Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SLE


(SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS) DI RUANG 28 IRNA 1
RUMAH SAKIT dr. SAIFUL ANWAR MALANG

oleh
Zumrotul Farikhah, S.Kep
NIM 192311101043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan berikut disusun oleh:
Nama : Zumrotul Farikhah
NIM : 192311101043
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan SLE di Ruang 28 IRNA I
Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang

telah diperiksan dan disahkan oleh pembimbing pada:

Hari, Tanggal :
Tempat :

Jember, Desember 2019

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik Stase Pembimbing Klinik


Keperawatan Medikal Ruang 28 IRNA 1
FKep Universitas Jember RS dr. Saiful Anwar Malang

Ns. Jon Hafan S., M.Kep., S.Kep.MB


NIP. 19840102 201504 1 002

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................ i


LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
A. KONSEP TEORI PENYAKIT ......................................................... 1
1. Anatomi Fisiologi .......................................................................... 1
2. Pengertian SLE................................................................................ 7
3. Epidemiologi SLE ........................................................................... 7
4. Etiologi SLE .................................................................................... 8
5. Klasifikasi SLE ............................................................................... 9
6. Patofisiologi SLE ............................................................................ 11
7. Manifestasi Klinis SLE ................................................................... 12
8. Pemeriksaan Penunjang SLE .......................................................... 13
9. Penatalaksanaan Farmakologis dan NonFarmakologis SLE........... 13
B. PATHWAY SLE .................................................................................... 18
C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengakajian ..................................................................................... 20
2. Diagnosa Keperawatan .................................................................... 21
3. Intervensi Keperawatan ................................................................... 22
D. DISCHARGE PLANNING ...................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. .... 29

iii
A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Anatomi dan Fisiologi

1. Sistem kekebalan tubuh manusia (Kristina, 2018)


a. Pertahanan garis pertama
Pertahanan tubuh pertama yang mencegah terjadinya infeksi adalah
pertahan paling luar, contohnya adalah kulit, cairan asam lambung,
lapisan mukosa, air mata serta asam di area sekitar vagina.
b. Pertahanan garis kedua
Pertahanan tubuh kedua dalam tubuh manusia biasanya disebut tentara
yang berperan dalam respon imun non spesifik. Respon imun
nonspesifik akan menghabisi mikroba atau virus yang akan masuk ke
dalam tubuh. Respon imun nonspesifik adalah makrofag, neutrofil,
interferon, dan protein komplemen. Pada pertahanan kedua ini juga
terjadi respon sistemik berupa demam dan peradangan akibat respon
imun nonspesifik yang bereaksi terhadap mikroba yang mencoba masuk
kedalam tubuh.
c. Pertahanan garis ketiga
Pertahanan garis ketiga dalam tubuh manusia adalah respon imun
spesifik. Respon imun spesifik ini secara khusus menghancurkan
mikroba yang sudah masuk kedalam tubuh dengan cara kerja yang
sangat rapi dan teratur. Respon imun nonspesifik ini adalah limfosit sel
B dan limfosit sel T. Jika antigen masuk kedalam tubuh dan berhasil
menerobos pertahanan prtama maka tentara yang bertugas di garis
pertahanan kedua yang akan bertindak. Jika patogen berhasil menerobos
garis pertahanan tubuh kedua maka pertahanan tubuh ketiga yang akan
melawannya.
2. Sel-sel yang berperan dalam respon Imun
a. Sel B
Sel B adalah antigen spesifik yang berpoliferasi untuk merespon antigen
tertentu. Sel B merupakan nama busa fabrisius, yaitu jaringan limfoid yang

1
ditemukan pada ayam. Jaringan sejenis yang ada pada manusia yaitu
sumsum tulang, jaringan limfe usus, dan limpa. Sel B matur bermigrasi ke
organ-organ limfe perifer seperti limpa, nodus limfe, bercak Peyer pada
saluran pencernaan, dan amandel. Sel B matur membawa molekul
immunoglobulin permukaan yang terikat dengan membran selnya. Saat
diaktifasi oleh antigen tertentu dan dengan bantuan limfosit T, sel B akan
derdiferensiasi melalui dua cara, yaitu :
1. Sel plasma adalah sel ini mampu menyintesis dan mensekresi
antibodi untuk menghancurkan antigen tertentu
2. Sel memori B adalah sel memori menetap dalam jaringan limfoid
dan siap merespons antigen perangsang yang muncul dalam pajanan
selanjutnya dengan respons imun sekunder yang lebih cepat dan
lebih besar
b. Sel T
Sel T juga menunjukkan spesifitas antigen dan akan berpoliferasi jika ada
antigen, tetapi sel ini tidak memproduksi antibodi. Sel T mengenali dan
berinteraksi dengan antigen melalui reseptor sel T, yaitu protein permukaan
sel yang terikat membran dan analog dengan antibodi. Sel T memproduksi
zat aktif secara imulogis yang disebut limfokin. Sub tipe limfosit T
berfungsi untuk membantu limfosit B merespons antigen, membunuh sel-
sel asing tertentu, dan mengatur respons imun. Respons sel T adalah Sel T
seperti sel B berasal dari sel batang prekusor dalam sumsum tulang. Pada
periode akhir perkembangan janin atau segera setelah lahir, sel prekusor
bermigrasi menuju kelenjar timus, tempatnya berpoliferasi, berdiferensiasi
dan mendapatkan kemampuan untuk mengenali diri. Setelah mengalami
diferensiasi dan maturasi, sel T bermigrasi menuju organ limfoid seperti
limpa atau nodus limfe. Sel ini dikhususkan untuk melawan sel yang
mengandung organisme intraselular.
Sel T efektor :
a. Sel T sitotoksik (Sel T pembunuh)

2
Mengenali dan menghancurkan sel yang memperlihatkan antigen
asing pada permukaannya
b. Sel T pembantu
Tidak berperan langsung dalam pembunuh sel. Setelah aktivasi oleh
makrofag antigen, sel T pembantu diperlukan untuk sistesis antibodi
normal, untuk pengenalan benda asing sel T pembantu melepas
interleukin-2 yang memproduksi proliferasi sel T sitotoksik,
menolong sel T lain untuk merespons antigen dan sel T pembantu
dapat memproduksi zat (limfokin) yang penting dalam reaksi alergi
(hipersensivitas).
c. Sel T supresor
Setelah diaktifasi sel T pembantu akan menekan respon sel B dan T
c. Makrofag

Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui denaturasi atau


mencerna sebagian antigen untuk menghasilkan fragmen yang mengandung
determinan antigenic. Makrofag akan meletakkan fragmen antigen pada
permukaan selnya sehingga terpapar untuk limfosit T tertentu.

2. Definisi

Lupus adalah penyakit peradangan (inflamasi) kronis yang disebabkan oleh


sistem imun atau kekebalan tubuh yang menyerang sel, jaringan, dan organ
tubuh sendiri. Penyakit seperti ini disebut penyakit autoimun. Lupus dapat
menyerang berbagai bagian dan organ tubuh seperti kulit, sendi, sel darah, ginjal,
paru-paru, jantung, otak, dan sumsum tulang belakang. Pada kondisi normal,
sistem imun akan melindungi tubuh dari infeksi. Akan tetapi pada penderita
lupus, sistem imun justru menyerang tubuhnya sendiri. Penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) adalah penyakit yang ditandai dengan produksi antibodi
yang berlebihan terhadap komponen inti sel, sehingga menimbulkan berbagai
macam manifestasi klinis pada organ (Cleanthous, Tyagi, Isenberg, & Newman,
2012 dalam Fatmawati 2018). SLE adalah hasil dari regulasi sistem imun yang
terganggu yang menyebabkan produksi berlebihan dari autoantibodi. Pada

3
kondisi normal tubuh manusia, antibodi diproduksi dan digunakan untuk
melindungi tubuh dari benda asing (virus, kuman, bakteri, dll). Namun pada
kondisi SLE, antibodi tersebut kehilangan kemampuan untuk membedakan
antara benda asing dan jaringan tubuh sendiri. Secara khusus, sel B dan sel T
berkontribusi pada respon imun penyakit SLE ini (Smeltzer, Bare, Hinkle, &
Cheever, 2010 dalam Fatmawati, 2018).

3. Epidemiologi
Organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat jumlah penderita penyakit
Lupus di Seluruh dunia mencapai lima juta orang. Sebagian besar penderita
lupus adalah berjenis kelamin perempuan dan berada dalam rentang usia
produktif dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Dari
sekitar 1250.000 orang Indonesia yang terkena penyakit lupus (asumsi
prevalensi 0,5% berdasarkan penelitian Kalim dkk), sangat sedikit yang
menyadari bahwa dirinya menderita penyakit lupus. Hal ini terjadi karena gejala
penyakit lupus pada setiap penderita berbeda-beda trgantung dari manifestasi
klinis yang muncul. Berdasarkan data sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS)
online, pada tahun 2016 terdapat 858 rumah sakit yang melaporkan datanya.
Jumlah ini eningkat dri duua tahun sebelumnya. Berdasarkan rumah sakit yang
melaporkan datanya tahun 2016 diketahui bahwa terdapat 2166 pasien rawat
inap yang didiagnosa penyakit lupus, dengan 550 pasien diantaranya meninggal
dunia (Kemenkes RI, 2017).
Penyakit lupus kebanyakan menyerang wanita pada usia 15-50 tahun (usia
produktif). Namun, lupus juga dapat menyerang anak-anak dan pria.
Berdasarkan SIRS online, proporsi pasien rawat inap lupus di rumah sakit di
Indonesia tahun 2016 brjenis kelamin laki-laki (54,3%) lebih banyak
dibandingkan pasien perempuan (45,7%). Pada tahun 2014 proporsi pasien
perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Namun, proporsi pasien
laki-laki menjadi lebih banyak dibandingkan pasien perempuan pada tahun 2015
dan meningkat pada tahun 2016. Pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia
pada kurun waktu 2014-2016 terbanyak adalah pasien dengan usia 44-46 tahun,
diikuti ooleh kelompok usia lebih dari 65 tahun, dan kelompok usia 14-44 tahun.

4
Jumlah pasien Lupus yang berusia 44-46 tahun meningkat sekitar dua kali lipat
pada tahun 2016 (932 orang) dibandingkan dengan tahun 2015 (479 orang)
(Kemenkes RI, 2017).

4. Etiologi
Penyakit SLE belum diketahui penyebabnya secara jelas, namun ada beberapa
faktor resiko yang bisa menyebabkan penyakit SLE adalah (Kemenkes RI, 2017)
:
a. Faktor genetik : diketahui bahwa sekitar 7% pasien SLE memiliki keluarga
dekat (orang tua atau saudara kandung) yang juga terdiagnosis SLE. Sejauh
ini diketahui terdapat sekitar 30 variasi gen yang dikaitkan dengan kejadian
SLE.
b. Faktor lingkungan : infeksi, stress, makanan, antibiotik (khususnya
kelompok sulfa dan penisislin), cahaya ultraviolet (matahari) dan
penggunaan obat-obat tertentu, merokok, paparan kristal silika, merupakan
faktor pemicu timbulnya SLE.
c. Faktor hormonal : perempuan lebih sering terkena penyakit SLE
dibandingkan dengan laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit
SLE sebelum periode menstruasi atau selama kehamilan mendukung dugaan
bahwa hormon, khususnya estrogen menjadi pencetus penyakit SLE.
Namun, hingga saat ini belum diketahui secara pasti peran hormon yang
menjadi penyebab besarnya prevalensi SLE pada perempuan pada periode
tertentu.

5. Klasifikasi
Penyakit lupus terbagi menjadi beberapa tipe (Kemenkes RI, 2017):
a. Lupus eritematosus sistemik (SLE/LSE)
SLE dapat menyerang jaringan serta organ tubuh mana saja dengan tingkat
gejala yang ringan sampai parah. banyak yang hanya merasakan beberapa
gejala ringan untuk waktu yang lama atau bahkan tidak sama sekali sebelum
tiba0tiba mengalami serangan yang parah. gejala-gejala ringan SLE.

5
Terutama rasa nyeri dan lelah berkepanjangan, dapat menghambat rutinitas
kehidupan. Karena itu penderita SLE bisa merasa tertekan, depresi, dan
cemas meski hanya mengalami gejala ringan. SLE belum dapat disembuhkan
tetapi tujuan pengobatannya adalah untuk mendapatkan remisi panjang,
mengurangi tingkat gejala serta mencegah kerusakan organ pada penderita
SLE. Zaman sekarang ini, pengobatan SLE jauh lebih baik, hampir semua
penderita SLE saat ini dapat hidup normal atau setidaknya mendekati tahap
normal. Bantuan dan dukungan dari keluarga, teman, serta staf medis juga
berperan penting dalam membantu para penderita SLE dalam menghadapi
penyakit mereka.
b. Lupus Eritematosus Kutaneus
Tanda dari penyakit ini adalah munculnya ruam pada kulit dengan berbagai
tampilan klinis. Pada lupus jenis ini dapat didiagnosis dengan mengenali
gambaran klinis dan beberapa pengujian diantaranya melalui biopsi pada
ruam. Pada gambaran biopsi akan terlihat adanya infiltrasi sel inflamasi dan
endapan kompleks imun pada batas dermoepidermal yang dikenal dengan
lupus band
c. Lupus Imbas Obat
Ada lebih dari 100 jenis obat yang dapat menyebabkan efek samping yang
mirip dengan gejala lupus pada orang-orang tertentu. Gejala lupus akibat
obat umumnya akan hilang jika berhenti mengkonsumsi obat tersebut
sehingga tidak perlu menjalani pengobatan khusus. Tetapi perlu diperhatikan
untuk tidak lupa berkonsultasi kepada dokter sebelum memutuskan berhenti
menkonsumsi obat dengan resep dokter.
d. Sindroma Overlap, Undifferentiated Connective Tissue Disease (UCTD),
dan Mixed Connective Tissue Disease (MCTD)

6. Patofisiologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian
sel secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh

6
berbagai agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering
ditemukan pada manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan
yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas
autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus
dapat menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan generasi
kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan
mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara
langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau
penetrasi ke sel hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul
sebagai respon untuk melawan sistem imun dengan antigen yang pertama
muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel
namun juga pada berbagai penyakit, termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus
dapat memprovokasi puncak penyakit (Muthusamy, 2017).

7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi kterlibatan kulit dan mukosa, sendi,
darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat dan sistem imun. Oleh karena
itu manifestasi penyakit SLE sangat beragam dengan perjalnan penyakit yang
bervariasi dan memiliki risiko kematian yang tinggi (hingga 67% lebih tinggi
dari populasi normal), sehingga memerlukan pengobatan yang lama dan seumur
hidup. Untuk itu diperlukan pengenalan dini serta penatalaksanaan yang tepat.
Gejala awal penyakit SLE hampir sama dengan penyakit lain sehingga sulit
untuk didiagnosis. Gejala lupus sangat beragam. Ada yang ringan dan ada yang
mengancam jiwa. Gejala lupus yang paling sering muncul adalah (Kemenkes RI,
2017) :
a. Keletihan
b. Sakit kepala
c. Nyeri atau bengkak sendi
d. Demam
e. Anemia
f. Nyeri dada ketika menarik nafas panjang

7
g. Ruam kemerahan di pipi hingga hidung
h. Sensitif terhadap cahaya matahari
i. Rambut rontok sampai kebotakan
j. Pendarahan yang tidak biasa
k. Jari-jari berubah pucat dan kebiruan ketika dingin
l. Sariawan di mulut atau koreng di hidung

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa LSE
adalah (Aulia, 2017) :
1) Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2) Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin
3) Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4) PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5) Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
6) Foto polos thorax : Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak
diperlukan untuk monitoring. Pemeriksaan dilakukan setiap 3-6 bulan bila
stabil
7) Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien
dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes
ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran
klinis menyerupai LES misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit
autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis
reumatoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal.

Menegakkan diagnosis LES memerlukan konsensus hingga kini, berbagai


kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi yang paling
banyak dianut adalah kriteria menurut American College of Rheumatology (ACR).

8
Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR
tersebut.

Diagnosis banding LES harus memikirkan kemungkinan infeksi, keganasan,


paparan toksin dan penyakit multisistem lainnya. Pemeriksaan penunjang yang
berguna untuk menegakkan diagnosis adalah: darah tepi lengkap: anemia,
lekopenia, trombositopenia*, retikulosit; uji Coomb; LED*; CRP; ureum dan
kreatinin serum*; SGOT dan SGPT; elektrolit: natrium, kalium, dan kalsium;
glukosa sewaktu; elektroforesis protein; masa pembekuan; PT/Aptt; komplemen:

9
C3, C4, dan CH50*; uji ANA*; anti-dsDNA*; anti Smith; antibodi antifosfolipid:
IgG atau IgM anti kardiolipin, antikoagulan lupus, serologis sifilis (VDRL);
urinalisis*; protein urine (kuantitatif dan atau semi kuantitatif)*; biakan kuman
terutama dalam urin; pencitraan: foto rontgen toraks & persendian, USG ginjal,
MRI kepala (atas indikasi); elektrokardiografi; titer IgM, IgG, IgA; dan
krioglobulin. Dalam menegakkan diagnosis tidak semua pemeriksaan laboratorium
ini harus ada, tetapi pemeriksaan awal (diberi tanda*) sebaiknya dilakukan.

9. Penatalaksanaan
Tatalaksana pasien SLE adalah untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas
hidup agar pasien penyakit SLE dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Tatalaksana umum yang harus dilakukan adalah
(Kemenkes RI, 2017) :
a. Hindari aktivitas yang berlebihan
b. Hindari merokok
c. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
d. Hindari stres dan trauma fisik
e. Diet khusus sesuai organ yang terkena
f. Hindari pajanan sinar matahari secara langsung, khususnya UV pada pukul
10.00 sampai 15.00
g. Gunakan pakaian yang tertutup, tabir surya minimal SPF0PA++30 menit
sebelum keluar rumah
h. Hindari pajanan lampu UV
i. Hindari pemakaian kontrasepsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen
j. Minum obat teratur

Obat-obatan yang digunakan sebagai kombinasi dengan steroid antara lain


chloroquin, azathioprine, siklosporin, siklophospamide atau metrotrexate.
Chloroquin, hydroxychloroquin adalah anti malaria yang digunakan untuk terrapi
lupus, biasanya digunakan untuk mengontrol lupus kutaneus atau arthritis.

10
Azathioprine (imuran) & siklophospamide adalah obat sitotoksik untuk
imunosupresan, biasanya digunakan kombinasi dengan steroid. Selain terapi
farmakologis, terapi nonfarmakologi yang dianjurkan pada penderita SLE adalah
menghindari paparan sinar mataharo yang terlalu banyak, istirahat yang cukup,
hindari stress mental maupun fisik yang berlebihan (Askandar dkk, 2015).

11
B. PATHWAY Faktor Lingkungan
Faktor Genetik 7% -Infeksi Faktor Hormonal
- Stres perempuan > laki-
- makanan laki
- Antibiotik
- UV
- Merokok

Produksi antibodi
terus menerus

SLE

Autoimun
menyerang tubuh
secara berlebihan

Kerusakan beberapa
sistem
12
Muskuloskeletal Integumen kardiac respirasi hematologi

Pembengkakan pleuritis
perikarditis
sendi Kegagalan
Adanya lesi sumsum
akut pada kulit tulang
(ruam butterfly Penumpukan membentuk
Artlargia,
kupu-kupu) Penebalan cairan pada sel darah
arthritis,
pada pangkal perikardium pleura merah
sinovitis
hidung dan
pipi

Kontraksi Gangguan
Nyeri tekan anemia
jantung pertukaran
dan rasa menurun gas
nyeri ketika
bergerak Penurunan
keletihan
Kerusakan Hb
integritas Suplai O2
kulit Penurunan turun
Nyeri akut curah
jantung Gangguan
Perfusi
Intoleransi Jaringan
aktivitas Perifer

13
C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
ada beberapa hal yang harus dikaji oleh perawat pada pasien dengan
SLE, diantaranya yaitu (Baughman dan Hackley, 2000) :
a. Identitas Pasien
b. Riwayat penyakit terdahulu
c. Riwayat penyakit keluarga
d. Lakukan pengkajian fisik menyeluruh, sistemik, inspeksi kulit
terhadap ruam erimatosus
e. Amati plak erimatosus kutan dengan penempelan plaque pada kulit
kepala, wajah, atau leher
f. Perhatikan area yang mengalami hiperpigmentasi atau depigmentasi
bergantung pada fase dan tipe penyakit
g. Tanyakan pasien tentang perubahan kulit, terutama sensitivitas
terhadap sinar matahari atau cahaya UV buatan
h. Inspeksi kulit kepala terhadap alopesia
i. Periksa mulut dan tenggorok terhadap ulserasi
j. Periksa terhadap adanya gesekan friksi perikardial dan bunyi paru
abnormal (efusi pleura)
k. Kaji tehrhadap keterlibatan vaskular
l. Amati terhadap tanda-tanda keterlibatan muskuloskeletal yang
ditandai dengan pembengkakan sendi, khangatan, nyeri saat
melakukan gerakan dan kekakuan sendi, keterlibatan sendi sering
simetris
m. Amati terhadap edema dan hmaturia, yang menandakan keterlibatan
ginjal
n. Permudah interaksi dengan pasien dan keluarga untuk memberikan
bukti lebih jauh tentang keterlibatan sistemik
o. Arahkan pengkajian neurologis pada pengidentifikasian dan
menguraikan keterlibatan sistem saraf pusat

14
p. Tanyakan anggota keluarga mengenai perubahan perilaku, neurosis,
atau psikosis
q. Perhatikan tanda-tanda depresi, laporkan adanya kejang korea atau
manifestasi ssp lainnya
r. Kaji pengetahuan tentang proses penyakit dan penatalaksanaan
mandiri
s. Kaji persepsi pasien tentang dan koping terhadap keletihan, citra
tubuh, dan masalah0masalah lain yang disebabkan oleh penyakit

Pengkajian setiap sistem (Tucker dkk., 1998):

a. Sistem limfe : limfadenopati


b. Sistem pencernaan : mual, muntah, diare, nyeri abdomen,
hepatosplenomegali, peritonitis
c. Sistem ginjal : hematuria, serpihan seluler, Proteinuria, Hipertensi,
Edema, Azotemia, Hipoproteinemia
d. Sistem saraf pusat : neuritis, sakit kepala. Kejang
e. Sistem sendi : artritis nondeformitis, Sendi hangat dan bengkak
f. Sistem integumen : sensitivitas terhadap sinar matahari,
kemerahan/eritema, “butterfly” di atas pipi dan tulang hidung,
alopesia, ulserasi oral atau nasal
g. Sistem pernapasan : pleuritis, infiltrasi parenkim paru, pendarahan
pulmoner
h. Sistem kardiovaskuler : perikarditis, murmur, kardiomegali,
fenomena Raynauds, vaskulitis, disrirmia
i. Sistem okular : badan-badan retinal, konjungtivitis, fotofobia,
diplopia
j. Perubahan perilaku

2. Diagnosa
1. Gangguan Pertukaran Gas yang berhubungan dengan edema paru
2. Nyeri Akut yang berhubungan dengan agen cedera biologis

15
3. Keletihan yang berhubungan dengan anemia
4. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen
5. ketidakefektifan perfusi Jaringan Perifer yang berhubungan dengan
penyakit anemia
6. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan penurunan
kontraktilitas otot jantung
7. Kerusakan Integritas Kulit yang berhubungan dengan sekresi imun

16
3. Intervensi

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1 Gangguan pertukaran Setelah dilakukan perawatan selama 2x24 jam gangguan (3140) Manajemen Jalan Nafas
Gas pertukaran gas pada pasien dapat teratasi dengan kriteri Definisi: Fasilitasi kepatenan jalan
hasil: nafas
Status Pernafasan (0415) 1. Buka jalan nafas dengan teknik
Tujuan chin lift atau jaw trust,
No Indikator Awal sebagaimana mestinya.
1 2 3 4 5 2. Posisikan pasien untuk
1 Frekuensi pernapasan v v memaksimalkan ventilasi. (semi
fowler)
2 Irama pernapasan v v 3. Auskultasi suara nafas, catat area
yang ventilasinya menurun atau
3 Kedalaman inspirasi v v tidak ada dan adanya suara
4 Suara auskultasi nafas v v tambahan.
4. Kolaborasi dengan tim medis
5 Kepatenan jalan nafas v v pemberian nebulizer.
6 Saturasi oksigen v v (3320) Terapi Oksigen
Definisi: Pemberian oksigen dan
7 Suara nafas tambahan v v pemantauan mengenai aktivitasnya.
1. Berikan Oksigen tambahan
Keterangan: seperti yang diperintahkan.
1. Deviasi berat dari kisaran normal/sangat berat 2. Monitor aliran oksigen
2. Deviasi yang cukup besar dari kisaran Monitor adanya tanda-tanda
normal/berat keracunan oksigen.
3. Deviasi sedang dari kisaran normal/cukup

17
4. Deviasi ringan dari kisaran normal/ringan
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal/tidak ada

3 Nyeri akut Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam Manajemen nyeri(1400)
Nyeriakut dapat teratasi dengan kriteri hasil: 1. Lakukan pengkajian yang
Tingkat nyeri (2102) komprehensif yang meliputi
Tujuan lokasi, karakteristik,
No Indikator Awal onsert/durasi, frekuensi,
1 2 3 4 5 kualitas, intensitas atau
1 Nyeri yang dilaporkan beratnya dan faktor pencetus.
2. Observasi adanya petunjuk
2 Panjangnya periode nonverbal mengenai
nyeri ketidaknyamanan terutama
pada merek yang tidak dapat
3 Menggosok area yang
berkomunikasi secara efektif
terkena dampak
3. Pastikan perawatan analgesik
4 Ketegangan otot bagi pasien dilakukan dengan
pemamtauan yang ketat
5 Ekspresi nyeri wajah 4. Gali pengetahuan dan
Keterangan: kepercayaan pasien mengenai
1. Sangat Berat nyeri
2. Berat 5. Tentukan akibat dari
3. Cukup pengalaman nyeri terhadap
4. Ringan kualitas hidup pasien
5. Tidak Ada (misalnya: tidur, nafsu makan,
performa kerja, perasaaan,
pengertian, hubungan,
tanggung jawab peran)

18
6. Berikan informasi mengenai
nyeri, seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan
dirasakan dan antisipasi akan
ketidaknyamanan akibat
prosedur.
7. Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri
8. Ajarkan teknik non
farmakologis (seperti:
biofeeback, TENS, hypnosis,
relaksasi,bimbingan antisipatif,
terapi music, terapi bermain,
terapi aktifitas, akupresur,
aplikasi panas/dingin dan
pijatan)
9. Berikan penurun nyeri yang
optimal dengan resepan
analgesik dari dokter.
8. Keletihan Setelah dilakukan perawatan selama 2 x 24 jam masalah Terapi Aktivitas
keletihan teratasi dengan kriteria hasil: 1. Pertimbangakn kemampuan
1. Tidak ada kelelahan klien dalam berpartisipasi melalui
2. Selera makan baik aktivitas fisik
3. Nyeri tidak ada 2. Kolaborasi dengan fisioterapis
4. Perawat/keluarga dapat membantu pasien dalam 3. Bantu klien memperoleh
melakukan aktivitas dan pemenuhan ADL pasien transportasi untuk dapat mengikuti
5. Pasien dapat melakukan aktivitas dengan optimal aktivitas

19
4. Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas yang
mampu dilakukan
5. Bantu klien dan keluarga
mengidentifikasi kelemahan yang
terjadi

4. Ketidakefektifan perfusi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 (4062) Perawatan sirkulasi:
jaringan perifer jam, diharapkan ketidakefektifan perfusi jaringan Insufiensi Arteri
perifer dapat teratasi dengan kriteri hasil: 1. Lakukan pemeriksaan fisik
Perfusi jaringan: Perifer (0407) system kardiovaskuler atau
Tujuan penilaian yang komprrehensif
No Indikator Awal pada sirkulasi perifer, misal
1 2 3 4 5 memeriksa nadi perifer, edema,
1 Pengisian kapiler jari v v warna dan suhu.
2. Evaluasi edema dan denyut nadi
2 Pengisian kapiler jari v v 3. Inspeksi kulit untuk adanya luka
kaki atau kerusakan jaringan.
3 Suhu kulit ujuang kaki v v 4. Monitor tingkat
dan tangan ketidaknyamanan atau adanya
4 Edema perifer v v nyeri
5. Lindungi ujung kaki dan tangan
5 Kekuatan denyut nadi v v dari cidera misalnya memakai
Keterangan: kaos kaki.
1. Deviasi berat dari kisaran normal/sangat berat 6. Instruksikan pada pasien
2. Deviasi yang cukup besar dari kisaran mengenai perawatan kaki yang
normal/berat tepat.

20
3. Deviasi sedang dari kisaran normal/cukup 7. Pelihara hidrasi yang memadai
4. Deviasi ringan dari kisaran normal/ringan untuk menurunkan kekentalan
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal/tidak ada darah.
8. Monitor jumlah cairan masuk
dan keluar.
5 Intoleransi Aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 (4310) Terapi Aktivitas
jam, diharapkan aktivitas kembali normal dengan kriteri 1. Pertimbangkan kemampuan
hasil: klien dalam berpartisipasi
Toleransi terhadap aktivitas (0005) melalui aktivitas spesifik.
Tujuan 2. Bantu klien tetap fokus pada
No Indikator Awal kekuatan [yang dimilikinya]
1 2 3 4 5 dibandingkan dengan kelemahan
1 SpO2 ketika v v yang dimilikinya].
beraktivitas 3. Bantu dengn aktivits fisik secara
teratur sesuai dengan kebutuhan.
2 Frekuensi nadi v v 4. Bantu klien untuk meningkatkan
ketikaberaktivitas motivasi diri dan penguatan.
3 Frekuensi pernapasan v v (0180 Manajemen Energi).
ketika beraktivitas 1. Kaji status fisiologis asien yang
4 Kemudahan bernafas v v menyebabkan kelelahan sesuai
ketika beraktivitas dengan konteks usia dan
5 Kemudahan dalam v v perkembangan.
melakukan ADL 2. Anjurkan pasien
Keterangan: mengungkapkan secara verbal
1. Sangat terganggu keterbatasan yang dialami.
2. Banyak terganggu 3. Pilih intervensi untuk
3. Cukup terganggu mengurangi kelelahan baik
4. Sedikit terganggu

21
5. Tidak terganggu secara famakologis maupun
non farmakologis dengan tepat.
4. Kurangi ketidaknyamanan fisik
yang dialami pasien yang bisa
mempengaruhi fungsi kognitif,
pemantauan diri, dan
pengaturan aktivtas pasien.
6 Kerusakan integritas Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam Pengecekan kulit (3590)
kulit Kerusakan integritas kulit dapat teratasi dengan kriteria 1. Periksa kulit terkait dengan
hasil: adanya kemerahan, kehangatan
Intregritas jaringan: Kulit dan membrane mukosa ekstrem, edema.
(1101) 2. Amati kehangatan, warna,
Tujuan bengkak, pulsasi, tekstur,
No Indikator Awal edema, dan ulserasi pada
1 2 3 4 5 ekstemitas.
1 Suhu kulit v v 3. Monitor warna dan suhu kulit.
4. Monitor infeksi terutama dari
2 Sensasi (gatal) v v daerah edema.
5. Ajarkan amggota
3 Elastisitas v v
keluarga/pemberi asuhan
4 Intregitas kulit v v mengenai tanda-tanda keruskan
kulit dengan tepat.
5 Tekstur v v
6 Keringat v v
Keterangan:
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu

22
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu

23
DAFTAR PUSTAKA

Aulia. 2017. Diagnosis SLE. Direktorat Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit


Tidak Menular Direktorat Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit :
Kemenkes RI. [Serial Online] http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-
p2ptm/subdit-penyakit-paru-kronik-dan-gangguan-imunologi/diagnosis-les.

Askandar, Tjokroprawiro., Etiawan, Poernomo B., Santoso, Djoko., Soegiarto,


Gatot., Rahmawati, Lita D. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Mulyorejo
Surabaya : Airlangga University Press.

Fatmawati, Atikah. 2018. REGULASI DIRI PADA PENYAKIT KRONIS—


SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS: KAJIAN LITERATUR. Jurnal
Keperawatan Indonesia, Volume 21 No.1, Maret 2018, hal 43-50 pISSN
1410-4490, eISSN 2354-9203 DOI: 10.7454/jki.v21i1.542. [serial online]
https://media.neliti.com/media/publications/260853-none-d1ce5412.pdf.
Diakses pada tanggal 30 Desember 2019.

Baughman, Diane C dan Hackley, JoAnn C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah :


buku saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta : EGC.

Tucker, Susan M., Canobbio, Mary M., Paquette, Eleanor V., dan Wells, Majorie
F. 1998. Standar prawatan pasien : pross keperawatan, diagnosis dan evaluasi.
Jakarta : EGC.

Muthusamy, Vikneshwaran. 2017. SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOUS (


SLE). BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/4b5af7f9d2503f55a
347e689e5d7f2ab.pdf

24

Anda mungkin juga menyukai