Pembimbing :
dr. Herlien , Sp.KK
Penulis :
Florentina Dwi Etania Tulis
11.2018.215
1
Periode Kepaniteraan : 30 Sep – 2 Nov 2019
I. IDENTITAS Tanggal Pemeriksaan : 23 Oktober 2019
Fakultas Kedokteran : UKRIDA
a. Nama/Jenis Kelamin : Ny. H / Perempuan Nama/NPM :Florentina Dwi E Tulis
Nilai:
b. Umur : 40 tahun Tanda Tangan Pengampu:
c. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
d. Alamat Rumah : Depok Pengampu Laporan Kasus: dr. Herlien, Sp.KK
e. Status : Menikah
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Timbul ruam-ruam merah berbentuk oval atau bulat berukuran diameter 2-4 cm pada
daerah belakang telinga sebelah kanan.
Keluhan Tambahan :
Pada ruam terasa gatal, nyeri dan panas .
2
Tidak ada riwayat atopik atau rhinitis
3
IV. RESUME
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Polri dengan keluhan muncul ruam-ruam
merah berbentuk oval atau bulat berukuran diametr 2-4 cm pada daerah belakang telinga
sebelah kanan sejak 2 hari yang lalu. Setelah salonpas dilepas pasien segera merasakan
gatal, nyeri serta panas, selain itu juga timbul vesikel disekitar daerah tersebut. Pasien telah
menggunakan salep bioplasenton, setelah itu merasakan nyeri berkurang namun pasein
mengatakan lesi menjadi basah karna tonjolan yang berisi cairan tersebut pecah.
Menurut keterangan pasien, baik pada pasien dan keluarga pasien, tidak memiliki riwayat
atopik, rhinitis, alergi makanan atau alergi obat. Status dermatologisnya adalah, Pada
region post auricular dextra, terdapat lesi makula eritem, diameter 2-4 cm, dengan batas
sirkumskrip, disertai ekskoriasi
V. DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis Kontak Iritan
2. Dermatitis Kontak Alergi
3. Dermatitis Seboroik
VIII. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
Menghindari kontak iritan
pasien dan keluarga diberikan penjelasan mengenai ruam yang jinak dan tidak
menular serta perjalanan penyakit yang relatif lama.
Biasanya, ruam sekunder berkembang lebih dari 2 minggu, bertahan selama 2
minggu, dan kemudian memudar selama 2 minggu, tanpa perlu perawatan,
meskipun beberapa lesi telah bertahan selama 3-4 bulan
4
Medikamentosa
Topikal :
Kloderma cream
Sistemik :
Loratadin 10mg 1x sehari selama 7 hari
Penulisan Resep :
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad bonam
5
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan nonimunologik pada kulit
yang disebabkan oleh kontak dengan faktor eksogen maupun endogen. Faktor eksogen berupa
bahan-bahan iritan (kimiawi, fisik, maupun biologik) dan faktor endogen memegang peranan
penting pada penyakit ini.
Pada tahun 1898, dermatitis kontak pertama kali dipahami memiliki lebih dari satu
mekanisme, dan saat ini secara general dibagi menjadi dermatitis kontak iritan dan dermatitis
kontak alergi. Dermatitis kontak iritan berbeda dengan dermatitis kontak alergi, dimana
dermatitis kontak iritan merupakan suatu respon biologis pada kulit berdasarkan variasi dari
stimulasi eksternal atau bahan pajanan yang menginduksi terjadinya inflamasi pada kulit tanpa
memproduksi antibodi spesifik.
Dermatitis kontak iritan lebih banyak tidak terdeteksi secara klinis disebabkan karena
penyebabnya yang bermacam-macam dan interval waktu antara kontak dengan bahan iritan
serta munculnya ruam tidak dapat diperkirakannya. Dermatitis muncul segera setelah pajanan
dan tingkat keparahannya ditentukan berdasarkan kuantitas, konsentrasi, dan lamanya terpajan
oleh bahan iritan tersebut.
Penanganan dermatitis kontak tidak selamanya mudah karena banyak dan seringnya
faktor-faktor tumpang tindih yang memicu setiap kasus dermatitis.Pencegahan bahan-bahan
iritasi kulit adalah strategi terapi yang utama pada dermatitis kontak iritan.
6
Definisi
Dermatitis kontak ialah respon inflamasi akut ataupun kronis yang disebabkan oleh bahan
atau substansi yang menempel pada kulit
Dermatitis kontak iritan adalah suatu dermatitis kontak yang disebabkan oleh bahan-bahan
yang bersifat iritan yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
Dermatitis kontak iritan adalah suatu peradangan pada kulit yang disebabkan oleh kerusakan
langsung ke kulit setelah terpapar agen berbahaya. Dermatitis kontak iritan dapat disebabkan
oleh tanggapan phototoxic misalnya tar, paparan akut zat-zat (asam, basa) atau paparan
kronis kumulatif untuk iritasi ringan (air, detergen, bahan pembersih lemah)
Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur,
ras, dan jenis kelamin. Data epidemiologi penderita dermatitis kontak iritan sulit didapat.
Jumlah penderita dermatitis kontak iritan diperkirakan cukup banyak, namun sulit untuk
diketahui jumlahnya. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak penderita yang tidak datang
berobat dengan kelainan ringan.
Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic menunjukkan bahwa
249.000 kasus penyakit akupasional nonfatal pada tahun 2004 untuk kedua jenis kelamin,
15,6% (38.900 kasus) adalah penyakit kulit yang merupakan penyebab kedua terbesar untuk
semua penyakit okupational. Juga berdasarkan survey tahunan dari institusi yang sama, bahwa
incident rate untuk penyakit okupasional pada populasi pekerja di Amerika, menunjukkan 90-
95% dari penyakit okupasional adalah dermatitis kontak, dan 80% dari penyakit didalamnya
adalah dermatitis kontak iritan.
Sebuah kusioner penelitian diantara 20.000 orang yang dipilih secara acak di Sweden
melaporkan bahwa 25% memiliki perkembangan gejala selama tahun sebelumnya. Orang yang
bekerja pada industri berat, mereka yang bekerja bersentuhan dengan bahan kimia keras yang
memiliki potensial merusak kulit dan mereka yang diterima untuk mengerjakan pekerjaan
basah secara rutin memiliki faktor resiko. Mereka termasuk : muda, kuat, laki-laki yang
dipekerjakan sebagai pekerja metal, pekerja karet, terapist kecantikan, dan tukang roti.
7
Etiologi
Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor eksogen (iritan dan
lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan.
Faktor Eksogen
Selain dengan asam dan basa kuat, tidak mungkin untuk memprediksi potensial iritan sebuah
bahan kimia berdasarkan struktur molekulnya. Potensial iritan bentuk senyawa mungkin lebih
sulit untuk diprediksi. Faktor-faktor yang dimaksudkan termasuk : (1) Sifat kimia bahan
iritan: pH, kondisi fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi, bahan
dasar, kelarutan ; (2) Sifat dari pajanan: jumlah, konsentrasi, lamanya pajanan dan jenis
kontak, pajanan serentak dengan bahan iritan lain dan jaraknya setelah pajanan sebelumnya ;
(3) Faktor lingkungan: lokalisasi tubuh yang terpajan dan suhu, dan faktor mekanik seperti
tekanan, gesekan atau goresan. Kelembapan lingkunan yang rendah dan suhu dingin
menurunkan kadar air pada stratum korneum yang menyebabkan kulit lebih rentan pada bahn
iritan.
Faktor Endogen
a. Faktor genetik
Ada hipotesa yang mengungkapkan bahwa kemampuan individu untuk mengeluarkan
radikal bebas, untuk mengubah level enzym antioksidan, dan kemampuan untuk
membentuk perlindungan heat shock protein semuanya dibawah kontrol genetik. Faktor
tersebut juga menentukan keberagaman respon tubuh terhadap bahan-bahan ititan.
Selain itu, predisposisi genetik terhadap kerentanan bahan iritan berbeda untuk setiap
bahan iritan.Pada penelitian, diduga bahwa faktor genetik mungkin mempengaruhi
kerentanan terhadap bahan iritan. TNF-α polimorfis telah dinyatakan sebagai marker
untuk kerentanan terhadap kontak iritan.
b. Jenis Kelamin
Gambaran klinik dermatitis kontak iritan paling banyak pada tangan, dan wanita
dilaporkan paling banyak dari semua pasien. Dari hubungan antara jenis kelamin
dengan dengan kerentanan kulit, wanita lebih banyak terpajan oleh bahan iritan, kerja
basah dan lebih suka perawatan daripada laki-laki. Tidak ada pembedaan jenis kelamin
untuk dermatitis kontak iritan yang ditetapkan berdasarkan penelitian.
c. Umur
Anak-anak dibawah 8 tahun lebih muda menyerap reaksi-reaksi bahan-bahan kimia dan
bahan iritan lewat kulit. Banyak studi yang menunjukkan bahwa tidak ada kecurigaan
pada peningkatan pertahanan kulit dengan meningkatnya umur. Data pengaruh umur
8
pada percobaan iritasi kulit sangat berlawanan. Iritasi kulit yang kelihatan (eritema)
menurun pada orang tua sementara iritasi kulit yang tidak kelihatan (kerusakan
pertahanan) meningkat pada orang muda.1 Reaksi terhadap beberapa bahan iritan
berkurang pada usia lanjut. Terdapat penurunan respon inflamasi dan TEWL, dimana
menunjukkan penurunan potensial penetrasi perkutaneus.
d. Suku
Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis kulit mempengaruhi
berkembangnya dermatitis kontak iritan secara signifikan. Karena eritema sulit diamati
pada kulit gelap, penelitian terbaru menggunakan eritema sebagai satu-satunya
parameter untuk mengukur iritasi yang mungkin sudah sampai pada kesalahan
interpretasi bahwa kulit hitam lebih resisten terhadap bahan iritan daripada kulit putih.
e. Lokasi kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan, sehingga kulit
wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih rentan terhadap dermatitis kontak
iritan. Telapak tangan dan kaki jika dibandingkan lebih resisten.
f. Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor predisposisi pada dermatitis iritan pada
tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya berhubungan dengan peningkatan
kerentanan terhadap dermatitis iritan karena rendahnya ambang iritasi kulit, lemahnya
fungsi pertahanan, dan lambatnya proses penyembuhan.Pada pasien dengan dermatitis
atopi misalnya, menunjukkan peningkatan reaktivitas ketika terpajan oleh bahan iritan.
Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui
kerja kimiawi atau fisis. Ada empat mekanisme yang dihubungkan dengan dermatitis kontak
iritan, yaitu
9
Gambar 1 Pada
: (a-d) respon
mekanisme imunologis
iritan, terdapatterjadinya dermatitis
komponen kontak iritanrespon
menyerupai (DKI). (a)imunologis
bahan iritan fisik
yangdandapat
kimia memicu
pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya yang disebut sinyal bahaya. (b) sel epidermis dan dermis merespon sinyal
didemonstrasikan
bahaya dengan
tersebut. (c) setelah jelas,inflamasi
itu, sitokin dimanadikeluarkan
hal tersebut
dari ditandai
sel residenoleh pelepasan
dan sel mediator
inflamasi yang sudah radang,
terinfiltrasi. Sitokin
utama pada proses ini adalah CXCL 8 (bentuk yang dikelan adalah IL-8) (d) sebagai akibatnya, dari produksi sitokin inflamasi,
banyak sel inflamasi termasuk neutrofil diserang dan dibawa pengaruh picuan inflamasi mengeluarkan mediator inflamasi.
Hasilnya dapat dilihat secara klinis pada DKI.
Pada respon iritan, terdapat komponen menyerupai respon imunologis yang dapat
didemonstrasikan dengan jelas, dimana hal tersebut ditandai oleh pelepasan mediator radang,
khususnya sitokin dari sel kulit yang non-imun (keratinosit) yang mendapat rangsangan kimia.
Proses ini tidaklah membutuhkan sensitasi sebelumnya. Kerusakan sawar kulit menyebabkan
pelepasan sitokin-sitokin seperti Interleukin-1α (IL-1α), IL-1β, tumor necrosis factor- α (TNF-
α). Pada dermatitis kontak iritan, diamati peningkatan TNF-α hingga sepuluh kali lipat dan
10
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan IL-2 hingga tiga kali lipat.
TNF- α adalah salah satu sitokin utama yang berperan dalam dermatitis iritan, yang
menyebabkan peningkatan ekspresi Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II dan
intracelluler adhesin molecul-I pada keratinosit.1
Pada dermatitis kontak iritan akut, mekanisme imunologisnya mirip dengan dermatitis
kontal alergi akut. Namun, perbedaan yang mendasar dari keduanya adalah keterlibatan dari
spesisif sel-T pada dermatitis kontak alergi akut.12
Manifestasi Klinis
Dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan. Iritan kuat memberikan gejala akut,
sedang iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu juga banyak hal yang mempengaruhi
sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.6Berdasarkan penyebab tersebut dan pengaruh
faktor tersebut, dermatitis kontak iritan dibagi menjadi sepuluh macam, yaitu:
11
Gambar 2 : DKI akut akibat penggunaan pelarut industri.
12
Distirbusi penyakit ini biasanya pada tangan. Pada dermatitis kontak iritan
kumulatif, biasanya dimulai dari sela jari tangan dan kemudian menyebar ke bagian
dorsal dan telapak tangan. Pada ibu rumah tangga, biasanya dimulai dari ujung jari
(pulpitis).7 DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih
banyak ditemukan pada tangan dibandingkan dengan bagian lain dari tubuh
(contohnya: tukang cuci, kuli bangunan, montir bengkel, juru masak, tukang kebun,
penata rambut).
4. Reaksi Iritan
Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat berupa skuama,
eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanya terlokalisasi di dorsum dari tangan
dan jari. Biasanya hal ini terjadi pada orang yang terpajan dengan pekerjaan basah.
Reaksi iritasi dapat sembuh, menimbulkan penebalan kulit atau dapat menjadi DKI
kumulatif.
13
jumlah surfaktan yang tinggi.Penyakit ini ditandai dengan perubahan sawar stratum
korneum tanpa tanda klinis (DKI subklinis).
7. Dermatitis Kontak Iritan Subyektif (Sensory ICD)
Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita mengeluh gatal, rasa tersengat,
rasa terbakar, beberapa menit setelah terpajan dengan iritan. Biasanya terjadi di daerah
wajah, kepala dan leher. Asam laktat biasanya menjadi iritan yang paling sering
menyebabkan penyakit ini.
8. Dermatitis Kontak Iritan Gesekan (Friction ICD)
Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau gesekan
yang berulang. DKI Gesekan berkembang dari respon pada gesekan yang lemah,
dimana secara klinis dapat berupa eritema, skuama, fisura, dan gatal pada daerah yang
terkena gesekan. DKI Gesekan dapat hanya mengenai telapak tangan dan seringkali
terlihat menyerupai psoriasis dengan plakat merah menebal dan bersisik, tetapi tidak
gatal. Secara klinis, DKI Gesekan dapat hanya mengenai pinggiran-pinggiran dan ujung
jemari tergantung oleh tekanan mekanik yang terjadi.
14
10. Dermatitis Asteatotik
Biasanya terjadi pada pasien-pasien usia lanjut yang sering mandi tanpa
menggunakan pelembab pada kulit. Gatal yang hebat, kulit kering, dan skuama
ikhtiosiform merupakan gambaran klinik dari reaksi ini.
Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis yang akurat. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya
lebih cepat sehingga penderita lebih mudah mengingat penyebab terjadinya. DKI kronis timbul
lambat serta mempunyai gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan
DKA. Selain anamnesis, juga perlu dilakukan beberapa pemeriksaan untuk lebih memastikan
diagnosis DKI.
A. Anamnesis
Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung pada
anamnesis mengenai pajanan yang mengenai pasien. Anamnesis yang dapat mendukung
penegakan diagnosis DKI (gejala subyektif) adalah:
- Pasien mengklain adanya pajanan yang menyebabkan iritasi kutaneus
- Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk DKI akut. DKI
lambat dikarakteristikkan oleh causa pajanannya, seperti benzalkonium klorida
(biasanya terdapat pada cairan disinfektan), dimana reaksi inflamasinya terjadi 8-24
jam setelah pajanan.
15
- Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-minggu ada DKI
kumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi akibat pajanan berulang dari suatu
bahan iritan yang merusak kulit.
- Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak nyaman akibat
pruritus yang terjadi.
B. Pemeriksaan Fisik
Menurut Rietschel dan Flowler, kriteria dignosis primer untuk DKI sebagai berikut:
- Makula eritema, hiperkeratosis, atau fisura predominan setelah terbentuk vesikel
- Tampakan kulit berlapis, kering, atau melepuh
- Bentuk sirkumskrip tajam pada kulit
- Rasa tebal di kulit yang terkena pajanan
C. Pemeriksaan Penunjang.
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mediagnosis dermatitis kontak iritan. Ruam kulit
biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan. Terdapat beberapa tes yang dapat
memberikan indikasi dari substansi yang berpotensi menyebabkan DKI. Tidak ada spesifik
tes yang dapat memperlihatkan efek yang didapatkan dari setiap pasien jika terkena dengan
bahan iritan. Dermatitis kontak iritan dalam beberapa kasus, biasanya merupakan hasil dari
efek berbagai iritans.
1. Patch Test
Patch test digunakan untuk menientukan substansi yang menyebabkan kontak
dermatitis dan digunakan untuk mendiagnosis DKA. Konsentrasi yang digunakan harus
tepat. Jika terlalu sedikit, dapat memberikan hasil negatif palsu oleh karena tidak
adanya reaksi. Dan jika terlalu tinggi dapat terinterpretasi sebagai alergi (positif palsu).
Patch tes dilepas setelah 48 jam, hasilnya dilihat dan reaksi positif dicatat. Untuk
pemeriksaan lebih lanjut, dan kemabali dilakukan pemeriksaan pada 48 jam berikutnya.
Jika hasilnya didapatkan ruam kulit yang membaik, maka dapat didiagnosis sebagai
DKI, Pemeriksaan patch tes digunakan untuk pasien kronis, dengan dermatitis kontak
yang rekuren.
2. Kultur Bakteri
Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi infeksi sekunder bakteri.
3. Pemeriksaan KOH
Dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya mikology pada infeksi jamur
superficial infeksi candida, pemeriksaan ini tergantung tempat dan morfologi dari lesi.
4. Pemeriksaan IgE
16
Peningkatan imunoglobulin E dapat menyokong adanya diathetis atopic atau riwayat
atopi.
Diagnosis Banding
Tatalaksana
Penatalaksanaan dari dermatitis kontak iritan dapat dilakukan dengan melakukan dengan
memproteksi atau menghindakan kulit dari bahan iritan. Selain itu, prinsip pengobatan penyakit
ini adalah dengan menghindari bahan iritan, melakukan proteksi (seperti penggunaan sarung
tangan), dan melakukan substitusi dalam hal ini, mengganti bahan-bahan iritan dengan bahan
lain.
Selain itu, beberapa strategi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita dermatitis
kontak iritan adalah sebagai berikut:
17
2. Glukokortikoid topikal
Efek topical dari glukokortikoid pada penderita DKI akut masih kontrofersional karena
efek yang ditimbulkan, namun pada penggunaan yang lama dari corticosteroid dapat
menimbulkan kerusakan kulit pada stratum korneum. Pada pengobatan untuk DKI akut
yang berat, mungkin dianjurkan pemberian prednison pada 2 minggu pertama, 60 mg dosis
inisial, dan di tappering 10mg.
3. Antibiotik dan antihistamin
Ketika pertahanan kulit rusak, hal tersebut berpotensial untuk terjadinya infeksi sekunder
oleh bakteri. Perubahan pH kulit dan mekanisme antimikroba yang telah dimiliki kulit,
mungkin memiliki peranan yang penting dalam evolusi, persisten, dan resolusi dari
dermatitis akibat iritan, tapi hal ini masih dipelajari. Secara klinis, infeksi diobati dengan
menggunakan antibiotik oral untuk mencegah perkembangan selulit dan untuk
mempercepat penyembuhan. Secara bersamaan, glukokortikoid topikal, emolien, dan
antiseptik juga digunakan. Sedangkan antihistamin mungkin dapat mengurangi pruritus
yang disebabkan oleh dermatitis akibat iritan. Terdapat percobaan klinis secara acak
mengenai efisiensi antihistamin untuk dermatitis kontak iritan, dan secara klinis
antihistamin biasanya diresepkan untuk mengobati beberapa gejala simptomatis.
4. Anastesi dan Garam Srontium (Iritasi sensoris)
Lidokain, prokain, dan beberapa anastesi lokal yang lain berguna untuk menurunkan
sensasi terbakar dan rasa gatal pada kulit yang dihubungkan dengan dermatitis iritan oleh
karena penekanan nosiseptor, dan mungkin dapat menjadi pengobatan yang potensial
untuk dermatitis kontak iritan.5 Garam strontium juga dilaporkan dapat menekan
depolarisasi neural pada hewan, dan setelah dilakuan studi, garam ini berpotensi dalam
mengurangi sensasi iritasi yang dihubungkan dengan DKI.
5. Kationik Surfaktan
Surfaktan kationik benzalklonium klorida yang iritatif dapat meringankan gejala dalam
penatalaksanaan iritasi akibat anion kimia.
6. Emolien
Pelembab yang digunakan 3-4 kali sehari adalah tatalaksana yang sangat berguna.
Menggunakan emolien ketika kulit masih lembab dapat meningkatkan efek emolien.
Emolien dengan perbandingan lipofilik : hidrofilik yang tinggi diduga paling efektif karena
dapat menghidrasi kulit lebih baik.
7. Imunosupresi Oral
18
Pada penatalaksanaan iritasi akut yang berat, glukokortikoid kerja singkat seperti
prednisolon, dapat membantu mengurangi respon inflamasi jika dikombinasikan dengan
kortikosteroid topikal dan emolien. Tetapi, tidak boleh digunakan untuk waktu yang lama
karena efek sampingnya. Oleh karena itu, pada penyakit kronik, imunosupresan yang lain
mungkin lebih berguna. Obat yang sering digunakan adalah siklosporin oral dan
azadtrioprim.
8. Fototerapi dan Radioterapi Superfisial
Fototerapi telah berhasil digunakan untuk tatalaksana dermatitis kontak iritan, khususnya
pada tangan. Modalitas yang tersedia adalah fototerapi photochemotherapy ultraviolet A
(PUVA) dan ultraviolet B, dimana penyinaran dilakukan bersamaan dengan penggunaan
fotosensitizer (soralen oral atau topical). Sedangkan radioterapi superfisial dengan sinar
Grentz juga dapat digunakan untuk menangani dermatitis pada tangan yang kronis.
Penalataksanaan ini jarang digunakan pada praktek terbaru, hal ini mungkin disebabkan
oleh ketakutan terhadap kanker karena radioterapi.
Edukasi
Pasien harus diinstruksikan untuk menghindari kontak dengan iritan. Selain itu, pasien
dan keluarga harus dididik mengenai ruam yang jinak dan tidak menular serta perjalanan
penyakit yang relatif lama. Biasanya, ruam sekunder berkembang lebih dari 2 minggu, bertahan
selama 2 minggu, dan kemudian memudar selama 2 minggu, tanpa perlu perawatan, meskipun
beberapa lesi telah bertahan selama 3-4 bulan.3
Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila bersamaan dengan dermatitis oleh
faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau pajanan dengan
bahan iritan yang tidak mungkin dihindari.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw – Hill; 2008.p.396-401.
2. Chew AL and Howard IM, editors. Ten Genotypes Of Irritant Contact Dermatitis. In:
Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis. Germany: Springer-Verlag Berlin
Heidelberg; 2006.p.5-8
3. Buxton, Paul K. ABC Of Dermatology 4th ed. London: BMJ Books; 2003.p.19-21
4. Grawkrodjer, David J. Dermatology an Illustrated Colour Text Third Edit. British:
Crurchill Livingstone.2002.p.30-1
5. Levin C, Basihir SJ, and Maibach HI, editors. Treatment Of Irritant Contact Dermatitis.
In: : Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis. Germany: Springer-Verlag
Berlin Heidelberg; 2006.p.461-5
6. Sularsito, S.A dan Suria Djuanda, editors. Dermatitis. In: Djuanda A, Mochtar H, Aisah S,
editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2008.p.130-33.
7. Wolff C, Richard AJ, and Dick S, editors. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis Of Clinical
Dermatology 5th ed. New York: McGraw – Hill; 2005.
20