ASFIKSIA NEONATORUM
Oleh :
Fitria Syafrina 1840312273
Noufal Riandi Khairul 1840312243
Muthia Rahmi 1840312232
Restu Evanila Putri 1840312250
Preseptor :
dr. Lydia Aswati, Sp.A, M.Biomed
PENDAHULUAN
Angka kematian bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi di bawah usia
satu tahun pada setiap 1000 kelahiran hidup.1,2 AKB di Indonesia pada tahun 2012
sebanyak 32 per 1000 kelahiran hidup. Pencapaian AKB pada tahun 2012 tidak
sesuai dengan target renstra kemenkes yaitu 24 per 1000 kelahiran hidup di tahun
2014. Sebanyak 47% dari seluruh kematian bayi di Indonesia terjadi pada masa
neonatal (usia di bawah 1 bulan) dengan penyebab kematian tersering yaitu BBLR
(29%), asfiksia (27%), trauma lahir, tetanus neonatorum, infeksi lain dan kelainan
kongenital.1
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi yang baru lahir tidak segera bernafas
secara spontan dan teratur setelah dilahirkan.1 Asfiksia perinatal masih merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir baik di negara
berkembang maupun di negara maju.1,2 Di negara maju angka kejadian asfiksia
berkisar antara 1-1,5 % dan berhubungan dengan masa gestasi dan berat lahir.3 Di
negara berkembang angka kejadian bayi asfiksia lebih tinggi dibandingkan di
negara maju karena pelayanan antenatal yang masih kurang memadai. Sebagian
besar bayi asfiksia tersebut tidak memperoleh penanganan yang adekuat sehingga
banyak diantaranya meninggal.4
Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar,dari
sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. gen
dan eksogen. Kematian bayi endogen atau yang umum disebut dengan kematian
neonatal. Kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan
umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang di-
peroleh dari orang tuanya pada saat kon-sepsi atau didapat selama kehamilan.
Kematian bayi eksogen atau kematian post neonatal adalah kematian bayi yang
terjadi setelah usia satu bulan sempai menjelang usia satu tahun yang disebabkan
oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan pengaruh lingkungan luar.2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Insiden asfiksia neonatal terjadi sebanyak 3-5 bayi dalam 1000 kelahiran.
Laporan dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun
2000-2003 asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab
kematian anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan
kelahiran premature. Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami
asfiksia saat lahir kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral
palsy, retardasi mental dan gangguan belajar. Menurut hasil riset kesehatan dasar
tahun 2007. Tiga penyebab utama kematian perinatal Di Indonesia adalah gangguan
pernapasan/respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis
neonatorum (12%).7
Etiologi dari asfiksia sangat berkaitan dengan kondisi ibu baik saat
antepartum, intrapartum maupun post partum. Ibu dengan gangguan metabolic saat
kehamilan misalnya anemia, gangguan hepar dan ginjal, hipertensi dan diabetes
mellitus memiliki resiko terjadi asfiksia yang lebih tinggi daripada ibu tanpa
gangguan metabolik. Studi lain menyebutkan bahwa kelahiran premature dan bayi
dengan berat badan kurang dari 2500 gram dapat meningkatkan
terjadinya resiko asfiksia sebesar 2,8 kali dibandingkan dengan kelahiran cukup
bulan. Hal tersebut terjadi akibat adanya hubungan dengan kondisi organ-organ
yang belum matang pada bayi-bayi premature terutama organ pernafasan. Selain itu
komplikasi intrapartum seperti korioamnionitis, oligohidramnion, KPP > 12 jam,
dan partus lama juga merupakan faktor resiko terjadinya asfiksia.8
Tabel 2.1 Resiko asfiksia bayi baru lahir atau asfiksia neonatorum8
2.4 Patofisiologi
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.
Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi
pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan
lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta. 9
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru,
dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan
oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.9
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas
yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan
pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan
berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.9
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam
paru- parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan
insterstitial diparu sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan
menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol
pulmonal akan tetapkontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri
sistemik tidak mendapat oksigen.9
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada
organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung
dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen.
Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-
organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka
terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung ,
penurunan tekanan darah yang mengakibatkan aliran darah ke seluruh organ akan
berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan,
akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ
tubuh lain, atau kematian.9
Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih
tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak,
otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen;
bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot
jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot
jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan; takipnu(pernapasan cepat) karena kegagalan
absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah.9
2.4.4 Mekanisme yang terjadi pada bayi baru lahir mengalami gangguan di
dalam kandungan atau pada masa perinatal
Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer.
Tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder sebagaimana
diperlihatkan dalam gambar di bawah ini (kecuali jika terjadi kehilangan darah pada
saat memasuki periode hipotensi). Bayi dapat berada pada fase antara apnu primer
dan apnu dan seringkali keadaan yang membahayakan ini dimulai sebelum atau
selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit untuk menilai berapa lama bayi telah
berada dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan fisik tidak dapat membedakan
antara apnu primer dan sekunder, namun respon pernapasan yang ditunjukkan akan
dapat memperkirakan kapan mulai terjadi keadaan yang membahayakan itu.10
Gambar 2.1 Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah selama apneu10
Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat, ternyata tidak
memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka keadaan yang
membahayakan ini seperti gangguan fungsi miokardium dan tekanan darah, telah
jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti ini, pemberian kompresi dada dan
obat-obatan mungkin diperlukan untuk resusitasi.10
9
2.5 Manifestasi Klinis
a. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur
b. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
c. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ lain
d. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen
e. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada
otot-otot jantung atau sel-sel otak
f. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke
plasenta
sebelum dan selama proses persalinan
g. Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru atau
nafas tidak teratur/megap-megap
h. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah
i. Penurunan terhadap spinkters
j. Pucat
2.6 Diagnosis
Diagnosis dari asfiksia dapat ditegakkan dari anamnesis yang lengkap serta
pemeriksaan fisik maupun penunjang. Pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk
melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga hal penting, yaitu
1. Pernafasan
Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat. Lakukan
auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan abnormal, seperti pergerakan
dada asimetris, nafas tersengal, atau mendengkur. Tentukan apakah
pernafasannya adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat (lambat
dan tidak teratur), atau tidak sama sekali.
2. Denyut jantung
Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks atau merasakan
denyutan umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali per menit.
Angka ini merupakan titik batas yang mengindikasikan ada atau tidaknya
hipoksia yang signifikan.
3. Warna
Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis
perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam
pertama bahkan hari. Bayi pucat mungkin mengalami syok atau anemia
berat. Tentukan apakah bayi berwarna merah muda, biru, atau pucat.. Ketiga
observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar. Dua komponen
lainnya adalah tonus dan respons terhadap rangsangan menggambarkan
depresi SSP pada bayi baru lahir yang mengalami
asfiksia kecuali jika ditemukan kelainan neuromuscular yang tidak
berhubungan.
2.6.1 Anamnesis
1. APGAR Score
Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit
sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera
sesudah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi berdasarkan
penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian
ini harus dilakukan segera. Intervensi yang harus dilakukan jangan
sampai terlambat karena menunggu hasil penilaian Apgar 1 menit.
Kelambatan tindakan akan membahayakan terutama pada bayi yang
mengalami depresi berat. Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam
pengambilan keputusan pada awal resusitasi, tetapi dapat menolong
dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya
resusitasi. Jadi nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit.
Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih
diperlukan yaitu tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali
penilaian menunjukkan nilai 8 dan lebih. Dikatakan asfiksia ringan jika
nilai APGAR 7-10, asfiksia sedang jika nilai APGAR 4-6, dan asfiksia
berat jika didapatkan APGAR 0-3.
Skor 0 1 2
Frekuensi jantung Tidak ada <100x/menit >100x/menit
Usaha pernafasan Tidak ada Tidak teratur, lambat Teratur,
menangis
Tonus otot Lemah Beberapa tungkai Semua tungkai
fleksi fleksi
Iritabilitas reflex Tidak ada Menyeringai Batuk/menangis
Warna kulit Pucat Biru Merah muda
2. Bayi tidak bernafas atau menangis
3. Denyut jantung kurang dari 100x/menit
4. Tonus otot menurun
5. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa
mekonium pada tubuh bayi
6. BBLR
2.6.3 Pemeriksaan penunjang
Semua peralatan yang diperlukan untuk tindakan resusitasi harus tersedia di dalam
kamar bersalin dan dipastikan dapat berfungsi baik. Pada saat bayi memerlukan
resusitasi maka peralatan harus siap digunakan. Peralatan yang diperlukan pada
resusitasi neonatus adalah sebagai berikut
1. Perlengkapan penghisap
Laringoskop
Selang endotrakeal (endotracheal tube) dan stilet (bila tersedia) yang
cocok dengan pipa endotrakeal yang ada
4. Obat-obatan
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nomor MR : 529746
Umur : 30 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Umur : 32 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Wiraswasta
ANAMNESIS
: Alloanamnesis dari Ayah kandung
Keluhan Utama :
- Bayi sesak nafas sejak lahir, merintih ada, usaha bernafas lambat, disertai
kebiruan hilang dengan pemberian O2.
-G1P0A0H1
Hb : Tidak diketahui
- Kebiasaan ibu selama hamil : tidak merokok dan tidak minum alkohol
- TP : Tidak diketahui
Riwayat Persalinan :
- Bayi lahir tidak langsung menangis, usaha bernafas lambat, kurang aktif,
warna kulit kemerahan, akral kebiruan menghilang dengan pemberian
O2. APGAR score 5/6, BBLR 1700 gram, sisa ketuban jernih.
Pemeriksaan Fisik
Umum
Abdomen :
Permukaan: datar
Kondisi : Distensi tidak ada
Tali pusat : tidak ada tanda inflamasi
Genitalia : A1P1G1
Tulang-tulang : intak
Simfisis-kaki : 24 cm
Laboratorium Rutin
Laboratorium Khusus
- Ca : 8,5 mg/dl
Daftar Masalah
- Takipnea
- Hipotermia
Neonatus cukup bulan kurang masa kehamilan 1700 gram gravid aterm 37-38
minggu + Asfiksia neonatorum ec suspek pneumonia neonatal
Tatalaksana Nutrisi
- Bayi dipuasakan
Tatalaksana Medikamentosa
23/10/2019
S/ Seorang bayi perempuan usia 1 hari, rawatan hari pertama dengan NCB
KMK 1700 gram gravid aterm 37-38 minggu + Asfiksia neonatal ec
pneumonia neonatal.
Suhu : 37.40C
A/ NCB KMK 1700 gram gravid aterm 37-38 minggu + Asfiksia neonatal
ec suspek pneumonia neonatal.
DISKUSI
Bayi Ny. Silvia Winda, jenis kelamin laki-laki, lahir tanggal 22 Oktober
2019 pukul 5.50 WIB di puskesmas Sungai Pua di tolong oleh bidan. Bayi diagnosa
NCB KMK 1700 gr gravid 37-38 minggu dengan asfiksia ec suspect pneumonia
neonatal. Diagnosa ditegakan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan bayi tidak menangis dan
merintih sejak lahir. Keadaan bayi tidak menangis dan merintih sejak lahir
menandakan adanya gangguan napas pada bayi tersebut.
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam
paru- parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan
insterstitial diparu sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan
menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol
pulmonal akan tetapkontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri
sistemik tidak mendapat oksigen. Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan
terjadi konstriksi arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun
demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk
mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan
menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital.
Gangguan napas pada bayi baru lahir terbanyak di akibatkan oleh Transient
tachypnea of the newborn (TTN), hyaline membrane disease (HMD), aspirasi
meconium dan pneumonia, gejala ke empatnya serupa/sama. Pada pasien ini risiko
untuk TTN tidak ada karena bayi lahir dengan pervaginam, TTN terjadi akibat
kegagalan absorpsi cairan di paru bayi, namun TTN biasanya terjadi beberapa jam
setelah bayi lahir dan menghilang dalam 48-72 jam. HMD atau atau tidak
adekuatnya produksi surfaktan terjadi pada bayi lahir dengan terjadi pas usia gestasi
kurang dari 32 minggu atau dengan berat kurang dari 1200 gr. HMD dapat terjadi
pada bayi cukup bulan dengan hiperglikemia atau lahir dari ibu dengan diabetes
melitus. Pada pasien ini dari kriteria HMD, maka HMD dapat di singkirkan dari
penyebab gangguan napas yang terjadi. Pada kasus aspirasi meconium, gejala
muncul beberapa jam setelah kelahiran. Pneumonia neonatal
dapat diklasifikasikan berdasarkan onset awal dan akhir. Pada onset awal secara
umum adalah presentasi klinis dalam 48 jam pertama sampai dengan 1 minggu
kehidupan, sedangkan onset akhir neonatal pneumonia terjadi pada 3 minggu
berikutnya.
Berat badan lahir pada bayi ini 1700 gram merupakan berat badan lahir
rendah (BBLR). WHO mendefenisikan BBLR sebagai bayi yang lahir dengan berat
kurang sama 2500 gram. WHO mengelompokan BBLR menjadi 3 macam yaitu,
BBLR (1500-2499 gr), BBLSR (1000-1499 gr), BBLASR (kurang 1000 gr).
Penyebab terjadinya BBLR adalah faktor ibu (status gizi, umur, paritas, status
ekonomi), riwayat kehamilan buruk (pernah melahirkan BBLR, aborsi), asuhan
antenatal care yang buruk dan keadaan janin. BBLR pada bayi ini kemungkinan
diakibatkan karena gizi ibu yang kurang dan penerapan gaya hidup yg tidak baik.
Pada bayi BBLR memiliki peluang lebih kecil untuk bertahan hidup. BBLR
cenderung mengalami gangguan perkembangan kognitif, retardasi mental serta
lebih mudah mengalami infeksi yang dapat mengakibatkan kesakitan dan
kematian.12
Tatalaksana untuk gangguan nafas bayi dengan penggunaan CPAP atau
ventilator mekanis. Tatalaksana dapat diberikan antibiotik lini pertama untuk bayi
yaitu ampicillin dengan dosis 50mg/kgBB setiap 12 jam dalam minggu pertama
kehidupan. Minggu kedua sampai minggu keempat kehidupan diberikan setiap 6
jam. ditambah dengan dosis tunggal gentamicin 5mg/kgBB per 36 jam. Pada pasien
ini diberikan Tatalaksana pada bayi ini diberikan ampicilin injeksi 2 x 85 mg dan
gentamisin 1x8 mg per 36 jam. Penatalaksanaan hipotermia pada bayi ini dilakukan
penghangatan ulang dengan inkubator, pastikan bayi kering untuk mencegah
evaporasi, berikan topi dan selimuti bayi.
DAFTAR PUSTAKA
6. World Health Organization. The world health report 2005: make every
mother and child count. Geneva: WHO; 2005
7. Sunshine P. Perinatal asphyxia : an overview. In: Stevenson DK, et al. Fetal
and neonatal brain injury : mechanism, management and the risk of
practise.Cambridge: Cambridge University Press; 2010. p.3-11.
8. Pitsawong C, Panichkul P. Risk factor associated with birth asphyxia in
phramongkutklao hospital. Bangkok: Thai Journal of Obstetry and
Gynecology;2013. p.165-171.
9. Helmy M. Mechanisms of birth asphyxia and a novel resuscitation strategy.
Helsinki: University of Helsinki Press; 2013.
10. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku
panduan resusitasi neonatus edisi 6. Jakarta: Perinasia; 2011
11. Gomella TL. Neonatology Management, procedures, On-Call Problems,
Disease, and Drugs. McGraw Hill Lange. 7th edition. 2013
12. Hartiningrum I, Fitriyah N. Berat Badan Lahir Rendah di Provinsi Jawa Timur
Tahun 2015-2016. Jurnal Biometrika dan Kependudukan.2018: 7(2); 97-104