Anda di halaman 1dari 15

Chapter 8:

Menerapkan Teori Difusi:


Adopsi Program Literasi Media di Sekolah
Oleh:
Rosidah1, Umi Rochayati2 , Ridwan Daud Mahande3
1,2,3)
Mahasiswa S3 PTK PPs UNY

Dalam artikel “Diffusion Theory and Instructional Technology”, Surry


dan Farquhar (1997) menjelaskan bahwa disiplin ilmu mulai dari pertanian
hingga pemasaran telah menggunakan teori difusi untuk meningkatkan adopsi
produk inovatif. Diskusi berfokus pada bagaimana teknologi instruksional
menggunakan teori difusi inovasi dengan harapan untuk meningkatkan
pelaksanaan dan pemanfaatan hasil pembelajaran yang inovatif dan praktis.
Penerapan teori difusi teknologi instruksional berguna untuk meneliti bagaimana
para pendukung literasi media dapat menerapkan teori difusi inovasi untuk
meningkatkan adopsi program literasi media di sekolah-sekolah. Artikel dari
Surry dan Farquhar (1997) membahas tentang bagaimana teori difusi dapat
diterapkan pada program literasi media.
A. Teori Difusi Inovasi
Sebelum menguraikan teori difusi pada teknologi instruksional, penting
untuk memahami prinsip-prinsip teori difusi secara umum. Everett M. Rogers
(1995) adalah orang yang paling terkenal di bidang penelitian difusi. Bukunya,
Difusi Inovasi (4 th ed.), paling sering dikutip. Rogers menunjukkan, difusi
bukanlah satu, namun mencakup semua teori. Ini adalah beberapa perspektif
teoritis yang berhubungan dengan konsep keseluruhan difusi yaitu meta-teori.
Difusi adalah proses dimana suatu inovasi diadopsi oleh anggota dari komunitas
tertentu. Ada empat faktor yang mempengaruhi adopsi suatu inovasi menurut
Rogers, (1995), yaitu: (1) inovasi itu sendiri, (2) saluran komunikasi yang
digunakan untuk menyebarkan informasi tentang inovasi, (3) waktu, dan (4) sifat
masyarakat kepada siapa itu diperkenalkan.
Rogers (1995) menjelaskan bahwa ada empat teori utama yang
berhubungan dengan difusi inovasi, yaitu : teori proses keputusan inovasi, teori
inovasi individu, teori tingkat adopsi, dan teori atribut yang dirasakan.

1
1. Teori Proses Keputusan Inovasi
Teori proses keputusan inovasi berbasis pada waktu dan lima tahap yang
berbeda, yaitu: (1) pengetahuan, potensi pengadopsi harus terlebih dahulu belajar
tentang inovasi, (2) persuasi, mereka harus dibujuk tentang manfaat dari inovasi.
(3) keputusan, mereka harus memutuskan untuk mengadopsi inovasi. (4)
implementasi, setelah mereka mengadopsi inovasi, mereka harus menerapkannya.
(5) konfirmasi, mereka harus mengkonfirmasi bahwa keputusan mereka untuk
mengadopsi adalah keputusan yang tepat. Setelah tahap ini tercapai, maka
diperoleh hasil difusi (Rogers, 1995).
2. Teori Inovasi Individu
Teori inovasi individu didasarkan pada siapa pengadopsi inovasi dan
kapan. Kurva berbentuk lonceng sering digunakan untuk menggambarkan
persentase individu yang mengadopsi suatu inovasi. Kategori (1) inovator (2,5%).
Ini adalah pengambil resiko dan pelopor, (2) pengadopsi awal (13,5%) yaitu
pengguna awal dan membantu menyebarkan berita tentang inovasi kepada orang
lain, (3) mayoritas awal (34%) mencari informasi/kompromi tentang kelayakan
dan manfaat inovasi dan (4) mayoritas akhir (34%) melalui pertimbangan fungsi
inovasi, (5) mayoritas terlambat (16%) ini adalah individu yang sangat skeptis dan
menolak mengadopsi sampai benar-benar diperlukan. Dalam banyak kasus,
mereka tidak pernah mengadopsi inovasi (Rogers, 1995).
3. Teori Tingkat Adopsi
Teori tingkat adopsi menunjukkan bahwa adopsi inovasi yang terbaik
diwakili oleh s-kurva. Teori ini menyatakan bahwa adopsi suatu inovasi tumbuh
perlahan dan bertahap di awal. Kemudian akan memiliki periode pertumbuhan
cepat yang akan berangsur-angsur berkurang (taper off) dan menjadi stabil dan
akhirnya menurun (Rogers, 1995).
4. Teori Atribut Persepsi
Teori atribut didasarkan pada gagasan bahwa individu akan mengadopsi
suatu inovasi jika mereka menganggap bahwa inovasi tersebut memiliki atribut
sebagai berikut; (1) inovasi harus memiliki beberapa keuntungan relatif lebih dari
inovasi yang ada atau status quo, (2) inovasi harus kompatibel dengan nilai-nilai

2
dan praktik-praktik yang ada, (3) inovasi tidak bisa terlalu rumit (user friendly),
(4) inovasi harus memiliki kemampuan percobaan (trialability) yang berarti
inovasi dapat diuji untuk waktu yang terbatas tanpa adopsi, (5) inovasi harus
menawarkan hasil yang dapat diamati (Rogers, 1995).
B. Teori Difusi dan Teknologi Instruksional
Surry dan Farquhar (1997) menunjukkan bahwa teknologi pembelajaran
harus mempelajari teori difusi dengan tiga alasan, yaitu:
1. Kurangnya pemahaman inovasi dan adopsi dalam teknologi pembelajaran.
Beberapa menyalahkan guru dan resistensi terhadap perubahan, sementara
yang lain menyalahkan birokrasi dan kurangnya pendanaan. Dengan
mempelajari teori difusi teknologi pembelajaran mungkin dapat menjelaskan,
memprediksi dan sebab untuk faktor-faktor yang mempengaruhi atau
menghambat adopsi dan difusi inovasi.
2. Teknologi pembelajaran tidak dapat dipisahkan dengan inovasi. Materi
pembelajaran diproduksi sebagai hasil dari kemajuan teknologi inovasi
tersebut. Bahan-bahan ini perlu diperkenalkan dan menyebar ke dalam sistem
pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan potensi adopsi untuk memahami
cara terbaik untuk menyajikan inovasi.
3. Teknologi pembelajaran mungkin dapat mengembangkan model sistematis
adopsi dan difusi. Model ini telah berguna dalam pengembangan
instruksional. Oleh karena itu, tampaknya bijaksana untuk mengeksplorasi
faktor-faktor yang mempengaruhi difusi untuk membangun model difusi yang
efektif, (Surry & Farquhar, 1997).
Surry dan Farquhar (1997) menjelaskan bahwa teori pengembangan
instruksional, seperti teori di hampir semua disiplin ilmu, penelitian pendekatan
difusi dari tingkat makro atau tingkat mikro.
a) Pendekatan tingkat makro
Surry dan Farquhar mengambil pendekatan tingkat makro perubahan sistemik.
Filosofi yang mendasari dalam perubahan sistemik adalah keinginan untuk
reformasi pendidikan lengkap (perubahan sekolah). Perubahan sistemik adalah
tentang perubahan organisasi dan struktural. Ini tidak berurusan dengan

3
perubahan bagian-bagian individu tetapi berkaitan dengan pembenahan
seluruh institusi. Sebuah contoh pendekatan tingkat makro untuk reformasi
pendidikan.
b) Pendekatan tingkat mikro
Pemanfaatan produk adalah pendekatan tingkat mikro untuk pengembangan
instruksional. Perhatian dalam pemanfaatan produk untuk satu set tertentu dari
pengadopsi potensial. Perubahan ini tidak dimaksudkan untuk seluruh struktur
pendidikan tetapi memang ditujukan untuk berbagai bagian dalam struktur
yang akan memperoleh keuntungan dari inovasi (Surry & Farquhar, 1997).
Proses pengembangan instruksional yang berorientasi pengguna merupakan
contoh dari pendekatan pemanfaatan produk, (Burkman, 1987).
Sehubungan dengan pendekatan makro dan pendekatan mikro di atas,
Surry dan Farquhar (1997) menyatakan perubahan sistemik (makro) dan
pemanfaatan produk (mikro) ke dalam dua sub-kategori yaitu determinisme dan
instrumentalism. Determinis dan instrumentalis berbeda atas dasar otonomi dan
kontinuitas. Kategori ini banyak memandu pengembang/adopter instruksional.
Adapun kategori sebagai berikut:
(1) Determinisme (berbasis pengembang)
Determinis percaya bahwa perubahan adalah di luar kendali manusia. Mereka
berpendapat bahwa perubahan dalam masyarakat adalah hasil dari sistem
teknologi yang lebih tinggi dan produk menggantikan sistem rendah dan
produk. Mereka juga percaya bahwa perubahan itu bukan proses evolusi yang
lambat. Mereka berpikir itu adalah proses terputus ditandai dengan revolusi
yang bergerak masyarakat maju dengan pesat (Surry & Farquhar, 1997).
Determinis dibagi pada pandangan mereka tentang moralitas teknologi.
Beberapa menyarankan bahwa teknologi adalah positif dan menggembirakan.
Mereka percaya bahwa teknologi pada akhirnya akan menyembuhkan semua
penyakit manusia namun juga berpikir teknologi yang akan over lead time
pada kehancuran moral, intelektual dan fisik manusia. Teori berbasis
Pengembang melihat pengembangan produk dan produsen sebagai penyebab
utama perubahan. Fokusnya adalah pada gagasan bahwa apa pun teknologi

4
yang lebih tinggi pada akhirnya akan mengambil alih apa yang berteknologi
rendah. Teori berbasis pengembang terbatas karena mereka tidak menyadari
bahwa teknologi yang lebih tinggi bukan berarti lebih baik atau lebih efektif
bagi pengguna (Surry & Farquhar, 1997).
(2) Instrumentalism (berbasis adopter).
Teori adopter berbasis mengenali dan dipandu oleh fakta bahwa pengguna
akhir adalah elemen yang paling penting bagi perubahan (Surry & Farquhar,
1997). Burkman (1987) proses pengembangan instruksional yang berorientasi
pengguna terfokus pada adopter tersebut. Proses ini memiliki lima langkah:
(1) mengidentifikasi adopter, (2) mengukur persepsi adopter terhadap inovasi,
(3) mengembangkan produk yang user-friendly, (4) menginformasikan
adopter tentang inovasi, dan (5) memberikan dukungan pengguna. Proses
Burkman (1987), berisi pentingnya pengguna karena pengguna sentral dalam
setiap langkah. Selain itu, instrumentalis di sisi lain, melihat teknologi
sebagai alat yang berada di bawah kendali manusia. Mereka percaya bahwa
difusi inovasi teknologi pendidikan akan selalu menjadi proses evolusi yang
lambat, bukan lompatan revolusioner. Selain itu, pengguna produk harus
menjadi fokus dari inovasi dari tahap awal pengembangan untuk difusi
inovasi. Surry dan Farquhar (1997) mengingatkan bahwa jika seseorang
mengadopsi pandangan instrumentalis, seseorang harus tidak sepenuhnya
membuang filosofi deterministik. Keunggulan teknologi tidak boleh
dikorbankan karena fokusnya adalah pada pengguna akhir. Hal ini diperlukan
untuk terus mengembangkan produk-produk dan sistem yang unggul. Namun,
adopsi dan implementasi produk dan sistem seperti ini akan menjadi akibat
langsung dari bagaimana terpisahkan bagian dari proses pengguna akhir
(Surry & Farquhar, 1997).
Pemahaman tentang Rogers '(1995) teori difusi dan Surry dan Farquhar
(1997) penerapan teori difusi untuk pengembangan instruksional akan membantu
bagaimana media literacy telah mengikuti model teori difusi.

5
C. Media Literacy sebagai Inovasi Teknologi
Rogers (1995) mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inovasi
dikomunikasikan melalui saluran tertentu dari waktu ke waktu di antara para
anggota suatu sistem sosial. Dia menggambarkan sebuah inovasi sebagai ide baru,
praktek, atau objek dianggap baru untuk individu (Rogers, 1995). Dia
menjelaskan bahwa Teknologi adalah desain untuk tindakan instrumental yang
mengurangi ketidakpastian dalam hubungan sebab-akibat yang terlibat dalam
mencapai hasil yang diinginkan, (Rogers, 1995, hal. 35). Dia menjelaskan bahwa
teknologi adalah informasi, bukan hanya peralatan. Kebanyakan teknologi
memiliki komponen hardware dan software. Aspek hardware terdiri dari "alat
yang mewujudkan teknologi sebagai obyek material atau fisik," dan aspek
software terdiri dari "basis informasi untuk alat" (Rogers, 1995, hal. 14).
Berdasarkan definisi Rogers, literasi media adalah inovasi teknologi
karena dianggap menjadi ide baru oleh pengadopsi potensial. Konsep literasi
media telah berkembang selama beberapa tahun, tetapi sedang "dipasarkan"
sebagai ide baru dalam bentuk yang sekarang. Pendidik, kelompok peminat, dan
orang tua telah menyadari kebutuhan untuk meningkatkan literasi media di
kalangan anak muda. Oleh karena itu, gagasan media literacy sedang disajikan
sebagai ide baru dan segar untuk pengadopsi potensial. Contoh menggunakan
media dalam pembelajaran hal ini berhubungan karena literasi media juga
merupakan inovasi teknologi karena memiliki komponen hardware dan software.
Komponen perangkat keras termasuk media yang digunakan oleh individu untuk
menerima pesan (misalnya, koran, majalah, radio, televisi, film, dan komputer).
Komponen perangkat lunak termasuk segudang sumber daya (misalnya, buku,
video, CD-ROM, kegiatan pembelajaran, dll) yang digunakan untuk media
pendidikan.
D. Menerapkan Teori Difusi Literasi Media
Literasi Media merupakan inovasi teknologi yang berguna untuk
menerapkan prinsip-prinsip teori difusi untuk lebih memahami difusi literasi
media ke dalam sistem sosial. Hal ini dilakukan karena beberapa alasan, sebagai
berikut:

6
1. Teori difusi menyediakan kerangka kerja yang membantu pendukung literasi
media memahami mengapa literasi media diadopsi oleh beberapa individu dan
bukan oleh orang lain. Seperti teknologi pembelajaran, pendukung literasi
media dapat menggunakan teori difusi untuk menjelaskan, memprediksi dan
memperhitungkan faktor-faktor yang meningkatkan atau menghambat difusi
inovasi. Teori difusi membantu masyarakat literasi media mengidentifikasi
kualitas (misalnya, keuntungan relatif, kompatibilitas, dll) yang akan membuat
inovasi media literacy lebih menarik bagi pengadopsi potensial.
2. Teknologi media yang terus berubah dan memperkenalkan hardware dan
software baru. Oleh karena itu, sangat penting untuk memiliki pemahaman
yang solid tentang bagaimana memperkenalkan ide-ide baru ke dalam sistem
sosial. Teori difusi membantu pemahaman tersebut lebih lanjut.
3. Penelitian difusi menyediakan beberapa model yang sukses yang dapat
digunakan untuk mengembangkan kampanye difusi sukses untuk literasi
media.
Seperti disebutkan sebelumnya, empat faktor yang mempengaruhi adopsi
suatu inovasi, yaitu: (1) inovasi itu sendiri, (2) saluran komunikasi yang
digunakan untuk menyebarkan informasi tentang inovasi, (3) waktu, dan (4) sifat
masyarakat kepada siapa itu diperkenalkan (Rogers , 1995). Sebuah persepsi lebih
dekat pada literasi media sebagai suatu inovasi, diuraikan sebagai berikut:
a) Inovasi Sendiri: Media Literasi
Teori atribut yang dirasakan menunjukkan bahwa sebuah inovasi dengan
lima atribut berikut akan lebih mungkin diadopsi oleh individu. Kelima atribut,
(Rogers, 1995), yaitu:
(1) Keuntungan relatif literasi media,
Keuntungan relatif dari pelatihan literasi media : peningkatan kemampuan
siswa untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menghasilkan pesan
media. Siswa terus-menerus dibanjiri dengan rentetan pesan media setiap hari.
Terlalu sering mereka tidak tahu bagaimana membedakan pesan secara akurat
satu media dari yang lain. Media pelatihan litersi memberikan siswa cara
melihat, berpikir kritis dan memberikan keterampilan yang membantu mereka

7
mendeteksi bias pesan dan teknik persuasi serta mengenali nilai-nilai sosial
dan budaya yang sedang dikomunikasikan dalam pesan media. Selanjutnya,
media pelatihan literasi mengajarkan siswa bagaimana pesan media yang
dibangun dan diproduksi. Melalui pelatihan siswa menjadi sadar bagaimana
pesan media dibuat, kemampuan mengevaluasi dan menganalisis mereka
meningkat. Sebuah tugas yang mungkin bagi siswa mungkin untuk
menghasilkan iklan televisi. Tujuan dari tugas akan mencakup siswa (a)
memperoleh pemahaman yang lebih baik dari proses produksi dan
pembangunan pesan media, (b) belajar untuk mengoperasikan kamera video
dan peralatan editing, (c) mengevaluasi dampak potensi komersial mereka
pada audiens mereka, dan (d) belajar untuk bekerja sama.
(2) Kompatibilitas literasi media,
Selain keuntungan relatif dari pelatihan media literasi, pengadopsi potensial
perlu tahu bagaimana pelatihan tersebut kompatibel dengan nilai-nilai yang
ada dan praktek (Rogers, 1995). Ironisnya, sekolah telah mengajar bentuk
melek media selama bertahun-tahun. Pelatihan media literacy mengajarkan
contoh, sebuah film klasik seperti Orson Welles '"Citizen Cane" dapat
digunakan untuk mengajarkan konsep-konsep sastra tradisional. Sebagai
bagian dari analisis mendalam, siswa bisa menulis sebuah makalah yang
berfokus pada tema-tema kontrol dan kekuasaan dalam film. Selain itu, sebuah
esai yang menjelaskan makna metaforis kereta luncur, "Rosebud," akan
merangsang pemikiran dan instruktif. Jelaslah bahwa konsep yang sama yang
diajarkan, tetapi perubahan utama adalah medium. Ada unsur-unsur tambahan,
seperti pencahayaan, suara, dan sinematografi, yang merupakan bagian dari
proses bercerita dalam film, namun konsep sastra tetap. Oleh karena itu, guru
tidak perlu mengubah ide-ide mendasar dalam kelas mereka untuk
memasukkan media pelatihan keaksaraan. Mereka hanya harus menyertakan
media yang berbeda. Oleh karena itu, guru diwajibkan oleh negara untuk
memasukkan pelatihan literasi media dalam kelas mereka.

8
(3) Kompleksitas literasi media,
Potensi pengadopsi tidak harus melihat pelatihan media literacy sebagai
kegiatan yang kompleks (Rogers, 1995). Seperti disebutkan sebelumnya, para
guru dapat terus menggunakan praktik pembelajaran yang mirip untuk
mengajarkan keterampilan literasi media, guru hanya perlu untuk
memasukkan media lain selain buku. Oleh karena itu, pelaksanaan pelatihan
literasi media yang telah dibuat mudah oleh berbagai sumber daya yang
tersedia untuk guru.
(4) Trialability literasi media,
Atribut dari trialability penting bagi sebuah inovasi seperti pelatihan media
literacy karena pengadopsi potensial ingin tahu apakah manfaat yang
mengklaim memiliki benar-benar ada (Rogers, 1995). Media pelatihan literasi
dapat dengan mudah diimplementasikan pada dasar percobaan. Sebagai
contoh, hampir semua guru dapat mencurahkan unit pelajaran untuk media
pengajaran keterampilan literasi tanpa mengorbankan waktu yang berharga
dan sumber daya. Karena beberapa negara memiliki media standar melek
huruf, lebih mudah bagi para guru di sekolah-sekolah untuk menerapkan
pelajaran Media literasi karena mereka mengikuti pedoman kurikulum.
(5) Observability literasi media
Observability adalah atribut kelima penting untuk pengadopsi potensial
(Rogers, 1995). Jika guru dapat melihat perubahan dalam pengakuan siswa
mengenai pesan yang positif dan negatif selama dan sesudah pelatihan melek
media, maka adopsi lebih mungkin. Potensi pengadopsi juga dapat
"mengamati" efektivitas dan manfaat dari pelatihan literasi media dengan
memeriksa sejarah media pelatihan literasi di Amerika Serikat dan negara-
negara lain. Brown (1991) menawarkan review yang sangat bagus dari
program melihat kritis nasional dan internasional keterampilan.
Potensi penerapan standar melek media ke dalam kurikulum sekolah yang
ada sangat ditingkatkan karena melek media memiliki atribut keuntungan relatif,
kompatibilitas, mengurangi kompleksitas, trialability, dan observability.

9
b) Saluran Komunikasi
Pembahasan sebelumnya berfokus pada inovasi itu sendiri. Untuk lebih
memahami bagaimana literasi media menyebar dan diadopsi, maka perlu untuk
beralih ke saluran komunikasi yang digunakan untuk mengirimkan informasi
tentang litersi media. Rogers (1995) mendefinisikan saluran komunikasi sebagai
"sarana yang pesan mendapatkan dari satu orang ke orang lain" (hal. 18). Sifat
dari hubungan antara individu menentukan seberapa sukses inovasi yang
ditransmisikan dari sumber ke penerima dan efek transfer (Rogers, 1995). Rogers
(1995) menjelaskan bahwa saluran media massa adalah cara yang paling cepat dan
efisien untuk berkomunikasi dengan sejumlah besar pengadopsi potensial, tetapi
komunikasi interpersonal lebih efektif dalam membujuk pengadopsi potensial
untuk menerima ide baru. Face-to-face komunikasi antara individu-individu dari
status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang sama meningkatkan potensi
penerimaan bahkan lebih.
c) Waktu
Faktor penting ketiga dalam proses difusi adalah unsur waktu. Waktu
sering diabaikan dalam penelitian perilaku lainnya. Dimasukkannya waktu dalam
penelitian difusi adalah salah satu kekuatan, tetapi pengukuran waktu (seringkali
melalui recall individu) telah dikritik (Rogers, 1995). Namun demikian, waktu
yang terlibat dalam tiga dari empat teori yang berhubungan dengan difusi inovasi:
(1) teori proses keputusan inovasi, (2) teori inovasi individual, dan (3) teori
tingkat adopsi. Uraian hubungan waktu dengan teori dijelaskan sebagai berikut:
(1) Waktu dan proses keputusan inovasi
Proses keputusan inovasi adalah proses melalui mana seorang individu belajar
tentang inovasi, membentuk sikap, mengadopsi atau menolak,
mengimplementasikan gagasan baru, dan menegaskan keputusan untuk
melakukannya. Rogers (1995) mengidentifikasi lima langkah utama dalam
proses: (a) pengetahuan, (b) persuasi, (c) keputusan, (d)
pelaksanaan/implementasi, dan (e) konfirmasi. Sebuah perspektif makro-
tingkat litersi media menunjukkan bahwa inovasi ini masih dalam tahap
pengetahuan tentang proses. Media pendukung keaksaraan telah bekerja keras

10
untuk membuat guru, administrator, dan orang tua sadar media pelatihan
melek huruf dan kebutuhan untuk media keterampilan keaksaraan.
Upaya untuk mempromosikan literasi media besar, tetapi seluruh negara tidak
yakin. Masih ada individu dan kelompok yang menentang mengajar dengan
televisi. Beberapa survei mencatat bahwa sebagian besar guru mengatakan
mereka tidak punya waktu untuk menggunakan atau mengajarkan tentang
media di dalam kelas mereka. Mereka terlalu sibuk mengajar dasar-dasar
membaca, menulis, dan berhitung (Lloyd-Kolkin & Tyner, 1988; Wulfemeyer,
Sneed, Van Ommeren, & Riffe, 1990; Yates, 1997; Tuggle, Sneed, &
Wulfemeyer, 2000). Hal ini terbukti bahwa media literacy jauh dari
penerimaan penuh dan adopsi di Amerika Serikat. Media literasi bergerak
menuju tahap persuasi. Karena semakin banyak individu membentuk sikap
yang menguntungkan terhadap literasi media, kemungkinan memutuskan
untuk mengadopsi akan meningkat.
Negara telah melewati pengetahuan, persuasi, dan keputusan tahapan proses
inovasi-keputusan dan sedang dalam tahap implementasi. Beberapa mungkin
berpendapat negara telah berlalu pelaksanaan dan sedang dalam proses
konfirmasi keputusan untuk membuat media warga melek huruf. Pemeriksaan
bagaimana media literacy telah menyebar sendiri ke negara Meksiko sangat
membantu sebagai inovasi media literacy berdifusi sendiri di seluruh negeri.
Pemimpin opini dapat menggunakan New Mexico serta negara-negara seperti
Florida, Texas dan Massachusetts sebagai model untuk meningkatkan adopsi
melek media dalam skala nasional.
(2) Waktu dan inovasi individu
Proses keputusan inovasi dipengaruhi oleh inovasi individu. Rogers (1995)
mendefinisikan inovasi sebagai "sejauh mana unit individu atau lainnya adopsi
relatif awal dalam mengadopsi ide-ide baru dari anggota lain dari sistem" (hal.
22). Beberapa individu mengadopsi ide baru jauh lebih awal daripada yang
lain lakukan; ini adalah inovator. Inovator aktif mencari informasi baru dan
mampu mengatasi ketidakpastian yang menyertai inovasi baru. Inovator sering
memiliki eksposur yang lebih besar untuk saluran media massa dan jaringan

11
interpersonal mereka memperpanjang jauh melampaui area lokal mereka.
Pengadopsi awal menerima inovasi segera setelah inovator (Rogers, 1995).
Individu seperti Elizabeth Thoman, Kathleen Tyner, David Considine, Wally
Bowen, dan Renee Hobbs akan dianggap pengadopsi awal dari konsep melek
media. Mereka adalah beberapa ulama terkemuka di bidang literasi media saat
ini dan mengupayakan pemasukan pelatihan literasi media dalam kurikulum
sekolah. Mayoritas awal dan akhir mengikuti pengadopsi awal. Mayoritas
awal adalah lebih lambat untuk menerima inovasi, tetapi melakukannya lebih
cepat daripada mayoritas akhir (Rogers, 1995). Negara-negara yang telah
memasukkan standar literasi media dalam kurikulum mereka akan dianggap
sebagai mayoritas awal. Mayoritas terlambat akan menjadi negara-negara
yang mengadopsi standar tersebut di masa depan. Mereka yang terakhir untuk
mengadopsi atau yang tidak pernah mengadopsi standar keaksaraan media
yang akan dianggap lamban. Lamban jarang menerima inovasi baru. Anggota
setiap kelompok pengadopsi biasanya memiliki karakteristik umum seperti
status sosial ekonomi, paparan media massa, dan jaringan yang terbatas atau
lebar saluran antarpribadi (Rogers, 1995)
(3) Waktu dan tingkat adopsi
Tingkat adopsi adalah daerah ketiga dalam difusi inovasi yang melibatkan
waktu (Rogers, 1995). Adopsi inovasi lambat dan bertahap di awal. Hal ini
terbukti dengan literasi media. Banyak guru dan administrator telah enggan
untuk mengadopsi literasi media. Namun, ada perubahan iklim dan semakin
banyak sekolah yang menerima literasi media sebagai bagian integral dari
proses pendidikan. Penerapan literasi media berkembang pesat, yang konsisten
dengan tingkat teori adopsi. Pesatnya pertumbuhan akan taper off akhirnya
dan menurun sedikit. Distribusi frekuensi kumulatif dari waktu ke waktu akan
menyerupai berbentuk S-Kurva (Rogers, 1995). Karena semakin banyak orang
menganggap pelatihan media literacy untuk memiliki keuntungan yang lebih
besar relatif dan kompatibilitas, dan seperti, tingkat adopsi kemungkinan akan
meningkat.

12
d) Sifat Masyarakat
Faktor keempat dan terakhir, yang mempengaruhi difusi inovasi, adalah
sifat dari masyarakat kepada siapa inovasi diperkenalkan. "Masyarakat" yang
dikenal sebagai sistem sosial. Rogers (1995) mendefinisikan sistem sosial sebagai
"satu set unit yang saling terkait yang terlibat dalam pemecahan masalah bersama
untuk mencapai tujuan bersama" (hal. 23). Anggota sistem sosial dapat berupa
individu, kelompok-kelompok informal, atau organisasi. Pendidik di sekolah
dasar dan menengah adalah anggota dari sistem sosial bekerja sama untuk
menciptakan masyarakat yang melek media. Difusi media literasi dalam sistem
sosial ini tergantung pada (1) struktur sosial, (2) norma-norma dalam sistem, dan
(3) pemimpin opini (Rogers, 1995).
1) Struktur sosial
Dalam sistem sosial pendidik ada berbagai kelompok individu yang bertindak
dan bereaksi secara berbeda. Oleh karena itu, struktur sosial diperlukan dalam
sistem untuk memberikan keteraturan dan stabilitas dan untuk dapat
memprediksi perilaku orang lain dengan beberapa tingkat akurasi (Rogers,
1995). Struktur komunikasi juga merupakan bagian penting dari sistem sosial.
Tidak semua anggota suatu sistem sosial berkomunikasi sama satu sama lain.
Biasanya, anggota yang paling mirip cenderung berkomunikasi satu sama lain.
Sebagai pola komunikasi berkembang menjadi lebih mudah untuk
memprediksi perilaku individu, termasuk ketika sebuah inovasi akan diadopsi
(Rogers, 1995). Misalnya, guru dalam sekolah cenderung berkomunikasi satu
sama lain lebih sering daripada yang mereka lakukan dengan administrator.
Oleh karena itu, ketika seorang guru mengadopsi ide baru itu lebih mungkin
guru-guru lain akan mengadopsi gagasan karena mereka seperti pikiran.
2) Norma
Sebuah struktur sistem sosial memfasilitasi atau menghambat difusi inovasi
(Rogers, 1995). Norma dalam sistem sosial menyediakan pedoman perilaku
yang dapat diterima dan juga mempengaruhi difusi. Pedoman ini dapat
menciptakan sebuah penghalang untuk difusi inovasi. Misalnya, norma di
sekolah dasar adalah untuk mengajarkan dasar-dasar membaca, menulis, dan

13
matematika. Membangun fondasi fundamental ini sangat penting dan diterima
oleh pendidik nasional. Norma mengajar dasar dasar menghambat adopsi
media mengajarkan keterampilan keaksaraan karena guru sudah memiliki
tugas yang mapan dan penting. Survei telah menunjukkan guru tidak merasa
bahwa mereka memiliki waktu untuk mengajarkan keterampilan keaksaraan
media yang karena mereka sulit ditekan untuk mendapatkan melalui dasar-
dasar (Lloyd-Kolkin & Tyner, 1988; Wulfemeyer, Sneed, Van Ommeren, &
Riffe, 1990; Yates 1997 , Tuggle, Sneed, & Wulfemeyer, 2000).
3) Pemimpin opini
Pemimpin opini juga mempengaruhi adopsi inovasi. Pemimpin opini adalah
individu yang memberikan saran dan informasi tentang suatu inovasi kepada
anggota sistem sosial (Rogers, 1995). Orang-orang ini cenderung mendukung
norma-norma struktur sosial dan berfungsi sebagai model bagi orang lain.
Pemimpin opini berada di pusat jaringan komunikasi dan mencapai sejumlah
besar orang lain melalui aliran saling berhubungan informasi (Rogers, 1995).
W. James Potter adalah contoh dari seorang pemimpin opini dalam sistem
sosial pendidik. Dia adalah penulis dari Media Literasi , dan seorang sarjana
yang luar biasa dan dihormati di bidang komunikasi. Bukunya dan karya-
karya lain mempromosikan ide melek media dan pentingnya pendidikan dan
masyarakat. Potter adalah seorang pemimpin opini karena statusnya di bidang
komunikasi dan karena dia bekerja dalam struktur sosial.
E. Kesimpulan
Difusi literasi media difokuskan pada inovasi itu sendiri, saluran
komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan informasi tentang inovasi,
dampak waktu, dan sifat dari sistem sosial yang mengadopsi litersi media.
Tampaknya sebagai inovasi, media literacy memiliki potensi untuk diadopsi
penuh dalam sistem sosial pendidik. Namun, media literacy harus didekati dari
instrumentalis (berbasis-adopter) perspektif (Surry & Farquhar, 1997).
Pengadopsi dalam hal ini adalah guru kelas. Jika ada upaya akar rumput antara
pendidik kelas, maka literasi media akan berhasil baik. Keempat proyek USOE
gagal, karena sebagian karena guru tidak tahu bagaimana untuk melaksanakan

14
program dan menggunakan bahan-bahan yang diberi (Brown, 1991). Sementara
harus fokus pada siswa dalam merancang kurikulum literasi media, pengembang
instruksional harus fokus pada guru karena mereka adalah orang-orang yang akan
menggunakannya. Surry dan Farquhar (1997) mencatat, teori berbasis adopter
dalam mengadopsi inovasi berjalan dengan lambat dan bertahap. Ini menjelaskan
adopsi inovasi dalam literasi media, tetapi bagian yang menarik adalah bahwa
tingkat adopsi yang terus berkembang. Penelitian empiris menilai efektivitas
pelatihan literasi media dan program literasi media di sekolah akan meningkatkan
adopsi inovasi pendidikan.

Sumber: Hasil Review


a Reader Prof. Zamroni, Ph.D
“Theories of Diffusion of Innovation“
Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, 2013.

15

Anda mungkin juga menyukai