Agensi Teori
Agensi Teori
AGENSI TEORI
Jensen dan Meckling (1976) menggambarkan hubungan keagenan sebagai
hubungan antara pemilik perusahaan (kepala sekolah) dan agen, dengan pendelegasian
wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Dalam hubungan keagenan, ada
kemungkinan konflik kepentingan antara perantara dan agen. Pemegang saham menuntut
peningkatan profitabilitas dan dividen perusahaan, sementara manajer adalah agen yang
termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologis. Atas
dasar hubungan keagenan dan prinsipal, manajemen didorong untuk melakukan
manajemen laba dalam penyajian laporan keuangan. Untuk itu, salah satu cara yang dapat
digunakan untuk memantau masalah kontrak antara manajemen dan investor dan
membatasi perilaku oportunistik manajemen adalah melalui penerapan GCG. (Maharani
dan Soewarno, 2018).
Teori keagenan pertama kali dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976). Teori
ini membahas mengenai hubungan antara principal dengan agent. Yang dimaksud dengan
principal adalah pemilik perusahaan atau pemegang saham, sedangkan agent adalah
manajer perusahaan. Teori keagenan membuat sebuah hubungan kontraktual antara
pemilik dan manajer dimana pemilik perusahaan mendelegasikan suatu tugas pengambilan
keputusan kepada manajer sesuai dengan kontrak kerja. Munculnya masalah-masalah yang
disebabkan oleh konflik kepentingan dan asimetri informasi dapat membuat perusahaan
menanggung biaya keagenan (agency cost). Menurut Jensen dan Meckling (1976) terdapat
tiga macam biaya keagenan (agency cost), diantaranya Monitoring Cost, yaitu biaya yang
dikeluarkan dengan tujuan untuk membatasi penyimpangan yang dilakukan oleh pihak
manajer dengan memonitor aktivitas yang dilakukan oleh manajer. Bonding Cost, dalam
beberapa situasi tertentu, pihak agent diberikan kesempatan untuk membelanjakan sumber
daya perubahan yang diharapkan dapat menjamin bahwa manajer tidak akan merugikan
pemilik. Residual Loss, merupakan nilai uang yang ekuivalen dengan kesejahteraan yang
dialami oleh pemilik, biaya ini dianggap sebagai biaya yang timbul dari hubungan
keagenan dan dinamakan biaya kerugian residual.
2.2 teori stakeholder
Freeman (1984) menyimpulkan bahwa tujuan sebenarnya dari sebuah perusahaan
adalah untuk memenuhi kebutuhan para pemangku kepentingan, yaitu mereka yang
dipengaruhi oleh keputusan yang diambil oleh perusahaan. Gray et al. (1995) mengatakan
bahwa kelangsungan hidup suatu perusahaan tergantung pada dukungan dari para
pemangku kepentingannya, dan bahwa dukungan tersebut harus cukup untuk perusahaan
yang harus mencari dukungan. Teori pemangku kepentingan penting dalam penelitian ini
karena teori ini berkaitan dengan bahwa tidak ada kepentingan perusahaan, yang
dipengaruhi dan dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan perusahaan, seperti akuntabilitas
manajemen manajemen kepada para pemangku kepentingan dalam bentuk kegiatan CSR
dan kinerja keuangan perusahaan.
Donaldson dan Preston (1995) dalam stakeholder theory mengatakan bahwa kinerja
sebuah organisasi dipengaruhi oleh semua stakeholder organisasi, oleh karena itu
merupakan tanggung jawab manajerial untuk memberikan benefit kepada semua
stakeholder yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Stakeholder theory mengatakan
bahwa perusahaan tidak beraktivitas hanya untuk kepentingan pemilik saham, melainkan
juga bagi semua stakeholder lainnya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier,
pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain).
Stakeholders terdiri dari dari orang atau sekelompok orang yang dapat
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh berbagai keputusan, kebijakan dalam pelaksanaan
aktivitas operasi. Pendekatan stakeholder akan membuat organisasi memilih untuk
menanggapi banyak tuntutan dari berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder), yaitu
setiap kelompok dalam lingkungan luar organisasi yang terkena tindakan dan keputusan
organisasi (Danu, 2011). Suatu organisasi akan berusaha untuk memenuhi tuntutan
lingkungan dari kelompok-kelompok seperti para karyawan, pemasok, dan investor serta
masyarakat ( Robbins dan Coulter, 1999; Januarti dan Apriyanti, 2005). Menurut Ghazali
dan Chariri (2007:409), Teori Stakeholder merupakan teori yang menyatakan bahwa
perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri, namun
harus memberikan manfaat kepada seluruh stakeholder-nya (pemegang saham, kreditor,
konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain). Kelompok
stakeholder inilah yang menjadi bahan pertimbangan bagi manajemen perusahaan dalam
mengungkap atau tidak suatu informasi di dalam laporan perusahaan tersebut. Selanjutnya
Sidharta (2010) menjelaskan bahwa dalam teori stakeholder pelaksanaan CSR tidak hanya
dihadapkan kepada pemilik atau kepada pemegang sahamnya saja, tetapi juga terhadap
para stakeholders yang terkait dan terkena dampak dari keberadaan perusahaan. Mereka
adalah pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak
langsung atas aktivitas serta kebijakan yang diambil dan dilakukan perusahaan. Jika
perusahaan tidak memperhatikan stakeholder bukan tidak mungkin akan menuai protes dan
dapat mengeliminasi legitimasi stakeholder (Nor Hadi, 2010). Teori ini dapat diuji dengan
berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan content analysis atas laporan keuangan
perusahaan (Guthrie et al., 2006 : 254-271), laporan keuangan merupakan cara yang paling
efisien bagi organisasi untuk berkomunikasi dengan kelompok stakeholder yang dianggap
memiliki ketertarikan.
Menurut ISO 26000, CSR adalah tanggung jawab organisasi atas dampak
keputusannya dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, yang diwujudkan
dalam transparansi yang transparan.
dan perilaku etis, sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan
masyarakat, dengan mempertimbangkan harapan para pemangku kepentingan, sejalan
dengan hukum dan norma perilaku internasional yang berlaku, dan terintegrasi dengan
organisasi secara keseluruhan. Manipulasi laba sebagai tindakan tidak etis jarang terjadi
pada perusahaan yang berkomitmen pada CSR karena perusahaan yang terlibat dalam
kegiatan CSR mempertahankan hubungan kualitas jangka panjang dengan investor
sehingga perusahaan akan berusaha untuk tidak mempraktikkan manajemen laba untuk
mempertahankan hubungan jangka panjang dengan investor (Gras-Gil, 2016). Penekanan
pada transparansi akan mendorong manajemen untuk menyajikan laporan yang
menggambarkan kondisi aktual perusahaan.
CSR adalah alat yang dapat digunakan perusahaan untuk menghindari konflik
antara perusahaan dengan lingkungannya (Abriani dkk., 2012). CSR merupakan
mekanisme bagi suatu perusahaan secara sukarela mengintegrasikan perhatian pada
lingkungan sosial ke dalam operasi dan interaksinya dengan stakeholder, yang melebihi
tanggungjawab sosial di bidang hukum. Menurut Suharto (2008) memperoleh profit
semata semakin ditinggalkan. Sebaliknya, konsep triple bottom line (profit, planet, people)
yang dikemukakan oleh John Elkington makin masuk ke dalam mainstream etika bisnis
merupakan tujuan utama korporasi.
Corporate social responsibility (CSR) adalah alat yang dapat digunakan perusahaan
untuk menghindari konflik antara perusahaan dengan lingkungannya (Abriani,dkk., 2012).
Penerapan CSR penting guna mencegah terjadinya kerugian sosial dan lingkungan akibat
aktivitas operasional perusahaan.
Menurut Indrawati (2009), CSR juga dapat meningkatkan kinerja keuangan
perusahaan, karena dengan perusahaan menerapkan CSR maka dapat membantu
perusahaan untuk mencegah timbulnya biaya eksternal, sehingga kinerja keuangan akhir
tahun perusahaan akan dinilai positif oleh pihak internal dan eksternal perusahaan.
Penerapan CSR perlu didukung oleh mekanisme good corporate governance (GCG) agar
menjadi efektif, sebab memiliki peran untuk mengendalikan atau mengatasi perilaku
manajemen yang mementingkan diri sendiri. Pentingnya perusahaan pertambangan
melakukan CSR dan GCG adalah agar dapat meningkatkan citra baik dan positif dimata
pihak intern dan ekstern perusahaan.
Menurut Scott (2000) manajemen laba adalah tindakan manajer untuk melaporkan laba
yang dapat memaksimalkan kepentingan pribadi atau perusahaan dengan menggunakan
kebijakan metode akuntansi. Scott (2000) juga mendefinisikan manajemen laba sebagai
intervensi manajemen dalam proses menyusun pelaporan keuangan eksternal sehingga
dapat menaikkan atau menurunkan laba akuntansi sesuai dengan kepentingannya. Terdapat
beberapa definisi mengenai manajemen laba misalnya Davidson (1987) dalam Meutia
(2004) menyatakan bahwa manajemen laba adalah proses di mana dilakukan langkah-
langkah yang disengaja dalam batasan prinsip-prinsip akuntansi untuk memperoleh tingkat
pendapatan yang diinginkan.
Efek CSR terhadap kinerja keuangan. CSR mampu memenuhi kebutuhan setiap
pemangku kepentingan. Stakeholder internal akan lebih berdedikasi untuk berkontribusi
pada perusahaan dan stakeholder eksternal akan memberikan penilaian yang baik terhadap
perusahaan. Selain itu, konsumen akan membeli lebih banyak produk atau layanan
sehingga kinerja keuangan perusahaan akan meningkat (Chen dan Wang, 2011). Ini sesuai
dengan konsep teori stakeholder, yang mengasumsikan bahwa perusahaan harus
bertanggung jawab kepada berbagai kelompok dalam masyarakat yang telah
mempengaruhi perusahaan karena keputusan dan perilaku yang akan mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat. Hubungan yang baik antara masyarakat dan perusahaan akan
tercipta dukungan dari masyarakat yang Mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan.
Dukungan tersebut tercermin pada pelanggan yang loyal kepada perusahaan, dan karyawan
yang bekerja secara optimal untuk kepentingan perusahaan sehingga dapat meningkatkan
kinerja keuangan. Penelitian yang membuktikan bahwa CSR memiliki efek positif pada
kinerja keuangan, termasuk hasil penelitian oleh Salihetal (2011), Rajputetal (2012),
Palmer (2012), Ghelli (2013) dan Ahamed et al. (2014). Penelitian yang dilakukan oleh
Aras dan Crowther (2009), Fan (2013) dan Mwangi dan Jerotich (2013) menemukan bukti
empiris bahwa CSR tidak berpengaruh pada kinerja keuangan. Berdasarkan uraian
tersebut, hipotesis yang diajukan adalah:
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa CSR memiliki pengaruh positif yang
signifikan terhadap manajemen laba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan
CSR yang dilakukan oleh perusahaan melalui peningkatan kinerja lingkungan dapat
meningkatkan tindakan manajemen laba manajemen. CSR memberi dampak pada
peningkatan beban perusahaan untuk mengurangi laba perusahaan. mengurangi profit
dianggap sebagai berita buruk untuk perusahaan, dapat ditafsirkan secara negatif oleh
investor. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan laba perusahaan melalui
kebijakan akuntansi oleh manajemen.
Penelitian ini mendukung penelitian Gargouri et al. (2010), yang menyatakan
bahwa CSR memiliki dampak positif dan signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini
disebabkan tingginya biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk kegiatan CSR yang
mengakibatkan penurunan kinerja keuangan. Penurunan kinerja keuangan kemudian
merangsang manajemen untuk mengambil tindakan manajemen laba.
Aaaaa.
Manajemen laba terkait erat dengan tingkat keuntungan yang diperoleh. Ini karena laba
yang diperoleh oleh suatu entitas sering digunakan dengan menandai pengguna keuangan
dari status keuangan dalam menilai tingkat keberhasilan suatu entitas. Oleh karena itu,
timbul insentif bagi manajemen untuk melakukan manajemen laba. Sebagai
konsekuensinya, informasi yang diberikan kepada manajemen kota Derby dapat
dikeluarkan
45