Anda di halaman 1dari 10

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2018
REFERAT KASUS NO. RM:

Dokter : dr. Habib Wicaksono, Sp.PD

Ko-asisten : Moch. Ghazian Nugraha

A. DEFINISI
Berdasarkan konsensus American College of Chest Physian and Society of Critical Medicine
( ACPP/SCCM Consensus conference ) tahun 1992, sepsis didefinisikan sebagai respon inflamasi karena
infeksi. Respon inflamasi sistemik ditandai dengan manifestasi dua atau lebih keadaan sebagai berikut :

1. Suhu lebih > 380 C atau < 360 C

2. Frekuensi denyut jantung > 90 x / menit

3. Frekuensi pernapasan > 20 x / menit atau PaCO2 < 32 mmHg

4. Hitung Leukosit > 12.000 / mm3, < 4.000 / mm3

Apabila keadaan diatas tanpa disertai adanya infeksi maka disebut Systemic Inflamatory Response
Syndrome ( SIRS ).

Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi, atau hipoperfusi
seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan perubahan status mental.

Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri <90 mmHg atau 40 mmHg di bawah
tekanan darah normal pasien tersebut selama sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi
cairan atau dibutuhkan vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau
tekanan arterial rata-rata ≥70 mmHg

B. ETIOLOGI
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas
juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik
langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap
infeksi.

Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang paling sering
menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul.

1
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
REFERAT KASUS NO. RM:

Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:

1) Infeksi paru-paru (pneumonia)

2) Flu (influenza)

3) Appendisitis

4) Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)

5) Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)

6) Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah dimasukkan ke
dalam tubuh melalui kulit

7) Infeksi pasca operasi

8) Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.

Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi.

C. PATOFISIOLOGI
Perjalanan terjadinya sepsis merupakan mekanisme yang kompleks, antara mikroorganisme
penginfeksi, dan imunitas tubuh manusia sebagai penjamu. Saat ini sepsis tidak hanya dipandang sebagai
respon inflamasi yang kacau tetapi juga meliputi ketidakseimbangan proses koagulasi dan fibrinolisis. Hal ini
merupakan mekanisme – mekanisme penting dari patofisiologi sepsis yang dikenal dengan kaskade sepsis

Kaskade inflamasi (Inflammatory cascade)

Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan sepsis. Patofisiologi sepsis
dapat dimulai oleh komponen membran luar organisme gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A,
endotoksin) atau organisme gram positif (misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta jamur, virus, dan
komponen parasit. Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan sel-sel imun
(eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh
mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam
monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin pro-inflamasi, tumor
necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic downstream
mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, dan fosfolipase A2.

2
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
REFERAT KASUS NO. RM:

Mediator ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin
ini menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik
menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil.

Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian
memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang
terinfeksi.yang mengarah ke syok septik. Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit,
dan mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya memberikan manfaat
dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat
makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan
gangguan fungsi organ dan kematian.

Klasifikasi Sepsis

3
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
REFERAT KASUS NO. RM:

D. FAKTOR RESIKO
1. Diabetes Melitus

Pada sebuah studi in vitro didapatkan hasil bahwa hipergilkemia seperti yang terjadi pada diabetes melitus
dapat merusak performa Polymorphonuclear (PMN). Seperti diketahui bahwa PMN ini berperan besar dalam
innate immune system. Pada pasien diabetes melitus telah diteliti bahwa terjadi penurunan fungsi sel PMN,
aderens ke endotel, kemotaksis, dan fagositosis dan kemampuan bakterisid. Hiperglikemia terbukti
memperpanjang durasi respon sitokin. Hal ini diperkirakan berhubungan diabetes tipe 2 yaitu ditemukan
perpanjangan waktu dalam produksi sitokin.Sebuah literatur mengemukakan tentang hasil penelitian preklinik dan
klinik mengenai terjadinya sepsis pada diabetes. Di antaranya, dikemukakakan bahwa diabetes melitus
berdampak langsung terhadap adaptive immune system. Hasil penelitian Spatz et al menunjukkan terjadi
penurunan proliferasi dan gangguan fungsi sel T yang berpengaruh terhadap produksi antiinflamasi dan
proinflamasi serta defek pada Antigen Presenting Cell (APC). Mekanisme lain yang diduga berkaitan dengan
perkembangan sepsis pada pasien diabetes melitus adalah bahwa diabetes melitus memicu disfungsi endotel dan
procoagulant state. Mekanisme yang sama merupakan bagian dari patofisiologi.

2. Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

Semua proses penyakit yang mengakibatkan kehilangan nefron secara progresif dapat menyebabkan
Penyakit Ginjal Kronik. Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Jika terdapat
kerusakan nefron, ginjal mempunyai kemampuan kompensasi untuk mempertahankan Laju Filtrat Glomerulus
dengan cara meningkatkan daya filtrasi dan reabsorbsi zat terlarut dari nefron yang tersisa. Pengurangan masa
ginjal menyebabkan hipertrofi secara struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya
kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan
kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat yang selanjutnya diikuti proses maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa dan akhirnya terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Kemungkinan
mekanisme progresi gagal ginjal di antaranya akibat peningkatan tekanan glomerulus (akibat peningkatan tekanan
darah sistemik, atau kontriksi arteriolar eferen akibat peningkatan kadar angiotensin II), kebocoran protein
glomerulus, kelainan lipid. Pada stadium yang paling dini gejala-gejala klinis yang serius seringkali tidak
muncul.34 Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada Laju Filtrat Glomerulus sebesar 60%,
pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin

4
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
REFERAT KASUS NO. RM:

serum. Sampai pada Laju Filtrat Glomerulus sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia,
badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada Laju Filtrat Glomerulus di
bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan
darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.

Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran
cerna.31 Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada Laju Filtrat Glomerular dibawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy)
antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

3. Trauma

Sepsis merupakan penyebab kematian tersering pada penderita trauma . Infeksi pasca trauma sangat
bergantung pada usia penderita , waktu antara trauma dan penanggulangannya , kontaminasi luka , jenis dan sifat
luka , kerusakan jaringan , syok , jenis tindakan , dan pemberian antibiotik . Makin lama tertunda
penanggulangannya ,makin besar kemungkinan infeksi .Jenis luka terkontaminasi atau luka luka kotor pun hamper
selalu diikuti dengan infeksi pasca bedah . Luka tembak dapat dianggap dua – tiga kali lebih buruk
kontaminasinya dibanding dengan luka tusuk. Luka yang kotor dan tulang terbuka sebaiknya hanya ditangani
dengan debrideman dan menutup tulang yang terbuka dengan otot tetapi membiarkan luka terbuka , karena bila
ditutup luka tersebut hampir pasti akan terinfeksi . Rekonstruksi dapat dilakukan kemudian bila luka sudah tenang
. Selain tindakan diatas , untuk mencegah infeksi dan sepsis diberikan antibiotik profilaksis . Bila penderita
memerlukan tindak bedah , antibiotic profilaksis diberikan satu jam sebelum operasi atau waktu induksi anesthesia
karena dengan cara demikian kadar antibiotic akan tinggi dijaringan pada saat dilakukan manipulasi pada luka
operasi. Profilaksis pascabedah ini dihentikan satu atau dua dua hari setelah operasi , kecuali bila terjadi infeksi.
Profilaksis diteruskan menjadi terapi bila infeksi atau sepsis tidak dapat dicegah . Antibiotik yang dipilih adalah
yang efektif dan yang dianggap mampu membunuh bakteri yang diperkirakan ada dalam luka , dapat berupa
kuman gram negative , positif , bersifat aerob atau anaerob , atau campuran .

4. Tindakan Pembedahan

Penyebab paling umum dari sepsis setelah operasi adalah infeksi. Ini bisa menjadi infeksi sayatan, di mana
ahli bedah dibuka untuk melakukan prosedur, atau infeksi yang berkembang setelah operasi, seperti pneumonia (
Sepsis dan Pneumonia ) atau infeksi saluran kemih (ISK) ( Sepsis dan Infeksi Saluran Kemih ).

5
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
REFERAT KASUS NO. RM:

Pada kondisi pasca operasi penting untuk memantau sayatan, untuk melihat tanda-tanda infeksi. Ini akan
menjadi :

1) Meningkatkan kemerahan di sekitar sayatan

2) Nanah atau cairan yang berasal dari sayatan

3) Lebih hangat dari kulit biasanya sekitar sayatan

4) Peningkatan sakit di sekitar sayatan

5) Demam

6) Keadaan pasien yang lemah

E. PEMERIKSAAN
1. Riwayat
Riwayat dapat membantu menemukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas atau nosocomial dan
apakah pasien imunokompromis. Rincian yang harus diketahui meliputi paparan pada hewan, perjalanan,
bahaya di tempat kerja, penggunaan alkool, seizure, hilang kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang
mengarahkan pasien kea rah penyakit tertentu.
Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
 Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan
 Hipotensi, oliguria atau anuria
 Takipneu atau hiperpneu, hipotermia tanpa penyebab jelas.
 perdarahan
2. Pemeriksaan Fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada pasien neutropenia dan pasien dengan
dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan harus meliputi pemeriksaan rectum, pelvis dan genital. Pemeriksaan
tersebut akan mengungkap Abses rektal, perirectal dan/ perineal, penyakit dan/atau abses inflamasi pelvis,
atau prostatitis.
3. Pemeriksaan Penunjang
Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC)
 Differensial
 Urinalisis
 Gambaran koagulasi
 Glukosa
 Ureum
 Kreatinin
 Nitrogen
 Elektrolit
 Fungsi hati
6
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
REFERAT KASUS NO. RM:

 Kadar asam laktat


 Gas darah arteri
 EKG
 Foto rontgen dada
Ada pula pengambilan biakan darah, sputum, urin dan tempat lain yang terinfeksi harus
dilakukan.

Temuan laboratorium lain

Sepsis Awal: ditemukan leukositosis, trombositopenia, hiperbilirubinemia dan proteinuria. Dapat terjadi
leukopenia. Hipoksia dapat dikoreksi dengan oksigen 100%, pada pasien dengan riwayat DM bisa terjadi
hiperglikemia.

Sepsis tahap selanjutnya: trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu thrombin, penuruna
fibrinogen, dan keberadaan D-Dimer yang menunjukan DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia dominan.
Aminotransferase (enzim liver) meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi serum laktat,
hipoksemia tidak dapat diperbaiki dengan oksigen 100%, hiperglikemi diabetic dapat menimbulkan
ketoasidosis.

F. TERAPI
Terdapat empat prioritas dalam terapi sepsis, yaitu:

1. Stabilisasi Pasien
Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat ada pemulihan abnormalitas yang
mengancam jiwa (ABC: Airway, Breathing, Circulation). Resusitasi awal sangat penting pada penderita
sepsis, dapat diberikan kristalod atau koloid. Perubahan status mental atau penurunan tingkat kesadaran
akibat sepsis memerlukan perlindungan langsung terhadap jalan nafas pasien. Intubasi dapat dilakukan
apabila pasien memerlukan kadar oksigen yang lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu
menurunkan konsumsi oksigen pada otot pernafasan dan meningkatkan ketersediaan oksigen untuk
jaringan lain. Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna pada tekanan darah memerlukan terapi
empiric gabungan yang agresif dengan cairan (kristaloid atau koloid) dan vasopressor (Dopamin,
Dobutamin, Fenilefrin, Epinefrin atau Norepinefrin). Pada sepsis berat diperlukan pemantauan peredaran
darah, CVP 8-12 mm Hg, Mean Arterial Pressure > 64 mm Hg. Urine output >. 0,5 mL/kg/jam. Central
venous saturation >70%
Pasien dengan sepsis berat harus dirawat di ICU. Tanda vital harus dipantau. Pertahankan curah
jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialysis untuk membantu fungsi ginjal.
Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensi dengan obat vasoaktif (dopamine, dobutamin atau
norepinefrin.
2. Antibiotik yang Adekuat

7
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
REFERAT KASUS NO. RM:
Antimicrobial tertentu diyakini dapat menyebabkan pelepasan LPS lebih banyak sehingga menimbulkan
lebih banyak masalah. Antimicrobial yang aman adalah: karbanepem, ceftriaxone, sefepim, glikopeptida,
aminoglikosida dan kuinolon. Terapi empirik perlu dilakukan segera, yang artinya diberikan antibiotik
sebelum hasil kultur dan sensifitas tes terhadap kuman didapatkan. Setelah hasil kultur dan sensifitas
keluar, barulah terapi empirik dirubah menjadi terapi rasional sesuai bakeri yang ditemukan. Pengibatan
ini akan menurunkan jumlah antibiotic yang diberikan sebelumnya (dieskalasi).
Obat yang digunakan tergantung sumber sepsis:
 Untuk Community Aquired Pneumonia: ceftriaxone atau sefeprim dengan gentamisin
(aminoglikosida)
 Pneumonia nosocomial: sefepim dan aminoglikosida
 Infeksi abdomen: imipenem-silastatin atau piperasilin-tazobaktam dengan aminoglikosida
 Infeksi abdomen nosocomial: imipenem-silastatin dengan aminoglikosida atau piperasilin-
tazobaktam dengan amfoterisin B
 Kulit/ jaringan lunak: vankomisin dan imipenem-silastatin atau piperasilin-tazobaktam
 Infeksi traktus urinarius: siprofloksasin dan aminoglikosida.
 Infeksi traktus urinarius nosocomial: vankomisin dan sefepim
 Infeksi CNS: vankomisin dan ceftriaxone atau meropenem
 Infeksi CNS nosocomial: meropenem dan vankomisin

*obat dapat berubah sejalan dengan waktu


3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi
Hilangkan benda asing, salurkan eksudat ourulen, khususnya untuk infeksi anaerobic. Angkat organ yang
terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang gangrene.
4. Nutrisi yang Adekuat
Pemeberian nutrisi merupakan terapi tambahan yang sangat penting, berupa makronutrient dan
micronutrient
Makronutrient: Omega-3, Glutamin
Micronutrient: Vitamin, Trace element

Pada awal tahun 2013, IDSA menerbitkan rekomendasi pengobatan sepsis yang baru, memperbarui
rekomendasi tahun 2008 sebelumnya. Rekomendasi pengobatan sepsis ini mencakup berbagai hal, seperti
screening, resusitasi, pemberian cairan, steroid dan vasopresor.
Terapi Antimikroba

1. Antimikroba sebaiknya diberikan dalam waktu tidak lebih dari satu jam setelah diagnosis sepsis dibuat.

8
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
REFERAT KASUS NO. RM:

2. 2a. Pemilihan antimikroba empirik didasarkan pada antimikroba yang aktif terhadap mikroba penyebab
dan yang dapat mencapai sumber infeksi.
2b. Antimikroba harus dievaluasi setiap hari untuk kemungkinan deeskalasi.
3. Pemeriksaan kadar procalcitonin dapat digunakan untuk membantu diagnosis.
4. 4a. Untuk infeksi mikroba Multi Drug Resistant seperti Acinetobacter dan Pseudomonas, sebaiknya
gunakan antibiotik kombinasi. Untuk pasien sepsis dengan gagal napas dan syok sepsis, sebaiknya
gunakan kombinasi antara Extended Spectrum Beta Lactam dengan Aminoglycoside atau
Fluoroquinolone. Untuk pasien syok sepsis akibat infeksi Streptococcus pneumoniae, sebaiknya
kombinasi beta-lactam dengan macrolide.
4b. Kombinasi antibiotik empirik sebaiknya tidak dipakai lebih dari 3–5 hari. Sebaiknya segera lakukan
de-eskalasi bila profil sensitivitas telah diketahui.
5. Durasi pemberian antimikroba biasanya 7–10 hari, dapat lebih panjang pada pasien dengan
defisiensi imun.
6. Bila disebabkan infeksi virus, segera berikan antivirus.

7. Antimikroba sebaiknya tidak diberikan pada sepsis yang penyebabnya bukan infeksi.

Pada poin 4a direkomendasikan penggunaan kombinasi untuk pasien sepsis dengan infeksi bakteri
Multi Drug Resistant. Salah satu rekomendasinya adalah kombinasi antara Extended Spectrum Beta Lactam
(contoh: Meropenem) dengan Aminoglycoside(contoh: Amikacin) atau Fluoroquinolone(contoh:
Levofloxacin). Hal ini sesuai dengan rekomendasi IDSA lainnya, yaitu untuk Hospital Acquired
Pneumoniatahun 2005 yang juga menyatakan bahwa untuk infeksi bakteri Multi Drug Resistant,
direkomendasikan penggunaan kombinasi Antipseudomonal Beta-Lactam (contoh: Meropenem) dengan
Antipseudomonal Fluoroquinolone(contoh: Levofloxacin) atau Aminoglycoside (contoh: Amikacin).

Kulonprogo,28 Juli 2018


Dokter Pembimbing,

dr. Habib Wicaksono, Sp.PD

9
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
REFERAT KASUS NO. RM:

10

Anda mungkin juga menyukai