Anda di halaman 1dari 27

ADULT RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)

Ditujukan untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah Keperawatan Kegawat

Daruratan

Disusun Oleh:

Kelompok 1

Ai Patimah

Ayu Novianti

Indriane Risti

Saniy Rida Anjaina

3A

POLITEKNIK KEMENTRIAN KESEHATAN BANDUNG

JURUSAN KEPERAWATAN BANDUNG

2015
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom gagal pernafasan merupakan gagal pernafasan mendadak yang timbul

pada penderita tanpa kelainan paru yang mendasari sebelumnya. Sindrom Gawat

Nafas Dewasa (ARDS) juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik

merupakan sindroma klinis yang ditandai penurunan progresif kandungan oksigen

arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. Dalam sumber lain ARDS

merupakan kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas

berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan pada

berbagai penyebab pulmonal atau nonpulmonal. Beberapa factor pretipitasi

meliputi tenggelam, emboli lemak, sepsis, aspirasi, pankretitis, emboli paru,

perdarahan dan trauma berbagai bentuk. Dua kelompok yang tampak menjadi

resiko besar untuk sindrom adalah yang mengalami sindrom sepsis dan yang

mengalami aspirasi sejumlah besar cairan gaster dengan pH rendah. Kebanyakan

kasus sepsis yang menyebabkan ARDS dan kegagalan organ multiple karena

infeksi oleh basil aerobic gram negative. Kejadian pretipitasi biasanya terjadi 1

sampai 96 jam sebelum timbul ARDS.

ARDS pertama kali digambarkan sebagai sindrom klinis pada tahun 1967. Ini

meliputi peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler pulmonal, menyebabkan

edema pulmonal nonkardiak. ARDS didefinisikan sebagai difusi akut infiltrasi

pulmonal yang berhubungan dengan masalah besar tentang oksigenasi meskipun


diberi suplemen oksigen dan pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) kurang

dari 18 mmHg.

ARDS sering terjadi dalam kombinasi dengan cidera organ multiple dan

mungkin menjadi bagian dari gagal organ multiple. Prevalensi ARDS

diperkirakan tidak kurang dari 150.000 kasus pertahun. Sampai adanya

mekanisme laporan pendukung efektif berdasarkan definisi konsisten, insiden

yang benar tentang ARDS masih belum diketahui. Laju mortalitas tergantung

pada etiologi dan sangat berfariasi. ARDS adalah penyebab utama laju mortalitas

di antara pasien trauma dan sepsis, pada laju kematian menyeluruh kurang lebih

50% – 70%. Perbedaan sindrom klinis tentang berbagai etiologi tampak sebagai

manifestasi patogenesis umum tanpa menghiraukan factor penyebab.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan ARDS?

2. Bagaimana Etiologi pada ARDS?

3. Bagaimana Patogenesis dan Patofisiologi?

4. Bagaimana Stadium pada ARDS?

5. Bagaimana Tanda dan gejala dari ARDS?

6. Bagaimana Pemeriksaan Penunjang pada ARDS?

7. Bagaimana pencegahan pada ARDS?

8. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien dengan ARDS


1.3 Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain :

1. Untuk menambah pengetahuan tentang Sistem Respirasi terutama pada

penyakit .ARDS ( Adult Respiratory Distress syndrome ).

2. Untuk mengetahui tentang apa saja yang ada dalam gangguan system

respirasi pada penyakit ARDS.

3. Untuk mengetahui tentang proses keperawatan pada ARDS.

1.4 Manfaat

Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah :

1. Mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang ARDS.

2. Mahasiswa dapat mengetahui tentang apa saja yang terjadi dalam

gangguan ARDS.

3. Mahasiswa dapat mengerti tentang Rencana Tindakan Asuhan

Keperawatan pada klien ARDS.


BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Respiratory Distress

2.1.1 Pengertian

Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan keadaan gagal

napas mendadak yang timbul pada klien dewasa tanpa kelainan paru yang

mendasari sebelumnya. Sulit untuk membuat definisi secara tepat, karena

patogenesisnya belum jelas dan terdapat banyak faktor predisposisi seperti syok

karena perdarahan, sepsis, rudapaksa/trauma pada paru atau bagian tubuh lainnya,

pankreatitis akut, aspirasi cairan lambung, intoksikasi heroin, atau metadon

(Mutaqin Arif, 2008)

Sindrom gawat napas akut juga dikenal dengan edema paru

nonkardiogenik. Sindrom ini merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan

penurunan progresif kandungan oksigen di arteri yang terjadi setelah penyakit

atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih

tinggi dari tekanan jalan napas normal. Terdapat kisaran yang luas dari faktor

yang berkaitan dengan terjadinya ARDS termasuk cedera langsung pada paru

(seperti inhalasi asap) atau gangguan tidak langsung pada tubuh (seperti syok).

2.1.2 Patologi

Secara makroskopis, paru tampak hitam kemerahan, beratnya bertambah,

tidak mengandung udara, dan hampir tidak mengembang. Potongan penampang

paru menunjukkan perdarahan kongesti, dan edema, menyerupai hati. Perubahan


paling awal dari segi histologis adalah mikro emboli trombosit fibrin yang biasa

terlihat dalam 6 jam pertama. Pada tahap berikutnya didapatkan kongesti kapiler,

edema interstitial, edemaintra-alveoli, perdarahan intra-alveoli, pembentukan

membran hialin, hipertrofi dan hiperplasia sel alveoli dan interstitial, proliferasi

fibroblas alveoli dan pada tahap akhir didapatkan pengendapan kolagen yang luas

sehingga akhirnya terjadi fibrosis (Yusuf, 1996).

2.1.3 Etiologi

Faktor-faktor etiologi yang berhubungan dengan ARDS

Mekanisme Etiologi

Kerusakan paru akibat inhalasi Kelainan paru akibat kebakaran, inhalasi gas

(mekanisme tidak langsung) oksigen, aspirasi asam lambung, tenggelam,

sepsis, syok (apapun penyebabnya), koagulasi

intravaskular tersebar (disseminated

intravascular caagulation-DIC), dan pankreatitis

idiopatik,

Obat-obatan Heroin dan salisilat.

Infeksi Virus, bakteri, jamur, dan TB paru.

Sebab lain Emboli lemak, emboli cairan amnion, emboli

paru trombosis, rudapaksa (trauma) paru.

radiasi, keracunan oksigen, transfusi masif,

kelainan metabolik (uremia), bedah mayor.


2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Sindrom gagal napas pada klien dewasa (ARDS) selalu berhubungan

dengan penambahan cairan dalam paru. Sindrom ini merupakan suatu edema paru

yang berbeda dari edema paru karena kelainan jantung. Perbedaannya terletak

pada tidak adanya peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru. Dari segi

histologis, mula-mula terjadi kerusakan membran kapiler-alveoli, selanjutnya

terjadi peningkatan permeabilitas endotelium kapiler paru dan epitel alveoli yang

mengakibatkan terjadinya edema alveoli dan interstitial. Untuk mengetahui lebih

banyak mengenai edema paru pada ARDS, penting untuk mengetahui hubungan

struktur dan fungsi alveoli.

Membran alveoli terdiri atas dua tipe sel, yaitu sel Tipe I (Tipe A), sel

penyokong yang tidak mempunyai mikrovili dan amat tipis. Sel Tipe II (Tipe B)

berbentuk hampir seperti kubus dengan mikrovili dan merupakan sumber utama

surfaktan alveoli. Sekat pemisah udara dan pembuluh darah disusun dari sel Tipe I

atau Tipe II dengan membran basalendotelium dan selendotelium.

Bagian membran kapiler alveoli yang paling tipis mempunyai tebal 0,15

µm. SelpneumositTipe I amat peka terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh

berbagai zat yang terinhalasi. Jika terjadi kerusakan sel-sel yang menyusun 95%

dari permukaan alveoli ini, akan amat menurunkan keutuhan sekat pemisah

alveoli-kapiler. Pada kerusakan mendadak paru, mula-mula terjadi peradangan

interstisial, edema, dan perdarahan yang disertai dengan proliferasi sel Tipe II

yang rusak. Keadaan peradangan ini dapat membaik secara lambat atau

membentuk fibrosis paru yang luas.


Selendotel mempunyai celah yang dapat menjadi lebih besar daripada 60

A sehingga terjadi perembesan cairan dan unsur-unsur lain darah ke dalam alveoli

dan terjadi edema paru. Mula-mula cairan berkumpul di interstisium dan jika

kapasitas interstisium terlampaui, alveoli mulai terisi menyebabkan

atelektasiskongesti dan terjadi hubungan intrapulmoner (shunt).

Mekanisme kerusakan endotel pada ARDS dimulai dengan aktivasi

komplemen sebagai akibat trauma, syok, dan lain-lain. Selanjutnya aktivasi

komplemen akan menghasilkan C5a yang menyebabkan granulosit teraktivasi dan

menempel serta merusak endoteliummikrovaskular paru, sehingga mengakibatkan

peningkatan permeabilitas kapiler paru. Agregasi granulosit neutrofil merusak

selendotelium dengan melepaskan protease yang menghancurkan struktur protein

seperti kolagen,elastin dan fibronektin, dan proteolisis protein plasma dalam

sirkulasi seperti faktor Hageman, fibrinogen, dan komplemen (Yusuf, 1996).

Beberapa hal yang menyokong peranan granulosit dalam proses timbulnya

ARDS adalah fakta adanya granulositopenia yang berat pada binatang percobaan

dengan ARDS karena terkumpulnya granulosit dalam paru.

Biopsi paru dari klien dengan ARDS menunjukkan juga adanya

pengumpulan granulosit yang tidak normal dalam parenkim paru. Granulosit yang

teraktivasi mampu melepaskan enzim proteolitik seperti elastase, kolagenase, dan

oksigen radikal yang dapat menghambat aktivitas antiprotease paru.

Endotoksin bakteri, aspirasi asam lambung, dan intoksikasi oksigen dapat

merusak sel endotelium arteri pulmonalis dan leukosit neutrofil yang teraktivasi

akan memperbesar kerusakan tersebut. Histamin, serotonin, atau bradikinin dapat


menyebabkan kontraksi sel endotelium dan mengakibatkan pelebaran

porusinterselular serta peningkatan permeabilitas kapiler.

Adanya hipotensi dan pankreatitis akut dapat menghambat produksi

surfaktan dan fosfolipase A. Selain itu, cairan edema terutama fibrinogen akan

menghambat produksi dan aktivitas surfaktan sehingga menyebabkan

mikroatelektasis dan sirkulasi venoarterial bertambah. Adanya perlambatan aliran

kapiler sebab hipotensi, hiperkoagulabilitas dan asidosis, hemolisis, toksin bakteri,

dan lain-lain dapat merangsang timbulnya koagulasiintravaskular tersebar

(disseminatedintravascularcoagulation-DIC).

Adanya peningkatan permeabilitas kapiler akan menyebabkan cairan

merembes ke jaringan interstitial dan alveoli, menyebabkan edema paru dan

atelektasiskongesti yang luas. Terjadi pengurangan volume paru, paru menjadi

kaku dan komplians (compliance) paru menurun. Kapasitas residufungsional

(functionalresidualcapacity-FRC) juga menurun. Hipoksemia berat merupakan

gejala pentingARDS dan penyebab hipoksemia adalah ketidakseimbangan

ventilasi-perfusi hubungan arterio-venous(aliran darah mengalir ke alveoliyang

kolaps), dan kelainan difusi alveoli-kapiler akibat penebalan dinding alveoli-

kapiler.

Peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler menimbulkan edema

interstitial dan alveolar serta atelektasis alveolar, sehingga jumlah udara sisa pada

paru di akhir ekspirasi normal dan kapasitas residu fungsional (FRC) menurun.
2.1.5 Tanda dan Gejala

ARDS biasaya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan

awal pada paru. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya

diikuti dengan pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral

dan perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis

meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui

ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing.

Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai

gejala pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan

pemeriksaan analisa gas darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya

menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2 sangat rendah, PaCO2 normal atau

rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya memperlihatkan infiltrat

alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-batas jantung,

namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan pada

foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis

yang terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik

perubahan fungsi yang sudah lebih dahulu terjadi.

PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun

konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan

indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit

paru yang tidak terjadi ventilasi. Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru
pasien sudah mengalami bocor di sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta

perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.

Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya

ditegakkan dengan bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal

jantung dapat dipasang kateter Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa

pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan terukur rendah (<18 mmHg)

pada ARDS serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung. Jika terdapat

emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga pasien

stabil sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien,

misalnya dari DVT. Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut

dijadikan diagnosis diferensial, terutama pada pasien-pasien imunokompromais.

2.1.6 Komplikasi

a. Kegagalan Pernafasan

Dapat timbul seiring dengan perkembangan penyakit dan individu

harus vekerja lebih keras untuk mengatasi penurunan compliance paru.

Akhirnya individu kelelahan dan ventilasi melambat. Hal ini

menimbulkan asidosis respiratorik karena teradi penimbunan

karbondioksida di dalam darah. Melambatnya pernafasan dan

penurunan pH arteri adalah indikasi datangnya kegagalan pernafasan

dan mungkin kematian.


b. Pneumonia

Peneumonia dapat timbul setelah ARDS, karena adanya penimbunan

cairan di paru dan kurangnya ekspansi paru.

Akibat hipoksia dapat terjadi gagal ginjal dan tukak saluran cerna

karena stress. Koagulasi intreavascular diseminata akibat banyaknya

jaringan yang rusak pada ADRS.

2.1.7 Fase yang menggambarkan terjadinya ARDS

a. Eksudatif

Ditandai dengan adanya perdarahan pada permukaan parenkim paru,

edema interstisial atau alveolar, penekanan pada bronkiolusterminalis, dan

kerusakan pada sel alveolar tipe I.

b. Fibroproliferatif

Ditandai dengan adanya kerusakan pada sel alveolar tipe II, peningkatan

tekanan puncak inspirasi, penurunan compliance paru (statik dan dinamik),

hipoksemia, penurunan fungsi kapasitas residual, fibrosisinterstisial, dan

peningkatan ruang rugi ventilasi.

2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnostik ARDS dapat dibuat berdasarkan pada kriteria berikut :

1. Gagal napas akut.

2. Infiltratpulmoner “fluffy” bilateral pada gambaran Rontgen thoraks.


3. Hipoksemia (PaO2 di bawah 50-60 mmHg) meski FcO2 50-60% (fraksi

oksigen yang dihirup).

4. Chest X—ray: pada stadium awal tidak terlihat dengan jelas atau dapat

juga terlihat adanya bayangan infiltrat yang terletak di tengah region

perihilar paru-paru. Pada stadium lanjut, terlihat penyebaran di

interstisial secara bilateral dan infiltrat alveolar, menjadi rata dan dapat

mencakup keseluruhan lobus paru-paru. Tidak terjadi pembesaran pada

jantung.

5. ABGs: hipoksemia (penurunan PaO2), hipokapnia (penurunan nilai

CO2 dapat terjadi terutama pada fase awal sebagai kompensasi

terhadap hiperventilasi), hiperkapnia (PaCO2 > 50) menunjukkan

terjadi gangguan pernapasan. Alkalosisrespiratori (pH> 7,45) dapat

timbul pada stadium awal, tetapi asidosis dapat juga timbul pada

stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan

anatomicaldeadspace dan penurunan ventilasi alveolar. Asidosis

metabolisme dapat timbul pada stadium lanjut yang berhubungan

dengan peningkatan nilai laktat darah, akibat metabolisme anaerob.

6. Pulmonary Function Test: kapasitas pengisian paru-paru dan volume

paru-paru menurun, terutama PRC, peningkatan anatomicaldeadspace

dihasilkan oleh area di mana timbul vasokonstriksi dan mikroemboli.


2.1.9 Penatalaksanaan Medis

Mortalitas pada ARDS mencapai 50% dan tidak bergantung pada

pengobatan. Oleh karena itu, perawat perlu mengetahui tindakan pencegahan

terhadap kemunculan ARDS. Hal-hal penting yang perlu diketahui dan dipahami

dengan baik adalah faktor-faktor predisposisi seperti sepsis, pneumonia aspirasi,

dan deteksi dini ARDS. Pengobatan dalam masa laten lebih besar

kemungkinannya untuk berhasil daripada jika dilakukan ketika sudah timbul

gejala ARDS.

Tujuan pengobatan adalah sama walaupun etiologinya berbeda, yaitu

mengembangkan alveoli secara optimal untuk mempertahankan gas darah arteri

dan oksigenisasi jaringan yang adekuat, keseimbangan asam-basa, dan sirkulasi

dalam tingkat yang dapat ditoleransi sampai membran alveoli kapiler utuh

kembali.

Pemberian cairan harus dilakukan secara saksama, terutama jika ARDS

disertai kelainan fungsi ginjal dan sirkulasi, sebab dengan adanya kenaikan

permeabilitas kapiler paru, cairan dari sirkulasi merembes ke jaringan interstisial

dan memperberat edema paru. Cairan yang diberikan harus cukup untuk

mempertahankan sirkulasi yang adekuat (denyut jantung yang tidak cepat,

ekstremitas hangat, dan diuresis yang baik) tanpa menimbulkan edema atau

memperberat edema paru. Jika perlu dimonitor dengan kateter SwanGanz dan

teknik thermodelution untuk mengukur curah jantung.

Pemberian albumin tidak terbukti efektifpada ARDS, sebab pada kelainan

permeabilitas yang luas, albumin akan ikut masuk ke ruang ekstravaskular.


Peranan kortikosteroid pada ARDS masih diperdebatkan. Kortikosteroid biasanya

diberikan dalam dosis besar, pemberian metilprednisolon 30 mg/kgBB secara

intravena setiap 6 jam sekali lebih disukai, kortikosteroid terutama diberikan pada

syok sepsis.

2.1.10 Pencegahan

Pada klien dengan ARDS, posisi semifowler dilakukan untuk mengurangi

kemungkinan regurgitasi asam lambung. Pada klien dengan ARDS yang

mendapat makanan melalui pipa nasogastrik (NGT), penting untuk berpuasa 8

jam sebelum operasi - yang akan mendapat anestesia umum - agar lambung

kosong. Selain berpuasa selama 8 jam, pemberian antasida dan simetidine

sebelum operasi - pada klien yang akan mendapat anestesia umum - dilakukan

untuk menurunkan keasaman lambung sehingga jika terjadi aspirasi, kerusakan

paru akan lebih kecil. Setiap keadaan syok, harus diatasi secepatnya dan harus

selalu memakai filter untuk transfusi darah, menanggulangi sepsis dengan

antibiotik yang adekuat, dan jika perlu hilangkan sumber infeksi dengan tindakan

operasi. Pengawasan yang ketat harus dilakukan pada klien dengan risiko ARDS

selama masa laten, jika klien mengalami sesak napas, segera lakukan pemeriksaan

gas darah arteri (Astrup).


2.1.11 Pengkajian Keperawatan

A. PENGKAJIAN

a. Primary Survey

1. Airway ( Jalan Napas) :

Kaji :

1) Bersihan jalan nafas

2) Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas

3) Distress pernafasan

4) Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema

laring

2. Breathing

Kaji :

1) Frekuensi nafas, usaha nafas dan pergerakan dinding dada

2) Suara pernafasan melalui hidung atau mulut

3) Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas

3. Circulation

Kaji :

1) Denyut nadi karotis


2) Tekanan darah
3) Warna kulit, kelembaban kulit
4) Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
4. Disability
Kaji :
1) Tingkat kesadaran
2) Gerakan ekstremitas
3) Glasgow coma scale (GCS
4) Ukuran pupil dan respons pupil terhadap cahaya

b. Secondary Survey

a) Pengkajian Fisik

1. Mata

a. Konjungtiva pucat (karena anemia)

b. Konjungtiva sianosis (karena hipoksia)

2. Kulit

a. Sianosis perifer (vasokontriksi dan menurunnya aliran darah

perifer).

b. Sianosis secara umum (hipoksemia)

c. Penurunan turgor (dehidrasi)

d. Edema periorbital

3. Jari dan kuku

a. Sianosis

b. Clubbing finger

4. Mulut dan bibir

a. Membrane mukosa sianosis

b. Bernafas dengan mengerutkan mulut

5. Hidung
a. Pernapasan dengan cuping hidung

6. Vena leher : Adanya distensi/bendungan

7. Dada

a. Retraksi otot bantu pernafasan (karena peningkatan aktivitas

pernafasan, dispnea, atau obstruksi jalan pernafasan)

b. Pergerakan tidak simetris antara dada kiri dengan kanan

c. Suara nafas normal (vesikuler, bronchovesikuler, bronchial)


d. Suara nafas tidak normal (crekler/reles, ronchi, wheezing,
friction rub, /pleural friction)
e. Bunyi perkusi (resonan, hiperresonan, dullness)
f. Tactil fremitus, thrill, (getaran pada dada karena udara/suara

melewati saluran /rongga pernafasan)

8. Pola pernafasan

a. Pernafasan normal (eupnea)

b. Pernafasan cepat (tacypnea)

c. Pernafasan lambat (bradypnea)

b) Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan gas darah (saturasi oksigen dan CO2)

b. Pemeriksaan PH darah

c. Pemeriksaan radiologi pulmonaldan kardio


c) Tindakan pada secondary survey

a. Pemberian oksigen

b. Inhalasi nebulizer

c. Pemberian ventilator

d. Fisioterapi dada

2.1.12 Diagnosis Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan hipoksemia

secara reversible/menetap refraktori dan kebocoran interstisial

pulmonal/alveolar pada status cedera kapiler paru.

2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan

adanya bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan napas, dan

menurunnya kemampuan batuk efektif.

3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

4. Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan edemapulmonal,

penurunan aliran balik vena, penurunan curah jantung atau terapi

diuretik.

5. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

yang berhubungan dengan penurunan nafsu makan.

6. Gangguan ADL yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum dan

keletihan.
7. Koping keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan kurang

sosialisasi, kecemasan, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan

ketidakmampuan untuk bekerja.

2.1.13 Perencanaan Keperawatan

Tujuan: Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan tidak

terjadi gangguan pertukaran gas.

Kriteria evaluasi:

- Melaporkan tak adanya/penurunan dispnea.

- Klien menunjukkan tidak ada gejala distres pernapasan.

- Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan GDA

dalam rentang normal.

Rencana Intervensi Rasional

Evaluasi perubahan tingkat Aspek penting perawatan ARDS adalah

kesadaran, catat sianosis dan ventilasi mekanik. Tujuan modalitas terapi

perubahan warna kulit, termasuk ini untuk memberikan dukungan ventilasi

membran mukosa dan kuku. sampai integritas membran alveoli-kapiler

kembali baik. Dua tujuan tambahan adalah:

- Memelihara ventilasi adekuat dan

oksigenasi selama periode kritis

hipoksemia.

- Mengembalikan faktor etiologi yang

mengawali penyebab distres pernapasan.


Lakukan pemberian terapi Akumulasi sekret dan berkurangnya

oksigen. jaringan paru yang sehat dapat mengganggu

oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh.

Lakukan ventilasi mekanik. Oksigen adalah obat dengan sifat terapeutik

penting dan secara potensial mempunyai

efek samping toksik. Klien tanpa dasar

penyakit paru tampak toleran dengan

oksigen 100% selama 24-72 jam tanpa

abnormalitas fisiologi klinis penting. FiO2

tinggi (misalnya >0,5) dalam waktu lama,

namun dapat menyebabkan peningkatan

permeabilitas endotelium dan epitelium.

Jumlah oksigen yang diberikan untuk

ARDS harus paling rendah dariFiO2 yang

menghasilkan kandungan oksigen adekuat

(misalnya kandungan

oksihemoglobin>90%). Intubasi hampir

selalu diindikasikan untuk mempertahankan

FIO2 tetap tinggi.

Monitor kadar hemoglobin. Kebanyakan volume oksigen

ditransportasikan ke jaringan dalam ikatan

dengan hemoglobin. Bila anemia terjadi,

kandungan oksigen dalam darah menurun


sebagai akibat efek ventilasi mekanik dan

suplemen. Pengukuran seri hemoglobin

perlu untuk kalkulasi kandungan oksigen

yang akan menentukan kebutuhan untuk

transfusi sel darah merah.

Kolaborasi pemilihan pemberian Tujuan utama terapi cairan adalah untuk

cairan. mempertahankan parameter fisiologis

normal. Mekanisme patogenitas

peningkatan permeabilitas alveokapiler

mengakibatkan edemainterstitialdan

alveolar. Pemberian cairan yang berlebihan

pada orang normal dapat menyebabkan

edema paru dan gagal napas. Pilihan koloid

versus cairan kristaloid untuk menggantikan

terapi masih dianggap kontroversial.

Meskipun seiring perkembangan teknologi,

pengukuran berat badan harian akurat

(kecenderungan) sering merupakan

indikator penting terhadap

ketidakseimbangan cairan.

Kolaborasi pemberian terapi Penggunaan kortikosteroid masih

Farmakologi. kontroversial. Sebelumnya, terapiantibiotik

diberikan awal untuk profilaksis, tetapi


pengalamanmenunjukkan bahwa ini tidak

mencegah sepsis bakteri gram negatifyang

berbahaya, sehingga antibiotik profilaksis

rutin tidak lagidigunakan. Terapi

penggantian surfaktan mungkin lebih baik

dan sesuaiuntuk masa yang akan datang.

Penelitian saat ini terhadap

binatang,manusia, dan bahan surfaktan

sintetik berlanjut dengan baik. Datahasil

penelitian sudah cukup mendukung, tetapi

terapi ini masih belummungkin diperluas

untuk beberapa waktu.

Ketidakefektifanbersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya

bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan napas, dan menurunnya kemampuan

batuk efektif.

Tujuan: Dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan,

kebersihan jalan napas kembali efektif.

Kriteria evaluasi:

- Klien mampu melakukan batuk efektif.

- Pernapasan klien normal (16-20 x/menit) tanpa ada penggunaan otot bantu

napas. Bunyi napas normal, Rh -/- dan pergerakan pernapasan normal.

Rencana Intervensi RasionaL

Kaji fungsi pernapasan (bunyi Penurunan bunyi napas menunjukkan


napas, kecepatan, irama, atelektasis, ronkhi menunjukkan akumulasi

kedalaman, dan penggunaan otot sekret dan ketidakefektifan pengeluaran

bantu napas). sekresi yang selanjutnya dapat

menimbulkan penggunaan otot bantu napas

dan peningkatan kerja pernapasan.

Kaji kemampuan klien Pengeluaran akan sulit bila sekret sangat

mengeluarkan sekresi, catat kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak

karakter, volume sputum, dan adekuat). Sputum berdarah bila ada

adanya hemoptisis. kerusakan (kavitasi) paru atau lukabronkhial

dan memerlukan intervensi lebih lanjut.

Berikan posisi semifowler/fowler Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru

tinggi dan bantu klien latihan dan menurunkan upaya bernapas. Ventilasi

napas dalam dan batuk efektif. maksimal membuka area atelektasis dan

meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan

napas besar untuk dikeluarkan.

Pertahankan intake cairan Intake cairan yang adekuat dapat membantu

sedikitnya2500 ml/hari kecuali mengencerkan sekret sehingga sekret lebih

tidakdiindikasikan. mudah untuk dikeluarkan.

Bersihkan sekret dari mulut dan Mencegah obstruksi dan aspirasi.

trakhea, bila perlu lakukan Pengisapan diperlukan bila klien tidak

pengisapan (suction). mampu mengeluarkan sekret.

Kolaborasi pemberian obat sesuai

indikasi:
Agen mukolitik Agen mukolitik menurunkan kekentalan dan

perlengketan sekret paru untuk

memudahkan pembersihan.

Bronkodilator Bronkodilator meningkatkan diameter

lumen percabangan trakeobronkhial

sehingga menurunkan tahanan terhadap

aliran udara.

Kortikosteroid Kortikosteroid berguna pada keterlibatan

luas dengan hipoksemia dan bila reaksi

inflamasi mengancam kehidupan.

3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....., pasien dapat

mempertahankan pola pernafasan yang efektif.

Kriteria Hasil :

Paien menunjukan

1. Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan

2. Adanya penurunan dispneu

3. Gas-gas darah dalam batas normal

.
Rencana Intervensi Rasional

1. Kaji frekuensi, kedalaman Kondisi kerusakan pada alveoli akan

dan kualitas pernapasan serta meningkatan tegangan permukaan sehingga

pola pernafasan dibutuhkan gaya yang lebih besar dalam

usaha bernapas

2. Kaji tanda vital dan tingkat Perubahan pada suatu sitem tubuh agar

kesadaran setiap jam tergambar melalui perubahan tanda-tanda

vital dimana pada kasus ini akan terjadi

penurunan kesadaran dan disertai

peningkatan respirasi dan penurunan

tekanan darah.

3. Berikan oksigen dalam kadar oksigen perlu diatur agar tidak

bantuan ventilasi dan berlebih bagi tubuh.

humidifer sesuai kebutuhan

. .
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif ( 2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem.


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Doengoes, M.E, (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai