Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba,
seringkali merupakan kejadian yang berrbahaya (Dorlan, 2011). Kurang lebih sekitar 160
juta perempuan di seluruh dunia hamil setiap tahunnya. Pada umumnya kehamilan ini
berlangsung dengan aman. Tetapi, sekitar 1554 menderita komplikasi berat, dengan
sepertiganya merupakan komplikasi yang mengancam jiwa ibu. Komplikasi ini
mengakibatkan kematian lebih dari setengah juta ibu setiap tahun. Kematian ibu atau
kematian maternal adalah kematian seorang ibu sewaktu hamil atau dalam waktu 42 hari
setelah sesudah berakhirnya kehamilan, tidak bergantung pada tempat atau usia kehamilan.
Indikator yang umum digunakan dalam kematian ibu adalah Angka Kematian Ibu (Maternal
Mortality Ratio) yaitu jumlah kematian ibu dalam 1.000.000 kelahiran hidup. Angka ini
mencerminka risiko obstetri yang dihadapi oleh seorang ibu sewaktu ia hamil. Jika ibu
tersebut hamil beberapa kali, risikonya meningkat dan digambarkan sebagai risiko kematian
ibu sepanjang hidupnya, yaitu pribabilitas menjadi hamil dan probabilitas kematian karena
kehamilan sepanjang masa reproduksi.
Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya
yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna
menyelamatkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).
Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi
dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran.Terdapat sekian banyak
penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya
(Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999).
Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini merupakan momok
terbesar bagi seorang bidan dalam melaksanakan pelayanan kebidanan. MDGs2015 telah
menetapkan target untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102 per 100.000
kelahiran hidup serta Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Kegawatdaruratan Maternitas?

1
2. Apa saja Ruang Lingkup Gawat Darurat?
3. Apa saja Prinsip dasar penanganan kegawatdaruratan maternal dan neonatal?
4. Bagaimana Penanganan Dasar Dan Awal Kegawatdaruratan?
5. Apa saja Prinsip Umum Penanganan Kasus Gawat Darurat?
6. Bagaimana Prinsip pencegahan, penentuan dan penanganan syok?
7. Bagaimana Deteksi Kegawatdaruratan Maternal?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Kegawatdaruratan Maternitas
2. Untuk mengetahui apa saja Ruang Lingkup Gawat Darurat
3. Untuk mengetahui apa saja Prinsip dasar penanganan kegawatdaruratan maternal dan
neonatal
4. Untuk mengetahui Penanganan Dasar Dan Awal Kegawatdaruratan
5. Untuk mengetahui apa saja Prinsip Umum Penanganan Kasus Gawat Darurat
6. Untuk mengetahui Prinsip pencegahan, penentuan dan penanganan syok
7. Untuk mengetahui Deteksi Kegawatdaruratan Maternal

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kegawatdaruratan Maternitas


Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba,
seringkali merupakan kejadian yang berbahaya (Dorlan, 2011). Kegawatdaruratan dapat juga
didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba
dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna menyelamatkan jiwa/nyawa
(Campbell, 2000).
Sedangkan kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa
yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat
sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu
dan bayinya (Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999). Kasus gawat darurat obstetri
adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani akan berakibat kematian ibu dan
janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu janin dan bayi baru lahir
(Saifuddin, 2002). Masalah kedaruratan selama kehamilan dapat disebabkan oleh komplikasi
kehamilan spesifik atau penyakit medis atau bedah yang timbul secara bersamaan.
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan manajemen
yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis (≤ usia 28 hari), serta membutuhkan
pengetahuan yang dalam mengenali perubahan psikologis dan kondisi patologis yang
mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau, 2006).
Penderita atau pasien gawat darurat adalah pasien yang perlu pertolongan tepat, cermat,
dan cepat untuk mencegah kematian/kecacatan. Ukuran keberhasilan dari pertolongan ini
adalah waktu tanggap (respon time) dari penolong. Pengertian lain dari penderita gawat
darurat adalah penderita yang bila tidak ditolong segera akan meninggal atau menjadi cacat,
sehingga diperlukan tindakan diagnosis dan penanggulangan segera. Karena waktu yang
terbatas tersebut, tindakan pertolongan harus dilakukan secara sistematis dengan
menempatkan prioritas pada fungsi vital sesuai dengan urutan ABC, yaitu :
A (Air Way) : yaitu membersihkan jalan nafas dan menjamin nafas bebas hambatan
B (Breathing) : yaitu menjamin ventilasi lancar
C (Circulation): yaitu melakukan pemantauan peredaran darah

3
2.2 Ruang Lingkup Gawat Darurat
Pertolongan pada pasien gawatdarurat memiliki filosofi dasar diantaranya adalah :
a. Bersifat universal
b. Penaganan oleh siapa saja yang menemukan pasien tersebut (awam, perawat dan
dokter)
c. Penyelesaian berdasarkan masalah
d. Menolong pasien tanpa memandang status sosial, ekonomi, agama dan ras.

Karakteristik pada pasien dengan kondisi gawatdarurat dalah :


a. Perlu pertolongan segera, cepat, tepat dan aman
b. Mempunyai masalah patologis, psikososial, lingkungan dan keluarga
c. Tidak sabar menunggu (informasi)
d. Unik

Perlu adanya suau penilaian seorang pasien masuk dalam kondisi gawatdarurat,
diantaranya meliputi :
a. Primary Survey / Primary Assessment
Merupakan pemeriksaan terhadap adanya ancaman kematian segera (gangguan jalan
nafas, gangguan ventilasi dan gangguan sirkulasi) tanpa dukungan alat bantu
diagnostik (hanya look, listen dan feel) maupun dengan alat bantu apabila tersedia.
b. Physical Examination yang dinilai dengan look, listen dan feel meliputi :
A = Penilaian airway (jalan nafas)
B = Penilaian breathing (pernafasan/ventilasi)
C = Penilaian circulation (sirkulasi)
D = Penilaian Disability (gangguan neurologis)
E = Exposure
c. Secondary survey atau secondary assessment
Merupakan tindak lanjut dari penilaian awal (primary assessment) meliputi :
a. Pemeriksaan ulang yaitu menilai pasien dari adanya ancaman kematian segera
(gangguan jalan nafas, gangguan ventilasi dan gangguan sirkulasi)
b. Pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan pasien lebih lanjut dengan bantuan alat
(apabila tersedia) tergantung kasus dan fasilitas yang tersedia
c. Pemeriksaan eseluruhan yaitu pemeriksaan pasien secara lengkap dari bagian kepala
sampai dengan kaki (head to too examination)

4
d. Berdasarkan hasil penilaian tersebut selanjutnya dilakukan proses seleksi yang disebut
dengan istilah TRIAGE. Triage adalah tindakan melakukan seleksi atau memilah
korban sesuai dengan tingkat kegawatdaruratannya untuk memberikan prioritas
pelayanan atau tindakan. Adaun untuk memudahkan pemberian asuhan hasil proses
seleksi tersebut diberikan pengkodean warna pada masing-masing pasien sesuai
dengan kondisi kesehatannya.
Penggunaan warna dalam triage meliputi :
a. Merah, gawatdarurat suatu pasien dengan ancaman kematian karena adanya gangguan
ABC dan hemodiamiknya. Pada kondisi ini pasien sudah masuk fase ancaman
kematian sehingga perlu mendapatkan prioritas pelayanan pertama untuk diberikan
tindakan.
b. Kuning, darurat tidak gawat , yaitu pasien tidak ada ancaman kematian segera tapi ada
ancaman kecacatan karena adanya gangguan hemodinamik. Pada tahap ini pasien
mendapat prioritas pelayanan kedua.
c. Hijau, tidak gawat dan tidak darurat. Pada tahap ini pasien mendapatkan prioritas
pelayanan ketiga
d. Hitam, meninggal. Pada tahap ini pasien mendapatkan prioritas pelayanan terakhir.
Kematian dibedakan menjadi 2 yaitu :
1. Mati klinis, ditandai oleh :
a) Otak kekurangan oksigen dalam 6-8 menit
b) Terjadi gangguan funsi sel
c) Sifat reversible
d) Reflek pupil mengecil
2. Mati biologis, ditandai oleh :
a) Kekurangan oksigen kurang dari 8-10 menit
b) Terjadi kerusakan sel otak
c) Sifat irreversible

2.3 Prinsip dasar penanganan kegawatdaruratan maternal dan neonatal


A. Sebab kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir
Kasus kegawatdaruratan obstetric ialah kasus yang apabila tidak segara di tangani akan
berakibat kesakitanyang berat, bahkan kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi
penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir. Secara umum terdapat empat
penyebab utama kematian ibi, janin, dan bayi baru lahir dari sisi obstetric, yaitu, (1)

5
Perdarahan (2) infeksi sepsis (3) hipertensi dan pre eklamsi atau eklamsi dan (4) persalinan
macet (distosia).
Persalinan macet hanya terjadi pada saat persalinan berlangsung, sedangkan ketiga
penyebab yang lain dapat terjadi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas. Kasus
perdarahan yang di maksut di sini adalah perdarahan yang di akibatkan oleh perlukaan jalan
lahir mencangkup juga kasus rupture uteri.
Selain keempat penyebab kematian tersebut masih banyak jenis kasus kegawardaruratan
obstetri baik yang terkait langsung dengan kehamilan dan persalinan, misalnya emboli air
ketuban, kehamilan ektopik, maupun yang tidak terkait langsung dengan kehamilan dan
persalinan, misalnya luka bakar, shok anafilaktik karena obat dan cidera akibat kecelakaan
lalu lintas.

B. Manifestasi klinik
Manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan tersebut berbeda-beda dalam rentang yang
cukup luas, sebagaimana berikut.
1. Kasus perdarahan, dapat bermanifestasi mulai dari perdarahan berwujud bercak
mrembes, profus, sampai syok.
2. Kasus infeksi dan sepsis, dapat bermanifestasi mulai dari pengeluaran cairan pervaginam
yang berbau, air ketuban hijau, demam, sampai syok.
3. Kasus hipertensi dan preeklamsia atau eklamsia, dapat bermanifestasi mulai dari keluhan
sakit atau sakit kepala, bengkak, penglihatan kabur,kejang-kejang, sampai koma atau
pingsan atau tidak sadar.
4. Kasus persalinan macet, lebih mudah dikenal apabila kemajuan persalinan tidak
berlangsung sesuai dengan batas waktu yang normal, tetapi kasus persalinan macet ini
dapat merupakan manifestasi rupture uteri.
5. Kasus kegawatdaruratan lain, bermanifestasi kliniis sesuai dengan penyeabnya.
Mengenal kasus kegawatdaruratan obstetric secara dini sangan penting agar pertolongan
yang cepat dan tepat dapat di lakukan. Mengingat menifestasi klinik kasus
kegawatdaruratan obstetric yangberbeda-beda dalam rentang yang cukup luas, mengenal
kasus terseut tidak selalu mudah di lakukan, bergantung pada pengetahuan, kemampuan
daya pikir dan daya analisis, serta pengalaman tenaga penolong. Kesalahan atau
keterlambatan dalam menentukan kasus dapat berakibat fatal. Dalam prinsip pada saat
menerima satiap kasus yang di hadapai harus di anggapgawat darurat atau setidak-tidaknya

6
di anggap berpotensi gawatdarurat, sampai ternyata setelah pemeriksaan selesai kasus itu
ternyata bukan kasus gawatdarurat.

C. Prinsip dasar
Dalam menangani kasus kegawatdaruratan, penentuan permasalahan utama (diagnosis)
dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat tepat dan tenang tidak panik,
walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin dalam kepanikan.
Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat dan terarah. Walaupun prosedur pemeriksaan
dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi hubungan antara dokter-
pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap diperhatikan.
1. Menghormati hak pasien
Setiap pasien harus diperlakukan dengan rasa hormat, pantang memandang status
sosial dan ekonominya. Dalam hal ini petuga s harus memahami dan peka bahwa
dalam situasi dan kondisi gawatdarurat perasaan cemas, ketakutan dan keprihatinan
adalah wajar bagi setiap manusia dan keluarga yang mengalaminya.
2. Gentleness
Dalam melakukan pemeriksaan ataupun memberikan pengobatan setiap langkah harus
dengan penuh kelmbutan, termasuk menjelaskan kepada pasien bahwa rasa sakit atau
kurang enak tidak dapat dihindari sewaktu melakukan pemerikasaan atau memberikan
pengobatan, tetapi prosedur akan dilakukan selembut mungkin sehingga pereasaan
kurang enak itu diupayakan sesedikit mungkin.
3. Komunikatif
Petugas kesehatan harus berkomunikasi dengan pasien dalam bahasa dan kalimat
yang tepat, mudah dipahami, dan memperhatikan nilai norma kultur setempat. Dalam
melakukan pemeriksaan, petugas kesehatan harus menjelaskan kepada pasien apa
yang akan diperiksa dan apa yang diharapkan. Apabila hasil peeriksaan normal atau
kondisi pasien sudah stabil, upaya untuk memastikan hal itu harus dilakukan.
Menjelaskan kondisi yang sebenarnya kepada pasien sangatlah penting.
4. Hak pasien
Hak-hak pasien harus dihormati seperti penjelasan inform concent, hak pasien untuk
menolak pengobatan yang akan diberikan dan kerahasiaan status medis pasien.
5. Family support
Dukungan keluarga bagi pasien sangat dibutuhkan. Oleh karena itu petugas kesehatan
harus mengupayakan hal itu antara lain dengan senantiasa memberikan penjelasan

7
kepada keluarga pasien tentang kondisi pasien, peka akan masalah keluarga yang
berkaitan dengan keterbatasan keuangan, keterbatasan transportasi dan sebagainya.
Dalam kondisi tertentu prinsip-prinsip tertentu dapat di nomer duakan, misalnya
aabila pasien dalam keadaan syok dan petugas kesehatan kebetulan hanya sendirian,
maka tidak mungkin untuk meminta inform concent kepada keluarga pasien. Prosedur
untuk menyelamatkan jiwa pasien harus dilakukan walaupun keluarga pasien belum
memberi informasi.

D. Penilaian awal
Dalam menentukan kondisi kasus obstetri yang dihadapi apakah dalam keadaan gawat
darurat atau tidak, secara prinsip harus dilakukan pemeriksaan secara sistematis meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan obstetri. Dalam praktik, oleh karena
pemeriksaan sitematis mebutuhakan waktu yang agak lama, padahal penilaian harus
dilakukan secara cepat maka dilakukan penilaian awal. Penilaian awal adalah langkah untuk
menetukan dengan cepat kasus obstetri yang dicurigai dalam keadaan kegawatdaruratan dan
membutuhkan pertolongan segera dengan mengidentifikasi penyulit yang dihadapi dalam
penilaian awal ini, anamnesis lengkap belum dilakukan. Anamnesa awal dilakukan
bersama-sama periksa pandang, periksa raba, dan penilaian tanda vital dan hanya untuk
mendapatkan informasi yang sangat penting berkaitan dengan kasus misalnya apakah kasus
mengalami perdarahan, demam, tidak sadar, kejang, sudah mengedan atau bersalin berapa
lama dan sebagainya. Fokus utama penilaian adalah apakah pasien mengalami syok
hipofolemik, syok septik, syok jenis lain ( syok kardioganik, syok neurologik dan
sebagainya), koma, kejang-kejang, atau koma disertai kejang-kejang dan hal itu terjadi
dalam kehamilan, persalinan, atau pasca persalinan.

2.4 Penanganan Dasar Dan Awal Kegawatdaruratan


Dalam menatalaksanakan kegawatdaruratan hal yang harus dilakukan :
1. Tetap tenang, berpikir secara logis dan fokuskan pada kebutuhan ibu
2. Jangan meninggalkan ibu sendirian.
3. Laksanakan tanggung jawab hindari kebingungan dengan menunjuk orang lain untuk
bertanggung jawab.
4. Berteriak minta bantuan. Minta satu orang untuk mencari bantuan dan satu orang
lainnya untuk mendapatkan peralatan dan kesediaan barang kegawatdaruratan
(misal:tabung oksigen, dan alat kegawatdaruratan lainnya).

8
5. Jika ibu tidak sadar. Kaji jalan napas, pernapasan dan sirkulasinya.
6. Jika dicurigai terjadi syok, segera mulai terapi walaupun tidak ada tanda syok, tetap
kirkan tentang syok saat mengevaluasi ibu lebih lanjut karna statusnya dapat
memburuk dengan cepat.
7. Atur posisi ibu berbaring miring kiri dengan meninggikan kakinya. Longgarkan
pakaian yang ketat.
8. Bicara pada ibu dan bantu agar tetap tenang. Tanyakan tentang apa yang terjadi dan
gejala yang dialami.
9. Lakukan pemeriksaan dengan cepat yang meliputi pemeriksaan TTV dan warna kulit.

2.5 Prinsip Umum Penanganan Kasus Gawat Darurat


Perbedaan prinsip dasar dan prinsip umum terletak pada subjek-subjeknya. Dalam
prinsip dasar, seoang petugas kesehatan diharuskan melihat secara utuh bahwa pasien adalah
manusia yang harus diperhatikan juga haknya. Dalam prinsip umum, petugas kesehatan dan
pasien adalah sama-sama subjek, sebagai mitra yang bekerjasama dalam menangani suatu
kasus kegawatdaruratan
A. Stabilisasi pasien :
Setelah kita mengenali kondisi kegawatdaruratan, lakukan stabilisasi keadaan pasien
sebelum melakukan rujukan.
Elemen-elemen penting dalam stabilisasi pasien :
1. Menjamin kelancaran jalan nafas, pemulihan sistem respirasi dan sirkulasi
2. Menghentikan sumber perdarahan dan sumber infeksi
3. Mengganti cairan tubuh yang hilang
4. Mengatasi rasa nyeri atau gelisah
B. Terapi cairan :
1. Antisipasi ini dilakukan pada tahap awal untuk persiapan jika kemudian penambahan
cairan dibutuhkan.
2. Pemberian cairan ini harus diperhatikan baik jenis cairan, bayaknya cairan yang
diberikan, dan kecepatan pemberian cairan harus sesuai dengan diagnosis kasus.
3. Misal, pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang pada kasus syok
hipofolemik seperti pada perdarahan berbeda dengan pemberian cairan pada syok
septik.
4. Cairan yang diberi sebaiknya berupa ringer laktat dan NaCl fisiologis yag dapat
menggantikan cairan dalam tubuh.

9
C. Resusitasi jantung dan paru (RJP)
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan gabungan penyelamatan pernafasan (bantuan
nafas) dengan kompresi dada eksternal. RJP digunakan ketika seseorang mengalami henti
jantung dan henti nafas.
Dalam melakukan RJP, sebagai seorang penolong harus :
1. Mempertahankan jalan nafas (Airway = A)
2. Memberi nafas untuk pasien (breathing = B)
3. Mengusahakan kembalinya sirkulasi pasien (Sirculation = C)

Dalam prinsip RJP selalu mengikutsertakan ABC :


1. Suatu pernafasan tidak akan efektif jika jalan nafas tidak terbuka.
2. Pernafasan buatan tidak efektif pula jika sirkulassi terhenti.
3. Darah yang bersirkulasi tidak akan efektif kecuali darah tersebut oksigenasi
4. Selalu diingat jika perdarahan dapat mengganggu sirkulasi.
5. oleh karena itu jika seorang pasien kehilangan darah terlalu banyak maka RJP yang
dilakukan tidak efektif.
Langkah-langkah RJP tahun 2010, berubah dari ABC menjadi CAB
1. Pemantauan kandung kemih
a. Dalam pemantauan kandung kemih, sebaiknya menggunakan kateter untuk
mengukur bayaknya urin yang keluar guna menilai fungsi ginjal dan keseimbagan
pemasukan dan pengeluaran cairan tubuh.
b. Bila kateterisasi tidak mungkin dilakukan, urine ditampung dan dicatat
kemungkinan terdapat peningkatan konsentrasi urine (urine berwarna gelap) atau
produksi urine berkurang sampai tidak ada urine sama sekali.
c. Jika produksi urine mula-mula rendah kemudian semakin bertambah, hal ini
menunjukan bahwa kondisi pasien membaik.
d. Diharapkan produksi urine paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 ml/jam.
2. Rujukan
a. Apabila fasilitas medis ditempat kasus diterima terbatas untuk menyelesaikan
kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka harus dirujuk kefasilitas
kesehatan yang lain yang lebih lengkap.
b. Seharusnya sebelum kasus dirujuk, fasilitas kesehatan yang akan menerima
rujukan sudah dihubungi dan diberitahu terlebih dahulu sehingga persiapan

10
penangan ataupun perawatan inap telah dilakukan dan diyakini rujukan kasus tidak
akan ditolak.

2.6 Prinsip pencegahan, penentuan dan penanganan syok.


Syok adalah kondisi hilangnya volume darah sirkulasi efektif.Kemudian diikuti perfusi
jaringan dan organ yang tidak adekuat, yang akibat akhirnya gangguan metabolik
selular.Pada beberapa situasi kedaruratan adalah bijaksana untuk mengantisipasi
kemungkinan syok.Seseorang dengan cidera harus dikaji segera untuk menentukan adanya
syok. Penyebab syok harus ditentukan (hipovolemik, kardiogenik, neurogenik, atau septik
syok).(Bruner & Suddarth,2002).
Syok adalah kondisi kritis akibat penurunan mendadak dalam aliran darah yang melalui
tubuh.Ada kegagalan sistem peredaran darah untuk mempertahankan aliran darah yang
memadai sehingga pengiriman oksigen dan nutrisi ke organ vital terhambat.Kondisi ini juga
mengganggu ginjal sehingga membatasi pembuangan llimbah dari tubuh.
Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil akhirnya berupa lemahnya
aliran darah yang merupakan petunjuk yang umum, walaupun ada bermacam-macam
penyebab. Syok dihasilkan oleh disfungsi empat sistem yang terpisah namun saling berkaitan
yaitu ; jantung, volume darah, resistensi arteriol (beban akhir), dan kapasitas vena. Jika salah
satu faktor ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi
syok. Awalnya tekanan darah arteri mungkin normal sebagai kompensasi peningkatan isi
sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokontriksi
perifer meningkat.
A. Pencegahan Syok
Pencegahan syok dilakukan agar kondisi pasien tidak menjadi dalam keadaan yang lebih
parah lagi. Sebelum melakukan pertolongan harus diingat bahwa tidak jarang anda
memasuki keadaan yang berbahaya. Selain resiko dari infeksi anda juga dapat menjadi
korban jika tidak memperhatikan kondisi sekitar pada saat melakukan pertolongan. Ingatlah
prioritas keamanan pada saat memasuki daerah tugas :
1. Keamanan perawat
Nampaknya egoistis, namun kenyataan adalah bahwa keamanan diri sendiri
merupakan prioritas utama. Mengapa ? Karena bagaimana kita akan dapat melakukan
pertolongan jika kondisi kita sendiri berada dalam bahaya. Akan merupakan hal yang
ironis seandainya kita bermaksud menolong tetapi karena tidak memperhatikan situasi
kita sendiri yang terjerumus dalam bahaya.

11
2. Keamanan lingkungan
Ingat rumus do no further harm karena ini meliputi juga lingkungan sekitar penderita
yang belum terkena cidera. Sebagai contoh adalah saat mendekati mobil yang sudah
mengalami kecelakaan, dan keluar asap. Ingatkan dengan segera para penonton untuk
cepat-cepat menyingkir karena ada bahaya ledakan/api
3. Keamanan penderita
Betapapun ironisnya, tetapi prioritas terakhir adalah penderita sendiri, karena
penderita ini sudah cidera sejak awal. Apapun yang dilakukan pada penderita ingatlah
untuk do no further harm.
Curigai atau antisipasi kejadian syok jika terdapat kondisi berikut ini:
a. Perdarahan pada kehamilan muda
b. Perdarahan pada kehamilan lanjut atau pada saat persalinan
c. Perdarahan pascasalin
d. Infeksi berat (seperti pada abortus septik, korioamnionitis, metritis)
e. Kejadian trauma
f. Gagal jantung
B. Penentuan Syok
Kondisi berikut dapat menyebabkan terjadiya syok :
1. Dehidrasi (syok hipovolemik)
2. Serangan jantung (syok kardiogenik)
3. Gagal jantung (syok kardiogenik)
4. Trauma atau cedera berat
5. Infeksi (syok septik)
6. Reaksi alergi (syok anafilaktik)
7. Cedera tulang belakang (syok neurogenik)
8. Sindroma syok toksik.
C. Penanganan Syok
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk
memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan suhu
tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera
ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Segera berikan pertolongan
pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A = air way) harus bebas kalau
perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin,
kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit

12
volume peredaran darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia
relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian
cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan
fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer. Segera
menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa
merupakan penyebab syok. Pada syok septik, sumber sepsis harus dicari dan ditanggulangi.
Penanganannya meliput
Tatalaksana Umum
1. Carilah bantuan tenaga kesehatan lain.
2. Pastikan jalan napas bebas dan berikan oksigen.
3. Miringkan ibu ke kiri.
4. Hangatkan ibu.
5. Pasang infus intravena (2 jalur bila mungkin) dengan menggunakan
6. jarum terbesar (no. 16 atau 18 atau ukuran terbesar yang tersedia).
7. Berikan cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) sebanyak 1 liter dengan
cepat (15-20 menit).
8. Pasang kateter urin (kateter Folley) untuk memantau jumlah urin yang keluar.
9. Lanjutkan pemberian cairan sampai 2 liter dalam 1 jam pertama, atau hingga 3 liter
dalam 2-3 jam (pantau kondisi ibu dan tanda vital).
10. Cari penyebab syok dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih lengkap
secara simultan, kemudian beri tatalaksana yang tepat sesuai penyebab.
11. Uraian gejala dan tanda berbagai tipe syok
TIPE SYOK PENYEBAB RESPON TERHADAP
Tipe Syok Penyebab Respon Terhadap
Pemberian Cairan
Hipovolemik - Perdarahan Berespon
- Muntah
- Diare
- Dehidrasi
Kardiogenik - Penyakit jantung iskemik Tidak berespon atau
- Gangguan irama jantung kondisi
berat memburuk
- Kelainan katup jantung

13
Distributif - Syok sepsis Berespon
- Syok anafilaktik
- Syok neurogenik
Obstruktif - Tamponade jantung Dapat berespon atau tidak
- Pneumotoraks tension
berespon

12. Pantau tanda vital dan kondisi ibu setiap 15 menit.
13. Bila ibu sesak dan pipi membengkak, turunkan kecepatan infus menjadi 0,5 ml/menit
(8-14. Tetes/menit), pantau keseimbangan cairan

2.7 Deteksi Kegawatdaruratan Maternal


Kegawat daruratan maternal dapat terjadi setiap saat selama proses kehamilan, persalinan
merupakan masa nifas.
Penyebab kematian ibu sangat kompleks, namun penyebab langsung seperti toksemia
gravidarum, perdarahan, dan infeksi harus segera ditangani oleh tenaga kesehatan. Oleh
karena penyebab terbanyak kematian ibu preeklamsia/eklamsia maka pada pemeriksaan
antenatal nantinya harus lebih seksama dan terencana persalinannya. Dengan asuhan
antenatal yang sesuai, mayoritas kasus dapat dideteksi secara dini dan minoritas kasus
ditemukan secara tidak sengaja sebagai pre eklamsia berat.
Skrining bertujuan mengidentifikasi anggota populasi yang tampak sehat yang memiliki
risiko signifikan menderita penyakit tertentu. Syarat suatu skrining adalah murah dan mudah
dikerjakan. Akan tetapi, skrining hanya dapat menunjukkan risiko terhadap suatu penyakit
tertentu dan tidak mengkonfirmasi adanya penyakit.
A. Deteksi Pre-Eklamsia
Preeklamsia/Eklamsia merupakan suatu penyulit yang timbul pada seorang wanita hamil
dan umumnya terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu dan ditandai dengan adanya
hipertensi dan protein uria. Pada eklamsia selain tanda tanda preeklamsia juga disertai
adanya kejang. Preeklamsia/Eklamsia merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu
di dunia.
Tingginya angka kematian ibu pada kasus ini sebagian besar disebabkan karena tidak
adekuatnya penatalaksanaan di tingkat pelayanan dasar sehingga penderita dirujuk dalam

14
kondisi yang sudah parah, sehingga perbaikan kualitas di pelayanan kebidanan di tingkat
pelayanan dasar diharapkan dapat memperbaiki prognosis bagi ibu dan bayinya.

B. Klasifikasi dan Definisi


Adanya peningkatan tekanan darah selama kehamilan dan persalinan dapat menunjukkan
beberapa kondisi sebagai berikut :
1. Diagnosis hipertensi dalam kehamilan ditegakkan bila didapatkan:
Tekanan darah ≥140/90 mmHg untuk pertama kalinya selama kehamilan, tidak
terdapat protein uria, tekanan darah kembali normal dalam waktu 12 minggu pasca
persalinan (jika peningkatan tekanan darah tetap bertahan, ibu didiagnosis hipertensi
kronis), diagnosis akhir baru dibuat pada periode pasca persalinan, tanda tanda lain
preeklamsia seperti nyeri epigastrik dan trombositopenia mungkin ditemui dan dapat
mempengaruhi penatalaksanaan yang diberikan.
2. Diagnosis preeklamsia ringan ditegakkan bila didapatkan :
a. Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20 minggu, protein uria ≥
1+
b. pada pengukuran dengan dipstick urine atau kadar protein total ≥ 300 mg/24 jam.
3. Diagnosis preeklamsia berat ditegakkan bila didapatkan:
a. Hipertensi
Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau tekanan darah diastolic ≥110 mmHg.
b. Protein uria
Kadar protein dalam kencing ≥ ++ pada pengukuran dipstick urine atau kadar
protein total sebesar 2 gr/24 jam.
c. Kadar kreatinin darah melebihi 1,2 mg/dL kecuali telah diketahui meningkat
sebelumnya.
d. Tanda/gejala tambahan:
Tanda gejala tambahan lainnya dapat berupa keluhan subyektif berupa nyeri
kepala, nyeri uluhati, dan mata kabur. Ditemukannya proteinuria ≥ 3 gram, jumlah
produksi urine ≤ 500 cc/24 jam (oliguria), terdapat peningkatan kadar asam urat
darah, peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum serta terjadinya sindroma
HELLP yang ditandai dengan terjadinya hemolisis ditandai dengan adanya icterus,
hitung trombosit ≤ 100.000, serta peningkatan SGOT dan SGPT.
4. Pada eklampsia disertai adanya kejang konvulsi yang bukan disebabkan oleh infeksi
atau trauma

15
5. Diagnosis Preeklamsia super impos ditegakkan apabila protein awitan baru ≥ 300 mg/
24 jam pada ibu penderita darah tinggi tetapi tidak terdapat protein uria pada usia
kehamilan sebelum 20 minggu.
6. Diagnosis hipertensi kronis ditegakkan apabila hipertensi telah ada sebelum
kehamilan atau yang didiagnosis sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau hipertensi
pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu dan terus bertahan setelah
12 minggu pasca persalinan.

C. Deteksi/Skrining
Identifikasi wanita dengan risiko preeklampsia mempunyai keuntungan sebagai berikut :
a. Pengawasan lebih ketat
b. Diagnosis lebih akurat
c. Intervensi tepat waktu
d. Pencegahan komplikasi sejak dini

D. Metode Skrining Preeklamasia/Eklamsia


Metode skrining dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti dibawah ini :

E. Anamnesa Faktor Risiko Preeklampsia


Metode skrining yang pertama adalah dengan melakukan anamneses pada ibu, untuk
mencari beberapa faktor risiko sebagai berikut :
1. Usia Ibu
Primigravida dengan usia dibawah 20 tahun dan semua ibu dengan usia diatas 35
tahun dianggap lebih rentan untuk mengalami preeklamsia/eklamsia.
2. Ras
Ras African lebih berisiko mengalami preeklamsia dibandingkan ras caucasian
maupun ras Asia.
3. Metode Kehamilan
Kehamilan yang tidak terjadi secara alamiah (inseminasi dan sebagainya) berisiko 2
kali lipat untuk terjadinya preeklamsia
4. Merokok selama hamil
Wanita yang merokok selama hamil berisiko untuk mengalami preeklamsia
5. Riwayat penyakit dahulu (Hipertensi, preeklamsia pada kehamilan terdahulu, penyakit
Ginjal, penyakit Autoimun, Diabetes Mellitus, Metabolik sindrom, Obesitas dll)\

16
6. Riwayat penyakit keluarga
Bukti adanya pewarisan secara genetik paling mungkin disebabkan oleh turunan yang
Resesif
7. Paritas
Primigravida memiliki insidensi hipertensi hampir 2 kali lipat dibandingkan
Multigravida
8. Kehamilan sebelumnya
Kehamilan dengan riwayat preeklamsi sebelumnya berisiko mengalami preeklamsia
kembali pada kehamilan sekarang. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko
rekurensi (terjadinya preeklamsia kembali) jika kehamilan sebelumnya
preeklampsia:
14-20% dan risiko rekurensi lebih besar (s/d 38%) jika menghasilkan persalinan
prematur (early-onset preeklampsia)

F. Pemeriksaan Tekanan Darah


Metode skrining yang kedua adalah dengan melakukan pengukuran tekanan darah setiap
kali antenatal care. Hipertensi didefinisikan sebagai hasil pengukuran sistolik menetap
(selama setidaknya 4 jam) >140–150 mmHg, atau diastolic 90–100 mmHg. Pengukuran
tekanan darah bersifat sensitif terhadap posisi tubuh ibu hamil sehingga posisi harus
seragam, terutama posisi duduk, pada lengan kiri setiap kali pengukuran. Apabila tekanan
darah ≥160/100 maka kita dapat menetapkan hipertensi.
Pengukuran tekanan darah dapat berupa tekanan darah Sistolik, Tekanan Darah Diastolik
dan MAP (Mean Arterial Pressure). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa MAP
trimester 2 >90 mmHg berisiko 3.5 kali untuk terjadinya preeklamsia, dan tekanan darah
diastole >75 mmHg pada usia kehamilan 13–20 minggu berisiko 2.8 kali untuk terjadinya
preeklamsia. MAP merupakan prediktor yang lebih baik daripada tekanan darah sistol,
diastol, atau peningkatan tekanan darah, pada trimester pertama dan kedua kehamilan.

G. Penggunaan USG Untuk Skrining Preeklampsia


Pada pasien Preeklamsia terdapat perubahan patofisiologis yaitu:
a. Gangguan implantasi tropoblast
b. Perfusi uteroplacenta yang berkurang dan mengarah ke disfungsi endotel yang
menyebabkan edema, protein uria dan hemokonsentrasi; vasospasme yang
menyebabkan hipertensi, oliguria, iskemia organ, solusio placenta dan terjadinya

17
kejang-kejang; aktifasi koagulasi yang menyebabkan trombositopenia; dan
pelepasan zat molekul
berbahaya (sitokin dan lipid peroksidase) yang menyebabkan penurunan perfusi
uteriplacenta lebih lanjut dan pelepasan molekul vasoaktif seperti prostaglandin,
nitrit oksida, dan endotelin, yang seluruhnya menurunkan perfusi uetroplacenta.
c. Aliran uteroplacenta bertahanan tinggi
Akibat patofisiologis diatas, terdapat tiga lesi patologis utama yang terutama
berkaitan dengan preeklamsia dan eklamsi yaitu:
1. Perdarahan dan nekrosis dibanyak organ, sekunder terhadap konstriksi kapiler
2. Endoteliosis kapiler glomerular
3. Tidak adanya dilatasi arteri spiral
Gambaran tersebut ditunjukkan dalam USG dengan :
1. Notch diastolik yang menetap diatas 24 minggu
2. Nilai ratio flow velocity doppler yang abnormal

H. Skrining/Deteksi Perdarahan dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas


Walaupun termasuk kegawatdaruratan maternal, perdarahan pada kehamilan muda
seringkali tidak mudah dikenali. Hal ini berkaitan dengan stigma negative yang terkait
dengan kasus kasus abortus, menyebabkan kejadian tersebut sering disembunyikan oleh
para pasien. Perdarahan pada kehamilan lanjut dan menjelang persalinan pada umumnya
disebabkan oleh kelainan implantasi placenta baik placenta letak rendah maupun placenta
previa, kelainan insersi tali pusat, atau pembuluh darah pada selaput amnion dan separasi
placenta sebelum bayi lahir. Pada sebagian besar kasus perdarahan pasca persalinan
umumnya disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus, robekan dinding rahim atau jalan
lahir.
Upaya pertolongan terhadap komplikasi perdarahan dalam kehamilan dan persalinan di
tingkat rumah sakit merupakan destinasi terakhir dari berbagai upaya pertolongan yang
telah dilakukan di berbagai jenjang pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang
sebelumnya. Melihat kenyataan tersebut, maka keterlambatan upaya pertolongan dan
kesenjangan kinerja di tingkat rumah sakit akan lebih memperburuk kondisi dan
keselamatan jiwa pasien.
Upaya pertolongan gawat darurat yang segera, mencerminkan kualitas pelayanan yang
tinggi dilaksanakan oleh petugas kesehatan yang terampil dan handal merupakan syarat
mutlak untuk meraih keberhasilan dalam menyelamatkan jiwa pasien.

18
I. Perdarahan pada kehamilan muda
Perdarahan pada kehamilan muda merupakan perdarahan pada kehamilan dibawah 20
minggu atau perkiraan berat badan janin kurang dari 500 gram dimana janin belum
memiliki kemampuan untuk hidup diluar kandungan. Jika seorang wanita datang ke tempat
anda dengan keluhan terlambat haid 3 bulan, saat ini mengeluarkan darah dari kemaluan.
Terjadinya perdarahan pada kehamilan muda memberikan suatu kemungkinan diagnosis
yang bermacam-macam. Untuk memastikan apakah yang terjadi pada wanita tersebut,
perawat harus melakukan penilaian klinik berdasar tanda dan gejala di bawah ini:
1. Abortus
2. Kehamilan ektopik

J. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut Dan Persalinan


Perdarahan pada kehamilan lanjut dan persalinan merupakan perdarahan dalam
kehamilan yang terjadi setelah usia gestasi diatas 22 mg. Masalah yang terjadi pada
perdarahan kehamilan lanjut adalah morbiditas dan mortalitas ibu yang disebabkan oleh
perdarahan pada kehamilan diatas 22 minggu hingga menjelang persalinan (sebelum bayi
dilahirkan), perdarahan intrapartum dan prematuritas, morbiditas dan mortaltas perinatal
pada bayi yang akan dilahirkan.
Penatalaksanaan umum :
1. Siapkan fasilitas tindakan gawatdarurat karena perdarahan anterpartum merupakan
komplikasi yang dapat membahayakan keselamatan ibu
2. Setiap tingkat fasilitas pelayanan harus dapat mengenali, melakukan stabilitasi,
merujuk dan menatalaksana komplikasi pada ibu dan anak sesuai dengan jenjang
kemampuan yang ada
3. Setiap kasus perdarahan anterpartum memerlukan rawat-inap dan penatalaksanaan
segera
4. Lakukan restorasi cairan dan darah sesuai dengan keperluan untuk memenuhi defisit
dan tingkat gawatdarurat yang terjadi
5. Tegakkan diagnosis kerja secara cepat dan akurat karena hal ini sangat mempengaruhi
hasil penatalaksanaan perdarahan antepartum
6. Tindakan konservatif dilakukan selama kondisi masih memungkinkan dan mengacu
pada upaya untuk memperbesar kemungkinan hidup bayi yang dikandung
7. Pada kondisi yang sangat gawat, keselamatan ibu merupakan pertimbangan utama

19
K. Perdarahan Pasca Kehamilan
Pada pascapersalinan, sulit untuk menentukan terminologi berdasarkan batasan kala
persalinan dan jumlah perdarahan yang melebihi 500 ml. pada kenyataannya, sangat sulit
untuk membuat determinasi batasan pascapersalinan dan akurasi jumlah perdarahan murni
yang terjadi. Berdasarkan temuan diatas maka batasan operasional untuk periode
pascapersalinan adalah periode waktu setelah bayi dilahirkan. Sedangkan batasan jumlah
perdarahan, hanya merupakan taksiran secara tidak langsung dimana disebutkan sebagai
perdarahan abnormal yang menyebabkan perubahan tanda vital (pasien mengeluh lemah,
limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, sistolik < 90 mmHg, nadi > 100 x/menit,
kadar Hb < 8 g%).
Masalah :
1. Morbiditas dan mortalitas ibu yang disebabkan oleh perdarahan setelah bayi lahir
dan dalam 24 jam pertama persalinan
2. Perdarahan pascapersalinan lanjut (setelah 24 jam persalinan)
3. Hasil upaya pertolongan sangat tergantung dari kondisi awal ibu sebelum bersalin,
ketersediaan darah dan paokan medic yang dibutuhkan, tenaga terampil dan handal
serta jaminan fungsi peralatan bagi tindakan gawat darurat
Penatalaksanaan umum :
1. Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk)
2. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk
upaya pencegahan Perdarahan Pascapersalinan)
3. Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pascapersalinan (di ruang
persalinan) dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di ruang
rawat gabung). Perhatikan pelaksanaan asuhan mandiri.
4. Selalu siapkan keperluan tindakan gawatdarurat
5. Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan
masalah dan komplikasi
6. Atasi Syok (lihat Penatalaksanaan Syok)
7. Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan
uterus, beri uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infuse 20 IU dalam 500 cc NS/RL
dengan 40 tetesan per menit)
8. Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan jalan
lahir
9. Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah (lihat Solusio Plasenta)

20
10. Pasang kateter menetap dan pantau masuk-keluar cairan
11. Cari penyebab perdarahan dan lakukan tindakan spesifik

L. Sepsis Puerperium
Sepsis berhubungan dengan 45 kematian ibu, memberikan kontribusi 10% penyebab
langsung obstetri dan 8% dari semua kematian ibu. MMR karena sepsis adalah 7/100.000.
Sebagian besar ibu dengan sepsis (93%) diperiksa oleh tenaga kesehatan sebelum
meninggal. Pelayanan di bawah standar yang diberikan oleh dokter spesialis obstetri
merupakan hal penting yang bisa dihindari dan memberikan kontribusi 38% dari kematian
karena sepsis. Pelayanan di bawah standar yang diberikan oleh paraji juga memainkan peran
penting dalam menyebabkan kematian karena sepsis genitalia. Beberapa paraji melakukan
sejumlah pemeriksaan dalam yang berlebihan dan mungkin berupaya membuat pembukaan
serviks dengan jarinya.
Sepsis puerperium didefinisikan sebagai infeksi saluran genital yang terjadi setelah pecah
ketuban atau mulas persalinan hingga 42 hari setelah persalinan atau aborsi. Selain demam,
salah satu dari gejala berikut ini mungkin terjadi :
1. Nyeri panggul dan ngilu
2. Cairan per vaginam yang abnormal
3. Cairan berbau tidak normal atau busuk
4. Terhambatnya involusi uterus
Demam didefinisikan sebagai suhu oral > 38ºC yang diukur pada dua waktu di luar 24
jam pasca persalinan, atau suhu > 38,5ºC pada saat apapun.
Masalah :
Infeksi nifas merupakan morbiditas dan mortalitas bagi ibu pasca bersalin. Derajat
komplikasi bervariasi sangat tajam, mulai dari mastitis hingga adanya koagulasi
intravaskular diseminata.
Faktor Risiko :
Pada masa Antenatal, anemia, uremia, hiperglikemia tidak terkendali, perawatan dengan
obat yang mengakibatkan imunosupresi dan/atau imunokompromi, infeksi genital
sebelum mulas persalinan dimulai. Pada masa Intranatal, berisiko terjadinya sepsis
apabila:
1. Penatalaksanaan persalinan atau kelahiran yang tidak higinies
2. Ketuban pecah dini
3. Pemeriksaan dalam berulang kali

21
4. Persalinan dengan operasi
5. Pengeluaran plasenta secara manual
6. Robekan pada vagina

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gawat adalah kondisi pasien dengan ancaman kematian. Darurat adalah kondisi
penderita yang memerlikan pertolongan segara. Gawat darurat (GARDAR) adalah keadaan
yang menimpa seseorang dengan tiba-tiba dapat membahayakan jiwa, memerlukan tindakan
medis segara dan tepat. Penderita gawat darurat adalah penderita yang memerlukan
pertolongan segara karena berada dalam keadaan yang mengancam nyawa. Pertolongan yang
di berikan secara cepat. Tepat dan cermat untuk mencegah kematian maupun kecacatan.
Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya
yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna
menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).
Penanganan kegawatdaruratan obstetrik ada tidak hanya membutuhkan sebuat tim medis
yang menangani kegawatdaruratan tetapi lebih pada membutuhkan petugas kesehatan yang
terlatih untuk setiap kasus-kasus kegawatdaruratan.
Penanganan gawat darurat secara umun yaitu pastikan jalan napas bebas tidak
tersumbat, pemberian oksigen, pemberian cairan intravena, pemberian transfuse darah,
pasang kateter kandung kemih, pemberian antibiotika, obat pengurang rasa nyeri, penaganan
masalah utama, dan merujuk.

3.2 Saran
Peran perawat dalam penanganan kegawatdaruratan pada maternitas dan mencegah
terjadinya pendarahan pada ibu hamil adalah dengan memberikan asuhan keperawatan gawat
darurat yang tepat. Asuhan keperawatan gawat darurat yang tepat untuk klien harus dilakukan
untuk meminimalisir terjadinya komplikasi serius yang dapat terjadi seiring dengan kejadian
anemia pada ibu hamil.

23

Anda mungkin juga menyukai