid.
Sel-sel ini berinti besar yang memperlihat kan anak inti yang menonjol dan
hiperkromasi dan dapat mengandung empedu di dalam sitoplasmanya. Tumor -tumor
yang kurang berdiferensiasi baik mempunyai lembaran -lembaran sel-sel anaplastik.
Invasi pada radikulus vena hepatika merupakan gambaran khas yang m embedakan
dengan adenoma. Sulit membedakan karsinoma hepatoselular berdiferensiasi buruk
dengan karsinoma metastatik (Chandrasoma, 2005) .
Pewarnaan imunohistokimia dapat memperlihatkan alfa -fetoprotein (AFP) di
dalam sel neoplasma. Karsinoma hepatoseluler juga mensekresi AFP ke dalam darah,
peningkatan kadar di jumpai pada 90% pasien, membuat pemeriksaan AFP serum
sebagai tes diagnostik yang penting. (Catatan : Kadar AFP juga dapat sedikit
meningkat pada beberapa kasus hepatitis dan sirosis, demikian juga pada beberapa
neoplasma sel germinal pada gonad). Karsinoma hepatoseluler cenderung
bermetastasis dini melalui pembuluh limfe ke kelenjar getah bening regional dan
melalui darah menimbulkan metastasis pada paru. Metastasis ke tempat lain terjadi
pada tahap akhir (Chandrasoma, 2005).
2.7. Stadium Klinis
Tingkat penyakit (stadium) hepatoma primer terdiri dari :
Ia : Tumor tunggal diameter ≤ 3 cm tanpa emboli tumor, tanpa
metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
Ib : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter ≤ 5 cm di
separuh hati, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh
IIa : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan ≤ 10
cm di separuh hati, atau dua tumor dengan gabungan ≤ 5 cm di
kedua belahan hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa
metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
IIb : Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan ≥ 10 cm
di separuh hati, atau tumor multiple dengan gabungan ≥ 5 cm di
kedua belahan hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa
metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
IIIa : Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh
utama vena porta atau vena kava inferior, metastasis kelenjar
limfe peritoneal jauh salah satu daripadan ya
IIIb : Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor,
metastasis (Desen, 2008).
2.8. Diagnosis
Melakukan pemeriksaan berkala bagi kelompok risiko tinggi antara lain
pengidap virus Hepatitis B dan C, dokter, promiskus, dan bagi orang yang
mempunyai anggota keluarga penderita kanker hati. Pemeriksaan dilakukan setiap 3
bulan sekali pada penderita sirosis hati dengan HBsAg positif dan pada penderita
hepatitis kronis dengan HBsAg negatif atau penderita penyakit hati kronis atau
dengan sirosis dengan HBsAg negatif pernah mendapat transfusi atau hemodialisa
diperiksa 6 bulan sekali. Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
2.8.1. Anamnesis
Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam fase lanjut dengan
keluhan nyeri perut kanan atas. Sifat nyeri ialah nyeri tumpul, terus-menerus,
kadang- kadang terasa hebat apabila bergerak. Di samping keluhan nyeri perut ada
pula keluhan seperti benjolan di perut kanan atas tanpa atau dengan nyeri, perut
membuncit karena adanya asites dan keluhan yang paling umum yaitu merasa badan
semakin lemah, anoreksia, perasaan lekas kenyang, feses hitam, demam, bengkak
kaki, perdarahan dari dub ur (Sujono, 2000).
2.9. Terapi
Karena sirosis hati yang melatar belakanginya serta tingginya kekerapan
multi-nodularis, resektabilitas HC C sangat rendah. Di samping itu kanker ini juga
sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif. Pilihan terapi
ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor, serta
derajat pemburukan hepati k. Untuk menilai status klinis, sistem skor Child-pugh
menunjukkan estimasi yang akurat mengenai kesintasan pasien. Mengenai terapi
HCC menemukan sejumlah kesulitan karena terbatasnya penelitian dengan kontrol
yang membandingkan efikasi terapi bedah atau terapi ablative lokoregion al, di
samping besarnya heterogenitas kesintasan kelompok kontrol pada berbagai
penelitian individual (Husodo, 2009).
2.9.1. Reseksi Hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non -sirosis yang biasanya mempunyai fungsi
hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi he patik. Namun untuk pasien sirosis
diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati yang
dapat menurunkan angka harapan hidup. Parameter yang dapat digunakan untuk
seleksi adalah skor Child-Pugh dan derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin
serum dan derajat hipertensi portal saja. Subjek dengan bilirubin normal tanpa
hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70%.
Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastasis ekstrahepatik HCC difus atau
multifocal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi
ketahanan pasien menjalani operasi (Husodo, 2009).
2.9.2. Transplantasi Hati
Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan
kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang
mengalami disfungsi. Dilaporkan survival analisis 3 tahun mencapai 80% bahkan
dengan perbaikan seleksi pasien dan terapi perioperatif dengan obat antiviral seperti
lamivudin, ribavirin dan interferon dapat dicapai survival analisis 5 tahun 92%.
Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi tumor bahkan
mungkin diperkuat oleh obat anti rejeksi yang harus diberikan. Tumor yang
berdiameter kurang dari 3cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang
diameternya lebih dari 5cm (Husodo, 2009) .
2.10. Prognosis
Pada umumnya prognosis karsinoma h epatoseluler adalah jelek. Tanpa
pengobatan kematian rata-rata terjadi sesudah 6-7 bulan setelah timbul keluhan
pertama. Dengan pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang sekitar 11 - 12
bulan. Bila karsinoma hepatoseluler dapat dideteksi secara dini, usaha -usaha
pengobatan seperti pembedahan dapat segera dilakukan misalnya dengan cara sub -
segmenektomi, maka masa hidup penderita dapat menjadi lebih panjang lagi.
Sebaliknya, penderita karsinoma h epatoseluler fase lanjut mempunyai masa
hidup yang lebih singkat. Kematian umumnya disebabkan oleh karena koma hepatik,
hematemesis dan melena, syok yang sebelumnya didahului dengan rasa sakit hebat
karena pecahnya karsinoma hepatoseluler. Oleh karena itu langkah-langkah terhadap
pencegahan karsinoma hepatoseluler haruslah dilakukan. Pencegahan yang paling
utama adalah menghindarkan infeksi terhadap HBV dan HCV serta menghindari
konsumsi alkohol untuk mencegah terjadinya sirosis (Siregar.A.Gontar, 2011).
2.11. Pencegahan
2.11.1. Pencegahan Primordial
Pencegahan yang dilakukan untu k mengindari kemunculan keterpaparan dari
gaya hidup yang berkontribusi meningkatkan risiko penyakit, dilakukan dengan:
a. Mengkonsumsi buah dan sayur yang mengandung vitamin, beta karoten,
mineral, dan tinggi serat yang dapat menjaga kondisi tubuh agar tetap
sehat.
b. Kurangi makanan yang mengandung lemak tinggi.
c. Kurangi makanan yang dibakar, diasinkan, diasap, diawetkan dengan
nitrit.
d. Pengontrolan berat badan, diet seimbang dan olahraga.
e. Hindari stres.
f. Menjaga lingkungan yang sehat dan bersih sehingga terhindar dari
penyakit menular (Elisabet.S, 2009).