Filsafat Barat Vs Filsafat Islam
Filsafat Barat Vs Filsafat Islam
1. Plato (477 SM-347 SM). Ia seorang filsuf Yunani terkenal, gurunya Aristoteles, ia
sendiri berguru kepada Socrates. Ia mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan
tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.
2. Aristoteles (381SM-322SM), mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi
kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika.
3. Marcus Tulius Cicero (106SM-43SM), seorang politikus dan ahli pidato Romawi
merumuskan filsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan
usaha-usaha untuk mencapainya.
4. Karl Marx adalah seorang filsuf humanis. Dalam pemikirannya, penekanan ada pada
usaha mencapai emansipasi dengan penghapusan sistem kelas dan alienasi dalam
masyarakat. Perubahan sosial yang ingin dicapai Marx adalah penghapusan sistem
hak milik. Lewat penghapusan hak milik, masyarakat yang ada adalah masyarakat
tanpa kelas (klassenlose Gesellschaft). Masyarakat yang demikian inilah masyarakat
yang adil dan menjadi ruang manusia mencapai kebebasan sepenuhnya sebagai
pribadi (Garvey, 2010: 204)[1]
5. Cicero ( (106-43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “( the mother of
all the arts“ ia juga mendefinisikan
Jadi, filsafat ialah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami
secara radikal dan integral serta sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta dan
manusia.
Sedangkan kata Islam, secara semantik berasal dari akar katasalima artinya
menyerah, tunduk, dan selamat. Islam artinya menyerahkan diri kepada Allah, dan
dengan menyerahkan diri kepada-Nya maka ia memperoleh keselamatan dan
kedamaian.[3]
1. Menurut Al-Kindi, filsafat ialah ilmu tentang hakekat kebenaran segala sesuatu
menurut kesanggupan manusia, yang mencakup ilmu ketuhanan, ilmu keesaan
(wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah), semua cara meraih luas lahat dan
menghindar dari madharat. Tujuan seseorang filsafat bersifat teoritis, yaitu
mengetahui kebenaran praktis dan mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan.
Semakin dekat kepada kebenaran, semakin dekan pula kepada kesempurnaan[4]
Jadi filsafat Islam berarti berpikir yang bebas, radikal, dan berada pada taraf makna,
yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan memberi
kedamaian hati.[6]
Adapun ruang lingkup filsafat adalah segala sesuatu lapangan pikiran manusia yang
amat luas. Segala sesuatu yang mungkin ada dan benar, benar ada (nyata), baik
material konkrit maupuan nonmaterial abstrak (tidak terlihat). Jadi obyek filsafat itu
tidak terbatas. Objek pemikiran filsafat yaitu dalam ruang lingkup yang menjangkau
permasalhan kehidupan mausia, alam semesta dan alam sekitarnya adalah juga
objek pemikiran filsafat pendidikan.
Al Farabi :
1. Filsafat teori, yaitu mengetahui sesuatu yang ada, dimana seseorang tidak bisa
(tidak perlu) mewujudkannya dalam perbuatan. Bagian ini meliputi :
Ibnu Sina :
Pembagian filsafat menurut Ibnu Sina pada pokoknya tidak berbeda dengan
pembagian-pembagian sebelumnya, yaitu filsafat teori dan filsafat amalan. Akan
tetapi ia menghubungkan kedua bagian tersebut kepada agama. Dasar-dasar filsafat
tersebut terdapat dalam agama atau syari’at Tuhan, hanya penjelasannya
didapatkan oleh kekuatan akal-pikiran manusia.
l). Ilmu tentang cara turunnya wahyu dan makhluk-makhluk rohani yang membawa
wahyu itu; demikian pula bagaimana cara wahyu itu disampaikan, dari sesuatu yang
bersifat rohani kepada sesuatu yang dapat dilihat dan didengar.
2). Ilmu keakhiratan, antara lain memperkenalkan kepada kita bahwa manusia ini
tidak dihidupkan lagi badannya, maka rohnya yang abadi itulah yang akan
mengalami siksaan dan kesenangan.[7]
Segala sesuatu yang terdapat di alam ini diciptakan dengan fungsinya, dengan kata
lain bahwa tidak ada materi yang tidak bermanfaat tak terkecuali lahirnya filsafat
ilmu. Lahirnya filsafat ilmu memberikan jawaban terhadap persoalan yang muncul
terutama yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Oleh karena, di antara
tujuannya ialah:
1.Theosentris (berpusat pada Tuhan )Guru harus berorientasi kepada Allah yang
artinya bahwa segala sesuatu harusdiniati karena Allah.(Islam) Anthroposentris
(berpusat pada manusia)Belajar tapi dengan niat yang salah (Umum/barat)
2.Berdasarkan wahyuAl-Qur’an & Hadis (Islam) Hasil pikir manusia dari generasi ke
generasi (Umum/barat)Perenialisme: sebuah paham/pemikiran pada zaman klasik
sehingga pendidikan harus diarahkan ke zaman klasik Esensialisme: Suatu paham
bahwa pendiidkan yang menyakini suatu abad pertengahan berarti pendidikan
sesuai dengan abad tersebut Progresifisme: paham bahwa pendidikan yang
meyakini suatu abad moder nberarti pendidikan harus sesuai dengan abad modern
Rekonstruksifisme: yang menyatakan semua aliran diatas salah dan pemikiran tidak
benar.
Barat : positivistik yang ada ialah yang dpt diterima oleh indra (tidak percaya dengan
gaib)
Belajar mengajar itu tdk ada hubungannya dg Tuhan dan agama untuk
memenuhikebutuhan hidup dan kewajiban sosial (Barat/umum)
6. Dalam pendidikan ada dosa dan pahala(Islam), Pendidikan tidak dikaitkan dengan
dosa dan pahla (Barat).
7. Akal dan ilmu manusia yg tdk terbatas adlh ilmu Tuhan (Islam)Dengan akal manusia
dpt mencapai/tidak terbatas (Barat)
8.Apa yg di dapat dari akal dan ilmu terikat oleh norma dan nilai (Islam)Akal dan ilmu
bebas nilai (barat).
9.Terdapat hak-hak Tuhan dan manusia lainyya terhadap ilmu yg dimiliki oleh
seseorang (Islam) Tidak membahas hak-hak Tuhan , paling tinggi pendidikan di
dasrkan pada kemanusiaan(humaniora)(Barat).
11.Evaluasi oleh Tuhan dan diri (Islam), evaluasi olh org lain (ujian TK-
Kuliah)Barat[9]
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Filsafat merupakan suatu hal yang dipelajari untuk memperoleh suatu kebenaran.
Dasar-dasar aqidah yang termaktub dalam Al Qur’an juga dianalisa dan dibahas
lebih lanjut dengan filsafat untuk mendapatkan keyakinan yang kokoh. Ajaran filsafat
berdasar akal fikiran manusia, sedangkan agama berdasarkan wahyu. Meskipun
jalan yang ditempuh agama dan filsafat berbeda, namun tujannya sama yaitu
mendapat kebenaran yang hakiki.
III.2 Saran
Akal manusia itu nisbi. Tidak seluruh persoalan dapat diatasinya. Hendaknya dalam
berfikir dan berperilaku, Al Qur’an dijadikan tolak ukur utama dalam menilai benar
atau tidaknya keyakinan. Karena Al Qur’an pulalah yang dapat membawa manusia
pada kebenaran yang hakiki.