sebagai perasaan
sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial yang menyebabkan
kerusakan jaringan. Sementara itu menurut Brunner & Suddarth (2001) nyeri terjadi bersamaan dengan terjadinya proses penyakit
atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostic atau pengobatannya selain itu menurutnya nyeri juga sangat
mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang daripada penyakit apapun.
Perilaku nyeri
Respons terhadap adanya stimulasi kerusakan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu pengalaman nyeri yang bersifat subjektif dan
perilaku yang dapat diobservasi. Kata nyeri digunakan untuk menyatakan pengalaman yang tidak menyenangkan yang bersifat
subjektif. Sementara perilaku yang dapat diobservasi disebut perilaku nyeri (Fields,1987). Menurut Fordyce (1976), perilaku
nyeri dapat berupa :
a. Respon verbal, seperti : mengeluh, mendesah, merintih, dan mengadukan nyeri yang dialami
b. Respon non verbal, seperti : wajah tegang, keresahan, sudut mulut dilengkungkan kebawah, terlihat sedih, terlihat
ketakutan, bibir berkerut dan dagu bergetar.
c. Sikap badan dan isyarat meliputi : menggosok-gosokkan bagian tubuh yang nyeri, immobilisasi dan menyeringai
d. Perilaku yang berbeda dengan keadaan normal meliputi : beristirahat dan berbaring secara berlebihan.
Nyeri adalah pengalaman kompleks yang terdiri dari aspek sensorik, emosional, dan kognitif yang terintegrasi baik pada tingkat
spinal maupun supraspinal setelah pengaktivasan nosiseptif serta dipengaruhi oleh faktor neurofisiologis, psikologis, dan sosial.
Faktor psikologis dalam persepsi dan respons terhadap nyeri termasuk latar belakang budaya, pengalaman masa lalu, lingkungan
sosial, kepercayaan individu, kepribadian, dan keadaan emosional dan profesional kesehatan yang mengelola perawatan
(Fillingim et al, 2000).
Adams, Et Al. 2001. Pain Management 1: Psychological And Social Aspects Of Pain. British Journal Of Nursing. Vol 10(14).
Doi: 10.12968/Bjon.2001.10.14.5277
Terdapat sembilan variabel bebas diantaranya: tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, riwayat kanker payudara pada keluarga,
keterjangkauan jarak, keterjangkauan biaya, keterpaparan informasi/ media massa, dukungan suami/keluarga, dukungan teman,
dan perilaku deteksi dini.
Pain is a complex experience comprising sensory, emotional and cognitive dimensions. It is integrated at both spinal and
supraspinal levels following nociceptive activation and is affected not only by neurophysiological factors but also by
psychological and social factors. The experience of pain is not simply directly related to the amount of peripheral nociceptive
input as many variables have been implicated which affect perception and response to pain. This is demonstrated in cases where
pain is disproportionate to the severity of injury or after an injury has healed, e.g. chronic low back pain.
In addition to neural phenomena such as sensitization of the central nervous system which is involved in chronic pain syndromes,
the involvement of psychological and social factors in pain perception and response is well documented. Psychological factors in
the perception and response to pain include cultural background, previous experience, social environment and patients’s own
beliefs, attitudes and expectations of their pain, their gender, personality and emotional state and the health professional
administering the treatment (Fillingim et al, 2000).
3. Social context
The social context in which an injury occurs and hence the meaning of the situation may have a profound influence on the
patients’s interpretation and experience of pain. Some studies have indicated that ethnicity affects the reporting and
response to pain with some cultures being more stoical than others because of differing beliefs about the meaning of pain.
The social context of pain is particularly relevant for childbirth and labour pain and the experience of pain is affected by
psychosocial factors such as religious and cultural beliefs and also by preparedness in terms of information given before
childbirth and perceived control.
4. Attitudes, beliefs, expectations
Patients’s attitudes, beliefs and expectations about pain affect their perception and response to it; whether pain is viewed
positively or negatively may affect its experience. For example, a cholecystectomy to ameliorate unpleasant symptoms
may be viewed more positively than repeated spinal operations which have previously failed to provide relief. Whether
pain is interpreted as a symptom as a result of surgery, in which case it is finite in nature, or whether it is viewed as a
symptom of underlying possibly undiagnosed pathology, as many chronic pain patients often believe, may also affect the
experience and response to pain. Furthermore, patients do not always expect substantial pain relief. Pain beliefs can affect
outcomes to treatment as patients’ beliefs about their illness affect their attitude to coping skills, adherence and
compliance to treatment. Patients may believe they are not in control of their condition, and they are less likely to adhere
to a self-management program. Also, they may believe that a certain course of treatment is effective and another
ineffective. Patients may also hold beliefs about expecting attention from others. Patients tend to symbolically associate
nurses with empathy, care and recuperation and the interaction between nurse and patient may therefore be an important
mediator in treatment outcome.
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan melalui tutorial dan wawancara dengan pasien langsung,
dapat dibuat sebuah analisis terkait masalah biopsikososial pasien yang bertahan dengan penyakit kanker
payudara yang dideritanya hingga saat ini, yaitu Ny.SC. Ny. SC adalah seorang ibu rumah tangga berusia 49
tahun. Beliau tinggal bersama dengan suami dan 3 anaknya. Pekerjaannya sehari-hari adalah ibu rumah
tangga biasa tetapi terkadang membantu pekerjaan suaminya sebagai distributor makanan beku.
Menurut Dyanti (2016), terdapat sembilan variabel terkait faktor risiko dan tingkat kesadaran
masyarakat terhadap kanker payudara, diantaranya: tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, riwayat kanker
payudara pada keluarga, keterjangkauan jarak dengan layanan kesehatan, keterjangkauan biaya,
keterpaparan informasi/ media massa, dukungan suami/keluarga, dukungan teman, dan perilaku deteksi dini.
Ny.SC adalah seorang lulusan SMK sehingga tingkat pendidikannya tergolong sedang. Pengetahuan Ny.SC
juga didapat dari tetangganya yang juga mengalami hal serupa dengannya sehingga membuat Ny.SC lebih
waspada dengan yang terjadi pada dirinya. Semakin tingginya tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan,
serta adanya paparan informasi menunjukan kesadaran dalam melakukan pemeriksaan lebih awal ke
pelayanan kesehatan akan semakin tinggi (Dyanti, 2016). Penyampaian dan penerimaan informasi yang baik
dapat berkontribusi langsung terhadap peningkatan pengetahuan tentang kanker payudara, dan berdampak
pada perilaku deteksi dini serta dalam melakukan pemeriksaan lebih awal ke pelayanan kesehatan terhadap
gelaja yang dirasakan. Meskipun saat ditanya tentang program SADARI, Ny.SC baru mengetahui betul hal
tersebut saat di RSUD.Soetomo. Namun segala tindakan yang terkait deteksi dini kanker payudara seperti
menemukan benjolan lebih awal dan segera memeriksakan ke puskesmas merupakan salah satu sikap dari
program SADARI karena beliau mendapat informasi tentang kanker payudara dari pengalaman tetangganya
sehingga tingkat kesadaran dirinya tinggi. Hal ini bisa dilihat dari sikap Ny.SC yang segera memeriksakan
kondisinya saat menemukan ada benjolan di payudaranya. Tingkat dukungan dari keluarga Ny.SC terhadap
Ny.SC juga baik terutama suaminya. Hal tersebut juga yang membuat Ny.SC memeriksakan diri ke alternatif
selama 5 bulan. Menurut Menurut Dyanti (2016), semakin baik dukungan keluarga maka semakin berkurang
tingkat kecemasan pasien kanker payudara karena dengan dukungan keluarga menjadi hal sangat penting
dalam memberikan motivasi positif dan meminimalkan rasa cemas.
Ny. SC sudah melakukan pengobatan di beberapa tempat. Saat awal terasa ada benjolan di
payudaranya, beliau memeriksakan ke Puskesmas. Lalu karena ada keterebatasan, puskesmas merujuk
pengobatan ke RS PHC Surabaya. Disana beliau didiagnosis dengan penyakit kanker payudara ganas dan
meminta Ny.SC untuk segera melakukan operasi pengangkatan benjolan tersebut. Namun Ny.SC menolak
untuk dioperasi dan terapi di RS tersebut. Hal ini karena Ny.SC mempertimbangkan efek samping dari
pengangkatan salah satu payudaranya dan efek dari kemoterapi yang dirasa sangat berat olehnya sehingga
beliau memutuskan untuk tidak melanjutkan perawatan di RS tersbeut. Beliau lalu memilih perawatan
alternatif selama 4 bulan dengan harapan bahwa kankernya akan sembuh dengan efek samping yang minim.
Namun, hal tersbut malah membuat kondisinya tidak membaik, malah benjolan dirasakan semakin besar dan
merah. Lalu beliau tetep melanjutkan terapi alternatif di tempat lain yaitu sinshe berdasar testimoni
masyarakat. Pengobatan tersebut bertahan selama 1 bulan karena ternyata benjolan dirasa semakin
membesar dan ada luka yang juga semakin membesar. Kemudian Ny.SC memeriksakan kondisinya yang
makin buruk tersebut di RS Islam tapi karena keterbatasan, RS Islam merujuk ke RSUD Dr.Soetomo.
Hingga sekarang Ny.SC tetap melanjutkan perawatan di RSUD Dr.Soetomo.
Selanjutnya dilakukan analisis tentang perasaan saat awal didiagnosa penyakit dan saat-saat awal
melakukan pengobatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa Ny. SC mengalami berbagai perasaan saat
pertama didiagnosis menderita kanker payudara. Seperti perasaan takut, sedih, dan biasa saja.
“… kalau saya melakukan operasi, saya mikir saya akan kehilangan salah satu payudara saya. Saya
takut dan malu mbak. Saya juga takut efek samping kemoterapi yang mual, muntah, rambut rontok,
dll itu mbak…
“…awalnya saya kayak takut gitu mbak. Saya takut anak dan suami saya nanti bagaimana. Tapi
kalau saya sendiri, saya menerima mbak. Saya pasrah aja dengan kondisi saya saat ini. Saya tidak
marah sama sekali mbak kepada Allah…”
Menurut Lubis (2009), saat perempuan didiagnosis menderita kanker payudara, mereka akan
mengalami kondisi psikologis yang tidak menyenangkan. Perasaan takut yang timbul tersebut karena Ny.SC
mencemaskan keadaan suami dan anaknya nanti. Perasaan malunya juga muncul karena beliau
menghawatirkan dampak dari operasi yaitu beliau akan kehingalan salah satu payudaranya. Beliau berpikir
bahwa beliau akan menjadi wanita yang tidak lengkap, dll. Ketakutan tentang penyakit dan proses
pengobatan serta persepsi yang negatif tentang penyakit merupakan gambaran berpikir yang buruk dari
pasien (Lisnawati, 2010). Namun beliau juga menanggapi hal tersebut juga biasa saja atau tidak emosi
karena merasa bahwa sebelum terkena kanker, beliau sudah mengalami berbagai masalah kesehatan seperti
tuberkulosis dalam waktu lama. Beliau mengakui bahwa sebelumnya sudah sakit-sakitan sehingga saat ini
beliau lebih pasrah dalam menghadapi segala yang terjadi. Sikap pasrah akan membuat sikap optimis pada
diri seseorang sehingga timbul perasaan positif seperti senang, bahagia, puas, merasa dicintai dan aman
(Jalaluddin, 2012).
Dampak fisik dan biologis akibat penyakit dan pengobatan kanker tersbut secara langsung juga
memengaruhi kondisi psikologi, sosial, dan spiritual penderita. Nyeri pada pasien kanker payudara seperti
Ny.SC timbul akibat adanya luka kronik. Luka tersebut akan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Dari
aspek fisik, badannya kurus dan terasa lemas serta nyeri tersebut mengganggu aktivitas fisik Ny.SC sehari-
hari. Perannya dalam keluarga digantikan sementara oleh sang suami. Suaminya juga yang merawat beliau
saat awal sakit sampai sekarang dalam menjalani kemoterapi.
“…waktu saya lemas dan sakit banget itu sampai saya tidak bisa bangun mbak dari tempat tidur.
Sakit banget mbak tidak tahan saya…”
“… yang membantu merawat luka, membuatkan saya jus kalau tiap pagi ya suami saya mbak…”
Perubahan fisik dan psikologis yang dialami oleh pasien akan memberikan pengaruh dalam
kehidupan sosial pasien seperti dalam perubahan perubahan hubungan dalam masyarakat atau perubahan
peran sebagai ibu dan istri. Secara psikologis, Ny.SC merasa minder akibat kondisi badannya yang sangat
kurus, luka, serta bau yang ditimbulkan dari luka tersebut Secara sosial, luka dan nyeri tersebut membuat
Ny.SC menarik diri dari lingkungannya. Beliau juga menyembunyikan keadaannya tersebut dari ketiga
anaknya.
“… anak saya tidak saya kasih tau mbak. Saya takut mereka kepikiran aneh-aneh. Tapi anak yang
pertama akhirnya juga tau dengan sendirinya...”
“… saya sebelumnya itu ikut PKK mbak cuman saat sakit banget itu saya tidak ikut. Saya tidak bisa
kealuar dan berani keluar. Saya tidak percaya diri karena saya kurus banget, pucat. Jalan jauh juga
tidak berani mbak. Badan lemes…”
Menarik diri merupakan salah satu kerusakan interaksi sosial yang disebabkan karena adanya
keadaan yang memalukan, kehilangan sebagian tubuh, dan penyakit terminal.
Masalah psikososial yang disebutkan Ny.SC berkaitan dengan konsep diri seperti malu, ada
keterbatasan melayani keluarga, tidak sempurna, dll. Kondisi tersebut yang membuat Ny.SC mengalami
depresi untuk beberapa waktu. Perubahan fisik terbukti bisa menurunkan harga diri dan mempengaruhi citra
tubuh secara negatif seperti timbulnya rasa malu pada penderita. Harga diri tersebut juga akan
mempengaruhi kualitas hidup penderita. Menurut penelitian terdapat hubungan antara harga diri, kualitas
hidup dan depresi. Kualitas hidup yang rendah akan menurunkan harga diri dan harga diri yang rendah akan
meningkatkan depresi (Ha, 2014).
Analisis selanjutnya terkait dengan proses koping pasien dengan masalah yang dihadapi serta proses
berubah dari yang berpikiran negatif bisa menjadi optimis. Prinsip utama dalam setiap hal adalah adaptasi.
Adaptasi dianggap sebagai respon positif terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri seseorang( Naga,
2014). Dari hasil wawancara dengan Ny.SC didapatkan bahwa saat ini beliau merasa kondisinya sudah
sangat membaik. Beliau dapat beradaptasi dengan baik terhadap masalah yang dialaminya. Hal tersebut
mempengaruhi kemampuan koping Ny.SC. Contoh koping dengan adaptif yang yang baik adalah sikap
menerima seperti yang terjadi pada Ny.SC. Penerimaan merupakan respon psikologis yang menyadari
bahwa hidupnya harus tetep berlanjut. Menerima berarti sesuai dengan kenyataan situasi yang penuh
tekanan, belajar untuk hidup dengannya (penyakit kanker payudara), menerima kondisinya.
Perasaan negatif dan rendah diri yang muncul dari Ny.SC teratasi dengan adanya dukungan dari
keluarga seperti ditemani saat perawatan dan pengobatan sehingga kondisi Ny.SC saat ini merasa lebih
optimis dan terus berusaha untuk tetap melanjutkan hidupnya.
“…kalau sekarang saya sudah seneng mbak bersyukur karna sudah membaik.”
“…sekarang saya harus tetap optimis sembuh karena anak anak masih kecil dan dukungan suami
saya yang nomor satu dan satu satunya…”
Ny.SC juga saat ini sudah menerima berbagai fakta tentang efek samping dari terapi yang
dijalaninya. Saat ini beliau lebih mementingkan dan memfokusikan untuk mendapatkan kesehatannya
kembali.
“…tau seperti ini saya kemo dari dulu karena perubahannya sangat besar. Sekarang saya juga tiap
kontrol selalu tanya dengan dokter kapan dioperasi karna saya gamau tanggung tanggung mbak biar
sekalian cepet sembuh…”
Selain itu pula, Ny.SC dapat menanggulangi masalah yang dialaminya dengan beberapa kegiatan,
seperti rajin berdoa/zikir, menyibukkan diri dengan membantu suaminya, dll. Beliau merasa dengan
melakukan hal itu membuat jiwanya tenang dan damai. Strategi koping berdoa merupakan hal penting untuk
mengatasi stressor psikologis dan untuk menenangkan perasaan (Sabado, 2010). Spiritualitas dengan ritual
keagamaan, seperti berdoa, memainkan peran penting dalam menerima penyakit. Berdoa dapat mengatasi
kanker dan membantu pasien memperbaiki kesehatan spiritual mereka saat sakit.
Mekanisme koping yang lain yaitu misal dengan berbincang-bincang. Saat ini karena sudah merasa
menerima dan merasa ada dukungan positif dari keluarga dan tetangga sekitarnya, Ny.SC sudah tidak
merasa minder lagi. Selama melakukan perawatan kemoterapi, Ny.SC berbincang-bincang dengan suaminya
yang setia menemani. Hal tersebut juga salah satu bentuk dukungan sosial. Hal itu merupakan bentuk
pengalih perhatian individu dari memikirkan atau mengambil tindakan untuk mengatasi stresor (Wahyuni,
2015).
Kebutuhan psikologis pasien kanker payudara ketika mengalami perubahan konsep diri adalah tetap
dihargai kekurangannya dan tentunya dengan segala kekurangannya pasien membutuhkan teman, dan lebih
diperhatikan.
“Keluarga saya menerima kondisi saya dengan tulus, malahan mereka yang lebih antusias untuk
kesembuhan saya…”
“..Kalau saya mau berobat, keluarga saya nemenin saya berobat. Kadang nyamperin ke rumah
bantu-bantu jaga rumah, padahal dia sebenarnya mau ada acara tapi dia tidak ikut...”
“…kalau keluarga jauh kalo ketemu tanya kabar. Kalau tetangga disini malah tanya kabar
pengobatan saya…”
Pernyataan tersebut merupakan salah satu ungkapan kepuasan bahwa mereka masih dihargai dan
dibutuhkan oleh pasangan dan keluarga. Hal ini dapat membantu Ny.SC untuk patuh dalam pengobatanya
dan ada harapan serta motivasi untuk sembuh. Keluarga dan tetangganya selalu memberikan semangat,
kekuatan, kasih sayang, perhatian yang mendalam dengan cara menunggu Ny.SC. Hal ini sesuai dengan
fungsi afektif keluarga yang berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial.
Dukungan dari masyarakat ketika tidak adanya stigma negatif dari masyarakat terhadap pasien terkait
kondisi sakitnya.
“…tetangga enggak masalah karena banyak orang sini yang juga seperti saya jadi ya tidak awam. .”
Demikian juga halnya dukungan dari petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan asuhan
keperawatan, menjadi salah satu sumber dukungan pasien dalam perawatan efek terhadap kemoterapi
9Pemberian informasi ini melalui pendidikan kesehatan secara terstruktur dan sistematis akan memberikan
pemahaman yang menyeluruh guna mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup
pasien (Buchi et al, 2013)
“Kalau yang di Soetomo kalo yang di POSA nya baik mbak sabar-sabar. Saya bisa tanya apa saya
nanti pasti dijelaskan.”
Oleh karena itu, saat ini, dampak dari kanker dan pengobatannya sudah tidak memengaruhi
hubungan interpersonal Ny.SC dengan pasangan, keluarga, dan temannya. Ny.SC berusaha memaksimalkan
potensi diri yang masih ada, walapun tidak sempurna untuk tetap menjalankan perannya dalam kehidupan
keluarga dan bermasyarakat.
Upaya lain yang dilakukan tetap dapat terpenuhi kebutuhan psikososial pasien adalah dengan cara
meningkatkan spiritualitas. Spiritualitas terbukti menjadi faktor emosional dan psikologis yang penting yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien kanker payudara. Spiritualitas berhubungan dengan penyesuaian
psikologis, dimana spiritualitas berpengaruh dalam penurunan gejala depresi dan meningkatkan vitalitas
pasien kanker payudara,menimbulkan kedamaian,kesejahteraan sosial dan fungsional (Sabado, 2010)
“…Ssya yang dulunya jarang ngaji, sekarang kalau kepikiran apa-apa atau agak nyeri dikit
langsung saya ngaji, Mbak”
“…Saya kalau ada apa-apa selalu berdoa sama Allah. Minta dikasih kesempatan satu kali lagi gitu
mbak….”.
Spritualitas Ny.SC ini dapat membantu Ny.SC untuk tetap memiliki kepercayaan dan harapan hingga
dapat meningkatkan kualitas hidupnya dengan lebih baik. Harapan merupakan faktor penting didalam aspek
psikososial. Berdasarkan hasil penelitian beberapa partisipan mempunyai harapan yang realistik yaitu
dengan mengikuti pengobatan kemoterapi berharap akan mendapatkan kesembuhan. Harapan tersebut
mempengaruhi perilakunya.
“saya tidak muluk-muluk bisa sembuh seperti sedia kala sudah Alhamdulillah”
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tekad dan optimisnya untuk sembuh sangatlah tinggi. Sikap
optimis mengarah pada keyakinan dalam menghadapi kesulitan berubah lebih positif. Sikap optimis ini
muncul akibat adanya dukungan sosial dari kelaurga dan slingkungan Ny.SC yang maksimal. Penelitian
menyatakan bahwa pasien kanker payudara yang memiliki optimisme tinggi memiliki kepuasan hidup dan
prognosis lebih tinggi (Ha, 2014). Hal ini terbukti bahwa saat awal di poli paliatif, ny.SC didiagnosis dengan
depresi ringan-sedang. Sedangkan pada pemeriksaan selanjutnya (kontrol), ny.SC didiagnosis dengan
anxiety. Oleh karena itu, terlihat bahwa setelah pemeriksaan awal hingga saat ini, kondisi psikososial dan
spiritual ny.SC sudah membaik. Hal itu juga sejalan dengan kualitas hidupnya yang juga turut meningkat.
Faktor yang paling memengaruhi masalah Ny.SC adalah tingkat kesadaran Ny.SC yang cukup yang
didapatkan dari lingkungan sekitarnya yakni pengalaman tetangganya membuat Ny.SC lebih waspada
terhadap kondisi dirinya sehingga segera memeriksakan ke pelayanan kesehatan yang ada. Beliau didiagnosa
kanker payudara ganas dan diminta untuk segera operasi dan menjalankan kemoterapi. Namun karena
tingkat pendidikan yang sedang dan tingkat pengetahuan yang terbatas, membuat Ny.SC mendapatkan
sedikit informasi melalui internet serta tidak mengetahui seluk beluk kanker dengan detail. Ketakutan
terhadap konsep operasi pengobatan konvensional serta efek kemoterapi yang dinilai mempunyai dampak
besar dari penurunan fisik menyebabkan Ny.SC memilih untuk melakukan alternatif. Beliau tidak
mempertimbangkan dampak lain jika tidak segera ditangani secara tepat dengan medis. Suami Ny.SC
mendukung keputusan yang diambil Ny.SC sedangkan keluarga Ny.SC bertolak belakang dengan pilihan
tersebut. Keluarga beliau dari awal sangat mendukung melakukan pengobatan secara medis di rumah sakit.
Namun beliau tetap meneruskan terapi alternatif selama 5 bulan dan hasilnya malah makin memburuk.
Benjolan ditemukan semakin membesar, terbentuk luka, dan nyeri yang sudah tidak bisa ditahan lagi. Hal
tersebut memunculkan masalah baru bagi Ny.SC. Beliau tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Beliau
memikirkan hal negatif, mencemaskan keadaan suami dan anaknya. Beliau merasa malu dan tidak percaya
diri. Beliau menarik diri dari lingkungannya. Oleh karena itu, Ny.SC memeriksakan kondisinya di rumah
sakit kembali. Di RSUD Dr.Soetomo beliau didiagnosis Ca Mammae sinistra, ductal carcinoma stage IV,
nyeri nosispetif somatis bukan tulang kronis berat dengan terapi, serta depresi ringan-sedang. Beliau dirujuk
di poli paliatif untuk mendapatkan perawatan sebaik mungkin. Dukungan dari keluarga dan lingkungan yang
terus-menerus didapat membuat perasaan positif Ny.SC meningkat. Sikap menerima dan optimis yang
timbul dapat mengilangkan depresi Ny.SC. Ny.SC memperoleh dukungan dari keluarga, lingkungan, serta
tenaga kesehatan yang merawatnya. Dukungan tersebut diberikan, terutama oleh suaminya, dalam bentuk
dukungan emosional (perhatian, kasih sayang, empati), dukungan penghargaan (menghargai kondisinya
yang masih dalam perawatan) dukungan informasi (saran, nasehat) maupun dukungan instrumental (melalui
ketersediaan tenaga, dana dan waktu). Hingga saat ini, masalah bio-psiko-sosial bisa dikatakan sudah
teratasi. Beliau sudah menunjukan usaha koping yang baik terhadap masalahnya tersebut sehingga kualitas
hidupnya sudah lebih baik dari sebelumnya. Beliau tetap menjalankan tugas rumah tangganya semaksimal
bisa dilakukan.
Buchi SS, et al. 2013. Factor Associated with Supportive Care Needs of Patients Under Treatment for Breast
Cancer. Europe Journal of Oncology Nursing.15(3).
Ha EH, Cho YK. 2014. The mediating effect of self esteem and optimism on the relationship between
quality of life and depressive symptoms of breast cancer patients. Psychiatry Investigation. 11(4).
Jalaluddin. 2012. Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Lisnawati. 2010. Gambaran Wanita Post Mastektomi yang Mangalami Depresi di RS Kanker
Dharmais
Jakarta Barat.
Lubis. 2009. Terapi Perilaku Kognitif pada Pasien Kanker. Medan : USU Press.
Naga BS. 2014. The Relationship Between Pain Experience and Roy Adaptation Model
Application of
Theoretical Framework. Middle East Journal of Nursing. Vol 8(1).
Sabado, M. 2010. Role of Spirituality in coping with Breast cancer : A Qualitative Study of Samoan Breast
Cancer Survivor and Their supporters. California Journal Health Promotion. 1;8(SE).
Wahyuni D, Huda N, Utami GT. 2015. Studi Fenomenologi: Pengalaman Pasien Kanker
Stadium Lanjut
yang Menjalani Kemoterapi. JOM Vol 2(2).
LAPORAN TUTORIAL
SOCIAL ASPECT OF MEDICINE (SAM)
NYERI KANKER PAYUDARA
Oleh :
Kelompok B23
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019