Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN PADA An.

H USIA 11 TAHN (REMAJA)

DENGAN SINDROM NEFROTIK DI RUANG KALIMAYA ATAS

RSUD dr. SLAMET GARUT

Disusun oleh

RISWAN SAPAAT

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes KARSA HUSADA GARUT
2019-2020
1. Definisi sindrom nefrotik

Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai pada
anak. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥2+), hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema, dan
dapat disertai hiperlipidemia > 200 mg/dL terkait kelainan glomerulus akibat penyakit
tertentu atau tidak diketahui (Trihono et al., 2008).

2. Aspek epidemiologi

Angka kejadian di Indonesia pada Sindrom Nefrotik mencapai 6 kasus pertahun


dari 100.000 anak berusia kurang dari 14 tahun (Alatas, 2002). Mortalitas dan prognosis
anak dengan sindroma nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan
ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari dan responnya terhadap pengobatan (Betz &
Sowden, 2002).

Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan
Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12
– 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia
dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun (Trihono et
al., 2008). Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
(2:1) dan kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling
muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa.

Data Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta melaporkan bahwa


sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik
Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun
1995-2000 (Wila, 2002).
3. Penyebab

Penyebab umum penyakit tidak diketahui; akhir-akhir ini sering dianggap sebagi
suatu bentuk penyakit autoimun. Jadi merupakan reaksi antigen-antibodi. Umumnya
dibagimenjadi 4 kelompok :
a. Sindroma nefrotik bawaan.
Adanya reaksi fetomaternal terhadap janin ataupun karena gen resesif autosom
menyebabkan sindrom nefrotik
b. Sindroma nefrotik sekunder
Sindroma nefrotik disebabkan oleh adanya penyakit lain seperti parasit malaria,
penyakit kolagen, trombosis vena renalis, pemajanan bahan kimia (trimetadion,
paradion, penisilamin, garam emas, raksa, amiloidosis dan lain-lain
c. Sindroma nefrotik idiopati
Berdasarkan histopatologis Sindro nefrotik idiopati dibagi dalm beberapa golongan
(Churg dkk)
a. Kelainan minimal
b. Nefropati membranosa
c. Glomerulonefritis poliferatif
d. Glumerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sclerosis glomerulus. Sering di sertai atrof
trubulus dan prognosis yang buruk.

4. Patofisiologi

Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada


hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Kelanjutan dari
proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin, tekanan
osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskular berpindah ke dalam interstisial.
Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga
menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena hipovolemia.
Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan
merangsang produksi renin angiotensin dan peningkatan sekresi hormon ADH dan sekresi
aldosteron yang kemudian terjaddi retensi natrium dan air. Dengan retensi natrium dan
air, akan menyebabkan edema.
Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan
stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin atau penurunan onkotik
plasma. Adanya hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam
hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein dan lemak akan banyak dalam
urin atau lipiduria. Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan
disebnabkan oleh karena hipoalbuminemia, hyperlipidemia
5. Pathway
6. Manifestasi klinis

a. Edema
b. Proteinuria
c. Hipoalbuminemia
d. Hiperkolesterolemia.
e. Oliguria
f. Beta 1C globin (C3) normal

7. Klasifikasi

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :


a. Sindrom Nefrotik Primer atau Idiopatik
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer
terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Sekitar 90%
anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik. Termasuk dalam
sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis
sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Penyakit
ini diturunkan secara resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal. Resisten terhadap
semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal
pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien
meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya (Kliegman et al., 2007).
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan
menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children).
Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop
cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron
dan imunofluoresensi (Bagga dan Mantan, 2005). Tabel di bawah ini menggambarkan
klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi
menurut rekomendasi ISKDC.
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan
minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak (Kliegman et al., 2007).
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda
dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan
minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di
Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom
nefrotik primer yang dibiopsi (Wila, 2002).
b. Sindrom Nefrotik Sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab lain yang nyata. Penyebab yang sering dijumpai antara lain : (Eddy dan
Symons, 2003)
1. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema
2. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS
3. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga,
bisa ular
4. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schönlein, sarkoidosis
5. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
8. Pemeriksaan penunjang

Penegakan diagnosis sindrom nefrotik tidak ditentukan dengan hanya penampilan


klinis. Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan
penunjang berikut yaitu :
a. Urinalisis
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri ) yang terjadi dalam
24-48 jam setelah ginjal rusak, warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, Monoglobin, Porfirin. Berat jenis kurang dari 1,020 menunjukkan
penyakit ginjal. Contoh glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan
kemampuan untuk meningkatkan, menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan
ginjal berat. pH lebih besar dari 7 ditemukan pada infeksi saluran kencing, nekrosis
tubular ginjal dan gagal ginjal kronis (GGK). Protein urin meningkat (nilai normal
negatif). Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik. Proteinuria berkisar
3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam
sulfosalisilat, 3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih,
yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.

b. Pemeriksaan sedimen urin


Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel
yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit,
torak hialin dan torak eritrosit.
c. Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atausingle spot
collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari
jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total
protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin
> 2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.
d. Albumin serum
Kualitatif : ++ sampai ++++
Kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH)
e. Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis
f. USG Renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
g. Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset
usia> 8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta
terdapat manifestasi nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak diketahui
asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan diagnosis
patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan
dan prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change
disease pada dewasa dengan glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change
disease memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid.

h. Pemeriksaan Darah
Hb menurun adanya anemia, Ht menurun pada gagal ginjal, natrium
meningkat tapi biasanya bervariasi, kalium meningkat sehubungan dengan
retensi dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan
(hemolisis sel darah nerah). Penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan
kehilangan protein dan albumin melalui urin, perpindahan cairan, penurunan
pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam amino essensial.
Kolesterol serum meningkat (umur 5-14 tahun : kurang dari atau sama dengan
220 mg/dl). Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai Protein total menurun
(N: 6,2-8,1 gm/100ml), Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml), α1 globulin
normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml), α2 globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml), β
globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml), γ globulin normal (N: 0,3-1
gm/100ml), rasio albumin/globulin <1 (N:3/2), komplemen C3 normal/rendah
(N: 80-120 mg/100ml), ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.
9. Penatalaksanaan

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di


rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orangtua (Trihono et al., 2008).
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan berikut: (Trihono et al., 2008)
a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein
d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun cacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
e. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah (Trihono et al., 2008).

10. Komplikasi

Komplikasi sindrom nefrotik mencakup infeksi akibat defisiensi respon


imun, tromboembolisme (terutama vena renal), embnoli pulmoner, dan
peningkatan terjadinya aterosklerosis.(Smeltzer, SC, Bare BG, 2002: 1442).
Adapun komplikasi secara umum dari sindrom nefrotik adalah :
a. Penurunan volume intravaskuler (syok hipovolemik)
b. Kemampuan koagulasi yang berlebihan (trombosit vena)
c. Perburukan nafas (berhubungan dengan retensi cairan)
d. Kerusakan kulit
e. Infeksi sekunder karena imunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia
f. Peritonitis

11. Pengobatan

a. Diuretik yang berfungsi untuk membuang cairan yang berlebihan dari dalam
tubuh melalui urine.
b. Obat antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah tinggi.
c. Obat antikoagulan yang digunakan untuk menurunkan risiko penggumpalan
darah.
d. Steroid untuk menangani peradangan atau glomerulonefritis perubahan
minimal.
e. Imunosupresan yang digunakan untuk mengurangi inflamasi dan menekan
respons abnormal dari sistem kekebalan tubuh.
f. Penisilin untuk menekan risiko infeksi dalam tubuh.

Untuk penderita glomerulonefritis perubahan minimal, 90 persen


penderitanya dapat diobati secara efektif dengan steroid dalam waktu 6-8 minggu.

Bagi anak yang mengidap sindrom nefrotik bawaan atau kongenital,


dokter akan memberikan albumin melalui infus. Dokter juga mungkin akan
menyarankan dialisis atau cuci darah, operasi pengangkatan atau transplantasi
ginjal sebagai pengobatan.

Tingkat kesembuhan dari kondisi ini sangat bergantung pada penyebab,


tingkat keparahan, dan respon tubuh terhadap pengobatan. Umumnya anak-anak
dapat sembuh dari kondisi ini walau sekitar 70 persen kembali mengalaminya lagi
di masa depan.
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari tahap proses keperawatan. Dalam
mengkaji, harus memperhatikan data dasar pasien. Keberhasilan proses keperawatan
sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian dalam tahap pengkajian.
Pengkajian yang perlu dilakukan pada pasien anak dengan sindrom nefrotik (Donna
L. Wong, 2004 : 550) sebagai berikut :
a. Lakukan pengkajian fisik termasuk pengkajian luasnya edema.
b. Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat, terutama yang berhubungan
dengan penambahan berat badan saat ini, disfungsi ginjal.
c. Observasi adanya manifestasi sindrom nefrotik :
1) Penambahan berat badan
2) Edema
3) Wajah sembab khususnya di sekitar mata timbul pada saat bangun
pagi dan berkurang pada siang hari
4) Pembengkakan abdomen (asites)
5) Kesulitan pernapasan (efusi pleura)
6) Pembengkakan labial (scrotal)
7) Edema mukosa usus yang menyebabkan :
a) Diare
b) Anoreksia
c) Absorbsi usus buruk
8) Peka rangsangan
9) Mudah lelah
10) Letargi
11) Tekanan darah normal atau sedikit menurun
12) Kerentanan terhadap infeksi
13) Perubahan urin :
a) Penurunan volume
b) Gelap
c) Berbau buah
d. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian, misalnya
analisa urin akan adanya protein, silinder dan sel darah merah; analisa
darah untuk protein serum (total, perbandingan albumin/globulin,
kolestrol), jumlah darah merah, natrium serum.

2. Diagnosis keperawatan

Diagnose yang mungkin muncul pada penderita sindrom nefrotik yaitu :


a. Kelebihan folume cairan
b. Ketidak efektifan pola hafas
c. Resiko infeksi
d. Kerusakan integritas kulit
e. Penurunan curah jantung berhubungan dengan afterload, kontraktilitas dan
frekuensi jantung
f. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
g. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
h. Hambatan mobilitas fisik
3. Intervensi keperawatan

No Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
1 Kelebihan volume 1. Terbebas dari 1. Timbang pokok /pembalut
Cairan edema, efusi dan jika di perlikan
anaskara 2. Pertahankan catatan intake
2. Bunyi nafas bersih dan output yang akurat
tidak 3. Pasang urin kateter jika di
adadyispneu/ortopneu perlukan
3. Terbebas dari 4. Monitor hasil HB yang
dsitensi vena sesuai dengan retensi cairan
jugularis, reflek 5. Monitor vital sign
hepatojugular(+) 6. Kaji lokasi dan luas edema
4. Memelihara tekanan 7. Monitor masukan makanan/
vena, sentral, tekanan cairan dan hitung intake kalori
kapiler paru, output 8. Monitor status nutrisi
jantung dan vital sign 9. Kolaborasi dengan dokter
dalam batas normal, jika tanda cairan berlebih
5. Menjelaskan muncul memburuk
indicator kelebihan 10. Monitor adanya distensi
cairan leher, edema perifer dan
penambahan berat badan
11. Monitor tanda dan gejala dari
edema
2 Ketidak Efektifan 1. Mendemonstrasikan 1. Posisikan pasien untuk
Pola Nafas batuk efektif, dari memaksimalkan ventilasi
nafas yang bersih, 2. Identifikasi pasien perlunya
tidak ada sianosis pemasangan alat jalan nafas
(mampu 3. Buka jalan nafas
mengeluarkan sputum 4. Monitor TD, nadi, suhu dan
dan mampu bernapas pernapasan
dengan mudah 5. Monitor adanya tanda
2. Menunjukan jalan hipoventilasi
nafas yang paten 6. Pehatikan posisi pasien
(klien tidak merasa 7. Monitor pola pernapasan
tercekik, irama nafas, abnormal
frekuensi pernapasan 8. Monitor suara paru
dalam rentang normal 9. Monitor kualitas dari nadi
dan tidak ada suara 10. Bersihkan mulut, hidung dan
yang abnormal) secret trakea
3. TTV normal (TD, 11. Monitor respirasi dan status
suhu dan pernapasan). O2
12. Atur peralatan oksigenasi
13. Bantu mengeluarkan secret
dengan batuk
14. Dengarkan suara nafas dan
catat suara abnormal.
3 Resiko Infeksi 1. Klien bebas dari 1. Gunakan sabun anti
tanda dan gejala mikroba untuk cuci tangan
infeksi 2. Cuci tangan setiap sebelum
2. Mendeskripsikan dan sesudah tindakan
proses penularan keperawatan
penyakit, factor yang 3. Tinkatkan intake nutrisi
mempengaruhi 4. Berikan terapi antibiotic bila
penularan serta perlu infection protection
penatalaksanaannya 5. Monitor tanda dan gejala
3. Menunjukan infeksi sistemik dan local
kemampuan untuk 6. Monitor kerentanan
mencegah timbulnya terhadap infeksi
infeksi 7. Dorong masukan cairan
4. Jumlah leukosit 8. Dorong istrahat
dalam batas normal 9. Ajarkan cara menghindari
5. Menunjukan infeksi
perilaku hidup sehat 10. Pertahankan lingkungan
aseptic selama pemasangan
alat
11. Berikan perawatan kulit pada
area epidema
12. Monitor hitung granulosit,
WBC
4 Kerusakan 1. Integrits kulit yang 1. Anjurkan pasien untuk
Integritas Kulit bai bisa dipertahankan menggunakan pakayan yang
2. Tidak ada luka atau longgar
lesi pada kulit 2. Jaga kebersihan kulit agar
3. Perfusi jaringan tetap bersih dan kering
baik 3. Mobilisasi pasien setiap dua
4. Menujukan jam sekali
pemahaman dalam
proses perbaikan kulit 4. Monitor kulit akan adanya
dan mencegah kemerahan
terjadinya cederah 5. Oleskan lotion atau minyak
berulang pada daerah yan tertekan
5. Mampu melindungi 6. Monitor status nutrisi pasien
kulit dan 7. Memandikan pasien dengan
mempertahankan sabun dan air hangat
kelembaban kulit dan 8. Membersihkan, memantau
perawatan alami dan meningkatkan proses
penyambuhan pada luka yang
ditutup dengan jahitan, klip
atau straples
9. Monitor tanda dan gejala
infeksi
10. Bersihkan daerah sekitar
jahitan atau straples
denganmenggunakan lidi
kapas steril
5. Penurunan Curah 1. Tanda vital dalam 1. Evaluasi adanya nyeri pada
Jantung rentan normal (TD, bagian dada
nadi dan respirasi) 2. Catat adanya distimia
2. Dapat mentoleransi jantung
aktifitas, tidak ada 3. Monitor status
kelelahan kardiofaskuler
3. Tidak ada edema 4. Monitor status pernafasan
paru, perifer dan tidak yang menandakan gagal
ada asites jantung
4. Tidak ada 5. Monitor abdomen sebagai
penurunan kesadaran indicator penurunan perfusi
6. Monitor tanda-tanda vital
7. Monitor TTV setelah ,
selama dan sebelum
melakukan aktifitas
8. Monitor bunyi jantung
9. Monitor suara paru
10. Monitor frekuensi dan irama
pernafasan
11. Monitor kualitas dari nadi
12. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
6 Ketidak Efektifan 1. Dengar suara nafas sebelum
Bersihan Jalan 1. Mendemostrasikan dan sesudah suctioning
Nafas. batuk efektif dan 2. Minta klien untuk nafas
suara nafas yang dalam sebelum suction
bersih tidak ada dilakukan
sianosis dan 3. Berikan O2 dengan
dyspneu(mampu menggunakan nasal untuk
mengeluarkan memfasilitas suksion
sputum, mampu nasotrackheal
bernafas dengan 4. Gunakan alat yang steril
mudah, tidak ada setiap menggunakan tindakan
pursed lips) 5. Buka jalan nafas
2. Menunjukan jalan 6. Posisikan pasien untuk
nafas yang memaksimalkan ventilasi
paten(klien tidak 7. Catat adanya suara
merasa tercekik, tambahan pada pernapasn
irama nafas frekuensi 8. Berikan bronkodilator bila
pernafasan dala perlu
rentang normal, tidak 9. Anjurkan pasien untuk
ada suara nafas istrahat dan napas
abnormal) dalm setelah kateter di
3. Mampu keluarkan dari nasotrakeal
mengidentifikasikan 10. Lakukan fisioterapi dada jika
dan mencegah factor perlu
yang dapat 11. Monitor respirasi dan status
menghambat jalan O2
nafas 12. Atur intake untuk cairan
13. Mengoptimalkan
keseimbangan

7 Ketidak Efektifan 1. Tekanan systole dan


Perfusi Jaringan diastole dalam 1. Monitor adanya daerah
Perifer rentang yang di tertentu yang hanya peka
harapkan terhadap panas/dingin/
2. Tidak ada ortostatik tajam/tumpul
hiprtensi 2. Monitor adanya paretese
3. Tidak ada tanda- 3. Instruksikan keluaarga
tanda peningkatan untuk mengobserfasi kulit
tekanan intra cranial jikaada isi atau laserasi
(tiidak ebih dari 15 4. Guunakan sarun tangan
mmHg) untuk proteksi
4. Berkomunikasi 5. Baasi gerakan pada kepala,
dengan jelas dan leher dan punggung
sesuai dengan 6. Monitor kemampun BAB
kemampuan 7. Kolaborasi pemberian
5. Menunjukan analgetik
perhatian, kosentrasi 8. Monitor adanya
dan orientasi tromboplebitis Diskusikan
6. Memproses mengenai penyebab
informasi Membuat perubahaan sensasi
keutusan dengan
benar
8 Hambatan 1. Aktifitas fisik klien
Mobilitas Fisik meningkat 1. Monitor vital sign sebelum
2. Mengerti tujuan dari /sesudah latihan dan lihat
peningkatan mobilitas respon pasien saat latihan
3. Memferbalisasikan 2. Konsultasikan dengan terapi
perasaan dalam fisik tentang rencana ambulasi
meningkatkan sesuai dengan kebutuhan
kekuatan dan 3. Bantu klien untu
kemampuan menggunakan tongkat saat
berpindah berjalan dan cegah terhadap
4. Memperagakan cedera
pengunaan alat bantu 4. Ajarkan pasien tentang
untuk mobilisasi tehnik ambulasi
5. Kaji kemampuan pasien
dalam mobilisasi
6. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan ADL
secara mandiri sesuai
kemampuan
7. Berikan alat bantu jika klin
memerlukan
8. Ajarkan pasien agaimana
merunbah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
DAFTAR PUSTAKA

LeMone, Priscilla., Burke, M Karen.,& Bauldoff, Gerene. 2016. Buku Ajar


Keperawatan Medikal Bedah, Vol.4 Edisi 5. Jakarta : EGC
Nanda nic-noc (2013) panduan penyusunan asuhan keperawatan. Jilid 2
Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan :Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendekumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC.

Amin. Hardi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan NANDA & NIC – NOC. Edisi
Revisi. Jilid 3. Jogjakarta : MediAction
http://repository.ump.ac.id/3917/3/LINDA%20DWI%20MAHARANI%20BAB%2
0I I.pdf
http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/8313/kharisma_mak_tinj
au an_penyakit_sindroma_nefrotik_2017_sv.pdf?sequence=1&isAllowed=y
http://eprints.undip.ac.id/44647/3/Bab_2_-_Bab_II_Tinjauan_Pustaka.pdf
https://id.scribd.com/document/189519842/Standar-Asuhan-Keperawatan-
Sindrom- Nefrotik
https://id.scribd.com/document/269872029/WOC-sindrom-nefrotik

Anda mungkin juga menyukai