Anda di halaman 1dari 31

Case Report Session

ASFIKSIA NEONATORUM

Oleh :
Fitria Syafrina 1840312273
Noufal Riandi Khairul 1840312243
Muthia Rahmi 1840312232
Restu Evanila Putri 1840312250

Preseptor :
dr. Lydia Aswati, Sp.A, M.Biomed

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP
DR. M. DJAMIL PADANG 2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Angka kematian bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi di bawah usia
satu tahun pada setiap 1000 kelahiran hidup.1,2 AKB di Indonesia pada tahun 2012
sebanyak 32 per 1000 kelahiran hidup. Pencapaian AKB pada tahun 2012 tidak
sesuai dengan target renstra kemenkes yaitu 24 per 1000 kelahiran hidup di tahun
2014. Sebanyak 47% dari seluruh kematian bayi di Indonesia terjadi pada masa
neonatal (usia di bawah 1 bulan) dengan penyebab kematian tersering yaitu BBLR
(29%), asfiksia (27%), trauma lahir, tetanus neonatorum, infeksi lain dan kelainan
kongenital.1

Asfiksia adalah keadaan dimana bayi yang baru lahir tidak segera bernafas
secara spontan dan teratur setelah dilahirkan.1 Asfiksia perinatal masih merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir baik di negara
berkembang maupun di negara maju.1,2 Di negara maju angka kejadian asfiksia

berkisar antara 1-1,5 % dan berhubungan dengan masa gestasi dan berat lahir.3 Di
negara berkembang angka kejadian bayi asfiksia lebih tinggi dibandingkan di
negara maju karena pelayanan antenatal yang masih kurang memadai. Sebagian
besar bayi asfiksia tersebut tidak memperoleh penanganan yang adekuat sehingga
banyak diantaranya meninggal.4

Di Indonesia angka kejadian asfiksia lebih kurang 40 per 1000 kelahiran


hidup, dimana secara keseluruhan 110.000 neonatus meninggal setiap tahun karena
asfiksia. Faktor yang menyebabkan asfiksia neonatorum antara lain faktor keadaan
ibu, faktor keadaan bayi, faktor plasenta dan faktor persalinan. Angka kejadian
asfiksia yang disebabkan oleh penyakit ibu di antaranya preeklamsia dan eklamsi
sebesar (24%), anemia (10%), infeksi berat (11%), sedangkan pada faktor
persalinan meliputi partus lama atau macet sebesar (2,8-4,9%), persalinan dengan
penyulit (seperti letak sungsang, kembar, distosia bahu, vakum ekstraksi, forsep)
sebesar (3-4%).1 Laporan Dinkes Kota Padang tahun 2011 menunjukkan asfiksia
merupakan penyebab kematian neonatus sebesar 13,3 %. Pada tahun 2012 tejadi
peningkatan kematian neonatus oleh karena asfiksia menjadi 34,8% dan semakin
meningkat pada tahun 2013 menjadi 37%. Penurunan angka kejadian asfiksia pada
kematian neonatus terjadi pada tahun 2014 menjadi 23,08%. Akan tetapi, kenaikan
kejadian asfiksia pada kematian neonatus kembali terjadi pada tahun 2015 dengan
angka 29%.5

Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar,dari
sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. gen
dan eksogen. Kematian bayi endogen atau yang umum disebut dengan kematian
neonatal. Kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan
umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang di-
peroleh dari orang tuanya pada saat kon-sepsi atau didapat selama kehamilan.
Kematian bayi eksogen atau kematian post neonatal adalah kematian bayi yang
terjadi setelah usia satu bulan sempai menjelang usia satu tahun yang disebabkan
oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan pengaruh lingkungan luar.2

Prognosis bayi diprediksi melalui pemulihan motorik dan kemampuan


mengisap. Bila satu minggu sesudah kelahiran bayi masih lemas atau spastik, tidak
responsif dan tidak dapat mengisap, mungkin mengalami cedera berat otak dan
mempunyai prognosis buruk. Prognosis tidak begitu buruk untuk bayi-bayi yang
mengalami pemulihan fungsi motorik dan mulai mengisap. Keadaan ini harus
dibahas dengan orangtua selama bayi di rumah sakit.4

1.2. Batasan Masalah


Laporan kasus ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patogenesis, manifestasi klinis, dasar diagnosis, tatalaksana, komplikasi
dan prognosis asfiksia neonatorum serta membandingkan dengan kasus yang
ditemukan di RSUD Achmad Muchtar Bukittinggi
1.3. Tujuan Penulisan
Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis,
manifestasi klinis, dasar diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis asfiksia
neonatorum serta membandingkan dengan kasus yang ditemukan di RSUD
Achmad Muchtar Bukittinggi
1.4. Metode Penulisan
Laporan kasus ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka
yang dirujuk dari berbagai literatur
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ikatan Dokter Anak Indonesia mendefinisikan asfiksia neonatorum sebagai


kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat
setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis (IDAI,
2008). Sedangkan World Health Organization (WHO), asfiksia adalah kegagalan
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir yang ditandai dengan
asidosis metabolic pada arteri umbilical dengan pH kurang dari 7.00, APGAR skor
antara 0-3 selama lebih dari 5 menit, sekuel dari kejang neonatorum, koma atau
hipotonia (ensepalopati neonatorum) dan disfungsi multiorgan.6

2.2 Epidemiologi

Insiden asfiksia neonatal terjadi sebanyak 3-5 bayi dalam 1000 kelahiran.
Laporan dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun
2000-2003 asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab
kematian anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan
kelahiran premature. Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami
asfiksia saat lahir kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral
palsy, retardasi mental dan gangguan belajar. Menurut hasil riset kesehatan dasar
tahun 2007. Tiga penyebab utama kematian perinatal Di Indonesia adalah gangguan
pernapasan/respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis
neonatorum (12%).7

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi dari asfiksia sangat berkaitan dengan kondisi ibu baik saat
antepartum, intrapartum maupun post partum. Ibu dengan gangguan metabolic saat
kehamilan misalnya anemia, gangguan hepar dan ginjal, hipertensi dan diabetes
mellitus memiliki resiko terjadi asfiksia yang lebih tinggi daripada ibu tanpa
gangguan metabolik. Studi lain menyebutkan bahwa kelahiran premature dan bayi
dengan berat badan kurang dari 2500 gram dapat meningkatkan
terjadinya resiko asfiksia sebesar 2,8 kali dibandingkan dengan kelahiran cukup
bulan. Hal tersebut terjadi akibat adanya hubungan dengan kondisi organ-organ
yang belum matang pada bayi-bayi premature terutama organ pernafasan. Selain itu
komplikasi intrapartum seperti korioamnionitis, oligohidramnion, KPP > 12 jam,
dan partus lama juga merupakan faktor resiko terjadinya asfiksia.8

Tabel 2.1 Resiko asfiksia bayi baru lahir atau asfiksia neonatorum8

2.4 Patofisiologi

2.4.1 Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir

Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.
Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi
pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan
lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta. 9
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru,
dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan
oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.9

Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan


pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan
udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.9

Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik


menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan
sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus
arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di
vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian
jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada
kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi
relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh
paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang
sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil

banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.9

Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas
yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan
pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan
berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.9

2.4.2 Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi

Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau


setelah lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama
persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta
atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin.
Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan
nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing
seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke dalam
paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan
menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik).9

Selain itu kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di


paru-paru akan mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga
terjadi penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan. Pada
beberapa kasus, arteriol di paru-paru gagal untuk berelaksasi walaupun paru-paru
sudah terisi dengan udara atau oksigen (Persisten Pulmonary Hypertension
Newborn, disingkat menjadiPPHN).9

2.4.3 Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal

Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam
paru- parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan
insterstitial diparu sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan
menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol
pulmonal akan tetapkontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri
sistemik tidak mendapat oksigen.9

Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada
organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung
dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen.
Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-
organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka
terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung ,
penurunan tekanan darah yang mengakibatkan aliran darah ke seluruh organ akan
berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan,
akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ
tubuh lain, atau kematian.9
Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih
tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak,
otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen;
bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot
jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot
jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan; takipnu(pernapasan cepat) karena kegagalan
absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah.9

2.4.4 Mekanisme yang terjadi pada bayi baru lahir mengalami gangguan di
dalam kandungan atau pada masa perinatal

Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital pertama


yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode awal
pernapasan yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu primer.10

Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan


menimbulkan pernapasan. Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus
berlangsung, bayi akan melakukan beberapa usaha bernapas megap-megap dan
kemudian terjadi apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan kembali
usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan harus diberikan untuk
mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen.10

Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer.
Tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder sebagaimana
diperlihatkan dalam gambar di bawah ini (kecuali jika terjadi kehilangan darah pada
saat memasuki periode hipotensi). Bayi dapat berada pada fase antara apnu primer
dan apnu dan seringkali keadaan yang membahayakan ini dimulai sebelum atau
selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit untuk menilai berapa lama bayi telah
berada dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan fisik tidak dapat membedakan
antara apnu primer dan sekunder, namun respon pernapasan yang ditunjukkan akan
dapat memperkirakan kapan mulai terjadi keadaan yang membahayakan itu.10
Gambar 2.1 Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah selama apneu10

Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, itu


adalah apnu primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan
apnu sekunder. Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam
keadaan apnu sekunder, semakin lama pula dia bereaksi untuk dapat memulai
pernapasan. Walau demikian, segera setelah ventilasi yang adekuat, hampir
sebagian besar bayi baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi yang sangat
cepat dalam hal peningkatan frekuensi jantung.10

Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat, ternyata tidak
memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka keadaan yang
membahayakan ini seperti gangguan fungsi miokardium dan tekanan darah, telah
jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti ini, pemberian kompresi dada dan
obat-obatan mungkin diperlukan untuk resusitasi.10

9
2.5 Manifestasi Klinis

Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan


tanda-tanda klinis pada janin atau bayi berikut ini:

a. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur
b. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
c. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ lain
d. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen
e. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada
otot-otot jantung atau sel-sel otak
f. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke 
plasenta
sebelum dan selama proses persalinan
g. Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru atau
nafas tidak teratur/megap-megap
h. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah
i. Penurunan terhadap spinkters
j. Pucat
2.6 Diagnosis

Diagnosis dari asfiksia dapat ditegakkan dari anamnesis yang lengkap serta
pemeriksaan fisik maupun penunjang. Pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk
melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga hal penting, yaitu

1. Pernafasan
Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat. Lakukan
auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan abnormal, seperti pergerakan
dada asimetris, nafas tersengal, atau mendengkur. Tentukan apakah
pernafasannya adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat (lambat
dan tidak teratur), atau tidak sama sekali.
2. Denyut jantung
Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks atau merasakan
denyutan umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali per menit.
Angka ini merupakan titik batas yang mengindikasikan ada atau tidaknya
hipoksia yang signifikan.
3. Warna
Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis
perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam
pertama bahkan hari. Bayi pucat mungkin mengalami syok atau anemia
berat. Tentukan apakah bayi berwarna merah muda, biru, atau pucat.. Ketiga
observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar. Dua komponen
lainnya adalah tonus dan respons terhadap rangsangan menggambarkan
depresi SSP pada bayi baru lahir yang mengalami
asfiksia kecuali jika ditemukan kelainan neuromuscular yang tidak
berhubungan.

2.6.1 Anamnesis

Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya


asfiksia neonatorum.

2.6.2 Pemeriksaan fisik

1. APGAR Score
Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit
sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera
sesudah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi berdasarkan
penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian
ini harus dilakukan segera. Intervensi yang harus dilakukan jangan
sampai terlambat karena menunggu hasil penilaian Apgar 1 menit.
Kelambatan tindakan akan membahayakan terutama pada bayi yang
mengalami depresi berat. Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam
pengambilan keputusan pada awal resusitasi, tetapi dapat menolong
dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya
resusitasi. Jadi nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit.
Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih
diperlukan yaitu tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali
penilaian menunjukkan nilai 8 dan lebih. Dikatakan asfiksia ringan jika
nilai APGAR 7-10, asfiksia sedang jika nilai APGAR 4-6, dan asfiksia
berat jika didapatkan APGAR 0-3.
Skor 0 1 2
Frekuensi jantung Tidak ada <100x/menit >100x/menit
Usaha pernafasan Tidak ada Tidak teratur, lambat Teratur,
menangis
Tonus otot Lemah Beberapa tungkai Semua tungkai
fleksi fleksi
Iritabilitas reflex Tidak ada Menyeringai Batuk/menangis
Warna kulit Pucat Biru Merah muda
2. Bayi tidak bernafas atau menangis
3. Denyut jantung kurang dari 100x/menit
4. Tonus otot menurun
5. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa
mekonium pada tubuh bayi
6. BBLR
2.6.3 Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil


asidosis pada darah tali pusat:
2. PaO2 < 50 mm H2O
3. PaCO2 > 55 mm H2
4. pH < 7,30
Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan
penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa : 9

1. Darah perifer lengkap


2. Analisis gas darah sesudah lahir
3. Gula darah sewaktu
4. Elektrolit darah (Kalsium, Natrium,Kalium)
5. Ureum kreatinin
6. Pemeriksaan radiologi/foto dada
7. Pemeriksaan radiologi/foto abdomen tiga posisi
8. Pemeriksaan USG Kepala
9. Pemeriksaan EEG
10. CT scan kepala
11. Laktat
2.7 Penatalaksanaan

Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam


mengatasi transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil
membutuhkan berbagai derajat resusitasi.8
2.5.1 Antisipasi kebutuhan resusitasi

Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi akurat dan inisiasi bantuan sangatlah


penting dalam kesuksesan resusitasi neonatus. Pada setiap kelahiran harus ada
setidaknya satu orang yang bertanggung jawab pada bayi baru lahir. Orang tersebut
harus mampu untuk memulai resusitasi, termasuk pemberian ventilasi tekanan
positif dan kompresi dada. Orang ini atau orang lain yang datang harus memiliki
kemampuan melakukan resusitasi neonates secara komplit termasuk mekaukan
intubasi endotrakheal dan memberikan obat-obatan. Bila dengan
mempertimbangkan factor risiko, sebelum bayi lahir diidentifikasi bahwa akan
membutuhkan resusitasi maka diperlukan tenaga terampil tambahan dan persiapan
alat resusitasi.10

Bayi prematur (usia gestasi < 37 minggu) membutuhkan persiapan khusus.


Bayi prematur memiliki paru imatur yang kemungkinan lebih sulit diventilasi dan
mudah mengalami kerusakan karena ventilasi tekanan positif serta memiliki
pembuluh darah imatur dalam otak yang mudah mengalami perdarahan Selain itu,
bayi prematur memiliki volume darah sedikit yang meningkatkan risiko syok
hipovolemik dan kulit tipis serta area permukaan tubuh yang luas sehingga
mempercepat kehilangan panas dan rentan terhadap infeksi.

Apabila diperkirakan bayi akan memerlukan tindakan resusitasi, sebaiknya


sebelumnya dimintakan informed consent. Definisi informed consent adalah
persetujuan tertulis dari penderita atau orangtua/wali nya tentang suatu tindakan
medis setelah mendapatkan penjelasan dari petugas kesehatan yang berwenang.
Tindakan resusitasi dasar pada bayi dengan depresi pernapasan adalah tindakan
gawat darurat. Dalam hal gawat darurat mungkin informed consent dapat ditunda
setelah tindakan. Setelah kondisi bayi stabil namun memerlukan perawatan
lanjutan, dokter perlu melakukan informed consent. Lebih baik lagi apabila
informed consent dimintakan sebelumnya apabila diperkirakan akan memerlukan
tindakan10
2.5.2. Alat Resusitasi

Semua peralatan yang diperlukan untuk tindakan resusitasi harus tersedia di dalam
kamar bersalin dan dipastikan dapat berfungsi baik. Pada saat bayi memerlukan
resusitasi maka peralatan harus siap digunakan. Peralatan yang diperlukan pada
resusitasi neonatus adalah sebagai berikut

1. Perlengkapan penghisap

 Balon penghisap (bulb syringe)



 Penghisap mekanik dan tabung

 Kateter penghisap

 Pipa lambung

2. Peralatan balon dan sungkup

 Balon resusitasi neonatus yang dapat memberikan oksigen 90% sampai


100%,

dengan volume balon resusitasi ± 250 ml

 Sungkup ukuran bayi cukup bulan dan bayi kurang bulan (dianjurkan yang
memiliki bantalan pada pinggirnya)

 Sumber oksigen dengan pengatur aliran (ukuran sampai 10 L/m) dan
tabung.

3. Peralatan intubasi

 Laringoskop

 Selang endotrakeal (endotracheal tube) dan stilet (bila tersedia) yang
cocok dengan pipa endotrakeal yang ada

4. Obat-obatan

 Epinefrin 1:10.000 (0,1 mg/ml) – 3 ml atau ampul 10 ml



 Kristaloid isotonik (NaCl 0.9% atau Ringer Laktat) untuk penambah
volume—100 atau 250 ml.

 Natrium bikarbonat 4,2% (5 mEq/10 ml)—ampul 10 ml.

 Naloxon hidroklorida 0,4 mg/ml atau 1,0 mg/ml
 Dextrose 10%, 250 ml

 Kateter umbilikal

5. Lain-lain

 Alat pemancar panas (radiant warmer) atau sumber panas lainnya



 Monitor jantung dengan probe serta elektrodanya (bila tersedia di kamar
bersalin)

 Oropharyngeal airways

 Selang orogastrik

6. Untuk bayi sangat prematur

 Sumber udara tekan (CPAP, neopuff)



 Blender oksigen

 Oksimeter

 Kantung plastik makanan (ukuran 1 galon) atau pembungkus plastik yang
dapat ditutup

 Alas pemanas

 Inkubator transport untuk mempertahankan suhu bayi bila dipindahkan ke
ruang perawatan10
2.5.3 Resusitasi neonatus

Secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti algoritma resusitasi neonatal.9

2.5.3.1 Langkah Awal Resusitasi

Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 4pertanyaan:

 apakah bayi cukup bulan?



 apakah air ketuban jernih?

 apakah bayi bernapas atau menangis?

 apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam
prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan,
diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga
suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi
memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan:

1. Langkah awal dalam stabilisasi


a. memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer)
dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan
memudahkan eksplorasi seluruh tubuh.Bayi dengan BBLR memiliki
kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus mendapatkan
perlakuan khusus seperti penggunaan plastic pembungkus dan
meletakkan bayi dibawah pemancar panas pada bayi kurang bulan dan

b. memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya


Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam
posisi menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis
lurus yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah
posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup
dan/atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.
c. membersihkan jalan napas sesuai keperluan
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan
pneumonia aspirasi. Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan
untuk mencegah aspirasi adalah dengan melakukan penghisapan
mekoneum sebelum lahirnya bahu (intrapartum suctioning), namun
bukti penelitian dari beberapa senter menunjukkan bahwa cara ini tidak
menunjukkan efek yang bermakna dalam mencegah aspirasi
mekonium. Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah
bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium. Bila
terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi
mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung
kurang dari 100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum
timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium.
Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah pemasangan laringoskop
dan selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter
penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan
trakea sampai glotis.

Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak


bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi
tanpa mekoneum.

d. mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada


posisi yang benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan
mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk
memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan sekret
dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka perangsangan
taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki,
atau dengan menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas bayi. Bayi
yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua
rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder,
rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan.
Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada telapak kaki atau gosokan
pada punggung.

2. Ventilasi tekanan positif


3. Kompresi dada
4. Pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume expander)
Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori
berikutnya ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital secara simultan
(pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit). Waktu untuk setiap
langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali, dan putuskan untuk
melanjutkan ke langkah berikutnya.10
Gambar 2.2 Algoritma resusitasi neonatus10
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : By. Ny. SW

Umur/Tanggal lahir : 5 jam/22 Oktober 2019

Jenis Kelamin : Laki-laki

Nomor MR : 529746

Nama Ibu Kandung : Ny. SW

Umur : 30 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : IRT

Nama Ayah Kandung: Tn. A

Umur : 32 tahun

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Limau kampuang Sungai Puar, Agam.

ANAMNESIS
: Alloanamnesis dari Ayah kandung

Keluhan Utama :

Sesak nafas sejak lahir.


Riwayat Penyakit Sekarang :

- Neonatus cukup bulan, kurang masa kehamilan,berat badan lahir rendah


1700 gram, panjang badan lahir 47 cm, lahir tanggal 22 Oktober 2019 pukul
05.50 wib secara spontan pervaginam dengan ibu G1P0A0 gravid aterm 37-
38 minggu. APGAR Score 5/6, sisa ketuban ibu jernih.

- Bayi sesak nafas sejak lahir, merintih ada, usaha bernafas lambat, disertai
kebiruan hilang dengan pemberian O2.

- Demam tidak ada, kejang tidak ada.

- Muntah tidak ada, kembung tidak ada.

- Mekonium ada, BAK belum ada.

- Kuning tidak ada.

Riwayat Kehamilan ibu sekarang

-G1P0A0H1

- BB ibu selama hamil : 75 kg

- Presentasi bayi : Kepala

- Penyakit selama hamil : Tidak ada

- Pemeriksaan kehamilan : bidan dan dokter spesialis kandungan

- Pemeriksaan waktu hamil :

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Hb : Tidak diketahui

Leukosit : Tidak diketahui

Suhu : Tidak diketahui


GDs : Tidak diketahui

Gol. Darah : Tidak diketahui

- Tindakan selama kehamilan : tidak ada.

- Kebiasaan ibu selama hamil : tidak merokok dan tidak minum alkohol

- Lama hamil : 37-38 minggu

- HPHT : Tidak diketahui

- TP : Tidak diketahui

Riwayat Persalinan :

- Persalinan di Puskesmas Sungai puar, bayi lahir tanggal 22 Oktober 2019


pukul 05.50 wib ditolong oleh bidan.

- Bayi lahir tidak langsung menangis, usaha bernafas lambat, kurang aktif,
warna kulit kemerahan, akral kebiruan menghilang dengan pemberian
O2. APGAR score 5/6, BBLR 1700 gram, sisa ketuban jernih.

- Bayi dirujuk ke RS Achmad Mochtar karena bayi tidak langsung bernafas


spontan atau menangis.

Pemeriksaan Fisik

Umum

- Keadaan Umum : Bayi kurang aktif


- Nadi : 156x/menit
- Frekuensi Nafas : 68x/menit
- Suhu :350C
- Edema : Tidak ada
- Anemia : Tidak ada
- Sianosis : Tidak ada
- Ikterus : Tidak ada
Kepala : Bentuk normocephal, tidak ada jejas persalinan
UUB 1,5 x 1,5 cm
UUK 0,5 x 0,5 cm

Kulit : Teraba kurang hangat

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Telinga : tidak ditemukan kelainan

Hidung : terdapat nafas cuping hidung

Mulut : tidak ada sianosis sirkumoral

Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorak : Bentuk : normochest

Paru : retraksi ada (+/+) ronkhi tidak ada, wheezing tidak


ada.

Jantung : Irama reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

Permukaan: datar
Kondisi : Distensi tidak ada
Tali pusat : tidak ada tanda inflamasi

Umbilikus : tidak ada tanda inflamasi

Genitalia : A1P1G1

Anus : tidak dilakukan colok dubur

Anggota Gerak : akral dingin, CRT > 2 detik.

Tulang-tulang : intak

Refleks : Moro : (+) Isap : (+)

Rooting : (+) Pegang : (+)


Pengukuran :

Lingkar kepala : 32 cm Panjang lengan : 24 cm

Lingkar dada : 22 cm Panjang kaki : 23 cm

Lingkar perut : 26 cm Kepala-simfisis : 23 cm

Simfisis-kaki : 24 cm

Pemeriksaan Laboratorium : (22/10/2019)

Laboratorium Rutin

- Belum dilakukan pemeriksaan

Laboratorium Khusus
- Ca : 8,5 mg/dl

Daftar Masalah

- Berat badan lahir rendah

- Takipnea

- Hipotermia

Diagnosa Kerja dan Diagnosa Banding

Neonatus cukup bulan kurang masa kehamilan 1700 gram gravid aterm 37-38
minggu + Asfiksia neonatorum ec suspek pneumonia neonatal

Tatalaksana Nutrisi

- Bayi dipuasakan

Tatalaksana Medikamentosa

- Aminosteril 35 mL/24 jam


- Injeksi Ampicillin 2 x 85 mg/24 jam
- Injeksi Gentamisin 1 x 8 mg/36 jam
FOLLOW UP PASIEN

23/10/2019

S/ Seorang bayi perempuan usia 1 hari, rawatan hari pertama dengan NCB
KMK 1700 gram gravid aterm 37-38 minggu + Asfiksia neonatal ec
pneumonia neonatal.

- Demam tidak ada, kejang tidak ada


- Sesak nafas tidak ada, muntah tidak ada.
- Kembung tidak ada
- Kuning tidak ada, kebiruan tidak ada
- BAB dan BAK biasa.

O/ Keadaan umum : Sedang

Frekuensi Nadi : 151 kali permenit

Frekuensi Nafas : 56 kali permenit

Suhu : 37.40C

A/ NCB KMK 1700 gram gravid aterm 37-38 minggu + Asfiksia neonatal
ec suspek pneumonia neonatal.

P/ - Aminosteril 35 mL/24 jam


- Injeksi Ampicillin 2 x 85 mg/24 jam
- Injeksi Gentamisin 1 x 8 mg/36 jam
BAB IV

DISKUSI

Bayi Ny. Silvia Winda, jenis kelamin laki-laki, lahir tanggal 22 Oktober
2019 pukul 5.50 WIB di puskesmas Sungai Pua di tolong oleh bidan. Bayi diagnosa
NCB KMK 1700 gr gravid 37-38 minggu dengan asfiksia ec suspect pneumonia
neonatal. Diagnosa ditegakan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan bayi tidak menangis dan
merintih sejak lahir. Keadaan bayi tidak menangis dan merintih sejak lahir
menandakan adanya gangguan napas pada bayi tersebut.

Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam
paru- parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan
insterstitial diparu sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan
menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol
pulmonal akan tetapkontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri
sistemik tidak mendapat oksigen. Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan
terjadi konstriksi arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun
demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk
mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan
menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital.

Gangguan napas pada bayi baru lahir terbanyak di akibatkan oleh Transient
tachypnea of the newborn (TTN), hyaline membrane disease (HMD), aspirasi
meconium dan pneumonia, gejala ke empatnya serupa/sama. Pada pasien ini risiko
untuk TTN tidak ada karena bayi lahir dengan pervaginam, TTN terjadi akibat
kegagalan absorpsi cairan di paru bayi, namun TTN biasanya terjadi beberapa jam
setelah bayi lahir dan menghilang dalam 48-72 jam. HMD atau atau tidak
adekuatnya produksi surfaktan terjadi pada bayi lahir dengan terjadi pas usia gestasi
kurang dari 32 minggu atau dengan berat kurang dari 1200 gr. HMD dapat terjadi
pada bayi cukup bulan dengan hiperglikemia atau lahir dari ibu dengan diabetes
melitus. Pada pasien ini dari kriteria HMD, maka HMD dapat di singkirkan dari
penyebab gangguan napas yang terjadi. Pada kasus aspirasi meconium, gejala
muncul beberapa jam setelah kelahiran. Pneumonia neonatal
dapat diklasifikasikan berdasarkan onset awal dan akhir. Pada onset awal secara
umum adalah presentasi klinis dalam 48 jam pertama sampai dengan 1 minggu
kehidupan, sedangkan onset akhir neonatal pneumonia terjadi pada 3 minggu
berikutnya.

Pada anamnesis didapatkan bahwa riwayat ibu nyeri BAK menjelang


persalinan. Hal ini menjadi faktor predisposisi terjadinya pneumonia dan
merupakan faktor risiko untuk terjadinya sepsis awitan dini pada bayi. Proses
masuknya mikroorganisme pada neonatus bisa terjadi selama masa kehamilan, saat
proses persalinan, atau pun setelah proses persalinan. Pada masa intra uterin atau
masa kehamilan, infeksi bisa terjadi akibat cairan amnion atau mekonium yang
terinfeksi atau penyebaran transplasenta-hematogen.

Berdasarkan pemeriksaan didapatkan pasien takipnea,nafas cuping hidung,


retraksi dinding dada dan hipotermia dengan nafas 68 kali permenit, suhu 34,5◦C.
Bayi apabila kekurangan oksigen akan melakukan beberapa usaha bernapas seperti
megap-megap sebagai kompensasinya, Bantuan pernapasan harus segera diberikan
untuk mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen tersebut. Keadaan hipotermia
pada bayi diduga karena thermoregulasi yang diberikan di puskesmas rujukan tidak
baik. Normal suhu pada bayi baru lahir adalah 36,5◦C-37,2◦C .11

Berat badan lahir pada bayi ini 1700 gram merupakan berat badan lahir
rendah (BBLR). WHO mendefenisikan BBLR sebagai bayi yang lahir dengan berat
kurang sama 2500 gram. WHO mengelompokan BBLR menjadi 3 macam yaitu,
BBLR (1500-2499 gr), BBLSR (1000-1499 gr), BBLASR (kurang 1000 gr).
Penyebab terjadinya BBLR adalah faktor ibu (status gizi, umur, paritas, status
ekonomi), riwayat kehamilan buruk (pernah melahirkan BBLR, aborsi), asuhan
antenatal care yang buruk dan keadaan janin. BBLR pada bayi ini kemungkinan
diakibatkan karena gizi ibu yang kurang dan penerapan gaya hidup yg tidak baik.
Pada bayi BBLR memiliki peluang lebih kecil untuk bertahan hidup. BBLR
cenderung mengalami gangguan perkembangan kognitif, retardasi mental serta
lebih mudah mengalami infeksi yang dapat mengakibatkan kesakitan dan

kematian.12
Tatalaksana untuk gangguan nafas bayi dengan penggunaan CPAP atau
ventilator mekanis. Tatalaksana dapat diberikan antibiotik lini pertama untuk bayi
yaitu ampicillin dengan dosis 50mg/kgBB setiap 12 jam dalam minggu pertama
kehidupan. Minggu kedua sampai minggu keempat kehidupan diberikan setiap 6
jam. ditambah dengan dosis tunggal gentamicin 5mg/kgBB per 36 jam. Pada pasien
ini diberikan Tatalaksana pada bayi ini diberikan ampicilin injeksi 2 x 85 mg dan
gentamisin 1x8 mg per 36 jam. Penatalaksanaan hipotermia pada bayi ini dilakukan
penghangatan ulang dengan inkubator, pastikan bayi kering untuk mencegah
evaporasi, berikan topi dan selimuti bayi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Marwiyah N. Hubungan penyakit kehamilan dan jenis persalinan dengan


kejadian asfiksia neonatorum di RSUD dr. drajat prawiranegara serang.
NurseLine Journal. 2016. 1(2); 257-266
2. Rahma AS, Armah M. Analisis faktor risiko kejadian asfiksia pada bayi baru
lahir di RSUD syekh yusuf gowa dan RSUP dr. wahidin sudirohusodo
makassar tahun 2013. Jurnal Kesehatan. 2014. 3(1); 277-287
3. Manoe VM, Amir I. Gangguan fungsi multi organ pada bayi asfiksia berat. Sari
Pediatri. 2003 : 5(2); 72-78
4. Hospital Care for Children. Manajemen bayi dengan asfiksia perinatal.
http://www.ichrc.org/35-manajemen-bayi-dengan-asfiksia-perinatal - Diakses
pada tanggal 23 Oktober 2019
5. Mala VY. Analisa penyebab angka kematian bayi (AKB) intervensi program
KKB dalam mencapai sasaran MDG’s. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.2012; 1-4

6. World Health Organization. The world health report 2005: make every
mother and child count. Geneva: WHO; 2005
7. Sunshine P. Perinatal asphyxia : an overview. In: Stevenson DK, et al. Fetal
and neonatal brain injury : mechanism, management and the risk of
practise.Cambridge: Cambridge University Press; 2010. p.3-11.
8. Pitsawong C, Panichkul P. Risk factor associated with birth asphyxia in
phramongkutklao hospital. Bangkok: Thai Journal of Obstetry and
Gynecology;2013. p.165-171.
9. Helmy M. Mechanisms of birth asphyxia and a novel resuscitation strategy.
Helsinki: University of Helsinki Press; 2013.
10. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku
panduan resusitasi neonatus edisi 6. Jakarta: Perinasia; 2011
11. Gomella TL. Neonatology Management, procedures, On-Call Problems,
Disease, and Drugs. McGraw Hill Lange. 7th edition. 2013
12. Hartiningrum I, Fitriyah N. Berat Badan Lahir Rendah di Provinsi Jawa Timur
Tahun 2015-2016. Jurnal Biometrika dan Kependudukan.2018: 7(2); 97-104

Anda mungkin juga menyukai