Anda di halaman 1dari 7

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Mula Jadi Emas

Terbentuk dalam berbagai kondisi geologi, endapan emas tersebar dalam


batuan–batuan berumur Tersier Akhir Pra Kambrium (2–570 juta tahun) dan dapat
dibedakan atas dua macam yaitu primer dan skunder. Banyaknya gunung api dengan segala
aktivitasnya serta iklim tropis yang dimiliki Indonesia memungkinkan terdapatnya kedua
jenis endapan tersebut. Bijih (ore) emas terdapat dalam cebakan–cebakan dengan
bermacam–macam tipe di dalam batuan beku, sedimen, dan malihan (metamorfik).
Mineralisasinya terkait erat dengan adanya sumber panas (heat source) dan batuan induk
(hosted rock). Heat source merupakan kegiatan magmatis yang berkembang kearah
kegiatan volkanisme, sedangkan batuan induk adalah batuan tempat terendapkannya emas
dan mineral bijih lainnya. Sebagian besar endapan emas berasal dari proses magmatis atau
pengkonsentrasian di permukaan, beberapa endapan terbentuk karena proses
metasomatisme kontak dan larutan hidrotermal, sedangkan pengkonsentrasian secara
mekanis (faktor alam) menghasilkan endapan letakan (placer).
Secara regional Indonesia terbentuk akibat tumbukan dua lempeng besar, yaitu
lempeng pasifik di utara dan lempeng Australia di selatan. Tumbukan tersebut
mengakibatkan terbentuknya jalur gunung api (volcanic arc). Diantara kedua lempeng
tersebut terdapat jalur sesar dan lipatan. Dibelakang jalur penunjaman (back arc subduction
zone) akan terbentuk rangkaian kegiatan magmatik dan gunung api serta berbagai
cekungan pengendapan. Pertemuan antara lempeng Indo–Australia dan lempeng Eurasia
menghasilkan jalur penunjaman di selatan pulau jawa dan jalur gunung api Sumatra, Jawa,
Nusatenggara, serta cekungan lainnya seperti Cekungan Sumatra Utara, Sumatra Tengah,
Sumatra Selatan, dan cekungan jawa utara. Kondisi tatanan tektonik yang lengkap tersebut
menjadi pendukung bagi pembentukan mineralisasi emas dan logam lainnya di Indonesia.
Pergerakan lempeng saling menjauh menyebabkan penipisan dan perenggangan
kerak bumi sehingga terjadi pengeluaran material baru dari mantel membentuk jalur
magmatik atau gunung api. Pada jalur gunung api/magmatik biasanya akan terbentuk zona
mineralisasi seperti emas dan logam lainnya, sedangkan pada jalur penunjaman akan
ditemukan mineral yang lain pula. Setiap wilayah tektonik memiliki cirri atau indikasi
tertentu baik batuan, mineralisasi, struktur maupun kegempaannya. Proses mineralisasi
dapat terjadi karena kristalisasi magma, sublimasi metasomatisme kontak dan sublimasi.

2.2 Karakteristik Emas


Warna emas alami bervariasi tergantung ukuran partikelnya. Emas precipitated
biasanya berwarna coklat, tetapi ada juga yang mempunyai bayangan hitam, ungu, biru,
dan merah muda (pink). Dalam lembaran tipis, biasanya tembus cahaya dan memancarkan
cahaya kehijauan. Sebagai paduan, warna kuningnya bervariasi tergantung jenis logam
paduannya. Paduan emas–perak misalnya, membuat warna kuning emas menjadi lebih
muda, sedangkan dengan tembaga warna kuning tersebut akan menjadi lebih tua atau agak
kemerahan. Para ahli perhiasan menyebut emas putih (monel) apabila emas dipadukan
dengan platinum sejumlah 25% atau 12% palladium.
Kemurnian emas diukur dengan karat, menunjukan seberapa murni emas yang
terkandung dalam suatu paduan. Satu karat sama dengan 1/24 bagian emas atau 4,1667%,
emas 24 karat berarti emas murni, sedangkan 18 karat mengandung 18 bagian emas dan 6
bagian paduan. Emas murni biasanya digunakan dalam industry karena sifatnya yang lunak
dan kuat tariknya 20.000 lb per inci kuadrat (encyclopedia Britannica, 1768).
Sebagai logam bersifat lunak dan mudah ditempa (malleable), emas memiliki
kekerasan 2,5–3 skala mosh. Berat jenisnya bergantung pada perlakuannya, jenis dan
kandungan logam lain yang terpadu dengannya. Sebagai contoh emas tuang mempunyai BJ
19.3, emas suling 19.26, drawn gold 19,25, cold rolled sheet 19.296 dan precipated gold by
CH2O 19,29. Titik leburnya adalah 1.045oC dan titik didihnya sekitar 2500 oC (Mc Graw Hill
Encyclopedia of science and technology). Dalam tabel periodik , emas berada pada posisi
kelompok B dari family I bersama dengan perak dan tembaga. Posisi emas pada bagian
bawah rangkaian logam elektromotif mengindikasikan sifat unsur kimianya. Emas murni
biasanya mudah berlekuk, mudah dibengkokan, dan dapat ditempa sampai dengan
ketebalan 0,000001 mm.
Mineral pembawa emas yang penting adalah emas native dan campuran,
telurida, selenida, sulfide, dan antimonida. Mineral–mineral pengotor yang umum dijumpai
bersama bijjh emas adalah kuarsa selain itu karbonat, turmalin dan flourit sering pula
berasoisasi dengannya. Emas umumnya terikat di dalam sulfida–sulfida logam dan hasil
pelapukannya. Sulfida yang dimaksudkannya antara lain pirit, kalkopirit, galenit, stibnit,
tetrahedrit, sfalerit, arsenopirit, dan molibdenit

2.3 Model dan jenis endapan emas di Indonesia


Model cebakan bijih merupakan pengetahuan tentang cebakan bijih yang
meliputi jenis, sifat, ganesa, karakteristik, dan proses–proses yang berkaitan dengan
pembentukannya, serta asosiasi tatanan tektoniknya. Model cebakan bijih telah banyak
dipelajari sejak lama. Salah satu model yang disusun secara mudah dan menyeluruh dibuat
oleh Corbet dan Leach (1998). Model cebakan tersebut menggambarkan emas yang
berasoisasi dengan tembaga pada porifiri (batuan berbutir kasar diakibatkan karena
terbentuk jauh dibawah permukaan) dan skarn (jenis endapan yang terjadi karena kontak
dengan batuan yang bersifat reaktif), emas berasosiasi dengan tembaga bersifat sulfida
tinggi, emas sulfida rendah (berhubungan dengan porifiri), emas berasoisasi dengan perak,
bersifat sulfida rendah, dan emas pada batuan sedimen. Model cebakan emas Corbett dan
Leach tersebut banyak ditemukan di Indonesia.

2.3.1 Emas Tembaga porifiri dan skarn


Emas–tembaga pada porifiri umumnya terletak dilingkungan busur kepulauan
(island arc) daerah tersebut mengalami penunjaman (subduction) yang kuat sehingga
terjadi pengendapan mineral porifiri (kasar).
Skarn terbentuk pada daerah magmatisme yang mengintrusi batugamping.
Intrusi umumnya berhubungan dengan deposit–deposit porifiri dari diorite, kuarsa, tonalit,
monzoit, dan granodiorit. Intrusi ini pada umumnya menjadi batuan beku dalam (stock)
vertical (1-2 km). Kebanyakan deposit emas–tembaga porifiri dan skarn terjadi pada sekitar
2 juta tahun yang lalu. Tatanan tektonik skarn banyak berhubungan dengan sistem porifiri
pada batas pemekaran lempeng (convergent plate margin), terutama batas benua yang
aktif bergerak (active continental margin). Pada busur kepulauan, magma berkomposisi
menengah (intermediate)-basa yang berasosiasi dengan batugamping terumbu sering
menghasilkan skarn kaya magnetik.
Contoh cebakan emas yang berasosiasi dengan tembaga pada porifiri dan skarn
adalah Ertzberg, dan Grasberg (Papua), dan Batu Hijau (NTB), Tambulilato (Sulawesi Utara)
dan Kapatusan, Pulau Bacan, Kailaka, Sayoang, Raiau, dan Pigaraja (Maluku), serta Tapanuli
Selatan (Sumatra Utara).

2.3.2 Emas Tembaga Sulfida Tinggi


Model endapan ini sama dengan endapan porifiri yaitu terdapat di jalur gunung
api dam hanya sedikit ditemukan di busur belakang. Emas tembaga sulfida tinggi terbentuk
ketika larutan asam panas yang didominasi oleh gas reaktif yang berasal dari magma, uap,
dan gas (H2O, CO2, SO2, HCL, HF) naik dan berpindah secara vertikal dan lateral maupun
patahan/ struktur dan permeabilitas batuan dan bereaksi dengan batuan serta
pencampuran larutan. Endapan bijih emas ini berasoisasi dengan batuan volkanik bersifat
alkali. Jenis cebakannya adalah Lode emas kuarsa dan epitermal.
Endapan emas epitermal berupa urat–urat hidrotermal kuarsa, karbonat, barit,
dan flourit yang mengandung emas native atau emas telurida serta sejumlah perak.
Endapan ini terbentuk sebagai akibat pengisian rongga-rongga oleh larutan hidrotermal dan
umumnya banyak terjadi pada batuan–batuan volkanik tersier yang mengalami alterasi
kuat. Cebakan yang prospek untuk model mineralisasi ini terdapat di Miwah, bagiam Kepala
burung dan Bomberai (Papua), dan rinca dan Watuasa (NTT).
2.3.3 Emas Sulfida Rendah
Emas kuarsa sulfida rendah terbentuk pada tatanan tektonik yang sama dengan
sistem porifiri yaitu (umumnya) di busur vulkanik dan hanya sedikit ditemukan di busur
belakang. Saat pembentukannya terjadi pada tahap akhir sistem porifiri atau proses intrusi
yang terdapat di sekeliling intrusi (samping atau atas). Kenampakan di lapangan berupa urat
kuarsa maupun breaksi dengan tebal beberapa sentimeter sampai beberapa meter. Kuarsa
pada sistem ini biasanya kasar dan banyak mengandung sulfida (> 1 %) seperti pirit,
kalkiopirit, galena, sfalerit, arenopirit, hematite, dan magnetit yang berpenampilan Kristal
bagus. Contoh cebakan jenis ini di Indonesia ada di Arinem (garut), Cikondang (cianjur),
Jampang (Jawa Barat), Bengkayang (Kalimantan Barat), dan Kokap (Kulon Progo).

2.3.4 Emas Epitermal Emas – Perak – Kuarsa – Adularia Sulfida Rendah


Emas pada umumnya diendapkan oleh proses pencampuran larutan sisa magma
dengan air meteoric, namun beberapa cebakan mengindikasikan proses pemanasan. Emas
umumnya muncul dalam bentuk electrum, telurida, atau terikat oleh mineral sulfida. Jenis
endapan yang biasa terjadi pada model cebakan emas ini diantaranya adalah lode emas
kuarsa dan epitermal. Cebakan ini (terutama pada tipe urat) biasanya berkadar emas tinggi
(10 – 30 g/ton) dan banyak yang telah ditambang. Contoh cebakan model ini di Indonesia
terdapat di Gosowong (Maluku selatan), Gunung Pongkor dan Tasikmalaya (Jawa Barat),
Gunung Muro (Kalimantan Timur), Mangani, Gunung Arum, Salida, Sungai Pagu, dan
Belimbing (Sumatra Barat), Bukit Kelian (Kalimantan Timur), Mamuju (Sulawesi Selatan),
Paleleh, Bolang Mou Palu, Topak, dan Sumalata (Sulawesi Utara).

2.3.5 Emas Berinduk Batuan Sedimen


Disebut juga endapan tipe carlin yang terbentuk oleh interaksi antara sistem
hidrotermal dengan struktur dan litologi tempat terendapkannya emas. Model ini endapan
ini merupakan endapan emas halus pada batuan sedimen dan telah diusahakan di Amerika
Serikat pada 1960-an. Jenis endapan ini biasanya berkadar sangat rendah untuk ditambang
sehingga tidak ekonomis.
Prospek emas tipe ini yang dapat dikembangkan di Indonesia diantaranya
terdapat Cikotok, Bayah, dan Gunung Limbung (Jawa Barat), Tanjung Balit (Riau) serta
Paleleh (Sulawesi Utara) yang terbentuk dalam host rock batuan sedimen. Model cebakan di
daerah ini yang selama ini diusahakan adalah model cebakan emas epitermal.

2.4 Penambangan dan pengolahan

Tambang Batu Hijau adalah operasi tambang terbuka di mana semua mineral
berharga (tembaga, emas dan perak) ditambang dari permukaan tanah dengan
menggunakan berbagai peralatan tambang seperti alat muat (shovel) dan truk pengangkut.
Penambangan di Batu Hijau diawali dengan kegiatan pengeboran dan peledakan untuk
memudahkan pengambilan bijih. Dengan peledakan, batuan terlepas dari tanah dengan
diameter rata-rata 25 cm. Dengan menggunakan beberapa shovel berukuran besar, batuan
dimuat ke dalam truk berkapasitas maksimal 240 ton dan kemudian diangkut menuju ke
dua buah crusher (mesin penghancur). Di crusher, ukuran bijih batuan diperkecil hingga
berdiameter rata-rata kurang dari 15 cm. Bijih kemudian diangkut ke pabrik pemrosesan
mineral, sedangkan batuan berkadar lebih rendah diangkut ke tempat penampungan, untuk
menunggu giliran pemrosesan pada waktu mendatang.
Dari crusher, bijih batuan diangkut dengan ban berjalan sepanjang enam
kilometer ke pabrik pengolahan yang disebut konsentrator. Di konsentrator, mineral
berharga dipisahkan dari batuan pembawa melalui proses penggerusan dan flotasi. Bijih
batuan, setelah dicampur dengan air laut, kemudian digerus menggunakan dua penggerus
yang disebut Semi Autogenous (SAG) mill dan empat buah ball mill. Setelah keluar dari ball
mill, partikel halus yang terkandung dalam slurry kemudian dipompa ke seperangkat tangki
cyclone untuk pemisahan akhir partikel bijih. Bubur bijih halus dari tangki cyclone dialirkan
ke sejumlah tangki untuk diambil kandungan mineral berharganya. Tangki ini disebut sel
flotasi.
Proses flotasi ini tidak menggunakan bahan kimia secara berlebihan sehingga
aman dan membantu meminimalkan dampak lingkungan. Secara fisika, proses ini
memisahkan mineral berharga dari batuan pembawa dengan menggunakan gelembung
udara dan reagent dalam jumlah kecil.Terdapat dua jenis reagent yang ditambahkan dalam
proses flotasi di tangki. Jenis pertama akan mengikat mineral berharga, sedangkan jenis
kedua berfungsi untuk menstabilkan gelembung yang terbentuk oleh proses pengadukan.
Saat gelembung udara naik, mineral berharga atau konsentrat akan ikut terangkat ke
permukaan. Lapisan gelembung ini diselimuti oleh mineral berharga yang berbentuk seperti
pasir. Lapisan yang terapung di permukaan sel flotasi inilah yang disebut konsentrat. Dari sel
flotasi, konsentrat dikirim ke tangki penghilangan kadar garam yang disebut CCD (counter-
current decantation). Di dalam tangki ini air laut dibuang dan konsentrat dikentalkan
dengan cara mengalirkan air tawar secara berlawanan arah. Air tawar menggantikan air laut
dan konsentrat mengendap di dasar tangki.Konsentrat kemudian mengalir melalui pipa
sepanjang 17,6 km menuju ke fasilitas filtrasi atau penyaringan di Benete. Konsentrat cair
ini ditampung dalam tangki besar dan diaduk terus menerus untuk menghindari terjadinya
pengendapan. Konsentrat kemudian disaring untuk membuang kandungan air dalam
konsentrat sampai dengan 91%, menggunakan udara bertekanan.Setelah proses
penyaringan, konsentrat akan berupa bubuk batuan halus atau pasir dan disimpan dalam
gudang untuk menunggu pengapalan. Pemuatan konsentrat ke kapal menggunakan fasilitas
ban berjalan.
Konsentrat akhirnya dikapalkan ke sejumlah pabrik peleburan dalam negeri yakni
ke PT Smelting di Gresik, Jawa Timur maupun ke luar negeri (Jepang, Korea Selatan, India,
Eropa) untuk menjalani proses pemisahan dan pengambilan logam berharga, yaitu
tembaga, emas dan perak.

Anda mungkin juga menyukai