Anda di halaman 1dari 14

Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 1, April 2012

DIMENSI KUALITAS LAYANAN:


KONSEP DAN PERKEMBANGANNYA
(SERVICE QUALITY DIMENSIONS:
CONCEPTS AND DEVELOPMENT)

Bambang Irawan
Staf pengajar Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Jember
Jl.Kalimantan No 37 Jember Telp. 0331 337990/Fax. 332150/HP 08123489817
email: b_irawan24@ymail.com

Abstract

Any good company which is engaged in manufacturing or services would have


the purpose to obtain profit. For a service company whose core business is
meyampaikan services to consumers, so be happy and profitable company. This
means that companies consider that quality service is important both for consumers
and for the company. In the development concept of quality of service has made
changes to the context and to what quality of service is implemented. This paper
intends to describe the historical development of the conception of service quality
in terms of dimensions to measure the quality of a service.

Key words: History, Concept, Service Quality Dimensions

1. Pendahuluan
Layanan sebagai suatu kegiatan atau aktivitas yang bersifat intangible ataupun
tangible yang fokus utamanya adalah untuk melayani konsumen dengan cara memberikan
layanan disertai ataupun tanpa disertai barang tertentu. Permasalahannya adalah apakah
suatu layanan telah atau belum memenuhi kebutuhan konsumen (berkualitas), jawabannya
bergantung pada penilaian subjektif konsumen. Dengan demikian yang berlaku disini
adalah bagaimana persepsi konsumen tersebut terhadap kualitas layanan yang diterima.
Persepsi konsumen terhadap kualitas layanan esensinya merupakan penilaian secara
menyeluruh atas keunggulan suatu layanan. Bagi pemasar, salah satu cara agar penjualan
jasa suatu perusahaan lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya ialah dengan
memberikan layanan berkualitas yang mampu memenuhi tingkat kepentingan konsumen.
Kualitas layanan ialah sebagai hasil persepsi perbandingan antara harapan
pelanggan dengan kinerja aktual layanan (Gronroos, 1980 dalam Savitri dan Halim, 2003).
Parasuraman et al., (1990) menyatakan bahwa kualitas layanan didefinisikan sebagai
seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dengan harapan pelanggan atas layanan yang
mereka terima. Rangkuti (2006) menyatakan dua jenis kualitas untuk menilai kualitas
layanan: (a) kualitas teknik (berkaitan dengan outcome) ialah kualitas hasil kerja
penyampaian layanan itu sendiri; dan (b) kualitas layanan (berkaitan dengan process) ialah
kualitas cara penyampaian layanan tersebut.
Kualitas layanan menurut Kotler (1997) ialah kemampuan perusahaan memberikan
jasa dengan mutu yang lebih tinggi daripada pesaingnya secara konsisten. Kuncinya ialah
memenuhi dan melebihi ekspektasi kualitas layanan pelanggan sasaran. Ekspektasi
pelanggan bisa terbentuk dari pengalaman masa lalunya, pembicaraan dari mulut ke mulut

95
Bambang Irawan, Dimensi Kualitas Layanan: Konsep dan Perkembangannya

dan informasi yang diterima dari aktivitas promosi perusahaan jasa. Dengan demikian
adalah wajar jika pelanggan akan menentukan pilihan suatu jasa berdasarkan informasi
tersebut, dan mereka akan membandingkan mutu layanan yang dirasakan dengan mutu
layanan yang diharapkan. Implikasinya ialah ketika kualitas layanan dirasakan memenuhi
atau lebih baik dari kualitas layanan yang diharapkan, maka mereka akan tetap
menggunakan jasa tersebut, sebaliknya bila kualitas layanan yang dirasakan berada
dibawah kualitas layanan yang diharapkan, mereka tidak akan berminat lagi untuk membeli
jasa tersebut dan akan meninggalkannya (Zeithaml et al.,1996).
Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui:
a) Layanan yang dianggap mampu memenuhi ekpektasi penerima layanan.
b) Pengukuran kualitas layanan yang disampaikan perusahaan (jasa) yang dapat
diimplementasikan.
c) Layanan yang bermutu yang bermanfaat bagi produsen dan konsumen.

2. Hasil Kajian dan Pembahasan


2.1 Perkembangan Konsep Dimensi Kualitas Layanan
Salah satu karakteristik jasa (layanan) adalah tidak kasat mata (intangible) dan
kualitas teknik layanan (outcome) tidak selalu dapat dievaluasi secara akurat, maka
pelanggan berusaha menilai kualitas layanan berdasarkan apa yang dirasakannya, yaitu
dengan cara memberikan penilaian terhadap atribut-atribut yang mewakili proses dan
kualitas layanan. Pada tataran implementasi di lapangan kualitas layanan diukur dari
dimensi ataupun indikator yang merefleksikan maupun yang membentuk mutu layanan.
Sejalan dengan pengembangan kebutuhan dan perubahan jaman, maka dimensi kualitas
layanan telah mengalami perubahan yang relevan dengan konteks implementasi di lapang.
Pengembangan konsep dimensi kualitas layanan dimulai oleh Sasser et al., (1978)
dengan tujuh dimensi kualitas layanan meliputi: keamanan (security); konsistensi
(consistency); sikap (attitude); kelengkapan (completeness); kondisi (condition);
ketersediaan (availability); dan pelatihan (training). Pada dasarnya dimensi tersebut dapat
diklasifikasikan berdasarkan kelompok kualitas asset fisik, keandalan layanan; dan kualitas
dari proses penyampaian layanan. Selanjutnya Gronroos (1978; 1982; 1983; 1984; 1988;
dan 2001) menyatakan tiga dimensi dalam kualitas layanan yakni kualitas teknik dari
keluaran (technical quality of outcome); kualitas fungsional terkait dengan proses
(functional quality of process); dan citra perusahaan (corporate image). Dimensi-dimensi
tersebut mencakup semua dimensi sebagaimana yang disampaikan oleh Sasser et al (1978),
bahkan juga ditambahkan dimensi citra atau reputasi perusahaan.
Lehtinen dan Lehtinen (1982) menyatakan bahwa kualitas layanan dapat dilihat
dari tiga dimensi yaitu kualitas interaktif (interactive quality); kualitas fisik (physical
quality); dan kualitas perusahaan (corporate quality). Sesungguhnya apa yang disampaikan
tersebut memiliki kesamaan dengan dimensi kualitas dari Gronroos (2001). Dalam kualitas
interaktif berkaitan dengan kualitas proses penyampaian layanan dari perusahaan kepada
konsumen disini terjadi interaksi antara pihak penyedia jasa dengan pihak pengguna jasa
tersebut sehingga intensitas interaksi bergantung pada kualitas layanan yang disampaikan
artinya semakin berkualitas suatu layanan, maka semakin sering konsumen membeli
layanan tersebut. Kualitas fisik berkaitan dengan kualitas sarana atau alat yang digunakan
dalam penyampaian layanan tersebut, sedangkan kualitas perusahaan adalah berkaitan
dengan citra atau reputasi perusahaan dimata konsumen artinya semakin baik reputasi
perusahaan, maka citra perusahaan juga baik dan positif.
Parasuraman et al (1985) memisahkan secara rinci terhadap dimensi kualitas
layanan menjadi sepuluh dimensi antara lain: keandalan (reliability); daya tanggap
96
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 1, April 2012

(responsiveness); kemampuan (compentence); persetujuan (access); kehormatan


(courtesy); komunikasi (communication); kredibilitas (credibility); keamanan (security);
pemahaman terhadap konsumen (understanding/knowing customer); dan berwujud
(tangibles). Dari selupuh dimensi kualitas layanan tersebut selanjutnya Parasuraman et al
(1988) mengelompokkan kembali menjadi lima dimensi yang kemudian dikenal dengan
istilah SERVQUAL yang meliputi: (1) tangible yakni berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat berwujud seperti sarana atau peralatan yang digunakan dalam proses penyampaian
layanan; (2) reliability adalah berkaitan dengan kehandalan atau kemampuan perusahaan
memberikan layanan; (3) responsiveness berkaitan dengan respon atau daya tanggap
perusahaan terhadap apa yang sesungguhnya diinginkan konsumen; (4) assurance
berkaitan dengan jaminan yang diberikan perusahaan bahwa konsumen akan merasa aman
selama menerima layanan; dan (5) emphaty adalah perhatian perusahaan untuk ikut
merasakan mengenai apa yang sesungguhnya dirasakan konsumen.
Haywood, et al., (1988), mengemukakan bahwa kulitas layanan memiliki dimensi
antara lain: fasilitas fisik (physical facilities), prosedur dan proses (processes and
procedure), perilaku orang-orang (people’s behaviour); dan profesionalisme (profesional
judgement). Sesungguhnya apa yang dinyatakan tersebut seperti halnya yang telah
disampaikan oleh Sasser et al (1978); Gronroos (1978; 1982; 1983; 1984); Parasuraman et
al (1985), hanya ada tambahan elemen profesionalisme dari penyedia jasa. Selanjutnya
menurut Gronroos (1988) dimensi kualitas layanan ada enam meliputi: profesinalisme dan
kemampuan (professionalism and skills); sikap dan perilaku (attitudes and behaviour);
fleksibilitas dan layanan khusus (accessibility and flexibility); kepercayaan dan kehandalan
(reliability and trustworthiness); pemulihan (recovery); kredibilitas dan reputasi
(reputation and credibility). Dalam hal ini ada penambahan elemen pemulihan (recovery),
dimana merupakan pengembangan elemen yang dapat dipertimbangkan seperti halnya
profesionalisme dari penyedia jasa dalam customer relationship management.
Le Blanc and Nguyen (1988) meyatakan ada lima dimensi kualitas layanan yakni:
derajad kepuasan konsumen (degree of customer satisfaction); organisasi internal (internal
organization); lingkungan fisik dan dukungan peralatan sistem produksi jasa (physical
environment and instruments supporting service-producing system); citra perusahaan
(corporate image); iteraksi konsumen/personal (personal/customer interaction). Kalau
diperhatikan bahwa apa yang dikemukakan tersebut masih sejalan dengan pendapat
sebelumnya. Sedangkan Brown (1988) mengemukakan tiga dimensi kualitas layanan
meliputi: pemenuhan (accomplishment); perilaku (behaviour); dan produk (product).
Dimensi ini juga bertujuan mengungkapkan apa yang pernah disampaikan dari studi
sebelumnya. Dimensi pemenuhan (accomplishment) sesungguhnya berkaitan dengan upaya
penyedia jasa untuk memberikan layanan sebagaimana yang diinginkan konsumen. Oleh
karena itu penyedia jasa harus berperilaku yang menyenangkan, ramah dan penuh dengan
perhatian sehingga produk atau jasa yang ditawarkan sesuai dengan keinginan dan harapan
konsumen.

Babakus dan Boller (1992) menyatakan hanya satu dimensi kualitas layanan yakni
kinerja (performance). Meskipun sederhana, penentuan satu dimensi ini mungkin tidak
menggambarkan secara benar ruang lingkup kualitas layanan, karena hal tersebut untuk
studi yang mengarah pada kasus yang sangat unik dengan karakteristik yang luar biasa.
Artinya apa yang disampaikan Babakus dan Boller tersebut sejalan dengan Cronin dan
97
Bambang Irawan, Dimensi Kualitas Layanan: Konsep dan Perkembangannya

Taylor (1992) bahwa kenyataan didalam praktek tidaklah sederhana seperti dalam konsep
karena berbicara kinerja sesungguhnya berkaitan dengan semua dimensi yang menjadi
sebab atau memengaruhi kinerja tersebut. Sebagai contoh kinerja seorang pramuniaga
dalam memberikan layanan pada konsumen atau calon konsumen tentu dipengaruhi oleh
seberapa luas pemahamannya (knowing/skills) terhadap konsumen tersebut, meskipun
demikian pemahaman tidaklah cukup berarti tanpa didukung oleh sarana/prasarana lainnya
misalnya: peralatan komunikasi, infomasi data, lingkungan kerja dan sebagainya.
Ovretveit (1993), menyatakan tiga dimensi kualitas layanan antara lain: kualitas
klien atau konsumen (customer or client quality); kualitas teknik atau profesional
(professional or technical quality); kualitas manajemen (managemnt quality). Dimensi ini
merupakan pengembangan dari studi sebelumnya, hal yang baru dari dimensi tersebut
adalah kualitas manajemen yang menunjukkan aspek manajemen internal dan ekternal.
Artinya bahwa kualitas manajemen baik internal maupun ekternal merupakan aspek
penting dalam kualitas layanan. Sedangkan Johnston and Chestnut, (1996) mengemukakan
delapan belas dimensi kualitas layanan dimana sebagian besar dari dimensi tersebut
didasarkan dimensi kualitas layanan yang disampaikan oleh Parasuraman et al (1985,
1988). Dengan demikian sejalan dengan studi sebelumnya yang pernah dilakukan oleh
Parasuraman et al yakni: reliability, responsiveness, competence, access, courtesy,
communication, credibility, security, understanding/knowing customer, assurance,
empathy.
Delapan dimensi kualitas yang dikembangkan Garvin dan dapat digunakan sebagai
kerangka perencanaan strategis dan analisis adalah sebagai berikut: (1) kinerja
(performance), yaitu karakteristik operasi pokok produk inti; (2) ciri-ciri atau
keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap; (3)
kehandalan (reliability), yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal
dipakai; (4) kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to spesifications), yaitu sejauh
mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan
sebelumnya; (5) daya tahan (durability), berkaitan dengan seberapa lama suatu produk
dapat terus digunakan; (6) serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan,
mudah direparasi serta penangan keluhan yang memuaskan; (7) estetika, yaitu daya tarik
produk terhadap panca indera; dan (8) kualitas yang dipersepsikan (perceived quality),
yaitu citra dan reputasi produk/jasa serta tanggung jawab perusahaan terhadapnya (Garvin
dalam Lovelock ,1994; serta Peppard dan Rowland, 1995 dalam Tjiptono, 1997).
Selanjutnya Harte dan Dale (1995) melakukan pemisahan dengan mengungkapkan
ada enam dimensi kualitas layanan antara lain: batas waktu (timelines); empati (empathy);
jaminan (assurance); imbalan (fees); berwujud (tangibles); dan keandalan (reliability).
Pada dasarnya pemisahan dimensi ini memiliki kesamaan dengan SERVQUAL, dimana
timelines merupakan pengembangan yang didalamnya termasuk reliability. Artinya
dimensi kualitas layanan yang disampaikan oleh Harte dan Dale (1995) tidak jauh berbeda
dengan SERVQUAL, hanya ada penambahan berkaitan dengan waktu dan imbalan.
Selanjutnya Buttle (1996) mengemukakan enam dimensi kualitas

layanan yang merupakan dimensi SERVQUAL ditambah dengan satu dimensi yang
mengindikasikan mengenai outcome, sebagaimana yang telah disebut oleh Gronroos (1978,
1982, 1983, 1984, 1988) dan yang lainnya.
Dalam perkembangan berikutnya Genestre dan Herbig (1996) menyatakan enam
dimensi kualitas layanan yang terdiri: SERVQUAL ditambah satu dimensi yaitu kualitas
produk, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Brown (1988). Kemudian Mels et al., (1997)
mengemukakan dua dimensi kualitas layanan yakni: kualitas ekstrinsik (extrinsic quality)
dan kualitas intrinsik (intrinsic quality). Pada dasarnya dua dimensi ini memiliki kesamaan
98
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 1, April 2012

dengan kualitas teknik dan kualitas fungsional sebagaimana dikembangkan oleh Gronroos
(1978, 1982, 1983, 1984, 1988).
Zeithaml, Berry dan Parasuraman (1996), menyatakan bahwa ”kualitas layanan
merupakan suatu konsep yang terdiri dari lima dimensi. Kelima dimensi tersebut antara
lain: tangible, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy”. Menurut konsep ini
kualitas layanan diukur melalui persepsi pelanggan terhadap lima dimensi kualitas layanan
tersebut. Penjelasan tentang lima dimensi kualitas layanan dari Zeithaml, Berry dan
Parasuraman (1996), adalah sebagai berikut: (1) dimensi pertama, tangibles adalah
tampilan berwujud yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti fasilitas fisik,
peralatan kantor, penampilan pegawai, dan sarana lainnya; (2) dimensi kedua reliability
adalah kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara akurat dan
memuaskan; (3) dimensi ketiga, responsiveness adalah berkaitan dengan kemauan
karyawan untuk memberikan layanan secara baik dan kesediaan serta kemampuan
karyawan untuk membantu menyelesaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan
kebutuhan karyawan pada saat menerima layanan; (4) dimensi keempat, assurance adalah
kemampuan karyawan terhadap bidang yang menjadi tugasnya, sehingga dengan demikian
bisa menimbulkan perasaan bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan pelanggan; dan
(5) dimensi kelima, empathy adalah berkaitan dengan sikap ramah dan perilaku karyawan
yang selalu menghargai, mendengar, dan memberikan perhatian kepada pelanggan.
Untuk keperluan riset yang berkaitan dengan mutu layanan memerlukan
seperangkat instrumen yang diukur dengan skala tertentu. Pengembangan skala
SERVQUAL yang dilakukan oleh Zeithaml, Berry dan Parasuraman (1996), mencakup
pertanyaan tentang harapan konsumen terhadap kualitas layanan dan tentang persepsi
konsumen terhadap kualitas layanan yang mereka terima. Sedangkan Cronin dan Taylor
(1992), mengajukan pengukuran alternatif yang dikenal dengan istilah SERVPERF (service
performance) mencakup pertanyaan yang terkait dengan kinerja kualitas layanan yang
disampaikan perusahaan.
White dan Galbraith (2000) menyatakan tiga belas dimensi kualitas layanan antara
lain: keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), kompetensi (competence),
komitmen (commitment), akses (access), ketersediaan (availability), komunikasi
(communication), pemahaman (understanding), fleksibilitas (flexibility), berwujud atau
fungsional atau teknologi (tangible/functionality/technology), kredibilitas atau integritas
(credibility/integrity), kehormatan atau persahabatan (courtesy/friendliness), perhatian
(helpfullness/care). Bila diperhatikan pada dasarnya dimensi tersebut dapat diterima dan
lebih komprehensif daripada SERVQUAL, dan memiliki kesamaan dengan studi
sebelumnya. Artinya dimensi kualitas layanan yang disampaikan oleh White dan Galbraith
(2000) lebih lengkap dari SERVQUAL.

Imrie et al., (2000) mengungkapkan tujuh dimensi kualitas layanan antara lain:
berwujud (tangibles), kehandalan (reliability), dayatanggap (responsiveness), jaminan
(assurance), kemurahan hati (generosity), kesopanan dan kehormatan (politeness and
courtesy), kesucian (sincerity). Selanjutnya tujuh dimensi kualitas layanan tersebut juga
dinyatakan oleh Lin et al (2000) yang kemudian Imrie et al (2002) menjadikan tiga
kelompok yang disebut hubungan interpersonal (interpersonal relation).
Brady dan Cronin (2001) menyatakan tiga dimensi ditambah tiga sub-dimensi
dalam kualitas layanan meliputi: keluaran (outcome), interaksi (interaction), kualitas
lingkungan (environmental quality). Dimensi ini sesuai dengan model Gronroos (1978;
1982; 1983; 1984; 1988; dan 2001) yakni kualitas teknik dari luaran (technical quality of
99
Bambang Irawan, Dimensi Kualitas Layanan: Konsep dan Perkembangannya

outcome); kualitas fungsional terkait dengan proses (functional quality of process); dan
citra perusahaan (corporate image). Dimensi tersebut mencakup semua dimensi
sebagaimana yang disampaikan oleh Sasser et al., (1978), bahkan juga ditambahkan
dimensi citra atau reputasi perusahaan.
Aldlaigan dan Buttle (2002) menyampaikan empat dimensi kualitas layanan antara
lain: kualitas sistem layanan (service system quality), kualitas perilaku layanan
(behavioural service quality), akurasi traksaksi layanan (service transactional accuracy),
dan kualitas mesin layanan (machine service quality). Dimensi tersebut kemudian
diklasifikasikan kedalam dua dimensi Gronroos (1978; 1982; 1983; 1984; 1988; dan 2001)
yakni kualitas fungsional layanan dan kualitas teknik layanan. Selanjutnya Sureshchandar
et al., (2002), menyampaikan lima dimensi kualitas layanan antara lain: unsur manusia
(human element), berwujud (tangibles), layanan inti (core service), unsur bukan manusia
(non-human element), dan tanggung jawab sosial (social responsibility). Jika diperhatikan
disini ada tiga dimensi yang baru yakni inti layanan lebih kurang memiliki kesamaan
dengan keluaran (outcome) atau merupakan dimensi produk; kemudian unsur bukan
manusia memiliki kesamaan fokus dengan kualitas manajemen, sedangkan tanggung jawab
sosial secara keseluruhan adalah sejalan dengan konseptualisasi konstruk konsumen.
Santos (2003) menyatakan dua dimensi kualitas layanan yakni: dimensi pertama
adalah incubative berkaitan dengan kemudahan dalam penggunaan (ease of use),
penampilan (appearance), keterkaitan (linkage), tata letak dan struktur (structure and lay
out), dan isi (content); dimensi kedua adalah active berkaitan dengan keandalan
(reliability), efisiensi (efficiency), dukungan (support), komunikasi (communication),
keamanan (security), dan insentif (incentives). Dimensi ini selanjutnya diklasifikasikan
kedalam dua dimensi Gronroos (1978; 1982; 1983; 1984; 1988; dan 2001) yakni kualitas
layanan fungsional dan kualitas layanan teknik (technical and functional service quality).
Sedangkan Jun et al., (2004) mengemukakan enam dimensi kualitas layanan antara
lain: dapat dipercaya (reliable/prompt response), akses (access), kemudahan dalam
penggunaan (ease of use), penuh perhatian (attentiveness), keamanan (security), dan
kredibilitas (credibility), demikian juga Yang et al., (2004) mengungkapkan enam dimensi
kualitas layanan antara lain: keandalan (responsiveness), kompetensi (competences),
kemudahan dalam penggunaan (ease of use), keamanan (security), dan potofolio produk
(product portofolio). Dari penjelasan tersebut nampak keduanya sama-sama
mengemukakan enam dimensi dan hal tersebut merupakan pengembangan dari dimensi
SERVQUAL.
Kang dan James (2004) menyatakan tiga dimensi kualitas layanan sebagaimana
dalam model Gronroos yakni: teknik kualitas luaran (technical quality of outcome), fungsi
kualitas prosess (functional quality process), dan citra perusahaan (corporate imange).
Dimensi ini esensinya mengkonfirmasikan validitas dari model Gronroos dan menemukan
kesesuian dibanding SERVQUAL. Sedangkan Liu (2004) juga mengemukakan tiga dimensi
kualitas layanan antara lain: adanya interaksi antara karyawan dengan konsumen (the
customer-employee interaction), lingkungan dimana layanan tersebut diberikan (the
service environment), dan apa keluarannya (outcome).
Disamping itu menurut Srikatanyoo dan Gnoth (2005) terdapat enam dimensi
kualitas layanan antara lain: tersedianya fasilitas pendukung dan akademik (academic and
supporting facilities), kinerja staff academik (academic staff performances), kondisi
lingkungan (environmental condition), permintaan yang masuk (entry requirements),
reputasi akademik dari negara (academic reputation of country), dan reputasi akademik
lembaga-lembaga yang ada didalam negeri (academic reputation of domestic institutions).
Dari enam dimensi tersebut sesungguhnya berasal dan merupakan direvasi dari model
Gronroos (1978; 1982; 1983; 1984; 1988; dan 2001) dan Parasuraman et al (1996) yang
100
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 1, April 2012

secara spesifik digunakan dalam pendidikan internasional. Sedangkan Fowdar (2005)


mengemukakan tujuh dimensi kualitas layanan antara lain: lima dimensi kualitas layanan
dari SERVQUAL dan ditambah lagi dua dimensi kualitas layanan yakni keluaran inti medis
(core medical outcomes) dan profesionalisme/keakhlian atau kompetensi
(professionalism/skill/competence). Kalau diperhatikan dimensi yang diungkapkan tersebut
adalah berbasis pada SERVQUAL dan secara spesifik digunakan pada dunia kesehatan.
Studi yang dilakukan Thai V.V (2008) adalah pengembangan konsep model
dimensi kualitas layanan pada sektor transportasi yang kemudian dikemukakan menjadi
enam dimensi yakni: sumberdaya (resources), keluaran (outcome), proses (process),
manajemen (management), citra (image), dan tanggung jawab sosial (social responsibility),
selanjutnya enam dimensi tersebut dikenal dengan nama ROPMIS (resources, outcome,
process, management, image, dan social responsibility). Dalam penelitiannya di sektor
transportasi laut Thai V.V (2008) melaporkan bahwa meski lebih dari sepuluh dekade
perbaikan kualitas layanan merupakan hal yang penting dan kritis bagi para operator
transportasi agar lebih mempunyai keunggulan bersaing. Namun demikian menurut Thai
V.V (2008) ditemukan bahwa dalam kenyataannya masih sedikit sekali studi terhadap
dimensi kualitas layanan di sektor transportasi yang mengekplorasi dimensi ROPMIS,
sedangkan studi terdahulu sebagian besar mengekplorasi dimensi SERVQUAL dari
Parasuraman et al., (1985).
Pengembangan dimensi kualitas layanan di sektor transportasi dimulai ketika
Pearson (1980) mengemukakan dua dimensi antara lain: dimensi pertama adalah keluaran
(outcome) dengan indikator kecepatan transit, keandalan, dan regulasi; dimensi kedua
adalah proses (process) dengan indikator fleksibilitas, dan dermaga. Kemudian Brooks
(1985, 1990) melakukan pengembangan dengan menambahkan menjadi empat dimensi
kualitas layanan antara lain: dimensi pertama sumberdaya (resource) berkaitan dengan
kemampuan menjelajah, perwakilan penjualan; dimensi kedua keluaran (outcome)
berkaitan dengan frekuensi berlayar, waktu transit, pelayaran langsung, ketepatan
pengiriman, dan biaya jasa; dimensi ketiga adalah proses (process) berkaitan dengan
kerjasama antar karyawan, dan fleksibilitas dalam mengangkut; dimensi keempat adalah
citra atau reputasi (image/reputation) berkaitan dengan dengan reputasi untuk diandalkan,
pengalaman kerusakan dan kehilangan, informasi iklan, kelayakan untuk mengangkut.
Selanjutnya Slack (1985) mengungkapkan tiga dimensi yakni: dimensi pertama
sumberdaya (resource) yang berkaitan dengan ukuran dermaga, perlengkapan dermaga,
dan kedekatan dermaga; dimensi kedua adalah keluaran (outcome) berkaitan dengan
keamanan dermaga, dan beban dermaga; sedangkan dimensi ketiga adalah manajemen
(management) dengan indikator banyaknya hambatan.

Sedangkan Murphy et al (1989, 1991, 1992) menyatakan bahwa tiga dimensi kualitas
layanan disektor tarsportasi antara lain: dimensi pertama sumberdaya (resources) dengan
indikator ukuran keluasan daya angkut, keluasan volume pelayaran, penangan khusus,
tersedianya perlengkapan, dan informasi pelayaran; dimensi kedua adalah keluaran
(outcome) dengan indikator kehilangan dan kerusakan, pengangkutan dan pengiriman, dan
beban pengendalian, sedangkan dimensi ketiga adalah proses (process) dengan indikator
pengendalian keluhan atau klaim.
Pada perkembangan selanjutnya Frankel (1993) mengemukakan tiga dimensi
kualitas layanan di sektor transportasi antara lain: dimensi pertama adalah sumberdaya
(resources) dengan indikator kapasitas yang tersedia, pengawasan aliran muatan dan jalan;
dimensi kedua adalah keluaran (outcome) dengan indikator keandalan meberikan layanan,
101
Bambang Irawan, Dimensi Kualitas Layanan: Konsep dan Perkembangannya

waktu pengiriman dan pelayanan, pemeliharaan dan keamanan muatan, ketepatan waktu,
pengawasan biaya, periklanan dan manajemen; dan dimensi ketiga adalah manajemen
(management) dengan indikator proyeksi dan pengawasan status layanan, dan manajemen
antar modal. Sedangkan Lopez dan Poole (1998) menyatakan dua dimensi kualitas layanan
yakni: dimensi pertama adalah keluaran (outcome) dengan indikator ketepatan waktu, dan
keamanan; dimensi kedua adalah manajemen (management) dengan indikator efisiensi.
Durvasula et al (1999) dalam Thai V.V (2008) menyatakan tiga dimensi kualitas
layanan antara lain: dimensi pertama sumberdaya (resources) indikatornya adalah
berwujud; dimensi kedua adalah keluaran (outcomes) dengan indikator keandalan; dan
dimensi ketiga adalah proses (process) dengan indikator daya tanggap, jaminan, dan
empati. Selanjutnya Tongzon (2002) dalam Thai V.V (2008) mengemukakan lima dimensi
kualitas layanan yakni: dimensi pertama sumberdaya (resources) dengan indikator
infrastruktur yang cukup, lokasi, dan frekuensi kunjungan pelayaran; dimensi kedua adalah
keluaran (outcome) dengan indikator kemampuan bersaing di dermaga; dimensi ketiga
adalah proses (process) dengan indikator kecepatan merespon kebutuhan pengguna
dermaga; dimensi keempat adalah manajemen (management) dengan indikator efisiensi
dermaga; dan dimensi kelima adalah citra atau reputasi (image/reputation) dengan
indikator reputasi dermaga atas kerusakan muatan.
Eliades (1992), Gratsos (1998), dan Ruiter (1999), dalam Thai (2008)
mengemukakan tiga dimensi kualitas layanan yakni: dimensi pertama adalah keluaran
(outcomes) dengan indikator keamanan dan keandalan dalam transportasi, dimensi kedua
adalah manajemen (management) dengan indikator efisiensi; dan dimensi ketiga adalah
tanggung jawab sosial (social responsibility) dengan indikator aktivitas dan perilaku yang
bertanggung jawab terhadap kemanan dan memperhatikan lingkungan. Sedangkan
Ugboma et al (2004) dalam Thai (2008) menyatakan empat dimensi kualitas layanan:
dimensi pertama adalah sumberdaya (resources) dengan indikator wujud yang terukur,
dimensi kedua adalah keluaran (outcomes) dengan indikator keandalan, dimensi ketiga
adalah proses (process) dengan indikator daya tanggap dan empati; dimensi kempat adalah
manajemen (management) dengan indikator jaminan.

2.2 Matrik Perkembangan Konsepsi Dimensi Kualitas Layanan


Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan, maka sejarah perkembangan
dimensi kualitas layanan nampak pada tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1. Perkembangan Konsepsi Dimensi Kualitas Layanan


Tahun Kontributor Dimensi Kualitas Layanan
1978 Sasser et al. Keamanan, konsistensi, perilaku, kelengkapan,
kondisi, ketersediaan, pelatihan
1978, 1982, Gronroos Kualitas teknis dari hasil jasa, kualitas fungsional
1983,1984, proses jasa, citra perusahaan.
1988, 2001
1982 Lehtinen dan Kualitas interaktif, kualitas fisik, kualitas
Lehtinen perusahaan
102
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 1, April 2012

1988 Parasuraman et al. Reliabilitas, kemampuan merespon, akses


kompetensi, tata bahasa, komunikasi, kredibilitas,
keamanan, pemahaman/pengertian terhadap
konsumen, berwujud
1988 Parasuraman et al. Bukti fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan,
empati
1988 Haywood-Farmer et Fasilitas fisik, proses dan prosedur, perilaku
al. masyarakat dan kesenangan, penilaian yang
professional

1988 Gronroos Profesionalisme dan keahlian; perilaku dan sikap;


aksesbilitas dan fleksibilitas; reliabilitas dan dapat
dipercaya; pemulihan; reputasi dan kredibilitas
1988 LeBlanc dan Nguyen Tingkat kepuasan konsumen; didalam organisasi;
lingkungan fisik dan instrumen pendukung sistem
pengadaan jasa; citra perusahaan; interaksi
konsumen/personil
1988 Brown Perolehan, perilaku, produk
1992 Babakus dan Boller Kinerja
1992 Cronin dan Taylor Kinerja
1993 Ovretveit Kualitas konsumen/klien; kualitas
teknis/professional; manajemen kualitas
1995 Johnston Berdasarkan dimensi-dimensi yang ditulis
Parasuraman et al. (1985, 1988)
1995 Harte dan Dale Batas waktu, empati, jaminan; pajak; bukti fisik,
keandalan
1996 Buttle SERVQUAL + hasil jasa
1996 Genestre dan Herbig SERVQUAL + kualitas produk
1997 Mels et al. Kualitas ekstrinsik, kualitas intrinsik
2000 White dan Galbraith Keandalan, daya tanggap, kompetensi, komitmen,
akses, ketersediaan komunikasi, pemahaman,
fleksibilitas, berwujud/fungsional/teknologi,
kredibilitas/ integritas, keramahan, perhatian
2000 Lin et al Bukti fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan,
royal, kesopanan dan tata bahasa, ketulusan
2002 Imrie et al. Bukti fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan,
royal, hubungan interpersonal
2001 Brady dan Cronin Hasil jasa, interaksi kualitas lingkungan
2002 Aldlaigan dan Buttle Kualitas sistem jasa, perilaku, akurasi transaksi
jasa, kualitas jasa mesin
2002 Sureshchandar et al. Elemen manusia, bukti fisik, alur jasa, elemen non-
manusia, tanggung jawab sosial
2003 Santos Inkubatif (mudah digunakan, tampilan, jaringan,
struktur dan layout, konten); aktif (reliabilitas,
efisiensi, dukungan, komunikasi, keamanan,
insentif).
2004 Jun et al. Keandalan, daya tanggap, akses, mudah digunakan,
perhatian, keamanan dan kredibilitas.
2004 Yang et al. Reliabilitas, kemampuan merespon, kompetensi,
103
Bambang Irawan, Dimensi Kualitas Layanan: Konsep dan Perkembangannya

mudah digunakan, keamanan, dan portofolio


produk.
2004 Kang dan James Tiga dimensi dari teori Gronroos
2004 Liu Interaksi antara karyawan dengan konsumen,
lingkungan jasa dan hasil jasa
2005 Srikatanyoo dan Fasilitas pendukung dan akademik, kinerja
Gnoth karyawan akademik, kondisi lingkungan,
permintaan entry, reputasi akademik dari suatu
negara, dan reputasi akademik dari lembaga
domestik
2005 Fowdar 5 dimensi dari SERVQUAL dan 2 dimensi
tambahan; hasil alur medical dan
profesionalisme/keahlian/kompetensi
2008 Thai Sumberdaya, keluaran, proses, manajemen, citra,
dan tanggung jawab sosial
Sumber: diolah dari berbagai sumber

Berdasarkan tabel 1 dapat disimpulkan bahwa layanan yang bermutu akan


memberikan banyak manfaat bagi produsen dan konsumen antara lain: (a) pelayanan yang
istimewa (nilai jasa yang benar-benar dialami melebihi harapan) atau sangat memuaskan
konsumen. Perusahaan yang memberikan kepuasan yang superior kepada pelanggan dapat
menetapkan suatu tingkat harga premi yang signifikan; (b) pelayanan yang istimewa
membuka peluang untuk diversifikasi produk dan harga. Misalnya pelayanan dibedakan
menurut kecepatan pelayanan yang diminta oleh pelanggan yaitu tarif yang lebih mahal
dibebankan terhadap jasa yang membutuhkan penyelesaian yang paling cepat; (c)
pelayanan yang memuaskan menciptakan loyalitas pelanggan, dimana pelanggan yang
loyal tidak hanya potensial untuk penjualan produk yang sudah ada, tetapi juga untuk
produk-produk baru dari perusahaan; (d) pelanggan yang terpuaskan merupakan sumber
informasi positif dari perusahaan dan produk-produknya bagi pihak luar. Bahkan mereka
dapat menjadi pembela bagi perusahaan khususnya di dalam menangkal isu-isu negatif dari
luar; (e) pelanggan yang puas merupakan sumber informasi bagi perusahaan untuk
kepentingan pemasaran dan pengembangan pelayanan perusahaan pada umumnya; (f)
kualitas yang baik berarti menghemat biaya-biaya seperti biaya untuk memperoleh
pelanggan baru, untuk memperbaiki pelanggaran; dan (g) kualitas layanan yang didesain
dan diimplementasikan secara memadai bukan hanya memuaskan pelanggan tetapi juga
dapat memberikan kepuasan kerja bagi karyawan. Karyawan dapat menerima tuntutan
untuk senantiasa memuaskan pelanggan, karena dengan cara demikian ia dapat memajukan
kondisi finansial dan ekspresi dirinya. Bagi pelaku usaha jasa, kepuasan karyawan yang
berhubungan langsung dengan pelanggan memegang peranan penting dalam memelihara
citra kualitas yang dibangun.

3. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan perkembangan konsep dimensi kualitas layanan, maka
dapat diberikan bebarapa simpulan sebagai berikut:
a) Suatu layanan dianggap berkualitas bila layanan tersebut mampu memenuhi
ekpektasi penerima layanan tersebut atau dengan kata lain layanan yang
berkualitas akan menciptakan kepuasan bagi penerima layanan tersebut.

104
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 1, April 2012

b) Kualitas layanan yang disampaikan perusahaan (jasa) diukur dengan dimensi dan
indikator yang merefleksikan kualitas layanan tersebut. Pemilihan dimensi atau
indikator disesuaikan dengan konteks dimana kualitas layanan tersebut akan
diimplementasikan.
c) Layanan yang bermutu akan memberikan banyak manfaat bagi produsen dan
konsumen antara lain: pelayanan yang istimewa atau sangat memuaskan konsumen,
pelayanan yang istimewa membuka peluang untuk diversifikasi produk dan harga,
pelayanan yang memuaskan menciptakan loyalitas pelanggan, dimana pelanggan
yang loyal tidak hanya potensial untuk penjualan produk yang sudah ada, tetapi
juga untuk produk-produk baru dari perusahaan, pelanggan yang terpuaskan
merupakan sumber informasi positif dari perusahaan dan produk-produknya bagi
pihak luar, pelanggan yang puas merupakan sumber informasi bagi perusahaan
untuk kepentingan pemasaran dan pengembangan pelayanan perusahaan pada
umumnya, kualitas yang baik berarti menghemat biaya-biaya seperti biaya untuk
memperoleh pelanggan baru, untuk memperbaiki pelanggaran dan kualitas layanan
yang didesain dan diimplementasikan secara memadai bukan hanya memuaskan
pelanggan tetapi juga dapat memberikan kepuasan kerja bagi karyawan.

Daftar Puataka

Aldlaigan, A.H. and Buttle, F.A, 2002, “SYSTRA-SQ: a new mesuare of bank service
quality”, International Journal of Service Industry, Vol. 13 No. 3-4, pp, 362-82.

Babakus, E. and Boller, G.W, 1992, “An empirical assessment of the SERVQUAL scale”,
Journal of Business Research, Vol. 24 No. 3, pp. 253-68.

Brown, M.B., 1988, ‘‘Defining quality in service businesses’’, Quality, Vol. 27 No. 1, pp.
56-8.

Buttle, F., 1996, ‘‘SERVQUAL: review, critique, research agenda’’, Journal of Marketing,
Vol. 30 No. 1, pp. 8-32.

105
Bambang Irawan, Dimensi Kualitas Layanan: Konsep dan Perkembangannya

Cronin, J.J. and Taylor, S.A., 1992 a, “Measuring service quality: reconciling
performances based perception – minus- expectations measurement industry”,
Journal of Marketing Research, Vol. 24 No. 4, pp. 404-11.

Cronin, J.J. and Taylor, S.A., 1992 b, “Measuring service quality: a reexamination and
extension”, Journal of Marketing, Vol. 56 No. 2, pp. 55-68.

Fowdar, R. (2005), ‘‘Identifying health care quality attributes’’, Journal of Health and
Human Services Administration, Vol. 27 No. 3-4, pp. 428-44.

Genestre, A. and Herbig, P., 1996, ‘‘Service expectations and perceptions revisited: adding
product quality to SERVQUAL’’, Journal of Marketing Theory and Practice, Vol. 4
No. 4, pp. 72-82.

Gronroos, C., 1978, ‘‘A service oriented approach to marketing of service’’, European
Journal of Marketing, Vol. 12 No. 8, pp. 588-96.

Gronroos, C., 1982, ‘‘Strategic management and marketing in the service sector’’,
Swedish School of Economics and Business Administration, Helsinki.

Gronroos, C., 1983, “Strategic Management and Marketing in the Service Sector”,
Marketing Science Institute, Cambridge.

Gronroos, C., 1984, “Strategic Management and Marketing in the Service Sector,
Chartwell-Bratt, Bromley.

Gronroos, C., 1984, “A service quality model and its marketing implications”, European
Journal of Marketing, Vol. 18 No. 4, pp. 36-44.

Gronroos, C., 1988, ‘‘The six criteria of good perceived quality service’’, Review of
Business, Vol. 9 No. 3, pp. 10-13.

Gronroos, C., 2000, “Service Management and Marketing”: A Customer Relationship


Management Approach, Wiley, New York, NY.

Gronroos, C., 2001, ‘‘The perceived service quality concept-A mistake?’’, Managing
Service Quality, Vol. 11 No. 3, pp. 150-52.

Imrie, B.C., Durden, G., Cadogan, J.W. and Mcnaughton, R., 2002, ‘‘The service quality
construct on a global stage’’, Managing Service Quality, Vol. 12 No. 1, pp. 10-9.

Johnston, R., 1996, “The determinants of service quality: satisfiers and dissatisfiers”,
International Journal of Service Industry Management, Vol. 6 No. 5, pp. 53-71.

Jun, M., Yang, Z. and Kim, D., 2004, ‘‘Customers’ perceptions of online retailing service
quality and their satisfaction’’, The International Journal of Quality and Reliability
Management, Vol. 21 No. 8, pp. 817-37.

Kang, G. and James, J., 2004, “Service quality dimensions: an examination of Gronroos’s
service quality model”, Managing Service Quality, Vol. 14 No. 4, pp. 266-77.
106
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 1, April 2012

Kotler, P., 1997, “Principle of Marketing”, Prentice Hall International Inc, Englewood
Cliffs W.J.

LeBlanc, G. and Nguyen, N., 1988, ‘‘Customers’ perceptions of service quality in financial
institutions’’, International Journal of Bank Marketing, Vol. 6 No. 4, pp. 7-18.

Lehtinen, U. and Lehtinen, J.R., 1982, ‘‘Service quality: a study of quality dimensions’’,
working paper, Service Management Institute, Helsinki.

Lin, C.Y., Durden, G.R., Imrie, B.C, and Cadogan, J.W, 2000, “Towards the
conceptualization of service quality in an Asian context: a confirmatory study”,
Proceedings of ANZMAC 2000: Visionary Marketing for the 21st century: Facing
the Challenge,
http://130.195.95.71:8081/www/ANZMAC2000/Cdsite/papers//Lin1.pdf.

Liu, C.-M. (2004), ‘‘The multidimensional and hierarchical structure of perceived quality
and customer satisfaction’’, International Journal of Management, Vol. 22 No. 3,
pp. 426-37.

Mels, G., Boshoff, C. and Nel, D., 1997, ‘‘The dimensions of service quality: the original
European perspective revisited’’, Service Industries Journal, Vol. 17 No. 1, pp.
173-89.

Ovretveit, J., 1993, Measuring Service Quality: Practical Guidelines, Technical


communications Publications, Ayelsbury.
Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and Berry, L.L., 1988, “SERVQUAL: a multiple-item
scale for measuring consumer perceptions of service quality”, Journal of Retailing,
Vol. 64 No. 1, pp. 12-40.

Santos, J., 2003, “From intangibility to tangibility on service quality perceptions: a


comparison study between consumers and service providers in four service
industries”, Managing Service Quality, Vol. 12 No. 5, pp. 292-302.

Sasser, W.E., Olsen, R.P. and Wyckoff, D.D., 1978, Management of Service Operations:
Texts, Cases and Readings, Allyn and Bacon, Boston, MA.

Savitri, Dyah dan Halim, A., 2003, “Bagaimana Membangun Kualitas Layanan Publik
(Suatu Tinjauan Dalam Instansi Pemerintah”, Usahawan. No. 08, Tahun XXXII.
Agustus, hal. 40-46.

Srikatanyoo, N. and Gnoth, J., 2005, ‘‘Quality dimensions in international tertiary


education: a Thai prospective students’ perspective’’, QualityManagement Journal,
Vol. 12 No. 1, pp. 30-41.

Sureshchandar, G.S., Rajendran, C. and Anantharaman, R.N., 2002, ‘‘Determinants of


customerperceived service quality: a confirmatory factor analysis approach’’,
Journal of Services Marketing, Vol. 16 No. 1, pp. 9-32.

107
Bambang Irawan, Dimensi Kualitas Layanan: Konsep dan Perkembangannya

Thai. V.V, 2008: “Service Quality in Maritime Transport: Conceptual Model and
Empirical Evidence”. Asia Pasific Journal of marketing and Logistic, Vol 20, No.
4, 2008, pp. 493-518.

White, L. and Galbraith, M., 2000, ‘‘Customer determinants of perceived service quality in
a business to business context: a study within the health services industry’’,
available at: http://www/papers/w/White1.PDF.

Yang, Z., Jun, M. and Peterson, R.T., 2004, ‘‘Measuring customer perceived online service
quality: scale development and managerial implication’’, International Journal of
Operations and Production Management, Vol. 24 No. 11/12, pp. 1149-69.

Zeithaml, V.A., Berry, L.L. and Parasuraman, A., 1996, “The behavioral consequences of
service quality”, Journal of Marketing, Vol. 60 No. 2, pp. 31-46.

108

Anda mungkin juga menyukai