B. Etiologi
Faktor penyebab halusinasi (Yosep, 2009) yaitu:
a. Predisposisi
1) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stres.
2) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi (unwanted
child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya.
3) Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebihan dialami seorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu
zat yang dapat bersifat halusiogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan
acetylcholin dan dopamin.
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak tanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa
faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada
penyakit ini.
b. Faktor Presipitasi
1) Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan
tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian,
tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan
nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 dalam Iyus Yoseph
(2009) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat
keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-
unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima
simensi yaitu :
a) Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi
menentang perintah tersebut hinnga dengan kondisi tersebut klien berbuat
sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c) Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls
yang menekan, namu merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan
yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan
mengontrol semua prilaku klien.
d) Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata
sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol
diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.
e) Dimensi Spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya
secara spiritual untuk mengucilkan dirinya. Irama sirkardiannya terganggu,
karena ia sering tidur larut malam dan bangun saat siang. Saat terbangun
terasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memakai takdir
tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan
orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
D. Klasifikasi
Menurut Kusumawati & Hartono (2011) membagi halusinasi menjadi 10 jenis,
antara lain sebagai berikut :
a. Halusinasi Pendengaran (auditory-hearing voices or sounds)
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara bising yang
tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau
kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditunjukkan pada penderita
sehingga tidak jarang penderita bertengkar dan berdebat dengan suara-suara
tersebut. Suara tersebut dapat dirasakan berasal dari jauh atau dekat bahkan
mungkin datang dari tiap bagian tubuhnya sendiri. Suara bisa menyenangkan,
menyuruh berbuat baik, tetapi dapat pula berupa ancaman, mengejek, memaki
atau bahkan yang menakutkan dan kadang-kadang mendesak atau memerintah
untuk berbuat sesuatu seperti membunuh atau merusak.
b. Halusinasi Penglihatan (visual-seeing persons or thinks)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya
sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut
akibat gambaran-gambaran yang mengerikan.
c. Halusinasi Penciuman (olfaktory-smelling odors)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan
tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau dilambangkan
sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu kombinasi moral.
d. Halusinasi Pengecapan (gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman
penderita merasa mengecap sesuatu. Halusinasi gastorik lebih jarang dari
halusinasi gustatorik.
e. Halusinasi Raba (taktile-feeling bodily sensation)
Merasa diraba , disentuh, ditiup atau seperti ada ulat, yang bergerak di bawah
kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis dan skizofrenia.
f. Halusinasi kinestetik
Merasa badannya bergerak dalam sebuah ruangan, atau anggota badannya
bergerak (umpamanya anggota badan bayangan atau “phantomlimb”).
g. Halusinasi visceral
Perasaan tertentu timbul di dalam tubuhnya.
1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya sudah
tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang ada
2) Direalisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala sesuatu yang dialami
seperti impian.
h. Halusinasi hipnagogik :
Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum tertidur
persepsi sensorik berkerja salah.
i. Halusinasi hipnopompik
Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum terbangun
sama sekali dari tidurnya. Disamping itu ada pula pengalaman halusinatorik
dalam impian yang normal.
j. Halusinasi histerik
Timbul pada nerosa histerik karena konflik emosional.
k. Halusionis
Paling sering adalah halusinasi dengar yang berhubungan dengan
penyalahgunaan alcohol dan terjadi dalam sensorium yang jernih berbeda
E. Manifestasi Klinis
Adapun Tanda dan gejala halusinasi menurt Direja, 2011 sebagai berikut :
a. Halusinasi Pendengaran
Data Objektif : Bicara atau ketawa sendiri, marah-marah tanpa sebab,
mengarahkan telinga ke arah tertentu, menutup telinga.
Data Subjektif : Mendengar suara atau kegaduhan, mendengarkan suara yang
mengajak bercakap-cakap, mendengarkan suara yang
menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
b. Halusinasi Penglihatan
Data Objektif : Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada sesuatu yang
tidak jelas.
Data Subjekti f: Melihat bayangan, sinar bentuk geometris, bentuk kortoon,
melihat hantu atau monster.
c. Halusinasi Penghidungan
Data Objektif : Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu,
menutup hidung.
Data Subjektif : Membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-
kadang bau itu menyenangkan.
d. Halusinasi Pengecapan
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subjektif : Merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.
e. Halusinasi Perabaan
Data Objektif : Menggaruk- garuk permukaan kulit.
Data Subjektif : Menyatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa
tersengat listrik.
F. Pohon Masalah
Pohon masalah adalah tehnik atau diagram untuk mengidentifikasi masalah dalam
situasi tergantung dengan mengedepankan hubungan sebab akibat (Fitria, 2011).
Keterangan :
: Masalah Utama (core problem)
: Hubungan sebab akibat
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada halusinasi di bagi menjadi dua yaitu penatalaksanaan
medis dan penatalaksanaan keperawatan, yaitu :
a. Penatalaksanaan Medis
1) Psikofarmakoterapi
Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/ skizofrenia biasanya
diatasi dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain :
a) Golongan butirefenon : Haldol, Serenace, Ludomer. Pada kondisi akut
biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 3x5 mg, im. Pemberian injeksi
biasanya cukup 3x24 jam. Setelahnya klien bisa diberikan obat per oral
3x1,5 mg atau 3x5 mg.
b) Golongan Fenotiazine :Chlorpramizine/ Largactile/ Promactile. Biasanya
diberikan per oral. Kondisi akut biasanya diberikan 3x 100mg. Apabila
kondisi sudah stabil dosis dapat dikurangi 1x100 mg pada malam hari saja
(Yosep, 2011).
2) Psikoterapi
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang
grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode
yang dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan
pada skizoprenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
3) Rehabilitasi
Terapi kerja baik untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain,
penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan
diri lagi karena bila menarik diri dia dapat membentuk kebiasaan yang kurang
baik. Dianjurkan penderita untuk mengadakan permainan atau pelatihan
bersama (Maramis, 2005).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Terapi Aktivitas Kelompok yang diberikan pada pasien dengan Halusinasi yaitu
( Keliat, 2010):
1) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif/Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang
pernah dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada
tiap sessi. Dengan proses ini, diharapkan respon klien terhadap berbagai
stimulus dalam kehidupan menjadi adatif. Aktivitas berupa stimulus dan
persepsi. Stimulus yang disediakan : baca artikel/majalah/buku/puisi, menonton
acara TV (ini merupakan stimulus yang disediakan), stimulus dari pengalaman
masa lalu yang menghasilkan proses persepsi klien yang maladaptive atau
distruktif, misalnya kemarahan, kebencian, putus hubungan, pandangan
negative pada orang lain dan halusinasi. Kemudian dilatih persepsi klien
terhadap stimulus.
2) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulus Sensori
Aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sensori klien. Kemudian
diobservasi reaksi sensori klien terhadap stimulus yang disediakan, berupa
ekspresi perasaan secara nonverbal (ekspresi wajah, gerakan tubuh). Biasanya
klien yang tidak mau mengungkapkan komunikasi verbal akan testimulasi
emosi dan perasaannya, serta menampilkan respons. Aktivitas yang digunakan
sebagai stimulus adalah : musik, seni menyanyi, menari. Jika hobby klien
diketahui sebelumnya, dapat dipakai sebagai stimulus, misalnya lagu kesukaan
klien, dapat digunakan sebagai stimulus.
DAFTAR PUSTAKA
Ade Herman, S.D. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika.
Damaiyanti, M. Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika
Aditama
Direja, A. Herman., 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta : Nuha Medika
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba
Medika.
Kusumawati Farida & Hartono Yudi. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Selemba
Medika
Maramis F. Willy., 2005, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Surabaya : Airlangga University
Press. .
Suliswati, dkk. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Tim Pengembangan MPKP RSJ Provinsi Bali. 2009. Pedoman Manajemen Asuhan
Keperawatan (7 Masalah Utama Keperawatan Jiwa). Bangli.