Anda di halaman 1dari 11

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi paru yang menjadi penyebab
utama terjadinya kesakitan dan kematian seluruh dunia. TB juga masih menjadi
problem kesehatan di negara dengan sosial ekonomi menengah ke bawah. TB
sebagai penyebab kematian kedua dari penyakit infeksi dan menginfeksi 9,4 juta
orang serta membunuh 1,7 juta di dunia setiap tahun (WHO, 2013). Di Indonesia
TB menjadi penyebab kematian nomor dua tertinggi setelah Stroke dan menjadi
pembunuh nomor satu diantara penyakit menular.
Diabetes melitus (DM) meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
tuberkulosis paru (TB) melalui berbagai mekanisme. Infeksi TB diduga
menyebabkan DM pada penderita yang sebelumnya tidak memiliki riwayat DM
dengan menginduksi terjadinya hiperglikemia. Penderita diabetes melitus (DM)
berisiko lebih tinggi berkembang menjadi TB dibanding tanpa DM. Penelitian
menunjukkan di negara dengan prevalensi DM meningkat, prevalensi TB juga
meningkat.
Di Indonesia menurut penelitian Riskesdas tahun 2007, prevalensi DM
pada penduduk usia 15 tahun keatas di daerah urban sebesar 5,7%, dan pada tahun
2013 di daerah urban rural sebesar 6,9%. Toleransi glukosa terganggu (TGT) pada
tahun 2007 sebesar 10,2% dan pada tahun 2013 sebesar 29,9%. Prevalensi TB
berdasarkan kuesioner Riskesdas tahun 2007 (pernah di diagnosis tenaga
kesehatan 12 bulan terakhir ) sebesar 0,4%, dan pada tahun 2013 tetap 0,4%.
Sementara hasil Riskesdas 2010 mengestimasi prevalensi sebesar 289 per 100.000
pada penduduk usia 15 tahun keatas. Faktor yang secara umum menyebabkan
kejadian infeksi TB Paru pada pasien DM meliputi yaitu umur, jenis kelamin,
pengetahuan, pekerjaan, sosial ekonomi, malnutrisi, lama penyakit, dan kontak
erat dengan penderita TB Paru.

1
Peran ahli kesehatan di pelayanan kesehatan sangat penting guna skrining
awal pada pasien TB dengan atau tanpa DM. Tabel 1 merupakan data pasien TB-
DM dan non DM yang penulis dapatkan berdasarkan rekam medis di RSPAW
Salatiga. Berdasarkan data tersebut, penulisan tinjauan pustaka ini akan
membahas mengenai hubungan antara penyakit TB Paru dan DM.

Tabel 1. Data perbandingan pasien TB-DM dan non DM

Pasien TB Paru MDR-DM dan


TB Paru MDR-non DM
di RSPAW Salatiga
24
Pria Wanita
18

10
8

TB MDR - DM TB MDR - non DM

PERUBAHAN PERTAHANAN PARU PADA DIABETES MELITUS


Paru pada penderita DM akan mengalami perubahan patologis, seperti
penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat
sekunder dari komplikasi mikroangiopati sama seperti yang terjadi pada retinopati
dan nefropati. Gangguan neuropati dari syaraf otonom dapat berupa hipoventilasi
sentral dan sleep apneu. Selain itu juga dapat terjadi penurunan elastisitas rekoil
paru, penurunan kapasitas difusi karbon monoksida, dan peningkatan endogen
produksi karbondioksida.

2
Kejadian infeksi paru pada penderita DM merupakan akibat kegagalan
sistem pertahanan tubuh, dalam hal ini paru mengalami gangguan fungsi pada
epitel pernapasan dan juga motilitas silia. Gangguan fungsi dari endotel kapiler
vaskuler paru, kekakuan korpus sel darah merah, perubahan kurva disosiasi
oksigen akibat kondisi hiperglikemia yang lama menjadi faktor kegagalan
mekanisme pertahanan melawan infeksi.

HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN TUBERKULOSIS PARU


Patogenesa dikaitkan dengan respon imunologik yang menurun pada
seseorang dapat memudahkan berkembangnya penyakit infeksi termasuk
Mycobacterium tuberculosis. Hiperglikemia menyebabkan gangguan fungsi
netrofil dan monosit sehingga kemotaktik, fagositosis dan daya bunuh bakteri
menurun. Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada
pengidap diabetes akibat defek fungsi sel imun dan mekanisme pertahanan
pejamu. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih belum dapat
dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat hipotesis mengenai peran
sitokin sebagai suatu molekul yang penting dalam mekanisme pertahanan manusia
terhadap TB. Selain itu, ditentukan juga oleh aktivitas bakterisid leukosit yang
berkurang pada pasien DM, terutama bagi mereka yang mempunyai konrol gula
darah yang buruk.
Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada
pengidap diabetes berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme
pertahanan penjamu. Proporsi makrofag alveolar matur pada pasien TB dengan
DM lebih rendah dibandingkan dengan yang non DM. Makrofag alveolar ini
berperan pada proses fagositosis dari kuman TB dan sebagai penyaji antigen ke
sel T. Hal ini diperkirakan berperan pada timbulnya perluasan infeksi TB dan
jumlah bakteri yang lebih banyak pada sputum pasien TB dengan DM. Selain itu,
tidak didapatkan adanya penurunan jumlah limfosit T yang signifikan pada pasien
TB dengan DM.
Hubungan antara DM dan TB lebih menonjol pada orang yang lebih
muda.Pasien dengan DM tipe 1 lebih rentan daripada pasien dengan DM tipe 2.

3
Kerentanan yang tinggi ini mungkin terkait dengan durasi penyakit yang lebih
lama atau dapat disebabkan karena kontrol hiperglikemia lebih sulit pada pasien
dengan DM tipe 1. Selain itu, resiko TB lebih tinggi pada pasien yang
menggunakan insulin, Khususnya mereka yang membutuhkan dosis insulin yang
lebih tinggi. Kontrol glikemik yang buruk telah secara signifikan dikaitkan
dengan terjadinya TB. Dalam sebuah penelitian menyatakan terdapat hubungan
antara TB aktif dan tingkat glikosilasi hemoglobin (HbA1c).
Beberapa alasan lain yang dikemukakan para peneliti mengenai hubungan
erat antara TB dan DM tipe 2 diantaranya : keadaan hiperglikemi yang membantu
pertumbuhan, viabilitas dan pergerakan dari kuman TB. Gangguan nutrisi,
elektrolit, dan asidosis jaringan lokal membuat tubuh rentan terhadap infeksi.
Selain itu, kerusakan sistem imun tubuh seperti defek makrofag alveolar atau
limfosit T pada pasien DM mengakibatkan mudahnya penyebaran infeksi.

MANIFESTASI KLINIS INFEKSI TB PADA DM


Pada pasien TB dengan DM ditemukan gejala klinis yang lebih banyak
dengan keadaan umum yang lebih buruk. Selain itu juga didapatkan adanya
pengaruh negatif DM terhadap hasil akhir pengobatan TB dan DM secara
signifikan berkaitan dengan kultur sputum yang masih positif setelah 6 bulan
pengobatan. DM tidak mempengaruhi gejala, hasil bakteriologi, reaktivitas
tuberkulin, dan okalisasi infiltrat pada gambaran radiografi. Namun, pada pasien
DM yang lebih tua dari 40 tahun dan berjenis kelamin perempuan didapatkan
adanya keterlibatan lapangan paru bawah yang secara statistik berbeda bermakna
dengan pasien non-DM.
TB dengan DM umumnya memberikan gambaran radiografik yang
atipikal yaitu dengan keterlibatan lobus bawah, diikuti lobus atas dan tengah.
Keterlibatan bilateral, efusi pleura, dan kavitasi juga terlihat pada sebagian pasien.
Selain itu ditemukan juga konsolidasi homogen maupun heterogen. Pasien TB
dengan DM mempunyai jumlah basil kuman TB yang lebih banyak pada sputum,
hasil sputum yang positif meskipun setelah 2 bulan awal pengobatan, dan juga

4
kadar rifampisisn plasma yang 2x lebih rendah dari non-DM. Pasien DM dengan
TB paru menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi terhadap demam, hemoptisis,
pewarnaan sputum BTA yang positif, lesi konsolidasi, kavitasi, dan lapangan paru
bawah, serta angka kematian yang lebih tinggi.
Pasien TB-DM sering memperlihatkan gambaran kelainan radiologis di
bagian lobus bawah dibanding non DM. DM tipe 1 berisiko lebih kuat menjadi
TB, terutama pada DM tipe 1 dengan berat badan kurang dan kontrol glikemik
yang jelek. Pasien TB dan DM mungkin lebih sering demam, hemoptysis,
lethargi, fatigue, berat badan menurun, hilang nafsu makan dan gambaran
radiologi yang atypical.
Faktor yang mempermudah terjadinya TB paru pada DM adalah :
• Fisiokimia
• Hiperglikemia, hipoglikemia, asidosis menyebabkan tekanan osmosis
ekstra cell meningkat, sel dehidrasi (+), fagositosis menurun, adanya
penetrasi kuman, angiopati.
• Kekebalan menurun: pada DM terjadi gangguan metabolisme protein,
kadar kortisol plasma meningkat, benda keton meningkat, asidosis,
aktifitas fagositosis makrofag dan imunitas humoral menurun.

INTERAKSI OBAT
Pengaruh obat anti tuberculosis (khususnya rifampisin) lebih rendah pada
pasien dengan DM. Efek ini mungkin terkait dengan tingkat keparahan
hiperglikemia. Mekanisme pastinya tidak didefinisikan, namun penurunan sekresi
asam hidroklorat lambung dan gangguan penyerapan obat, mungkin menjadi
alasannya. Rifampisin dan isoniazid memiliki efek hiperglikemia. Rifampicin
menginduksi metabolisme dan menurunkan kadar sulfonilurea dalam darah yang
kemudian menyebabkan hiperglikemia. Hal tersebut tidak mempengaruhi
metabolisme metformin atau insulin. Begitu pula dengan pirazinamide dapat
mengakibatkan diabetes sulit dikontrol.

5
RESISTENSI OBAT
Beberapa penelitian telah menemukan adanya peningkatan resiko
terjadinya Multi Drug Resistance Tuberculosis (MDR TB) di antara pasien DM,
mulai dari 2,1 hingga 8,8 kali. Kekambuhan sering disertai dengan hubungan
resisten yang dicatat pada penderita DM. Namun sejumlah besar penelitian belum
menemukan hubungan antara TB-MDR dan DM. Dengan demikian, hubungan
antara DM dan TB-MDR tetap tidak terbukti. Diperlukan lebih banyak penelitian
untuk mempelajari pengaruh DM terhadap kejadian resistensi terhadap OAT. Hal
ini sangat relevan di negara seperti India yang memiliki kelompok pasien TB-
MDR tertinggi, ditambah dengan populasi DM terbesar yang diproyeksikan.

PENGOBATAN TB PARU DENGAN DIABETES MELITUS


Penatalaksaan TB Paru dengan DM menurut pedoman PDPI :
 Paduan OAT pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat
kadar gula darah terkontrol.
 Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan.
 Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol
pada mata; sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan
pada mata.
 Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi
efektivitas obat oral antidiabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan.
 Perlu kontrol/ pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol/
mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan.

Menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis Kemenkes


2011, pasien TB dengan DM gula darah harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin
dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis
obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol

6
gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral.
Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika,
oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat
kelainan tersebut.

PENCEGAHAN
Diabetes Melitus (DM) merupakan faktor resiko tuberkulosis (TB),
maka pada pasien DM perlu dilakukan skrining TB dan perlu diberikan terapi
profilaksis untuk infeksi TB yang latent. Agar pasien DM dengan TB bersedia
diberi terapi profilaksis maka perlu adanya kesadaran pasien akan resiko
terjadinya TB dan peran ahli klinis di pelayanan kesehatan untuk mendiskusikan
dengan pasien mengenai potensi resiko dan keuntungan mendapatkan terapi TB
profilaksis.
Pemerintah India telah merekomendasikan bahwa pasien TB harus
segera di skrining DM. WHO melaporkan insidensi TB di dunia 122 kasus per
100.000 penduduk, terbanyak di Asia (58%) dan Afrika (27%). Di Indonesia
prevalensi TB cukup tinggi yaitu sebesar 289 per 100.000 penduduk pada usia 15
tahun keatas (Balitbangkes, 2010). Skrining DM pada TB dan skrining TB pada
DM harus dapat dilaksanakan di fasilitas kesehatan. Penelitian-penelitian di atas
menekankan pentingnya skrining rutin dua arah yaitu pemeriksaan DM pada
penderita TB dan pemeriksaan TB pada penderita DM, hal ini sesuai anjuran
World Health Organization dan International Union against Tuberculosis and
Lung diseases.
Skrining untuk TB di antara pasien DM dapat meningkatkan deteksi kasus,
akibat yang dapat mengarah pada terapi sebelumnya dan mencegah penularan
penyakit. Metode untuk skrining TB belum didefinisikan, walaupun melakukan
rontgen dada pada saat diagnosis DM, dan pada interval reguler setelahnya dapat
menjadi metode yang dapat dilakukan. Setiap pasien DM dengan gejala yang
mencurigakan seperti batuk selama lebih dari 2-3 minggu, penurunan berat badan,
demam, atau pemeriksaan penunjang yang abnormal harus diselidiki untuk adanya

7
TB aktif. Akan tetapi saat ini belum ada bukti yang cukup untuk tindakan
penyaringan yang lebih aktif.
Skrining rutin DM pada pasien TB akan membantu mendeteksi dini DM
dan pre DM, sehingga pencegahan awal dapat dimulai lebih awal dan lebih
efektif. Waktu yang terbaik untuk penyaringan tidak ditentukan. Beberapa
merekomendasikan skrining pada awal pengobatan anti-TB, untuk memastikan
dimulainya pengobatan diabetes dan koreksi hiperglikemia, yang berpotensi dapat
memiliki efek positif pada hasil pengobatan TB. Yang lain merekomendasikan
skrining setelah 2-3 bulan dimulainya OAT ketika penyakitnya stabil karena
tuberkulosis yang mirip dengan infeksi lain dapat menyebabkan hiperglikemia
yang mereda dengan pengobatan yang memadai dan stabilisasi penyakit. Karena
alasan ini, dapat disimpulkan skrining dapat dilakukan baik pada saat awal
diagnosis TB dan tiga bulan setelah memulai OAT saat stabilisasi penyakit.
Pemegang program untuk DM dan TB perlu meningkatkan promosi
kesehatan, mencanangkan gaya hidup sehat dengan diet sehat, menghindari rokok
dan alkohol, meningkatkan aktifitas gerak dan menganjurkan follow up
pengontrolan glukosa darah sehingga mencegah DM menjadi TB.

8
BAB II
KESIMPULAN

1. Pasien dengan diabetes melitus (DM) dapat meningkatkan kerentanan


terhadap infeksi tuberkulosis paru (TB) melalui berbagai mekanisme.
2. Penyakit TB yang disertai dengan DM merupakan salah satu resiko dapat
terjadinya TB MDR.
3. Skrining TB pada pasien DM jika disertai gejala yang mencurigakan
seperti batuk selama lebih dari 2-3 minggu, penurunan berat badan,
demam, atau pemeriksaan penunjang yang abnormal harus diselidiki untuk
adanya TB aktif.
4. Skrining DM pada awal diagnosis TB dan 3 bulan setelah pemberian OAT
dapat meningkatkan deteksi kasus, pengobatan dini, dan pencegahan
komplikasi DM.

9
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.Situasi TB di Indonesia dalam
pencapaian MDGs.2011.
2. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementrian Kesehatan RI.
2011.
3. Whiting DR, Guariguata L, Weil C, Shaw J.IDF diabetes atlas: global
estimates of the prevalence of diabetes for 2011 and 2030. Diabetes
Research and Clinical Practice.Elsevier Ireland Ltd. 2011; Dec;94(3):311–
21.
4. Sanusi H. Diabetes melitus dan tuberkulosis paru. Jurnal Medika
Nusantara. 2006;25(1).
5. Nazulis RA. Drug related problems pada pasien diabetes melitus tipe 2
dengan tuberkulosis paru di bangsal penyakit dalam dan poliklinik RSUP.
Dr. M. Djamil Padang. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
2011.
6. Cahyadi A, Venty. Tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus.
Majalah Kedokteran Indonesia. 2011;61(4):173–8.
7. Kirani KRLS, Kumari VS, Kumari RL.Co-existence of pulmonary
tuberculosis and diabetes mellitus: some observations. Ind J Tub.
1998;45(47).
8. Wang J, Shen H. Review of cigarette smooking and tuberculosis in China:
intervention is needed for smooking cessation among tuberculosis patients.
BMC Public Health. 2009;9:292.
9. Khalil IK. The relationship between tuberculosis and diabetes mellitus in
patients. Biology Journal of Al-Kufa University.2011;3(1):195-2.
10. Soetedjo FA.Perbandingan kepekaan pemeriksaan kuman BTA dari dahak
spontan dengan dahak induksi salin 0,9% pada akhir terapi fase intensif
DOTS. 2009.

10
11. Berger HW, Granada MG. Lower lung field tuberculosis. Chest.1974;65:5.
12. World Health Organization(2011) WHO report. Global tuberculosis
control 2011. Geneva: World Health Organization.
13. World Health Organization (2013) WHO report. Global tuberculosis report
2013. Geneva: World Health Organization.
14. Mihardja L, Lolong DB, Ghani L. Prevalensi diabetes mellitus pada
tuberculosis dan masalah terapi. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2015;14(4):
350-8.
15. Fauziah DF, Basyar M, Manaf A. Insidensi tuberkulosis paru pada pasien
diabetes mellitus tipe 2. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(2):349-354.

11

Anda mungkin juga menyukai