Anda di halaman 1dari 17

Menurut The International Association for the Study of Pain (dalam Potter & Perry, 2005) nyeri didefinisikan

sebagai perasaan
sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial yang menyebabkan
kerusakan jaringan. Sementara itu menurut Brunner & Suddarth (2001) nyeri terjadi bersamaan dengan terjadinya proses penyakit
atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostic atau pengobatannya selain itu menurutnya nyeri juga sangat
mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang daripada penyakit apapun.

Perilaku nyeri
Respons terhadap adanya stimulasi kerusakan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu pengalaman nyeri yang bersifat subjektif dan
perilaku yang dapat diobservasi. Kata nyeri digunakan untuk menyatakan pengalaman yang tidak menyenangkan yang bersifat
subjektif. Sementara perilaku yang dapat diobservasi disebut perilaku nyeri (Fields,1987). Menurut Fordyce (1976), perilaku
nyeri dapat berupa :

a. Respon verbal, seperti : mengeluh, mendesah, merintih, dan mengadukan nyeri yang dialami

b. Respon non verbal, seperti : wajah tegang, keresahan, sudut mulut dilengkungkan kebawah, terlihat sedih, terlihat
ketakutan, bibir berkerut dan dagu bergetar.
c. Sikap badan dan isyarat meliputi : menggosok-gosokkan bagian tubuh yang nyeri, immobilisasi dan menyeringai
d. Perilaku yang berbeda dengan keadaan normal meliputi : beristirahat dan berbaring secara berlebihan.

Nyeri adalah pengalaman kompleks yang terdiri dari aspek sensorik, emosional, dan kognitif yang terintegrasi baik pada tingkat
spinal maupun supraspinal setelah pengaktivasan nosiseptif serta dipengaruhi oleh faktor neurofisiologis, psikologis, dan sosial.
Faktor psikologis dalam persepsi dan respons terhadap nyeri termasuk latar belakang budaya, pengalaman masa lalu, lingkungan
sosial, kepercayaan individu, kepribadian, dan keadaan emosional dan profesional kesehatan yang mengelola perawatan
(Fillingim et al, 2000).

FAKTOR PSIKOLOGI DAN SOSIAL DI RASA SAKIT


Adams (2001) mengatakan bahwa sebelum membahas pendekatan psikologis yang dapat digunakan untuk meningkatkan
manajemen pasien, perlu untuk menghargai faktor psikologis dan psikososial yang terlibat dalam pengalaman nyeri.
1. Kecemasan dan depresi
Sebagian besar pasien mengalami tekanan emosional yang bervariasi, yang paling umum adalah perasaan cemas atau
depresi. Berbagai faktor berkontribusi terhadap tingkat tekanan emosional, seperti sifat dan prognosis kondisi penyakit,
kemampuan dalam mengatasi penyakit, dukungan sosial, sikap dan perilaku profesional kesehatan serta kepercayaan
individu itu sendiri. Pasien yang berkeyakinan kuat bahwa kesehatan mereka dikendalikan oleh suatu hal tertentu atau
karena kemalangan lebih cenderung mengalami depresi, cemas dan obsesif-kompulsif dibandingkan dengan pasien yang
percaya mereka dapat melakukan pengukuran kontrol atas kesehatannya. Secara klinis pula terdapat kaitan antara
pengalaman nyeri dan kecemasan. Pasien yang mengalami tingkat kecemasan yang tinggi lebih sensitif terhadap rasa
sakit karena peningkatan aktivitas kortikal dengan yang menyebabkan penurunan penghambatan reticular. Dengan
demikian, mekanisme pada awal terjadinya nyeri lebih mudah terjadi dan tingkat nyeri yang terasa bisa lebih dalam lagi.
Jika kecemasan dapat diatasi, proses dapat bekerja dalam arah yang berlawanan dan penghantaran nyeri dapat menururun.
2. Perspesi terhadap sakit/nyeri
Faktor kepribadian seseorang seperti motivasi berperan dalam perspesi nyeri pada individu. Namun, menurut para ahli,
faktor yang paling dominan berasal dari lingkungan dalam bentuk rangsangan yang terkait dengan proses pembelajaran.
Individu belajar bagaimana menafsirkan rasa sakit dan menanggapinya dengan mengamati orang lain.Oleh karena itu,
panutan dalam keluarga sangat penting untuk pasien dalam merespons rasa sakit. Juga, kognisi, yakni berdasarkan pada
sikap pasien, kepercayaan, harapan, dan asumsi yang dikembangkan dari pengalaman sebelumnya dengan para
profesional kesehatan dapat mempengaruhi respon pasien terhadap rasa sakit. Dalam kasus nyeri kronis, penting bagi
tenaga kesehatan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki pikiran dan keyakinan yang menyimpang. Tenaga kesehatan
tidak boleh memperkuat perilaku nyeri, tetapi mendorong pasien untuk meningkatkan tingkat aktivitas mereka sehingga
bisa meminimalisasi perilaku nyeri
3. Aspek sosial
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa etnisitas mempengaruhi respon terhadap rasa sakit karena tiap etnik dan
budaya memiliki keyakinan yang berbeda tentang makna nyeri. Pengalaman nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor
psikososial seperti keyakinan agama, budaya, kesiapan dalam pemberian informasi, serta kontrol yang dirasakan.
4. Sikap, kepercayaan, harapan
Sikap, keyakinan, dan harapan seseorang tentang nyeri memengaruhi persepsi dan respons mereka terhadapnya; apakah
rasa sakit dilihat secara positif atau negatif dapat mempengaruhi pengalamannya. Misalnya, kolesistektomi untuk
memperbaiki gejala yang tidak menyenangkan dapat dilihat lebih positif daripada operasi tulang belakang berulang yang
sebelumnya gagal memberikan pertolongan. Apakah rasa sakit ditafsirkan sebagai akibat dari operasi, dalam hal ini
terbatas, atau apakah itu dipandang sebagai gejala yang mendasari kemungkinan patologi yang tidak terdiagnosis, seperti
yang sering dipercayai oleh pasien nyeri kronis, juga dapat memengaruhi pengalaman dan respons kesakitan. Keyakinan
nyeri dapat memengaruhi hasil pengobatan karena keyakinan pasien tentang penyakit yang dialami dapat memengaruhi
sikap mereka terhadap keterampilan mengatasi, kepatuhan, dan kepatuhan terhadap pengobatan, Mereka mungkin
percaya dan bisa menilai sendiri bahwa pengobatan tertentu efektif dan tidak efektif.
5. Kontrol dan koping
cara pasien dalam mengatasi masalahnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, misal, suasana hati, kepercayaan, dan tingkat
dukungan pasangan. Pasien yang paling adaptif terhadap suatu masalah adalah mereka yang memiliki keyakinan eksternal
yang kuat, keyakinan kuat pada bantuan orang lain seperti profesional kesehatan. Pemberian informasi pada pasien sangat
penting karena dapat meningkatkan kontrol yang dirasakan atas rasa sakit dan dengan peningkatan kontrol, kecemasan
dan kesulitan berkurang. Para profesional kesehatan dapat lebih membantu keterampilan pasien dalam mengatasi
masalahnya tersebut dengan mengajarkan pemecahan masalah, mengkoreksi kognisi yang terdistorsi oleh pendidikan dan,
untuk nyeri kronis, aktivitas yang mendorong dan tidak memperkuat nyeri. Pengendalian juga sangat penting dalam
perawatan paliatif karena pasien mungkin berisiko sakit parah, terutama pada tahap akhir kanker. Kecemasan dan
kesulitan dapat diatasi sebagian oleh pasien yang diyakinkan bahwa mereka akan menerima analgesia yang memadai
serta dukungan emosional yang memadai akan diberikan kepada mereka dan keluarga mereka.

Adams, Et Al. 2001. Pain Management 1: Psychological And Social Aspects Of Pain. British Journal Of Nursing. Vol 10(14).
Doi: 10.12968/Bjon.2001.10.14.5277

Terdapat sembilan variabel bebas diantaranya: tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, riwayat kanker payudara pada keluarga,
keterjangkauan jarak, keterjangkauan biaya, keterpaparan informasi/ media massa, dukungan suami/keluarga, dukungan teman,
dan perilaku deteksi dini.

Awal : Kenalan. Minta izin. Tanya apa berkenan atau enggak


AKIBAT SOSIAL YANG TIMBUL AKIBAT PENYAKIT/MASALAH KESEHATAN YANG DIDERITA

1. Nama lengkap? Ibu Siti …..


1. Perkenalan diri mahasiswa + inform consent 2. Kegiatan sehari-hari? Ibu rumah tangga biasa.
2. Perkenalan ibu (nama, umur) Ngurus rumah setiap hari. Bantu-bantu kerjaan
3. (awal) apa ibu mengalami stres? tidak enak suami
3. tingkat pendidikan? SMK
tidur? kepikiran sesuatu? apa yang kira2 ibu
4. Apa yg diketahui ttg kanker payudara? Sebelum
pikirkan/khawatirkan? ibu tahu ttg penyakit ibu? Apakah ibu sudah tahu
anak/ekonomi/penyakitnya/nyerinya dll? Apa banyak ttg penyakit tsb? (tk. Pengetahuan) apakah
skrg masih seperti itu? sudah tau ttg gejala2 kaknker payudara? Tau tapi
4. Apa yang membuat ibu malu (malu pada apa?), sebatas ada benjolan-benjolan aja di payudara.
cemas (menecemaskan apa) marah (marah ke Tidak tahu banyak. Saya juga itu taunya dari
siapa), tetangga saya yang kebetulan juga lebih awal kena
5. bagaimana ibu bisa mengatasi masalah sakit kanker payudara daripada saya. Jadi ya saya
tersebut? bagaimana ibu bisa berpikiran positif / taunya dari situ ciri-cirinya gitu.
berdamain dlm masalah ini? (sumber kekuatan). 5. Apa yg ibu rasakan saat pertama kalo ini, terus
Cara ibu untuk mengatasi stress, malu, marah skrg gimana apa sudah nerima? Tetep optimis?
6. Selama ini (selama pengobatan/kontrol di sutomo) Apa Pertama sih sedih, depresi, malu sama orang-orang.
masih stres kadang2? Tapi sekarang alhamdulillah sudah baikan. Saya
7. Pernah terlintas nggak pada awal, kalo Allah bisa semangat lagi. Optimis lagi buat sembuh. Saya
tidak adil dan marah ke Allah, dll? Atau merasa harus tetap semangat terus.
6. Bagaimana hub ibu dengan kader/bidan/orang
ini hukuman dari Allah, atau malah merasa ini
puskesmas? Apakah aktif di kegiatan yg dilakukan
sebuah anugerah yg harus disyukuri? puskesmas? (tk. Pengetahuan) Kalo sama dokter di
8. Pernah putus asa/capek nggak selama puskesmas sih enggak. Tapi kalo sama kader
pengobatan berlangsung (kemo)? Bagaimana lumayan dekat apalagi kalo sama kader posyandu.
cara mengembalikan ibu itu tetap semangat? Karena saya masih punya anak kecil yang rutin
9. Bagaimana ibu melampiaskan rasa kesedihan saya bawa ke posyandu. Kalo untuk urusan
itu? Nangis? Langsung ibadah? Melalui tulisan, kesehatan orang tua itu saya ya dapat infromasi
ceita ke suami dari kakak saya. Kebetulan kakak saya itu kader
10. Bagaimana respon anak ibu terhadap penyakit puskesmas juga jadi kalo ada apa-apa ya infonya
ibu yang dulu (awal) dan yang skrg? dapat dari kakak saya itu.
11. Bagaimana skrg ibu dengan tetangga? Apa 7. apa yg ibu tau ttg program SADARI? Saya baru
masih malu, mengurung diri? Cara sosialisasi ibu tau program SADARI itu pas saya sudah periksa di
RS. Pas sebelum terdiagnosa sakit saya tidak tahu
bagaimana? PKK, arisan, pengajian rutin, mbak. Dulu saat penyuluhan sepertinya tidak
penyuluhan puskesmas diberitahu oleh kader atau saya memang saya yang
12. Bentuk dukungan apa yang sebenernya pingin mungkin tidak hadir waktu itu jadi ketinggalan
ibu dapatkan dari support system? Finansial? informasi.
Spiritual? Motivasi? 9. Bagaimana penilaian keluarga (suami, anak,
13. Bagaimana bentuk dukungan skrg yang sudah mertua) dan tetangga sekitar ttg penyakit yg
didapat dari lingkuan (sahabat, teman, tetangga) dialami ibu? (stigma masyarakat) Alhamdulillah
pada ibu? (social dari keluarga, tetangga, dokter, lingkungan sekitar saya tidak aneh-aneh malah
informasional, finansial) apakah sesuai dgn mendukung saya. Malahan suami saya yang
keinginan ibu, atau malah ibu merasa bukan itu semangat awalnya cari-cari infromasi tentang
pengobatan kanker ini.
yang ibu mau.
11. Mengapa ibu menolak operasi, kemoterapi, dan
14. Bagaimana dokter dan perawat skrg malah ke alternif aja?alasan saya nolak operasi itu
memperlakukan ibu? Selalu memberi motivasi dll karena saya lihat saya bacabaca efek samping
15. Paling merasa tidak nyaman/sedih kalau dapat kemoterapi dan operasi itu kok sangat
komentar/pertanyaan dari tetangga apa? menyeramkan gitu. Saya kepikiran ya namanya
16. Apa masih nyeri bu? bagaimana sekarang ibu wanita ya bagaimana rasanya kalo salah satu
meredakan nyerinya untuk saat ini? (obat, anggota badannya ada yg hilang/diambil gitu kan
aktivitas, factor yg memperingan) pasti sedih, stres gitu. Trus juga kalo saya baca-
17. Untuk sekarang dari sisi non medis apa saja baca itu efek setelah kemo itu katanya lemes,
yang ibu lakukan? obat herbal? supplement rambut rontok, dll itu membuat saya takut.
tertentu? apa ibu masih menggunakan alternatif Makanya saya kepikiran itunya. Saya ndak nurut ke
saat ini? Atau seperti ngaji ngaji baca-baca surat dokternya itu. Trus saya cari alternatif biar ya
menghindari efek samping itu. Siapa tau bisa
apa? (tk. Spiritual) sembuh tapi efeknya gak seperti kemo. Tapi
18. apa ibu ikut gabung dalam komunitas ternyata saya salah. Kalo sekarang karena saya
19. Ibu kan sudah sangat berenergi positif, apakah ibu punya sudah sadar, kemo berapa kalipun sudah saya
kepikiran/niatan menyalurkan energi tersebut seperti lakukan mbak. Saya pingin sembuh. Sampe rambut
berbagi, memberi penyuluhan tentang kanker, seperti rontok pun saya ndakpapa. Malah saya pingin
akitivis kepada masyarkat, sharing informasi dan cepat-cepat operasi.
pengalaman, dll?
20. Kegiatan apa saja yang skerang ibu lakukan tapi saat
sebelum sakit belum ibu lakukan, pola hidup apa yang
berubah?
21. Bagaimana harapan ibu kedepannya?
Komunitas untuk sharing pengalaman dan infromasi, secara berkala bisa melibaktkan tim ahli untuk edukasi dan penyuluhan ke
pasien, keluarga pasien.

Pain is a complex experience comprising sensory, emotional and cognitive dimensions. It is integrated at both spinal and
supraspinal levels following nociceptive activation and is affected not only by neurophysiological factors but also by
psychological and social factors. The experience of pain is not simply directly related to the amount of peripheral nociceptive
input as many variables have been implicated which affect perception and response to pain. This is demonstrated in cases where
pain is disproportionate to the severity of injury or after an injury has healed, e.g. chronic low back pain.
In addition to neural phenomena such as sensitization of the central nervous system which is involved in chronic pain syndromes,
the involvement of psychological and social factors in pain perception and response is well documented. Psychological factors in
the perception and response to pain include cultural background, previous experience, social environment and patients’s own
beliefs, attitudes and expectations of their pain, their gender, personality and emotional state and the health professional
administering the treatment (Fillingim et al, 2000).

PSYCHOLOGICAL AND SOCIAL FACTORS IN PAIN


Before discussing psychological approaches which can be used to augment patient management, it is necessary to appreciate
documented psychological and psychosocial factors involved in the experience of pain.
1. Anxiety and depression
Most patients experience emotional distress to a varying degree, the most commonly reported being feelings of anxiety or
depression. Various factors contribute to the extent of emotional distress, such as the nature and prognosis of the
condition, coping abilities, social support, attitudes and behaviors of health professionals and patient beliefs. Patients with
strong beliefs that their health was controlled by chance or misfortune were more likely to be depressed, anxious and
obsessive-compulsive as compared with patients who believed they could exert a measure of control over their own
health outcomes.
There is a direct relationship between pain experience and anxiety in the clinical setting. Patients experiencing high levels
of anxiety are more sensitive to pain because of increases in cortical activity with subsequent decreases in reticular
inhibitory activity. Thus, the proposed gating mechanism is opened to painful stimuli. If anxiety can be reduced, the
process may work in the opposite direction and gate closure may be exerted with subsequent decrease in the experience of
pain. An increased level of depression has been found in patients with chronic pain, although whether this is aetiological
or reactive to the pain and disability is as yet unclear. Cancer patients’s concerns related to their desire to be with their
loved ones and were afraid of dependency, losing their faculties, uncontrollable pain and surgical mutilation.

2. The role of learning in pain


Genetic and personality factors such as motivation and traits are acknowledged to play some part in the constitution of
patients with chronic pain. However, social learning theorists believe that by far the greatest contribution comes from
environmental factors in the form of stimuli or consequences which are directly related to the various processes of
learning. Individuals learn how to interpret pain and respond to it by observing others.
Therefore, role models within the family are of considerable importance to the way in which a patient responds to pain.
Also, cognitions, based upon patients’ attitudes, beliefs, expectations and assumptions developed from previous
experiences with health professionals and the clinical setting, also affect the way in which patients respond to pain. In the
case of chronic pain it is important for health professionals to identify and correct distorted thoughts and beliefs and in
particular beliefs about expecting attention from others. Health professionals should not reinforce pain behaviors, but
encourage patients to increase their level of activity and reduce dependency on medication.

3. Social context
The social context in which an injury occurs and hence the meaning of the situation may have a profound influence on the
patients’s interpretation and experience of pain. Some studies have indicated that ethnicity affects the reporting and
response to pain with some cultures being more stoical than others because of differing beliefs about the meaning of pain.
The social context of pain is particularly relevant for childbirth and labour pain and the experience of pain is affected by
psychosocial factors such as religious and cultural beliefs and also by preparedness in terms of information given before
childbirth and perceived control.
4. Attitudes, beliefs, expectations
Patients’s attitudes, beliefs and expectations about pain affect their perception and response to it; whether pain is viewed
positively or negatively may affect its experience. For example, a cholecystectomy to ameliorate unpleasant symptoms
may be viewed more positively than repeated spinal operations which have previously failed to provide relief. Whether
pain is interpreted as a symptom as a result of surgery, in which case it is finite in nature, or whether it is viewed as a
symptom of underlying possibly undiagnosed pathology, as many chronic pain patients often believe, may also affect the
experience and response to pain. Furthermore, patients do not always expect substantial pain relief. Pain beliefs can affect
outcomes to treatment as patients’ beliefs about their illness affect their attitude to coping skills, adherence and
compliance to treatment. Patients may believe they are not in control of their condition, and they are less likely to adhere
to a self-management program. Also, they may believe that a certain course of treatment is effective and another
ineffective. Patients may also hold beliefs about expecting attention from others. Patients tend to symbolically associate
nurses with empathy, care and recuperation and the interaction between nurse and patient may therefore be an important
mediator in treatment outcome.

5. Controllability and coping


There are a number of both adaptive and maladaptive coping strategies that are employed by patients in pain. Coping is
influenced by a number of factors including mood, disability, beliefs, other symptomatology, the level of support in the
marital relationship and locus of control. The extent to which patients believe that they are in control of outcomes as well
as the element of chance or misfortune are relevant. Patients who are most adaptive are those who have strong external
beliefs, strong beliefs in the powers of others such as health professionals and weak beliefs in chance. There are various
ways in which health professionals can assist patients’s coping skills. The provision of information is extremely important
in that it enhances perceived control over pain and with increased controllability, anxiety and distress is reduced. Health
professionals can assist patients’s coping skills more by teaching cognitive techniques such as problem solving,
correction of distorted cognitions by education and, for chronic pain, encouraging activity and not reinforcing pain
behaviors. Controllability is also critically important in palliative care as patients may risk being in severe pain,
particularly in the late stages of cancer. Anxiety and distress can be at least partially relieved by patients being assured
they will receive adequate analgesia and that sufficient emotional support will be provided to them and their families.

6. Attitudes and behaviour of health professionals



Professionals have considerable power to define and manage pain according to their own attitudes and beliefs. Their
inferences of patients’s pain are directly or indirectly related to their own acquired beliefs about suffering and pain. A
physician’s explanations of a patient’s illness frequently included the role of emotions, stress, personality and physical
weakness, despite a lack of evidence to support these explanations. Poor coping with pain is viewed negatively by nurses;
it is suggested that analgesic intake is related to patients’s coping ability rather than to pain intensity. Approval by nurses
is an important concern for hospital patients; therefore, patients may restrain their complaints so as to avoid unpopularity
with nurses. Consequently, nurses may underestimate the patients’s needs for analgesia or base such needs on the
prescription regime alone. This leads to inappropriate analgesia decisions which can have a detrimental effect on patients’
recovery. Often this level of expected pain is associated with physical aspects of the condition, i.e. major surgery,
physical component or the greater the pain. Thus, the nurse–patient interaction plays an important role in expression of
pain and analgesic request. Shared control in patient–practitioner interactions in that patients effectively participate in
controlling important events. The authors suggest that the management of pain is best served by patients taking some
responsibility for the control and management of their pain and that they should not form expectations of a complete cure.
Thus, it is important that the patient is consulted about treatment options, analgesia decisions and educated about the
realistic outcomes of treatment. In the case of chronic pain, clinicians should replace beliefs in external control such as
reliance on medication with beliefs in personal control such as self-management strategies.
1. Perkenalan diri mahasiswa + inform consent kepikiran/niatan menyalurkan energi tersebut seperti berbagi,
2. Perkenalan ibu (nama, umur) memberi penyuluhan tentang kanker, seperti akitivis kepada
3. (awal) apa ibu mengalami stres? tidak enak tidur? kepikiran sesuatu? masyarkat, sharing informasi dan pengalaman, dll?
apa yang kira2 ibu pikirkan/khawatirkan? 20. Kegiatan apa saja yang skerang ibu lakukan tapi saat sebelum sakit
anak/ekonomi/penyakitnya/nyerinya dll? Apa skrg masih seperti itu? belum ibu lakukan, pola hidup apa yang berubah?
4. Apa yang membuat ibu malu (malu pada apa?), cemas 21. Bagaimana harapan ibu kedepannya?
(menecemaskan apa) marah (marah ke siapa),
5. bagaimana ibu bisa mengatasi masalah tersebut? bagaimana ibu bisa
berpikiran positif / berdamain dlm masalah ini? (sumber kekuatan). Wawancara Kepada Subjek
Cara ibu untuk mengatasi stress, malu, marah 1. Identitas subjek 

6. Selama ini (selama pengobatan/kontrol di sutomo) Apa masih stres 2. Hubungan subjek dengan keluarga dan lingkungan sosial
a) Pandangan subjek tentang keluarga dan lingkungan sosial 

kadang?
b) Hubungan dan interaksi subjek dengan keluarga dan lingkungan
7. Pernah terlintas nggak pada awal, kalo Allah tidak adil dan marah ke social
Allah, dll? Atau merasa ini hukuman dari Allah, atau malah merasa 3. Dampak psikologis akibat menderita kanker payudara 

ini sebuah anugerah yg harus disyukuri? a) Ketidakberdayaan

8. Pernah putus asa/capek nggak selama pengobatan berlangsung Terkait dengan apakah subjek mengalami gangguan di dalam
(kemo)? Bagaimana cara mengembalikan ibu itu tetap semangat? dirinya 
(kognitif, emosi, dan motivasional).
9. Bagaimana ibu melampiaskan rasa kesedihan itu? Nangis? Langsung b) Kecemasan 

ibadah? Melalui tulisan, cerita ke suami Terkait dengan apakah subjek mengalami perasaan khawatir,
10. Bagaimana respon anak ibu terhadap penyakit ibu yang dulu (awal) mengalami inner conflict, dan mempunyai perasaan tegang. 

dan yang skrg? c) Rasa Malu

11. Bagaimana skrg ibu dengan tetangga dan keluarga? Tambah deket Terkait dengan apakah subjek memiliki perasaan malu akibat

menderita kanker payudara dan akibat memburuknya kondisi
atau tambah jauh? Apa masih malu, mengurung diri? Cara sosialisasi
fisiologis.
ibu bagaimana? PKK, arisan, pengajian rutin, penyuluhan d) Harga Diri 

puskesmas Terkait dengan apakah subjek memiliki perasaan harga dirinya
12. Bentuk dukungan apa yang sebenernya pingin ibu dapatkan dari menurun. 

support system? Finansial? Spiritual? Motivasi? e) Stres
13. Bagaimana bentuk dukungan skrg yang sudah didapat dari lingkuan Terkait dengan apakah subjek mengalami stress akibat menderita
(sahabat, teman, tetangga) pada ibu? (social dari keluarga, tetangga, kanker payudara.
dokter, informasional, finansial) apakah sesuai dgn keinginan ibu, f) Depresi
atau malah ibu merasa bukan itu yang ibu mau. Terkait dengan apakah subjek mengalami depresi akibat
14. Bagaimana dokter dan perawat skrg memperlakukan ibu? Selalu menderita kanker payudara. (menjadi susah tidur, nafsu makan
memberi motivasi dll menurun, sulit berkonsentrasi, merasa sangat sedih, benar-benar
merasa tidak berdaya)
15. Paling merasa tidak nyaman/sedih kalau dapat komentar/pertanyaan
g) Amarah dan Marah

dari tetangga apa? Terkait dengan apakah subjek pernah mengalami perasaan jengkel
16. Apa masih nyeri bu? bagaimana sekarang ibu meredakan nyerinya akibat menderita kanker payudara dan marah.
untuk saat ini? (obat, aktivitas, factor yg memperingan) h) Coping
17. Untuk sekarang dari sisi non medis apa saja yang ibu lakukan? obat Terkait dengan apa saja yang subjek lakukan guna mengatasi
herbal? supplement tertentu? apa ibu masih menggunakan alternatif berbagai masalah yang muncul akibat penyakit kanker payudara.
saat ini? Atau seperti ngaji ngaji baca-baca surat apa? (tk. Spiritual) 4. Bagaimana pandangan subjek tentang peran keluarga, teman, dan tenaga
18. Apa ibu ikut gabung dalam komunitas? medis pasca subjek menderita kanker payudara.
19. Ibu kan sudah sangat berenergi positif, apakah ibu punya
OBSERVASI
 Kondisi fisik subjek 

 Kondisi saat pelaksanaan wawancara 

 Kondisi tempat tinggal subjek dan lingkungan sekitar 

 Interaksi subjek dengan lingkungan sosial 

 Hubungan subjek dengan anggota keluarga yang lain 

 Ekspresi dan tingkah laku subjek saat mengungkapkan pendapatnya 

Pertanyaan Alasan

Apa pendidikan terakhir Untuk mengidentifikasi latar


pasien? belakang sosialnya
Bagaimana data hasil Untuk mengetahui lebih
anamnesis penyakit pasien? tentang latar belakang pasien

Bagaimana kondisi keluarga Untuk mengetahui


(suami dan anak) pasien? kemungkinan faktor pemicu
Serta bagaiman hubungan depresi pasien
pasien dengan keluarganya
Bagaimana hasil Untuk mengetahui kondisi
pemeriksaan fisik pasien? kesehatan pasien yang
mungkin akan memengaruhi
psikososialnya
Bagaimana riwayat Untuk mengetahui perjalanan
pengobatan pasien penyakit pasien
Berikut ini merupakan beberapa informasi yang terkumpul dari skenario dan wawancara pasien
Nama : Siti Kairiyah
Usia : 46 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Alamat : Jalan Simorejo Timur 2 Nomor 53B
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pekerjaan suami : Wiraswata distributor makanan beku
Agama : Islam
Jumlah anak : 3 anak masing masing usia 13 tahun, 10 tahun, dan 5 tahun
Keluhan utama : Benjolan di payudara kiri
Riwayat penyakit : Tuberkulosis
Riwayat penyakit keluarga : -
Riwayat pengobatan : - Puskesmas terdekat (Oktober 2018)
- RS PHC Surabaya
- Terapi Alternatif (selama 4 bulan)
- Terapi Alternatif Sinshe (TCM) (selama 1 bulan)
- RSUD Dr.Soetomo Surabaya poli onkologi dan poli paliatif (Sejak 10 April
2019-sekarang)
Pemeriksaan fisik : Data dari RSUD Dr.Soetomo
- Kesadaran = compos mentis
- Berat badan = 45Kg
- Denyut nadi = 119 kali/menit
- Laju pernapasan = 22 kali/menit
- Tekanan darah = 127 mmHg
- Karnofsky scale = 70
- Perbesaran KGB coli dextra 2x2 cm padat, kenyal, tidak berdungkul, dan
mobile
- Perbesaran KGB supraclavicula sinistra 3.5x2.5cm padat, kenyal, tidak
berdungkul, dan mobile
- Massa 4x4cm di payudara, berdungkul, multiple, ada ulkus, berbau
- Muskuloskeletal, ekstremitas, urogenital DBN
- Tidak da vaginal dan rectal discharge
Diagnosis : Awal
- Ca Mammae sinistra, ductal carcinoma stage IV, nyeri nosispetif somatis
bukan tulang kronis berat dengan terapi, serta depresi ringan-sedang
Terakhir kontrol di paliatif
- Nyeri nosiseptif somatis bukan tulang kronis ringan dengan terapi serta
anxietas

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan melalui tutorial dan wawancara dengan pasien langsung,
dapat dibuat sebuah analisis terkait masalah biopsikososial pasien yang bertahan dengan penyakit kanker
payudara yang dideritanya hingga saat ini, yaitu Ny.SC. Ny. SC adalah seorang ibu rumah tangga berusia 49
tahun. Beliau tinggal bersama dengan suami dan 3 anaknya. Pekerjaannya sehari-hari adalah ibu rumah
tangga biasa tetapi terkadang membantu pekerjaan suaminya sebagai distributor makanan beku.
Menurut Dyanti (2016), terdapat sembilan variabel terkait faktor risiko dan tingkat kesadaran
masyarakat terhadap kanker payudara, diantaranya: tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, riwayat kanker
payudara pada keluarga, keterjangkauan jarak dengan layanan kesehatan, keterjangkauan biaya,
keterpaparan informasi/ media massa, dukungan suami/keluarga, dukungan teman, dan perilaku deteksi dini.
Ny.SC adalah seorang lulusan SMK sehingga tingkat pendidikannya tergolong sedang. Pengetahuan Ny.SC
juga didapat dari tetangganya yang juga mengalami hal serupa dengannya sehingga membuat Ny.SC lebih
waspada dengan yang terjadi pada dirinya. Semakin tingginya tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan,
serta adanya paparan informasi menunjukan kesadaran dalam melakukan pemeriksaan lebih awal ke
pelayanan kesehatan akan semakin tinggi (Dyanti, 2016). Penyampaian dan penerimaan informasi yang baik
dapat berkontribusi langsung terhadap peningkatan pengetahuan tentang kanker payudara, dan berdampak
pada perilaku deteksi dini serta dalam melakukan pemeriksaan lebih awal ke pelayanan kesehatan terhadap
gelaja yang dirasakan. Meskipun saat ditanya tentang program SADARI, Ny.SC baru mengetahui betul hal
tersebut saat di RSUD.Soetomo. Namun segala tindakan yang terkait deteksi dini kanker payudara seperti
menemukan benjolan lebih awal dan segera memeriksakan ke puskesmas merupakan salah satu sikap dari
program SADARI karena beliau mendapat informasi tentang kanker payudara dari pengalaman tetangganya
sehingga tingkat kesadaran dirinya tinggi. Hal ini bisa dilihat dari sikap Ny.SC yang segera memeriksakan
kondisinya saat menemukan ada benjolan di payudaranya. Tingkat dukungan dari keluarga Ny.SC terhadap
Ny.SC juga baik terutama suaminya. Hal tersebut juga yang membuat Ny.SC memeriksakan diri ke alternatif
selama 5 bulan. Menurut Menurut Dyanti (2016), semakin baik dukungan keluarga maka semakin berkurang
tingkat kecemasan pasien kanker payudara karena dengan dukungan keluarga menjadi hal sangat penting
dalam memberikan motivasi positif dan meminimalkan rasa cemas.
Ny. SC sudah melakukan pengobatan di beberapa tempat. Saat awal terasa ada benjolan di
payudaranya, beliau memeriksakan ke Puskesmas. Lalu karena ada keterebatasan, puskesmas merujuk
pengobatan ke RS PHC Surabaya. Disana beliau didiagnosis dengan penyakit kanker payudara ganas dan
meminta Ny.SC untuk segera melakukan operasi pengangkatan benjolan tersebut. Namun Ny.SC menolak
untuk dioperasi dan terapi di RS tersebut. Hal ini karena Ny.SC mempertimbangkan efek samping dari
pengangkatan salah satu payudaranya dan efek dari kemoterapi yang dirasa sangat berat olehnya sehingga
beliau memutuskan untuk tidak melanjutkan perawatan di RS tersbeut. Beliau lalu memilih perawatan
alternatif selama 4 bulan dengan harapan bahwa kankernya akan sembuh dengan efek samping yang minim.
Namun, hal tersbut malah membuat kondisinya tidak membaik, malah benjolan dirasakan semakin besar dan
merah. Lalu beliau tetep melanjutkan terapi alternatif di tempat lain yaitu sinshe berdasar testimoni
masyarakat. Pengobatan tersebut bertahan selama 1 bulan karena ternyata benjolan dirasa semakin
membesar dan ada luka yang juga semakin membesar. Kemudian Ny.SC memeriksakan kondisinya yang
makin buruk tersebut di RS Islam tapi karena keterbatasan, RS Islam merujuk ke RSUD Dr.Soetomo.
Hingga sekarang Ny.SC tetap melanjutkan perawatan di RSUD Dr.Soetomo.
Selanjutnya dilakukan analisis tentang perasaan saat awal didiagnosa penyakit dan saat-saat awal
melakukan pengobatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa Ny. SC mengalami berbagai perasaan saat
pertama didiagnosis menderita kanker payudara. Seperti perasaan takut, sedih, dan biasa saja.
“… kalau saya melakukan operasi, saya mikir saya akan kehilangan salah satu payudara saya. Saya
takut dan malu mbak. Saya juga takut efek samping kemoterapi yang mual, muntah, rambut rontok,
dll itu mbak…
“…awalnya saya kayak takut gitu mbak. Saya takut anak dan suami saya nanti bagaimana. Tapi
kalau saya sendiri, saya menerima mbak. Saya pasrah aja dengan kondisi saya saat ini. Saya tidak
marah sama sekali mbak kepada Allah…”
Menurut Lubis (2009), saat perempuan didiagnosis menderita kanker payudara, mereka akan
mengalami kondisi psikologis yang tidak menyenangkan. Perasaan takut yang timbul tersebut karena Ny.SC
mencemaskan keadaan suami dan anaknya nanti. Perasaan malunya juga muncul karena beliau
menghawatirkan dampak dari operasi yaitu beliau akan kehingalan salah satu payudaranya. Beliau berpikir
bahwa beliau akan menjadi wanita yang tidak lengkap, dll. Ketakutan tentang penyakit dan proses
pengobatan serta persepsi yang negatif tentang penyakit merupakan gambaran berpikir yang buruk dari
pasien (Lisnawati, 2010). Namun beliau juga menanggapi hal tersebut juga biasa saja atau tidak emosi
karena merasa bahwa sebelum terkena kanker, beliau sudah mengalami berbagai masalah kesehatan seperti
tuberkulosis dalam waktu lama. Beliau mengakui bahwa sebelumnya sudah sakit-sakitan sehingga saat ini
beliau lebih pasrah dalam menghadapi segala yang terjadi. Sikap pasrah akan membuat sikap optimis pada
diri seseorang sehingga timbul perasaan positif seperti senang, bahagia, puas, merasa dicintai dan aman
(Jalaluddin, 2012).
Dampak fisik dan biologis akibat penyakit dan pengobatan kanker tersbut secara langsung juga
memengaruhi kondisi psikologi, sosial, dan spiritual penderita. Nyeri pada pasien kanker payudara seperti
Ny.SC timbul akibat adanya luka kronik. Luka tersebut akan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Dari
aspek fisik, badannya kurus dan terasa lemas serta nyeri tersebut mengganggu aktivitas fisik Ny.SC sehari-
hari. Perannya dalam keluarga digantikan sementara oleh sang suami. Suaminya juga yang merawat beliau
saat awal sakit sampai sekarang dalam menjalani kemoterapi.
“…waktu saya lemas dan sakit banget itu sampai saya tidak bisa bangun mbak dari tempat tidur.
Sakit banget mbak tidak tahan saya…”
“… yang membantu merawat luka, membuatkan saya jus kalau tiap pagi ya suami saya mbak…”
Perubahan fisik dan psikologis yang dialami oleh pasien akan memberikan pengaruh dalam
kehidupan sosial pasien seperti dalam perubahan perubahan hubungan dalam masyarakat atau perubahan
peran sebagai ibu dan istri. Secara psikologis, Ny.SC merasa minder akibat kondisi badannya yang sangat
kurus, luka, serta bau yang ditimbulkan dari luka tersebut Secara sosial, luka dan nyeri tersebut membuat
Ny.SC menarik diri dari lingkungannya. Beliau juga menyembunyikan keadaannya tersebut dari ketiga
anaknya.
“… anak saya tidak saya kasih tau mbak. Saya takut mereka kepikiran aneh-aneh. Tapi anak yang
pertama akhirnya juga tau dengan sendirinya...”
“… saya sebelumnya itu ikut PKK mbak cuman saat sakit banget itu saya tidak ikut. Saya tidak bisa
kealuar dan berani keluar. Saya tidak percaya diri karena saya kurus banget, pucat. Jalan jauh juga
tidak berani mbak. Badan lemes…”
Menarik diri merupakan salah satu kerusakan interaksi sosial yang disebabkan karena adanya
keadaan yang memalukan, kehilangan sebagian tubuh, dan penyakit terminal.
Masalah psikososial yang disebutkan Ny.SC berkaitan dengan konsep diri seperti malu, ada
keterbatasan melayani keluarga, tidak sempurna, dll. Kondisi tersebut yang membuat Ny.SC mengalami
depresi untuk beberapa waktu. Perubahan fisik terbukti bisa menurunkan harga diri dan mempengaruhi citra
tubuh secara negatif seperti timbulnya rasa malu pada penderita. Harga diri tersebut juga akan
mempengaruhi kualitas hidup penderita. Menurut penelitian terdapat hubungan antara harga diri, kualitas
hidup dan depresi. Kualitas hidup yang rendah akan menurunkan harga diri dan harga diri yang rendah akan
meningkatkan depresi (Ha, 2014).
Analisis selanjutnya terkait dengan proses koping pasien dengan masalah yang dihadapi serta proses
berubah dari yang berpikiran negatif bisa menjadi optimis. Prinsip utama dalam setiap hal adalah adaptasi.
Adaptasi dianggap sebagai respon positif terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri seseorang( Naga,
2014). Dari hasil wawancara dengan Ny.SC didapatkan bahwa saat ini beliau merasa kondisinya sudah
sangat membaik. Beliau dapat beradaptasi dengan baik terhadap masalah yang dialaminya. Hal tersebut
mempengaruhi kemampuan koping Ny.SC. Contoh koping dengan adaptif yang yang baik adalah sikap
menerima seperti yang terjadi pada Ny.SC. Penerimaan merupakan respon psikologis yang menyadari
bahwa hidupnya harus tetep berlanjut. Menerima berarti sesuai dengan kenyataan situasi yang penuh
tekanan, belajar untuk hidup dengannya (penyakit kanker payudara), menerima kondisinya.
Perasaan negatif dan rendah diri yang muncul dari Ny.SC teratasi dengan adanya dukungan dari
keluarga seperti ditemani saat perawatan dan pengobatan sehingga kondisi Ny.SC saat ini merasa lebih
optimis dan terus berusaha untuk tetap melanjutkan hidupnya.
“…kalau sekarang saya sudah seneng mbak bersyukur karna sudah membaik.”
“…sekarang saya harus tetap optimis sembuh karena anak anak masih kecil dan dukungan suami
saya yang nomor satu dan satu satunya…”
Ny.SC juga saat ini sudah menerima berbagai fakta tentang efek samping dari terapi yang
dijalaninya. Saat ini beliau lebih mementingkan dan memfokusikan untuk mendapatkan kesehatannya
kembali.
“…tau seperti ini saya kemo dari dulu karena perubahannya sangat besar. Sekarang saya juga tiap
kontrol selalu tanya dengan dokter kapan dioperasi karna saya gamau tanggung tanggung mbak biar
sekalian cepet sembuh…”
Selain itu pula, Ny.SC dapat menanggulangi masalah yang dialaminya dengan beberapa kegiatan,
seperti rajin berdoa/zikir, menyibukkan diri dengan membantu suaminya, dll. Beliau merasa dengan
melakukan hal itu membuat jiwanya tenang dan damai. Strategi koping berdoa merupakan hal penting untuk
mengatasi stressor psikologis dan untuk menenangkan perasaan (Sabado, 2010). Spiritualitas dengan ritual
keagamaan, seperti berdoa, memainkan peran penting dalam menerima penyakit. Berdoa dapat mengatasi
kanker dan membantu pasien memperbaiki kesehatan spiritual mereka saat sakit.
Mekanisme koping yang lain yaitu misal dengan berbincang-bincang. Saat ini karena sudah merasa
menerima dan merasa ada dukungan positif dari keluarga dan tetangga sekitarnya, Ny.SC sudah tidak
merasa minder lagi. Selama melakukan perawatan kemoterapi, Ny.SC berbincang-bincang dengan suaminya
yang setia menemani. Hal tersebut juga salah satu bentuk dukungan sosial. Hal itu merupakan bentuk
pengalih perhatian individu dari memikirkan atau mengambil tindakan untuk mengatasi stresor (Wahyuni,
2015).
Kebutuhan psikologis pasien kanker payudara ketika mengalami perubahan konsep diri adalah tetap
dihargai kekurangannya dan tentunya dengan segala kekurangannya pasien membutuhkan teman, dan lebih
diperhatikan.
“Keluarga saya menerima kondisi saya dengan tulus, malahan mereka yang lebih antusias untuk
kesembuhan saya…”
“..Kalau saya mau berobat, keluarga saya nemenin saya berobat. Kadang nyamperin ke rumah
bantu-bantu jaga rumah, padahal dia sebenarnya mau ada acara tapi dia tidak ikut...”
“…kalau keluarga jauh kalo ketemu tanya kabar. Kalau tetangga disini malah tanya kabar
pengobatan saya…”
Pernyataan tersebut merupakan salah satu ungkapan kepuasan bahwa mereka masih dihargai dan
dibutuhkan oleh pasangan dan keluarga. Hal ini dapat membantu Ny.SC untuk patuh dalam pengobatanya
dan ada harapan serta motivasi untuk sembuh. Keluarga dan tetangganya selalu memberikan semangat,
kekuatan, kasih sayang, perhatian yang mendalam dengan cara menunggu Ny.SC. Hal ini sesuai dengan
fungsi afektif keluarga yang berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial.
Dukungan dari masyarakat ketika tidak adanya stigma negatif dari masyarakat terhadap pasien terkait
kondisi sakitnya.
“…tetangga enggak masalah karena banyak orang sini yang juga seperti saya jadi ya tidak awam. .”
Demikian juga halnya dukungan dari petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan asuhan
keperawatan, menjadi salah satu sumber dukungan pasien dalam perawatan efek terhadap kemoterapi
9Pemberian informasi ini melalui pendidikan kesehatan secara terstruktur dan sistematis akan memberikan
pemahaman yang menyeluruh guna mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup
pasien (Buchi et al, 2013)
“Kalau yang di Soetomo kalo yang di POSA nya baik mbak sabar-sabar. Saya bisa tanya apa saya
nanti pasti dijelaskan.”
Oleh karena itu, saat ini, dampak dari kanker dan pengobatannya sudah tidak memengaruhi
hubungan interpersonal Ny.SC dengan pasangan, keluarga, dan temannya. Ny.SC berusaha memaksimalkan
potensi diri yang masih ada, walapun tidak sempurna untuk tetap menjalankan perannya dalam kehidupan
keluarga dan bermasyarakat.
Upaya lain yang dilakukan tetap dapat terpenuhi kebutuhan psikososial pasien adalah dengan cara
meningkatkan spiritualitas. Spiritualitas terbukti menjadi faktor emosional dan psikologis yang penting yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien kanker payudara. Spiritualitas berhubungan dengan penyesuaian
psikologis, dimana spiritualitas berpengaruh dalam penurunan gejala depresi dan meningkatkan vitalitas
pasien kanker payudara,menimbulkan kedamaian,kesejahteraan sosial dan fungsional (Sabado, 2010)
“…Ssya yang dulunya jarang ngaji, sekarang kalau kepikiran apa-apa atau agak nyeri dikit
langsung saya ngaji, Mbak”
“…Saya kalau ada apa-apa selalu berdoa sama Allah. Minta dikasih kesempatan satu kali lagi gitu
mbak….”.
Spritualitas Ny.SC ini dapat membantu Ny.SC untuk tetap memiliki kepercayaan dan harapan hingga
dapat meningkatkan kualitas hidupnya dengan lebih baik. Harapan merupakan faktor penting didalam aspek
psikososial. Berdasarkan hasil penelitian beberapa partisipan mempunyai harapan yang realistik yaitu
dengan mengikuti pengobatan kemoterapi berharap akan mendapatkan kesembuhan. Harapan tersebut
mempengaruhi perilakunya.
“saya tidak muluk-muluk bisa sembuh seperti sedia kala sudah Alhamdulillah”
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tekad dan optimisnya untuk sembuh sangatlah tinggi. Sikap
optimis mengarah pada keyakinan dalam menghadapi kesulitan berubah lebih positif. Sikap optimis ini
muncul akibat adanya dukungan sosial dari kelaurga dan slingkungan Ny.SC yang maksimal. Penelitian
menyatakan bahwa pasien kanker payudara yang memiliki optimisme tinggi memiliki kepuasan hidup dan
prognosis lebih tinggi (Ha, 2014). Hal ini terbukti bahwa saat awal di poli paliatif, ny.SC didiagnosis dengan
depresi ringan-sedang. Sedangkan pada pemeriksaan selanjutnya (kontrol), ny.SC didiagnosis dengan
anxiety. Oleh karena itu, terlihat bahwa setelah pemeriksaan awal hingga saat ini, kondisi psikososial dan
spiritual ny.SC sudah membaik. Hal itu juga sejalan dengan kualitas hidupnya yang juga turut meningkat.

Faktor yang paling memengaruhi masalah Ny.SC adalah tingkat kesadaran Ny.SC yang cukup yang
didapatkan dari lingkungan sekitarnya yakni pengalaman tetangganya membuat Ny.SC lebih waspada
terhadap kondisi dirinya sehingga segera memeriksakan ke pelayanan kesehatan yang ada. Beliau didiagnosa
kanker payudara ganas dan diminta untuk segera operasi dan menjalankan kemoterapi. Namun karena
tingkat pendidikan yang sedang dan tingkat pengetahuan yang terbatas, membuat Ny.SC mendapatkan
sedikit informasi melalui internet serta tidak mengetahui seluk beluk kanker dengan detail. Ketakutan
terhadap konsep operasi pengobatan konvensional serta efek kemoterapi yang dinilai mempunyai dampak
besar dari penurunan fisik menyebabkan Ny.SC memilih untuk melakukan alternatif. Beliau tidak
mempertimbangkan dampak lain jika tidak segera ditangani secara tepat dengan medis. Suami Ny.SC
mendukung keputusan yang diambil Ny.SC sedangkan keluarga Ny.SC bertolak belakang dengan pilihan
tersebut. Keluarga beliau dari awal sangat mendukung melakukan pengobatan secara medis di rumah sakit.
Namun beliau tetap meneruskan terapi alternatif selama 5 bulan dan hasilnya malah makin memburuk.
Benjolan ditemukan semakin membesar, terbentuk luka, dan nyeri yang sudah tidak bisa ditahan lagi. Hal
tersebut memunculkan masalah baru bagi Ny.SC. Beliau tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Beliau
memikirkan hal negatif, mencemaskan keadaan suami dan anaknya. Beliau merasa malu dan tidak percaya
diri. Beliau menarik diri dari lingkungannya. Oleh karena itu, Ny.SC memeriksakan kondisinya di rumah
sakit kembali. Di RSUD Dr.Soetomo beliau didiagnosis Ca Mammae sinistra, ductal carcinoma stage IV,
nyeri nosispetif somatis bukan tulang kronis berat dengan terapi, serta depresi ringan-sedang. Beliau dirujuk
di poli paliatif untuk mendapatkan perawatan sebaik mungkin. Dukungan dari keluarga dan lingkungan yang
terus-menerus didapat membuat perasaan positif Ny.SC meningkat. Sikap menerima dan optimis yang
timbul dapat mengilangkan depresi Ny.SC. Ny.SC memperoleh dukungan dari keluarga, lingkungan, serta
tenaga kesehatan yang merawatnya. Dukungan tersebut diberikan, terutama oleh suaminya, dalam bentuk
dukungan emosional (perhatian, kasih sayang, empati), dukungan penghargaan (menghargai kondisinya
yang masih dalam perawatan) dukungan informasi (saran, nasehat) maupun dukungan instrumental (melalui
ketersediaan tenaga, dana dan waktu). Hingga saat ini, masalah bio-psiko-sosial bisa dikatakan sudah
teratasi. Beliau sudah menunjukan usaha koping yang baik terhadap masalahnya tersebut sehingga kualitas
hidupnya sudah lebih baik dari sebelumnya. Beliau tetap menjalankan tugas rumah tangganya semaksimal
bisa dilakukan.

Buchi SS, et al. 2013. Factor Associated with Supportive Care Needs of Patients Under Treatment for Breast
Cancer. Europe Journal of Oncology Nursing.15(3).
Ha EH, Cho YK. 2014. The mediating effect of self esteem and optimism on the relationship between
quality of life and depressive symptoms of breast cancer patients. Psychiatry Investigation. 11(4).
Jalaluddin. 2012. Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Lisnawati. 2010. Gambaran Wanita Post Mastektomi yang Mangalami Depresi di RS Kanker 
Dharmais
Jakarta Barat.
Lubis. 2009. Terapi Perilaku Kognitif pada Pasien Kanker. Medan : USU Press.
Naga BS. 2014. The Relationship Between Pain Experience and Roy Adaptation Model 
Application of
Theoretical Framework. Middle East Journal of Nursing. Vol 8(1).
Sabado, M. 2010. Role of Spirituality in coping with Breast cancer : A Qualitative Study of Samoan Breast
Cancer Survivor and Their supporters. California Journal Health Promotion. 1;8(SE).

Wahyuni D, Huda N, Utami GT. 2015. Studi Fenomenologi: Pengalaman Pasien Kanker 
Stadium Lanjut
yang Menjalani Kemoterapi. JOM Vol 2(2).
LAPORAN TUTORIAL
SOCIAL ASPECT OF MEDICINE (SAM)
NYERI KANKER PAYUDARA

Oleh :
Kelompok B23

1. Fatih Nugraha 011811133219


2. Addia Salsabila 011811133220
3. Dedy Firmansyah 011811133221
4. Faizah Sugiarto 011811133222
5. Felix Nugraha 011811133223
6. Syifani Alisandra 011811133224
7. Rafida Anshori 011811133225
8. Luwes Sekar Ayu 011811133226

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019

Anda mungkin juga menyukai