Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna dan
dimuliakan, seperti tertera dalam surat At-Tien ayat 4 yang artinya
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.” Karena manusia diciptakan oleh Allah bukan sekedar
untuk hidup didunia ini kemudian meninggal tanpa pertanggung jawab,
tetapi manusia diciptakan oleh Allah hidup didunia untuk beribadah.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembahKu” (Q.S Adz-Dzaariyaat ayat 56). “Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (Q.S Al-
Bayyinah ayat 5). Karena Allah Maha Mengetahui tentang kejadian
manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya, taqwa, diberi kewajiban
ibadah. Tegasnya manusia diwajibkan beribadah, agar manusia itu
mencapai taqwa.
Isi pembahasan ibadah menurut Ibnu Abidin, membagi persoalan
ibadah pada lima kitab, yakni : Sholat, Zakat, Shiyam, Hajji, dan Jihad.
Umumnya Ulama memasukan soal Thaharah pada pembahasan ibadah.
Prof.Hashbi dalam Pengantar Fiqh mengemukakan bahwa yang wajar,
pembahasan ibadah itu meliputi : Thaharah, Shalat, Jinayah, Shiyam,
Zakat, Zakat Fitrah, Hajji, Jihad, Nazar, Qurban, Dzabihah, Shaid, Aqiqah,
makanan dan minuman.1
Pada isi pembahasan ibadah menurut Prof.Hashbi disebutkan yang
pertama adalah pembahasan mengenai thaharah. Thaharah bagi umat
muslim adalah hal yang sangat mendasar dalam kehidupan sehari-hari.
Tetapi pada kenyataannya masih banyak umat muslim yang masih minim
pengetahuannya tentang thaharah. Untuk itu, makalah ini dapat dijadikan

1
Djamal Murni, Ilmu Fiqh, Jakarta, 1983, hlm.9.

1
media pembelajaran dalam mempelajari thaharah yang sesuai dengan
kaidah-kaidah islamiah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Thaharah?
2. Apa yang dimaksud dengan Wudlu, Mandi dan Tayamum?
3. Bagaimana tata cara Wudlu, Mandi dan Tayamum?
C. Tujuan Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Thaharah.
2. Mengetahui pengertian Wudlu, Mandi dan Tayamum.
3. Menjelaskan tata cara Wudlu, Mandi dan Tayamum.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Thaharah
Ath-Thaharah, menurut bahasa, artinya kebersihan atau bersih dari
berbagai kotoran, baik yang bersifat hissiyah (nyata), seperti najis berupa
air seni dan yang selainnya, maupun yang bersifat maknawiyah, seperti aib
dan perbuatan maksiat. At-Tathir bermakna tanzhif (membersihkan), yaitu
pembersihan pada tempat yang terkotori.2
Menurut pengertian syari’at (terminologi), thaharah berarti
tindakan menghilangkan hadats dengan air atau debu yang bisa
menyucikan. Juga berarti upaya meglenyapkan najis dan kotoran. Berarti,
thaharah menghilangkan sesuatu yang ada di tubuh yang menjadi
penghalang bagi pelaksanaan shalat dan ibadah semisalnya.3
Ulama Fiqh menyatakan bahwa thaharah adalah membersihkan diri
dari segala hal baik hadas maupun najis yang menghalangi seseorang
untuk melakukan sholat, dengan menggunakan air atau tanah. Menurut Al-
Hanafiah thaharah adalah bersih dari hadas dan najis. Pengertian thaharah
pun dikemukakan oleh Al-Malikiyah yakni suatu sifat yang menurut
pandangan syara membolehkan orang yang mempunyai sifat itu
mengerjakan sholat dengan pakaian yang dikenakananya di tempat yang ia
gunakan untuk mengerjakan sholat, sedangkan menurut Asy-Syafi’iah
adalah suatu perbuatan yang membolehkan seseorang mengerjakan sholat
seperti whudu, mandi dan menghilangkan najis serta hilangnya hadast,
najis atau semisalnya seperti tayamum dan mandi sunah.
B. Pengertian Wudlu
Wudlu merupakan sebuah rangkaian ibadah bersuci untuk
menghilangkan hadas kecil. Wudlu merupakan syarat sah sholat, yang

2
Allubab Syarh al-Kitab (1/10); dan ad-Dur al-Mukhtar (1/79)
3
kitab al-Mughni (II/12) karya Ibnu Qudamah dan kitab Taudhiihul Ahkam min Buluughil Maraam
karya Abdullah al-Basam (I/87)

3
artinya seseorang dinilai tidak sah sholatnya jika dia melakukan tanpa
berwudlu.4
Sementara menurut istilah fiqih, para ulama mazhab
mendefinisikan wudhu menjadi beberapa pengertian. Mazhab Al-Hanafiah
mendeskripsikan Wudlu adalah membasuh dan menyapu dengan air pada
anggota badan tertentu. Al-Malikiah mendeskripsikan Wudlu adalah
thaharah dengan menggunakan air yang mencakup anggota badan tertentu,
yaitu empat anggota badan, dengan tata cara tertentu.5 Sedangkan Asy-
Syafi’iyah mendeskripsikan Wudhu’ adalah penggunaan air pada
anggotabadan tertentu dimulai dengan niat.6 Serta Hambaliyah
mendeskripsikan Wudhu adalah penggunaan air yang suci pada keempat
anggota tubuh yaitu wajah, kedua tangan,kepala dan kedua kaki, dengan
tata cara tertentu seusai dengan syariah, yang dilakukan secara berurutan
dengan sisa furudh.7
C. Pengertian Mandi
Mandi merupakan aktivitas mengalirkan air pada seluruh anggota
tubuh dengan niat tertentu.8 Menurut arti syara’ mandi adalah sampainya
air yang suci keseluruh badan dengan cara tertentu.
Sedangkan menurut ulama’ bermadzhab Sayafi’i mendefisikan
mandi yaitu mengalirkan air keseluruh badan disertai dengan niat. Adapun
ulama’ bermadzhab Maliki juga membuat suatu pengertian mandi yakni
sampainya air keseluruh badan disertai dengan proses menggosok dengan
niat diperbolehkannya untuk melakukan sholat.
Adapun tujuan dari mandi itu sendiri yaitu selain kita melaksanakan suatu
‘ibadah yang berupa bersuci dari hadats besar, tapi kita juga
membersihkan tubuh kita dari segala kotoran dan itu sangat dianjurkan

4
Yahya Marjuqi, Panduan Fiqih Imam Syafi’i Ringkasan Kitab Fathul Qarib Al-Mujib, Jakarta, Al-
Maghfirah, 2012, hlm. 7.
5
Al-Ikhtiar jilid 1 halaman 7.
6
Asy-Syarhushshaghir wal hasyiatu alaihi jilid 1 halaman 104.
7
Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 47.
8
Yahya Marjuqi, Panduan Fiqih Imam Syafi’i Ringkasan Kitab Fathul Qarib Al-Mujib, Jakarta, Al-
Maghfirah, 2012, hlm. 13.

4
oleh nabi seperti dalam hadist yang artinya “Kesucian adalah sebagian dari
iman”.
D. Pengertian Tayamum
Tayamum secara harfiah memiliki arti menyengaja. Sedangkan
menurut syara, tayamum adalah menempelkan debu yang suci pada wajah
dan tangan sebagai pengganti wudlu, mandi, atau membasuh anggota
tubuh dengan syarat-syarat tertentu.9
Di dalam Kamus Istilah Fiqh pula mendefinisikan tayammum yaitu
menyapukan debu atau tanah ke wajah dan kedua tangan hingga kedua
siku dengan beberapa syarat, yang berfungsi sebagai pengganti wudlu atau
mandi sebagai rukhsah (kemudahan) bagi mereka yang berhalangan atau
tidak dapat menggunakan air.10

9
Yahya Marjuqi, Panduan Fiqih Imam Syafi’i Ringkasan Kitab Fathul Qarib Al-Mujib, Jakarta, Al-
Maghfirah, 2012, hlm. 18.
10
M. Abd. Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi'iyah Am. 1997: 382-383

5
BAB III

ANALISIS

A. Thaharah

Sesungguhnya Islam adalah agama yang suci dan bersih. Tidak ada satupun
agama yang mengatur tentang bersuci sebagaimana agama Islam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ َ ‫إِ َّن هللاَ ي ُِحبُّ الت َّ َّوابِيْنَ َوي ُِحبُّ ْال ُمت‬
َ‫ط ِه ِريْن‬

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai


orang-orang yang mensucikan diri/ berthaharah.” (Al-Baqarah: 222)

Di dalam kitab-kitab fiqih para ulama menempatkan pembahasan Bab


Thaharah dalam bab pertama, sebelum pembahasan yang lainnya. Maka dalam
rubrik ini, kami juga akan mengawali pembahasan tentang masalah Thaharah.

Makna Thaharah

Thaharah menurut arti bahasa adalah pembersihan dari segala kotoran, baik
yang tampak maupun yang tidak tampak. Adapun arti Thaharah secara syariat
adalah meniadakan atau membersihkan hadats dengan air atau debu yang bisa
dipakai untuk menyucikan. Selain itu bermakna juga, usaha untuk menghilangkan
najis dan kotoran. Disini bisa diambil pengertian akhir bahwa Thaharah adalah
melenyapkan sesuatu yang ada di tubuh yang menjadi hambatan bagi pelaksanaan
shalat dan ibadah lainnya.

Pembagian Thaharah

Thaharah terbagi menjadi dua macam yaitu: Thaharah Batin dan Thaharah
Lahir.
Thaharah batin, yaitu Thaharah dari berbagai macam kemusyrikan dan
kemaksiatan. Hal ini bisa dilakukan dengan menguatkan tauhid dan beramal
shalih. Thaharah semacam ini lebih penting daripada Thaharah fisik. Sebab tidak
mungkin Thaharah fisik ini akan bisa terwujud manakala masih adanya najis
kemusyrikan. Allah berfirman:

‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإنَّ َما ْال ُم ْش ِر ُكونَ نَ َجس‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik


itu najis.” (QS. At-Taubah: 28)

6
Sedangkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫ِإ َّن ْال ُمؤْ ِمنَ الَ يَ ْن ُج‬


‫س‬

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari Muslim).

Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk
membersihkan hatinya dari najis kemusyrikan dan keragu-raguan. Yaitu dengan
cara ikhlas, bertauhid dan berkeyakinan serta bertekad untuk bisa membersihkan
diri dan hatinya dari kotoran-kotoran kemaksiatan, pengaruh-pengaruh iri, dengki,
suap, tipu daya, sombong, ujub, riya’ dan sum’ah. Semua ini bisa dilakukan
dengan cara taubat yang sebenar-benarnya dari semua dosa dan maksiat. Dan
thaharah ini merupakan sebagian dari iman.

Adapun sebagian yang lainnya adalah thaharah fisik atau lahir. Thaharah
fisik, yaitu bersuci dari kotoran-kotoran dan najis-najis, dan thaharah ini adalah
separuh keimanan yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bersuci itu separuh dari keimanan.”

Thaharah macam kedua ini dilakukan menurut tata cara yang telah
disyariatkan oleh Allah yaitu dengan cara berwudhu’, mandi atau tayamum
(ketika sedang tidak ada air), serta membersihkan najis dari pakaian, badan, dan
tempat shalat.

Thaharah ini bisa dilakukan dengan dua hal:

Pertama: Thaharah dengan cara menggunakan air, dan inilah cara Thaharah
yang paling pokok. Oleh sebab itu, setiap air yang turun dari langit atau keluar
dari perut bumi adalah air yang menempati asal penciptaannya. Maka hukum air
tersebut adalah suci dan menyucikan dari segala hadats dan kotoran meskipun
sudah mengalami perubahan rasa atau warna atau baunya oleh sebab sesuatu yang
bersih. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Sesungguhnya air itu dapat menyucikan. Yang tidak bisa dibuat najis oleh
sesuatupun.” (HR. Abu Dawud).

Di antara macam-macam air tersebut adalah air hujan, mata air, air sumur, air
sungai, air lembah, air salju yang mencair, dan air laut. Sehubungan dengan air
laut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

7
“Air laut itu bisa menyucikan dan bangkainya pun halal.” (H.R. Abu Dawud)

Adapun berkenaan dengan air zam zam telah ditetapkan oleh suatu hadits dari
Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
meminta dibawakan satu timba dari air zam zam, lalu air tersebut beliau pakai
untuk minum dan untuk berwudu. (HR. Imam Ahmad)

Akan tetapi apabila air itu telah berubah warna, rasa, atau baunya yang
disebabkan oleh benda najis, menurut ijma’ (kesepakatan) para ulama, air itu pun
najis yang harus dihindari yang artinya tidak boleh lagi digunakan untuk bersuci.

Kedua: Thaharah dengan memakai debu yang suci. Thaharah ini merupakan
ganti dari thaharah dengan air oleh sebab tidak memungkinkan bersuci dengan
menggunakan air pada bagian-bagian yang harus disucikan atau karena tidak
adanya air, atau karena takut bahaya yang ditimbulkan jika menggunakan air
sehingga bisa digantikan dengan debu yang suci.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ‫َارى َحتَّى ت َ ْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ َوال ُجنُبًا ِإال َعا ِب ِري‬
‫س ِبي ٍل‬ ُ ‫صالة َ َوأ َ ْنت ُ ْم‬
َ ‫سك‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ال تَ ْق َربُوا ال‬
‫سا َء فَلَ ْم ت َِجد ُوا َما ًء‬َ ِ‫سفَ ٍر أ َ ْو َجا َء أ َ َحد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أَ ْو ال َم ْست ُ ُم الن‬ َ ‫ضى أ َ ْو َعلَى‬ َ ‫َحتَّى ت َ ْغتَ ِسلُوا َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم َم ْر‬
ً ُ‫َّللاَ َكانَ َعفُ ًّوا َغف‬
‫ورا‬ َّ ‫س ُحوا بِ ُو ُجو ِه ُك ْم َوأ َ ْيدِي ُك ْم إِ َّن‬
َ ‫طيِبًا فَا ْم‬ َ ‫ص ِعيدًا‬
َ ‫فَتَيَ َّم ُموا‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu
saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa’ : 43)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Bumi (mana saja)


dijadikan sebagai masjid, dan suci bagiku.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan asal
hadits ini dari Shahih Al Bukhari dan Muslim).

B. Definisi Hadats dan Najis

 Hadats adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak sah melakukan


ibadah tertentu seperti shalat; dapat dibedakan menjadi dua:

8
1. Hadats Kecil: segala sesuatu yang membatalkan wudhu’, seperti kentut,
kencing, buang air besar, dll.
2. Hadats Besar: sesuatu yang menyebabkan mandi besar, seperti mimpi
basah, bersetubuh, haidh, dan nifas.

 Najis adalah sesuatu yang datang dari dalam diri (tubuh) manusia ataupun dari
luar manusia, yang dapat menyebabkan tidak sahnya badan, pakaian, atau
tempat untuk dipakai beribadah; dapat dibedakan menjadi tiga:
1. Najis Mukhaffafah (najis ringan): misalnya air kecing bayi yang belum
berumur 2 tahun dan belum makan apa pun selain air susu ibu.
2. Najis Mutawasithah (najis sedang):
a. Hukmiyah: benda suci yang terkena benda najis dan masih bisa
disucikan (dengan air, dll.).
b. Ainiyah: benda yang pada asalnya dihukumi najis dan tidak bisa
disucikan.
3. Najis Mughalladhoh (najis berat): misalnya air liur/air kencingnya anjing
atau babi, dan atau keturunanya.
Pembahasan dalam makalah ini akan memfokuskan pada jenis thaharah fisik,
yang meliputi wudhu’, mandi wajib (al-ghuslu), dan tayammum.

C. BERWUDHU’

Pengertian Wudhu’

Secara bahasa wudhu’ berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan.


Wudhu’ untuk sholat dikatakan sebagai wudhu’ karena ia membersihkan anggota
wudhu’ dan memperindahnya. Sedangkan pengertian menurut istilah dalam
syari’at, wudhu’ adalah peribadatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan
menggunakan air yang suci dan mensucikan dengan cara yang tertentu di empat
anggota badan yaitu, wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki.

Adapun sebab yang mewajibkan wudhu’ adalah hadats, yaitu apa saja yang
mewajibkan wudhu’ atau mandi. Hadats terbagi menjadi dua macam: hadats
besar, yaitu segala yang mewajibkan mandi; dan hadats kecil, yaitu semua yang
mewajibkan wudhu’.

Adapun dalil wajibnya wudhu’ (apabila berhadats sebelum sholat) adalah


firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

9
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al-Maidah :
6)

Fardhu Wudhu’

Fardhu (rukun) wudhu’ ada 6 (enam), yaitu :

1. Membasuh muka (termasuk berkumur dan memasukkan dan


mengeluarkan air ke dan dari hidung)
2. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku,
3. Mengusap (menyapu) seluruh kepala
4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki,
5. Tertib (berurutan),
6. Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang lain).
Sunnah Wudhu’

Yang termasuk sunnah-sunnah wudhu’ adalah :

1. Bersiwak sebelum berwudhu’


2. Membasuh dua telapak tangan sebanyak tiga kali
3. Bersungguh-sungguh dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali bagi
yang berpuasa
4. Mendahulukan anggota wudhu’ yang kanan
5. Mengulangi setiap basuhan dua kali atau tiga kali
6. Menyela-nyela antara jari-jemari (tangan dan kaki)
7. Menyela-nyela jenggot yang lebat.
8. Menyempurnakan wudhu’
Tata Cara Wudhu’

Adapun tata cara wudhu’ secara ringkas berdasarkan hadits Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari Humraan, budak sahabat Utsman bin
Affan rodhiyallahu ‘anhu,

10
َ َ‫سلَ ُه َما ثَال‬
‫ث‬ َ َ‫ فَغ‬، ‫غ َعلَى يَدَ ْي ِه ِم ْن إِنَائِ ِه‬ َ ‫ فَأ َ ْف َر‬، ٍ‫عثْ َمانَ دَ َعا بِ َوضُوء‬ ُ ‫عثْ َمانَ ب ِْن َعفَّانَ أَنَّهُ َرأَى‬ ُ ‫َع ْن ُح ْم َرانَ َم ْولَى‬
‫س َل َوجْ َههُ ثَالَثًا َو َيدَ ْي ِه إِلَى‬ َ ‫ ث ُ َّم َغ‬، ‫ َوا ْست َ ْنثَ َر‬، َ‫ َوا ْست َ ْنشَق‬، ‫ض‬ َ ‫ض َم‬ ِ ‫ ث ُ َّم أَدْ َخ َل يَ ِمينَهُ فِى ْال َوض‬، ‫ت‬
ْ ‫ ث ُ َّم ت َ َم‬، ‫ُوء‬ ٍ ‫َم َّرا‬
– ‫ى – صلى هللا عليه وسلم‬ َّ ُ‫ْت‬ َ َ ُ ً َ َ
َّ ِ‫ ث َّم قا َل َرأي النب‬، ‫س َل كل ِرجْ ٍل ثالثا‬ َّ ُ َ ُ ْ
َ ‫ ث َّم غ‬، ‫س َح بِ َرأ ِس ِه‬ َ ‫ ث َّم َم‬، ‫ْال ِم ْرفقي ِْن ثالثا‬
ُ ً َ َ َ َ
‫ َغفَ َر‬، ُ‫سه‬ ُ ‫ الَ يُ َحد‬، ‫صلَّى َر ْك َعتَي ِْن‬
َ ‫ِث ِفي ِه َما نَ ْف‬ َ ‫ضأ َ نَحْ َو ُوضُو ِئى َهذَا ث ُ َّم‬ َّ ‫َيت ََوضَّأ ُ نَحْ َو ُوضُو ِئى َهذَا َوقَا َل َم ْن ت ََو‬
‫َّللاُ لَهُ َما تَقَد ََّم ِم ْن ذَ ْن ِب ِه‬
َّ

Dari Humraan -bekas budak Utsman bin Affan-, suatu ketika ‘Utsman
memintanya untuk membawakan air wudhu’ (dengan wadahpent.), kemudian ia
tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangannya. Maka ia membasuh kedua
tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air
wudhu’ kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq dan beristintsar. Lalu beliau
membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian) membasuh kedua tangannya
sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu kepalanya (sekali sajapent.)
kemudian membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali, kemudian beliau
mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu’
dengan wudhu’ yang semisal ini dan beliau shallallahu ‘alaihi was sallam
mengatakan, “Barangsiapa yang berwudhu’ dengan wudhu’ semisal ini kemudian
sholat 2 roka’at (dengan khusyuked.) dan ia tidak berbicara di antara wudhu’ dan
sholatnya maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu”(HR. Bukhari -
Muslim)

Dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan
tata cara wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara ringkas sebagai
berikut,

1. Niat berwudhu’ (dalam hati) untuk menghilangkan hadats


2. Membaca basmallah
3. Membasuh dua telapak sebanyak tiga kali
4. Berkumur sebanyak tiga kali, menghirup air ke hidung (Istinsyaq)
sebanyak tiga kali, dan menyemprotkan air (istin-tsar) dari hidung ke
sebelah kiri
5. Membasuh muka sebanyak tiga kali.
Batasan muka dimulai dari tumbuhnya rambut kepala –menurut kebiasaan-
hingga ke bagian ujung dua tulang rahang dan dagu.

6. Membasuh dua tangan beserta siku sebanyak tiga kali.


Batasan tangan dimulai dari ujung jari-jari tangan (berikut kuku-kukunya)
sampai lengan atas. Sebelum kedua tangan dibasuh, terlebih dahulu
menghilangkan sesuatu yang melekat pada keduanya seperti lumpur dan
celupan yang tebal yang melekat pada kuku agar air sampai ke kulit.

11
7. Menyapu seluruh kepala berikut dua telinga sebanyak satu kali sapuan
dengan air yang baru dan bukan air dari sisa basuhan tangan.
Cara menyapu kepala ialah meletakkan kedua tangan yang sudah dibasahi
degan air yang baru pada bagian depan kepala, lalu melintaskan keduanya
sampai tengkuk lalu mengembalikan keduanya ke tempat semula, lalu
memasukkan dua jari telunjuk kedua lubang telinga dan menyapu bagian
luar telinga dengan dua ibu jari.

8. Membasuh dua kaki beserta dua mata kaki sebanyak tiga kali.
Mata kaki ialah dua tulang yang menonjol pada bagian bawah betis. Bagi
orang yang tangan atau kakinya diamputasi, maka cukup membasuh
bagian yang tersisa dari siku atau kaki.

Setelah selesai berwudhu’ dengan cara-cara tadi, maka arahkanlah pandangan


ke langit (atas) dan ucapkanlah doa, sebagaimana yang diriwayatkan dari
Rasulullah. Doa yang dibaca Nabi setelah selesai wudhu’, diantaranya adalah:

Asyhadu allaa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah wa asyhadu anna


muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh, allahummaj ‘alnii minattawwaabiinaa
waj’alnii minal mutathahhiriin. Subhaanakallahumma wa bihamdika asyhadu
allaa ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik

“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah
yang Maha Esa, Yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku sebagai
bagian dari golongan orang-orang yang (selalu) bertobat serta jadikanlah aku
sebagai bagian dari golongan orang-orang yang selalu bersuci. Maha suci Engkau
ya Allah. Dengan memuji-Mu, bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah
selain Engkau. Aku memohon ampunan dan bertobat kepada-Mu.” (HR. Muslim,
Tirmidzi)

Pembatal Wudhu’

Pembatal pertama: Kencing, buang air besar, dan kentut

Dalil bahwa kencing dan buang air besar merupakan pembatal wudhu dapat
dilihat pada firman Allah Ta’ala,

‫أ َ ْو َجا َء أ َ َحد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط‬

“Atau kembali dari tempat buang air (kakus).”(QS. Al Ma-idah : 6)

12
Yang dimaksud dengan al ghoith dalam ayat ini secara bahasa bermakna
tanah yang rendah yang luas. Al ghoith juga adalah kata kiasan (majaz) untuk
tempat buang air (kakus) dan lebih sering digunakan untuk makna majaz ini.

Sedangkan dalil bahwa kentut (baik dengan bersuara atau pun tidak)
membatalkan wudhu adalah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ساء‬ ُ َ‫ قَا َل َر ُجل ِم ْن َحض َْر َم ْوتَ َما ْال َحد‬. » َ ‫ضأ‬
َ ُ‫ث َيا أ َ َبا ه َُري َْرة َ قَا َل ف‬ َ َ‫صالَة ُ َم ْن أَحْ د‬
َّ ‫ث َحتَّى َيت ََو‬ َ ‫« الَ ت ُ ْق َب ُل‬
‫أ َ ْو ض َُراط‬

“Shalat seseorang yang berhadats tidak akan diterima sampai ia berwudhu.”


Lalu ada orang dari Hadhromaut mengatakan, “Apa yang dimaksud hadats, wahai
Abu Hurairah?” Abu Hurairah pun menjawab,

‫ساء أ َ ْو ض َُراط‬
َ ُ‫ف‬

“Di antaranya adalah kentut tanpa suara atau kentut dengan suara.”(HR.
Bukhari – Muslim).

Pembatal kedua: Keluarnya mani, wadi, dan madzi

Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna
putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak
memiliki bau yang khas.

Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika
bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika
berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar
tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan
sama-sama bisa memiliki madzi.

Adapun mani, sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, bisa dibedakan


dari madzi dan wadi dengan melihat ciri-ciri mani yaitu:

[1] baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau telur
ketika kering,

[2] airnya keluar dengan memancar,

[3] keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas).

Jika salah satu syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut disebut mani.
Wanita sama halnya dengan laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita tidak

13
disyaratkan air mani tersebut memancar sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi
dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah.

Wadi dan madzi najis. Sedangkan mani -menurut pendapat yang lebih kuat-
termasuk zat yang suci. Cara mensucikan pakaian yang terkena madzi dan wadi
adalah dengan cara diperciki. Sedangkan mani cukup dengan dikerik.

Jika keluar mani, maka seseorang diwajibkan untuk mandi. Mani bisa
membatalkan wudhu berdasarkan kesepakatan para ulama dan segala sesuatu yang
menyebabkan mandi termasuk pembatal wudhu.

Adapun madzi bisa membatalkan wudhu’, berdasarkan hadits tentang cerita


‘Ali bin Abi Tholib. ‘Ali mengatakan,

َ‫َان ا ْبنَتِ ِه فَأ َ َم ْرتُ ْال ِم ْقدَادَ بْن‬


ِ ‫ ِل َمك‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ َّ ‫ُك ْنتُ َر ُجالً َمذَّا ًء َو ُك ْنتُ أَ ْستَحْ ِيى أَ ْن أ َ ْسأ َ َل النَّ ِب‬
ُ ‫سأَلَهُ فَقَا َل َي ْغ ِس ُل ذَك ََرهُ َو َيت ََوضَّأ‬َ َ‫األَس َْو ِد ف‬.

“Aku termasuk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu
menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikarenakan
kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al
Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Cucilah kemaluannya
kemudian suruh ia berwudhu”.”(HR. Bukhari – Muslim)

Sedangkan wadi semisal dengan madzi sehingga perlakuannya sama dengan


madzi.

Pembatal ketiga: Tidur lelap (dalam keadaan tidak sadar)

Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur lelap yang tidak lagi dalam
keadaan sadar. Maksudnya, ia tidak lagi mendengar suara, atau tidak merasakan
lagi sesuatu jatuh dari tangannya, atau tidak merasakan air liur yang menetes.
Tidur seperti inilah yang membatalkan wudhu’, baik tidurnya dalam keadaan
berdiri, berbaring, ruku’ atau sujud. Karena tidur semacam ini yang dianggap
mazhonnatu lil hadats, yaitu kemungkinan muncul hadats.

Sedangkan tidur yang hanya sesaat yang dalam keadaan kantuk, masih sadar
dan masih merasakan merasakan apa-apa, maka tidur semacam ini tidak
membatalkan wudhu. Inilah pendapat yang bisa menggabungkan dalil-dalil yang
ada.

Di antara dalil hal ini adalah hadits dari Anas bin Malik,

َّ ‫صلُّونَ َوالَ يَت ََو‬


َ‫ضئُون‬ َ ُ‫ يَنَا ُمونَ ث ُ َّم ي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ِل‬ ْ َ ‫َكانَ أ‬
ُ ‫ص َحابُ َر‬

14
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ketiduran
kemudian mereka pun melakukan shalat, tanpa berwudhu lagi.” (HR. Muslim)

Pembatal keempat: Hilangnya akal karena mabuk, pingsan dan gila. Ini
berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Hilang kesadaran pada kondisi
semacam ini tentu lebih parah dari tidur.

Pembatal kelima: Memakan daging unta.

Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Samuroh,

‫وم ْالغَن َِم قَا َل « ِإ ْن ِشئْتَ فَت ََوضَّأ ْ َو ِإ ْن‬ِ ‫ أَأَت ََوضَّأ ُ ِم ْن لُ ُح‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سأ َ َل َر‬
َ ً‫أََ َّن َر ُجال‬
.» ‫اإل ِب ِل‬
ِ ‫وم‬ ْ
ِ ‫اإل ِب ِل قَا َل « َن َع ْم فَت ََوضَّأ ِم ْن لُ ُح‬
ِ ‫وم‬ ْ
ِ ‫ قَا َل أَت ََوضَّأ ُ ِم ْن لُ ُح‬.» ‫ِشئْتَ فَالَ ت ََوضَّأ‬

“Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,


“Apakah aku mesti berwudhu setelah memakan daging kambing?” Beliau
bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak
mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah seseorang
mesti berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau bersabda, “Iya, engkau
harus berwudhu setelah memakan daging unta.”(HR. Muslim)

Inilah beberapa hal yang disepakati sebagai pembatal wudhu’. Sebagian


lainnya adalah pembatal wudhu’ yang masih diperselisihkan di antara para
‘ulama.

D. MANDI WAJIB

Pengertian Mandi Wajib (Al-Ghuslu)

Yang dimaksud dengan al ghuslu secara bahasa adalah mengalirkan air pada
sesuatu. Sedangkan yang dimaksud dengan al ghuslu secara syari’at adalah
menuangkan air ke seluruh badan dengan tata cara yang khusus untuk
menghilangkan hadats besar.

Beberapa Hal yang Mewajibkan untuk Mandi (al ghuslu)

Pertama: Keluarnya mani dengan syahwat (junub).

Dalil bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah
Ta’ala,
َّ ‫َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم ُجنُبًا فَا‬
‫ط َّه ُروا‬

“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)

15
َ ‫َارى َحتَّى ت َ ْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ َو َال ُجنُبًا إِ َّال َعابِ ِري‬
‫سبِي ٍل‬ ُ ‫ص َالة َ َوأ َ ْنت ُ ْم‬
َ ‫سك‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا َال تَ ْق َربُوا ال‬
‫َحتَّى ت َ ْغتَ ِسلُوا‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan (jangan
pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)

Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri
radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫إِنَّ َما ْال َما ُء ِمنَ ْال َم‬


‫اء‬

“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air


(mani).” (HR. Muslim)

Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia


berkata,

َ‫َّللاَ ال‬
َّ ‫ ِإ َّن‬، ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو َل‬ ْ َ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – فَقَال‬
ُ ‫ت يَا َر‬ َّ ‫سو ِل‬ُ ‫ط ْل َحةَ ِإلَى َر‬ ُ ‫ت أ ُ ُّم‬
َ ‫سلَي ٍْم ا ْم َرأَة ُ أ َ ِبى‬ ْ ‫َجا َء‬
‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – نَ َع ْم‬ َّ ‫سو ُل‬ ْ ‫ِى احْ تَلَ َم‬
ُ ‫ت فَقَا َل َر‬ َ ‫غ ْس ٍل ِإذَا ه‬ ْ
ُ ‫ ه َْل َعلَى ال َم ْرأَةِ ِم ْن‬، ‫ق‬ ْ
ِ ‫يَ ْستَحْ ِيى ِمنَ ال َح‬
ْ
‫ت ال َما َء‬ِ َ ‫ِإذَا َرأ‬

“Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang menemui Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia
bermimpi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat
air.” (HR. Bukhari - Muslim)

Kedua: Bertemunya dua kemaluan (laki-laki dan perempuan), walaupun tidak


keluar mani.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda,

‫ب ْالغَ ْس ُل‬
َ ‫ فَقَدْ َو َج‬، ‫شعَبِ َها األ َ ْربَعِ ث ُ َّم َج َهدَهَا‬ َ َ‫إِذَا َجل‬
ُ َ‫س بَيْن‬

“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya:


menyetubuhi istrinya,pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib
baginya mandi.” (HR. Bukhari - Muslim)

Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,

‫َو ِإ ْن لَ ْم يُ ْن ِز ْل‬

16
“Walaupun tidak keluar mani.”

Ketiga: Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.

Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,

ْ ‫صالَة َ َوإِذَا أَدْبَ َر‬


َ ‫ت فَا ْغ ِس ِلى َع ْن ِك الد ََّم َو‬
‫ص ِلى‬ َ ‫ت ْال َح ْي‬
َّ ‫ضةُ فَد َ ِعى ال‬ ِ َ‫فَإِذَا أ َ ْقبَل‬

“Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila


darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR.
Bukhari - Muslim).

Untuk nifas dihukumi sama dengan haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan)


para ulama. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Mengenai wajibnya mandi
karena berhentinya darah haidh tidak ada perselisihan di antara para ulama. Yang
menunjukkan hal ini adalah dalil Al Qur’an dan hadits mutawatir (melalui jalur
yang amat banyak). Begitu pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai
wajibnya mandi ketika berhenti dari darah nifas.”

Keempat: Ketika orang kafir masuk Islam.

Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin ‘Ashim
radhiyallahu ‘anhu,

‫سلَّ َم أ َ ْن يَ ْغتَ ِس َل ِب َماءٍ َو ِسد ٍْر‬ َّ ‫صلَّى‬


َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُّ ‫أَنَّهُ أ َ ْسلَ َم فَأ َ َم َرهُ النَّ ِب‬
َ ‫ي‬

“Bahwasanya dia (Qois) masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).”
(HR. An Nasa’i, At Tirmidzi, Ahmad).

Perintah yang berlaku untuk Qois di sini berlaku pula untuk yang lainnya.
Dalam kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib. ‘Ulama yang mewajibkan
mandi ketika seseorang masuk Islam di antaranya adalah Imam Malik dan Imam
Ahmad bin Hanbal.

Kelima: Karena kematian.

Yang dimaksudkan wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang hidup,
maksudnya orang yang hidup wajib memandikan orang yang mati. Jumhur
(mayoritas) ulama menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya
fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain
gugur kewajibannya. Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang
mati, baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, orang merdeka atau

17
budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang yang mati di medan
perang ketika berperang dengan orang kafir.

Dalil mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya adalah perintah


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para
wanita yang melayat untuk memandikan anaknya,

ً ‫ا ْغس ِْلنَ َها ثَالَثًا أ َ ْو َخ ْم‬


‫سا أَ ْو أَ ْكث َ َر َم ْن ذَلِكَ إِ ْن َرأ َ ْيت ُ َّن ذَلِكَ ِب َماءٍ َو ِسد ٍْر‬

“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara


tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah
yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (HR. Bukhari - Muslim).

Rukun Mandi

1. Niat mandi (dalam hati) untuk menghilangkan hadats besar.


2. Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu
mengenai rambut dan kulit.
Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang
menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

َ ‫يض ْال َما َء َعلَى َج‬


‫س ِد ِه ُك ِل ِه‬ ُ ‫ث ُ َّم يُ ِف‬

“Kemudian beliau (Rasulullah) mengguyur air pada seluruh badannya.”


(HR. An Nasa-i)

Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah


radhiyallahu ‘anha. Ia mengatakan,

‫يك أ َ ْن تَحْ ثِى‬ ُ ُ‫ض ْف َر َرأْ ِسى فَأ َ ْنق‬


ِ ‫ضهُ ِلغُ ْس ِل ْال َجنَابَ ِة قَا َل « الَ إِ َّن َما َي ْك ِف‬ َ ُّ‫شد‬ ُ َ ‫َّللاِ إِنِى ا ْم َرأَة أ‬ ُ ‫قُ ْلتُ يَا َر‬
َّ ‫سو َل‬
.» َ‫ط ُه ِرين‬ ْ َ ‫يضينَ َعلَي ِْك ْال َما َء فَت‬ِ ‫ت ث ُ َّم ت ُ ِف‬
ٍ ‫ث َحثَيَا‬َ َ‫َعلَى َرأْ ِس ِك ثَال‬

“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang


rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi
junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu
mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya
dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim)

Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah,
asalkan disertai niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di

18
pancuran atau shower dan air mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah
dianggap sah.

Tata Cara Mandi yang Sempurna

Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini
dilakukan, maka akan membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil
dari bahasan ini adalah dua dalil yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari
Maimunah.

Hadits pertama:

َ َ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – َكانَ ِإذَا ا ْغت‬


َ‫س َل ِمن‬ َّ ‫شةَ زَ ْوجِ النَّ ِب ِى – صلى هللا عليه وسلم – أ َ َّن النَّ ِب‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬
‫ش َع ِر ِه‬
َ ‫صو َل‬ُ ُ ‫ فَيُ َخ ِل ُل ِب َها أ‬، ‫اء‬ ِ ‫صا ِب َعهُ فِى ْال َم‬َ َ ‫ ث ُ َّم يُد ِْخ ُل أ‬، ِ‫صالَة‬ َّ ‫ ث ُ َّم َيت ََوضَّأ ُ َك َما َيت ََوضَّأ ُ ِلل‬، ‫س َل َيدَ ْي ِه‬
َ َ‫ْال َجنَا َب ِة َبدَأَ فَغ‬
‫يض ْال َما َء َعلَى ِج ْل ِد ِه ُك ِل ِه‬ ُ ‫ ث ُ َّم يُ ِف‬، ‫غ َرفٍ ِب َيدَ ْي ِه‬ ُ ‫ث‬ ْ
َ َ‫صبُّ َعلَى َرأ ِس ِه ثَال‬ ُ ‫ث ُ َّم َي‬

“Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci
kedua telapak tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk
shalat. Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya
ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan
kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke
seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari - Muslim)

Hadits kedua:

َ ‫ فَأ َ ْف َر‬، ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – َما ًء َي ْغت َ ِس ُل ِب ِه‬
‫غ‬ َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫ض ْعتُ ِل َر‬ َ ‫ت َم ْي ُمونَةُ َو‬ ْ ‫َّاس قَا َل قَا َل‬
ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعب‬
ُ‫ ث ُ َّم دَلَكَ َيدَه‬، ُ‫يره‬ َ ‫س َل َمذَا ِك‬ َ َ‫ فَغ‬، ‫غ ِب َي ِمي ِن ِه َعلَى ِش َما ِل ِه‬ َ ‫ ث ُ َّم أ َ ْف َر‬، ‫سلَ ُه َما َم َّرتَي ِْن َم َّرتَي ِْن أ َ ْو ثَالَثًا‬
َ َ‫ فَغ‬، ‫َعلَى َيدَ ْي ِه‬
‫ ث ُ َّم تَنَ َّحى‬، ‫س ِد ِه‬ َ ‫غ َعلَى َج‬ َ ْ‫س َل َرأ‬
َ ‫ ث ُ َّم أَ ْف َر‬، ‫سهُ ثَالَثًا‬ َ ‫س َل َوجْ َههُ َو َيدَ ْي ِه ث ُ َّم َغ‬ َ ‫ ث ُ َّم َغ‬، َ‫ض َوا ْستَ ْنشَق‬ َ ‫ض َم‬ ْ ‫ ث ُ َّم َم‬، ‫ض‬ ِ ‫ِباأل َ ْر‬
‫س َل قَدَ َم ْي ِه‬َ َ‫ام ِه فَغ‬ ِ َ‫ِم ْن َمق‬

Dari Ibnu ‘Abbas (dia) berkata, bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah
menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu
beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-
dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air
pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu
beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan
memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua
tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur
seluruh badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci
kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari - Muslim)

Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan
sebagai berikut.

19
Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan
tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.

Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.

Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan


menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan sabun.

Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak


shalat.

Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke
pangkal rambut.

Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.

Ketujuh: Menyela-nyela rambut.

Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,

‫صالَةِ ث ُ َّم‬ َّ ‫ضأ َ ُوضُو َءهُ ِلل‬ َّ ‫ َوت ََو‬، ‫س َل يَدَ ْي ِه‬ َ ‫س َل ِمنَ ْال َجنَابَ ِة‬
َ ‫غ‬ َ َ ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – ِإذَا ا ْغت‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َكانَ َر‬
‫ ث ُ َّم‬، ‫ت‬ َ َ‫اض َعلَ ْي ِه ْال َما َء ثَال‬
ٍ ‫ث َم َّرا‬ َ َ‫ أَف‬، ُ‫ظ َّن أ َ ْن قَدْ أ َ ْر َوى بَش ََرتَه‬ َ ‫ ث ُ َّم يُ َخ ِل ُل ِبيَ ِد ِه‬، ‫س َل‬
َ ‫ َحتَّى ِإذَا‬، ُ‫ش َع َره‬ َ َ ‫ا ْغت‬
‫س ِد ِه‬
َ ‫سائِ َر َج‬
َ ‫س َل‬ َ ‫َغ‬

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci


tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau
mandi dengan menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga
bila telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau
mengguyurkan air ke atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan
lainnya.” (HR. Bukhari)

Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan
setelah itu yang kiri.

Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

‫شأْنِ ِه ُك ِل ِه‬
َ ‫ور ِه َوفِى‬ ُ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – يُ ْع ِجبُهُ التَّيَ ُّمنُ فِى ت َ َنعُّ ِل ِه َوت ََر ُّج ِل ِه َو‬
ِ ‫ط ُه‬ ُّ ِ‫َكانَ النَّب‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika
memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara
(yang baik-baik).” (HR. Bukhari - Muslim)

Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir
(tekstual) hadits yang membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu

20
pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.

Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?

Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang
diterangkan di atas sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Ummu Salamah,
“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut
kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau
bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu
tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.”
(HR. Muslim)

Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub
namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini:

Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

‫يض فَقَا َل « تَأ ْ ُخذ ُ ِإحْ دَا ُك َّن َما َءهَا َو ِسد َْرتَ َها‬ ِ ‫غ ْس ِل ْال َم ِح‬ ُ ‫ع ْن‬ َ -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ َّ ‫ت النَّ ِب‬ِ َ‫سأَل‬
َ ‫أ َ َّن أ َ ْس َما َء‬
‫صبُّ َعلَ ْي َها‬ ْ
ُ َ‫شئُونَ َرأ ِس َها ث ُ َّم ت‬ ُ ‫شدِيدًا َحتَّى تَ ْبلُ َغ‬ ْ ْ
َ ‫صبُّ َعلَى َرأ ِس َها فَتَدْلُ ُكهُ دَل ًكا‬ ُ َ ‫ور ث ُ َّم ت‬
َ ‫ط ُه‬ ُّ ‫ط َّه ُر فَتُحْ ِسنُ ال‬َ َ ‫فَت‬
َ‫ط َّه ِرين‬َ َ‫َّللاِ ت‬
َّ َ‫س ْب َحان‬ ُ « ‫ط َّه ُر ِب َها فَقَا َل‬ َ َ ‫ْف ت‬ َ
َ ‫ت أ ْس َما ُء َو َكي‬ ْ َ‫ فَقَال‬.» ‫ط َّه ُر ِب َها‬ ً
َ َ ‫س َكة فَت‬ ً
َّ ‫صة ُم َم‬ ْ
َ ‫ ث ُ َّم ت َأ ُخذُ فِ ْر‬.‫ْال َما َء‬
.‫شةُ َكأ َ َّن َها ت ُ ْخ ِفى ذَلِكَ تَتَبَّعِينَ أَث َ َر الد َِّم‬ ْ َ‫ فَقَال‬.» ‫ِب َها‬
َ ِ‫ت َعائ‬

ُ َ‫ور – ث ُ َّم ت‬
‫صبُّ َعلَى‬ ُّ ‫ور – أ َ ْو ت ُ ْب ِل ُغ ال‬
َ ‫ط ُه‬ َ ‫ط ُه‬ ُّ ‫ط َّه ُر َفتُحْ ِسنُ ال‬ َ َ ‫غ ْس ِل ْال َجنَابَ ِة فَقَا َل « ت َأ ْ ُخذ ُ َما ًء فَت‬
ُ ‫سأَلَتْهُ َع ْن‬
َ ‫َو‬
» ‫يض َعلَ ْي َها ْال َما َء‬ ‫ف‬ُ ‫ت‬ ‫م‬ُ ‫ث‬
ُ ِ َّ َ ِ َ َ‫ون‬ ‫ا‬ ‫ه‬‫س‬ْ ‫أ‬ ‫ر‬ ُ ‫ئ‬‫ش‬ُ َ
‫غ‬ ُ ‫ل‬ ‫ب‬
ْ َ ‫ت‬ ‫ى‬َّ ‫ت‬‫ح‬َ ُ ‫ه‬ ُ
‫ك‬ ُ ‫ل‬ ْ ‫د‬َ ‫ت‬َ ‫ف‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫س‬ ْ
َ ِ َ ‫أ‬ ‫ر‬

“Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi


wanita haidh. Maka beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian hendaklah
mengambil air dan daun bidara, lalu engkau bersuci, lalu membaguskan
bersucinya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya,
lalu menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut
kepalanya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya
tadi. Kemudian engkau mengambil kapas bermisik, lalu bersuci dengannya“.

Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana dia bersuci dengannya (kapas bermisik)?”

Beliau bersabda, “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.”

Lalu Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu
bekas-bekas darah haidh yang ada (dengan kapas tadi)”.

Dan dia (Asma’) bertanya kepada beliau (Rasulullah) tentang mandi junub,
maka beliau bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan

21
sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci kemudian kamu
siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar
kepalanya, kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR. Bukhari - Muslim)

Kedua: Melepas kepangan rambut sehingga air sampai ke pangkal rambut.

Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,

‫شئُونَ َرأْ ِس َها‬ َ ‫صبُّ َعلَى َرأْ ِس َها فَتَدْلُ ُكهُ دَ ْل ًكا‬
ُ ‫شدِيدًا َحتَّى ت َ ْبلُ َغ‬ ُ َ ‫ث ُ َّم ت‬

“Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu


menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut
kepalanya.”

Dalil tersebut menunjukkan bahwa pada mandi karena haidh tidak cukup
dengan hanya mengalirkan air seperti halnya mandi junub. Sedangkan
mengenai mandi junub disebutkan,

ُ ‫شئُونَ َرأْ ِس َها ث ُ َّم ت ُ ِف‬


‫يض َعلَ ْي َها ْال َما َء‬ ُ ‫صبُّ َعلَى َرأْ ِس َها فَتَدْلُ ُكهُ َحتَّى ت َ ْبلُ َغ‬
ُ َ ‫ث ُ َّم ت‬

“Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga


mencapai dasar kepalanya, kemudian mengguyurkan air padanya.”

Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal


ini menunjukkan bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.

Ketiga: Ketika mandi seusai masa haidh, seorang wanita disunnahkan


membawa kapas atau potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah
guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain itu, disunnahkan mengusap bekas darah
pada kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau parfum lainnya. Hal ini
dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena bekas darah
haidh. Dalilnya sebagaimana hadits ‘Aisyah tentang pertanyaan Asma’ di atas.

E. TAYAMMUM

Pengertian Tayammum

Tayammum secara bahasa diartikan sebagai Al Qosdu (ُ ‫صد‬ ْ ‫ )ال َق‬yang berarti
maksud. Sedangkan secara istilah dalam syari’at adalah sebuah peribadatan
kepada Allah berupa mengusap wajah dan kedua tangan dengan menggunakan
sho’id yang bersih. Sho’id adalah seluruh permukaan bumi yang dapat digunakan
untuk bertayammum, baik yang terdapat tanah di atasnya ataupun tidak.

Dalil Disyari’atkannya Tayammum

22
Tayammum disyari’atkan dalam Islam berdasarkan dalil Al Qur’an, As
Sunnah dan Ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Adapun dalil dari Al Qur’an
adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla,

‫سا َء فَلَ ْم ت َِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬َ ِ‫سفَ ٍر أ َ ْو َجا َء أ َ َحد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أ َ ْو َال َم ْست ُ ُم الن‬
َ ‫ضى أ َ ْو َعلَى‬
َ ‫َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم َم ْر‬
َ
ُ‫س ُحوا ِب ُو ُجو ِه ُك ْم َوأ ْيدِي ُك ْم ِم ْنه‬َ ‫طيِبًا فَا ْم‬َ ‫ص ِعيدًا‬ َ

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang
air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (QS. Al Maidah : 6).

Adapun dalil dari As Sunnah adalah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi was
sallam dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiyallahu ‘anhu,

« ‫ورا ِإذَا لَ ْم ن َِج ِد ْال َما َء‬ َ ‫ت ت ُ ْر َبت ُ َها لَنَا‬


ً ‫ط ُه‬ ْ َ‫» َو ُج ِعل‬

“Dijadikan bagi kami (ummat Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi was


sallam) permukaan bumi sebagai thohur/sesuatu yang digunakan untuk bersuci
(tayammum) jika kami tidak menjumpai air”. (HR. Muslim)

Alat untuk Tayammum

Media (alat) yang dapat digunakan untuk bertayammum adalah seluruh


permukaan bumi yang bersih, baik itu berupa pasir, bebatuan, tanah yang berair,
lembab ataupun kering. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was
sallam dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiyallahu ‘anhu di atas dan secara
khusus,

َ ‫ض ُكلُّ َها ِلى َوأل ُ َّمتِى َمس ِْجدا ً َو‬


ً ‫ط ُهورا‬ ُ ‫ت األ َ ْر‬
ِ َ‫ُج ِعل‬

“Dijadikan (permukaan, pent.) bumi seluruhnya bagiku (Nabi shollallahu


‘alaihi was sallam) dan ummatku sebagai tempat untuk sujud dan sesuatu yang
digunakan untuk bersuci”(HR. Ahmad)

Jika ada orang yang mengatakan bukankah dalam sebuah hadits dari
Hudzaifah ibnul Yaman, Nabi mengatakan tanah?! Maka kita katakan
sebagaimana yang dikatakan oleh Ash Shon’ani rohimahullah, “Penyebutan
sebagian anggota lafadz umum bukanlah pengkhususan”. Hal ini merupakan
pendapat Al Auzaa’i, Sufyan Ats Tsauri Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah.

Keadaan yang Membolehkan Tayammum

Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan


beberapa keadaan yang dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan tayammum,

23
 Jika tidak ada air baik dalam keadaan safar/dalam perjalanan ataupun
tidak.
 Terdapat air (dalam jumlah terbatas pent.) bersamaan dengan adanya
kebutuhan lain yang memerlukan air tersebut semisal untuk minum dan
memasak.
 Adanya kekhawatiran jika bersuci dengan air akan membahayakan badan
atau semakin lama sembuh dari sakit.
 Ketidakmampuan menggunakan air untuk berwudhu dikarenakan sakit dan
tidak mampu bergerak untuk mengambil air wudhu dan tidak adanya
orang yang mampu membantu untuk berwudhu bersamaan dengan
kekhawatiran habisnya waktu sholat.
 Khawatir kedinginan jika bersuci dengan air dan tidak adanya yang dapat
menghangatkan air tersebut.
Tata Cara Tayammum

Tata cara tayammum Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dijelaskan hadits
‘Ammar bin Yasir rodhiyallahu ‘anhu,

‫ص ِعي ِد َك َما‬َّ ‫ فَت َ َم َّر ْغتُ فِى ال‬، ‫ فَلَ ْم أ َ ِج ِد ْال َما َء‬، ُ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – فِى َحا َج ٍة فَأَجْ نَبْت‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫بَعَثَنِى َر‬
‫ب‬
َ ‫ض َر‬َ َ‫ ف‬. » ‫صنَ َع َه َكذَا‬ ْ َ‫ فَذَك َْرتُ ذَلِكَ ِللنَّبِ ِى – صلى هللا عليه وسلم – فَقَا َل « إِنَّ َما َكانَ يَ ْكفِيكَ أَ ْن ت‬، ُ‫غ الدَّابَّة‬ ُ ‫تَ َم َّر‬
‫س َح بِ ِه َما‬ َ ‫ أَ ْو‬، ‫ظ ْه َر ك َِف ِه بِشِ َما ِل ِه‬
َ ‫ ث ُ َّم َم‬، ‫ظ ْه َر ِش َما ِل ِه بِك َِف ِه‬ َ ‫ ث ُ َّم َم‬، ‫ض َها‬
َ ‫س َح بِ َها‬ ِ ‫ض ْربَةً َعلَى األ َ ْر‬
َ َ‫ض ث ُ َّم نَف‬ َ ‫بِك َِف ِه‬
ُ‫َوجْ َهه‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengutusku untuk suatu


keperluan, kemudian aku mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka
aku berguling-guling di tanah sebagaimana layaknya hewan yang berguling-
guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam. Lantas beliau mengatakan, “Sesungguhnya cukuplah engkau
melakukannya seperti ini”. Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke
permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap
punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan mengusap
punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau
mengusap wajahnya dengan kedua tangannya (HR. Bukhari – Muslim)

Dan dalam salah satu lafadz riwayat Bukhori,

ِ ‫س َح َوجْ َههُ َو َك َّف ْي ِه َو‬


ً ‫احدَة‬ َ ‫َو َم‬

“Dan beliau mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya dengan


sekali usapan”.

Berdasarkan hadits di atas kita dapat simpulkan bahwa tata cara tayammum
beliau shallallahu ‘alaihi was sallam adalah sebagai berikut.

24
 Memukulkan kedua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali
pukulan, kemudian meniupnya.
 Kemudian menyapu punggung telapak tangan kanan dengan tangan kiri
dan sebaliknya.
 Kemudian menyapu wajah dengan dua telapak tangan.
 Semua usapan baik ketika mengusap telapak tangan dan wajah dilakukan
sekali usapan saja.
 Bagian tangan yang diusap adalah bagian telapak tangan sampai
pergelangan tangan saja, atau dengan kata lain tidak sampai siku seperti
pada saat wudhu.
 Tidak wajibnya urut/tertib dalam tayammum.
 Tayammum dapat menghilangkan hadats besar semisal janabah (junub),
demikian juga untuk hadats kecil.
Pembatal Tayammum

Pembatal tayammum adalah sebagaimana pembatal wudhu. Demikian juga


tayammum tidak dibolehkan lagi apabila dalam kondisi berikut:

 Telah ditemukan air bagi orang yang bertayammum karena ketidakadaan


air,
 Telah adanya kemampuan menggunakan air,
 Tidak sakit lagi bagi orang yang bertayammum karena ketidakmampuan
menggunakan air.
Akan tetapi shalat atau ibadah lainnya yang telah ia kerjakan sebelumnya sah
dan tidak perlu mengulanginya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu,

‫ ث ُ َّم َو َجدَا‬، ‫صلَّيَا‬ َ ‫ص ِعيدًا‬


َ َ‫ ف‬، ‫طيِبًا‬ َ ‫ْس َمعَ ُه َما َماء – فَتَيَ َّم َما‬ َ ‫ص َالة ُ – َولَي‬
َّ ‫ت ال‬ ْ ‫ض َر‬ َ ‫ فَ َح‬، ‫سفَ ٍر‬ َ ‫خ ََر َج َر ُج َال ِن فِي‬
‫سلَّ َم‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ ث ُ َّم أَتَيَا َر‬، ‫ َولَ ْم يُ ِعدْ ْاْلخ َُر‬، ‫ص َالة َ َو ْال ُوضُو َء‬ ِ ‫ْال َما َء فِي ْال َو ْق‬
َّ ‫ فَأ َ َعادَ أ َ َحد ُ ُه َما ال‬، ‫ت‬
‫ لَك ْاألَجْ ُر َم َّرتَي ِْن‬: ‫ص َالتُك َوقَا َل ِل ْْلخ َِر‬ َ ‫سنَّةَ َوأَجْ زَ أَتْك‬ ُّ ‫صبْت ال‬َ َ‫ أ‬: ْ‫ فَقَا َل ِللَّذِي لَ ْم يُ ِعد‬، ُ‫فَذَك ََرا ذَلِكَ لَه‬

“Dua orang lelaki keluar untuk safar. Kemudian tibalah waktu shalat dan
tidak ada air di sekitar mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan
permukaan bumi yang suci lalu keduanya shalat. Setelah itu keduanya
menemukan air sedangkan saat itu masih dalam waktu yang dibolehkan shalat
yang telah mereka kerjakan tadi. Lalu salah seorang dari mereka berwudhu dan
mengulangi shalat sedangkan yang lainnya tidak mengulangi shalatnya.
Keduanya lalu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan menceritakan
yang mereka alami. Maka beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan
kepada orang yang tidak mengulang shalatnya, “Apa yang kamu lakukan telah

25
sesuai dengan sunnah dan kamu telah mendapatkan pahala shalatmu”. Beliau
mengatakan kepada yang mengulangi shalatnya, “Untukmu dua pahala” (HR.
Abu Dawud, An Nasa’i).

Juga hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Huroiroh
rodhiyallahu ‘anhu,

َّ ‫َّللاَ َو ْلي ُِم‬


ُ‫سهُ َبش ََرتَه‬ َّ ‫ق‬ ِ َّ‫فَإ ِذَا َو َجدَ ْال َما َء فَ ْل َيت‬. َ‫ َو ِإ ْن لَ ْم َي ِجدْ ْال َما َء َع ْش َر ِسنِين‬، ‫ص ِعيد ُ ُوضُو ُء ْال ُم ْس ِل ِم‬
َّ ‫ال‬

“Seluruh permukaan bumi (tayammum) merupakan wudhu bagi seluruh


muslim jika ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun (sebagai kiasan, bukan
pembatasan angka), apabila ia telah menemukannya hendaklah ia bertaqwa
kepada Allah dan menggunakannya sebagai alat untuk bersuci” (HR. Ahmad,
Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa’i, dan selainnya).

26
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Thaharah adalah tindakan membersihkan atau
menyucikan diri dari hadast dan najis. Thaharah atau Bersuci beberapa
macam-macamnya adalah wudlu, mandi, dan tayamum.
Wudlu merupakan sebuah rangkaian ibadah bersuci untuk
menghilangkan hadas kecil. Wudlu merupakan syarat sah sholat, yang
artinya seseorang dinilai tidak sah shalatnya jika dia melakukan tanpa
berwudlu. Yang didalamnya ada ketentuan atau syarat-syarat serta rukun
dan hal-hal yang merusak wudlu.
Mandi adalah aktivitas mengalirkan air pada seluruh tubuh dengan
niat tertentu. Sedangkan tayamum adalah mengusapkan tanah ke muka dan
kedua tangan sampai siku dengan beberapa syarat. Tayamum adalah
pengganti wudlu atau mandi, sebagai rukhsah (keringanan) untuk orang
yang tidak dapat memakai air karena beberapa halangan (uzur), yaitu Uzur
karena sakit, karena dalam perjalanan dan karena tidak ada air.
B. Saran
1. Dalam kehidupan sehari-hari tentu umat muslim tidak terlepas dari
thaharah atau bersuci yang didalamnya terdapat macam-macamnya
seperti wudlu, mandi dan tayamum, untuk itu aplikasikan ilmu sesuai
dengan syariat islam, dan tentunya menyempurnakan ibadah kita
terhadap Allah swt.
2. Dalam kehidupan tidaklah semuanya sefaham, dalam ilmu fiqh pun
mengenal beberapa mazhab yang terkenal seperti Mazhab Hanafi,
Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanbali. Hal ini
menyebabkan beberapa perbedaan didalam mazhabnya termasuk
perbedaan dalam fiqh ibadah, namun semua itu kembali pada diri
setiap individu umat muslim mana yang dipilihnya, karena setiap
mazhab sama-sama bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist, dan
dibantu pula dengan Ijma’ dan Qiyas.

27

Anda mungkin juga menyukai