Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Epileptikus


2.1.1. Definisi Status Epileptikus
Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan
darurat medis dan neurologis utama. International League Against Epilepsi
mendefinisikan status epileptikus sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus
menerus selama 30 menit atau lebih.1
Gambaran awal mengenai status epileptikus telah dilaporkan kejadiannya
sejak dulu tapi epilepsi dan status epileptikus dulu tidak begitu menja diperhatian
dengan penelitian pada populasi yang spesifik. Yang utama dari status epileptikus
adalah hubungan penting antara kematian dan kecacatan meskipun diberikan
pengobatan yang intensif dan penyakit ini dapat membuat kematian otak yang
permanen.2
Berdasarkan gejala kejang yang menyertainya, status epileptikus
diklasifikasikan menjadi tiga yakni status epileptikus konvulsif, status epileptikus
non-konvulsif, dan status epileptikus refrakter.3

2.1.2. Epidemilogi Status Epileptikus


Jumlah kasus status epileptikus di Amerika Serikat saja telah diperkirakan
dari studi epidemiologi menjadi sekitar 102.000-152.000 episode per tahun dan
sebanyak 55.000 kematian per tahun telah dikaitkan dengan status epileptikus.
Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status
epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1
tahun dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi.1 Status epileptikus merupakan
keadaan kejang terus menerus, dengan kejadian tahunan berkisar 10-86 per
100.000 orang.4

2
3

2.1.3. Etiologi Status Epileptikus


Etiologi dari Status Epileptikus tergantung usia dan menentukan prognosis.
Setelah usia 60 tahun penyakit serebrovaskular beresiko menimbulkan kejang.
Penelitian yang dipimpin oleh Richmon di Virginia USA, pasien yang berumur
lebih dari 60 tahun yang menderita status epileptikus, 35% di antaranya
disebabkan oleh acute cerebrovascular (CVA). Etiologi lainnya hipoksia,
gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi trauma, dan idiopatik.2
Pada penelitian di Rochester, Minnesota, USA mengidentifikasi dementia
ditambah dalam daftar penyebab status epileptikus. Penelitian juga di California
mengidentifikasi strok sering menyebabkan generalized status epilepticus(GSE).2
Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi:1
1. Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan
elektrolit, trauma kepala, perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati
hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak
kongenital.
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik,
otoimun (contohnya vaskulitis)
d. Epilepsi
2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui

Faktor risiko dari status epileptikus berikut adalah beberapa kelompok pasien
yang berisiko mengalami status epileptikus:1
1. Epilepsi
Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu
kali episode status epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE
dapat merupakan manifestasi epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru
epilepsi.
4

2. Pasien sakit kritis


Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI),
trauma kepala, infeksi SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung
bawaan (terutama post-operatif), dan ensefalopati hipertensi.

2.1.4. Patofisiologi Status Epileptikus


Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi
penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan
dan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter
eksitasi utama tersebut adalah neurotran dan asetilkolin, sedangkan
neurotransmiter inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid (GABA).
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks sereprum
kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang.5
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut:5
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan;
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun,
apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);
- Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
5

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah


kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat
hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aluran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan
setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktifitas
kejang.5
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih
bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap
asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat
mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.5
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status
epileptikus melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut.
Berbagai studi eksperimen menemui kegagalan yang mungkin timbul dari
kelangsungan kejang terus menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat
secara tajam atau pengerahan dan penghambatan yang tidak efektif. Obat standar
yang digunakan pada status epileptikus lebih efektif apabila diberikan pada jam
pertama berlangsungnya status.6
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur
limbik seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat
mempertahankan homeostasis melalui peningkatan aliran darah, glukosa darah,
dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis dimulai dan
mungkin akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi, rhabdomyolisis,
hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat sebagai hasil dari pembakaran otot
spektrum luas yang terjadi terus menerus. Setelah 30 menit, tanda-tanda
dekompensasi lainnya meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi,
leukosistosis, dan cardiac output yang tidak memadai.6
6

Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja
nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah
otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak
efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan
mikroglia - yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate
(NMDA) receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit
saja - yang kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-
radical. Aktifasi ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan
glutamat. Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang
dimediasi oleh glutamat - glutamic-mediated excitotoxicity-khususnya di
hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-
neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang,
receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA.
Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan
keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak
yang terjadi pun akan semakin besar.6

2.1.5. Manifestasi Klinis Status Epileptikus


Status epileptikus dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil
peningkatan kebutuhan metabolik akibat kejang berulang dan perubahan autonom
termasuk takikardi, aritmia, hipotensi, dilatasi pupil, dan hipertermia. Perubahan
sistemik termasuk hipoksia, hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan
gangguan elektrolit memerlukan intervensi medis. Kehilangan autoregulasi
serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas kejang yang
terus menerus.7
Status epileptikus tonik-klonik mempunyai 2 fase sebagai berikut:7
1. Fase 1: Kompensasi
Selama fase ini, metabolisme serebral me- ningkat, tetapi
mekanisme fisiologis cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik, dan
jaringan otak terlindungi dari hipoksia atau kerusakan metabolisme.
7

Perubahan fisio- logis utama terkait dengan meningkatnya aliran darah


dan metabolisme otak, aktivitas otonom, dan perubahan kardiovaskuler.

2. Fase 2: Dekompensasi
Selama fase ini, tuntutan metabolik serebral sangat meningkat dan
tidak dapat sepenuhnya tercukupi, sehingga menyebabkan hipoksia dan
perubahan metabolik sistemik. Perubahan autonom tetap berlangsung dan
fungsi kardio- respirasi dapat gagal mempertahankan homeostasis.

2.1.6. Pentalaksanaan Status Epileptikus


Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologic. Evaluasi tanda vital
serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus dilakukan seiring
dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis anti-
konvulsan pada tata aksana status epileptikus.8
Harus ditindaki secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau
cedera saraf permanen. Biasanya dilakukan dua tahap tindakan:8
2.6.1. Stabilitas Penderita
Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki
fungsi vital yang mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan
jalan napas yang adekuat dengan cara pemberian oksigen melalui nasal
canul atau mask ventilasi. Tekanan darah juga perlu diperhatikan, hipotensi
merupakan efek samping yang umum dari obat yang digunakan untuk
mengontrol kejang. Darah diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, gula
darah, elektrolit, ureum, kreatinin. Harus diperiksa gas-gas darah arteri
untuk melacak adanya asidosis metabolic dan kemampuan oksigenasi darah.
Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena. Segera diberi 50 ml
glukosa 50% glukosa iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg im.9
8

2.6.2. Menghentikan Kejang


a. Status Epileptikus Konvulsif
Stadium Penatalaksanaan
Stadium I (0-10 menit) - Memperbaiki fungsi kardio-respirasi
- Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen,
resusitasi bila perlu
Stadium II (10-60 menit) - Pemeriksaan status neurologic
- Pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu
- Monitor status metabolic, AGD dan status
hematologi
- Pemeriksaan EKG
- Memasangi infus pada pembuluh darah besar
dengan NaCl 0,9%. Bila akan digunakan 2
macam OAE pakai jalur infus
- Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan
laboratorium (AGD, Glukosa, fungsi ginjal dan
hati, kalsium, magnesium, pemeriksaan lengkap
hematologi, waktu pembekuan dan kadar
OAE), pemeriksaan lain sesuai klinis
- Pemberian OAE emergensi: Diazepam 0.2
mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/menit
IV dapat diulang bila kejang masih berlangsung
setelah 5 menit
- Berilah 50 cc glukosa 50% pada keadaan
hipoglikemia
- Pemberian tiamin 250 mg intervena pada pasien
alkoholisme
- Menangani asidosis dengan bikarbonat
Stadium III (0-60/90 - Menentukan etiologi
menit) - Bila kejang berlangsung terus setelah
9

pemberian lorazepam / diazepam, beri


phenytoin iv 15 – 20 mg/kg dengan kecepatan <
50 mg/menit. (monitor tekanan darah dan EKG
pada saat pemberian)
- Atau dapat pula diberikan fenobarbital 10
mg/kg dengan kecepatan < 100 mg/menit
(monitor respirasi pada saat pemberian)
- Memulai terapi dengan vasopressor (dopamine)
bila diperlukan
- Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30/90 menit) - Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60
menit, pasien dipindah ke ICU, diberi Propofol
(2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu) atau
Thiopenton (100-250 mg bolus iv pemberian
dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50
mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24
jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan
EEG terakhir, lalu dilakukan tapering off.
Iviemonitor bangkitan dan EEG, tekanan
intracranial, memulai pemberian OAE dosis
rumatan

b. Status Epileptikus Non Konvulsif


Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain
SE Lena Benzodiazepin IV/Oral Valproate IV
SE Parsial Complex Klobazam Oral Lorazepam / Fenintoin /
Fenobarbital IV
SE Lena Atipikal Valproat Oral Benzodiazepin,
Lamotrigin, Topiramat,
10

Metilfenidat, Steroid
Oral
SE Tonik Lamotrigine Oral Metilfenidat, Steroid
SE Non-konvulsif pada Fenitoin IV atau Anastesi dengan
pasien koma Fenobarbital tiopenton, Penobarbital,
Propofol atau
Midazolam

c. Status Epileptikus Refrakter


- Terapi bedah epilepsi
- Stimulasi N. Vagus
- Modifikasi tingkah laku
- Relaksasi
- Mengurangi dosis OAE
- Kombinasi OAE

Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsi refrakter


Kombinasi OAE Indikasi
Sodium valproate + etosuksimid Bangkitan Lena
Karbamazepin + sodium valproate Bangkitan Parsial Kompleks
Sodium valproate + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
11

2.2. Epilepsi
2.2.1. Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptic yang terus menerus, dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial.9
Bangkitan epileptic sendiri adalah: terjadinya tanda / gejala yang bersifat
sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan diotak.3
Namun, agaknya definisi tersebut terlalu sulit untuk di cerna. Maka,
untuk lebih jelasnya, dapat diambil definisi dari Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Infonesia (PERDOSSI), yaitu Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang
ditandai dengan kondisi / gejala berikut:3
12

1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan


refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua
lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun ke
depan sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan
tanpa provokasi / bangkitan refleks (misalkan bangkitan
pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan
pertama pada anak yang disertai lesi struktural dan epileptiform
dischargers)
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.

2.2.2. Epidemiologi Epilepsi


Pada negara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada Negara
maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar antara 4-7/1000 orang dan
5-74/1000 orang di negara sedang berkembang. Daerah pedalaman memiliki
angka prevalensi lebih tinggi dibendingkan daerah perkotaanya itu
15,4/1000(4,8-49,6) dipedalaman dan 10,3 (2,8-37,7) diperkotaan.3
Di Asia, contohnya adalah insidensi epilepsi di Cina adalah 35/100.000
orang pertahun, dan di India 49,3/100.000 orang pertahun Puncak insiden
dinegara Cina (Shanghai) pada usia 10-30 tahun dan >60 tahun, sedangkan di
India puncaknya pada usia 10-19 tahun. Insidens epilepsi dinegara maju
mengikuti distribusi bimodal dengan puncak pertama pada usia balita dan
puncak kedua pada usia 65tahun. Angka insiden dinegara maju dilaporkan
>130/100.000 orang/ tahun pada usia >65 tahun,160/100.000 orang/tahun pada
usia >80 tahun. Insiden status epileptikus dilaporkan sebesar 60-80/100.000
orang / tahun setelah usia 60 tahun, dengan angka mortalitas 2 kali lebih besar
dibandingkan dewasa muda. Sekitar 35% kasus epilepsi yang baru ditemukan
pada usia lanjut (>75 tahun) adalah status epileptikus. Pada negara sedang
berkembang insidens epilepsi lebih tinggi sekitar (100-190/100.000 orang/tahun)
Distribusi bimodal tidak tampak pada negara berkembang. Beberapa negara
13

berkembang melaporkan puncak insiden epilepsi tertinggi pada usia dewasa


muda, tanpa peningkatan pada usia tua.3
Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65tahun) di negara maju
diperkirakan sekitar > 0,9%, lebih dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia > 75
tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara
berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut.
Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang rendah dan usia harapan hidup
rata-rata di negara maju lebih tinggi. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis
kelamin di negara-negara Asia, dilaporkan sedikit lebih tinggi dari pada wanita.3

2.2.3. Klasifikasi Epilepsi


Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsi
(ILAE) terdiri atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan
epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.3

1. Klasifikasi ILAE 1981 untuk jenis bangkitan epilepsi


Bangkitan parsial / fokal
1. Bangkitan parsial sederhana
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala somatosensorik
c. Dengan gejala otonom
d. Dengan gejala psikis
2. Bangkitan parsial kompleks
a. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
b. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
3. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
a. Parsial sederhana yang menjadi umum
b. Parsial kompleks menjadi umum
c. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum
Bangkitan umum
1. Lena(absence)
14

1. Tipikal lena
2. Atipikal lena
2. Mioklonik
3. Klonik
4. Tonik
5. Tonik-klonik
6. Atonik/astatik
Bangkitan tak tergolongkan

Bangkitan parsial adalah apabila dari awal serangan hanya melibatkan area
otak yang terbatas (localized), sedangkan yang disebut dengan serangan umum /
general adalah apabila sejak awal serangan melibatkan kedua hemisfer otak.3

1) Serangan parsial sederhana


Pada serangan parsial sederhana tidak disertai gangguan atau penurunan
kesadaran. Selama serangan berlangsung, penderita tetap sadar dan mampu
menjawab pertanyaan. Pada serangan parsial dengan gejala motorik, pada
umumnya area yang terlibat adalah korteks motorik, yang menyebabkan adanya
gangguan aktivitas otot seperti tonik atau klonik.3
Pada serangan parsial dengan gejala sensorik sering muncul sebagai
halusinasi atau ilusi yang melibatkan rasa sentuh, penghidungan, pengecapan,
penglihatan dan pendengaran. Pada serangan autonomik, dapat menyebabkan
perubahan pada kecepatan denyut jantung atau pernapasan, berkeringat, bulu roma
berdiri, atau rasa aneh di dalam perut. Sedangkan, pada serangan psikis,
menunjukkan adanya gangguan pada daerah sistim limbik dan area neokorteks
pada lobus frontalis dan temporalis. Serangan ini berdampak pada cara berpikir,
berperasaan dan menerima pengalaman. Manifestasi klinisnya antara lain rasa
takut, cemas, depresi, deja vu, dan out of body experience. 3
15

2) Serangan parsial kompleks


Pada serangan parsial kompleks terjadi penurunan kesadaran. Dalam hal
ini, penderita mengalami gangguan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Penderita dapat tampak sadar, namun apabila diperiksa lebih lanjut, maka
penderita tidak sadar dengan lingkungannya, dan kemudian tidak dapat mengingat
kembali apa yang baru saja terjadi padanya. Ciri khas lainnya adalah adanya
automatisme pada pasien. 3

3) Serangan parsial yang berkembang menjadi serangan umum


Serangan umum sekunder terjadi melalui beberapa tahapan yang
merupakan refleksi dari penyebaran cetusan ke berbagai area otak yang berbeda.
Sebagai contoh, serangan parsial berlanjut menjadi serangan parsial kompleks dan
kemudian berkembang menjadi serangan umum (tonik-klonik). 3

4) Serangan epilepsi umum


Serangan epilepsi umum menunjkkan terlibatnya kedua belah hemisferium
secara sinkron sejak awal. Mula serangan berupa kehilangan kesadaran, kemudian
diikuti gejala lainnya yang bervariasi. Jenis-jenis serangan ini dibedakan oleh ada
atau tidak adanya aktivitas motorik yang khas. 3
1. Tonik-klonik umum: Pada serangan tonik-klonik, setelah biasanya didahului
adanya aura, pasien langsung kehilangan kesadaran, yang segera diikuti oleh
jatuhnya penderita ke tanah atau lantai. Pada tahap klonik, otot-otot menjadi
kaku dan berkontraksi yang dapat menyebabkan epileptic cry. Rigiditas
segera berhenti menjadi klonik secara sinkron yang melibatkan kepala,
wajah lengan dan tungkai. Sedangkan serangan ini biasanya berlangsung 2-
5 menit.3
2. Absence: Pada absence, biasanya terjadi pada usia 4-14 tahun dan seringkali
menghilang pada usia 18 tahun. Serangan berupa mata terbelalak dalam
waktu singkat, disertai gangguan kesadaran, mulai tanpa tanda peringatan
dan berhenti secara mendadak dan kemudian penderita sadar kembali seperti
sediakala dengan perhatian penuh. Pada jenis absence sederhana, penderita
16

hanya tampak seperti melamun sejenak, sedangkan pada serangan absence


kompleks, bisa disertainya adanya automatisme. 3
3. Atonik: Serangan atonik memiliki gambaran klinis berupa hilangnya tonus
otot secara total dan mendadak, disertai hiangnya kontrol postur tubuh.
Dengan demikian, terjadi ptosis, kepala menunduk, dan penderita jatuh ke
lantai atau biasa disebut drop attack. 3
4. Mioklonik: Gejala berupa kedutan otot atau sekelompok otot yang bersifat
mendadak, dan singkat. 3
5. Tonik: Gejala khas adalah adanya pengkakuan bilateral secara mendadak
pada tubuh, lengan atau tungkai. Serangan berlangsung kurang dari 20 detik,
dan muncul lebih sering pada penderita tidur. 3

2.2.4. Sindrom Epilepsi


Pada umumnya sindrom epilepsi bersifat khas, unik dan terutama dijumpai
pada golongan anak-anak. Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda
klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset,
jenis serangan, faktor pencetus, dan kronisitas.10
Sindrom epilepsi merupakan kelainan dimana epilepsi merupakan gejala
yang paling dominan, dan terdapat bukti yang cukup secara klinis, EEG,
radiologi, atau obsevasi genetik untuk menentukan mekanisme yang
mendasarinya. Ada tiga sindroma epilepsi yang penting seperti dibawah ini:10
1. Juvenile Myoclonic epilepsi (JME)
JME merupakan jenis kejang umum yang tidak diketahui penyebabnya yang
terjadi pada usia awal remaja, dan biasanya ditandai dengan bilateral myoclonic
jerks yang bisa terjadi hanya satu kali atau berulang. Kejang mioklonik sering
terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur dan bisa dipicu karena kurang tidur.
Tidak ada gangguan kesadaran kecuali pada mioklonik yang berat. Banyak pasien
juga mengalami kejang umum tonik-klonik dan lebih dari 1/3 mengalami kejang
absence. Meskipun kondisi ini sepertinya ringan, pemulihan yang utuh jarang
terjadi tetapi kejang ini berespon baik terhadap OAE. Ada riwayat kejang pada
keluarga, dan studi genetik menunjukkan bahwa ada penyebab poligenik. 10
17

 Lennox-gastaut syndrome (LGS)


Terjadi pada anak-anak dengan TRIAS: tipe kejang multiple (biasanya
tonik-klonik, atonik, dan kejang atipikan absence), EEG menunjukan <3Hz spike-
and-wave dan variasnya, gangguan perkembangan fungsi kognitif sering terjadi
tapi tidak selalu. LGS dihubungkan dengan penyakit SSP atau disfungsi dari
berbagai macam penyebab termasuk gangguan perkembangan, perinatal
hypoxia/iskemia, trauma, infeksi, dan lesi bawaan yang lain. 10

 Mesial temporal lobe epilepsi syndrome (MTLE)


MTLE merupakan sindroma yang paling umum yang dihubungkan dengan
kejang parsial kompleks, dan ini merupakan contoh gejala klinis kejang parsial
yang khas, electroencephalographic, dan karakteristik patologi. MRI resolusi
tinggi dapat mendeteksi sklerosis hipocampus yang tampak dan menjadi penting
sebagai patofisiologi MTLE pada beberapa pasien. mengenali sindrom ini sangat
penting karena sindrom ini cenderung sulit diatasi dengan OAE tetapi berespon
baik dengan intervensi pembedahan. 10

2.2.5. Patofisiologi Kejang


Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.11
Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial
membran, dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV,
selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan
rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-
ion terutama ion Na+, K+ dan Ca2+. Bila sel saraf mengalami stimulasi, misalnya
stimulasi listrik akan mengakibatkan menurunnya potensial membran. Penurunan
potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion
Na+ akan meningkat, sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel.
Apabila hanya sedikit Na+ yang masuk ke dalam sel maka perubahan potensial
18

membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+
sehingga selisih potensial membran kembali ke keadaan istirahat. Perubahan
potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon lokal. Bila
rangsangan cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing
level), maka permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat secara besar-
besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi
ini akan dihantarkan ke sel sarat berkutnya melalui sinap dengan perantara
neurotransmitter. Bila perangsangan telah selesai, maka permeabilitas membran
kembali ke keadaan instirahat, dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel dan K+
masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP.11
Secara umum, terdapat beberapa teori mengenai mekanisme terjadinya kejang,
teori-teori tersebut antara lain sebagai berikut:11
a) Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b) Perubahan permeabilitas membran sel saraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
c) Perubahan relatif pada neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmiter yang bersifat inhibisi dapat menyebabkan
depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidak-seimbangan antara GABA
dan glutamat akan menimbulkan kejang.

Sumber lain menyatakan bahwa patofisiologi kejang secara pasti belum


diketahui, namun diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan
reaksi kimia tubuh. Beberapa faktor fisiologis berperan dalam timbulnya kejang.
Untuk memulai kejang, harus terdapat kelompok neuron yang dapat menimbulkan
suatu discharge dan kerusakan pada γ-aminobutyric acid (GABA)-ergic inhibitory
system. Transmisi discharge sangat bergantung pada eksitasi sinaps glutamat-
ergik. Neurotransmitter asam amino eksitator (glutamat dan aspartat) berperan
dalam timbulnya eksitasi neuronal melalui aksi terhadap reseptor spesifik.11
19

Kejang dapat disebabkan oleh kerusakan neuron pada otak, dan daerah yang
mengalami kerusakan ini dapat menyebabkan hipereksitabilitas sinaps yang dapat
menyebabkan kejang. Lesi pada lobus temporalis menyebabkan kejang, dan bila
jaringan abnormal ini diambil melalui pembedahan, kejang mungkin berhenti.
Ada dua hipotesis yang menyatakan bahwa kejang diakibatkan oleh trauma otak.
Yang pertama adalah kerusakan sebagian neuron inhibitor dan hipereksitabilitas
neuron eksitator. Hipotesis lain menyatakan bahwa jalur eksitator abnormal yang
terbentuk akibat reorganisasi setelah trauma.11
Kejang tertentu pada anak bersifat spesifik terhadap usia, hal ini disebabkan
karena otak yang belum berkembang sempurna lebih rentan terhadap kejang
dibandingkan dengan otak pada anak yang lebih tua atau dewasa. Selain itu, otak
imatur lebih eksitabel dibandingkan otak matur, dilihat dari peran glutamat yang
dominan. Sedangkan GABA, yang merupakan neurotransmiter inhibitor utama,
sering secara berlawanan menyebabkan eksitasi pada otak imatur. Lebih lagi,
substansia nigra memiliki peran terhadap timbulnya kejang umum. Aktifitas
kejang elektrografik menyebar dalam substansia nigra, menyebabkan peningkatan
uptake 2-deoksiglukosa pada hewan dewasa, tetapi tidak ada atau sedikit aktivitas
metabolik dalam substansia nigra ketika hewan imatur mengalami kejang. Selain
itu, substansia nigra yang imatur mungkin berperan dalam peningkatan kerentanan
terhadap kejang. lebih lagi, substansia nigra pars retikulata yang sensitif GABA
berperan dalam pencegahan demam. Nampaknya jalur aliran keluar substansia
nigra memodulasi dan mengatur penyebaran kejang tetapi tidak menyebabkan
timbulnya bangkitan kejang.11
20

Gambar 1. Patofisiologi Kejang Diambil dari Lang, F. Neuromuscular and


Sensosr System: Epilepsi. Dalam: Color Atlas of Pathophysiology. New York:
Thieme. 200: 339

2.2.6. Gejala / Gambaran Klinis


Epilepsi Umum (Generalized)
Pada kelompok epilepsi ini, perubahan EEG menunjukkan bahwa dari
awalnya cetusan epileptik melibatkan kedua hemisphere dengan serentak. 12
21

A. Epilepsi Grandmal (Tonic-clonic seizure)


 Bentuk yang paling sering dijumpai.
 Dapat didahului gejala prodromal seperti jeritan, sentakan, mioklonik,
tegang, perubahan emosi, cepat tersinggung, dll.
 Pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30 detik,
diikuti gerakan kejang kelonjotan pada kedua lengan dan tungkai (fase
klonik) selama 30-60 detik, dapat disertai mulut berbusa
 Selesai serangan pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan tampak
bingung.
 Pasien sering tidur setelah bangkitan.
 Fase tonik  semua lengan dan tungkai ekstensi, penderita tampak
mengejan sehingga wajahnya merah. Kemudian penderita menahan
napas ±30 detik, pada akhir fase ini terjadi sianosis, tekanan darah
meningkat, pupil melebar, refleks cahaya negatif, refleks patologi
positif, kadang-kadang terjadi inkontinensia karena kontraksi
involunter
 Fase klonik  terjadi kejang ritmik, penderita bernapas kembali,
kadang lidah tergigit, ludah bercampur darah (buih kemerahan). Pada
fase ini wajah menjadi normal kembali, tekanan darah menurun, tanda
gejala vital normal.
 Fase post iktal  setelah kejang penderita tertidur. Waktu terbangun
mula-mula terjadi disorientasi, tetapi beberapa menit setelah ini
penderita menjadi normal kembali dan dapat berjalan seperti biasa.

B. Epilepsi Petit mal (Absence seizure)


 Tidak terjadi kejang. Terjadi gangguan kesadaran dalam waktu singkat
(6-10 detik).
 Penderita berhenti dari aktivitas yang sedang dilakukan, seakan-akan
melamun, kemudian melakukan aktivitas kembali
22

 Serangan kadang-kadang dapat 10-20 kali dalam sehari. Karena


singkat biasanya tidak diketahui orang sekitarnya.
 EEG menunjukkan gambaran yang sangat jelas yaitu 3 Hz spike slow
wave.
 Banyak terjadi pada anak-anak usia sekolah.

C. Epilepsi mioklonik
 Banyak terjadi pada anak-anak
 Terjadi gangguan kesadaran sebentar, disertai gerakan involunteer
yang aneh dari sekelompok otot, terutama pada tubuh bagian atas
(bahu dan lengan) yang disebut myoclonic jerking.

D. Epilepsi Atonik
 Secara mendadak penderita kehilangan tonus otot.
 Dapat mengenai beberapa bagian tubuh ataupun otot seluruh badan,
misalnya tiba-tiba kepalanya terkulai karena kehilangan tonus otot
leher atau secara tiba-tiba penderita terjatuh karena hilangnya tonus
otot tubuh. Serangan ini berlangsung singkat disebut drop attack.

Epilepsi Parsial (Fokal)


Epilepsi parsial adalah serangan epilepsi yang bangkit akibat lepas
muatan listrik disuatu daerah dikorteks serebri (terdapat suatu fokus
dikorteks serebri).12
A. Epilepsi parsial sederhana (simple)
Manifestasinya bervariasi tergantung dari susunan saraf pusat yang
terkena. Biasanya dengan gejala motorik, sensorik, autonom, maupun psikis.
Tidak terjadi gangguan kesadaran. 12
 Epilepsi parsial sederhana dengan gejala motorik
Fokus epilepsi biasanya terdapat di gyrus presentralis lobus frontalis
(pusat motorik). Kejang dimulai di daerah yang mempunyai representasi
yang luas di daerah ini. Dimulai di ibu jari, meluas keseluruh tangan,
23

lengan, muka, dan tungkai. Kadang-kadang berhenti di satu sisi. Tetapi


bila rangsangan sangat kuat dapat meluas ke lengan/tungkai yang lain
sehingga menjadi kejang umum. Disebut sebagai jackson motoric epilepsi.
12

 Epilepsi parsial sederhana dengan gejala sensorik


Fokus epilepsi terdapat di gyrus postsentralis lobus parietalis.
Penderita merasa kesemutan didaerah ibu jari, lengan, muka, dan tungkai,
tanpa kejang motorok yang dapat meluas ke sisi yang lain. Disebut sebagai
jackson sensoric epilepsi. 12
B. Epilepsi parsial kompleks
Bangkitan fokal disertai gangguan kesadaran. Sering diikuti
automatisme stereotipik seperti mengunyah, menelan, tertawa, dan kegiatan
motorik lainnya tanpa tujuan yang jelas. Tanda tanda yang menonjol adalah
gejala psikis dan automatisme. Disebut juga epilepsi psikomotor. Sering
didapatkan penderita dengan gangguan pikiran yaitu de javu dan jamaisvu.
Bila epilepsi ini sudah lama timbul, maka dapat timbul afasia sensorik dan
hemianopsia, oleh karena kelainan di lobus temporalis. Pada rekaman EEG
terdapat spikes dan kadang-kadang slow-wave daerah temporal. 12

Epilepsi umum sekunder


 Berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks yang dalam
waktu singkat menjadi bangkitan umum.
 Bangkitan parsial dapat berupa aura
 Bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat tonik-klonik

2.2.7. Diagnosa Epilepsi


Ada 3 langkah untuk mendiagnosa epilepsi, yaitu:4
1. Pastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal menunjukkan
bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi
24

2. Bila bangkitan tersebut merupakan suatu bangkitan epilepsi, kemudian


tentukan bangkitan yang ada termasuk jenis bangkitan apa (klasifikasi
epilepsi)
3. Pastikan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tersebut
atau epilepsi jenis apa yang diderita oleh pasien serta tentukan
etiologisnya.

Diagnosa epilepsi ditegakkan bila terdapat gejala dan tanda klinis


berupa bangkitan epilepsi berulang minimal 2 kali yang ditunjang dengan
gambaran epileptiform pada EEG.4
a) Anamnesis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
yang dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
Namun, apabila pemeriksa secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka diagnosis epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan. Hal
demikian ini bermanfaat bagi pemeriksa yang tidak didukung fasilitas yang
lengkap.4
Penderita dan/atau orangtuanya perlu dimintai keterangan tentang
adanya riwayat epilepsi pada keluarga. Seorang ayah yang menderita
epilepsi hanya sedikit meningkatkan kemungkinan epilepsi pada anaknya.
Bila ibu menderita epilepsi maka kemungkinan mewariskan epilepsi pada
anaknya lebih besar, namun kemungkinan tersebut di bawah 5%. Bila kedua
orangtuanya menderita epilepsi maka kemungkinan untuk mewariskan
kepada anaknya hanya meningkat sedikit. Epilepsi umum lebih banyak
diwariskan daripada epilepsi parsial.4
Sehingga dapat disimpulkan pada anamnesa harus digali untuk
mendapatkan informasi mengenai:4
Pola atau bentuk bangkitan
1. Lama bangkitan
2. Gejala sebelum, selama maupun pasca bangkitan
3. Frekuensi bangkitan
25

4. Ada atau tidaknya penyakit lain yang diderita saat ini


5. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
6. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan atau kelahiran dan
perkembangaan saat bayi/anak
7. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
8. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

b) Pemeriksaan fisik umum dan neurologi


Pemeriksaan fisik harus menyingkirkan sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada penderita yang lebih tua, auskultasi di daerah leher penting
untuk mendeteksi penyakit vaskular. Pada anak-anak, pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan pertumbuhan, adenoma sebasea, dan
organomegali (storage disease). Perbedaan ukuran antara anggota tubuh
dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.4
Penilaian neurologi meliputi status mental, gait, koordiansi, saraf
kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta reflesks tendon. Penderita yang
menunjukkan tanda-tanda kelainan neurologis yang tidak jelas perlu
diperiksa lebih teliti. Harus diingat bahwa kelainan neurologis yang samar
atau ringan dapat menunjukkan lesi otak, sehingga harus dilakukan secara
hati-hati.4
Pemeriksaan secara hati-hati dari status mental (termasuk memori,
fungsi bahasa, dan berpikir abstrak) dapat menunjukkan lesi di lobus
anterior frontal, parietal atau lobus temporal. Uji lapang pandang dapat
membantu menyaring lesi di jalur optik dan lobus oksipital. Uji penyaringan
dari fungsi motorik seperti pronator drift, deep tendon reflexes, gait dan
koordinasi dapat menunjukkan lesi di korteks motorik (frontal), dan uji
sensori kortikal (contoh: double simultaneous stimulation) dapat mendeteksi
lesi di korteks parietal.4
Perhatikan adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan
dengan epilepsi seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinusitis,
26

gangguan kongenital, gangguan neurologi fokal atau difus, kecanduan


alkohol maupun obat terlarang dan kanker.4
.

c) Pemeriksaan penunjang
1. Elektro-ensefalografi (EEG)
Elektroda yang ditempelkan ke kulit kepala dapat mendeteksi aktivitas
listrik spontan di otak. EEG mengkonduksikan aktivitas di otak sebagai
gelombang; frekuensi gelombang diukur per detik (Hz). EEG dapat
mendeteksi berbagai jenis abnormalitas baik yang bersifat fokal maupun
difus. Ada dua jenis kelainan utama, ialah aktivitas yang lambat dan
epileptiform,4
Pada epilepsi pola EEG dapat membantu untuk menentukan jenis dan
lokasi serangan. Gelombang epileptiform berasal dari cetusan paroksismal
yang bersumber pada sekelompok neuron yang mengalami depolarisasi
secara sinkron. Gambaran epileptiform antar cetusan yang terekam pada
EEG muncul dan berhenti secara mendadak, seringkali dengan morfologi
khas. Perlu diketahui bahwa pola epileptiform ini dapat muncul pada orang
yang tidak menderita epilepsi sekitar 1-2%. Sebaliknya, rekaman EEG pada
penderita epilepsi dalam keadaan sadar dan istirahat dapat menunjukkan
gambaran yang normal. Perlu diperhatikan bahwa hasil pemeriksaan EEG
saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosa
epilepsi.4
EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun tidur, dengan stimulasi
fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada
epilepsi refleks). Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan)
pada orang dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%. Pada pemeriksaan
ulang gambaran epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%.4
Bila EEG pertama menunjukkan hasil normal sedangkan dugaan
epilepsi sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam
setelah bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus seperti dengan
27

mengurangi tidur (sleep deprivation) atau dengan menghentikan obat anti


epilepsi (OAE).4

Indikasi EEG:4
1. Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural
2. Adanya perubahan bentuk bangkitan
3. Terdapat defisit neurologi fokal
4. Epilepsi dengan bangkitan parsial
5. Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
6. Untuk persiapan tindakan pembedahan

EEG juga digunakan untuk mengklasifikasikan gangguan kejang


dan membantu menseleksi pengobatan OAE. Seperti contohnya episodic
generalized spike-wave activity seringkali terlihat pada pasien dengan
epilepsi tipe absans dan dapat terlihat dengan sindroma epilepsi menyeluruh
lainnya. Focal interictal epileptiform discharge akan mendukung diagnosis
dari gangguan kejang parsial seperti kejang epilepsi lobus temporalis atau
frontalis.4
Rekaman EEG rutin pada kulit kepala dapat juga digunakan untuk
menilai prognosis gangguan kejang; pada umumnya suatu EEG normal
menyatakan prognosis yang lebih baik, mengingat suatu latar belakang
abnormal atau aktivitas epileptiform yang profus menunjukkan hasil yang
buruk.4

2. Rekaman video-EEG
Rekaman EEG dari video secara simultan pada seorang penderita
yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis
dan lokasi sumber serangan. Rekaman video-EEG memperlihatkan
hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan
untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal
28

ini bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara


pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi
fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan
operasi.4

3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging studies
bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila
dibandingkan dengan CT-Scan maka MRI lebih sensitif dan secara
anatomik akan tampak lebih rinci.4
MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
Selain itu, MRI dapat mengidentifikasi kelainan pertumbuhan otak, tumor
yang berukuran kecil, malformasi vaskular tertentu, dan penyakit
demielinisasi 4
Secara teori, semua kasus epilepsi parsial (kecuali anak dengan
epilepsi rolandik benigna) harus diperiksa dengan MRI. Indikasi yang lain
adalah adanya kelainan neurologis fokal, gelombang lambat fokal pada
EEG, epilepsi refrakter (untuk mencari sklerosis temporal mesial dan
glioma derajat rendah), dan penderita yang serangannya makin sering serta
makin berat. 4
Sementara itu PET mengukur metabolisme otak regional dengan
menggunakan molekul radioaktif. PET (positron emission tomography)
antarcetusan bermanfaat untuk evaluasi pra-operasi terutama pada penderita
dengan epilepsi lobus temporalis (fokusnya menunjukkan gambaran
hipometabolisme atau disebut juga a cold spot), single photon emission
computed tomography (SPECT) mengukur aliran darah otak regional
dengan menggunakan molekul radioaktif. SPECT digunakan selama dan
sesudah serangan, bermanfaat untuk evaluasi pra-operasi penderita dengan
fokus baik di temporal maupun di luar daerah temporal 4

4. Pemeriksaan Laboratorium
29

Uji darah rutin diindikasikan untuk mengidentifikasi penyebab


metabolik yang lebih sering menjadi penyebab kejang seperti abnormalitas
elektrolit, glukosa, kalsium atau magnesium dan penyakit hepar maupun
ginjal. Pemeriksaan toxin pada darah dan urin juga harus diperoleh dari
semua pasien yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi, terutama ketika
faktor pemicunya tidak jelas. Pungsi lumbar diindikasikan bila ada
kecurigaan meningitis atau encephalitis dan pada semua pasien yang
terinfeksi dengan HIV, walaupun tidak ada gejala atau tanda yang
menunjukkan infeksi.4

2.2.8. Diagnosa Banding


Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptic,
seperti pingsan (Syncope), reaksi konversi, panic dan gerakan movement
disorder. Hal ini sering membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan
pengobatannya. 4
1. Pada neonates dan bayi:
 Jittering
 Apnele spell

2. Pada dewasa:
 Sinkope dapat sebagai vasovagal attack, sinkope kardiogenic, sinkope
hipovolemic, sinkope hipotensi dan sinkope saat miksi (micturition
syncope)
 Serangan iskemik sepintas (transient ischemic syncope)
 Vertigo
 Transient global amnesia
 Narkolepsi
 Bangkitan panic
 Sindrom menier
 Tics
30

3. Pada anak
 Breath holding spells
 Sinkope
 Migren
 Bangkitan psikogenic
 Prolonged QT syndrome
 Night terror
 Tics
 Hypercianotic attack (pada tetralogi fallot)

2.2.9. Penatalaksanaan Epilepsi


Setelah membuat diagnosis yang tepat, hal yang perlu diperhatikan sebelum
menentukan terapi obat anti epilepsi (OAE) adalah berapa besar kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang, berapa besar kemungkinan terjadinya konsekuensi
psikososial, masalah pekerjaan, atau keadaan fisik akibat bangkitan selanjutnya
dan pertimbangkan untung rugi antara pengobatan dan efek samping yang
ditimbulkan. Ketepatan diagnosis merupakan dasar terapi, diagnosis yang kurang
tepat dapat menyebabkan terapi yang tidak tepat juga.3
Penatalaksanaan seluruh penderita epilepsi didasarkan atas hal-hal
sebagai berikut:
1. Diagnosis yang tepat disertai deskripsi jenis serangan
2. Identifikasi dan koreksi penyebab yang mendasarinya
3. Pemilihan OAE yang paling efektif untuk jenis serangan yang ada
4. OAE diberikan dengan dosis awal yang rendah dan bila perlu dinaikkan
sampai efektif atau sampai muncul efek samping,
5. Monoterapi sebagai prioritas utama.
Sementara itu identifikasi pencetus terjadinya serangan sangat penting
artinya dalam penatalaksaaan epilepsi. Tujuan identifikasi pencetus tadi adalah
untuk menghindari terjadinya serangan berikutnya. Hal-hal tersebut berlaku bagi
penderita pria maupun wanita. Sementara itu, oleh karena ada perbedaan
31

fisiologis pada wanita maka dalam hal-hal tertentu diperlukan adanya perhatian
khusus dan/atau modifikasi.4

1. Tujuan terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi
dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandangmental
yang dimilikinya. Harapannya adalah “bebas bangkitan, tanpa efek samping”.
Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara
samping/dengan efek samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan
kematian. 3

Penatalaksanaan tahap akut


Walaupun serangan konvulsif tampak menakutkan orang lain dan
menyakitkan penderita, si penderita itu sendiri tidak menyadari apa yang sedang
terjadi. Siapa pun yang menyaksikan serangan tonik-klonik harus tetap tenang,
menolong penderita agar tetap berbaring di tempat yang aman. Penderita perlu
dimiringkan agar tidak terjadi aspirasi saliva atau muntahan. Sementara itu
penolong tidak perlu melakukan tindakan melawan gerakan/kejang karena dapat
mencederai penderita maupun si penolong itu sendiri. Pakaian yang ketat segera
dilonggarkan, kalung dan kacamata dilepas. Jangan memasukkan benda apapun
(termasuk jari) ke dalam mulut penderita; benda yang di masukkan ke mulut
dapat mencederai mulut dan gigi penderita atau jari penolong dapat tergigit.3
Setelah kejang reda maka penderita dapat bingung dan/atau agresif.
Dalam keadaan demikian ini jangan memberi makan/minum kepada penderita
sampai dengan dia sadar betul. Sebelum dibiarkan sendirian, maka perlu
dipastikan bahwa penderita sudah sadar penuh atau belum dengan mengajukan
pertanyaan yang jawabannya bukan sekedar ya atau tidak.3
Apabila seseorang mengalami serangan parsial kompleks, dengan
demikian masih ada “sisa kesadaran”, maka pertolongannya lebih sederhana.
Penderita dibawa ke tempat yang aman; dapat dilakukan sedikit pemaksaan bila
misalnya penderita berjalan ke arah arus lalu lintas. Otomatisme selama
32

serangan biasanya tampak memalukan tetapi tidak berbahaya. Bila mungkin


maka penderita dibawa ke tempat yang tenang dan aman. 3

Macam-macam terapi epilepsi


Terapi pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologi dan nonfarmakologi.4

A. Terapi Farmakologi
Prinsip terapi farmakologi
 OAE diberikan bila: 4
o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
o Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
o Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan
tentang tujuan pengobatan.
o Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang
kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE.
o Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah
dihindari (misalnya: alcohol, kurang tidur, stress, dll)
 Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.4
 Pemberian obat dimulai dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan
bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.4
 Kadar obat dalam plasma ditentukan bila: 4
o Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
o Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan oleh
kehamilan, penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE)
o Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan
o Setelah penggantian dosis/regimen OAE
o Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.

 Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat


mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Caranya bila
33

OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan


bertahap (tapering off). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE
pertama maka kedua OAE tetap diberikan. Bila responsyang didapat
buruk, kedua OAE hares diganti dengan OAE yang lain. Penambahan
OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respons dengan OAE kedua,
tetapi respons tetap suboptimal walaupun pergunaan kedua OAE
pertama sudah maksimal. 4
 OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan
OAE pertama. 4
 Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk
dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila. 4
o Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
o Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang
berkorelasi dengan bangkitan; misalnya meningioma,
neoplasma otak, AVM, abses otak ensafalitis herpes.
o Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang
mengarah pada adanya kerusakan otak
o Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan
orang tua)
o Riwayat bangkitan simtomatis
o Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi
seperti JME (Juvenile Myoclonic Epilepsi)
o Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan
kesadaran stroke, infeksi SSP
o Bangkitan pertama berupa status epileptikus
 Efek samping OAE perlu diperhatikan demikian pula
halnya dengan profil farmakologis tiap OAE dan interaksi
farmnakokinetik antar-OAE. 4
 Strategi untuk mencegah efek samping: 4
o Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
34

o Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu


pada sindrom epilepsi dan karakteristik penyandang.

Penghentian OAE
 Pada dewasa; penghentian OAE secara bertahap dapat
dipertimbangkan setelah 3-5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat
dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Dalam hal
penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu diperhatikan,
yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan
kambuhan bangkitan setelah OAE dihentikan. 4
 Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai
berikut: 4
o Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG
normal
o Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau
keluarganya.
o Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula
setiap bulan dalam jangkat waktu 3-6 bulan
o Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai
dari 1 OAE yang bukan utama.
 Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar
kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut: 4
o Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin
tinggi
o Epilepsi simtomatis
o Gambaran EEG yang abnormal
o Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
o Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat
jarang pada sindrom epilepsi benigna dengan gelombang
tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada epilepsi lena
35

masa anak kecil,25-75%, epilepsi parsial


kriptogenik/simtomatis, 85-95% pada epilepsi mioklonik pada
anak, dan JME.
o Penggunaan lebih dari satu OAE.
o Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan
kekambuhan lebih kecil pada penyandang yang telah bebas
bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari lima tahun).
 Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir
(sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluassi kembali.
Rujukan ke spesialis epilepsi perlu ditimbangkan bila: 4
o Tidak responsive terhadap 2 OAE pertama
o Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi
o Berencana untuk hamil
o Dipertimbangkan untuk penghentian terapi.

Terapi terhadap epilepsi resisten Obat-antiepilepsi


Yang dimaksud dengan epilepsi resisten OAE adalah kegagalan setelah
mencoba dua OAE pilihan yang dapat ditoleransi, dan sesuai dosis (baik sebagai
monoterapi atau kombinasi) yang mencapai kondisi bebas bangkitan. 4
Sekitar 25-30% penyandang akan berkembang menjadi epilepsi resisten
OAE. Penanganan epilepsi resisten OAE mencakup hal-hal sebagai berikut: 4
 Kombinasi OAE
 Mengurangi dosis OAE (pada OAE induced seizure)
 Terapi bedah
 Dipikirkan penggunaan terapi nonfarmakologis.

B. Terapi Non-Farmakologis
Meliputi:
1. Tindakan operasi
Sekitar 20% dari penderita epilepsi resisten terhadap OAE
sehingga perlu beberapa terapi untuk dikombinasikan dengan
36

OAE. Untuk beberapa penderita, operasi sangat efektif untuk


mengurangi frekuensi kejang dan bahkan dapat mengontrol kejang
kompleks. Pentingnya pembedahan dapat dipahami ketika
mendiagnosis pasien yang mengalami sindrom epilepsi yang
dianggap mungkin resisten terhadap OAE. Pasien harus
diupayakan untuk mendapat terapi medis yang efisien dan relatif
singkat kemudian dirujuk untuk dievaluasi dengan pembedahan
daripada membiarkan pasien gagal di terapi dengan obat-obatan
selama bertahun-tahun dan mengalami trauma psikososial juga
meningkatkan mortalitas.13
Prosedur pembedahan yang paling umum untuk pasien
dengan epilepsi lobus temporal meliputi reseksi lobus temporal
anteromedial (temporal lobectomy) atau hanya sebatas mengambil
hipocampus dan amygdala (amygdalohypocampectomy). Kejang
focal yang berasal dari daerah ekstratemporal dapat dihilangkan
dengan reseksi neokortikal fokal dengan mengambil lesi yang
sudah teridentifikasi dengan tepat (lesionectomy). Apabila bagian
kortikal tidak dapat diambil, dapat dilakukan transeksi subpial
multiple yang menghalangi koneksi intrakortikal untuk mencegah
penyebaran kejang. Hemispherectomy atau reseksi multilobar
berguna untuk beberapa pasien dengan kejang yang berat karena
kelainan di hemisfer seperti hemimegaloencephaly, atau kelainan
displastik lainnya, dan corpus callosotomy telah terbukti efektif
untuk menghentikan kejang tonik atau atonik yang biasanya ada
pada kasus kejang campuran contohnya pada lennox-gastaut
syndrome. 13
Evaluasi prabedah dirancang untuk mengidentifikasi dasar
fungsional atau struktural pada pasien kejang. Penilaian dengan
Video EEG pasien rawat inap digunakan untuk menentukan lokasi
anatomi dari fokus kejang dan untuk mengkorelasi aktivitas
elektrofisiologi yang abnormal dengan manifestasi kejang.
37

Rekaman Sclap rutin atau scalp sphenoidal biasanya cukup


digunakan untuk neuroimaging menggunakan pengawasan invasif
elektrofisiologi seperti implant elektrode atau yang lebih umum
dengan sub dural elektroda. Scan MRI resolusi tinggi rutin dipakai
untuk identifikasi lesi struktural. Pencitraan fungsional seperti
SPECT dan PET adalah pemeriksaan tambahan yang membantu
memverifikasi lokasi yg tampak dibagian epileptogenik. 13

2. Stimulasi nervus vagus


Stimulasi nervus vagus merupakan salah satu
alternative untuk meredakan serangan pada epilepsi refrakter
yang tidak mungkin untuk dilakukan tindakan operasi. Pada
mulanya dikerjakan pada binatang percobaan dengan
memberi stimulasi kronis secara intermiten terhadap nervus
vagus kiri. Percobaan pada manusia dilakukan sejak tahun
1987. Stimulasi nervus vagus memperlihatkan efek
antikonvulsan pada binatang percobaan dan kemudian
percobaan dilakukan pada manusia, secara buta-tunggal.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut kemudian dilakukan
penelitian di 17 pusat penanganan epilepsi terhadap 114
penderita secara buta-ganda placebo. Pada pengamatan jangka
pendek maupun jangka panjang, stimulasi nervus vagus tadi
memperlihatkan efek anti-konvulsan yang bermakna secara
statistic(Harsono, 2011).
Mekanisme yang tepat dari fungsi Stimulasi nervus
vagus tidak diketahui, meskipun penelitian experimental telah
menunjukkan bahwa stimulasi pada nucleus nervus vagus
menyebabkan aktivasi yang luas pada jalur cortical dan
subcortical dan berhubungan dengan peningaktan ambang
kejang. 9
38

3. Diet Ketogenik
Diet ketogenic dapat mengendalikan serangan yang ada,
terutama pada anak-anak. Berdasarkan pengetahuan bahwa
ketosis dan asidosis mempunyai efek antikonvulsan maka
Wilder pada tahun 1921 mengenalkan diet ketogenic sebagai
terapi epilepsi. Diet tersebut memerlukan protein 1
gr/kg/BB/hari, ditambah lemak untuk kalori tambahan dan
karbohidrat minimal. Restriksi karbohidrat dan pemasukan
lemak yang tinggi akan menyebabkan rasa yang sangat tidak
enak. Efek antiepilepsi bergantung kepada derajat ketosis
yang ditentukan oleh rasio lemak-karbohidrat. 4
Mekanisme diet ketogenic mengandalkan serangan
atau bagaimana diet ketogenic mempengaruhi proses
epileptogenic belum diketahui secara jelas. Penelitian lebih
lanjut tentang diet ketogenic memungkinkan untuk
pengembangan OAE baru yang efeknya menyerupai diet
ketogenic. 4
4. Deep brain stimulation
5. Relaksasi, behavioral cognitive therapy dan biofeedback

Anda mungkin juga menyukai