Bambang Irawan
Staf pengajar Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Jember
Jl.Kalimantan No 37 Jember Telp. 0331 337990/Fax. 332150/HP 08123489817
email: b_irawan24@ymail.com
Abstract
1. Pendahuluan
Layanan sebagai suatu kegiatan atau aktivitas yang bersifat intangible ataupun
tangible yang fokus utamanya adalah untuk melayani konsumen dengan cara memberikan
layanan disertai ataupun tanpa disertai barang tertentu. Permasalahannya adalah apakah
suatu layanan telah atau belum memenuhi kebutuhan konsumen (berkualitas), jawabannya
bergantung pada penilaian subjektif konsumen. Dengan demikian yang berlaku disini
adalah bagaimana persepsi konsumen tersebut terhadap kualitas layanan yang diterima.
Persepsi konsumen terhadap kualitas layanan esensinya merupakan penilaian secara
menyeluruh atas keunggulan suatu layanan. Bagi pemasar, salah satu cara agar penjualan
jasa suatu perusahaan lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya ialah dengan
memberikan layanan berkualitas yang mampu memenuhi tingkat kepentingan konsumen.
Kualitas layanan ialah sebagai hasil persepsi perbandingan antara harapan
pelanggan dengan kinerja aktual layanan (Gronroos, 1980 dalam Savitri dan Halim, 2003).
Parasuraman et al., (1990) menyatakan bahwa kualitas layanan didefinisikan sebagai
seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dengan harapan pelanggan atas layanan yang
mereka terima. Rangkuti (2006) menyatakan dua jenis kualitas untuk menilai kualitas
layanan: (a) kualitas teknik (berkaitan dengan outcome) ialah kualitas hasil kerja
penyampaian layanan itu sendiri; dan (b) kualitas layanan (berkaitan dengan process) ialah
kualitas cara penyampaian layanan tersebut.
Kualitas layanan menurut Kotler (1997) ialah kemampuan perusahaan memberikan
jasa dengan mutu yang lebih tinggi daripada pesaingnya secara konsisten. Kuncinya ialah
memenuhi dan melebihi ekspektasi kualitas layanan pelanggan sasaran. Ekspektasi
pelanggan bisa terbentuk dari pengalaman masa lalunya, pembicaraan dari mulut ke mulut
95
Bambang Irawan, Dimensi Kualitas Layanan: Konsep dan Perkembangannya
dan informasi yang diterima dari aktivitas promosi perusahaan jasa. Dengan demikian
adalah wajar jika pelanggan akan menentukan pilihan suatu jasa berdasarkan informasi
tersebut, dan mereka akan membandingkan mutu layanan yang dirasakan dengan mutu
layanan yang diharapkan. Implikasinya ialah ketika kualitas layanan dirasakan memenuhi
atau lebih baik dari kualitas layanan yang diharapkan, maka mereka akan tetap
menggunakan jasa tersebut, sebaliknya bila kualitas layanan yang dirasakan berada
dibawah kualitas layanan yang diharapkan, mereka tidak akan berminat lagi untuk membeli
jasa tersebut dan akan meninggalkannya (Zeithaml et al.,1996).
Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui:
a) Layanan yang dianggap mampu memenuhi ekpektasi penerima layanan.
b) Pengukuran kualitas layanan yang disampaikan perusahaan (jasa) yang dapat
diimplementasikan.
c) Layanan yang bermutu yang bermanfaat bagi produsen dan konsumen.
Babakus dan Boller (1992) menyatakan hanya satu dimensi kualitas layanan yakni
kinerja (performance). Meskipun sederhana, penentuan satu dimensi ini mungkin tidak
menggambarkan secara benar ruang lingkup kualitas layanan, karena hal tersebut untuk
studi yang mengarah pada kasus yang sangat unik dengan karakteristik yang luar biasa.
Artinya apa yang disampaikan Babakus dan Boller tersebut sejalan dengan Cronin dan
97
Bambang Irawan, Dimensi Kualitas Layanan: Konsep dan Perkembangannya
Taylor (1992) bahwa kenyataan didalam praktek tidaklah sederhana seperti dalam konsep
karena berbicara kinerja sesungguhnya berkaitan dengan semua dimensi yang menjadi
sebab atau memengaruhi kinerja tersebut. Sebagai contoh kinerja seorang pramuniaga
dalam memberikan layanan pada konsumen atau calon konsumen tentu dipengaruhi oleh
seberapa luas pemahamannya (knowing/skills) terhadap konsumen tersebut, meskipun
demikian pemahaman tidaklah cukup berarti tanpa didukung oleh sarana/prasarana lainnya
misalnya: peralatan komunikasi, infomasi data, lingkungan kerja dan sebagainya.
Ovretveit (1993), menyatakan tiga dimensi kualitas layanan antara lain: kualitas
klien atau konsumen (customer or client quality); kualitas teknik atau profesional
(professional or technical quality); kualitas manajemen (managemnt quality). Dimensi ini
merupakan pengembangan dari studi sebelumnya, hal yang baru dari dimensi tersebut
adalah kualitas manajemen yang menunjukkan aspek manajemen internal dan ekternal.
Artinya bahwa kualitas manajemen baik internal maupun ekternal merupakan aspek
penting dalam kualitas layanan. Sedangkan Johnston and Chestnut, (1996) mengemukakan
delapan belas dimensi kualitas layanan dimana sebagian besar dari dimensi tersebut
didasarkan dimensi kualitas layanan yang disampaikan oleh Parasuraman et al (1985,
1988). Dengan demikian sejalan dengan studi sebelumnya yang pernah dilakukan oleh
Parasuraman et al yakni: reliability, responsiveness, competence, access, courtesy,
communication, credibility, security, understanding/knowing customer, assurance,
empathy.
Delapan dimensi kualitas yang dikembangkan Garvin dan dapat digunakan sebagai
kerangka perencanaan strategis dan analisis adalah sebagai berikut: (1) kinerja
(performance), yaitu karakteristik operasi pokok produk inti; (2) ciri-ciri atau
keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap; (3)
kehandalan (reliability), yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal
dipakai; (4) kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to spesifications), yaitu sejauh
mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan
sebelumnya; (5) daya tahan (durability), berkaitan dengan seberapa lama suatu produk
dapat terus digunakan; (6) serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan,
mudah direparasi serta penangan keluhan yang memuaskan; (7) estetika, yaitu daya tarik
produk terhadap panca indera; dan (8) kualitas yang dipersepsikan (perceived quality),
yaitu citra dan reputasi produk/jasa serta tanggung jawab perusahaan terhadapnya (Garvin
dalam Lovelock ,1994; serta Peppard dan Rowland, 1995 dalam Tjiptono, 1997).
Selanjutnya Harte dan Dale (1995) melakukan pemisahan dengan mengungkapkan
ada enam dimensi kualitas layanan antara lain: batas waktu (timelines); empati (empathy);
jaminan (assurance); imbalan (fees); berwujud (tangibles); dan keandalan (reliability).
Pada dasarnya pemisahan dimensi ini memiliki kesamaan dengan SERVQUAL, dimana
timelines merupakan pengembangan yang didalamnya termasuk reliability. Artinya
dimensi kualitas layanan yang disampaikan oleh Harte dan Dale (1995) tidak jauh berbeda
dengan SERVQUAL, hanya ada penambahan berkaitan dengan waktu dan imbalan.
Selanjutnya Buttle (1996) mengemukakan enam dimensi kualitas
layanan yang merupakan dimensi SERVQUAL ditambah dengan satu dimensi yang
mengindikasikan mengenai outcome, sebagaimana yang telah disebut oleh Gronroos (1978,
1982, 1983, 1984, 1988) dan yang lainnya.
Dalam perkembangan berikutnya Genestre dan Herbig (1996) menyatakan enam
dimensi kualitas layanan yang terdiri: SERVQUAL ditambah satu dimensi yaitu kualitas
produk, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Brown (1988). Kemudian Mels et al., (1997)
mengemukakan dua dimensi kualitas layanan yakni: kualitas ekstrinsik (extrinsic quality)
dan kualitas intrinsik (intrinsic quality). Pada dasarnya dua dimensi ini memiliki kesamaan
98
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 1, April 2012
dengan kualitas teknik dan kualitas fungsional sebagaimana dikembangkan oleh Gronroos
(1978, 1982, 1983, 1984, 1988).
Zeithaml, Berry dan Parasuraman (1996), menyatakan bahwa ”kualitas layanan
merupakan suatu konsep yang terdiri dari lima dimensi. Kelima dimensi tersebut antara
lain: tangible, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy”. Menurut konsep ini
kualitas layanan diukur melalui persepsi pelanggan terhadap lima dimensi kualitas layanan
tersebut. Penjelasan tentang lima dimensi kualitas layanan dari Zeithaml, Berry dan
Parasuraman (1996), adalah sebagai berikut: (1) dimensi pertama, tangibles adalah
tampilan berwujud yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti fasilitas fisik,
peralatan kantor, penampilan pegawai, dan sarana lainnya; (2) dimensi kedua reliability
adalah kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara akurat dan
memuaskan; (3) dimensi ketiga, responsiveness adalah berkaitan dengan kemauan
karyawan untuk memberikan layanan secara baik dan kesediaan serta kemampuan
karyawan untuk membantu menyelesaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan
kebutuhan karyawan pada saat menerima layanan; (4) dimensi keempat, assurance adalah
kemampuan karyawan terhadap bidang yang menjadi tugasnya, sehingga dengan demikian
bisa menimbulkan perasaan bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan pelanggan; dan
(5) dimensi kelima, empathy adalah berkaitan dengan sikap ramah dan perilaku karyawan
yang selalu menghargai, mendengar, dan memberikan perhatian kepada pelanggan.
Untuk keperluan riset yang berkaitan dengan mutu layanan memerlukan
seperangkat instrumen yang diukur dengan skala tertentu. Pengembangan skala
SERVQUAL yang dilakukan oleh Zeithaml, Berry dan Parasuraman (1996), mencakup
pertanyaan tentang harapan konsumen terhadap kualitas layanan dan tentang persepsi
konsumen terhadap kualitas layanan yang mereka terima. Sedangkan Cronin dan Taylor
(1992), mengajukan pengukuran alternatif yang dikenal dengan istilah SERVPERF (service
performance) mencakup pertanyaan yang terkait dengan kinerja kualitas layanan yang
disampaikan perusahaan.
White dan Galbraith (2000) menyatakan tiga belas dimensi kualitas layanan antara
lain: keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), kompetensi (competence),
komitmen (commitment), akses (access), ketersediaan (availability), komunikasi
(communication), pemahaman (understanding), fleksibilitas (flexibility), berwujud atau
fungsional atau teknologi (tangible/functionality/technology), kredibilitas atau integritas
(credibility/integrity), kehormatan atau persahabatan (courtesy/friendliness), perhatian
(helpfullness/care). Bila diperhatikan pada dasarnya dimensi tersebut dapat diterima dan
lebih komprehensif daripada SERVQUAL, dan memiliki kesamaan dengan studi
sebelumnya. Artinya dimensi kualitas layanan yang disampaikan oleh White dan Galbraith
(2000) lebih lengkap dari SERVQUAL.
Imrie et al., (2000) mengungkapkan tujuh dimensi kualitas layanan antara lain:
berwujud (tangibles), kehandalan (reliability), dayatanggap (responsiveness), jaminan
(assurance), kemurahan hati (generosity), kesopanan dan kehormatan (politeness and
courtesy), kesucian (sincerity). Selanjutnya tujuh dimensi kualitas layanan tersebut juga
dinyatakan oleh Lin et al (2000) yang kemudian Imrie et al (2002) menjadikan tiga
kelompok yang disebut hubungan interpersonal (interpersonal relation).
Brady dan Cronin (2001) menyatakan tiga dimensi ditambah tiga sub-dimensi
dalam kualitas layanan meliputi: keluaran (outcome), interaksi (interaction), kualitas
lingkungan (environmental quality). Dimensi ini sesuai dengan model Gronroos (1978;
1982; 1983; 1984; 1988; dan 2001) yakni kualitas teknik dari luaran (technical quality of
99
Bambang Irawan, Dimensi Kualitas Layanan: Konsep dan Perkembangannya
outcome); kualitas fungsional terkait dengan proses (functional quality of process); dan
citra perusahaan (corporate image). Dimensi tersebut mencakup semua dimensi
sebagaimana yang disampaikan oleh Sasser et al., (1978), bahkan juga ditambahkan
dimensi citra atau reputasi perusahaan.
Aldlaigan dan Buttle (2002) menyampaikan empat dimensi kualitas layanan antara
lain: kualitas sistem layanan (service system quality), kualitas perilaku layanan
(behavioural service quality), akurasi traksaksi layanan (service transactional accuracy),
dan kualitas mesin layanan (machine service quality). Dimensi tersebut kemudian
diklasifikasikan kedalam dua dimensi Gronroos (1978; 1982; 1983; 1984; 1988; dan 2001)
yakni kualitas fungsional layanan dan kualitas teknik layanan. Selanjutnya Sureshchandar
et al., (2002), menyampaikan lima dimensi kualitas layanan antara lain: unsur manusia
(human element), berwujud (tangibles), layanan inti (core service), unsur bukan manusia
(non-human element), dan tanggung jawab sosial (social responsibility). Jika diperhatikan
disini ada tiga dimensi yang baru yakni inti layanan lebih kurang memiliki kesamaan
dengan keluaran (outcome) atau merupakan dimensi produk; kemudian unsur bukan
manusia memiliki kesamaan fokus dengan kualitas manajemen, sedangkan tanggung jawab
sosial secara keseluruhan adalah sejalan dengan konseptualisasi konstruk konsumen.
Santos (2003) menyatakan dua dimensi kualitas layanan yakni: dimensi pertama
adalah incubative berkaitan dengan kemudahan dalam penggunaan (ease of use),
penampilan (appearance), keterkaitan (linkage), tata letak dan struktur (structure and lay
out), dan isi (content); dimensi kedua adalah active berkaitan dengan keandalan
(reliability), efisiensi (efficiency), dukungan (support), komunikasi (communication),
keamanan (security), dan insentif (incentives). Dimensi ini selanjutnya diklasifikasikan
kedalam dua dimensi Gronroos (1978; 1982; 1983; 1984; 1988; dan 2001) yakni kualitas
layanan fungsional dan kualitas layanan teknik (technical and functional service quality).
Sedangkan Jun et al., (2004) mengemukakan enam dimensi kualitas layanan antara
lain: dapat dipercaya (reliable/prompt response), akses (access), kemudahan dalam
penggunaan (ease of use), penuh perhatian (attentiveness), keamanan (security), dan
kredibilitas (credibility), demikian juga Yang et al., (2004) mengungkapkan enam dimensi
kualitas layanan antara lain: keandalan (responsiveness), kompetensi (competences),
kemudahan dalam penggunaan (ease of use), keamanan (security), dan potofolio produk
(product portofolio). Dari penjelasan tersebut nampak keduanya sama-sama
mengemukakan enam dimensi dan hal tersebut merupakan pengembangan dari dimensi
SERVQUAL.
Kang dan James (2004) menyatakan tiga dimensi kualitas layanan sebagaimana
dalam model Gronroos yakni: teknik kualitas luaran (technical quality of outcome), fungsi
kualitas prosess (functional quality process), dan citra perusahaan (corporate imange).
Dimensi ini esensinya mengkonfirmasikan validitas dari model Gronroos dan menemukan
kesesuian dibanding SERVQUAL. Sedangkan Liu (2004) juga mengemukakan tiga dimensi
kualitas layanan antara lain: adanya interaksi antara karyawan dengan konsumen (the
customer-employee interaction), lingkungan dimana layanan tersebut diberikan (the
service environment), dan apa keluarannya (outcome).
Disamping itu menurut Srikatanyoo dan Gnoth (2005) terdapat enam dimensi
kualitas layanan antara lain: tersedianya fasilitas pendukung dan akademik (academic and
supporting facilities), kinerja staff academik (academic staff performances), kondisi
lingkungan (environmental condition), permintaan yang masuk (entry requirements),
reputasi akademik dari negara (academic reputation of country), dan reputasi akademik
lembaga-lembaga yang ada didalam negeri (academic reputation of domestic institutions).
Dari enam dimensi tersebut sesungguhnya berasal dan merupakan direvasi dari model
Gronroos (1978; 1982; 1983; 1984; 1988; dan 2001) dan Parasuraman et al (1996) yang
100
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 1, April 2012
Sedangkan Murphy et al (1989, 1991, 1992) menyatakan bahwa tiga dimensi kualitas
layanan disektor tarsportasi antara lain: dimensi pertama sumberdaya (resources) dengan
indikator ukuran keluasan daya angkut, keluasan volume pelayaran, penangan khusus,
tersedianya perlengkapan, dan informasi pelayaran; dimensi kedua adalah keluaran
(outcome) dengan indikator kehilangan dan kerusakan, pengangkutan dan pengiriman, dan
beban pengendalian, sedangkan dimensi ketiga adalah proses (process) dengan indikator
pengendalian keluhan atau klaim.
Pada perkembangan selanjutnya Frankel (1993) mengemukakan tiga dimensi
kualitas layanan di sektor transportasi antara lain: dimensi pertama adalah sumberdaya
(resources) dengan indikator kapasitas yang tersedia, pengawasan aliran muatan dan jalan;
dimensi kedua adalah keluaran (outcome) dengan indikator keandalan meberikan layanan,
101
Bambang Irawan, Dimensi Kualitas Layanan: Konsep dan Perkembangannya
waktu pengiriman dan pelayanan, pemeliharaan dan keamanan muatan, ketepatan waktu,
pengawasan biaya, periklanan dan manajemen; dan dimensi ketiga adalah manajemen
(management) dengan indikator proyeksi dan pengawasan status layanan, dan manajemen
antar modal. Sedangkan Lopez dan Poole (1998) menyatakan dua dimensi kualitas layanan
yakni: dimensi pertama adalah keluaran (outcome) dengan indikator ketepatan waktu, dan
keamanan; dimensi kedua adalah manajemen (management) dengan indikator efisiensi.
Durvasula et al (1999) dalam Thai V.V (2008) menyatakan tiga dimensi kualitas
layanan antara lain: dimensi pertama sumberdaya (resources) indikatornya adalah
berwujud; dimensi kedua adalah keluaran (outcomes) dengan indikator keandalan; dan
dimensi ketiga adalah proses (process) dengan indikator daya tanggap, jaminan, dan
empati. Selanjutnya Tongzon (2002) dalam Thai V.V (2008) mengemukakan lima dimensi
kualitas layanan yakni: dimensi pertama sumberdaya (resources) dengan indikator
infrastruktur yang cukup, lokasi, dan frekuensi kunjungan pelayaran; dimensi kedua adalah
keluaran (outcome) dengan indikator kemampuan bersaing di dermaga; dimensi ketiga
adalah proses (process) dengan indikator kecepatan merespon kebutuhan pengguna
dermaga; dimensi keempat adalah manajemen (management) dengan indikator efisiensi
dermaga; dan dimensi kelima adalah citra atau reputasi (image/reputation) dengan
indikator reputasi dermaga atas kerusakan muatan.
Eliades (1992), Gratsos (1998), dan Ruiter (1999), dalam Thai (2008)
mengemukakan tiga dimensi kualitas layanan yakni: dimensi pertama adalah keluaran
(outcomes) dengan indikator keamanan dan keandalan dalam transportasi, dimensi kedua
adalah manajemen (management) dengan indikator efisiensi; dan dimensi ketiga adalah
tanggung jawab sosial (social responsibility) dengan indikator aktivitas dan perilaku yang
bertanggung jawab terhadap kemanan dan memperhatikan lingkungan. Sedangkan
Ugboma et al (2004) dalam Thai (2008) menyatakan empat dimensi kualitas layanan:
dimensi pertama adalah sumberdaya (resources) dengan indikator wujud yang terukur,
dimensi kedua adalah keluaran (outcomes) dengan indikator keandalan, dimensi ketiga
adalah proses (process) dengan indikator daya tanggap dan empati; dimensi kempat adalah
manajemen (management) dengan indikator jaminan.
3. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan perkembangan konsep dimensi kualitas layanan, maka
dapat diberikan bebarapa simpulan sebagai berikut:
a) Suatu layanan dianggap berkualitas bila layanan tersebut mampu memenuhi
ekpektasi penerima layanan tersebut atau dengan kata lain layanan yang
berkualitas akan menciptakan kepuasan bagi penerima layanan tersebut.
104
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 1, April 2012
b) Kualitas layanan yang disampaikan perusahaan (jasa) diukur dengan dimensi dan
indikator yang merefleksikan kualitas layanan tersebut. Pemilihan dimensi atau
indikator disesuaikan dengan konteks dimana kualitas layanan tersebut akan
diimplementasikan.
c) Layanan yang bermutu akan memberikan banyak manfaat bagi produsen dan
konsumen antara lain: pelayanan yang istimewa atau sangat memuaskan konsumen,
pelayanan yang istimewa membuka peluang untuk diversifikasi produk dan harga,
pelayanan yang memuaskan menciptakan loyalitas pelanggan, dimana pelanggan
yang loyal tidak hanya potensial untuk penjualan produk yang sudah ada, tetapi
juga untuk produk-produk baru dari perusahaan, pelanggan yang terpuaskan
merupakan sumber informasi positif dari perusahaan dan produk-produknya bagi
pihak luar, pelanggan yang puas merupakan sumber informasi bagi perusahaan
untuk kepentingan pemasaran dan pengembangan pelayanan perusahaan pada
umumnya, kualitas yang baik berarti menghemat biaya-biaya seperti biaya untuk
memperoleh pelanggan baru, untuk memperbaiki pelanggaran dan kualitas layanan
yang didesain dan diimplementasikan secara memadai bukan hanya memuaskan
pelanggan tetapi juga dapat memberikan kepuasan kerja bagi karyawan.
Daftar Puataka
Aldlaigan, A.H. and Buttle, F.A, 2002, “SYSTRA-SQ: a new mesuare of bank service
quality”, International Journal of Service Industry, Vol. 13 No. 3-4, pp, 362-82.
Babakus, E. and Boller, G.W, 1992, “An empirical assessment of the SERVQUAL scale”,
Journal of Business Research, Vol. 24 No. 3, pp. 253-68.
Brown, M.B., 1988, ‘‘Defining quality in service businesses’’, Quality, Vol. 27 No. 1, pp.
56-8.
Buttle, F., 1996, ‘‘SERVQUAL: review, critique, research agenda’’, Journal of Marketing,
Vol. 30 No. 1, pp. 8-32.
105
Bambang Irawan, Dimensi Kualitas Layanan: Konsep dan Perkembangannya
Cronin, J.J. and Taylor, S.A., 1992 a, “Measuring service quality: reconciling
performances based perception – minus- expectations measurement industry”,
Journal of Marketing Research, Vol. 24 No. 4, pp. 404-11.
Cronin, J.J. and Taylor, S.A., 1992 b, “Measuring service quality: a reexamination and
extension”, Journal of Marketing, Vol. 56 No. 2, pp. 55-68.
Fowdar, R. (2005), ‘‘Identifying health care quality attributes’’, Journal of Health and
Human Services Administration, Vol. 27 No. 3-4, pp. 428-44.
Genestre, A. and Herbig, P., 1996, ‘‘Service expectations and perceptions revisited: adding
product quality to SERVQUAL’’, Journal of Marketing Theory and Practice, Vol. 4
No. 4, pp. 72-82.
Gronroos, C., 1978, ‘‘A service oriented approach to marketing of service’’, European
Journal of Marketing, Vol. 12 No. 8, pp. 588-96.
Gronroos, C., 1982, ‘‘Strategic management and marketing in the service sector’’,
Swedish School of Economics and Business Administration, Helsinki.
Gronroos, C., 1983, “Strategic Management and Marketing in the Service Sector”,
Marketing Science Institute, Cambridge.
Gronroos, C., 1984, “Strategic Management and Marketing in the Service Sector,
Chartwell-Bratt, Bromley.
Gronroos, C., 1984, “A service quality model and its marketing implications”, European
Journal of Marketing, Vol. 18 No. 4, pp. 36-44.
Gronroos, C., 1988, ‘‘The six criteria of good perceived quality service’’, Review of
Business, Vol. 9 No. 3, pp. 10-13.
Gronroos, C., 2001, ‘‘The perceived service quality concept-A mistake?’’, Managing
Service Quality, Vol. 11 No. 3, pp. 150-52.
Imrie, B.C., Durden, G., Cadogan, J.W. and Mcnaughton, R., 2002, ‘‘The service quality
construct on a global stage’’, Managing Service Quality, Vol. 12 No. 1, pp. 10-9.
Johnston, R., 1996, “The determinants of service quality: satisfiers and dissatisfiers”,
International Journal of Service Industry Management, Vol. 6 No. 5, pp. 53-71.
Jun, M., Yang, Z. and Kim, D., 2004, ‘‘Customers’ perceptions of online retailing service
quality and their satisfaction’’, The International Journal of Quality and Reliability
Management, Vol. 21 No. 8, pp. 817-37.
Kang, G. and James, J., 2004, “Service quality dimensions: an examination of Gronroos’s
service quality model”, Managing Service Quality, Vol. 14 No. 4, pp. 266-77.
106
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 1, April 2012
Kotler, P., 1997, “Principle of Marketing”, Prentice Hall International Inc, Englewood
Cliffs W.J.
LeBlanc, G. and Nguyen, N., 1988, ‘‘Customers’ perceptions of service quality in financial
institutions’’, International Journal of Bank Marketing, Vol. 6 No. 4, pp. 7-18.
Lehtinen, U. and Lehtinen, J.R., 1982, ‘‘Service quality: a study of quality dimensions’’,
working paper, Service Management Institute, Helsinki.
Lin, C.Y., Durden, G.R., Imrie, B.C, and Cadogan, J.W, 2000, “Towards the
conceptualization of service quality in an Asian context: a confirmatory study”,
Proceedings of ANZMAC 2000: Visionary Marketing for the 21st century: Facing
the Challenge,
http://130.195.95.71:8081/www/ANZMAC2000/Cdsite/papers//Lin1.pdf.
Liu, C.-M. (2004), ‘‘The multidimensional and hierarchical structure of perceived quality
and customer satisfaction’’, International Journal of Management, Vol. 22 No. 3,
pp. 426-37.
Mels, G., Boshoff, C. and Nel, D., 1997, ‘‘The dimensions of service quality: the original
European perspective revisited’’, Service Industries Journal, Vol. 17 No. 1, pp.
173-89.
Sasser, W.E., Olsen, R.P. and Wyckoff, D.D., 1978, Management of Service Operations:
Texts, Cases and Readings, Allyn and Bacon, Boston, MA.
Savitri, Dyah dan Halim, A., 2003, “Bagaimana Membangun Kualitas Layanan Publik
(Suatu Tinjauan Dalam Instansi Pemerintah”, Usahawan. No. 08, Tahun XXXII.
Agustus, hal. 40-46.
107
Bambang Irawan, Dimensi Kualitas Layanan: Konsep dan Perkembangannya
Thai. V.V, 2008: “Service Quality in Maritime Transport: Conceptual Model and
Empirical Evidence”. Asia Pasific Journal of marketing and Logistic, Vol 20, No.
4, 2008, pp. 493-518.
White, L. and Galbraith, M., 2000, ‘‘Customer determinants of perceived service quality in
a business to business context: a study within the health services industry’’,
available at: http://www/papers/w/White1.PDF.
Yang, Z., Jun, M. and Peterson, R.T., 2004, ‘‘Measuring customer perceived online service
quality: scale development and managerial implication’’, International Journal of
Operations and Production Management, Vol. 24 No. 11/12, pp. 1149-69.
Zeithaml, V.A., Berry, L.L. and Parasuraman, A., 1996, “The behavioral consequences of
service quality”, Journal of Marketing, Vol. 60 No. 2, pp. 31-46.
108