LAPORAN KASUS
Eclampsia, HELLP Syndrome, Acute Respiratory Distress Syndrome, and
Pneumonia
(Eklampsia, Sindroma HELLP, Sindrom Distres Respirasi Akut, dan
Pneumonia)
Abstract
The incidence preeclampsia and eclampsia is now at 5-15%, and is one of the leading
causes of maternal mortality in Indonesia in addition to infection and bleeding. In
pregnancy, pulmonary edema is one of the causes that can occur after the replacement
of eclampsia. This may be due to pneumonia of aspiration from the contents of the
stomach entering the airway which is the result of the onset of seizures, or else
resembling cordic decompensation, as a result of severe hypertension and excessive
administration of fluid. Early diagnosis and rapid multidisciplinary action in ICU
settings can prevent complications and reduce morbidity and mortality. The authors
reported a case of patients with a 32-week G2P1001 diagnosis of T/H + LMR
(previously undergone Caesarian Section once) + Eclampsia + HELLP Syndrome,
issued long ago on HDK, preeclampsia-eclampsia pathogenesis, HELLP syndrome,
ARDS, and pneumonia. Effective management of anesthesia in these patients will
improve survival and provide a better prognosis.
Key words: Eclampsia, HELLP Syndrome, Pregnancy, ARDS
Abstrak
Kejadian HDK, khususnya preeklampsia dan eklampsia kini berada pada angka
5-15%, dan merupakan salah satu penyebab mortalitas ibu hamil tertinggi di
Indonesia selain infeksi dan perdarahan. Pada kehamilan, edema pulmonum adalah
salah satu komplikasi yang dapat terjadi setelah terjadinya eklampsia. Hal ini dapat
terjadi karena pneumonia aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam saluran nafas
yang disebabkan penderita muntah saat kejang, atau mekanisme lainnya yaitu berupa
dekompensasio kordis, sebagai akibat hipertensi berat dan pemberian cairan yang
berlebihan. Diagnosis dini dan pengobatan yang cepat melalui tim multidisiplin dalam
pengaturan ICU dapat mencegah komplikasi dan mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Penulis melaporkan sebuah kasus pasien dengan diagnosis G2P1001 32
minggu T/H + LMR (Bekas SC 1 kali) + Eklampsia + HELPP Syndrome, yang
dilanjutkan dengan tinjauan pustaka yang mencakup pembahasan mengenai HDK,
pathogenesis preeklampsia-eklampsia, HELLP syndrome, ARDS, dan pneumonia.
Penanganan anestesi yang efektif pada pasien ini akan meningkatkan survival serta
memberikan prognosis yang lebih baik.
Kata kunci: Eklampsia, HELLP Syndrome, Kehamilan, ARDS
2
BAB I
PENDAHULUAN
Edema pulmo dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Hal ini dapat terjadi karena
pneumonia aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam saluran nafas yang
disebabkan penderita muntah saat kejang. Selain itu dapat pula karena penderita
mengalami dekompensasio kordis, sebagai akibat hipertensi berat dan pemberian
cairan yang berlebihan.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan pada penanganan pasien G2P1001 32
minggu T/H + LMR (Bekas SC 1 kali) + Eklampsia + HELPP Syndrome.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mengetahui anestesi yang digunakan pada penanganan airway pada pasien G2P1001 32
minggu T/H + LMR (Bekas SC 1 kali) + Eklampsia + HELPP Syndrome.
1.3 Manfaat
Menambah pengetahuan mengenai penanganan anestesi pada pasien G2P1001 32 minggu
T/H + LMR (Bekas SC 1 kali) + Eklampsia + HELPP Syndrome.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : NKW
Jenis Kelamin: Perempuan/18012542
Usia : 28 tahun (3/10/1989)
Alamat : Karangasem
MRS : 25/04/2017 /VK-kebidanan/BPJS
Operator : Dr. dr. IB Gde Fajar Manuaba, Sp.OG, MARS
Anestesi : dr IMG Widnyana Sp.An, KAR
Diagnosa : G2P1001 32 minggu T/H + LMR (Bekas SC 1 kali) + Eklampsia +
HELPP Syndrome
Tindakan : SC CITO
Anamnesis
Pasien datang sadar rujukan RS Bali Jimbaran dengan keluhan kejang sebanyak 2 kali,
lama kejang ± 5 menit, kejang dikatakan seluruh tubuh. Keluhan nyeri perut hilang timbul
disangkal, keluar air pervaginam disangkal. Keluhan nyeri kepala, pandangan kabur,
nyeri ulu hati disangkal. Gerak janin dikatakan aktif sejak Desember 2017. Pasien hamil
anak kedua dengan HPHT 11/8/2017 dan TP 18/5/2018. Diketahui TD tinggi baru saat
datang ke RS Bali Jimbaran (25/3/2018).
Riwayat alergi tidak ada.
Riwayat penyakit sistemik tidak ada.
Riwayat operasi SC 1 kali pada tahun 2016 dengan RA tanpa komplikasi
Makan terakhir pkl. 20.00 wita (25/03/2018)
Saat ini pasien mendapat terapi IVFD RL + 6 gram MgSO4 40% - 28 tpm; nifedipin 10
mg tiap 8 jam PO bila MAP >125 mmHg
Pemeriksaan Fisik
Berat badan 65 kg ; TB 165 cm ; Suhu (aksila) 36,8°C NRS diam 5/10 gerak 7/10
Susunan saraf pusat : Somnolent GCS E3V5M^
5
Pengelolaan Anestesia
Tehnik Anestesia : General Anestesia (GA-OTT + RSI)
Pra anestesia :
Pasien disiapkan untuk dilakukan anestesi umum dengan rapid sequence
induction (RSI) disiapkan juga peralatan jika sewaktu-waktu green code dibunyikan,
serta set untuk resusitasi bayi dan ventilator bayi.
Di ruang persiapan :
Pukul 01.55 WITA pasien diterima masuk di ruang persiapan dengan infuse line
yang sudah terpasang di manus dekstra, dilakukan pemeriksaan kelancaran infus dan
pemasangan iv line kedua di manus sinistra.
Dilakukan pemantauan DJJ secara ketat dan pasien diukur kembali Vital sign nya
TD 180/110 mmHg dan Nadi 122 x/menit RR 21x/menit dengan saturasi 96% dengan
O2 masker 6 lpm .
Di kamar operasi :
Penderita tiba di kamar operasi pukul 02.00 WITA dan dilakukan pemasangan
monitor, didapatkan nadi 118-130 kali permenit. Setelah semua alat-alat anestesi dan
resusitasi serta obat-obat anestesi dan resusitasi siap, pasien diberikan preoksigenasi
dengan oksigen 6 liter/menit.Oksigenasi dan ventilasi memakai sungkup dengan
7
Rekapitulasi cairan
Kebutuhan cairan sejak puasa hingga ke ruang operasi : 480 ml, cairan yang sudah
masuk sebanyak 500 cc,
Kehilangan cairan bedah besar 600 cc
Perdarahan durante operasi 800 cc
Urine residu 30 cc
Perhitungan kebutuhan cairan durante operasi:
Jam I di ruang operasi 02.00 – 03.00 = 600ml
Jam II di ruang operasi 03.00-03.30 = 800ml
Total kebutuhan cairan s/d pukul 03.30 = 1400 cc.
8
PERAWATAN DI ICU
HARI I (26/03/2018)
Permasalahan prearrival : ASA III : Eklampsia + HELPP Sindrome + Post SC hari I
dengan suspek Odem Pulmonum
Teknik anestesia : GA-OTT + RSI
Berat badan: 60 kg ;TB: 160 cm; Suhu 36,6 C
• SSP: DPO, RP +/+ lambat, pupil isokor 3mm/3mm
• Res: PC BIPAP 20 P1 20 PS 10 RR 20 x/menit, FiO2 90% vesikuler di kedua
lapang paru, ronki ada, wheezing tidak ada, saturasi 94%
• KV : TD 120/80, nadi 95 x/menit, S1S2 tunggal reguler, murmur (-) dengan
vascon 0,1-0,5 mcg/kgBBjam
• GI : Bising usus (+) ,distensi (-)
• UG : BAK via DK 0.8 cc/kgBB/jam
• MS : fleksi defleksi, mallampati sulit dievaluasi.
Darah lengkap (25/03/2018) : WBC 19,49 x103/µL (4,1-11); HGB 8.93 g/dL (13.5-
17.5); HCT 26.12 % (41-53); PLT 122.46 x103µL (150-440)
Faal Hemostasis (25/03/2018) : PT 20,3 (10,8-14,4) detik; aPTT 40.9 (24-36) detik;
INR 2,80 (0,9-1,1)
Kimia Klinik (25/03/2018) : SGOT 944,6 SGPT 280,60 Alb 2,5 GDA 242 BUN 25,5
(8.00 – 23.00) SC 1,99 (0.5-0.9) Na 133 (136-145) K 5,77 (3.5-5.1);
AGD (25/03/2018) : pH 7.18; pCO2 26,7; pO2 213,40; BE -18.8; HCO3- 9,80.
• Ro Thorax PA (24/03/2018) : cardiomegali, tak tampak tanda pneumothorax
D Dimer 11,87 , Fibrinogen 616 mg/dl
F: Ringer Fundin 1000 mL
A: Fentanyl 500 mcg/24 jam+ Paracetamol 1 g tiap 8 jam IV.
S:
T: -
H: Head up 30-45oC
U: Omeprazole 8 mg/jam, sucralfat 10 ml tiap 8 jam
G: -
Terapi lain:
9
Hari II (27/03/2018)
S : Pasien mengalami perdarahanvia kateter dan diluka bekas operasi keluar darah, Urin
kehitaman dan tubuh bengkak
Berat badan: 60 kg ;TB: 160 cm; Suhu 36,6 C
• SSP: DPO, RP +/+ lambat, pupil isokor 3mm/3mm
• Res: PC BIPAP 20 P1 20 PS 10 RR 20 x/menit, FiO2 90% vesikuler di kedua
lapang paru, ronki ada, wheezing tidak ada, saturasi 94%
• KV : TD 120/80, nadi 95 x/menit, S1S2 tunggal reguler, murmur (-) dengan
vascon 0,1-0,5 mcg/kgBBjam
• GI : Bising usus (+) ,distensi (-)
• UG : BAK via DK 0.8 cc/kgBB/jam
• MS : fleksi defleksi, mallampati sulit dievaluasi.
Darah lengkap (27/03/2018) : WBC 31,49 x103/µL (4,1-11); HGB 3.93 g/dL (13.5-
17.5); HCT 26.12 % (41-53); PLT 63.46 x103µL (150-440)
Faal Hemostasis (25/03/2018) : PT 20,3 (10,8-14,4) detik; aPTT 40.9 (24-36) detik;
INR 2,80 (0,9-1,1)
Kimia Klinik (27/03/2018) : SGOT 944,6 SGPT 280,60 Alb 2,5 GDA 242 BUN 40
(8.00 – 23.00) SC 4,19 (0.5-0.9) Na 133 (136-145) K 5,77 (3.5-5.1);
AGD (25/03/2018) : pH 7.18; pCO2 26,7; pO2 213,40; BE -18.8; HCO3- 9,80.
• Ro Thorax PA (24/03/2018) : edema pulmonum , tak tampak tanda pneumothorax
D Dimer 11,87 , Fibrinogen 616 mg/dl
F: Ringer Fundin 1000 mL
A: Fentanyl 500 mcg/24 jam+ Paracetamol 1 g tiap 8 jam IV.
S:
10
T: -
H: Head up 30-45oC
U: Omeprazole 8 mg/jam, sucralfat 10 ml tiap 8 jam
G: -
Terapi lain:
Ceftazidine 2 gram tiap 8 jam IV
Asam traneksamat 500 mg tiap 8 jam
Vit K 10 mg tiap 8 jam
Furosemid 20 mg tiap 8 jam IV
Cek DL berkala tiap 8 jam
Darah lengkap (27/03/2018) : WBC 31,49 x103/µL (4,1-11); HGB 3.93 g/dL (13.5-
17.5); HCT 26.12 % (41-53); PLT 63.46 x103µL (150-440)
Faal Hemostasis (25/03/2018) : PT 20,3 (10,8-14,4) detik; aPTT 40.9 (24-36) detik;
INR 2,80 (0,9-1,1)
11
Kimia Klinik (27/03/2018) : SGOT 944,6 SGPT 280,60 Alb 2,5 GDA 242 BUN 40
(8.00 – 23.00) SC 4,19 (0.5-0.9) Na 133 (136-145) K 5,77 (3.5-5.1);
AGD (25/03/2018) : pH 7.18; pCO2 26,7; pO2 213,40; BE -18.8; HCO3- 9,80.
• Ro Thorax PA (24/03/2018) : edema pulmonum , tak tampak tanda
pneumothorax
D Dimer 11,87 , Fibrinogen 616 mg/dl
F: Ringer Fundin 1000 mL
A: Fentanyl 500 mcg/24 jam+ Paracetamol 1 g tiap 8 jam IV.
S:
T: -
H: Head up 30-45oC
U: Omeprazole 8 mg/jam, sucralfat 10 ml tiap 8 jam
G: -
Terapi lain:
Ceftazidine 2 gram tiap 8 jam IV
Asam traneksamat 500 mg tiap 8 jam
Vit K 10 mg tiap 8 jam
Furosemid 20 mg tiap 8 jam IV
Transfusi PRC dan FFP serta TC.
Hari Ke 9
S : kontak tidak ada
BB 65 kg, TB 160 cm
Susunan saraf pusat : DPO
Respirasi PC Bipap 30 / ASB 15 / PEEP 10 / FiO2 90 %, RR 20, Ves +/+, SpO2 86-98%
Kardiovaskular: TD 110-148/78-90 mmHg; Nadi 88-123x/min; S1S2 tunggal, regular,
murmur (-)
Gastrointestinal : Distensi (-).
Urogenital : BAK via DK
Muskuloskeletal: Akral Hangat
Cairan Masuk : 2159 ml HD 500 ml
12
Darah Lengkap (04/04/18) : WBC 37.77 x10 3µL (4.1-11); Neutrofil 92.92%, HGB 7.19
g/dL (13.5-17.5); HCT 22.13% (41-53); PLT 164.70x 103µL (150-440)
Kimia Klinik (03/04/18) : BUN 33.60 mg/dl (8-23), Creat 2.31 mg/dl (0.5-0.9).
AGD + Elektrolit (04/04/2018)
pk 09.00 : pH 7.42 ; pCO2 46.1 mmHg ; pO2 118.20 mmHg; HCO3 29.10 mmol/L; Beecf
4.6; SO2c 98.3%, TCO2 30.60, Na 1423 mmol/l, K 2.47 mmol/l, Cl 89 mmol/l.
F: Nefrisol 150 ml tiap 4 jam, Plasmanat 500 ml tiap 24 jam, Ringer Lactat 500 ml tiap 24
jam. Vip Albumin 2x1 sachet
A: Paracetamol 1 gram tiap 8 jam; Morfin 20 mg tiap 24 jam
S: Midazolam titrasi target RASS -2
T: -
H: Head up 30-45oC
U: Lansoprazole 30 mg tiap 12 jam
G: -
Terapi lain:
Amikasin 1500 mg /24 jam Hari ke-5
Ceftazidime 2 gram / 8 jam hari ke-5
Furosemide 10 mg/jam
Metilprednisolon 62.5 mg / 24 jam
Enoxaparine 0.6 U / 12 jam SC
Nebul Combivent-Bisolvon / 8 jam
Permasalahan :
Hipokalemia rencana koreksi KCl 50 meq dalam 8 jam dilanjutkan koreksi 50 meq dalam
24 jam.
Hari ini dilakukan HD bersama dengan memasukkan PRC 2 colf.
Pasien mudah iritatif, suction k/p saja.
13
HARI KE 12
S : Pasien mengalami perdarahan via kateter dan diluka bekas operasi keluar darah, Urin
tidak keluar sama sekali, pasien mengalami penurunan kondisi dan sulit untuk
dibangunkan
Berat badan: 60 kg ;TB: 160 cm; Suhu 36,6 C
BB 65 kg, TB 160 cm
Susunan saraf pusat : compos mentis
Respirasi PC-SIMV+ dengan PInsp 12 cmH20, RR 14 x/menit, PEEP 10, ASB 16
cmH2O, FiO2 40%, Ves +/+, Ronchi +/+ basal dominan, SpO2 97-99%
Kardiovaskular: TD 110-150/70-90 mmHg; Nadi 78-110x/min; S1S2 tunggal, regular,
murmur (-)
Gastrointestinal : Distensi (-).
Urogenital : BAK via DK dengan UOP 0.47 ml/kgBB/jam
Muskuloskeletal: Akral Hangat
Balance Cairan
Cairan Masuk : 1417 ml
Cairan Keluar : 1500 ml (urine)
IWL 750 ml
BC – 833 ml
AGD + Elektrolit (14/04/2018) : pH 7.27; pCO2 44.3 mmHg ; pO2 119.10 mmHg ;
HCO3 19.90 mmol/L ; Beecf -7.00; SO2c 97.8%, Na 142 mmol/l, K 4.00 mmol/l, Cl 83
mmol/l.
Darah Lengkap Post HD dan Transfusi PRC 2 colf (14/04/2018) : WBC 20.66x103 mcg/l,
HGB 10.49 g/dl, HCT 33.85 %, PLT 420.70x103 mcg/l, BUN 45.00 mg/dl, Creatinin 3.23
mg/dl.
F: Nefrisol 200 ml tiap 4 jam, Aminofusin L 600 500 ml tiap 24 jam. Vip Albumin 2x1
sachet
A: Fentanyl 300 mcg tiap 24 jam IV.
S: Midazolam titrasi target RASS -2
T: -
14
H: Head up 30-45°C
U: Sucralfat 15 mg tiap 8 jam PO
G: -
Terapi lain:
Cefoperazone Sulbactam 2 gram tiap 12 jam IV memasuki hari ke-9.
Metilprednisolon 62.5 mg / 24 jam
Nebul Combivent-Bisolvon / 8 jam
Maintenance Kalium dengan KCl 50 meq dalam 24 jam.
Furosemid 10 mg tiap jam titrasi kontinyu
Balance Cairan
Cairan Masuk : 2796 ml, HD 300 ml
Cairan Keluar : 2750 ml, HD 1000 ml
IWL 750 ml
BC – 1404 ml
AGD + Elektrolit (23/04/2018) : pH 7.33; pCO2 43.7 mmHg ; pO2 133.20 mmHg ;
HCO3 22.50 mmol/L ; Beecf -3.50; SO2c 98.5%, TCO2 23.40 mmol/l, Na 146 mmol/l, K
3.39 mmol/l, Cl 88 mmol/l.
15
AGD + Elektrolit (22/04/2018) : pH 7.40; pCO2 39.8 mmHg ; pO2 117.00 mmHg ;
HCO3 24.10 mmol/L ; Beecf -0.70; SO2c 98.3%, TCO2 25.40 mmol/l, Na 141 mmol/l, K
3.49 mmol/l, Cl 82 mmol/l. PPT 13.2 detik, APTT 21.2 detik, INR 1.07.
BUN / Ureum Post HD (21/04/2018) : BUN 22.40 mg/dl, Creatinin 0.47 mg/dl
Faal Hemostatik (21/04/2018) : PPT 14.1 detik, APTT 25.3 detik, INR 1.16.
BUN / Ureum (21/04/2018) : BUN 78.00 mg/dl, Creatinin 3.05 mg/dl.
AGD + Elektrolit (21/04/2018) : pH 7.33; pCO2 41.8 mmHg ; pO2 62.70 mmHg ; HCO3
21.70 mmol/L ; Beecf -4.20; SO2c 90.6%, TCO2 23.00 mmol/l, Na 141 mmol/l, K 3.55
mmol/l, Cl 82 mmol/l.
F: Nefrisol 200 ml tiap 4 jam, Aminofusin L 600 500 ml tiap 24 jam. Vip Albumin 2x1
sachet
A: Fentanyl 300 mcg tiap 24 jam titrasi
S: -
T: -
H: Head up 30-45°
U: -
G: -
Terapi lain:
Nebul Combivent-Bisolvon / 8 jam
Vitamin B complex 1 tab tiap 24 jam oral
Vit C 1 tab tiap 24 jam oral
KCl 50 meq dalam 24 jam
Vitamin K 10 mg tiap 8 jam
Pukul 12.00 telah dilakukan ekstubasi, post ekstubasi pola napas spontan dengan Face
Mask 6 lpm.
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Apabila dirangkum secara singkat, iskemia plasenta terjadi sebagai akibat invasi
tropoblas dangkal atau kegagalan invasi tropoblas yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan kekebalan tubuh atau imunitas, di mana sel T CD4 + pro-inflamasi
meningkat dan sel T regulator (Treg) menurun. Ketidakseimbangan ini menyebabkan
peradangan kronis yang ditandai oleh stres oksidatif, sitokin pro-inflamasi, dan
autoantibodi.4
Hasil konsepsi yang merupakan “benda asing” bagi tubuh ibu, dapat memicu
sistem imun maternal untuk bekerja lebih pada target, yaitu hasil konsepsi itu sendiri.
Secara logika, seharusnnya terjadi penolakan dari tubuh ibu terhadap janin yang
dikandungnya, namun pada kehamilan normal terjadi suatu mekanisme adaptasi yang
diperankan oleh “human leucocyte antigen–G“ (HLA). HLA berperan dalam modulasi
20
respon imun yang menyebabkan tropoblas tidak dapat dikenali oleh sistem imun ibu,
sehingga kehamilan dapat berlangsung dengan baik. Hipotesis pathogenesis HDK
selanjutnya adalah terdapat penurunan HLA yang berdampak pada terjadinya gangguan
homeostasis atau keseimbangan hemodinamik ibu saat hamil. Selain HLA, juga terdapat
hipotesis mengenai induksi sitokin pro-inflamasi. Studi Harmon et al (2016)
menunjukkan bahwa peningkatan sel T CD4 + dan penurunan Treg selama kehamilan
menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi, endotelin (ET-1), spesies oksigen reaktif
(ROS), dan autoantibodi agonis terhadap Angiotensin II (Ang II), reseptor tipe 1 (AT1-
AA).9 Semua faktor tersebut, secara bersama-sama memainkan peran penting dalam
meningkatkan tekanan darah selama kehamilan.
homosistein antara kehamilan pre eklampsia dan kehamilan normal, ternyata didapatkan
kadar homosistein pada pre eklampsia 9,7 umol/L lebih tinggi secara bermakna (p0,03)
dibandingkan dengan kadar homosistein pada pasien hamil normal yaitu 6,1 umol/L. Hal
ini menunjukkan bahwa ada peran asam folat dan homosistein pada pre eklampsia.5
Preeklampsia merupakan jenis HDK yang memiliki diagnosis khusus, yaitu terbagi
menjadi preeklampsia ringan (PER) dan berat (PEB). Kriteria diagnosis PER adalah
sebagai berikut:1
1. Hipertensi
Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg dan kurang dari 160/110
Kenaikan tekanan darah sistolik ≥ 30 mmHg
Kenaikan tekanan darah diastolik ≥ 15 mmHg
2. Proteinuria 0,3 g/L dalam 24 jam atau secara kualitatif sampai +2.
Diagnosis preeklampsia berat (PEB) ditegakkan bila didapatkan satu atau lebih gejala
sebagai berikut:
22
1. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah
ini tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat dan menjalani tirah baring.
2. Proteinuria lebih dari 5 g/L dalam 24 jam atau kualitatif +4.
3. Oligouria, yaitu jumlah produksi urine kurang dari 500 cc dalam 24 jam yang
disertai kenaikan kadar kreatinin darah.
4. Adanya keluhan subjektif berupa:
- Gangguan visus: mata berkunang-kunang
- Gangguan serebral: kepala pusing
- Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen
- Hiperefleksia
5. Adanya sindroma HELLP, yaitu kumpulan gejala yang mencakup hemolisis,
peningkatan enzim hepar, dan jumlah platelet rendah (low platelet count)
6. Sianosis.
Pada sebagian besar kasus preeklampsia, akan terdapat proteinuria onset baru.
Proteinuria didefinisikan sebagai ekskresi 300 mg atau lebih protein dalam 24 jam, atau
mencapai rasio protein/kreatinin minimal yaitu 0,3 mg/dl, yang merupakan ekuivalen dari
ekskresi protein 24 jam. Pembacaan protein pada dipstick +1 juga merupakan tanda dari
proteinuria, namun karena metode kualitatif tersebut memiliki banyak hasil positif dan
negatif palsu, maka pengukuran tersebut disarankan hanya digunakan apabila tidak
terdapat sarana diagnosis secara kuantitatif.
3.2 Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low Platelet Count (HELLP) Syndrome
HELLP Syndrome atau sindroma HELLP adalah kumpulan gejala yang mencakup
hemolisis, peningkatan enzim liver, dan jumlah platelet yang kurang dari batas bawah.
Bersama dengan preeklampsia, sindroma HELLP adalah penyebab morbiditas dan
mortalitas tertinggi pada ibu hamil di dunia. HELLP biasanya berkembang secara tiba-
tiba dalam kehamilan (Usia Kehamilan/UK 27-37 minggu) atau pada masa puerperium.10
Sebagai salah satu bentuk kriteria dari preeklampsia berat, HELLP memiliki onset yang
juga mengawali proses gangguan pada perkembangan dan fungsi plasenta, dan iskemia
yang memicu stress oksidatif, yang secara akumulatif akan mengganggu endothelium
melalui aktivasi platelet, vasokonstriktor, dan menyebabkan terganggunya kehamilan
23
Nyeri abdomen sering terjadi dan dapat ditemukan pada sekitar 50% pasien. Nyeri
perut biasanya ditemui di daerah kuadran kanan atas, epigastrik atau substernal dan sering
dikaitkan dengan kelainan laboratorium yang mendefinisikan sindrom HELLP. Nyeri
perut umumnya tidak ada pada gangguan lain yang unik pada kehamilan seperti kolestasis
dan hiperemesis, namun sering ditemukan di HELLP dan acute fatty liver of pregnancy
(AFLP) atau sindrom perlemakan hati akut pada kehamilan.9 Meskipun sindrom HELLP
mungkin memiliki gejala yang mirip dengan preeklamsia dan merupakan salah satu
kriteria yang dapat menentukan preeklamsia berat, sindrom ini dapat berkembang pada
wanita yang mungkin tidak memiliki tanda atau gejala preeklamsia lainnya. Preeklampsia
24
bukanlah prasyarat untuk sindrom HELLP dan hipertensi, jika ada, tidak harus parah.
Hipertensi berat didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥110 mmHg. Hemolisis, didefinisikan sebagai adanya anemia hemolitik
mikroangiopati, adalah ciri khas dari triad sindrom HELLP. Temuan klasik hemolisis
microangiopatik termasuk penurunan yang signifikan dalam kadar hemoglobin,
peningkatan serum bilirubin tidak langsung, kadar haptoglobin serum yang rendah,
peningkatan kadar laktat dehidrogenase (LDH) dan apus perifer abnormal (schistocytes,
sel duri, dan echinocytes). Ambiguitas yang sama ada pada penggunaan tes fungsi hati
yang abnormal untuk mendefinisikan sindrom HELLP. Tidak ada konsensus mengenai
tingkat peningkatan enzim hati yang digunakan untuk mendiagnosis sindrom HELLP
[10]. Jumlah trombosit yang rendah adalah kelainan lain yang diperlukan untuk membuat
diagnosis sindrom HELLP. Namun, tidak ada kriteria yang menentukan untuk jumlah
trombosit yang rendah. Diferensial diagnosis dari sindrom HELLP adalah sindrom respon
inflamasi sistemik (SIRS), disseminated intravascular coagulation (DIC),
thrombocytopenic purpura (TTP), sindrom uremik hemolitik (HUS) dan AFLP.
Dua sistem klasifikasi diagnostik utama saat ini digunakan untuk klasifikasi
sindrom HELLP (Tabel 1). Dalam sistem klasifikasi Tennessee, diagnosis sindrom
HELLP membutuhkan kehadiran ketiga komponen utama, sedangkan sindrom HELLP
parsial atau tidak lengkap hanya terdiri dari satu atau dua elemen dari triad. Kehadiran
hasil apusan darah perifer abnormal (misalnya, anemia mikroangioplastik dengan
schistocytosis), trombositopenia, dan peningkatan kadar AST, ALT, bilirubin, dan laktat
dehidrogenase (LDH) adalah penanda diagnostik. Sistem klasifikasi Mississippi telah
diusulkan untuk menilai tingkat keparahan proses patologis, dengan sindrom HELLP
kelas 1 memiliki prognosis yang lebih buruk dan tinggal di rumah sakit yang lebih lama
daripada kelas 2 atau kelas 3. Sistem klasifikasi ini didasarkan pada tingkatan
trombositopenia dan tingkat peningkatan kadar transaminase dan LDH, seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 1 Jumlah trombosit dan kadar LDH serum tidak hanya menjadi
cukup prediktif untuk mendeteksi keparahan penyakit tetapi juga untuk menunjukkan
kecepatan pemulihan.
25
Keterangan: PEB, preeklampsia berat; ELLP, peningkatan enzim liver dan jumlah platelet
rendah (tidak terdapat hemolisis); EL, peningkatan enzim liver; LP, jumlah platelet yang
rendah.
Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, terutama kelainan
koagulasi. Langkah selanjutnya adalah evaluasi kesejahteraan janin dan usia kehamilan.10
Akhirnya, keputusan harus dibuat mengenai apakah pengiriman segera diindikasikan atau
tidak. Terdapat konsensus yang pendapat bahwa persalinan yang cepat diindikasikan jika
sindrom berkembang setelah 34 minggu kehamilan atau lebih awal jika ada disfungsi
multi-organ, DIC, infark hepar atau perdarahan, gagal ginjal, dugaan abrupsi plasenta,
26
atau status janin yang tidak meyakinkan untuk bertahan. Ada ketidaksepakatan yang
signifikan mengenai manajemen wanita dengan sindrom HELLP sebelum 34 minggu
kehamilan, yaitu kematangan paru janin belum tercapai pada UK tersebut. Beberapa
penulis merekomendasikan memperpanjang kehamilan sampai 34 minggu kehamilan
atau sampai adanya perkembangan sebagai indikasi ibu atau janin untuk persalinan.
Meskipun tampaknya bahwa manajemen kehamilan mungkin bermanfaat, hasil perinatal
secara keseluruhan tampaknya tidak membaik bila dibandingkan dengan kasus usia
kehamilan yang sama yang dilahirkan dalam waktu 48 jam setelah diagnosis sindrom
HELLP.11
Gambaran pertama ARDS pada tahun 1967 menggambarkan sindrom klinis dispnea
berat, takipnea, sianosis refrakter terhadap terapi oksigen, hilangnya kepatuhan paru, dan
infiltrat alveolar difus pada radiografi toraks, namun tidak ada kriteria khusus yang
diartikulasikan. Setelah 1967, beberapa definisi diusulkan tetapi tidak ada yang diterima
secara luas sampai konferensi Konsensus Konferensi Amerika-Eropa (AECC) 1994
ditetapkan. AECC mendefinisikan ARDS sebagai onset akut hipoksemia dengan infiltrat
bilateral pada radiografi toraks frontal tanpa bukti klinis hipertensi atrium kiri (atau
tekanan baji arteri pulmonal 18 mm Hg ketika diukur).12 Derajat hipoksemia dinilai
dengan rasio tekanan parsial oksigen arteri yang dinormalkan ke fraksi oksigen inspirasi
(PaO2 / FIO2), untuk menjelaskan fakta bahwa PaO2 bervariasi dengan FIO2. Untuk
diagnosis ARDS, rasio PaO2 / FIO2 harus 200 mm Hg atau kurang. Diagnosis lainnya
yaitu cedera paru akut (acute lung injury/ALI) menggunakan kriteria serupa tetapi dengan
ambang hipoksemia yang kurang parah (yaitu, PaO2 / FIO2 300 mmHg). 12 Meskipun
penggunaan definisi tunggal yang luas membantu memajukan bidang dengan
memfasilitasi perbandingan di antara studi yang berbeda, sejumlah batasan definisi
AECC muncul, termasuk kurangnya kriteria eksplisit untuk waktu onset relatif terhadap
cedera atau penyakit yang dianggap menyebabkan ARDS, penggunaan rasio PaO2 / FIO2
untuk mendefinisikan ARDS tetapi tidak ada spesifikasi tentang bagaimana ini diukur
relatif terhadap penggunaan pengaturan ventilator tertentu. yang dapat mempengaruhi
pengukuran ini (misalnya, tekanan akhir ekspirasi positif yang lebih tinggi [PEEP] dapat
meningkatkan rasio PaO2 / FIO2), keandalan interobserver yang buruk dari kriteria
27
radiografi toraks, dan kesulitan dengan tidak termasuk kelebihan volume atau gagal
jantung kongestif sebagai penyebab utama kegagalan pernapasan.
Aspirasi asam lambung merupakan penyebab penting dari cedera paru akut pada
ibu hamil. Peningkatan risiko pada kehamilan terkait dengan peningkatan tekanan
intraabdomen yang disebabkan oleh uterus yang membesar, efek progesteron dalam
28
ARDS
3.3.1 DEFINISI
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah suatu kumpulan gejala dengan
bentuk kegagalan respirasi yang terjadi secara akut dan dapat terjadi pada semua
kelompok umur yang sering bersifat fatal, akibat berbagai macam gangguan yang
mempunyai bentuk perubahan yang sama tanpa adanya kelainan paru sebelumnya,
sehingga terjadi pertukaran gas di tingkat alveolar. Terjadi kerusakan parenkim paru
yang luas disertai dengan edema intertisial oleh berbagai sebab tanpa peningkatan
tekanan hidrostatik karena kelainan jantung.1,2,4 menurut American-European
Consensus Conference mendeskripsikan ARDS dengan adanya
3.3.2 SEJARAH
Semenjak perang Dunia I banyak didapatkan pasien-pasien dengan kelainan non
thorachic injury seperti pankreatis berat, masif transfusi, sepsis, dan keadaan tanpa
kelainan paru sebelumnya, mengalami disstres nafas, infiltrat paru luas yang terjadi
secara akut, yang saat itu belum diketahui penyebabnya.
29
Acute Respiratory Distress Syndrome pertama kali diperkenalkan pertama kali pada
tahun 1967 setelah Asbbaugh dan rekan-rekan mengamati adanya distress nafas yang
terjadi pada 12 penderita yang sebelumnya tidak mempunyai kelainan paru. gejala
distress nafas yang terjadi berupa takipneu, hipoksemia dan kehilangan compliance
paru yang terjadi secara akut.
Sebelum tahun 1992 istilah ARDS disebut dengan Adult Respiratory Distress
Syndrome,namun tahun 1994 The American-European Consensus Committee On ARDS
menetapkan kesepakatan baru dengan mengganti istilah Adult dengan Acute dengan
alasan bahwa penyakit ini bisa mengenai semua kelompok umur.6
3.3.3 EPIDEMIOLOGI
insiden ARDS di Inggris disebutkan 4,5/100.000 populasi pertahun, data ini didapatkan
dari data survey restrospektif tahun 1988. Di Amerika Serikat insiden ARDS 150.000
kasus pertahun dengan perkiraan kasus 75/100.000 populasi.6 The Annual incidence
ARDS menyebutkan 1,5-13,5 orang/100.000 populasi secara umum. Insiden ARDS pada
pasien yang menggunakan mesin ventilator dan pasien yang dirawat di ruangan intensif
jauh lebih besar. Brun-Buisson dan kawan-kawan (2004) melaporkan prevalensi Acute
Lung Injury (ALI) 16% pada pasien yang yang menggunakan mesin ventilator lebih dari 4
jam. Lebih dari setengahnya akan berkembang kearah ARDS. Meningkatnya tekanan
intra abdominal oleh berbagai sebab juga menjadi faktor yang meningkatkan kejadian
ARDS terutama pada pasien terventilasi.
Tingkat mortalitas ARDS bervariasi antara 30%-80%. Pada penelitian-penelitian
randomized control trial memperlihatkan angka mortalitas yang lebih rendah pada
kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Penelitian observasional menyebutkan
angka kematian berkisar antara 50%-60%.
konsentrasi inspirasi oksigen sangat diperlukan pada fase ini dan dapat menyebabkan
respiratory burst pada sel-sel imun.
Pada fase kedua, disfungsi endotel menyebabkan sel-sel radang dan eksudat masuk
kedalam alveoli. Terjadinya edema pulmonum menyebabkan menjauhnya jarak alveoli
– kapiler. Menyebabkan jarak oksigen ke kapiler menjauh sehingga makin sedikit
oksigen yang dapat didistribusikan kedalam kapiler. Terjadinya gangguan pertukaran gas
ini akan menyebabkan keadaan hipoksia, meningkatkan kerja otot nafas (work of
breathing) juga pada akhirnya menyebabkan terjadinya fibrosis.
Adanya edema paru dan berkurangnya jumlah surfaktan menyebabkan terjadinya kolap
alveoli atau edema berat. Gangguan pertukaran gas ini lebih lanjut akan menyebabkan
terjadinya shunting kanan ke kiri ARDS. Alveoli kolap, aliran darah kapiler hanya akan
shunting saja (tanpa mengalami perfusi) akan menyebabbkan terjadinya shunting paru
massif.
Setelah terjadinya inflamasi maka dalam waktu 2-3 hari sel-sel endotel akan
berfloriperasi , jaringan kolagen mulai terbentuk menghasilkan jaringan fibrosis
intertisial dan akan bertambah berat dalam 2-3 minggu. Dengan mikroskop cahaya
dapat dilihat adanya lapisan protein yang membentuk membrane hialin yang melapisi
alveoli. Gambaran patologis ini mirip dengan sindrom distress nafas pada bayi.
Perubahan-peerubahan patologis ini mengakibatkan perubahan komplian paru,
penurunan fungsional residual capacity, terjadinya mismatch ventilasi/perfusi,
peningkatan dead space fisiologis, hipoksemia berat dan hipertensi pulmoner.
1. Fase Pertama
Terjadinya inflamasi dan kerusakan mitokondria dari sel-sel endotel,
menyebabkan terlepasnya sel-sel tersebut sehingga ruang interseluler
membesar secara progresif.
2. Fase Kedua
Terjadinya edema intertisial, cairan keluar dari kapiler pembuluh darah ke dalam
intertisial melalui defek antara sel endotel kapiler paru, sehingga paru menjadi
kaku dan sukar diventilasi, berkurangnya difusi oksigen menyebabkan
pembengkakan mukosa bronkiolus yang selanjutnya cenderung menjadi
atelektasis.
3. Fase Ketiga
Mulai terlihatnya gangguan nafas secara nyata akibat atelektasis kongestif.
kapiler paru terisi cairan dan sel darh merah dan didapatkan mikroatelektasis
difus berat pada seluruh lapangan paru. Kerusakan sel endotel semakin berat
sehingga menyebabkan perdarahan peribronkial.
4. Fase Keempat
Kerusakan berlanjut ke sel – sel alveoli sehingga cairan masuk kedalam alveoli.
Protein terutama fibrinogen menginaktifkan surfaktan, menyebabkan makin
parahnya atelektasis.Bila penderita bisa betahan lebih lama protein dan debris
ini akan mengendap dalam alveoli membentuk membrane seperti hialin
menyebabkan kerusakan permanen. Adanya pengendapan protein dan debris ini
merupakan media yang baik bagi tempat tumbuhnya kuman, maka kemungkinan
pneumonitis sangat besar.
Dalam kepustakaan lain dijelaskan ada 3 fase pathogenesis ARDS
1. Fase Eksudatif
Terjadinya kerusakan epitel alveolar dan endotel kapiler akan menyebabkan
kebocoran air, protein dan eritrosit masuk ke jaringan dan lumen alveolar.
Keadaan ini diprovokasi oleh suatu keadaan antara komplek mediator
34
proimflamasi (TNF dan IL-1,6 dan 8) dan mediator anti imflamasi (IL-10).
Disamping itu ada juga mediator-mediator lain yang berperan dalam penyebaran
respon imflamasi sistemik, antara lain: platelet activating factor (PAF), interferon
(IFN), IL-4, macrofag inhibitory factor, protein-protein high mobility group
(HMG), transforming growth factor (TGF)-β, metabolit-metabolit asam
arakidonat, reactive oxygen species, nitric oxide, dan cell adhesion molecules.
2. Fase Proliferatif
Sel-sel endotel dan sel-sel penyokong paru lainnya mulai mengalami proliferasi
dan sel-sel fibroblast mulai aktif. Terjadi pemadatan sel-sel paru, sehingga istilah
stiff lung atau shock lung cocok untuk fase ini. Kerusakan paru akan semakin jelas
dalam dua sampai empat minggu. Saat ini sangat sering terjadi barotraumas dan
volutrauma pada saat penggunaan ventilator. Selain itu pneumonia, sepsis dan
kerusakan organ multiple juga bisa terjadi pada fase ini.Fse ini berlangsung
antara 3-10 minggu dan merupakan fase kritis yang menentukan hidup mati
pasien yang mengalami ARDS.
3. Fase Fibrotik (Pemulihan)
Paru-paru mengalami perbaikan dan pemulihan. Terjadi resolusi imflamasi dan
resolusi debris-debris sel. Fungsi paru dapat membaik dalam waktu 6-12 minggu
tergantung dari beratnya trauma awal.
Temuan secara histologi paru pasien ARDS adalah alveoli mengalami inflamasi,
penebalan dan pelebaran dinding alveoli dan mengalami kebocoran (warna merah
muda) dan terjadi kongesti dan penurunan volume alveolar.
Dalam menegakkan diagnosis ARDS juga perlu diperhatikan edema paru yang terjadi
harus dibedakan antara edema karena kardigenik dan non kardiogenik.5,9
kardiogenik Non kardiogenik
Infiltrate timbul awalnya pada bagian basal Infiltrate homogen
paru
Adanya efusi pleura Tidak ada efusi pleura
Gambaran foto thorak lebih sesuai dengan Gambaran foto thorak tidak menunjukkan
derajat hipoksemia derajat hipoksemia
Alveoli dipenuhi oleh cairan Alveoli terisi olehprotein, sel-sel radang dan
cairan
37
Non-Cardiogenic
PENATALAKSANAAN ARDS
Sasaran utama pengelolaan penderita ARDS adalah mengembangkan alveoli secara
optimal untuk mempertahanakan perfusi dan ventilasi yang adekuat, keseimbangan
cairan, suasana asam-basa, mempertahankan integritas membran kapiler serta
mengatasi faktor-faktor pencetus dan pemberian terapi penunjang.1,2,3,7,8
pressure atau P-peak < 30 CmH2O akan menurunkan angka mortalitas sebesar 9%
(dibandingkan dengan volume tidal 12 ml/KgBB). 1,3,4,6,8
Terdapat bukti bahwa P-peak (tekanan puncak inspirasi) bila terlalu tinggi akan
menyebabkan kerusakan endotel menambah edema paru . Pertimbangan inilah yang
menyebabkan perubahan penataalaksanaan ventilasi mekanik kea rah modus pressure
control dengan inverse ratio ventilation (PC-IRV). Pada modus ini terdap pembatas P-
peak sehingga volume tidal yang dicapai juga kecil. Sehingga untuk mencapai tujuan
ventilasi mekanik pada ADRS dibutuhkan PEEP dan pembalikan rasio inspirasi:ekspirasi.
PEEP dapat membantu pemulihan alveoli yang kolap dan memperrtahankannya agar
tetap terbuka dan mengemblikan sebagian FRC yang menurun sehingga diharapkan
dapat meningkatan perfusi O2 paru. PEEP yang dipergunakan antar 5-10 CmH2O. PEEP
yang lebih tinggi kadang dianjurkan tetapi hasil yang lebih baik tidak selalu didapatkan
bahkan dapat meninbulkan komplikasi komplikasi berupa barotrauma dan penurunan
curah jantung.
Konsentrasi oksigen yang tinggi sangat toksik untuk paru yang mengalami trauma. level
oksigen yang dianjurkan sekitar 60%. Pemberian PEEP dapat mengurangi kebutuhan
FiO2 yang tinggi, FiO2 diupayakan dipertahankan <50-70%, walaupun pada hipoksemia
berat PEEP dengan konsentrasi O2 100% kadang diperlukan. Pada modus inverse ratio
akan menjadikan fase ekspirasi lebih pendek sehingga dada tetap terinflasi parsial pada
setiap mulainya fase inspirasi berikutnya. Hal ini menyebabkan fenomena air trapping,
sehingga tekanan akhir ekspirasi akan melebihi PEEP yang disetting. Tekanan ini disebut
dengan intrinsic PEEP (PEEP-i) dan selisih bila dikurangi PEEP yang disetting disebut
AUTO PEEP (yang bisa ditolerir adalah 2-5 CmH2O. Jadi P peak disini berfungsi sebagai
indikator untuk mencegah terjadinya barotraumas. P peak yang diduga dapat
meninbulkan barotrauma bervariasi antara 35-45 CmH2O, sehingga pada saat mengatur
ventilator perlu diatur batas atas P peak <35 CmH2O. Konsekuensi lainnya adalah
menyebabkan tingkat ventilasi yang rendah sehingga sering menyebabkan perburukan
pertukaran gas CO2. Dalam batas-batas tertentu penambahan laju ventilator dapat
mengatasi masalah ini tetapi bila P peak terus meningkat sampai hampir mencapai batas
atas maka lebih dipilih membiarkan PaCO2 yang meningkat. Dalam hal ini kombinasi
40
PC-IRV dengan permissive hypercapnia (PH) menjadi pilihan. Konsep PH ini juga
merupakan cara untuk menurunkan beban kerja ventilasi yang cukup besar, sebab
tenaga ventilasi dan juga tekanan transpulmoner berbanding lurus dengan kuadrat
volume semenitnya. PaCO2 dibiarkan meningkat secara gradual, untuk memberikan
kesempatan proses kompensasi pada ginjal untuk meretensi bikarbonat atau dapat juga
diberikan infuse buffer. Peningkatan tersebut kadang sampai 70 mmHg, asalkan
PaCO2<80mmHg atau pH>7,15 efek patologis yang tidak diinginkan umumnya masih
reversible. Jika PaCO2 sampai 120 mmHg atau lebih maka asidosis yang terjadi biasanya
tidak bisa dikoreksi lagi.Konsep ini dikontraindikasikan pada pasien dengan peningkatan
tekanan intrakranial, tumor otak dan pada pasien dengan gagal ginjal.
Menurut The American-European Consensus onfrence on ARDS adalah:
1. Tujuan manajemen ventilasi mekanik adalah tercapainya oksigen delivery pada
organ-organ vital dan penyesuaian pengeluaran karbon dioksida untuk
mempertahankan keadaan homeostasis.
2. Minimalkan terjadinya oksigen toxicity. Gunakan FiO2 serendah mungkin (<60%)
untuk mencapai tujuan ventilasi mekanik dengan mengoptimalkan faktor-faktor
lainnya.
3. Alveoli dipertahankan tetap mengembang(terbuka) dengan menggunakan PEEP.
Total PEEP 10-15 CmH2O.
4. Meminimalkan high airway pressure. Dengan menggunakan tehnik Permisive
Hypercapnia (PH), Pressure controlled ventilation dan pressure limited, volume
cycled ventilation. Tekanan di dalam transalveolar tidak boleh melebihi 25-30
CmH2O, tergantung komplian paru dan dinding dada.
5. Cegah terjadinya atelektasis. Bisa menggunakan tidal volume yang besar secara
periodik. Tekanan saluran nafas yang tinggi dengan durasi inspirasi yang lebih
panjang dapat mencegah terjadinya atelektasis bila menggunakan tidal volume
yang kecil atau PEEP yang rendah.
6. Gunakan sedasi dan obat pelumpuh otot jika diperlukan, untuk meminilkan
oksigen demand terutama pada penggunan PC-IRV.
3.3.3.2 FARMAKOTHERAPI
41
3.4 Pneumonia
Pneumonia adalah penyebab utama kematian di dunia dan penyebab kematian paling
umum keenam di Amerika Serikat. Ini adalah penyebab kematian nomor satu akibat
penyakit menular di Amerika Serikat. Setiap tahun, di Amerika Serikat, ada 5-10 juta
kasus Community Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas yang
menyebabkan sebanyak 1,1 juta pasien harus dirawat inap dan 45.000 diantaranya
mengalami kematian. Di Eropa, keseluruhan insiden infeksi saluran pernapasan bawah
(LRTI) ditemukan 44 kasus per 1.000 populasi per tahun dalam satu praktek umum.
Namun, insiden tersebut dua sampai empat kali lebih tinggi pada orang berusia di atas 60
tahun dibandingkan pada mereka yang berusia 50 tahun.14 Angka kematian di kedua
benua kurang dari 1% untuk orang dengan CAP yang tidak memerlukan rawat inap,
namun, tingkat mortalitas rata-rata berada pada jangkauan 12% hingga 14% di antara
pasien rawat inap dengan CAP. Di antara pasien yang dirawat di unit perawatan intensif
(ICU), yang mengalami bakteremia atau yang dirawat dari panti jompo, tingkat mortalitas
rata-rata dari 30% hingga 40%.
Pasien dengan penyakit lain seperti PPOK, Diabetes Melltus (DM), gagal ginjal, gagal
jantung kongestif, penyakit arteri koroner, keganasan, penyakit neurologis kronis dan
penyakit hati kronis telah meningkatkan insidensi CAP. Pasien dengan CAP dan
komorbiditas tertentu mengalami peningkatan mortalitas. Faktor risiko ini termasuk
diabetes mellitus, penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, imunosupresi,
penyakit neurologis, keganasan aktif, konsumsi alkohol, peningkatan usia, bakteremia,
leukopenia, hipotensi, perubahan status mental, takipnea, hipoksemia, pneumonia
aspirasi, dan infeksi karena organisme gram negatif.
Skor untuk menilai tingkat keparahan penyakit, seperti kriteria CURB-65 (penurunan
kesadaran, uremia, laju pernapasan, tekanan darah rendah, usia 65 tahun atau lebih), atau
model prognostik, seperti Pneumonia Severity Index (PSI), dapat digunakan untuk
mengidentifikasi pasien dengan pneumonia komunitas yang mungkin menjadi kandidat
untuk pengobatan rawat jalan. Perawatan ruang terapi intensif (RTI) diperlukan untuk
pasien dengan syok septik yang membutuhkan vasopressor atau dengan kegagalan
pernafasan akut yang membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanis.14 Selain 2 kriteria
utama (kebutuhan untuk ventilasi mekanis dan syok septik), seperangkat kriteria minor
yang diperluas (laju pernapasan, 130 napas per menit; tekanan oksigen arteri/fraksi
oksigen inspirasi (PaO2 / FiO2), infiltrat multi-lobar, penurunan kesadaran atau bingung,
kadar nitrogen urea darah, 120 mg/dL, leukopenia akibat infeksi; trombositopenia;
hipotermia; atau hipotensi yang memerlukan resusitasi cairan agresif) diusulkan untuk
dimonitor. Terdapatnya minimal 3 dari kriteria tersebut menunjukkan perlunya perawatan
RTI, namun tetap memerlukan validasi prospektif.
49
BAB IV
DISKUSI KASUS
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
23. Dixon J.M,Gunning KEJ,The Incidence of ARDS Interim Result Of The East
Anglian ARDS Registry, from 20th International Symposium on Intensive Care
and Emergency MedicineBrussels, Belgium. 21–24 March 2000Critical Care
2000, 4(Suppl 1):P130
25. Marino.P.I,The ICU Book 3rd Ed. Lippincot Williams and Wilkins,
Philadelphia,pp.419-35
26. Holly Stark,Acutte Respiratory Distress Syndrome, march 2007.