Anda di halaman 1dari 4

OUTLINE BAB 1

1. Fokus dan kaji masalah


“berpikir kritis” yang masih lemah, terbukti dengan SL (scientific literacy)
Hasil tes PISA 2018, skor rata-rata SL peserta didik di Indonesia ….. menempatkan
Indonesia di posisi 72 dari 78 negara

2. Mengapa rendah?
Bahas faktor-faktor / alasan yang menyebabkan SL rendah

3. Definisi apa itu SL

4. Bagaimana perkembangan riset tentang upaya peningkatan SL?

5. Apakah STEM berpotensi meningkatkan SL?

6. Apa itu STEM? (Copy BAB 1 sebelumnya)

7. Bagaimana perkembangan riset-riset STEM? (

8. Bagaimana potensi integrasi kearifan lokal pada STEM? (LOGIKA)

9. Bagaimana rasionalisasi STEM berbasis kearifan lokal bisa meningkatkan SL? (INI
BISA RESEARCH KEARIFAN LOKAL TERHADAP BERPIKIR KRITIS, bisa
juga, LOGIKA)

10. Berdasarkan alasan-alasan tersebut perlu dilakukan penelitian dengan judul ….


BAB 1

Salah satu kewajiban manusia yakni menuntut ilmu. Berbagai macam ilmu dapat didapatkan di
mana saja, baik secara formal maupun informal. Ilmu yang dimiliki sangat berperan dalam
menjalankan kehidupan seseorang tersebut. Tanpa ilmu, maka manusia akan menjalani hidupnya
berantakan, karena tiada pedoman dalam hidupnya. Berlawanan dengan manusia tanpa ilmu,
manusia yang memiliki ilmu akan lebih terarah.

Ilmu secara formal bisa didapat melalui sebuah sistem pendidikan di sekolah. Pendidikan
merupakan salah satu hal yang sangat berperan penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan saat
ini harus menuntut peserta didik untuk bisa berpikir kritis, dengan begitu dapat meningkatkan
suatu kualitas individu di negara tersebut. Pada dunia sains, berpikir kritis erat dihubungkan
dengan dengan literasi sains. Literasi sains diharapkan dapat memperbaiki kehidupan manusia di
masa depan. Manfaat literasi sains juga dapat meningkatkan kompetensi yang berada pada diri
manusia.

Namun faktanya, saat melihat langsung bagaimana pendidikan di Indonesia, kualitas pendidikan
masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Lemahnya pendidikan
di Indonesia, terutama pendidikan sains dapat ditunjukkan oleh rendahnya pencapaian literasi
sains yang ditulis oleh PISA tahun 2018. Indonesia selalau memperoleh skor yang berada
dibawah rata-rata. Skor yang diraih Indonesia yakni 396. Skor tersebut mampu menempatkan
Indonesia berada di posisi 73 dari 78 negara yang tercatat.

Rendahnya posisi Indonesia dalam nilai literasi sains yang diteliti oleh PISA bisa dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang bisa dijadikan beberapa alasan, seperti latar belakang peserta didik,
sikap peserta didik saat menghadapi pelajaran sains (Ilmu Pengetahuan Alam) di dalam sekolah,
metode mengajar yang diterapkan oleh pendidik, serta durasi waktu untuk belajar (Hariadi,
2009). Sejalan dengan pendapat Hariadi, Sumartati (2010) juga mengungkapkan faktor
rendahnya literasi sains yang ada pada peserta didik, seperti proses pemeblajaran yang masih
terpusat pada guru (teacher center), sikap optimis peserta didik yang rendah dalam menghadapi
ilmu sains, beberapa kompetensi dasar dalam sains yang tidak menarik perhatian peserta didik
baik itu dalam konten maupun konteksnya. Faktor-faktor tersebut masih tumbuh subur di
Indonesia.

Sesuai hakikatnya, sains dapat dipahami dalam 3 buah aspek, yakni proses, produk, teknologi.
Ketiga aspek tersebut sering sekali Literasi Sains yang dalam bahasa Inggris yaitu (Science
Literacy) merupakan gabungan dari dua kata Latin, yakni Literatus yang ditandari dengan huruf,
melek akan huruf, atau berpendidikan dan kata Scientia yang makna memiliki pengetahuan.
Literasi sains merupakan tujuan yang utama dan sangat mendasar dalam proses pembelajaran
sains (Şentürk, 2018). Pendapat menurut Klucevsek (2017) menyatakan jika literasi sains dalam
prosesnya memiliki peranan penting dalam semua komponen, karena hal tersebut dapat
memberikan beberapa pengetahuan yang berkesesuaian dengan konten yang ingin diketahui.
Literasi sains ialah kemampuan seseorang untuk bisa memahami sains, mengkomunikasikan
sains (lisan atau tulisan), serta mampu menerapkan kemampuan sains untuk memecahkan
masalah sehingga mempunyai sikap dan kepekaan yang tinggi kepada diri dan lingkungannya
dalam mengambil sebuah keputusan berdasarkan pertimbangan sains (Yuliati, 2017).

Posisi Indonesia yang rendah akan literasi sains tersebut, membuat para peneliti mulai mencari
bagaimana upaya-upaya efektif dalam peningkan literasi sains, terutama berpikir kritis.
Penelitian yang dilakukan mulai dari menganalisis pembelajaran sains, kemudian merombak
beberapa pembelajaran atau model untuk melihat peningkatan literasi sains eserta didik setelah
diberi beberapa stimulasi tersebut. Nofiana dan Julianto (2017) meneliti peningkatan literasi
sains melalui pembelajaran berbasis keunggulan lokal. Hasil dari penelitian tersebut dapat
meningkatkan kemampuan literasi sains peserta didik, meskipun peningkatannya belum
signifikan. Sejalan dengan penelitiannya, Nava dan Prasetyo (2018) melakukan penelitian di
Depok tentang pembelajaran socio-scientific issues berbasis STEM pada pembelajaran IPA.
Hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut ialah peningkatan literasi sains peserta didik dan
berpengaruh secara signifikan.

Pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan, perombakan dari pendekatan hingga model
pembelajaran dinyatakan mampu untuk meningkatkan potensi peserta didik. Berbagai macam
model dan pendekatan terus dicoba untuk mencari model atau pendekatan mana yang paling
efektif untuk meningkatkan literasi sains. Salah satu yang berpotensi untuk meningkatkan literasi
sains yakni pembelajaran dengan STEM. STEM merupakan singkatan dari Science, Technology,
Engineering, Mathematic. Pembelajaran dengan STEM tersebut bisa membangun peserta didik
untuk bisa bersikap kritis, kreatif, hingga akhirnya dapat meningkatkan literasi sains pada
dirinya.
Hariadi, Eko. (2009). Faktor-Faktor yang mempengaruhi Literasi. Jurnal Pendidikan Dasar, 10
(01). Page 29-43.

Anda mungkin juga menyukai