Anda di halaman 1dari 9

ULKUS MOLE

A. Etiologi
Haemophilus ducreyi adalah obligat bakteri patogen pada manusia,
tidak ada laporan tentang reservoir lain selain manusia. Dikelompokkan dalam
genus Haemophilus karena ukuran mikroskopis dan pleiomorfik, dan
kebutuhannya akan faktor X dan derivatnya untuk tumbuh. H. ducreyi adalah
basil pendek gram negatif, fakultatif anaerobik, yang membutuhkan hemin
(faktor X) untuk pertumbuhan, ramping dengan ujung membulat, tidak
bergerak dan tidak membentuk spora, mereduksi nitrat menjadi nitrit,
memiliki DNA berisi guanosine-sitosin fraksi 0.38 mole, sekuetrasi RNA
terdiri atas 1.7Mb kromosom dan 1693 fragmen terbuka, dapat mengeluarkan
toksin hemolysin dan cytolethal distending toxin (CDT), thermolabil (mati
pada suhu di atas 35ºC). Basil seringkali berkelompok, berderet membentuk
rantai, terutama dapat dilihat pada biakan sehingga disebut juga
Streptobacillus. Basil ini pada lesi terbuka di sekitar genital sukar ditemukan
karena tertutup oleh infeksi sekunder, lebih mudah dicari bila bahan
pemeriksaan berupa nanah yang diambil dengan cara aspirasi abses kelenjar
inguinal. Basil ini susah dibiak (Djuanda, 2009).
Dalam beberapa literatur penyebab penyakit ini diragukan, apakah
disebabkan oleh satu organisme (H. ducreyi) atau disebabkan lebih dari satu
organisme, karena pada beberapa kasus ulkus ditemukan mengandung flora
polimikrobial. Karena kesukaran menemukan penyebab dan organisme
multipel yang ditemukan pada isolasi, timbul pula kesukaran dalam mencari
hubungan antara gambaran klinis dan penemuan laboratoris (Djuanda, 2009).
B. Patogenesis
Belum diselidiki secara mendalam. Adanya trauma atau abrasi, penting
untuk organisme melakukan penetrasi epidermis. Jumlah inokulum untuk
menimbulkan infeksi tidak diketahui. Pada lesi, organisme terdapat dalam
makrofag dan neutrofil atau bebas berkelompok dalam jaringan interstitial
(Djuanda, 2009).
Tiga faktor penting yang mempengaruhi patogenesis dari ulkus mole
adalah kemampuan organisme Ducrey aderens / menempel pada permukaan
epidermis, kecepatan penghasilan eksotoksin (CDT), dan resistensi terhadap
mekanisme pertahanan tubuh host (Wolff, 2008).
Pada percobaan kelinci, seperti pada manusia, beberapa galur H.
ducreyi diketahui virulen, beberapa yang lain avirulen. Virulensi dapat hilang
dengan kultivasi serial sehingga kuman kehilangan kemampuan untuk
menimbulkan lesi pada kulit. Organisme yang avirulen dilaporkan lebih rentan
terhadap antimikroba terutama polimiksin. Limfadenitis yang terjadi pada
infeksi H. ducreyi diikuti dengan proses inflamasi sehingga terjadi suppurasi.
Kemungkinan terdapat sifat-sifat H. ducreyi yang unik yang menimbulkan
suppurasi. Respon imun yang berhubungan dengan patogenesis dan
kerentanan penyakit tidak diketahui. Penyelidikan sebelumnya menemukan
respon hipersensitivitas tipe lambat dan respon antibodi pada para penderita
dengan chancroid dan pada binatang coba. Antibodi ditemukan dengan cara
fiksasi komplemen, aglutinasi, presipitasi, dan tes fluoresens antibodi indirek.
Reaktivitas silang antara anti sera yang dihasilkan terhadap antigen H. ducreyi
murni dan ekstrak antigen dari spesies Haemophilus lain sudah ditemukan
(Djuanda, 2009).
Trauma
dan
Organism
Abrasi
e
penetrasi
ke Ke
Masuk
epidermis nodul
kealiran us
darah
Rangsang limfati
an kus
Limfo
T
inflamasi gen
H
Infiltrasi
piogenik Limfa
-1
limfosit, deniti
makrofag, s
granulosit
Mengum
pul di
jaringan
intertisial
Papul

Vesiko
pustul

Pecah

Ulkus

C. Gejala Klinis
Masa inkubasi berkisar antara 1-14 hari, pada umumnya kurang dari
7 hari. Lesi kebanyakan multipel, bisa soliter, biasanya pada daerah genital,
jarang ekstragenital. Mula-mula kelainan kulit berupa papul, kemudian
berubah menjadi vesiko-pustul pada tempat inokulasi, dan cepat pecah
menjadi ulkus ( Wolff, 2008).
Ulkus kecil, lunak pada perabaan, tidak terdapat indurasi, berbentuk
cawan, pinggir tidak rata, sering bergaung dan dikelilingi halo yang
eritematosa. Ulkus sering tertutup jaringan nekrotik, dasar ulkus berupa
jaringan granulasi yang mudah berdarah, dan pada perabaan terasa nyeri.
Tempat predileksi pada laki-laki adalah permukaan mukosa preputium,
sulkus coronarius, frenulum penis, korpus penis, dan dapat juga timbul di
uretra, skrotum, perineum, atau anus. Pada wanita ialah labia, klitoris,
vestibulum, anus, dan serviks (Wolff, 2008)
Lesi ekstragenital bisa terdapat pada lidah, jari tangan, bibir,
payudara, umbilikus, abdomen, pubis, paha, dan konjungtiva. Karena
inokulasi sendiri, dengan cepat dapat timbul lesi multipel. Gejala sistemik
jarang timbul, kalaupun ada hanya demam ringan dan malaise (Djuanda,
2009).
Jenis-jenis bentuk klinis:
1) Ulkus mole folikularis
Timbul pada folikel rambut, pada pemeriksaan menyerupai folikulitis
yang disebabkan oleh coccus, namun segera berubah menjadi ulkus.
Lesi seperti ini dapat timbul pada vulva dan pada daerah genital yang
berambut dan superfisial.
2) Dwarf chancroid
Lesi sangat kecil dan menyerupai erosi pada herpes genitalis, dasarnya
tidak teratur dan tepi berdarah.
3) Transient chancroid (chancre mou valant)
Lesi kecil, sembuh dalam beberapa hari, tetapi 2-3minggu kemudian
diikuti timbulnya limfadenitis inguinal. Gambaran ini mirip
limfogranuloma venereum.
4) Papular chancroid (ulkus mole elevatum)
Dimulai dengan ulkus yang kemudian menimbul terutama pada
tepinya. Gambaran mirip kondiloma lata pada sifilis stadium II.
5) Giant chancroid
Mula-mula timbul ulkus kecil, tetapi meluas dengan cepat dan
menutupi satu daerah. Sering mengikuti abses inguinal yang pecah,
dan dapat meluas ke daerah suprapubis bahkan daerah paha dengan
cara autoinokulasi.
6) Phagedenic chancroid
Lesi kecil menjadi besar dan destruktif dengan jaringan nekrotik yang
luas. Genitalia eksterna dapat hancur. Akibat superinfeksi dengan
organisme fusospirochetes.
7) Ulkus mole serpiginosa
Lesi membesar karena perluasan atau autoinokulasi dari lesi pertama
ke daerah lipat paha atau paha. Ulkus jarang menyembuh, dapat
menetap berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

Gambar 1.1. Ulkus Mole (Spinola, 2008)

D. Diagnosis
Berdasarkan gambaran klinis dapat disingkirkan penyakit kelamin
yang lain. Harus dipikirkan juga kemungkinan infeksi campuran.
Pemeriksaan serologis untuk menyingkirkan sifilis juga harus ditegakkan.
Pemeriksaan diagnostik (Djuanda, 2009):
1) Pemeriksaan sediaan hapus
Diambil bahan pemeriksaan dari tepi ulkus yang tergaung,
dibuat hapusan pada gelas objek, kemudian dibuat pewarnaan Gram,
Unna-Pappenhein, Wright, atau Giemsa. Hanya pada 30-50% kasus
ditemukan basil berkelompok atau berderet seperti rantai.
2) Biakan kuman
Bahan diambil dari pus suppurasi limfadenitis atau lesi, yang
kemudian ditanam pada pembenihan / pelat agar khusus yang
ditambahkan darah kelinci yang sudah didefibrinasi. Akhir-akhir ini
ditemukan bahwa pembenihan yang mengandung serum darah
penderita yang sudah diinaktifkan memberikan hasil yang memuaskan.
Inkubasi membutuhkan waktu 48 jam. Medium yang mengandung
gonococcal medium base, ditambah dengan hemoglobin 1%, Iso-
Witalex 1%, dan vancomycin 3mcg/ml akan mengurangi kontaminasi
yang timbul.
3) Immunofluorosensi (ELISA) dan PCR test.
Untuk menemukan antibodi.
4) Biopsi
Dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis. Pada
gambaran histopatologik ditemukan:
- Daerah superfisial pada dasar ulkus neutrofil, fibrin, eritrosit, dan
jaringan nekrotik.
- Daerah tengah, pembuluh darah kapiler baru dengan proliferasi sel
endotel sehingga lumen tersumbat dan menimbulkan trombosis.
Terjadi perubahan degeneratif pada dinding pembuluh darah.
- Daerah dalam, infiltrat padat terdiri atas sel plasma dan limfoid.
5) Tes Ito-Reenstierna
Sekarang sudah tidak dipakai lagi karena tidak spesifik. Vaksin
yang dipakai (Dmelcos) terdiri atas 225 juta kuman mati / ml.
Disuntikkan intradermal 0.1 ml pada lengan bawah bagian fleksor,
sebagai kontrol disuntikkan cairan pelarut intradermal di sisi lain.
Dinilai positif bila timbul infiltrat dengan diameter minimal 0.5 cm
setelah 48 jam, sedangkan kontrol negatif. Tes ini menjadi positif 6-10
hari setelah timbulnya ulkus mole, dan tetap positif sampai beberapa
tahun, bahkan sampai seumur hidup.
6) Autoinokulasi
Bahan diambil dari lesi yang dicurigai, diinokulasikan pada
kulit yang sehat daerah lengan bawah atau paha penderita digores lebih
dahulu. Pada tempat tersebut akan muncul ulkus mole. Sekarang sudah
tidak dipakai lagi.

E. Penatalaksanaan
a) Sistemik
1) Sulfonamida
Misalnya sulfathiazol, sulfadiazine, atau sulfadimidine,
diberikan dengan dosis pertama 2-4 gram dilanjutkan dengan 1
gram tiap 4 jam sampai sembuh sempurna (kurang lebih 10-14
hari).
Tablet kotrimoksasol, sulfamethoksasol 400 mg dengan
trimetoprim 80 mg, diberikan dengan dosis 2x2 tablet selama 10
hari. Bila pengobatan berhasil, perlu dilakukan drainase,
dorsumsisi pada preputium. Pada limfadenitis suppuratif dilakukan
aspirasi melalui kulit yang sehat. Pemberian kotrimoksasol dinilai
sangat efektif untuk ulkus mole.
2) Streptomycin
Obat ini efektif tanpa mengganggu diagnosa sifilis.
Disuntikkan tiap hari 1 gram selama 7-14 hari, dapat juga
dikombinasikan dengan sulfonamida. Kombinasi ini perlu, apabila
terdapat limfadenitis suppuratif, atau lesi genitalia tidak sembuh
hanya dengan sulfonamida.
3) Penicillin
Hanya sedikit efektif.
4) Tetrasiklin atau oksitetrasiklin
Efektif kalau diberikan dengan dosis 4x500 mg/hari selama
10-20 hari, antibiotik golongan ini menutupi gejala-gejala sifilis
stadium I. Di beberapa negara H. ducreyi sudah resisten terhadap
antibiotik ini.
5) Kanamycin
Disuntikkan 2x500mg selama 6-14 hari. Obat ini tidak
punya efek terhadap Treponema pallidum.
6) Chloramphenicol
Efektif terhadap H. ducreyi tetapi karena efek toksik tidak
digunakan lagi.
7) Eritromycin
Diberikan 4x500 mg sehari, selama seminggu.
8) Quinolone
Ofloksasin cukup dosis tunggal 400 mg (Djuanda, 2009)
.
b) Lokal
Jangan diberikan antiseptik karena akan mengganggu
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap untuk kemungkinan diagnosis
sifilis stadium I. Lesi dini yang kecil dapat sembuh sendiri setelah
diberi NaCl fisiologik.
Regimen penatalaksanaan yang direkomendasikan oleh Centers
for Disease Control and Prevention (CDC), WHO, dan International
Guidelines of STI adalah sebagai berikut (Spinola, 2008):
1) Azithromycine, 1 gr, per oral, dosis tunggal. Atau;
2) Erithromycine, 500 mg, qid, selama 7 hari. Atau;
3) Ciprofloxacine, 500 mg, bid, selama 3 hari. Atau;
4) Ceftriaxone, 250 mg, injeksi intramuskular, dosis tunggal.
F. Komplikasi
1. Mixed chancre
Ulkus mole + sifilis stadium I. Awalnya lesi berupa ciri khas ulkus mole,

setelah 15 – 20 hari bermanifestasi klinis.


2. Abses kelenjar inguinal
Disebut juga inflammatory bubo. Kelenjar getah bening (KGB) membesar,

warna kulit di atasnya menjadi kemerahan, dan berfluktuasi. Bila abses

kelenjar inguinal tidak diterapi secara adekuat, abses akan pecah dan

menimbulkan sinus yang akan meluas menjadi ulkus, disebut ulserasi

chancroid. Ulkus ini kemudian akan membesar, disebut giant chancroid.


3. Fimosis dan parafimosis, serta balanitis
Jika lesi mengenai preputium penis. Prepusium akan menjadi bengkak,

merah, edematous, dan sangat nyeri.


4. Fistula urethra
Kelainan timbul karena terdapatnya ulkus molle pada glans penis yang

bersifat dekstruktif. Kelainan ini dapat menimbulkan rasa nyeri saat buang

air kecil dan pada keadaan lanjut dapat terjadi striktur uretra.
5. Fuso spirokhetosis
Kelainan ini terjadi akibat infeksi mikroorganisme lain, mengakibatkan

ulkus cepat menjadi parah dan bersifat destruktif. Ini disebut phagedena.

Di samping itu, lesi terjadi bersama limfogranuloma venereum atau

granuloma inguinale.
G. Pencegahan
1. Gunakan kondom dengan cara yang benar
2. Disunat atau prepusium dihilangkan
3. Jangan berganti-ganti pasangan seks

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adhi, dkk. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta. FKUI

Spinola, Stanley M. In: Holmes, King.K., et al. 2008. Sexually Transmitted


Diseases. 4th ed. USA : Mc.Graw Hill

Wolff, K. Goldsmith, L.A., et al. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General


Medicine. 7th ed. USA : Mc.Graw Hill

Anda mungkin juga menyukai