Anda di halaman 1dari 9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lidah buaya (Aloe Vera L)

2.1.1 Morfologi Tanaman Lidah Buaya (Aloe Vera L)

Lidah buaya termasuk suku Liliaceae. Liliaceae diperkirakan meliputi 4.000


jenis tumbuhan, terbagi dalam 240 marga, dan dikelompokkan lagi menjadi lebih
kurang 12 anak suku. Daerah distribusinya meliputi seluruh dunia. Lidah buaya
sendiri mempunyai lebih dari 350 jenis tanaman. Tanaman lidah buaya dapat tumbuh
di daerah kering, seperti Afrika, Asia dan Amerika. Hal ini disebabkan lidah buaya
dapat menutup stomata daun sampai rapat pada musim kemarau untuk menghindari
kehilangan air dari daunnya. Lidah buaya juga dapat tumbuh di daerah yang beriklim
dingin. Batang tanaman lidah buaya berserat atau berkayu. Pada umumnya sangat
pendek dan hampir tidak terlihat karena tertutup oleh daun yang rapat dan sebagian
terbenam dalam tanah. Melalui batang ini akan tumbuh tunas yang akan menjadi
anakan (sucker). Daun lidah buaya berbentuk tombak dengan helaian memanjang.
Daunnya berdaging tebal; tidak bertulang; berwarna hijau keabu-abuan dan
mempunyai lapisan lilin dipermukaan; serta bersifat sukulen, yakni mengandung air,
getah, atau lendir yang mendominasi daun. Bagian atas daun rata dan bagian
bawahnya membulat (cembung). Bunga lidah buaya berbentuk terompet atau tabung
kecil sepanjang 2-3 cm, berwarna kuning sampai oranye, tersusun sedikit berjuntai
melingkari ujung tangkai yang menjulang ke atas sepanjang sekitar 50-100 cm. Akar
lidah buaya adalah akar serabut yang panjangnya bisa mencapai 30-40 cm.
(Furnawanthi, 2002)

2.1.2 Taksonomi Tanaman Lidah Buaya (Aloe Vera L)

Terdapat lebih dari 350 jenis lidah buaya yang termasuk dalam suku Liliaceae.
Disamping itu tidak sedikit lidah buaya yang merupakan hasil persilangan. Menurut
Dowling dalam Furnawanthi (2002), hanya tiga jenis lidah buaya yang dibudidayakan
secara komersial di dunia, yakni Curacao aloe atau Aloe vera (Aloe barbadensis
Miller), Cape aloe atau Aloe ferox Miller, dan Socotrine aloe yang salah satunya
adalah Aloe perryi Baker.
Dari ketiga jenis tersebut yang banyak dimanfaatkan adalah species Curacao
aloe atau Aloe vera (Aloe barbadensis Miller) yang ditemukan oleh Phillip Miller,
seorang pakar botani yang berasal dari Inggis, pada tahun 1768. Aloe barbadensis
Miller mempunyai nama sinonim yang binomial, yakni Aloe vera dan Aloe vulgaris
(Furnawanthi, 2002). Aloe vera pertama kali dideskripsikan oleh Carl Linneus pada
tahun 1753 sebagai Aloe perfoliata vera. Selanjutnya dideskripsikan ulang oleh
Nicolas Laurens pada tahun 1768 sebagai Aloe vera (Idris, 2013). Taksonomi lidah
buaya (Aloe vera) dalam dunia tumbuhan yaitu :

Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Monocotiledonae
Ordo : Aspargales
Famili : Liliaceae
Genus : Aloe
Gambar 2.1 Aloe vera
Species : Aloe vera
(Sumber: Kartinah, 2012)
2.1.3 Kandungan Kimia Lidah Buaya (Aloe Vera L)

Bagian dari Aloe vera yang umum dimanfaatkan adalah daun, eksudat atau
getah daun dan gel. Daun lidah buaya dapat digunakan secara langsung baik
tradisional maupun dalam bentuk ekstrak untuk mempertahankan integritas status
antioksidan dalam tubuh. Eksudat atau getah daun yaitu cairan rasa pahit dan kental
yang mengalir keluar apabila daun lidah buaya dipotong, dapat digunakan secara
tradisional yang biasanya digunakan langsung untuk pemeliharaan rambut.
Gel adalah bagian berlendir yang diperoleh dengan menyayat bagian dalam
daun setelah eksudat dikeluarkan, bersifat mendinginkan dan mudah rusak karena
oksidasi, sehingga dibutuhkan proses pengolahan lebih lanjut agar diperoleh gel yang
stabil dan tahan lama. Ada beberapa yang zat terkandung didalam gel lidah buaya
yaitu karbohidrat (glucomannan, accemanan), senyawa anorganik, protein, sakarida,
vitamin, dan saponin (Gusviputri, et al., 2013)

2.2 Tinjauan Umum Tentang Diabetes Melits

2.2.1 Pengertian Diabetes Melitus

Pengertian Diabetes Melitus Istilah Diabetes Melitus diperoleh dari bahasa latin
yang berasal dari kata Yunani, yaitu Diabetes yang berarti pancuran dan Melitus yang
berarti madu. Jika diterjemahkan, Diabetes Melitus adalah pancuran madu. Istilah
pancuran madu berkaitan dengan kondisi penderita yang mengeluarkan sejumlah
besar urin dengan kadar gula yang tinggi. (Wijayakusuma, 2004)
Diabetes (kencing manis) adalah penyakit dimana tubuh penderitannya tidak
bisa mengendalikan tingkat gula (glukosa) dalam darahnya. Jadi penderita mengalami
gangguan metabolisme dari distribusi gula oleh tubuh sehingga tubuh tidak bisa
memproduksi insulin secara efektif. Akibatnya, terjadi kelebihan gula di dalam darah
sehingga menjadi racun bagi tubuh. Sebagian glukosa yang tertahan dalam darah
tersebut melimpah ke sistem urin.
Ditinjau dari segi ilmiah, Diabetes Melitus merupakan penyakit kelainan
metabolik glukosa (molekul gula paling sederhana yang merupakan hasil pemecahan
karbohidrat) akibat defisiensi atau penurunan efektifitas insulin. Kurangnya sekresi
insulin menyebabkan kadar glukosa darah meningkat dan melebihi batas normal
jumlah glukosa yang seharusnya ada dalam darah. Kelebihan gula dalam darah
tersebut dibuang melalui urin.

2.2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi Berdasarkan klasifikasi American Diabetes Association / World


Health Organization (ADA/WHO), Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi empat
tipe berdasarkan penyebab dan proses penyakitnya.
a. Diabetes Melitus tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Pada tipe I, sel pankreas yang menghasilkan insulin mengalami kerusakan.
Akibatnya, sel-sel β pada pankreas tidak dapat mensekresi insulin atau jika dapat
mensekresi insulin, hanya dalam jumlah kecil. Akibat sel-sel β tidak dapat
membentuk insulin maka penderita tipe I ini selalu tergantung pada insulin.
Tipe ini paling banyak menyerang orang muda di bawah umur 30 tahun.
Namun, kadang-kadang tipe ini juga dapat menyerang segala umur. Dari hasil
penelitian, persentase penderita Diabetes Melitus tipe 1 sebesar 10-20%,
sedangkan penderita Diabetes Melitus tipe II sebesar 80-90%.
b. Diabetes Melitus tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Pada tipe II, sel-sel β pankreas tidak rusak, walaupun mungkin hanya terdapat
sedikit yang normal sehingga masih bisa mensekresi insulin, tetapi dalam jumlah
kecil sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Biasanya, penderita
tipe ini adalah orang dewasa gemuk diatas 40 tahun, tetapi kadang-kadang juga
menyerang segala umur.
Tipe II merupakan kondisi yang diwariskan (diturunkan). Biasanya,
penderitanya mempunyai anggota keluarga yang juga terkena. Sifat dari gen yang
menyebabkan Diabetes tipe ini belum diketahui. Sekitar 25% penderita Diabetes
Melitus tipe II mempunyai riwayat penyakit keluarga dan hampir semua kembar
identik yang menderita penyakit tipe II, pasangan kembarnya juga menderita
penyakit yang sama.
Gejala Diabetes tipe II lebih bertingkat dan tidak muncul selama bertahun-
tahun setelah serangan penyakit. Pengobatan kebanyakan dilakukan dengan pola
makan khusus dan olahraga.
c. Diabetes Melitus saat kehamilan
Diabetes Melitus saat kehamilan merupakan istilah yang digunakan untuk
wanita yang menderita Diabetes selama kehamilan dan kembali normal setelah
melahirkan. Banyak wanita yang mengalami Diabetes kehamilan kembali normal
saat postpartum (setelah kelahiran), tetapi pada beberapa wanita tidak demikian.
d. Diabetes tipe spesifik lain
Tipe ini disebabkan oleh berbagai kelainan genetik spesifik (kerusakan
genetik sel β pankreas dan kerja insulin), penyakit pada pankreas, obat-obatan,
bahan kimia, infeksi, dan lain-lain.

2.2.3 Patofisiologis Diabetes Melitus

Patofisiologi Diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2


Diabetes melitus tipe 1 terjadi karena gangguan produksi insulin akibat
kerusakan Sel β pankreas. Patofisiologinya yakni adanya reaksi autoimun
akibat peradangan pada sel β. Hal ini menyebabkan timbulnya antibody
terhadap sel β yang disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel β)
dengan Antibodi ICA yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel β. Selain
karena autoimun, diabetes tipe 1 juga bisa disebabkan virus cocksakie, rubella,
citomegalo virus (CMV), herpes dan lain-lain. Pada penderita diabetes tipe
1 umumnya terdiagnosa pada usia muda.
Diabetes tipe 2 terjadi oleh karena kerusakan molekul insulin atau
gangguan reseptor insulin yang mengakibatkan kegagalan fungsi insulin untuk
mengubah glukosa menjadi energi. Pada dasarnya pada diabetes tipe 2 jumlah
insulin dalam tubuh adalah normal bahkan jumlahnya bisa meningkat, namun
karena jumlah reseptor insulin pada permukaan sel berkurang menyebabkan
glukosa yang masuk kedalam sel lebih sedikit. Hal tersebut akan terjadi
kekurangan jumlah glukosa dan kadar glukosa menjadi tinggi didalam pembuluh
darah.

2.2.4 Kriteria Diagnostik Diabetes Militus


Kriteria Diagnostik Diabetes melitus menurut American Diabetes Association
2010 :
1. Gejala klasik DM dengan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/ dl (11.1 mmol/L).
Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir. Gejala klasik adalah: poliuria, polidipsia dan
berat badan turun tanpa sebab.
2. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/ dl (7.0 mmol/L).Puasa adalah pasien tak
mendapat kalori sedikitnya 8 jam.
3. Kadar glukosa darah 2 jam PP ≥ 200 mg/ dl (11,1 mmol/L). Tes Toleransi Glukosa
Oral dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Apabila hasil
pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TTGO) atau Glukosa Darah Puasa
Terganggu (GDPT) tergantung dari hasil yang dipeoleh :
TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah beban antara 140- 199 mg/dl (7,8-11,0
mmol/L)
GDPT : glukosa darah puasa antara 100 – 125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/L)
Berikut ini adalah langkah-langkah diagnosis DM :

Keterangan :
GDP = Glukosa Darah Puasa
GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT = Tolerasi Glukosa Terganggu
* = GDPT bila GDP 110-126 Normal bila GD 2jam PP 110-126
2.3 Uji Efektifitas
2.3.1 Pengertian Uji Efektivitas
Penentuan perlakuan terbaik ditentukan berdasarkan metode indeks
efektivitas (DeGarmo et al., 1984). Metode ini dilakukan berdasarkan prosedur
sebagai berikut: Variabel diurutkan menurut prioritas dan kontribusi terhadap hasil.
Memberikan bobot nilai pada masing-masing variabel (BV) sesuai kontribusinya
dengan angka relatif 0-1. Bobot ini berbeda tergantung dari kepentingan masing-
masing variabel yang hasilnya diperoleh sebagai akibat perlakuan. Bobot normal
(BN) ditentukan dari masing-masing variabel dengan membagi bobot variabel (BV)
dengan jumlah semua bobot variabel.
Mengelompokkan variabel-variabel yang dianalisa dua kelompok yaitu: a)
Kelompok A, terdiri dari variabel-variabel yang semakin besar reratanya semakin
baik (dikehendaki pada produk yang diperlakukan), b) Kelompok B adalah kelompok
yang makin besar reratanya semakin jelek (tidak dikehendaki).
Ditentukan nilai efektivitas (Ne) masing-masing variabel, dengan rumus:
Nilai perlakuan - Nilai terjelek
Nilai terbaik - Nilai terjelek
Untuk variabel dengan rerata semakin besar semakin baik, maka nilai
terendah sebagai nilai terjelek dan nilai tertinggi sebagai nilai terbaik. Sebaliknya
untuk variabel dengan nilai semakin kecil semakin baik, maka nilai tertinggi sebagai
nilai terjelek dan nilai terendah sebagai yang terbaik. Menghitung nilai hasil (Nh)
masing-masing variabel yang diperoleh dari perkalian bobot normal (BN) dengan
nilai efektifitas (Ne). Menjumlahkan nilai hasil dari semua variabel, dan kombinasi
terbaik dipilih dari kombinasi perlakuan yang memiliki nilai hasil (Nh) tertinggi.
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑒𝑙𝑒𝑘
𝑁 𝐸𝐹𝐸𝐾𝑇𝐼𝑉𝐼𝑇𝐴𝑆 =
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑎𝑖𝑘 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑒𝑙𝑒𝑘

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐻𝑎𝑠𝑖𝑙 = 𝑁𝐸 × 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡


2.4 Uji Toksisitas
2.4.1 Pengertian Uji Toksisitas
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji.
Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat
bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat
ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia.
Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model berguna untuk melihat
adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap suatu sediaan
uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk membuktikan
keamanan suatu bahan/ sediaan pada manusia, namun dapat memberikan petunjuk
adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan
pada manusia.
Faktor-faktor yang menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo dapat
dipercaya adalah: pemilihan spesies hewan uji, galur dan jumlah hewan; cara
pemberian sediaan uji; pemilihan dosis uji; efek samping sediaan uji; teknik dan
prosedur pengujian termasuk cara penanganan hewan selama percobaan.

2.4.2 Uji Toksisitas Akut Oral


Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang
muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang diberikan secara oral
dalam dosis tunggal, atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu 24 jam.
Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat
dosis diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok,
kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian. Hewan
yang mati selama percobaan dan yang hidup sampai akhir percobaan diotopsi untuk
dievaluasi adanya gejala-gejala toksisitas.

Anda mungkin juga menyukai