Anda di halaman 1dari 5

Frekuensi senggama adalah seberapa sering melakukan senggama (hubungan seksual)

khususnya pada ibu hamil selama kehamilannya. Menurut Irianto (2010), membagi
frekuensi hubungan seksual selama kehamilan menjadi 3, yaitu:
1. Sering : > 2 kali / minggu
2. Kadang-kadang : 1-2 kali / minggu
3. Tidak melakukan : 0 kali/minggu

Sedangkan menurut Syafrudin (2012), frekuensi hubungan saat hamil tergantung pada
kondisi wanita. Jadi selama tidak menjadi beban bagi istri, hubungan seksual selama
kehamilan tidak menjadi masalah. Lain halnya jika istri kehilangan dorongan seksual dan
hanya melakukan hubungan seksual demi memuaskan suami. Intinya, hubungan seksual
yang baik adalah hubungan seksual yang dilakukan untuk kepentingan bersama antara suami
dan istri. Karena bagaimanapun, hubungan seksual yang baik merupakan hubungan
komunikasi yang paling dalam antara pasangan suami istri.

Frekuensi senggama dapat mempengaruhi perilaku seksual ibu hamil untuk melakukan
hubungan seksual. Selama kehamilan berjalan normal, tidak ada larangan untuk ibu
melakukan hubungan seksual, dari segi frekuensinya (batasan) seberapa sering ibu boleh
berhubungan intim saat hamil sebaiknya tidak lebih dari 3 kali per minggu. Sebab, terlalu
sering hubungan seksual saat hamil dapat meningkatkan risiko ibu terkena infeksi saluran
kencing (ISK). ISK adalah masalah yang sangat mengganggu, dan jika terlambat diobati
juga dapat menyebabkan komplikasi kehamilan. Pipis sebelum seks serta membasuh vagina
sebelum dan setelah seks bisa mengurangi risiko infeksi. Perlu dipahami juga rekomendasi
berhubungan intim 3 kali seminggu saat hamil di atas bukan harga mati. Menentukan
seberapa sering ibu ingin berhubungan intim selama kehamilan sebaiknya tetap
didiskusikan bersama pasangan. Dapat disimpulkan bahwa frekuensi senggama yang tidak
teratur, hingga tidak sama sekali melakukan senggama pada saat hamil juga dapat
berdampak buruk dan dapat mempengaruhi pada perilakunya dalam melakukan hubungan
seksual karena sudah menjadi hal yang biasa tidak melakukan hubungan seksual selama
kehamilannya. Bukan hanya itu hal tersebut juga pastinya juga dapat mempengaruhi
keharmonisan rumah tangganya.
Perubahan libido adalah perubahan dimana seseorang mengalami penurun gairah seksual
yang disebabkan oleh beberapa perubahan yang dialaminya seperti perubahan fisik,
hormonal dan psikologis khusunya pada ibu hamil selama kehamilannya. Menurut
Suparyanto (2011) peningkatan dan penurunan gairah seksual selama kehamilan yang
terjadi pada Trimester III yaitu ketika mendekati persalinan, biasanya libido menurun lagi
bahkan lebih drastis dibandingkan trimester pertama. Perut yang makin membesar
membatasi gerakan dan posisi nyaman saat berhubungan intim.

Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Nülüfer Erbil (2018) menyatakan bahwa
perubahan fisiologis dan psikologis yang terjadi selama kehamilan dapat mempengaruhi
keinginan serta perilaku seksual. Penurunan keinginan dan perilaku seksual sering terlihat
pada trimester ke-3 kehamilan. Selama periode ini ibu hamil yang menghindari hubungan
seksual menyatakan bahwa takut terjadi kontraksi rahim, takut membahayakan ibu dan
janin, libido rendah, kelelahan, kelemahan, hubungan seksual yang menyakitkan, risiko
ketuban pecah dini dan plasenta previa. Oleh sebab itu banyak ibu hamil yang mengalami
penurunan keinginan seksual dan menghindari hubungan seksual pada saat hamil karena
kurangnya pengetahuan tersebut, dan pastinya juga berpengaruh terhadap perilaku
seksualnya dalam melakukan hubungan seksual.

Setelah perubahan libido, frekuensi orgasme juga dapat mempengaruhi perilaku seksual ibu
hamil. Orgasme merupakan perubahan yang bisa dirasakan baik lewat fisik dengan tanda
seperti kejang dan lonjakan, maupun emosi gairah seksual yang mencapai puncak
kenikmatan seksual. Orgasme adalah klimaks dari gairah seksual atau pelepasan ketegangan
seksual bawaan yang dirasakan seluruh tubuh. Sedangkan frekuensi orgasme sendiri adalah
seberapa sering seseorang dapat mengalami orgasme atau puncak kepuasan seksual saat
melakukan hubungan seksual. Yvonne K. Fulbright, Ph.D., seorang konselor seks dan
pelatih kehamilan serta kebugaran di Amerika, menyatakan bahwa orgasme saat hamil bisa
terasa lebih intens daripada sebelumnya karena adanya peningkatan aliran darah dari
jantung menuju area genital dan panggul sebagai efek dari kehamilan itu sendiri. Beberapa
wanita mencapai orgasme asli untuk pertama kalinya selama kehamilan, orgasme ganda,
dan bahkan bisa berorgasme di siang bolong tanpa harus menerima rangsangan seksual
sekalipun. Namun tidak jarang ada saja wanita yang tidak pernah merasakan orgasme saat
melakukan hubungan seksual, bahkan mereka bisa melakukan fake orgasme hanya untuk
memberikan kepuasan untuk pasangannya saja. Seseorang yang tidak pernah merasakan
puncak kepuasan seksual lagi pada saat berhubungan seksual selama hamil, maka hal
tersebut akan mempengaruhi perilakuknya sehingga ada kemungkinan ia akan malas untuk
melakukan hubungan seksual lagi.

Orgasme adalah serangkaian reaksi fisik yang terjadi sebagai respon dari rangsangan seksual.
Orgasme perlahan dibangun dari sinyal perintah otak untuk mengalirkan darah deras ke panggul
dan juga vagina, membuat dindingnya basah terlumasi oleh cairan vagina, serta membuat klitoris
membengkak ereksi. Semakin intens rangsangan yang diterima otak, kemudian pernapasan jadi
semakin cepat, detak jantung meningkat, puting menjadi keras, vagina menyempit untuk
menggenggam penis, dan otot-otot tubuh menegang sebelum akhirnya berkontraksi kencang
sebagai klimaksnya dan kembali melemas.

Sedangkan frekuensi orgasme adalah seberapa sering (frekuensi) seseorang mengalami orgasme
saat melakukan hubungan seksual. Menurut beberapa beberapa artikel dokter menyatakan bahwa
kehamilan akan membantu ibu lebih cepat mengalami orgasme. Secara fisik, perempuan akan
mengalami aliran darah yang lebih dari biasanya saat hamil. Jadi, kehamilan justru membantu
ibu cepat mencapai orgasme. Bahkan beberapa perempuan mengatakan bahwa orgasme saat
hamil bisa dicapai tanpa stimulasi fisik secara langsung dan perlu diketahui orgasme juga dapat
dicapai lebih dari satu kali (multiple orgasme) pada beberapa orang. Meski membantu,
kehamilan juga dapat menghambat orgasme. Terkadang perut yang semakin membesar membuat
ibu sulit mendapatkan posisi seks yang mempercepat orgasme. Bahkan di akhir kehamilan,
banyak perempuan yang tidak bisa merasakan orgasme atau orgasme sepertinya tidak terasa. Hal
ini mungkin disebabkan rahim tidak bisa berkontraksi karena sudah dipenuhi oleh janin.

Kemudian selain frekuensi orgasme, posisi senggama juga mempengaruhi perilaku dalam
melakukan hubungan seksual selama kehamilan. Berhubungan seksual saat hamil bisa
menjadi tantangan tersendiri. Kondisi tubuh ibu dapat berubah-ubah dan mudah lelah,
kondisi perut yang besar juga kadang mempersulit saat melakukan hubungan intim dengan
suami. Pada dasarnya ibu tetap bisa melakukan hubungan seksual saat hamil, selama
kehamilan tersebut normal. Agar tidak membahayakan kandungan, ada beberapa posisi
yang disarankan kepada ibu dalam melakukan hubungan seksual diantaranya posisi
perempuan di atas, pria dibawah (woman on top), posisi menyamping/sendok, posisi
duduk, dan lain-lain. Maka dari itu posisi saat melakukan hubungan seksual adalah hal
yang harus sangat diperhatikan karena dapat mempengaruhi perilaku dan kenyamanan
yang dirasakan oleh ibu, sehingga ibu dapat dengan nyaman dalam melakukan aktivitas
tersebut.

Selanjutnya setelah posisi senggama, ada non-coitus yang sedikit banyak juga dapat
mempengaruhi perilaku seksual pada ibu hamil, karena kegiatan non-coitus sendiri
merupakan proses senggama yang dilakukan tanpa melibatkan penyisipan penis kedalam
vagina, namun hanya dengan melakukan kegiatan seperti membelai, mencium, memeluk,
memijat, menghisap, oral seks, mastrubasi dan lain-lain juga sudah dapat memenuhi
kebutuhan seksual. Non-coitus merupakan salah satu perilaku yang baik pada ibu hamil,
dimana ibu hamil yang menghindari seks vagina karena mempunyai larangan dalam
melakukan hubungan seksual pada masa kehamilannya dapat mengganti aktivitas tersebut
dengan non-coitus, agar tetap terjalin keharmonisan dalam rumah tangga. Apabila seseorang
tidak mengetahui kegitan non-coitus sendiri maka akan berpengaruh pada perilaku ibu
sehingga ibu semasa kehamilannya akan mengabaikan hubungan seskual dan
menghindarinya.

Selain non-coitus, foreplay merupakan pemanasan atau aktivitas/kegiatan awal yang


dilakukan sebagai persiapan menuju tahap selanjutnya yaitu interplay atau intercourse.
Tahapan dari foreplay yaitu , Touching : berpegangan tangan, Kissing : berciuman,
stimulasi antara bibir oleh pasangan. Dapat terjadi secara singkat dari hanya menggunakan
bibir hingga menggunakan lidah dalam ciuman, Petting : ciuman dan usapan pada area
erotis pasangan, bertahap dimulai dari ciuman ringan sampai bersentuhan pada area genital.
Petting juga merupakan kontak fisik yang didalamnya termasuk ciuman, bersentuhan, serta
menstimulus area genital secara manual maupun oral, tetapi tidak sampai coitus, dan yang
terakhir adalah Interplay/Intercourse : masuknya penis kedalam vagina. Perlu kita ketahui
foreplay sangat berpengaruh untuk merangsang dan membangkitkan kembali gairah serta
keinginan ibu dalam melakukan hubungan seksual yang juga akan berpengaruh pada
perilaku ibu. Maka dari itu foreplay yang dilakukan secara rutin akan berdampak baik
terhadap hubungan seksual selama kehamilan.

Terakhir setelah foreplay,ada afterplay yaitu tahap Cooling down yang dilakukan setelah
orgasme. Saat berhubungan seksual energi akan banyak terkuras. Meski sama-sama lelah,
namun bukan berarti setelah bercinta ibu dan pasangan saling berbalik badan dan tidur.
Justru tahap ini adalah saat yang tepat untuk ibu dan pasangan saling mencurahkan isi hati
tentang perasaan yang dialami setelah kepuasan dicapai bersama, saling melemparkan
pujian mengenai aksi masing-masing, memberikan sentuhan lembut, belaian, ciuman,
pelukan yang akan mengantar masing-masing ke dalam mimpi yang indah. Bahkan bukan
tidak mungkin kegiatan afterplay ini menjadi pembuka untuk memulai foreplay lagi. Oleh
sebab itu afterplay bukan hal yang biasa saja, namun afterplay adalah salah satu perilaku
yang baik dalam melakukan hubungan seksual agar hubungan yang terjalin semakin dapat
memuaskan satu sama lain.

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya hubungan seksual selama kehamilan
tidak perlu dikhawatirkan asalkan ibu hamil tidak mempunyai riwayat keguguran yang
berulang, terjadi kelemahan mulut rahim yang gampang terbuka, plasenta previa, hamil
dengan varises vagina yang luas dan suami menderita penyakit yang dapat menular melalui
hubungan seksual (Bobak, 2012). Pada trimester III kehamilan hubungan seksual bukan
sekedar aktivitas yang biasa, tetapi bermanfaat sebagai persiapan otot-otot panggul untuk
menghadapi proses persalinan.

Anda mungkin juga menyukai