Anda di halaman 1dari 16

IJTIHAD IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH DAN AL-MAQĀṢID

AL-JUZ’IYYAH: REFLEKSI PENYELESAIAN KASUS HUKUM ISLAM

Nofialdi

Institut Agama Islam Negeri Batusangkar


Jl. Jenderal Sudriman No. 137, Limo Kaum, Kab. Tanah Datar, Sumbar
nofialdi@iainbatusangkar.ac.id

Abstrak

Pemahaman seorang mujtahid terhadap maqāṣid al-syarīʻah menjadi sesuatu yang urgen
dan signifikan, karena ijtihad harus mampu mewujudkan terealisasinya kemaslahatan
yang menjadi substansi maqāṣid al-syarīʻah baik dalam skala umum (‘āmmah), khusus
(khāṣṣah), maupun dalam skala spesifik untuk kasus tertentu (juz`iyyah). Ibn Qayyim
misalnya, dalam banyak kasus sangat memperhatikan maqāṣid al-syarī’ah yang salah
satu bagiannya adalah al-maqāṣid al-juz’iyyah. Dalam kasus keharusan membersihkan
bekas air kencing, secara spesifik (juz’ī) tidak diwajibkan terhadap bekas air kencing bayi
laki-laki yang belum diberi makan. Hal ini jelas menunjukkan Ibn Qayyim sangat
memperhatikan al-maqāṣid al-juz’iyyah, karena sulitnya membersihkan bekas air
kencing bayi laki-laki sehingga tidak diharuskan untuk membersihkannya tapi cukup
dengan memercikkan air ke bekasnya. Demikian juga dalam kasus-kasus lain seperti
keharusan berwudu setelah makan daging unta yang tidak diharuskan untuk selain daging
unta, jual beli salam dan masa ‘iddah perempuan yang ditinggal mati, juga
memperlihatkan Ibn Qayyim sangat memperhatikan terwujudnya maqāṣid al-juz’iyyah
dalam menetapkan hukum.

Kata kunci: ijtihad, Ibn Qayyim, al-maqāṣid al-juz’iyyah, refleksi, hukum Islam

Abstract

The understanding of a mujtahid toward maqāṣid al-syarīʻah becomes something urgent


and significant, since ijtihad must be able to realize benefits, which is the substance of
maqāṣid al-syarīʻah both in the general scale (‘āmmah), special (khāṣṣah), as well as in
scale for specific cases (juz`iyyah). Ibn Qayyim, for example, in most cases is very
concerned about maqāṣid al-syarī'ah, which one of its parts is al-maqāṣid al-juz’iyyah.
In the case of the necessity of cleaning urine trails, specifically (juz'ī) it is not required to
the urine of baby boys. This clearly shows that Ibn Qayyim is very concerned about al-
maqāṣid al-juz’iyyah, because it is difficult to clean urine traces of baby boys so that it is
not required to clean it up but simply by splashing water on the traces. Likewise in other
cases, such as the necessity of ablution after eating camel meat, which is not required to
be other than camel meat, the sale and purchase of salam (order) and the waiting period
of women left behind, also shows that Ibn Qayyim is very concerned with the realization
of al-maqāṣid al-juz’iyyah in establishing the law .

Keywords: ijtihad, Ibn Qayyim, al-maqāṣid al-juz’iyyah, reflection, Islamic law


Vol. XII No. 1, Juni 2018

A. Pendahuluan untuk selanjutnya dianalisis aspek al-


Pengetahuan dan pemahaman maqāṣid al-juz’iyyah-nya. Pilihan
seorang mujtahid terhadap maqāṣid al- terhadap Ibn Qayyim didasarkan kepada
syarī’ah dalam berijtihad menjadi realitas bahwa secara faktual Ibn
sesuatu yang urgen dan signifikan. Qayyim termasuk ulama yang sangat
Urgensi dan signifikansi maqāṣid al- intens membicarakan al-maqāṣid al-
syarī’ah dalam berijtihad disebabkan juz’iyyah dalam berijtihad. Beberaapa
karena substansi dan urat nadi kajian hasil ijtihad Ibn Qayyim sangat
maqāṣid al-syarī’ah adalah menemukan elan vitalnya dalam
kemaslahatan, baik dalam skala yang kehidupan saat ini seperti iijtihad
umum (al-maqāṣid al-‘̄ammah), tentang jual beli salam. Sehingga
kemaslahatan yang bersifat khusus (al- pemahaman terhadap konsepsinya
maqāṣid al-khāṣṣah) maupun terhadap jual beli salam akan membantu
kemaslahatan yang bersifat spesifik berbagai problematika transaksi jual beli
untuk kasus tertentu (al-maqāṣid al- on-line yang marak saat ini.
juz’iyyah). Hal ini sejalan dengan
sasaran yang ingin dicapai dalam B. IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH
penetapan hukum adalah untuk DAN AL-MAQĀṢID AL-
merealisasikan kemaslahatan manusia.1 JUZ’IYYAH
Konsekuensinya, seorang mujtahid 1. Biografi Singkat Ibn Qayyim
dalam melakukan kajian (ijtihad) hukum al-Jawziyyah
harus memperhatikan dan tidak boleh Nama lengkap Ibn Qayyim
mengabaikan prinsip-prinsip yang adalah Abū Abd Allāh Syams al-Dīn ibn
terkandung dalam maqāṣid al-syarī’ah. Muḥammad Abū Bakr ibn Ayyūb ibn
Urgensi dan signifikansi maqāṣid Sa’d ibn Huraiz ibn Makk Zainuddin al-
al-syarī’ah sangat disadari oleh para Zur’i al-Dimasyqī. Qayyim al-
mujtahid. Ibn Qayyim misalnya Jawziyyah merupakan gelar dari
berkeyakinan bahwa pertimbangan bapaknya, karena bapaknya pernah
realisasi kemaslahatan dalam berijtihad beberapa tahun menjadi Kepala Sekolah
menjadi sesuatu yang imperatif dan al-Jawziyyah di Damaskus.4 Atas dasar
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Untuk itu, itulah dia dipanggil dengan sebutan Ibn
ijtihad harus bermuara kepada Qayyim al-Jawziyyah yang maksudnya
terealisasinya kemaslahatan manusia adalah anak Qayyim al-Jawziyyah.
karena substansi pelembagaan hukum Ibn Qayyim lahir pada tanggal 7
Islam adalah untuk merealisasikan Safar tahun 691 H.5 dan wafat pada di
kemaslahatan (wefare, benefit dan Damaskus pada kamis malam saat azan
utility) manusia baik di dunia maupun Isya’ tanggal 13 Rajab 761 H.
akhirat.2 Atas dasar itulah para ulama Jenazahnya disalatkan di Masjid Raya
telah menetapkan persyaratan tertentu al-Umawi dan Masjid Raya Jarah,
dalam berijtihad yang salah satunya kemudian dikuburkan di pemakaman
harus memahami maqāṣid al-syarī’ah.3 Bab al-Saghir.6
Artikel ini akan mengelaborasi Setelah Ibn Taymiyyah kembali
persoalan maqāṣid al-syarī’ah dari segi dari Mesir, Ibn Qayyim berguru dan
cakupan yang bersifat spesifik dan menyertai Ibn Taymiyyah sampai akhir
parsial untuk kasus tertentu (al-maqāṣid hayat Ibn Taymiyyah.7 Sejak usia tujuh
al-juz’iyyah) dalam kaitannya dengan tahun Ibn Qayyim telah memulai rihlah
hasil ijtihad Ibn Qayyim al-Jawziyyah. ilmiahnya untuk menimba ilmu dari
Dalam artikel ini akan dipaparkan ulama terkenal. Di antara ulama yang
beberapa contoh ijtihad Ibn Qayyim berjasa mengembangkan keilmuannya

72 Nofialdi
Vol. XII No. 1, Juni 2018

adalah ayahnya Abū Bakr ibn Ayyub Dalam perspektif historis, Imam
yang menggemblengnya dalam bidang al-Juwaynī (w. 438 H.) dipandang
farā’id, yang kemudian untuk sebagai orang pertama yang
memperdalamnya dia langsung berguru menekankan pentingnya memahami
kepada Ismā`il ibn Muhammad al-Farrā’ maqāṣid al-syarī’ah) dalam menetapkan
salah seorang ulama Mazhab Hanbalī hukum.13 Setelah itu muncul Imam al-
yang terkemuka di Damaskus. Ibn Ghazālī (w. 505 H.) dalam “al-Mustaṣfā
Qayyim juga berguru kepada Syaraf al- min ‘Ilm al-Uṣūl”.14 Pasca al-Ghazālī
Dīn ibn Taymiyyah yang merupakan muncul ‘Iz al-Dīn ibn ‘Abd al-Salam (w.
adik dari Syaikh al-Islam Ibn 660 H), dalam karyanya “Qawā’id al-
Taymiyyah, di samping itu ia juga Ahkām fī Maṣālih al-Anām”. Bahkan al-
berguru kepada Badr al-Dīn ibn Jama’ah Ṭūfī (w. 716 H), juga membahas
dan Imam al-Māzī dua orang ulama maqāṣid al-syarī’ah dengan
populer dari Mazhab Syafi’i. Selain itu statemennya yang terkesan radikal dan
Ibn Qayyim juga berguru kepada Ibn liberal.15
Mufliḥ dan Syaikh al-Islām Ibn Pada era al-Syāṭibī (w. 790 H),
Taymiyyah dua orang ulama populer maqāṣid al-syarī’ah dirangkum secara
dari Mazhab Hanbalī.8 sistematis dan komperhensif dengan
Ibn Qayyim merupakan menempatkan maslahah sebagai tujuan
intelektual Islam yang sibuk dengan umum pelembagaan hukum.16 Bagi al-
ilmu dan termasuk ahli fiqh, tafsir dan Syatibi, kemaslahatan sebagai substansi
hadis. Ia juga ulama terdepan dalam maqāṣid al-syarī’ah harus meliputi salah
bidang Ilmu Nahwu, ilmu Usuluddin dan satu dari lima unsur pokok (memelihara
Usul Fikih.9 Selama hidupnya, Ibn agama, nyawa, akal, keturunan dan
Qayyim telah menghasilkan banyak harta),17 untuk kemudian kelima unsur
karya dalam bidang ilmu pengetahuan pokok tersebut dikonversikan kepada
dan kesusastraan. Setelah diseleksi dan tiga tingkatan, yaitu maqāṣid al-
dilakukan verifikasi ditemukan sebanyak daruriyyah, maqāṣid al-hajiyyah dan
97 karya yang dinisbahkan kepada Ibn maqāṣid al-tahsiniyyah.18
Qayyim.10 Di antara karya Ibn Qayyim Maqāṣid al-syarī’ah dilihat dari
dalam bidang hukum Islam adalah al- segi tertib tujuannya dapat dibedakan
Ijtihād wa al-Taqlīd, Ahkām Ahl al- menjadi dua bagian, yaitu tujuan
Zimmah, I’lām al-Muwaqqi’īn,‘an Rabb aṣliyyah dan tujuan tabī’iyyah. Tujuan
al-‘Ālamīn, Ṭurūq al-Hukmiyyah fī aṣliyyah ini, bersifat primer yang
Siyāsah al-Syar’iyyah, dan lain dipandang sebagai sesuatu yang
11
sebagainya. imperative dalam agama, kemaslahatan
2. Al-Maqāṣid al-juz’iyyah yang dikandungnya bersifat umum dan
Al-maqāṣid al-juz’iyyah mutlak serta tidak dibatasi oleh situasi,
merupakan salah satu pembagian bentuk dan zaman tertentu.19 Sedangkan
maqāṣid al-syarī’ah. Maqāṣid al- tujuan tabī’iyyah merupakan tujuan
syarī’ah didefinisikan dengan makna- pengikut atau mengiringi tujuan
makna dan tujuan yang terdapat dalam aṣliyyah. Berfungsi sebagai pendorong
pelembagaan hukum. Dikatakan juga terealisasinya tujuan aṣliyyah, atau
sebagai motif hukum atau sebagai sebagai penghubung dan pelengkap
rahasia-rahasia yang diberikan Allah
tujuan aṣliyyah.20 Al-Syatibi
SWT. dalam melembagakan suatu
memandang tujuan tabī’iyyah secara
hukum dalam rangka merealisasikan
khusus untuk mempertimbangkan
kemaslahatan manusia di dunia dan
kebahagiaan atau kesenangan manusia.21
akhirat.12

Ijtihad Ibn Qayyim al-Jauziyyah 73


Vol. XII No. 1, Juni 2018

Selanjutnya ditinjau dari segi atau spesifik dalam persoalan salat,


cakupan (syumūl) maka maqāṣid al- zakat, jual beli dan lain sebagainya.27
syarī’ah dapat dibagi menjadi tiga Pembicaraan tentang al-maqāṣid
bagian, yaitu tujuan umum (al-maqāṣid al-juz’iyyah tidak bisa dilepaskan dari
al-‘āmmah), tujuan khusus (al-maqāṣid pembicaraan tentang tujuan dan hikmah
al-khāṣṣah) dan tujuan juz`i (al-maqāṣid pensyariatan hukum. Kajian ini
al-juz’iyyah). Tujuan umum (al-maqāṣid ditujukan untuk menjawab pertanyaan
al-‘āmmah) merupakan sasarannya apa tujuan dan apa hikmah
untuk memelihara atau menjaga dilembagakannya hukum Islam.
kemaslahatan manusia secara umum, Jawaban dari apa tujuan dan apa hikmah
baik di dunia maupun di akhirat. Al- inilah yang menjadi sentral kajian al-
Syatibi berpendapat bahwa tujuan umum maqāṣid al-juz’iyyah. Ketika persoalan
sebagai tujuan akhir pelembagaan itu secara spesifik dan parsial untuk
hukum Islam adalah kemaslahatan persoalan tertentu dan untuk tujuan
manusia dalam rangka pemeliharaan tertentu maka itu masuk dalam ranah al-
agama, nyawa, akal, keturunan dan harta maqāṣid al-juz’iyyah.28 Sebagai contoh
benda.22 adalah hak talak secara spesifik hanya
Kemudian tujuan khusus (al- diberikan untuk suami tujuannya adalah
maqāṣid al-khāṣṣah) merupakan tujuan sebagai jalan keluar bagi suami untuk
yang berkaitan dengan sasaran dan mrnyelesaikan problematika rumah
tujuan yang bersifat khusus dalam bab- tangga atau disyari’atkannya khulu’
bab tertentu dari bab-bab atau bidang- secara spesifik hanya diberikan kepada
bidang tertentu dari kajian hukum Islam. istri tujuannya adalah untuk memberikan
Contohnya, tujuan dilembagakan kesempatan kepada istri untuk
hukuman secara khusus dalam bidang mempertimbangkan problematika yang
jinayat adalah untuk membuat jera terdapat pada suaminya. Baik talak
(izdijar) pelakunya, atau maupun khulu’ merupakan ketentuan
dilembagakannya taharah adalah untuk yang bersifat juz’i karena ketentuan
terpeliharanya kebersihan (al-naẓafah).23 keduanya tidak termasuk ketentuan yang
Sedangkan tujuan juz`i (al- menyangkut umum untuk hajat orang
maqāṣid al-juz’iyyah) merupakan tujuan banyak tetapi untuk persoalan tertentu
yang berkaitan dengan persoalan tertentu dan bersifat parsial.29
saja, tanpa menyentuh persoalan lain.24 Untuk itu dapat dipahami bahwa
Maksudnya al-maqāṣid al-juz’iyyah al-maqāṣid al-juz’iyyah adalah tujuan
secara limitatif hanya berkaitan dengan yang secara spesifik mengatur persoalan
persoalan yang bersifat spesifik atau tertentu dan untuk tujuan tertentu.
parsial.25 Dikatakan demikian karena Selanjutnya ketentuan yang bersifat
tujuan ini berbeda dengan tujuan yang parsial tersebut diatur berdasarkan dalil
pertama dan kedua yang bersifat yang bersifat tertentu juga.
menyeluruh (kulliyyah), sementara
bagian ini secara spesifik berkaitan C. Ijtihad Ibn Qayyim dalam
dengan persoalan-persoalan tertentu atau Perspektif al-Maqāṣid al-Juz’iyyah
dalil-dalil khusus yang ditarik dari a) Membersihkan Bekas Kencing
tujuan pelembagaan hukum Islam itu Bayi Laki-laki
sendiri, sehingga bersifat juz’̄.26 Kajian Ibn Qayyim berpendapat untuk
ini spesifik dalam masalah tertentu membersihkan bekas air kencing anak
dalam lapangan fikih, seperti secara perempuan adalah dicuci dengan air.
spesifik dalam persoalan wudu misalnya Berbeda halnya bekas air kencing bayi
laki-laki yang belum diberi asupan

74 Nofialdi
Vol. XII No. 1, Juni 2018

selain air susu ibu, cukup dengan cara dengan anak laki-laki. Hadis ‘Alī ibn
dipercikkan air.30 Pendapat ini sejalan Abī Ṭālib, secara substansial terindikasi
dengan pandangan jumhur ulama, di berbeda dengan sebuah riwayat Abū
antaranya golongan Syāfi’iyyah, Hurairah, yang secara wujūh istidlāl
Ḥanābilah dan Ẓāhiriyyah.31 Namun menjelaskan bahwa banyak orang yang
pendapat Ibn Qayyim berbeda dengan kena azab kubur disebabkan karena
pandangan Mālikiyyah dan Ḥanafiyyah buang air kecil, karena air kencing itu
yang berpendapat bahwa tidak ada adalah najis dan harus dibersihkan.35
bedanya antara bayi laki-laki dan bayi Atas dasar hadis tersebut terjadi ijmak di
perempuan, sehingga bekas kencing kalangan ulama bahwa air kencing
keduanya harus dicuci.32 manusia adalah najis tanpa dibedakan
Dalam perspektif maqāṣid al- apakah air kencing anak-anak atau orang
syarī’ah pandangan ini bisa dianalisis dewasa, laki-laki atau perempuan.36
berdasarkan al-maqāṣid al-juz’iyyah, Untuk menyelesaikan perbedaan
karena kebolehan membersihkan bekas tersebut dapat dilihat dari perspektif al-
kencing bayi laki-laki dengan maqāṣid al-juz’iyyah. Urgensi al-
memercikkan air, secara spesifik (juz’ī) maqāṣid al-juz’iyyah menemukan elan
hanya berlaku untuk air kencing bayi vitalnya pada saat Ibn Qayyim
laki-laki yang belum memakan makanan memposisikan hadis riwayat Alī ibn Abī
selain air susu ibu. Sehingga ketentuan Ṭālib sebagai dalil yang digunakan
ini tidak berlaku terhadap air kencing untuk terjadinya pengecualian itu. Posisi
lain seperti air kencing bayi perempuan hadis riwayat Alī yang menyatakan
dan air kencing orang-orang yang sudah membersihkan bekas kencing bayi laki-
tidak bayi lagi. Untuk mendukung laki yang belum dikasih makan selain air
statemennya Ibn Qayyim menjelaskan, susu ibu dengan cara dipercikkan air
terjadinya perbedaan itu disebabkan oleh adalah mentakhsis keumuman hadis
tiga alasan; 1) Air kencing bayi laki-laki riwayat Abū Hurairah yang
menyebar dan muncrat ke mana-mana, mengharuskan mencuci pakaian yang
sehingga sulit untuk dicuci bekasnya; 2) terkena kencing siapa saja. Sehingga
Air kencing bayi perempuan lebih bau ketentuan memercikkan air itu hanya
dari pada kencing bayi laki-laki karena berlaku secara spesifik (juz’i) terhadap
kencing bayi laki-laki lebih panas dari air kencing bayi laki-laki yang belum
pada kencing bayi perempuan; 3) diberi asupan selain air susu ibu.
Kandungan air kencing bayi laki-laki Ibn Qayyim tetap tidak
lebih banyak dari pada bayi anak bergeming walaupun ulama yang
perempuan.33 menolak membersihkan air kencing bayi
Dilihat dari perspektif dalil yang laki-laki yang belum diberi makan selain
digunakan juga menunjukkan pendapat air susu ibu tidak menolak keberadaan
Ibn Qayyim sejalan dengan al-maqāṣid hadis Alī, tetapi dengan pemahaman
al-juz’iyyah. Pendapat Ibn Qayyim yang berbeda. Bagi ulama yang
didasarkan kepada riwayat Abū Daud berseberangan dengan Ibn Qayyim
dari ‘Alī ibn Abī Ṭālib yang berpendapat ungkapan “‫ ”النضح‬dalam
menjelaskan bahwa; bekas air kencing hadis tersebut tidak dapat dimaknakan
bayi perempuan harus dicuci, sedangkan dengan memercikkan air, tetapi harus
bekas air kencing anak laki-laki yang dimaknakan secara umum dengan
belum diberi makan selain air susu ibu
mencuci. Untuk itu ungkapan “ ‫وينضح من‬
cukup dipercikkan air ke bekasnya.34
Sehingga terdapat perbedaan hukum ‫الغالم‬ ‫”بول‬ dimaknakan dengan air
antara air kencing anak perempuan

Ijtihad Ibn Qayyim al-Jauziyyah 75


Vol. XII No. 1, Juni 2018

kencing bayi laki-laki dicuci, mengkosumsi makanan yang dimasak).


sebagaimana ungkapan “ ‫توضأ وانضح‬ Dalam staratifikasi penetapan hukum,
‫ ”فرجك‬yang maksudnya adalah berwudu makna yang mengandung khāṣṣ lebih
didahulukan dari yang umum.40
dan cucilah kemaluanmu.37
Dilihat dari perspektif maqāṣid
Pemberlakuan hukum yang
al-syarī’ah maka pelembagaan hukum
bersifat spesifik terhadap air kencing
ini sebagai wujud realisasi dari al-
bayi laki-laki yang belum diberi asupan
maqāṣid al-juz’iyyah, yaitu untuk
selain air susu ibu merupakan
mewujudkan suatu tujuan yang secara
kemudahan yang diberikan dalam
spesifik hanya terdapat dalam suatu
rangka menghindari kesulitan dalam
perkara dan tidak ditemukan dalam
membersihkan air kencing bayi laki-laki
perkara lain. Kesimpulan ini didasarkan
tersebut. Kesulitan yang ditimbulkan
kepada realitas-faktual bahwa keharusan
disebabkan karena air kencing bayi laki-
berwudu secara limitatif dan spesifik
laki yang belum diberi asupan selain air
(juz`iyyah) hanya untuk daging unta saja
susu ibu lebih banyak dibandingkan air
dan tidak berlaku untuk daging-daging
kencing bayi perempuan dan dapat
yang halal lainya, seperti daging
membasahi banyak tempat. Selain itu
kambing, sapi dan lain sebagainya. Ibn
karena bayi laki-laki tersebut belum
Qayyim berpendapat, sebagaimana
mengonsumsi selain air susu ibu
dipahami dari beberapa riwayat bahwa
sehingga air kencingnya tidak terlalu
setiap zirwah (bagian tubuh unta yang
berbau jika dibandingkan dengan air
tertinggi) itu setan, di mana setan
kencing bayi perempuan atau
merupakan bangsa jin, sehingga dalam
dibandingkan bayi laki-laki yang sudah
diri unta itu terkandung kekuatan setan.
mengonsumsi makanan selain air susu
Apabila seseorang memakan daging
ibu.
unta, maka dalam diri orang itu terdapat
b) Berwudu Setelah Makan
kekuatan setan, karena dalam daging
Daging Unta
unta terkandung kekuatan setan, setan
Ibn Qayyim berpendapat bahwa
diciptakan Allah dari api dan api hanya
seseorang harus berwudu setelah
bisa dipadamkan dengan air. Untuk itu
memakan daging unta.38 Pandangan Ibn
jika seseorang berwudu setelah
Qayyim ini berbeda dengan pandangan
memakan daging unta maka dengan
mayoritas ulama (jumhur) yang
wudunya itu dia telah memadamkan
berpendapat hadis Jābir ibn Samurah
kekuatan setan kemudian hilanglah
yang memerintahkan berwudu
kemudaratan yang ditimbulkannya”.41
dibatalkan (mansūkh) oleh hadis yang
Untuk mendukung statemennya
menyatakan bahwa Nabi tidak berwudu
tentang adanya keterkaitan antara setan
lagi setelah mengkonsumsi makanan
dengan air, Ibn Qayyim
yang dimasak.39 Namun Imam al-
menganalogikannya dengan perbuatan
Nawawī berpendapat klaim jumhur
marah sebagai perbuatan setan yang
ulama tentang posisi hadis Jābir ibn
dapat diredam dengan menggunakan air
Samurah (yang memerintahkan berwudu
dengan cara berwudu, ebagaimana hadis
setelah mengkonsumsi daging unta)
Nabi yang diriwayatkan dari ‘Atiyah.42
dibatalkan (mansūkh) lemah dan batal,
Dari statemen di atas terlihat Ibn
karena hadis tersebut tidak dalam posisi
Qayyim mengharuskan berwudu bagi
dibatalkan (mansūkh), tetapi dalam
orang yang menyentuh daging unta
posisi mukhaṣṣiṣ yang mentakhṣīṣ tujuannya adalah untuk menghilangkan
keumuman hadis Jābir (yang telah adanya kekuatan setan yang terkandung
meninggalkan berwudu setelah

76 Nofialdi
Vol. XII No. 1, Juni 2018

dalam daging unta. Karena dalam diri Ibn Qayyim mengatakan, Allah
unta ditemukan adanya kekuatan setan, SWT telah membedakan antara dua
yang tidak ditemukan dalam daging- daging, sebagaimana halnya Allah juga
daging lain. Sehingga keadaan ini hanya membedakan di antara dua tempat atau
secara khusus terdapat dalam daging membedakan antara dua orang
unta. penggembala, yaitu penggembala unta
Dilihat dari dari dalil yang dan penggembala kambing. Selanjutnya
digunakan pendapat Ibn Qayyim ini Allah memerintahkan berwudu bagi
sejalan dengan al-maqāṣid al-juz’iyyah orang yang memakan daging unta dan
karena didasarkan pada riwayat yang tidak memerintahkan berwudu setelah
mengatakan bahwa bagi orang yang memakan daging kambing Hal ini tak
memakan daging kambing, ubahnya seperti Allah membedakan
diperbolehkan untuk berwudu kembali antara jual-beli dengan riba”.45
atau boleh juga tidak berwudu kembali. c) Jual Beli Salam
Lain halnya dengan orang yang Ibn Qayyim berpendapat bahwa
memakan daging unta, diharuskan untuk jual beli salam merupakan transaksi
berwudu kembali, sebagaimana riwayat dengan jaminan yang disebutkan sifat-
dari Jābir ibn Samurah.43 sifat (barang) serta ditentukan waktu
Keberadaan hadis Jābir ibn penyerahan barang tersebut. Untuk itu
Samurah posisinya sebagai dalil yang praktik transaksi ini sejalan dan tidak
mentakhsis keumuman sebuah riwayat menyalahi qias.46 Statemen ini
yang tidak mengharuskan berwudu didasarkan kepada hadis riwayat Ibn
setelah memakan daging yang dimasak. ‘Abbās,47 sebagai legalitas praktik jual
Sebagaimana yang dipahami, dalam beli salam, karena dalam hadis tersebut
beberapa hadis dijelaskan bahwa Nabi dijelaskan oleh Nabi s.a.w. prinsip-
Saw. awalnya berwudu setelah prinsip yang harus dipenuhi dalam
memakan daging yang dimasak. Namun praktik jual beli salam, yaitu harus jelas
keberadaan hadis tersebut dibatalkan timbangan dan ukuran serta waktu
(naskh) oleh beberapa hadis yang (penyerahan) barangnya. Kesimpulan ini
menjelaskan bahwa Nabi s.a.w. tidak dijadikan sebagai argumentasi untuk
lagi berwudu setelah memakan makanan menolak pendapat kelompok-kelompok
yang dimasak, sebagaimana hadis yang menolak praktik jual beli salam
riwayat Jabir.44 dengan alasan praktiknya sama dengan
Keumuman hadis Jābir ibn jual beli yang obyek akadnya tidak ada
Samurah di atas yang menyatakan (bay’ ma’dūm).48 Sehingga bagi mereka
ketidakharusan berwudu setelah praktik jual beli tersebut dilarang
memakan makanan yang dimasak ini sebagaimana riwayat Hākim ibn Hizām:
ditakhsis oleh hadis Jābir (sebagaimana yang menjelaskan bahwa Nabi s.a.w.
yang telah disebutkan sebelumnya). melarang jual beli yang tidak berada di
Sehingga dipahami bahwa tidak perlu tangan pemiliknya.49
berwudu setelah makan daging yang Untuk menjawab statemen
dimasak kecuali setelah memakan kelompok yang menolak tersebut Ibn
daging unta. Pengecualian ini Qayyim berpendapat, mempersamakan
disebabkan karena adanya dalil khusus antara jual beli salam dengan jual beli
yang mentakhṣīṣ keumumam dalil yang ma’dūm merupakan qias yang keliru
tidak mengharuskan berwudu setelah (qiyās ma’a al-fāriq). Dalam perspektif
mengkonsumsi makanan yang dimasak qias, jual beli salam lebih tepatnya
pakai api. dipersamakan dengan tukar menukar
manfaat (al-mu’āwadhah ‘alā al-

Ijtihad Ibn Qayyim al-Jauziyyah 77


Vol. XII No. 1, Juni 2018

manfa’ah) dalam transaksi ijārah. Hadis d) Masa ‘Iddah Perempuan yang


tersebut menurut Ibn Qayyim Ditalak Mati
menjelaskan dua kemungkinan; pertama Ibn Qayyim berpendapat bahwa
maksud hadis tersebut adalah jual beli terjadi perbedaan masa ‘iddah antara
yang obyek akadnya ada (waktu wanita yang tertalak dan yang ditinggal
transaksi) tetapi barang tersebut bukan mati oleh suaminya. Bagi wanita yang
hak miliknya atau kemungkinan kedua ditinggal mati, berdasarkan Q.S. al-
jual beli dalam jaminan tetapi tidak Baqarah: 234, ‘iddah-nya adalah empat
ditentukan waktu penyerahan barangnya. bulan sepuluh hari.
Kedua praktik ini jelas termasuk jual Ayat di atas secara gamblang
beli yang mengandung unsur gharar, menyebutkan masa ‘iddah perempuan
sehingga jelas dilarang.50 Berbeda yang ditinggal mati suaminya adalah
halnya dengan jual beli salam yang jual empat bulan sepuluh hari. Kesimpulan
belinya dalam bentuk jaminan tetapi ini dikuatkan oleh hadis Nabi yang
barang tersebut ditentukan kapan waktu menyatakan bahwa seorang perempuan
penyerahannya, sehingga tidak termasuk dilarang berkabung lebih dari tiga hari,
jual beli gharar. kecuali berkabung karena kematian
Kesimpulan Ibn Qayyim ini suami yang dibolehkan sampai empat
sebagai bentuk realisasi dari al-maqāṣid bulan sepuluh hari, sebagaimana hadis
al-juz’iyyah. Bagi Ibn Qayyim riwayat Ummu ‘Athiah.51
penerapan praktik jual beli salam Statemen ini terindikasi
sebagai wujud realisasi kemaslahatan bertentangan dengan ketentuan dalam
dalam pelembagaan hukum jual beli. Q.S. al-Baqarah: 228, yang
Kemaslahatan diwujudkan dalam bentuk menyebutkan bahwa masa masa ‘iddah
kemudahan bagi orang-orang yang jauh perempuan yang tertalak adalah tiga
yang membutuhkan untuk pengunduran qurū’. Perempuan yang tertalak terbagi
pembayaran. Jual beli salam merupakan dua yaitu talak mati dan talak hidup,
jual beli yang secara spesifik (juz’i) sehingga berdasarkan ketentuan Q.S. al-
diperbolehkan, tetapi hanya berlaku Baqarah: 228 masa ‘iddah perempuan
untuk jual beli salam saja sehingga tidak yang ditalak mati pun adalah tiga qurū’.
boleh untuk yang lain. Kebolehan ini Namun keberadaan Q.S. al-Baqarah: 228
dalam rangka mewujudkan kemudahan ditakhṣīṣ oleh Q.S. al-Baqarah: 234.
bagi orang-orang yang berasal dari Sehingga masa ‘iddah perempuan yang
wilayah yang jauh yang mengalami ditinggal mati tidak lagi tiga qurū’ tetapi
kesulitan jika harus menghadirkan adalah empat bulan sepuluh hari.
barang pada waktu transaksi (akad). Masa ‘iddah empat bulan
Kebolehan itu hanya untuk jual beli sepuluh hari dilihat dari perspektif al-
salam dalam kondisi tertentu dan tidak maqāṣid al-juz’iyyah sebagai wujud
berlaku dalam kondisi yang mudah aturan yang secara spesifik berlaku
untuk menghadirkan barang waktu untuk perempuan yang kematian suami.
transaksi (akad). Ibn Qayyim berpendapat perbedaan
Selanjutnya dilihat dari segi dalil, masa ‘iddah perempuan yang ditinggal
dalam perspektif al-maqāṣid al- mati suaminya dengan perempuan yang
juz’iyyah, maka keberadaan hadis Ibn tertalak tidak hanya dilihat dari
Abbās tentang kebolehan jual beli salam perspektif bersihnya rahim. Lebih dari
sebagai pengecualian (juz’i) terhadap itu adalah terdapatnya hikmah dan
hadis Hākim ibn Hizām yang melarang kemaslahatan yang terkandung dibalik
jual beli yang tidak ada barang ketika ketentuan empat bulan sepuluh hari yang
transaksi (akad) berlangsung.

78 Nofialdi
Vol. XII No. 1, Juni 2018

terdiri dari empat puluh hari pertama telepon sebagai pengecualian terhadap
merupakan masa pembentukan nuthfah larangan melakukan tajassus (mencari-
(pembuahan), empat puluh hari kedua cari kesalahan orang lain).54 Kebolehan
adalah pembentukan ‘alaqah (segumpal secara spesifik (juz’i) dibolehkan jika
darah), kemudian empat puluh hari untuk kepentingan kemaslahatan
berikutnya adalah pembentukan mansyarat, bangsa dan negara atau
muḍghah (segumpal daging), sehingga terdapat dugaan kuat akan terjadinya
jadilah jumlahnya empat bulan. kemaksiatan dan kejahatan. Selanjutnya,
Kemudian sepuluh hari sisanya adalah dengan pendekatan al-maqāṣid al-
masa ditiupkan roh untuk menentukan juz’iyyah ihram dari Jeddah bagi
kehidupan janin.52 penumpang pesawat terbang dapat
Selanjutnya dilihat dari dalil dibenarkan untuk memberikan
yang mengaturnya maka dapat kemudahan bagi jemaah haji karena
disimpulkan bahwa ketentuan Q.S. al- Jeddah merupakan pintu masuk ke
Baqarah: 234 posisinya sebagai dalil Mekkah bagi jemaah haji.55
yang memberikan pengecualian terhadap Konsepsi Islam tentang al-
ketentuan umum yang terdapat dalam maqāṣid al-juz’iyyah tentang jual beli
Q.S. al-Baqarah: 228. Untuk itu, jika salam semakin menemukan elan vitalnya
semua perempuan yang tertalak masa tatkala hari ini berbagai bentuk jual beli
íddah-nya adalah tiga qurū`, maka on-line dan dan inden yang begitu marak
terdapat pengecualian bagi istri yang di tengah-tengah masyarakat. Berbagai
ditinggal mati yang ‘iddah-nya adalah bentuk jual beli pesanan dengan
empat bulan sepuluh hari. pembayaran di muka dan adanya
Beberapa contoh yang jaminan pengiriman barang kemudian
dipaparkan terlihat bahwa keberadaan telah meminimalisir praktek riba dalam
al-maqāṣid al-juz’iyyah sangan urgen transaksi jual beli, karena pembayaran
dan signifikan dalam menyelesaikan telah disepakati dan dilakukan meskipun
persoalan hukum dalam Islam. Urgensi barang belum sampai di tangan pembeli.
dan signifikansi al-maqāṣid al-juz’iyyah Di samping juga transaksi ini
telah ditunjukkan oleh Ibn Qayyim memberikan kemudahan bagi penjual
dalam ijtihadnya. Persoalan dan isu-isu dalam melakukan transaksi jual beli
kontemporer juga dapat ditetapkan tanpa harus menjajakan barang
hukumnye dengan pendekatan al- daganganya ke mana-mana.
maqāṣid al-juzʼiyyah. Misalnya fatwa
MUI tentang keharusan mengeluarkan D. Kesimpulan
zakat penghasilan pada saat menerima Dalam berijtihad Ibn Qayyim al-
penghasilan jika sudah cukup nisab Jawziyyah terlihat tetap dalam koridor
meskipun belum mencapai hawl.53 maqāṣid al-syarīʻah. Hal ini dibuktikan
Ketentuan ini secara spesifik (juz’i) dengan beberapa ijtihad yang
sebagai pengecualian terhadap dihasilkannya sejalan dengan ketentuan
penghasilan yang belum sampai nisab al-maqāṣid al-juz’iyyah sebagai bagian
yang harus menunggu hawl. Tujuannya dari konsep maqāṣid al-syarīʻah.
adalah untuk menghindari kemungkinan Kebolehan membersihkan kencing bayi
terjadinya tindakan pengurangan jumlah laki-laki yg belum diberi makanan selain
harta supaya tidak sampai nisab ASI sebagai dispensasi karena sulitnya
sehingga terhindar dari kewajiban zakat membersihkan bekas air kencing
setelah sampai hawl nantinya. Demikian tersebut. Keharusan berwudu setelah
juga halnya fatwa Nahdlatul Ulama memakan daging unta bertujuan untuk
(NU) tetang kebolehan menyadap menghilangkan adanya kekuatan setan

Ijtihad Ibn Qayyim al-Jauziyyah 79


Vol. XII No. 1, Juni 2018

yang terkandung dalam daging unta. dalam menyelesaikan berbagai persoalan


Kemudian kebolehan jual beli salam kontemporer. Kebolehan jual beli on line
untuk mewujudkan kemudahan bagi misalnya, sebagai wujud merealisasikan
orang-orang yang berasal dari wilayah al-maqāṣid al-juz’iyyah karena dapat
yang jauh dan mengalami kesulitan jika memberikan kemudahan kepada penjual
harus menghadirkan barang pada waktu untuk memasarkan komoditinya yang
transaksi (akad). Sedangkan ‘iddah sulit dihadirkan ketika terjadinya
perempuan yang ditinggal mati selama transaksi. Demikian juga dengan
empat bulan sepuluh hari untuk kebolehan menyadap pembicaraan yang
menunjukkan proses pertumbuhan bayi secara spesifik (juz’i) dibolehkan untuk
sejak pembuahan sampai ditiupkan ruh kepentingan kemaslahatan mansyarat,
selama empat bulan sepuluh hari. bangsa dan negara atau terdapat dugaan
Urgensi dan signifikansi al- kuat akan terjadinya kemaksiatan dan
maqāṣid al-juzʼiyyah juga ditunjukkan kejahatan.

Catatan Akhir: 8.
Abd al-Majīd Jum`ah al-Jaza’iri, al-
Qawā`id al-Fiqhiyyah al-Mustkhrijah min Kitab
1.
Abū Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al- I`lām al-Muwaqqi`īn, hlm. 3-4.
Lakhmī al-Gharnāṭī al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt fī 9.
`Umar Ibn Kasir, al-Bidāyah wa al-
Usūl al-Syari’ah (Beirūt: Dār al-Kutub al- Nihāyah,II: 2214.
‘Ilmiyyah, 2004), hlm. 249. 10.
Sayyid Habīb al-Afghānī, al-Furūq
2.
Abu ‘Abdillāh Muhammad ibn Abī al-Fiqhiyyah ‘inda al-Imām Ibn Qayyim al-
Bakr Ayyūb Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lām al- Jawziyyah (Riyād: Maktabah al-Rusyd, 1429),
Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, tahqīq: Ṭāhā hlm. 97.
'Abd al-Ra`ūf Sa'd (Beirūt: Dār al-Jail, 1973), 11.
Khair al-Dīn al-Ziriklī, al-A`lām, hlm.
III, hlm. 3; A. Hasyim Nawawie, "Pandangan 56.
12.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang Persetujuan Wahbah al-Zuḥaylī, Usūl al-Fiqh al-
Anak Gadis dalam Perkawinannya", Jurnal Islāmī (Beirūt: Dār al-Fikr al-Mū’asir, 1986),
Pemikiran Keislaman Tribakti, Vol. XXIII, No. hlm. 202; Musfir ibn ‘Ali ibn Muhammad al-
1 (2012), hlm. 28. Qahṭānī, Manhāj Istinbāṭ Ahkām al-Nawāzil al-
3.
Syarat lain selengkapnya dapat dilihat Fiqhiyyah al-Mu’āsirah (Jeddah: Dār al-Andalus
Nadiah Syarīf al-‘Umarī, Ijtihād fī al-Islām al-Khadra`, 2003), hlm. 523; Moh. Lutfi
(Beirūt: Mu`assasah al-Risālah, 1984), hlm. 60- Nurcahyono, "Integrasi Maqasid Syari'ah Pada
116. Problematika Kontemporer", Interest, Vol XIII,
4.
Salāh al-Dīn Khalīl ibn Aibik al- No. 1 (2015), hlm. 24.
Safadi, al-Wāfi bī al-Wafiyat (Beirūt: Dār Ihya’ 13.
Imam al-Juwaini mengelaborasi
al-Turāṡ al-`Arabī, 2000), hlm. 195; `Adil maqasid al-syari;ah dalam kaitannya dengan
Nuwaihiḍ, Mu`jam al-Mufassirīn (t.k.: ‘illat dan ahsl yang dapat dibedakan menjadi
Mu’assasah Nuwaihiḍ al-Saqạfiyyah, 1983), lima bagian, yaitu asl yang masuk kategori
hlm. 503; Khair al-Dīn al-Ziriklī, al-A`lam ḍarurāt (primer), al-ḥ̣ạ̣ jjah al-’āmmah
(Beirūt: Dar al-`Ilm li al-Malayin, 2002), hlm. (sekunder), makramāt (tersier, yaitu kebutuhan
56; Abu Abd al-Raḥmān Abd al-Majīd Jum`ah yang menempati peringkat ketiga), asl yang
al-Jazā’iri, al-Qāwā`id al-Fiqhiyyah al- tidak masuk kelompok primer, sekunder, dan
Mustkhrijah min Kitab I`lām al-Muwaqqi`īn tersier, dan asl yang tidak termasuk keempat
(Riyaḍ: Dār Ibn al-Qayyim, t.t.), hlm. 36. kelompok tersebut. Lihat ‘Abd al-Mālik ibn
5.
Ṣalāh al-Dīn ibn Aibik al-Safadi, al- Yūsuf Abu al-Ma’āli al-Juwaini, al-Burhān fī
Wāfī, hlm. 164. Usūl al-Fiqh (Cairo: Dār al-Ansar, 1400), hlm.
6.
Umar Riḍā Kahālah, Mu`jam al- 195.
Mu’allifin, (Beirūt: Mu’assasah al-Risālah,
14.
Abū Ḥamid Muḥammad ibn
1993), III/165; Ibn Aibik al-Safadi, al-Wāfī, hlm. Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, al-
197; Khair al-Dīn al-Ziriklī, al-A`lām, hlm. 56; Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl (Riyad: Dār al-
Nuwaihiḍ, Mu`jam al-Mufassirīn, hlm. 503. Maiman, t.t.), hlm. 328-331.
7.
`Imād al-Dīn Ismā`il ibn `Umar Ibn
15.
Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat
Kasir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, (Libanon: Hukum Islam dan Perubahan Sosial,
Bayt al-Afkār al-Dawliyyah, 2004), II: 2214. Terj.Yudian W. Asmin (Surabaya: Al Ikhlas,

80 Nofialdi
Vol. XII No. 1, Juni 2018

1995), hlm. 174; Pendapat ini dikutip 2009), hlm. 13; Muhammad Sa’d ibn Mas'ūd al-
Muhammad Khalid Mas’ud dari karya Najm al- Yūbī, Maqāṣid al-Sayrī’ah al-Islāmiyyah wa
Dīn al-Tūfī yang berjudul “Syarh al-Arba’in” ‘Alaqātuhā bī al-Adillah al-Syar’iyyah (Riyād:
yang terdapat dalam lampiran karya Muztafa Dār al-Hijrah, 1998), hlm. 415.
Zaid, al-Maṣlahah fī al-Tasyrī’ al-Islāmī wa 25.
Ahmad al-Raisuni, Muhaḍrāt fī
Najm al-Dīn al-Ṭūfī (Kairo: Dār al-Fikr al- Maqāṣid al-syarī’ah (Kairo: Dar al-Kalimah,
‘Arabī, 1954), hlm. 18. 2014), hlm.30.
16.
Moh. Toriquddin, “Teori Maqasid 26.
Al-Qahthani, Manhaj Istinbāṭ Ahkām
Syari’ah Perspektif al-Syatibi”, Journal de Jure, al-Nawāzil al-Fiqhiyyah al-Mu’āṣirah, hlm.30.
Vol. VI, No. 1 (2014), hlm. 40-41. 27.
Al-Yubi, Maqāṣid al-Sayrī’ah al-
17.
A. Bahruddin, “Implementasi Islāmiyyah wa ‘Alaqātuhā bī al-Adillah al-
Maqāṣid al-syarī’ah sebagai Solusi Problematika Syar’iah, hlm. 415.
Sosial dan Kemasyarakatan Kontemporer”, 28.
Al-Raisuni, Muhadhrāt fī Maqāṣid al-
Ijtihad, Volume XVII, Nomor 1 (2017), hlm. syarī’ah, hlm.30.
6;Muhammad Lutfi Hakim, “Pergeseran 29.
Ibid., hlm.30-31.
Paradigma Maqāṣid al-syarī’ah: Dari Klasik 30.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-
Sampai Kontemporer”, Al-Manāhij, Vol. X, No. Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, 2: hlm.78.
1 (2016), hlm. 4; hlm. Bahrul Hamdi, 31.
Abū al-Hasan ‘Ali ibn Muḥammad
“Mashlahah dalam Paradigma Tokoh (Antara ibn Habib al-Māwardi al-Baṣrī, al-Hāwī al-
Al-Ghazālī, Al-Syāṭibī dan al-Ṭūfī”, Al- Kabīr fī Fiqh Mazhab al-Imām al-Syāfi’ī
Hurriyah: Jurnal Hukum Islam, Vol. II, No. 2 Radiayallāh ‘anh, (Beirūt: Dār al-Kutub al-
(2017), hlm. 226. ‘Ilmyyiah, 1994), II, hlm.248-249; Muwafiq al-
18.
Al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al- Dīn ‘Abdullāh ibn Qudamah al-Maqdisī, al-Kāfi
Syarī’ah, hlm. 221; Bandingkan dengan Wael B. fī Fiqh al-Imām Ahmad ibn Hanbal (Beirūt: Dār
Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: an al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), hlm. 164-165;
Introduction to Sunni Usul Fiqh (New York: Abū Muḥammad ‘Alī ibn Aḥmad ibn ibn Hazm
Cambridge University Press, 1997), hlm. 169. al-Andalūsī, al-Muhalla fī Syarh al-Mujallabi al-
19.
Imam al-Syatibi mempolarisasi tujuan Hujaj wa al-Asar (Riyād: Bait al-Afkār al-
asliah ini menjadi dua bagian, yaitu: 1)Daruriah Dauliyyah, t.t.), hlm. 85; Habib al-Afghani, al-
‘ainiah, yaitu sebuah kewajiban yang terdapat Furūq al-Fiqhiyyah ‘inda al-Imām Ibn Qayyim
dengan sendirinya dalam diri setiap manusia. al-Jawziyyah, hlm. 247.
Sebagai contoh adalah setiap manusia dituntut 32.
Untuk informasi lebih jauh lihat Malik
untuk memelihara agama, hal ini merupakan ibn Anas ibn Malik ibn ‘Amir al-Asabi al-
tuntutan yang datang dari dirinya sendiri, Madani, al-Mudawwanah al-Kubra, (Beir̄ ut: Dār
sebagai konsekuensi logis dari keyakinan al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1994), hlm. 131; Lihat
(i’tiqadan] dan praktik (‘amalan]. Demikian juga juga Ibn ‘Abidin, Radd al-Muhtār ‘ala al-Dār
halnya dengan tuntutan memelihara jiwa sebagai al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abṣār, (Riyād: Dār
konsekuensi logis dari memelihara kehidupan; 2) ‘Alām al-Kutub, 2003), hlm. 523.
Daruriah kifa`iah, yaitu penegakan kemaslahatan 33.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lām al-
yang bersifat umum untuk menegakkan tatanan Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Alāmīn, 2: hlm. 78-79.
masyarakat Islam. Daruriahkifa`iah ini 34.
Teks hadis; ‫ع ِن‬ َ ، ‫ َحدَّثَنَا يَحْ يَى‬، ٌ‫سدَّد‬ َ ‫َحدَّثَنَا ُم‬
merupakan penyempurna yang pertama (daruriah ‫ع ْن‬
َ ِ َ، ‫د‬ ‫ْو‬ ‫س‬َ ‫أل‬‫ا‬ ‫ي‬ ‫ب‬ َ ‫أ‬ ‫ْن‬
‫ب‬ ‫ب‬
ِ ِ ِ ْ َ ِ َ ‫ر‬ ‫ح‬ ‫ي‬ ‫ب‬َ ‫أ‬ ْ
‫ن‬ ‫ع‬ ، َ ‫ة‬ ‫د‬
َ ‫َا‬ ‫ت‬َ ‫ق‬ ْ
‫ن‬ ‫ع‬
َ ، َ ‫ة‬‫ب‬َ ُ َ ‫اب ِْن أ َ ِبي‬
‫و‬ ‫ر‬ ‫ع‬
‘ainiah) karena ‘ainiah tidak akan tegak tanpa ، ‫ار َي ِة‬‫ج‬ ْ
‫ال‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ب‬ ‫ن‬ْ ‫ل‬ ُ ‫س‬‫غ‬ْ ‫ي‬ : ‫ل‬ ‫ا‬ َ
‫ق‬ ُ ‫ه‬ ْ
‫ن‬ ‫ع‬ ُ ‫ه‬ َّ ‫الل‬ ‫ي‬ َ ‫ع ْن‬َ ، ‫أ َ ِبي ِه‬
ِ َ ِ ْ َ ِ‫َ م‬ ُ َ َ َ ِ َ ٍّ ‫عل‬
‫ض‬ ‫ر‬ ‫ِي‬
didukung oleh kifa’iah. Sebagai contoh adalah
larangan hakim menerima hadiah dari orang ْ ‫ض ُح مِ ْن َب ْو ِل ْالغُالَ ِم َما لَ ْم َي‬
‫ط َع ْم‬ .
َ ‫ َويُ ْن‬Hadis semakna juga
yang sedang berperkara yang bertujuan untuk
menjaga kemaslahatan yang bersifat umum al- diriwayatkan oleh Imam al-Tirmīzī, Ibn Majah,
Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, hlm. Ibn Khuzaimah dan al-Baihaqī. Abū Dawud
323-324; ibn Muḥammad al-Qahṭānī, Manhāj Sulaimaan ibn al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abī
Dāwud, vol. 2 (Beirūt: Dār al-Fikr, 2007), hlm.
Istinbāṭ Ahkām al-Nawāzil al-Fiqhiyyah al-
102; Lihat Abū ‘Īsa Muḥammad ibn ‘Isa al-
Mu’āṣirah, hlm. 546-547.
20. Tirmizi, al-Jāmi’ al-Kābir, vol. 1 (Beirūt: Dār
Ibid, hlm. 547.
al-Gharb al-Islāmī, 1996), hlm. 114; Ibn Mājah,
21.
Al-Syatibi, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-
Sunan Ibn Mājah, vol. 1 (Dār Ihya` al-Kutub al-
Syari’ah, hlm. 324.
22. ‘Arabiyyah, t.t.), hlm. 174-175; Abu Bakr
Ibid., hlm. 220.
23. Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaimah ibn al-
Ibid., hlm. 248.
24. Mughirah ibn Salih ibn Bakr al-Salami al-
Ahmad al-Raisuni, Madkhal 'ilā
Naisabūrī, Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah, vol. 1 (Beirūt:
Maqāṣid al-syarī’ah (Cairo: Dār al-Kalīmah,
al-Maktab al-Islāmī, t.t.), hlm.144; Abu Bakr

Ijtihad Ibn Qayyim al-Jauziyyah 81


Vol. XII No. 1, Juni 2018

Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Ali al-Baihaqi, al- al-Risalah, 2001), hlm. 407; Bakr al-Salami al-
Sunan al-Kubrā, vol. 2 (Beirūt: Dār al-Kutub al- Naisaburi, Sahih Ibn Khuzaimah, 1:hlm.21;
‘Ilmiyyah, 2003), hlm. 581-583. Muhammad ibn Hibban ibn Aḥmad ibn Hibbān
35.
Teks hadis: ‫ َحدَّثَنَا‬، َ‫ش ْيبَة‬ َ ‫َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْنُ أَبِي‬ ibn Mu’az ibn Ma’bad al-Tamīmī, al-Ihsān fī
ْ‫عن‬ َ ، ٍّ‫صالِح‬ َ
َ ‫عن أبِي‬ ْ َ
َ ، ‫ع ِن األ ْع َم ِش‬ َ
َ ، ‫ع َوا َنة‬َ ‫ َحدَّثَنَا أَبُو‬، ُ‫عفَّان‬ َ Taqrīb Saḥīḥ Ibn Hibbān, vol. 3 (Beirūt:
‫ أ َ ْكث َ ُر‬: ‫سلَّ َم‬ ‫و‬ ‫ه‬
َ ِ َ ‫ي‬
ْ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫الله‬ ‫ى‬ َّ
‫ل‬ ‫ص‬
َ ِ ‫ه‬‫الل‬ ُ
‫ل‬ ‫و‬ ُ َ َ‫ ق‬: ‫أ َ ِبي ه َُري َْرة َ قَا َل‬
‫س‬ ‫ر‬ ‫ل‬
َ ‫ا‬ Mu`assasah al-Risālah, 1988), hlm. 431-432.
‫ب ْالقَب ِْر مِ نَ ْالبَ ْو ِل‬ َ . Lihat Ibn Majah, Sunan Ibn
ِ ‫عذَا‬
44.
Teks hadis; َ‫س ْه ٍّل أَبُو ع ِْم َران‬ َ ُ‫سى بْن‬ َ ‫َحدَّثَنَا ُمو‬
‫ع ْن‬ َ ،َ ‫ة‬ َ‫ز‬ ‫م‬َْ ِ ‫ح‬ ‫ي‬ ‫ب‬ َ ‫أ‬ ُ‫ْن‬ ‫ب‬ ُ‫َ ْب‬ ‫ي‬‫ع‬ ‫ش‬ ُ ‫َا‬ ‫ن‬َ ‫ث‬ َّ ‫د‬ ‫ح‬َ ٍّ َ ، ‫َّاش‬ ‫ي‬ ‫ع‬ ُ‫ْن‬ ‫ب‬ ‫ي‬
ُّ ِ َ‫ل‬ ‫ع‬ ‫َا‬ ‫ن‬ َ ‫ث‬ َّ ‫د‬ ‫ح‬َ ،‫ي‬ ُّ ‫الر ْم ِل‬
َّ
Majah, 1:hlm. 125. ْ
‫ « َكانَ آخِ َر ْاأل َ ْم َري ِْن مِ ْن‬:َ‫ قَال‬،‫ع ْن َجا ِب ٍّر‬ َ ، ‫ِر‬ َ
‫ك‬ ْ
ِ ُ ِ ‫ُم َح َّم ِد‬
‫د‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ال‬ ‫ْن‬ ‫ب‬
36.
Al-Māwardi al-Basrī, al-Hāwī al-
‫ت‬ ِ ‫غي ََّر‬ َ ‫سلَّ َم ت َْركُ ْال ُوضُوءِ مِ َّما‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫صلَّى الله‬ َ ‫سو ِل اللَّ ِه‬ ُ ‫َر‬
Kabīr fī Fiqh Mazhab al-Imām al-Syāfi’ī
Raḍiayallāh ‘anh, hlm. 248.
»‫ار‬ ُ َّ‫الن‬. Lihat Abu Dawud, Sunan Abi Dawud,
2:hlm.56 Hadis semakna juga diriwayatkan oleh
37.
Fakhr al-Dīn ‘Uṡmān ibn ‘Alī al- Imam al-Nasa’i, Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban;
Zaila’ī, Tabyīn al-Haqā’iq Syarh Kanz al- Lihat Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’aib
Daqā`iq, Maktabah Samilah, vol. 1, t.t., hlm. ibn ‘Ali al-Khurasani al-Nasa`i, Sunan al-
328. Nasa’i, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma'rifah, t.t.), hlm.
38.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al- 116-117; Bakr al-Salami al-Naisaburi, Sahih Ibn
Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Alamīn, 2:h. 15-16; Khuzaimah, 1:h. 28; al-Tamimi, al-Ihsan fi
Ibn Hazm al-Andalusi, al-Muhallā fī Syarh al- Taqrib Sahih Ibn Hibban, 3:hlm. 417.
Mujallabi al-Hujaj wa al-Asār, hlm.34. 45.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lām al-
39.
Muhammad ibn Isma’il ibn Salah ibn Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Alamīn, 2:hlm.16.
Muhammad al-Hasani al-Kahlani al-San’ani, 46.
Ibid., 2:hlm.19.
Subul al-Salam, vol. 1 (Ttp.: Dar al-Fikr, 1991), 47.
Teks hadis; ‫ع ْم ٌرو‬ َ ‫ َو‬،‫َحدَّثَنَا َيحْ يَى بْنُ يَحْ يَى‬
hlm.111. ْ َ َ َ ُ ‫ َواللَّ ْف‬،ُ‫النَّاقِد‬
40.
‫ أخبَ َرنَا‬:‫ َوقا َل يَحْ يَى‬،‫ َحدثنَا‬:‫ع ْم ٌرو‬ َّ َ ‫ قَا َل‬،‫ظ ِليَحْ يَى‬
Abu Zakaria Muhyi al-Din Yahya ibn َ َ
‫ع ْن‬ َ ٍّ ، ‫ِير‬ ‫ث‬ َ
‫ك‬ ‫ْن‬ِ ‫ب‬ ‫ه‬ِ ‫الل‬ ‫د‬
ِ ‫ب‬
ْ ‫ع‬
َ َ ٍّ ِ ‫ن‬ْ ‫ع‬ ، ‫يح‬ ‫َج‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫ب‬
ِ ِ ِ َ ‫أ‬ ‫ْن‬ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ، ‫ة‬ ‫ن‬
َ ‫ي‬ ْ ‫ع َي‬ ُ ُ‫س ْف َيانُ بْن‬ ُ
Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al- ‫س َّل َم‬ َ َ َ‫و‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬ْ َ ‫ل‬‫ع‬ ُ ‫ه‬ ‫الل‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬‫ص‬ َ ُّ ِ َ ‫ي‬ ‫ب‬ َّ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ِم‬ ‫د‬ َ ‫ق‬ :َ ‫ل‬ ‫ا‬َ ‫ق‬ ، ‫َّاس‬ ٍّ ‫ب‬ َ ِ ِ َ ‫أ َ ِبي ْالمِ ْن َها ِل‬
‫ع‬ ‫ْن‬ ‫ب‬‫ا‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ،
Muhażżab, vol. 2 (Jeddah: Maktabah al-Irsyād, ‫ « َم ْن‬:‫ فَقَا َل‬،‫سنَتَي ِْن‬ َّ ‫س َنةَ َوال‬ َّ ‫ار ال‬ ِ ‫ َو ُه ْم يُ ْس ِلفُونَ فِي الثِ َم‬،َ‫ْال َمدِينَة‬
t.t.), hlm. 69; Lihat juga dalam karyanya yang ‫ إِلَى أ َ َج ٍّل‬،‫وم‬ ٍّ ُ‫ َو َو ْز ٍّن َم ْعل‬،‫وم‬ ٍّ ُ‫ِف فِي َك ْي ٍّل َم ْعل‬ ْ ‫ فَ ْليُ ْسل‬،‫ف فِي ت َْم ٍّر‬ َ َ‫أ َ ْسل‬
lain al-Minhāj Syarh Saḥīḥ Muslim ibn al- »‫وم‬ ُ
ٍّ ‫ َم ْعل‬. Lihat Muslim al-Qusairi al-Naisābur̄ i, al-
Hajjāj, vol. 4 (Beirūt: Dār Ihya` al-Turāṡ al- J̄ami’ al-Ṣaḥīḥ (Ṣaḥīḥ Muslim), 1:hlm. 55.
‘Arabī, 1392), hlm.48. 48.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lām al-
41.
Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al- Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, 2:hlm.19.
Muhażżab, 2:hlm. 49. 49.
Teks hadis; ‫ع ْن‬ َ ،َ‫ع َوانَة‬ َ ‫ َحدَّثَنَا أَبُو‬،ٌ‫سدَّد‬ َ ‫َحدَّثَنَا ُم‬
42.
Teks hadis; ُ‫سنُ بْن‬ َ ‫ َو ْال َح‬، ٍّ‫َحدَّثَنَا بَ ْك ُر بْنُ َخ َلف‬ ‫ َيا‬:َ‫ قَال‬،‫ِيم ب ِْن حِ زَ ٍّام‬ ‫ك‬ ‫ح‬
ِ َ َ َ‫ُ َ ِ َ َك‬ ‫ن‬ ْ ‫ع‬ ، ‫ه‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ْن‬ ‫ب‬ ‫ف‬ ‫س‬ ‫ُو‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ْ َ ‫أ َ ِبي ِب ْش ٍّر‬
‫ع‬ ،
‫ َحدَّثنَا أبُو َوائِ ٍّل‬،ٍّ‫ َحدَّثَنَا إِب َْراهِي ُم بْنُ خَا ِلد‬:‫ قَ َاَل‬،‫علِي ٍّ ْال َم ْعنَى‬
َ َ َ ُ‫عهُ لَه‬ ُ ‫ْس ِع ْندِي أَفَأ َ ْبت َا‬ َ َ َ ‫ي‬ َ
‫ل‬ ‫ع‬ ‫ي‬
ْ ‫ب‬ ْ
‫ال‬ ‫ِي‬ ‫ن‬ ِ‫م‬ ُ ‫د‬ ‫ي‬ ‫ُر‬
ِ ‫ي‬ َ ‫ف‬ ‫ل‬ُ ‫ج‬ُ ‫الر‬
َّ ‫ِي‬ ‫ن‬ ‫ِي‬ ‫ت‬ ْ ‫أ‬ َ ،ِ‫سو َل اللَّه‬
‫ي‬ ُ ‫َر‬
‫ فَكَلَّ َمهُ َر ُج ٌل‬،ِ‫س ْعدِي‬ َّ ‫علَى ع ُْر َوة َ ب ِْن ُم َح َّم ٍّد ال‬ َ ‫ دَخ َْلنَا‬:َ‫ قَال‬،‫اص‬ ُّ َ‫ْالق‬ » َ‫ْس ِع ْندَك‬ َ ‫ي‬َ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬ َ ِ ‫ع‬ ْ ‫ب‬ َ ‫ت‬ ‫َل‬ َ « :َ ‫ل‬ ‫ا‬ َ ‫ق‬ َ ‫ف‬ ‫؟‬ ‫ق‬ ِ ‫ُّو‬‫س‬ ‫ال‬ َ‫ن‬ ِ‫م‬ . Lihat Abu
‫ع ْن‬ َ ،‫ َحدَّث َ ِني أ َ ِبي‬:َ‫ فَقَال‬،َ‫ضأ‬ َّ ‫ضأ َ ث ُ َّم َر َج َع َوقَ ْد ت ََو‬ َّ ‫ام فَت ََو‬ َ َ‫ فَق‬،ُ‫ض َبه‬ َ ‫فَأ َ ْغ‬ Dawud, Sunan Abī Dawud, 2:hlm. 151 Hadis
‫ « ِإ َّن‬:‫سلَّ َم‬ َ َ ‫و‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ُ ‫ه‬ ‫الل‬ ‫ى‬ َّ
‫ل‬ ‫ص‬
َ ‫ه‬
ِ َّ ‫الل‬ ُ
‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬
ُ ‫ر‬
َ ‫ل‬
َ ‫ا‬َ ‫ق‬ :َ
‫ل‬ ‫ا‬َ ‫ق‬ ،َ ‫ة‬ ‫ي‬
َّ ِ‫ط‬‫ع‬َ ‫َجدِي‬ semakna juga diriwayatkan oleh beberapa ahli
ُ ‫طفَأ‬ ْ ُ ‫ َو ِإنَّ َما ت‬،‫ار‬ ِ َّ ‫ن‬ ‫ال‬ َ‫ن‬ ِ‫م‬ َ‫ِق‬ ‫ل‬ ُ
‫خ‬ َ‫ان‬ َ
‫ط‬ ‫ي‬ْ َّ
‫ش‬ ‫ال‬ َّ
‫ن‬ ‫إ‬ ‫و‬
َِ ِ ، ‫ان‬ َ
‫ط‬ ‫ي‬
ْ َّ
‫ش‬ ‫ال‬ َ‫ن‬ ِ‫م‬ ‫ب‬
َ ‫ض‬ َ َ‫ْالغ‬ hadis di antaranya Imam Malik, Ahmad ibn
ْ»‫ب أ َ َحدُ ُك ْم فَ ْل َيت ََوضَّأ‬ َ ‫َض‬ ِ ‫ فَإِذَا غ‬، ِ‫ار بِال َماء‬ ْ ُ َّ‫الن‬. Lihat Abū Hanbal, al-Tirmīżī, dan al-Baihaqī; Lihat Mālik
Dawud, Sunan Abī Dawud, 2: hlm. 440. ibn Anas ibn Mālik ibn ‘Amir al-Asabi al-
43.
Teks hadis; ‫س ْي ٍّن‬ َ ‫ض ْي ُل بْنُ ُح‬ َ ُ‫َحدَّثَنَا أَبُو َكامِ ٍّل ف‬ Madanī, al-Muawaṭṭa` (Aljazair: al-Maktabah
،‫ب‬ ‫ه‬
َ ‫و‬ ‫م‬
ٍّ ْ َ ِ ِ ‫ْن‬ ‫ب‬ ‫ه‬ ‫الل‬ ‫د‬
ِ ‫ب‬
ْ ‫ع‬
َ ِ ‫ْن‬
‫ب‬ َ‫ان‬ ‫م‬َ ْ ‫ُث‬
‫ع‬ ْ
‫ن‬ ‫ع‬
َ ،َ ‫ة‬‫ن‬َ ‫ا‬‫و‬ َ َ ‫ َحدَّثَنَا أَب‬،‫ي‬
‫ع‬ ‫ُو‬ ُّ ‫ْال َجحْ دَ ِر‬ al-Syarqiyyah, 2010), hlm.317; al-Syaibani,
‫سأ َ َل‬
َ ‫ا‬
‫ال‬ ‫ج‬
ُ ‫ر‬َ ‫ن‬َّ َ ‫أ‬ ،َ ‫ة‬ ‫ر‬ ‫م‬ ‫س‬ ‫ْن‬‫ب‬ ‫ر‬
َ ُ َ ِ ِ ِ َ َ ٍّ ْ ‫ب‬‫ا‬‫ج‬ ْ
‫ن‬ ‫ع‬ ، ‫ر‬ ‫و‬َ ‫ث‬ ‫ي‬ ‫ب‬َ
ِ ِ ِ ‫ع ْن َج ْعف‬
‫أ‬ ‫ْن‬
‫ب‬ ‫َر‬ َ Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, 24:hlm.26;
:َ‫وم ْالغَن َِم؟ قَال‬ ِ ‫سلَّ َم أَأَت ََوضَّأ ُ مِ ْن لُ ُح‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫صلَّى الله‬ َ ‫سو َل الل ِه‬ ُ ‫َر‬ al-Tirmīzī, Sunan al-Tirmīzī, vol. 2, t.t., hlm.
‫وم‬ِ ‫ َوإِ ْن ِشئْتَ فَ َال ت ََوضَّأْ» َقا َل أَت ََوضَّأ ُ مِ ْن لُ ُح‬،ْ‫« ِإ ْن ِشئْتَ فَت ََوضَّأ‬ 514-517; ibn ‘Ali al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra,
‫صلِي فِي‬ َ ُ ‫ أ‬:َ‫اْلبِ ِل» قَال‬ ِ ْ ‫وم‬ ِ ‫ «نَ َع ْم فَت ََوضَّأ ْ مِ ْن لُ ُح‬:َ‫اْلبِ ِل؟ قَال‬ ِْ 2:hlm. 438.
:َ‫اْلبِ ِل؟ قَال‬ ْ
ِ ِ‫ارك‬ ِ َ‫صلِي فِي َمب‬ ُ
َ ‫ أ‬:َ‫ «نَ َع ْم» قَال‬:َ‫ض الغَن َِم؟ قَال‬ ْ ِ ِ‫َم َراب‬
50.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-
»‫« ََل‬. Lihat Abū al-Husain Muslim ibn al-Hajjāj Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, 2:hlm. 19.
Ibn Muslim al-Qusairi al-Naisaburi, al-Jami’ al-
51.
Teks hadis; ُ‫يع َحدَّثَنَا ابْن‬ ِ ِ‫الرب‬ َّ ُ‫سنُ بْن‬ َ ‫َو َحدَّثَنَا َح‬
Sahih (Saḥīḥ Muslim), vol. 1 (Beirūt: Dār al- ‫صلى‬- ‫سو َل الل ِه‬ َّ ُ ‫عطِ يَّةَ أ َ َّن َر‬ َ ‫ع ْن أ ُ ِم‬ َ َ‫صة‬ َ ‫ع ْن َح ْف‬ َ ‫ع ْن ِهش ٍَّام‬ َ ‫يس‬ َ ‫إِد ِْر‬
Fikr, t.t.), hlm. 189 Hadis semakna juga
َّ‫ث إَِل‬ ٍّ َ‫ت فَ ْوقَ ثَال‬ ٍّ ِ‫علَى َمي‬ َ ٌ ‫ قَا َل « َلَ تُحِ دُّ ْام َرأَة‬-‫الله عليه وسلم‬
diriwayatkan oleh beberapa ulama hadis, di ‫ب‬ َ ‫غا ِإَلَّ ث َ ْو‬ ‫صبُو ا‬ ْ ‫س ث َ ْوباا َم‬ ُ ‫ع ْش ارا َوَلَ ت َْل َب‬ َ ‫علَى زَ ْوجٍّ أ َ ْر َب َعةَ أ َ ْش ُه ٍّر َو‬ َ
antaranya, Ahmad ibn Hanbal, Ibn Khuzaimah ‫ت نُ ْبذَة ا مِ ْن قُ ْسطٍّ أ َ ْو‬ ْ ‫ط ُه َر‬ َ ‫س طِ يباا ِإَلَّ ِإذَا‬ ُّ ‫ب َوَلَ ت َ ْكتَحِ ُل َوَلَ ت َ َم‬ ٍّ ‫ص‬ ْ ‫ع‬ َ
» ‫َار‬ ٍّ ‫ظف‬ ْ َ ‫أ‬. Lihat Muslim, al-Jȧmi’ al-Ṣaḥīḥ., IV.
dan Ibn Hibban; untuk itu lihat juga Abu
‘Abdullah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal hlm.294-295. Hadis ini jugadi riwayatkan Imam
ibn Hilal ibn Asad al-Syaibani, Musnad al-Imam al-Tirmīżī, al-Jāmi’ al-Kābir, II, hlm. 485-486.
Aḥmad ibn Ḥanbal, vol. 24 (Beirūt: Mu`assasah

82 Nofialdi
Vol. XII No. 1, Juni 2018

52.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lām al- 54.
Tim Lajnah Ta’lif wan Nasyr, Solusi
Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, 2:hlm.87. Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan
53.
Departemen Agama RI, Himpunan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama
Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Bagian Proyek (1926-2010 M.), (Surabaya: Khalista, 2011),
Sarana dan Prasarana Produk Halal DIRJEND hlm. 720-721.
Bimbaga Islam, 2003, hlm. 91; Nofialdi, 55.
Basri Na’ali, “Tipologi Metode Ijtihad
“Metode Ijtihad Majelis Ulama Indonesia”, Fikih Kontemporer”. Dalam Al-Hurriyah: Jurnal
Jurnal Islamika, Volume 13, Nomor 1 (2013), Hukum Islam, Vol. I, No. 02 (2016), hlm. 257.
hlm. 19.

DAFTAR PUSTAKA Halal DIRJEND Bimbaga


Islam, 2003.
‘Abidin, Ibn. Radd al-Muhtār ‘alā al- al-Ghazālī, Abū Ḥamid Muḥammad ibn
Dar al-Mukhtar Syarh Tanwīr Muḥammad ibn Muḥammad.
al-Abṣār. Riyād: Dār ‘Ālam al- al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl.
Kutub, 2003. Riyād: Dār al-Maiman, t.t.
al-Afghānī. al-Furūq al-Fiqhiyyah ‘inda Hakim, Muhammad Lutfi, “Pergeseran
al-Imam Ibn Qayyim al- Paradigma Maqāṣid al-
Jawziyyah. Riyad: Maktabah Syarī’ah: Dari Klasik Sampai
al-Rusyd, 1429. Kontemporer”. Dalam Al-
al-Andalūsī, Abū Muḥammad ‘Alī ibn Manahij, Vol. X, No. 1 (2016).
Aḥmad ibn ibn Ḥazm. al- Hallaq, Wael B. A History of Islamic
Muhalla fi Syarh al-Mujallabi Legal Theories: an Introduction
al-Hujaj wa al-Ạṡār. Riyād: to Sunni Usul Fiqh. New York:
Bait al-Afkar al-Dawliyyah, t.t. Cambridge University Press,
al-Baihaqī, Abū Bakr Aḥmad ibn al- 1997.
Ḥusain ibn ‘Alị. al-Sunan al- Hamdi, Bahrul. “Mashlahah dalam
Kubrā, taḥqīq oleh Muḥammad Paradigma Tokoh (Antara Al-
'Abd al-Qādir 'Atā. T.K.: Dār Ghazali, Al-Syatibi dan al-
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003. Tufi”. Dalam Al-Hurriyah:
al-Baṣrī, Abū al-Hasan ‘Alī ibn Jurnal Hukum Islam, Vol. II,
Muḥammad ibn Habib al- No. 2 (2017).
Māwardī. al-Hāwī al-Kābir fī al-Jaza’iri, Abu Abd al-Raḥmān Abd al-
Fiqh Mażhab al-Imam al- Majid Jum`ah. Al-Qawā`id al-
Syāfi’ī Radiayallah ‘anh, tahqiq Fiqhiyyah al-Mustkhrijah min
oleh 'Ali Muḥammad Kitāb I`lām al-Muwaqqi`īn.
Mu'awwid dan 'Adil Ahmad Ttp.: Dar Ibn al-Qayyim, t.t.
Abd al-Maujūd. Beirūt: Dār al- al-Juwaynī, ‘Abd al-Malik ibn Yusuf
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994. Abū al-Ma’ālī. al-Burhān fī
Bahruddin, A., “Implementasi Maqāṣid Uṣūl al-Fiqh. Kairo: Dār al-
al-syarī’ah sebagai Solusi Anṣār, 1400 H.
Problematika Sosial dan Kaṡīr, ‘Imād al-Dīn Ismā`il ibn `Umar
Kemasyarakatan Kontem- Ibn. al-Bidāyah wa al-Nihāyah.
porer”. Dalam Ijtihad, Volume Libanon: Bayt al-Afkar al-
XVII, Nomor 1 (2017). Dawliyyah, 2004.
Departemen Agama RI. Himpunan al-Madanī, Mālik ibn Anas ibn Malik
Fatwa Majelis Ulama ibn ‘Āmir al-Ahabī. al-
Indonesia, Bagian Proyek Muwaṭṭā`. Aljāzair: al-
Sarana dan Prasarana Produk Maktabah al-Syarqiyyah, 2010.

Ijtihad Ibn Qayyim al-Jauziyyah 83


Vol. XII No. 1, Juni 2018

________. al-Mudawwanah al-Kubrā. Nofialdi, “Metode Ijtihad Majelis Ulama


Beirūt: Dār al-Kutub al- Indonesia”. Jurnal Islamika,
`Ilmiyyah, 1994. Vol. XIII, Nomor 1 (2013).
al-Maqdisī, Muwafiq al-Dīn ‘Abdullāh Nurcahyono, Moh. Lutfi. "Integrasi
ibn Qudamah, al-Kāfī fī Fiqh Maqasid Syari'ah Pada
al-Imām Aḥmad ibn Hanbaḷ Problematika Kontemporer".
Beirūt: Dār al-Kutub al- Interest, Vol XIII, No. 1
‘Ilmiyyah, 1994. (2015).
Mājah, Ibn. Sunan Ibn Mājah. Ttp.: Dār Nuwaihid, `Adil, Mu`jam al-Mufassirīn.
Ihya` al-Kutub al-‘Arabiyyah, Ttp.: Mu’assasah Nuwaihidh al-
t.t. Saqafiyyah, 1983.
Mas’ud, Muhammad Khālid. Filsafat al-Qahṭānī, Musfir ibn ‘Alī ibn
Hukum Islām dan Perubahan Muḥammad. Manhāj Istinbāṭ
Sosial, terj.Yudian W. Asmin. Ahkām al-Nawāzil al-Fiqhiyyah
Surabaya: Al Ikhlas, 1995 al-Mu’āṣirah. Jeddah: Dār al-
al-Naisabūrī, Abū al-Ḥusain Muslim ibn Andalūs al-Khadra`, 2003.
al-Hajjaj Ibn Muslim al- al-Raisūnī, Aḥmad, Madkhal ilā
Qusairī. al-Jāmī’ al-Ṣaḥīḥ. Maqāṣid al-syarī’ah, Cairo: Dār
Beirūt: Dār al-Fikr, t.t. al-Kalīmah, 2009.
al-Naisabūrī, Abū Bakr Muḥammad ibn __________, Aḥmad, Muhadarat fī
Isḥāq ibn Khuzaimah ibn al- Maqāṣid al-Syarī’ah, Cairo:
Mughīrah ibn Ṣāliḥ ibn Bakr al- Dār al-Kalīmah, 2014.
Salami, Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah. al-Safadī, Ṣalāḥ al-Dīn Khalīl ibn Aibik.
Beirūt: al-Maktab al-Islami, t.t. al-Wāfī bi al-Wāfiyat. Beirūt:
al-Nasā`ī, Abū ‘Abd al-Rah̄man Ah̄mad Dār Ihyā’ al-Turāṡ al-`Arabī,
ibn Syu’aib ibn ‘Alī al- 2000
Khurasānī. Sunan al-Nasā’ī. al-San’ānī, Muḥammad ibn Ismạ’il ibn
Beirūt: Dār al-Maʻrifah, t.t. Ṣalāḥ ibn Muḥammad al-
al-Nawawī, Abū Zakaria Muhyi al-Dīn Hasanị al-Kahlạnī. Subul al-
Yahyā ibn Syarf. al-Majmū’ Salām. Ttp.: Dar al-Fikr, 1991.
Syarh al-Muhażżab. Jeddah: al-Sijistani, Abū Dāwud Sulaimaan ibn
Maktabah al-Irsyad, t.t. al-Asy’as. Sunan Abī Dāwud.
_________, Abū Zakariā Muhyi al-Dīn Beirut: Dar al-Fikr, 2007.
Yahyā ibn Syarf. al-Minhāj al-Syaibānī, Abū ‘Abdullāh Aḥmad ibn
Syarh Ṣaḥīḥ Muslim ibn al- Muḥammad ibn Hanbal ibn
Hajjāj, Vol. XVIII, Beirūt: Dār Hilal ibn Asad. Musnad al-
Ihya` al-Turaṡ al-‘Arabi, 1392 Imām Aḥmad ibn Hanbal.
H. Beirūt: Mu`assasah al-Risālah,
Na’ali, Basri. “Tipologi Metode Ijtihad 2001.
Fikih Kontemporer”. Al- al-Syāṭibī, Abū Isḥāq Ibrāhim ibn Mūsā
Hurriyah: Jurnal Hukum Islam, al-Lakhmi al-Gharnāṭī. al-
Vol. I, No. 02 (2016). Muwafaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah.
Nawawie, A. Hasyim. “Pandangan Ibn Beirūt: Dār al-Kutub al-
Qayyim al-Jawziyyah tentang ’Ilmiiyyah, 2004.
Persetujuan Anak Gadis dalam al-Tamīmī, Muḥammad ibn Hibbān ibn
Perkawinannya”. Jurnal Aḥmad ibn Hibbān ibn Mu’az
Pemikiran Keislaman Tribakti, ibn Ma’bad. al-Ihsān fī Taqrīb
Vol. XXIII, No. 1 (2012). Ṣaḥīḥ Ibn Hibbān. Beirūt:
Mu`assasah al-Risālah, 1988.

84 Nofialdi
Vol. XII No. 1, Juni 2018

al-Tirmīzī, Abū ‘Īsā Muḥammad ibn al-Yūbī, Muḥammad Sa’d ibn Mas'ūd.
‘Īsā. al-Jāmī’ al-Kābir. Beirūt: Maqāṣid al-syarī’ah al-
Dār al-Gharb al-Islāmī, 1996. Islamiyyah wa ‘Alaqātuhā bi
Tim Lajnah Ta’lif wan Nasyr. Solusi al-Adillah al-Syar’iyyah.
Problematika Aktual Hukum Riyād: Dār al-Hijrah, 1998.
Islam, Keputusan Muktamar, al-Zaila’ī, Fakhr al-Dīn ‘Uṡmān ibn ‘Alī.
Munas dan Konbes Nahdlatul Tabyīn al-Ḥaqā’iq Syarh Kanz
Ulama (1926 – 2010 M.), al-Daqā`iq. T.K.: Maktabah
Surabaya: Khalista, 2011. Samilah, t.t.
Toriquddin, Moh.. “Teori Maqasid al-Ziriklī, Khair al-Dīn. al-A`lām.
Syari’ah Perspektif al-Syatibi”. Beirūt: Dār al-`Ilm li al-
Dalam Journal de Jure, Vol. Malayin, 2002.
VI, No. 1 (2014). al-Zuḥaylī, Wahbah. Uṣūl al-Fiqh al-
al-‘Umari, Nadiah Syarif. Ijtihād fī al- Islāmi. Beirūt: Dār al-Fikr al-
Islām. Beirūt: Mu`assasah al- Mu’asir, 1986.
Risalah, 1984.

Ijtihad Ibn Qayyim al-Jauziyyah 85


Vol. XII No. 1, Juni 2018

86 Nofialdi

Anda mungkin juga menyukai