Anda di halaman 1dari 2

Seperti anjing yang setia menunggu tuannya, aku berada disini.

Duduk diam dengan


bergeming sedikitpun. Lalu lalang orang berlalu tak peduli, pada aku yang menanti sang
kekasih waktunya kembali. Gerbong kereta terakhir, adalah saatnya yang dicinta datang.
Seperti biasanya, aku akan mencium aroma khas nya meski dari kejauhan. Senangnya luar
biasa mengetahui bahwa itu saatnya kembali ke peraduan bersama cinta untuk pulang.

“Jii?” bisikku memastikan pada hatiku bahwa yang berada di pelukanku adalah seseorang
yang selalu ku tunggu setiap malam dingin menyapa.

Malam itu Jii bercerita tentang indahnya tebaran bintang yang bersinar begitu terang.
Langitnya gelap, perpaduan yang sangat sempurna, bukan? Kami berjalan beriringan
dengan tangannya yang meraup penuh tanganku. Sesekali kita berhenti. Sengaja tak menaiki
bus malam untuk bermesraan, katanya saat itu. Kami berhenti di sebuah lapangan (kata Jii,
ini lapangan bola yang lama tak terpakai). Dia membiarkanku untuk tidur di pangkuannya.
Mengusak lembut rambut kepalaku, dan menyanyikan lagu lagu bergenre indiefolk. Tidak
sepenuhnya dia hafal, hanya beberapa lirik dan kemudian dia mengganti lagu lain. Lalu, Jii
mengangkat tanganku lembut. Mengarahkannya pada langit, untuk menunjukkan dimana
planet yang aku imajinasikan berada. Aku merasa bulan bersinar begitu terang. Karena aku
melihat senyum Jii yang indah. Aku bahagia. Meski tak begitu jelas, aku meraba bibir
tipisnya. Dia bergumam pelan. Berhenti jariku, saat ku rasa dia mengatakan “Aku
mencintaimu”. Dengan Lirih. Dengan sangat pelan. Rasanya ribuan kupu kupu terbang
memenuhi perutku. Di tengah senyuman tipis itu, hanya mampu menahan tangis. Sekali lagi
aku bahagia dan jatuh cinta. Aku beranjak cepat dan memeluknya, ingin juga berjuang
mempertahankan apa yang kupunya.

Tiga puluh menit telah berlalu, Jii mengatakan, kami harus melanjutkan perjalanan sebelum
pergantian hari.

Kali ini perjalanan penuh diselimuti keheningan. Jii menggendongku di punggungnya. Dia
tidak terlihat keberatan kurasa. Mungkin karena aku yang semakin ringan. Atau mungkin
karena Jii yang semakin kuat. Aku memikirkan itu sembari tertawa kecil. Jii mendengar
tawaku, membuat dia bertanya apa yang membuatku tertawa. Namun, aku hanya
menggeleng cepat di balik punggung tegapnya.

Saat itu, aku mendengarnya berbicara dengan nada rendah, sesaat aku tertegun diam.

“aku bahagia mendengarmu tertawa bahagia malam ini. Aku selalu berharap yang menjadi
alasan bahagiamu. Tapi kurasa itu sangat egois sekarang. Kita akan bahagia masing
masing. Aku tidak lagi dapat menjagamu seperti dulu. Menjadi tongkatmu lagi. Kumohon
tetaplah bahagia, namun tidak perlu kamu menahan semua beban sendirian. Menangislah,
saat kamu rasa kamu membutuhkan itu. Terkadang aku tak perlu merasa khawatir. Tapi
akhirnya sekarang aku terus khawatir, kamu...” dia menghentikan segalanya, hingga aku
mulai membuka mulutku, mengerti apa yang dia sedang tunggu saat itu.

“aku akan bahagia, saat aku merasa dan harus bahagia.”mendengarnya, Jii menghela
napas kasar. Beberapa langkah kemudian, aku merasakan sebuah tetesan air jatuh di
tanganku yang memeluk lehernya. Aku tidak dapat mengetauhui apakah itu gerimis yang
turun ataukah ...

Dan aku menahan air mataku sekuat tenaga ku sebelum mereka meluncur membawa bahagia
yang tersisa. Aku tidak akan menyadarinya sebelum isakan itu terasa mencekikku. Namun
aku tak mengatakan apapun dan membiarkanya meluapkan apa yang dirasakan. Hanya
memeluknya kuat dan menepuk pundak nya dengan lembut. Meski yang sejujurnya aku juga
sangat membutuhkan itu. Pelukannya dan bahunya.

Tepat pukul sebelas malam lebih lima puluh menit, kami sampai di depan apartemen masing
masing yang berhadapan. Aku turun perlahan. Tangannya memegang tanganku kuat. Sekali
lagi dia memelukku.

Jangan datang, kau tahu.. disana sangat kejam.. itu melukaimu.. dan aku membenci
apapun yang melukaimu.

Tidak.. Tidak.. aku akan datang, aku sudah berjanji.

Aku melihatnya menatapku penuh harap, namun tidak. Kami sudah berjanji berpisah tepat
pergantian hari. Jadi aku mengucap salam malamku padanya.

Dia meletakkan sebuah kotak kecil dan mencium dahiku, diakhiri mengatakan “selamat
ulang tahun, love” untukku. Meninggalkanku dan menutup apartemennya dengan cepat
tanpa lagi menoleh.

Aku menutup pintuku, membuka kotak itu perlahan, isinya? Sangat banyak balon yang belum
ditiup dengan gambar foto kenangan kami di setiap buahnya. Ini sangat membahagiakan,
ketika dia menyiksaku untuk berkutat pada kenangan bahagia kami.

Aku harus menyadari bahwa semua telah selesai. Menyadari bahwa dia akan mengucap
sumpah di atas altar bersama orang lain. Menyadari bahwa itu kado terindah di hari ulang
tahun ku. Menyadari bahwa aku harus mulai menangis sendirian saat ini. Tanpa
“tongkat”yang selalu menjadi mata kedua semenjak aku tak lagi dapat melihat.

Anda mungkin juga menyukai