Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH BIOFARMASETIKA

“PROSES ADSORPSI, DISTRIBUSI, METABOLISME, DAN EKSRESI OBAT


MELALUI REKTAL”

KELOMPOK : 5

1. Anggelina H. H. Ratumakin (174111004)


2. Cicilia Nadya Buli (174111006)
3. Maria F. Yolanda Kehi (174111019)
4. Veronika Lidia Atok (174111031)
5. Yosefina Aga (174111033)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

UNIVERSITAS CITRA BANGSA

KUPANG

2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas Rahmat dan Karunia-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah BIOFARMASETIKA ini dengan baik.
Dalam penyelesaian makalah ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan yang kami miliki,
untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah kami harapkan demi dan untuk
pengembangan makalah ini.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini.

Harapan kami, semoga makalah ini bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan sekaligus
dapat menambah pengetahuan.

Kupang, 22 November 2019

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................................

1.1 Latar belakang.......................................................................................................


1.2 Rumusan masalah.................................................................................................
1.3 Tujuan.................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................

2.1. Anatomi dan Fisiologi Rektal.............................................................................

2.2. Cara Pelepasan Obat Per Rektal...........................................................................

2.3 Keuntungan dan kerugian pemberian obat per rektal..........................................

BAB III PENUTUP............................................................................................................

3.1 Kesimpulan......................................................................................................

3.2 Saran.................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Rute per oral merupakan pemberian obat yang paling umum dalam penelitiandan
pengembangan obat baru dan bentuk sediaan, tetapi pemberian oral tidak selalu
menghasilkan efek yang diinginkan atau dapat diterima oleh pasien. Obat yang absorpsinya
tidak baik di saluran gastrointestinal dan tidak stabil oleh enzim proteolitik merupakan
beberapa masalah pada pemberian obat pada rute oral. Beberapa obat menyebabkan iritasi
lokal pada lambung atau saluran gastrointestinal atas atau membutuhkan dosis lebih dari 500
mg. Populasi pasien tertentu, umumnya anak-anak,orang tua dan pasien yang sulit menelan,
seringnya kesulitan untuk mengonsumsi tabletdan kapsul oral. Sebagai tambahan,
pengobatan beberapa penyakit paling baikdilakukan dengan pemberian langsung pada tempat
yang sakit, umumnya pada penyakit di mata, mulut, dermal, rongga oral, dan jaringan
anorektal. Pemberian oral dapatdigunakan untuk tujuan drug targeted untuk jaringan yang
terkena penyakit, namun terpaparnya seluruh kompartemen tubuh pada pemberian obat
melalui oral tidak efisien dan bisa memicu efek yang tidak diinginkan.Pemberian obat rektal
dapat diterima baik untuk penghantaran obat lokal dansistemik.
Pemberian obat rektal efektif digunakan untuk mengobati penyakit local pada area
anorektal juga untuk menghasilkan efek sistemik sebagai alternatif dari pemberian oral.
Obat-obat yang mengalami metabolisme lintas pertama ketika diberikan oral, masalah ini
dapat diatasi dengan pemberian obat tersebut melalui rute rektal. Formulasi penghantaran
obat melalui rektal terdapat dalam berbagai bentuk sediaan, antara lain supositoria, gel,
aerosol, busa ( foam), krim maupun controlled release.
Meskipun pemberian obat secara rektal tidak dapat menjadi rute pemberian yang umu
mnya diterima, penggunaan teknologi penghantaran obat rektal untuk penggunaan tertentu
dan masalah terapeutik tertentu memberikan rute penghantaran obat alternatif yang dapat
sukses diterapkan dalam terapi obat.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana anatomi dan fisiologi dari rektal?
1.2.2 Bagaimana cara pelepasan obat per rektal?
1.2.3 Apa saja keuntungan dan kerugian dari pemberian obat per rektal?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui tentang anatomi dan fisiologi dari rektal.
1.3.2 Untuk mengetahui tentang cara pelepasan obat per rektal?
1.3.3 Untuk mengetahui tentang keuntungan dan kekurangan pemberian obat per rektal.

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Rektal


Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki
(sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar lebih
besar dari pada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci ( sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus
diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada
sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum
menempati sekitar dua atau tiga inci pertama usus besar. Katup ileoseksal mengontrol aliran
kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum,
desendens, dan sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam, yaitu pada
abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakn fleksura hetpatik fleksura lienalis.
Kolon sigmoid dimulai dari krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan
bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Rektum
terbentang dari kolon sigmoid sampai anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat
kanalalis ani yang dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum
sampai kanalis ani adalah 5,9 inci (Lindseth,2005).
Dinding kolon terdiri dari empat lapisan, tunika serosa, muskularis, tunika
submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran-gambaran yang
khas berupa lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga
pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenialebih pendek
dari pada usus sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang
disebut haustra. Pada taenia melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak
yang disebut apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus
lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada usus halus.
(Taylo, 2005).
Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior. Arteri
mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari sekum sampai dua
pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika superior mempunyai tiga cabang
utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri
mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian kiri ( mulai dari sepertiga distal kolon
transversum sampai rektum bagian proksimal). Arterimesentrika inferior memiliki tiga
cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalisunggul, dan arteri sigmoidea.
Vaskularisasi tambahan daerah rektum pengaturan oleh arteria sakralis media dan
arteriahemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon dan rektum unggul
melalui vena mesenterika unggul dan inferior juga vena hemorroidalis unggul, yaitu bagian
dari sistem pintu gerbang yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan
inferior mengalirkan darah vena hemorroidalis unggul, media, dan inferior jadi peningkatan
trkanan portal dapat terus aliran balik ke dalam vena-vena ini dan menjalani hemorroid.
Aliran kapal limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi preaorta pada pangkal arteri
mesenterika unggul dan inferior. Aliran balik kapal limfe melalui sisterna kili yang bermuara
ke dalam sistem vena pada sambungan vena subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini
menyebabkan metastase karsinoma gastriointestinal bisa ada dalam kalenjar limfe leher.
Aliran balik kapal limfe rektum mengikuti aliran kapal darah hemorroidalis superior dan
kapal limfe kanalis ani menyebar ke nodi limfatisiiliaka interna, sedangkan aliran balik kapal
limfe dubur dan kulit perineum mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis (Taylo, 2005).
Inervasiusus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali singing eksternus yang
pengaturan secara sukarela. Serabut parasimpatis berjalan malalui saraf vaguske bagian
tengah kolon transversum, dan saraf halelvikus yang kehadiran dari daerah sakral mensuplai
bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars torasika dan lumbalis medula spinalis
melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis preortika. Disana bersinaps dengan pos simpul
saraf yang mengikuti aliran arteri utama dan berakhir pada pleksus mienterikus ( Aurbach)
dan submukosa (Meissner). Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan
kontraksi, juga perangnsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis memiliki efek
yang sebaliknya. Penuh usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang
diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissener dan Aurbach) dan interkoneksinya.
Jadi pasien dengan kerusakan medula spinalis maka fungsi usus yang abnormal karena pada
penyakit ini terjadi keabsenan pleksus Aurbach dan Meissner (Taylo, 2005).
Luas daerah absorpsi kolon didperkirakan sekitar 900cm 2 epitel kolon
menggunakan butirat yang dihasilkan oleh floral normal kolon dengan memfermentasi
karbohidrat sebagai bahan bakar. Butirat yang dihasilkan bakteri ini bisa membantu
penyerapan udara dan sodium di kolon, stimulasi aliran darah di kolon, memperbaiki mukosa
kolon, dan udara meregulasi pH untuk tetap homeostasis floral normal kolon.
Sekitar 1000 hingga 1500ml cairan mengalir dari ilenium ke kolon setiap, sedangkan
jumlah udara yang berada dalam feses hanya sekitar 100 hingga 150 ml saja pengurangan
hingga 10 kali lipat ini menunjukan kolon merupakan tempat pengabsorpsian pagar pada
saluran pencernaan.
2.2 Cara Pelepasan Obat Per Rektal
2.2.1 Absorpsi
Secara rektal supositoria digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat
diserap oleh mukosa dalam rektum. Aksi kerja awal dapat diperoleh secara cepat,
karena obat diabsorpsi melalui mukosa rektal langsung masuk kedalam sirkulasi
darah, serta terhindar dari pengrusakan obat dari enzim di dalam saluran
gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hepar. Obat
yang diabsorpsi melalui rektal beredar dalam darah tidak melaluihati dahulu hingga
tidak mengalami detoksikasi atau biotransformasi yang mengakibatkan obat
terhindar dari tidak aktif.
Langkah-langkah yang diabsorpsi rektal meliputi tiga tahap yaitu :
1) Pelelehan bentuk sediaan karena temperatur badan,
2) Difusi zat aktif dari basis yang meleleh. Dalam hal ini viskositas dan
koefisien partisi sangat berpengaruh,
3) Penetrasi zat aktif yang larut lewat sel epitel mukosa membran. Hal ini
sangat tergantung dari sifat fisika kimia zat aktif (Murrukmihadi, 1986).
Penyerapan direktum dapat terjadi dengan tiga cara yaitu:

a. Lewat pembuluh darah secara langsung


b. Lewat pembuluh getah bening
c. Lewat pembuluh darah secara tidak langsung melalui hati
Penyerapan hanya terjadi pada pembuluh darah secara langsung lewat
inferior dan vena intermedier yang berperan dan membawa zat aktif melalui vena
iliaca ke vena cava inferior. Menurut Quecauviller dan Jund bahwa penyerapan
dimulai dari vena haemorrhoidalles inferiorterutama vena haemorrhoidalles
superior menuju vena porta melalui vena mesentricuminferior. Saluran getah
bening juga berperan pada penyerapan rektal yaitu melalui salurantoraks yang
mencapai vena subclavula sinistra. Menurut Fabre dan Regnier pengaruh
tersebuthanya berlaku pada obat-obat yang larut lemak.
Terdapat beberapa faktor yang harus diatasi untuk obat dapat diserap setelah
pemberian rektal. Jika obat diberikan dalam bentuk supositoria, pelelehan atau
pencairan basis harusterjadi dan hal ini akan menentukan penyebaran dosis ke
seluruh rektum. Obat juga harusmelarut pada cairan rektal yang jumlahnya terbatas,
antara 1 ml sampai 3 ml. Jumlah obat yangtersedia untuk diserap bisa dikurangi
oleh isi lumen, adsorpsi isi lumen dan defekasi. Obatkemudian harus berdifusi
melewati air dan lapisan mucus menuju epithelium.
Obat bisa diserap melalui sel epitel atau melaluitight junction, dengan
mekanismetransport pasif. Vena balik dari kolon dan vena di rektum atas
merupakan vena portal menujuke hati. Jika obat diberikanpada bagian atas rektum,
maka obat akan diangkutke sistem portadan akan mengalami ,etabolisme lintas
pertama di hati. Satu-satunya cara menghindari metabolisme lintas pertama adalah
memberikan obat pada bagian bawah rektum.
Absorpsi obat melalui epitel rektal melibatkan dua rute transport yaitu rute
transelulardan rute paraselular. Mekanisme pengambilan pada rute transelular
bergantung padalipofilisitas sedangkan rute paraselular adalah difusi obat melalui
ruang antara sel-sel epithelial.Absorpsi rektal dari obat bergantung pada beberapa
sifat obat seperti koefisien partisi dan ukuran molecular. Koefisien partisi yang
kecil, ukuran molecular yang besar, muatan dan kemampuan pembentukan ikatan
hidrogen yang tinggi adalah faktor-faktor yangmenyebabkan absorpsi yang rendah
dari obat. Faktor lainnya adalah adanya feses yang bisamengubah absorpsi obat.
Larutan, suspensi dan supositoria merupakan bentuk sediaan yang umum untuk
pemberian rektal. Kandungan rektal umumnya bersifat basa dan larutan basa
biasanya cepat diserap di bandingkan larutan yang bersifat asam. Larutan berair dan
alkohol diserap dengan cepat sedangkan suspensi dan supositoria absorpsinya
lambat dan kontinyu.

Absorpsi obat dari supositoria rektal dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
factor fisiologis, faktor fisika kimia dari obat dan bahan dasarnya.

1. Faktor fisiologis
a. Kandungan kolon
Efek sistemik dari supositoria yang mengandung obat, absorpsi yang
lebih besar lebih banyak terjadi pada rektum yang kosong dari pada rektum yang
digelembungkan oleh feses. Obat lebih mungkin berhubungan dengan permukaan
rektum dan kolon yang mengabsorpsi dimana tidak ada feses. Oleh karena itu bila
diinginkan suatu enema untuk mengosongkan dapat digunakandan dimungkinkan
pemberiannya sebelum penggunaan supositoria dengan obatyang diabsorpsi

b. Jalur sirkulasi
Obat yang diabsorpsi melalui rektum, tidak melalui sirkulasi portal sewaktu
perjalanan pertamanya dalam sirkulasi yang lazim, dengan cara demikian obat
dimungkinkan untuk dihancurkan dalam hati untuk memperoleh efek sistemik.
Pembuluh hemoroid bagian bawah yang mengelilingi kolon menerima obat yang
diabsorpsi lalu mulai mengedarkannya ke seluruh tubuh tanpa melalui hati.
Sirkulasi melalui getah bening juga membantu pengedaran obat yang digunakan
melalui rektum (Ansel, 1989).

c. pH dan tidak ada kemampuan dapar dari cairan rektum


Cairan rektum netral pada pH 7-8 dan kemampuan mendapar tidak
ada,maka bentuk obat yang digunakan lazimnya secara kimia tidak berubah oleh
lingkungan rektum (Ansel, 1989).

2. Faktor fisika kimia dari obat dan basis supositoria


Faktor fisika-kimia dari basis melengkapi kemampuannya melebur, melunak
atau melarut pada suhu tubuh, kemampuannya melepaskan bahan obat dan sifat
hidrofilik atau hidrofobiknya.

a. Kelarutan lemak dan air


Absorpsi obat juga dipengaruhi oleh koefisien partisi. medium absorpsi
sebagian besar berupa air sedangkan membran sel bersifat lipofilik. Oleh karena itu
suatu obat harus larut dalam air maupun lipid.
Obat dalam supositoria yang tidak larut, maka ukuran partikelnya akan
mempengaruhi jumlah obat yang dilepas dan melarut untuk absorpsi.Semakin kecil
ukuran partikel, semakin mudah melarut dan lebih besar kemungkinannya untuk
dapat lebih cepat diabsorpsi (Ansel, 1989).

b. Ukuran partikel
Obat dalam supositoria yang tidak larut, maka ukuran partikelnya akan
mempengaruhi jumlah obat yang dilepas dan melarut untuk absorpsi.Semakin kecil
ukuran partikel, semakin mudah melarut dan lebih besar kemungkinannya untuk
dapat lebih cepat diabsorpsi (Ansel, 1989).
c. Sifat basis
Basis harus mampu mencair, melunak atau melarut supaya melepaskan
kandungan obatnya untuk diabsorpsi. Apabila terjadi interaksi antar basis dengan
obat ketika dilepas, maka absorpsi obat akan terganggu bahkan dicegahnya. Apabila
basis mengiritasi membran mukosa rektum, maka iaakan mulai respons kolon untuk
segera buang air besar, mengurangi kemungkinan penglepasan atau absorpsi dari
obat dengan cermat. Interaksisecara kimia atau fisika antar bahan obat dengan basis
supositoria akan dapat mempengaruhi stabilitas dan bioavaibilitas dari obat
(Ansel, 1989).

2.2.2 Distribusi
Dalam rangka untuk mengobati kolom melalui ruterectal ,bukan hanya
bertujuan untuk absorpsi rectal, sediaan harus terdistribusi secara efisien .
Hal ini membatasi pengobatan topical dari kolon ke daerah distal ke
fleksuralienalis. Sejumlah upaya telah di lakukan untuk meningkatkan penetrasi
melalui penggunaan formulasi baru , menggunakan skintigrafi untuk mengevaluasi
distribusi sediaan . Aktivitas penyakit di colitis ulserativa tidak berpengaruh pada
sifat penyebaran dari volume yang berbeda dari enema mesalazine . namun
volume yang berbeda diberikan memiliki efek signifikan . Aktivitas penyakit
dikolitis ulserativa tidak berpengaruh pada sifat penyebaran dari volume yang
berbeda dari enema mesalazine , namun volume yang diberikan memiliki efek
signifikan. 30mL enema ( suntikan ) yang tertinggal terutama di kolon sigmoid
(99%), 60 mL enema yang didistribusi melalui rectum (9%), yang sigmoid
(61%) dan kolon menurun (15%) dan 100mL enema yang didistribusi antara
kolon sigmoid (66%) dan menurun (25% ) . Akibatnya tampak bahwa
peningkatan volume yang diberikan menyebabkan dosis untuk menyebar
lebih efektif kedalam kolon. Dalam upaya meningkatkan penetrasi volume
cairankecil , telah dipelajari enema busa. Namun penyebaran busa lebih
rendah dari pada larutan enema , yang terbatas pada kolon sigmoid.
2.2.3 Metabolisme
Bentuk sediaan obat melalui rute rektal digunakan untuk tujuan lokal
atau sistemik dalam bentuk larutan (lavement/clysma/enema), padat
(suppositoria), atau setengah padat (unguentum/salep). Kelebihan rute rektal
yaitu : menghindari obat yang dapat rusak jika melalui usus, dapat digunakan
pada penderita yang muntah-muntah, koma, atau penderita yang susah
menelan obat, dan obat tidak mengalami detoksikasi, biotransformasi, atau
metabolisme yang mengakibatkan obat menjadi tidak aktif. Kerugian rute
rektal adalah penggunaan yang tidak menyenangkan atau kurang nyaman
(Syamsuni, 2006).

2.2.4 Eksresi
Eksresi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik (darah)
menuju ke organ eksresi. Obat mengalami eksresi untuk keperluan
detoksifikasi obat tersebut. Apabila obat tidak dieksresikan maka obat akan
tertinggal dalam tubuh dan mengakibatkan ketoksikan pada tubuh. Tempat
atau jalur eksresi adalah melalui ginjal (organ utama), hati atau empedu,
paru, kelenjar susu dan kelenjar keringat.

2.3 Keuntungan dan Kerugian Pemberian Obat Per Rektal


2.3.1 Keuntungan pemberian obat lewat rektal :
1. Baik untuk pasien yang mnegalami mual dan muntah
2. Baik untuk pasien yang tidak sadar
3. Baik untuk pasien yang menderita penyakit pencernaan bagian atas
yang dapat mempengaruhi absorpsi obat
4. Metabolisme lintas pertama dihindari sebagian

2.3.2 Kerugian pemberian obat lewat rektal :


1. Dapat menimbulkan peradangan bila digunakan terus menerus
2. Absorpsi obat tidak teratur
3. Tidak menyenangkan

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Pelepasan obat per rektal jika dalam bentuk supositoria, pelelehan atau pencairan
basisharus terjadi dan hal ini kan menentukan penyebaran dosis ke seluruh rektum
kemudianmolekul obat akan di absorpsi dengan mekanisme transport pasif.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan obat per rektum antara lain : faktor
fisiologi (seperti kandungan kolon, pH dan tidak ada kemampuan dapar dari rektum)
dan faktor fisiko kimia dari obat. Perjalanan obat melalui per rektal jika obat di
absopsi di vena hemorroid bawah/tengah obat akan di bawa ke vena cava melalui
vena iliaca menuju jantung untuk di distribusi sehinggaakan menimbulkan efek (tanpa
melewati hati terlebih dahulu) sementara jika di absorpsi divena hemoroid superior
obat akan menuju vena porta melalui vena mesentricum inferior yang selanjutnya ke
organ hati sebelum di distribusi untuk memberikan efek.

3.2 Saran
Mohon maaf jika di dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari Dosen pengampu mata kuliah serta teman-
teman mahasiswa, agar dalam pembuatan makalah berikutnya dapat menjadi baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H. C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (4th ed).Diterjemahkan oleh Ibrahim,
Farida. Jakarta: Universitas Indonesia Press

Aulton, M. 2007.Pharmaceutics:The Science of Dosage Form Design.Churchill Livingstone.


London

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, Farmakologi dan Terapi Edisi5,Jakarta;2007


Katzung BG,ed. Basic and Clinical Pharmacology, 7th. London : Prentice HallInt ; 1998

Leon Shargel dkk. Biofarmasetika dan Farmakokinetik terapan edisi 5th. Surabaya : Airlangga
University Press ;2012

Syamsuni, H., 2006. Farmasetika dasar dan hitungan. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai