TINJAUAN PUSTAKA
2
3
Faktor risiko dari status epileptikus berikut adalah beberapa kelompok pasien
yang berisiko mengalami status epileptikus:1
1. Epilepsi
Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu
kali episode status epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE
dapat merupakan manifestasi epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru
epilepsi.
4
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja
nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah
otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak
efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan
mikroglia - yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate
(NMDA) receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit
saja - yang kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-
radical. Aktifasi ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan
glutamat. Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang
dimediasi oleh glutamat - glutamic-mediated excitotoxicity-khususnya di
hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-
neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang,
receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA.
Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan
keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak
yang terjadi pun akan semakin besar.6
2. Fase 2: Dekompensasi
Selama fase ini, tuntutan metabolik serebral sangat meningkat dan
tidak dapat sepenuhnya tercukupi, sehingga menyebabkan hipoksia dan
perubahan metabolik sistemik. Perubahan autonom tetap berlangsung dan
fungsi kardio- respirasi dapat gagal mempertahankan homeostasis.
Metilfenidat, Steroid
Oral
SE Tonik Lamotrigine Oral Metilfenidat, Steroid
SE Non-konvulsif pada Fenitoin IV atau Anastesi dengan
pasien koma Fenobarbital tiopenton, Penobarbital,
Propofol atau
Midazolam
2.2. Epilepsi
2.2.1. Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptic yang terus menerus, dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial.9
Bangkitan epileptic sendiri adalah: terjadinya tanda / gejala yang bersifat
sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan diotak.3
Namun, agaknya definisi tersebut terlalu sulit untuk di cerna. Maka,
untuk lebih jelasnya, dapat diambil definisi dari Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Infonesia (PERDOSSI), yaitu Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang
ditandai dengan kondisi / gejala berikut:3
12
1. Tipikal lena
2. Atipikal lena
2. Mioklonik
3. Klonik
4. Tonik
5. Tonik-klonik
6. Atonik/astatik
Bangkitan tak tergolongkan
Bangkitan parsial adalah apabila dari awal serangan hanya melibatkan area
otak yang terbatas (localized), sedangkan yang disebut dengan serangan umum /
general adalah apabila sejak awal serangan melibatkan kedua hemisfer otak.3
membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+
sehingga selisih potensial membran kembali ke keadaan istirahat. Perubahan
potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon lokal. Bila
rangsangan cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing
level), maka permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat secara besar-
besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi
ini akan dihantarkan ke sel sarat berkutnya melalui sinap dengan perantara
neurotransmitter. Bila perangsangan telah selesai, maka permeabilitas membran
kembali ke keadaan instirahat, dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel dan K+
masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP.11
Secara umum, terdapat beberapa teori mengenai mekanisme terjadinya kejang,
teori-teori tersebut antara lain sebagai berikut:11
a) Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b) Perubahan permeabilitas membran sel saraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
c) Perubahan relatif pada neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmiter yang bersifat inhibisi dapat menyebabkan
depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidak-seimbangan antara GABA
dan glutamat akan menimbulkan kejang.
Kejang dapat disebabkan oleh kerusakan neuron pada otak, dan daerah yang
mengalami kerusakan ini dapat menyebabkan hipereksitabilitas sinaps yang dapat
menyebabkan kejang. Lesi pada lobus temporalis menyebabkan kejang, dan bila
jaringan abnormal ini diambil melalui pembedahan, kejang mungkin berhenti.
Ada dua hipotesis yang menyatakan bahwa kejang diakibatkan oleh trauma otak.
Yang pertama adalah kerusakan sebagian neuron inhibitor dan hipereksitabilitas
neuron eksitator. Hipotesis lain menyatakan bahwa jalur eksitator abnormal yang
terbentuk akibat reorganisasi setelah trauma.11
Kejang tertentu pada anak bersifat spesifik terhadap usia, hal ini disebabkan
karena otak yang belum berkembang sempurna lebih rentan terhadap kejang
dibandingkan dengan otak pada anak yang lebih tua atau dewasa. Selain itu, otak
imatur lebih eksitabel dibandingkan otak matur, dilihat dari peran glutamat yang
dominan. Sedangkan GABA, yang merupakan neurotransmiter inhibitor utama,
sering secara berlawanan menyebabkan eksitasi pada otak imatur. Lebih lagi,
substansia nigra memiliki peran terhadap timbulnya kejang umum. Aktifitas
kejang elektrografik menyebar dalam substansia nigra, menyebabkan peningkatan
uptake 2-deoksiglukosa pada hewan dewasa, tetapi tidak ada atau sedikit aktivitas
metabolik dalam substansia nigra ketika hewan imatur mengalami kejang. Selain
itu, substansia nigra yang imatur mungkin berperan dalam peningkatan kerentanan
terhadap kejang. lebih lagi, substansia nigra pars retikulata yang sensitif GABA
berperan dalam pencegahan demam. Nampaknya jalur aliran keluar substansia
nigra memodulasi dan mengatur penyebaran kejang tetapi tidak menyebabkan
timbulnya bangkitan kejang.11
20
C. Epilepsi mioklonik
Banyak terjadi pada anak-anak
Terjadi gangguan kesadaran sebentar, disertai gerakan involunteer
yang aneh dari sekelompok otot, terutama pada tubuh bagian atas
(bahu dan lengan) yang disebut myoclonic jerking.
D. Epilepsi Atonik
Secara mendadak penderita kehilangan tonus otot.
Dapat mengenai beberapa bagian tubuh ataupun otot seluruh badan,
misalnya tiba-tiba kepalanya terkulai karena kehilangan tonus otot
leher atau secara tiba-tiba penderita terjatuh karena hilangnya tonus
otot tubuh. Serangan ini berlangsung singkat disebut drop attack.
c) Pemeriksaan penunjang
1. Elektro-ensefalografi (EEG)
Elektroda yang ditempelkan ke kulit kepala dapat mendeteksi aktivitas
listrik spontan di otak. EEG mengkonduksikan aktivitas di otak sebagai
gelombang; frekuensi gelombang diukur per detik (Hz). EEG dapat
mendeteksi berbagai jenis abnormalitas baik yang bersifat fokal maupun
difus. Ada dua jenis kelainan utama, ialah aktivitas yang lambat dan
epileptiform,4
Pada epilepsi pola EEG dapat membantu untuk menentukan jenis dan
lokasi serangan. Gelombang epileptiform berasal dari cetusan paroksismal
yang bersumber pada sekelompok neuron yang mengalami depolarisasi
secara sinkron. Gambaran epileptiform antar cetusan yang terekam pada
EEG muncul dan berhenti secara mendadak, seringkali dengan morfologi
khas. Perlu diketahui bahwa pola epileptiform ini dapat muncul pada orang
yang tidak menderita epilepsi sekitar 1-2%. Sebaliknya, rekaman EEG pada
penderita epilepsi dalam keadaan sadar dan istirahat dapat menunjukkan
gambaran yang normal. Perlu diperhatikan bahwa hasil pemeriksaan EEG
saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosa
epilepsi.4
EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun tidur, dengan stimulasi
fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada
epilepsi refleks). Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan)
pada orang dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%. Pada pemeriksaan
ulang gambaran epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%.4
Bila EEG pertama menunjukkan hasil normal sedangkan dugaan
epilepsi sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam
setelah bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus seperti dengan
27
Indikasi EEG:4
1. Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural
2. Adanya perubahan bentuk bangkitan
3. Terdapat defisit neurologi fokal
4. Epilepsi dengan bangkitan parsial
5. Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
6. Untuk persiapan tindakan pembedahan
2. Rekaman video-EEG
Rekaman EEG dari video secara simultan pada seorang penderita
yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis
dan lokasi sumber serangan. Rekaman video-EEG memperlihatkan
hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan
untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal
28
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging studies
bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila
dibandingkan dengan CT-Scan maka MRI lebih sensitif dan secara
anatomik akan tampak lebih rinci.4
MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
Selain itu, MRI dapat mengidentifikasi kelainan pertumbuhan otak, tumor
yang berukuran kecil, malformasi vaskular tertentu, dan penyakit
demielinisasi 4
Secara teori, semua kasus epilepsi parsial (kecuali anak dengan
epilepsi rolandik benigna) harus diperiksa dengan MRI. Indikasi yang lain
adalah adanya kelainan neurologis fokal, gelombang lambat fokal pada
EEG, epilepsi refrakter (untuk mencari sklerosis temporal mesial dan
glioma derajat rendah), dan penderita yang serangannya makin sering serta
makin berat. 4
Sementara itu PET mengukur metabolisme otak regional dengan
menggunakan molekul radioaktif. PET (positron emission tomography)
antarcetusan bermanfaat untuk evaluasi pra-operasi terutama pada penderita
dengan epilepsi lobus temporalis (fokusnya menunjukkan gambaran
hipometabolisme atau disebut juga a cold spot), single photon emission
computed tomography (SPECT) mengukur aliran darah otak regional
dengan menggunakan molekul radioaktif. SPECT digunakan selama dan
sesudah serangan, bermanfaat untuk evaluasi pra-operasi penderita dengan
fokus baik di temporal maupun di luar daerah temporal 4
4. Pemeriksaan Laboratorium
29
2. Pada dewasa:
Sinkope dapat sebagai vasovagal attack, sinkope kardiogenic, sinkope
hipovolemic, sinkope hipotensi dan sinkope saat miksi (micturition
syncope)
Serangan iskemik sepintas (transient ischemic syncope)
Vertigo
Transient global amnesia
Narkolepsi
Bangkitan panic
Sindrom menier
Tics
30
3. Pada anak
Breath holding spells
Sinkope
Migren
Bangkitan psikogenic
Prolonged QT syndrome
Night terror
Tics
Hypercianotic attack (pada tetralogi fallot)
fisiologis pada wanita maka dalam hal-hal tertentu diperlukan adanya perhatian
khusus dan/atau modifikasi.4
1. Tujuan terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi
dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandangmental
yang dimilikinya. Harapannya adalah “bebas bangkitan, tanpa efek samping”.
Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara
samping/dengan efek samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan
kematian. 3
A. Terapi Farmakologi
Prinsip terapi farmakologi
OAE diberikan bila: 4
o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
o Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
o Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan
tentang tujuan pengobatan.
o Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang
kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE.
o Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah
dihindari (misalnya: alcohol, kurang tidur, stress, dll)
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.4
Pemberian obat dimulai dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan
bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.4
Kadar obat dalam plasma ditentukan bila: 4
o Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
o Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan oleh
kehamilan, penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE)
o Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan
o Setelah penggantian dosis/regimen OAE
o Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.
Penghentian OAE
Pada dewasa; penghentian OAE secara bertahap dapat
dipertimbangkan setelah 3-5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat
dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Dalam hal
penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu diperhatikan,
yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan
kambuhan bangkitan setelah OAE dihentikan. 4
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai
berikut: 4
o Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG
normal
o Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau
keluarganya.
o Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula
setiap bulan dalam jangkat waktu 3-6 bulan
o Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai
dari 1 OAE yang bukan utama.
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar
kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut: 4
o Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin
tinggi
o Epilepsi simtomatis
o Gambaran EEG yang abnormal
o Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
o Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat
jarang pada sindrom epilepsi benigna dengan gelombang
tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada epilepsi lena
35
B. Terapi Non-Farmakologis
Meliputi:
1. Tindakan operasi
Sekitar 20% dari penderita epilepsi resisten terhadap OAE
sehingga perlu beberapa terapi untuk dikombinasikan dengan
36
3. Diet Ketogenik
Diet ketogenic dapat mengendalikan serangan yang ada,
terutama pada anak-anak. Berdasarkan pengetahuan bahwa
ketosis dan asidosis mempunyai efek antikonvulsan maka
Wilder pada tahun 1921 mengenalkan diet ketogenic sebagai
terapi epilepsi. Diet tersebut memerlukan protein 1
gr/kg/BB/hari, ditambah lemak untuk kalori tambahan dan
karbohidrat minimal. Restriksi karbohidrat dan pemasukan
lemak yang tinggi akan menyebabkan rasa yang sangat tidak
enak. Efek antiepilepsi bergantung kepada derajat ketosis
yang ditentukan oleh rasio lemak-karbohidrat. 4
Mekanisme diet ketogenic mengandalkan serangan
atau bagaimana diet ketogenic mempengaruhi proses
epileptogenic belum diketahui secara jelas. Penelitian lebih
lanjut tentang diet ketogenic memungkinkan untuk
pengembangan OAE baru yang efeknya menyerupai diet
ketogenic. 4
4. Deep brain stimulation
5. Relaksasi, behavioral cognitive therapy dan biofeedback