Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asfiksia Neonatorum

1. Definisi

Ikatan Dokter Anak Indonesia mendefinisikan asfiksia neonatorum sebagai

kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat

setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.

Sedangkan World Health Organization (WHO), asfiksia adalah kegagalan

bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir yang ditandai dengan

asidosis metabolic pada arteri umbilical dengan pH kurang dari 7.00, APGAR

skor antara 0-3 selama lebih dari 5 menit, sekuel dari kejang neonatorum, koma

atau hipotonia (ensepalopati neonatorum) dan disfungsi multiorgan.1

2. Faktor Risiko

Pengenalan faktor risiko yang menyertai kelahiran bayi asfiksia

memungkinkan dilakukannya persiapan resusitasi sehingga bayi memperoleh

terapi yang adekuat saat lahir. Faktor risiko terjadinya asfiksia pada bayi baru

lahir terdiri dari faktor ibu, faktor janin dan faktor persalinan/kelahiran.9

 Faktor ibu yaitu: infeksi (korioamnionitis), toksemia/eklampsia, penyakit

kronik ibu (hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit paru dan

diabetes melitus).9

4
 Faktor janin yaitu: prematuritas, bayi KMK, gawat janin, bayi kembar,

kelainan bawaan, inkompatibilitas golongan darah, dan depresi susunan saraf

pusat oleh obat-obatan.9

 Faktor persalinan kelahiran: polihidramnion, oligohidramnion, perdarahan

pranatal (plasenta previa, solutio plasenta), kelainan his, dan kelainan tali

pusat (tali pusat menumbung, lilitan tali pusat).9

3. Penilaian

Penilaian awal dilakukan pada setiap bayi baru lahir untuk menentukan
apakah tindakan resusitasi harus segera dimulai. Segera setelah lahir, dilakukan
penilaian dengan APGAR Score. 10

Gambar 2.1 Apgar Score10

5
Pembacaan APGAR Score :

1. Apgar score dinilai 3x pada menit ke 1 – 5 – 10


2. Menit pertama digunakan untuk menentukan diagnosis (sehat / asfiksia)
a. Nilai APGAR 8 – 10 : Vigorous baby
b. Nilai APGAR 7 : Asfiksia ringan
c. Nilai APGAR 4 – 6 : Asfiksia sedang
d. Nilai APGAR 0 – 3 : Asfiksia berat

Menit ke-5 dan 10 digunakan untuk menentukan prognosis perkebangan

bayi baru lahir.10,11

4. Tatalaksana Asfiksia Neonatorum

Gambar 2.2 Algoritma Resusitasi Neonatus12

6
B. Gawat Napas pada Neonatus

Gawat napas pada bayi baru lahir didefinisikan sebagai satu atau lebih

gejala dari peningkatan kerja napas yang ditandai dengan gejala utama takipne

(frekuensi pernapasan ≥ 60 kali/menit), sianosis sentral (lidah biru pada suhu

ruangan), retraksi (cekungan pada sternum dan kosta saat inspirasi), dan merintih.

Tanda lainnya adalah pernapasan cuping hidung dan apneu periodik.4 Penyebab

umum gawat napas pada bayi baru lahir takipne transien pada neonatus, sindrom

distres respirasi, pneumonia, sindrom aspirasi mekoneum, hipertensi pulmononal

persisten, dan pneumotoraks.3 Gawat napas dapat dievaluasi dengan mengunakan

Skor Downe, seperti yang dijelaskan pada tabel 1.13 Pemeriksaan awal pada

neonatus dengan gawat napas termasuk tes darah (hitung darah lengkap, protein C

reaktif, kultur darah, dan gas darah), oksimeter, dan radiografi toraks. Tatalaksana

awal adalah untuk menangani hipoksia, hiperkapnea, dan asidosis.14

Tabel 2.1 Evaluasi Gawat Napas dengan Menggunakan Skor Downe:13

0 1 2

Frekuensi napas < 60 x/menit 60-80 x/menit >80 x/menit

Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat

Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang Sianosis menetap


dengan pemberian walaupun diberi
oksigen oksigen

Jalan masuk udara Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
bebas masuk

Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar

7
dengan stetoskop tanpa alat bantu

Total skor <4 : Tidak ada gawat napas

4-7 : Gawat napas

>7 : Ancaman gagal napas (analisis gas darah harus dilakukan)

Takipne transien pada neonatus merupakan penyebab yang paling umum

pada gawat napas pada bayi baru lahir. Hal ini terjadi ketika cairan residu paru

masih tersisa di dalam paru-paru fetal setelah dilahirkan.14 Takipne transien pada

neonatus lebih sering terdapat pada bayi yang dilahirkan dengan cara sectio

caesarea, karena kemampuan pengosongan cairan paru berkurang dan

terlambat.15 Pada umumnya gejala kelainan ini akan hilang dengan sendirinya

pada usia 2 hingga 5 hari.16

Cara persalinan akan menentukan adaptasi paru-paru neonatus. Persalinan

secara spontan akan memicu peningkatan katekolamin. Katekolamin berfungsi

untuk adaptasi paru setelah lahir. Bayi yang lahir pervaginam memiliki

konsentrasi katekolamin yang lebih banyak daripada yang dilahirkan dengan

operasi cesar. Katekolamin merangsang absorbsi cairan paru fetal, menghambat

sekresi cairan paru fetal, dan meningkatkan pengeluaran surfaktan. Mekanisme

dari absorbsi cairan dipicu oleh hormon neuroendokrin yang menyebabkan

dilatasi pembuluh limpa. Cairan pada paru-paru dikosongkan seiring dengan

peningkatan sirkulasi pada saat nafas pertama, oleh karena itu jika terjadi

gangguan pada proses ini maka akan terjadi gawat napas. Pada persalinan dengan

operasi cesar proses pengosongan cairan paru tersebut lambat sehingga timbul

8
pengosongan cairan paru yang tidak cukup yang dapat memicu timbulnya takipne

transien pada neonatus.17 Penting untuk menegakan diagnosis transien dengan cara

menelusuri riwayat penyakit dan melakukan pemeriksaan fisik. Takipne transien

pada neonatus umumnya terdapat pada beberapa jam pertama kehidupan dan

harus dipantau secara konservatif setelah kelahiran di unit neonatal, dan harus

dipertimbangkan kemungkinan diagnosis banding lainnya. Seperti yang dijelaskan

pada tabel 2.3 Termasuk penyakit sindrom distres respirasi (RDS) dan pneumonia

yang mungkin dapat menyerang bayi baru lahir secara cepat. Foto rontgen toraks

menunjukan gambaran wet silhoutte disekitar jantung atau akumulasi cairan

intralobar, seperti yang digambarkan pada gambar 1.14 Beberapa bayi baru lahir

memerlukan terapi oksigen atau alat bantu napas lainnya selama beberapa hari

untuk membantu penyembuhan. Antibiotik sering secara rutin digunakan karena

sulit membedakan dengan proses infeksi.18

Tabel 2.2 Diagnosis Banding Gawat Napas pada Bayi Baru Lahir3

Kondisi umum yang didapatkan Kondisi yang jarang didapatkan


Takipne transien pada neonatus Perdarahan paru
Sindrom distres respirasi Efusi pleura
Pneumonia Gangguan neuromuskular
Sindrom aspirasi mekonium Asidosis metabolik
Pneumotoraks Kondisi bawaan atau bedah :
Hipertensi arteri pulmonal primer atau -Hernia difragmatika
sekunder -Fistula trakeo-oesofagus
Gagal jantung yang berhubungan -Atresia koana
dengan penyakit jantung bawaan -Malformasi adenomatoid kistik
Hipoksik iskemik ensefalopati kongenital

9
Aspirasi susu atau darah -Emfisema lobar
-Pulmonary sequestration
-Hipoplasia paru
Kasus langka :
-Sindrom defisiensi protein surfaktan
-Displasia kapiler alveolar

Gambar 2.3 Gambaran Wet Silhoutte Disekitar Jantung atau Akumulasi


Cairan Intralobar pada Foto Thoraks dengan Takipne Transien
pada Neonatus14
Sindrom distres respirasi disebabkan oleh kekurangan surfaktan. Sindrom

distres respirasi pada bayi baru lahir biasanya muncul pada 4 sampai 6 jam

pertama kehidupan. Umumnya terdapat pada bayi kurang bulan.19 Sulit dibedakan

antara sindrom distres respirasi dan takipne transien pada neonatus, terutama pada

bayi baru lahir. Kedua penyakit tersebut timbul pada saat beradaptasi saat

persalinan.20 Produksi dari surfaktan tipe 2 dimulai pada masa gestasi 24-25

minggu untuk mencapai jumlah yang cukup untuk mendukung pernafasan pada

masa gestasi 36-37 minggu.21 Oleh karena itu, ketika bayi lahir pada usia gestasi

10
dibawah 36 minggu, paru-paru yang imatur tidak dapat menghasilkan surfaktan

yang cukup untuk memenuhi kebutuhan napas. Kekurangan surfaktan akan

menyebabkan pengembangan paru yang tidak cukup akibat kolaps alveolar yang

meluas.22 Bayi akan menunjukan gejala gawat napas dan pada banyak kasus akan

memerlukan bantuan napas dengan oksigen atau ventilasi mekanik. Faktor risiko

sindrom distres respirasi meningkat terbalik dengan semakin berkurangnya usia

gestasi, oleh karena itu kelompok yang paling sering terkena adalah kelompok

bayi preterm. Penggunaan kortikosteroid antenatal untuk memicu produksi

surfaktan paru dan enzim antioksidan merupakan pencegahan untuk persalinan

diantara minggu gestasi 24 dan 34, dan kadang-kadang dipertimbangkan untuk

usia gestasi 35-36 minggu.23 Mengurangi persalinan melalui sectio caesarea akan

mencegah kejadian sindrom distres respirasi.22

Keperluan bantuan napas akan dinilai dari observasi klinis, rontgen

thoraks, dan analisa gas darah. Radiografi thoraks pada sindrom distress respirasi

menunjukan gambaran air bronchogram, seperti yang digambarkan pada gambar

2.14 Bayi baru lahir akan menghasilkan surfaktannya sendiri dengan cepat

sehingga sindrom distres respirasi akan menghilang dengan sendirinya pada usia

76 jam hingga 96 jam. Tatalaksana pada bayi dengan sindrom distres respirasi

secara umum merupakan suportif hingga sintesis surfaktan yang cukup terjadi.

Pada bayi yang tidak mengalami perbaikan perlu dikaji lebih dalam untuk

menghilangkan kondisi langka seperti displasia kapiler alveolar dan kelainan

genetik pada sistem surfaktan.21,22

11
Gambar 2.4 Gambaran Air Bronchogram pada Foto Toraks pada Penderita
Sindrom Distres Respirasi14

Pneumonia adalah infeksi pada saluran nafas bawah, sebagian besar

pneumonia bakterial dapat menyebabkan gawat napas berat pada bayi baru lahir.

Hal ini dapat didapatkan secara kongenital, melalui cara lahir terutama setelah

ruptur membran yang lama atau setelah lahir. Pneumonia pada bayi baru lahir sulit

didiagnosis dan sulit untuk dibedakan dari sebab gawat napas lain termasuk

sindrom distres respirasi dan takipne transien pada neonatus. Pemeriksaan hitung

sel darah putih, kultur darah, protein C reaktif kurang sensitif dan spesifik untuk

mendiagnosis pneumonia secara akurat.24

Patofisiologi dari pneumonia dapat didapatkan dengan cara infeksi secara

ascending terutama ketika korioamnionitis terjadi atau setelah lahir melalui

infeksi nosokomial yang didapat. Penyebab yang paling mungkin adalah inhalasi

dari cairan amnion yang terinfeksi. Patogen yang umum didapatkan termasuk

bakteri, seperti Streptokokus grup B, Streptokokus pneumonia, Staphylococcus

12
aureus, Listeria dan batang enterik gram negatif (seperti : E.coli), dan virus

seperti herpes simpleks virus, virus syncytial respirasi, dan virus influenza A & B,

organisme atipikal seperti klamidia, dan jamur seperti Candida albicans. Faktor

risiko untuk pneumonia kongenital adalah ruptur membran yang lama, infeksi

prematur dan maternal, terutama dengan Streptococcus grup B. Berat lahir dan

usia saat onset berhubungan dengan risiko mortalitas dari pneumonia.24,25

Pneumonia dapat teridentifikasi dengan cepat atau lambat. Penggalian

riwayat penyakit dan pemeriksaan yang teliti dapat membantu mendiagnosis

pneumonia. Pada foto toraks akan menunjukan gambaran bayangan percabangan

bilateral dengan atau tanpa efusi pleura, seperti yang digambarkan pada gambar

3.26 Akan tetapi temuan ini seringkali sama dengan kondisi lainnya seperti

sindrom distres respirasi, takipne transien pada neonatus, ataupun sindrom

aspirasi mekonium. Pemeriksaan seperti kultur darah akan dapat

mengidentifikasikan organisme penyebab, dan gas darah dan pemantauan tekanan

oksimeter akan menentukan bantuan napas yang diperlukan oleh bayi. WHO

merekomendasikan penggunaan ampisilin dan gentamisin untuk menangani

Streptokokus grup B dan E.coli. Penanganan suportif seperti oksigen,

termoregulasi, pencegahan hipoglikemia, dan nutrisi parenteral atau pemberian

nutrisi melalui selang nasogastrik seringkali diperlukan.27

13
Gambar 2.5 Gambaran Foto Toraks Pneumonia Kongenital Dapat Menunjukan
Gambaran Bayangan Percabangan Bilateral dengan atau Tanpa
Efusi Pleura3

Sindrom aspirasi mekonium adalah gawat napas yang disebabkan aspirasi

mekonium oleh fetus dalam uterus atau oleh neonatus selama proses persalinan

dan kelahiran. Hal ini ditandai dengan gawat napas yang muncul cepat yang

terjadi pada bayi yang dilahirkan dengan cairan amnion yang tercampur dengan

mekonium. Gejala awal seperti gawat napas, kerja paru yang menurun,

hipoksemia, dan temuan hiperinflasi dan opasipikasi yang bercabang pada

radiografi.28

Patofisiologi dari sindrom aspirasi mekonium terjadi karena hipoksia fetal

akibat fetal distress. Mekonium yang terinhalasi dapat menyebabkan obstruksi

jalan napas mekanik yang dapat menyebabkan kegagalan perfusi yang akan

menimbulkan pneumonitis kimia dan infeksi yang akan menghambat fungsi

surfaktan dan selanjutnya akan mengakibatkan inflamasi dan peradangan yang

dapat menyumbat saluran napas kecil.29

14
Gawat napas akibat inhalasi mekonium pada saat lahir kemungkinan

disebabkan oleh sumbatan mekanik. Namun, gawat napas yang timbul setelah

beberapa jam kehidupan kemungkinan disebabkan oleh pneumonitis kimia dan

infeksi. Kegagalan perfusi dan inflamasi pulmonal akan memicu vasokonstriksi

vaskular paru yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonal. Faktor risiko

meningkat pada kehamilan lewat bulan, distres fetal, jenis kelamin laki-laki,

Apgar score dibawah 7, dan oligohidramnion.30

Tatalaksana pada sindrom aspirasi mekonium dengan cara melakukan

observasi mekonium pada 12 sampai 24 jam pada bayi baru lahir. Gejala gawat

napas apapun pada bayi ini akan mengindikasikan sindrom aspirasi mekonium

dan memerlukan penanganan lebih lanjut. Sebagian besar kasus sindrom aspirasi

mekonium akan sembuh dalam 2 hingga 3 hari dan anya memerlukan terapi

suportif. Namun, beberapa bayi sindrom aspirasi mekonium berat memerlukan

intubasi dan ventilasi.31 Radiografi awal biasanya untuk menemukan gambaran

yang berhubungan dengan pneumonia dengan gambaran bayangan percabangan

bilateral dan efusi pleura yang terlihat. Sindrom aspirasi mekonium dengan

pneumonia sulit dibedakan maka antibiotik yang diberikan dapat bersifat

penanganan atau sebagai profilaksis untuk mencegah proses infeksi.32

Hipertensi pulmonal persisten pada neonatus ditandai dengan hipoksemia

berat langsung setelah dilahirkan Patofisiologi dari hipertensi pulmonar persisten

pada neonatus adalah adanya kegagalan pada resistensi vaskular paru. Resistensi

vaskular paru tinggi namun berkurang secara cepat setelah lahir sesuai dengan

nafas pertama bayi. Penurunan tekanan vaskular paru berlanjut dengan cepat

15
dalam 24 jam pertama kehidupan dan akan lebih bertahap setelahnya. Faktor yang

mempengaruhi oksigenasi arteri pulmonal akan mencegah penurunan vaskular

paru yang akan menyebabkan peningkatan tekanan persisten arteri pulmonal yang

akan menyebabkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale dan ductus

arteriosus.33

Echokardiogafi harus dilakukan untuk mengonfirmasi peningkatan

tekanan arteri pulmonal dan pirau apapun melalui duktus arteriosus paten atau

foramen ovale. Radiografi thoraks juga menunjukan pelebaran siluet jantung

dengan temuan proses penyakit yang berhubungan atau akan menunjukan

penurunan vaskular pada lapang paru terutama pada hipertensi pulmonal

persisten pada bayi baru lahir.34 Terapi awal dengan oksigen saturasi tinggi

merupakan vasodilator untuk arteri pulmonal. Jika oksigenasi yang cukup tidak

dapat terpenuhi dengan intubasi trakea dan ventilasi mekanik maka terapi seperti

inhalasi nitric oxide dan dukungan inotropik diperlukan.35

Pneumotoraks biasanya timbul akibat proses penyakit yang menyertainya

tetapi dapat terjadi secara spontan pada 1% dari jumlah bayi baru lahir pada

periode perinatal, walaupun hanya 10% dari kasus ini yang bersifat simptomatik.

Manifestasi klinis dapat bersifat gawat napas ringan atau berat tergantung pada

derajat penurunan fungsi paru.36

Pneumotoraks didefinisikan sebagai udara pada rongga pleura. Hal ini

dapat terjadi akibat pneumonia, apirasi mekonium, abnormalitas ventilasi atau

kelainan kongenital paru, dan sering terdapat pada bayi yang memerlukan alat

bantuan napas terutama dengan ventilasi mekanik yang invasif.37

16
Terdapat peningkatan risiko pneumotoraks pada bayi preterm tetapi pada

bayi dengan penyakit paru mempunyai risiko untuk berkembang menjadi

pneumotoraks sebagaimana bayi yang menggunakan ventilasi mekanik atau usaha

resusitasi yang kuat. Penanganan tergantung pada kondisi klinis pada bayi dan

ukuran pneumotoraks. Pneumotoraks yang kecil ditangani secara konservatif

terutama jika asimptomatik tetapi pneumotoraks lebih besar yang memiliki gejala

akan didrainase dengan chest drain atau chest tube. Pneumotoraks dengan tekanan

memerlukan dekompresi darurat dengan jarum thorakosentesis dilanjutkan dengan

pemasangan chest drain. Alat tersebut dapat dilepaskan jika status respirasi bayi

menunjukan perbaikan.37

C. Sepsis Neonatorum

1. Definisi

Sepsis pada bayi baru lahir merupakan infeksi aliran darah yang bersifat

invasif dan ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti

darah, cairan sumsum tulang, atau air kemih. Sepsis berat adalah keadaan sepsis

yang disertai disfungsi organ kardiovaskular dan gangguan napas akut atau

terdapat gangguan organ lain yaitu neurologi, hematologi, urogenital, dan


37
hepatologi. Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis penyakit sistemik akibat

infeksi yag terjadi dalam satu bulan prtama kehidupan.38

2. Epidemiologi

Angka kejadian sepsis di negara yang sedang berkembang masih cukup

tinggi berkisar 1,8-18 per 1000 kelahiran, sedangkan di negara maju hanya 1-5

pasien per 1000 kelahiran.39 Insidensinya mencapai 13-27 per 1000 kelahiran

17
hidup pada bayi dengan berat <1500gram. Angka kematian 13-50%, terutama

pada bayi prematur (5-10 kali kejadian pada neonatus cukup bulan) dan neonatus

dengan penyakit berat dini.40

3. Faktor Risiko

Faktor risiko sepsis pada neonatus terbagi menjadi 3, yaitu faktor

maternal, faktor neonatal, dan faktor lainnya.41 Faktor maternal dibedakan lagi

menjadi faktor mayor dan minor. Faktor mayor meliputi ruptur membran ibu

yang lama lebih dari 24 jam, ibu dengan demam intrapartum lebih dari 38°C,

korioamnionitis, heart rate janin lebih dari 160x/menit, dan ketuban berbau.

Sedangkan faktor minor meliputi ruptur membran ibu yang lama lebih dari 12

jam, ibu dengan demam intrapartum lebih dari 37,5°C, Apgar skor rendah

berat badan lahir sangat rendah (BBLR kurang dari 1500 gram), usia gestasi

kurang dari 37 minggu, kehamilan ganda, keputihan pada ibu yang tidak

diobati, dan ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) atau tersangka ISK yang

tidak diobati.42

Faktor risiko dari neonatal antara lain prematuritas, berat lahir rendah,

asfiksia, resusitasi setelah persalinan, prosedur invasif, anomali kongenital, nutrisi

parenteral, dan rawat inap yang cukup lama di neonatal intensive care unit

(NICU). Sedangkan faktor lainnya meliputi jenis kelamin laki-laki, neonatus

berkulit hitam, dan berasal dari tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah.41

18
4. Klasifikasi

Sepsis neonatal biasanya dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu sepsis

awitan dini (SAD) dan sepsis awitan lambat (SAL). Pada awitan dini, terjadi pada

7 hari pertama pasca lahir, dengan gejala klinis yang timbulnya mendadak, serta

gejala sistemik yang berat, teruatama mengenai sistem saluran pernafasan,

progresif, akhirnya syok dan kematian. Sedangkan pada awitan lambat terjadi

infeksi dari kuman yag berasal dari lingkungan sekitar bayi setelah hari ke-7

sampai usia 3 bulan dengan disertai adanya kelainan sistem susunan saraf pusat,

disebut pula infeksi transmisi horisontal, termasuk infeksi nosokomial.39,43

Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD

adalah Streptokokus Grup B (>40% kasus), Escherichia coli, Haemophilus

influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara berkembang

termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang gram

negatif.44 Angka kejadian SAD berkisar 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup

dengan angka mortalitas sebesar 15-50%.44

Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72

jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi

nosokomial). Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira

10-20%. Di negara maju, Coagulase-negatif Staphilococci (CONS) dan Candida

albicans merupakan penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang

didominasi oleh mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella,

dan Pseudomonas aeruginosa).45

19
5. Manifestasi Klinis

Anamnesis bayi dicurigai mengalami sepsis jika memiliki ≥ 2 gejala kriteria

A atau ≥3 gejala kriteria B. Pemeriksaan fisik keadaan umum (ksadaran, tanda

vital), kulit (perfusi, warna, dan bercak pada kulit, abdomen (kembung,

hepatomegali), pernapasan (otot bantu napas), serta neurologi (ubun-ubun

menonjol, kaku kuduk). Pemeriksaan penunjang hitung leukosit, rasio neutrophil

imatur dengan neutrophil total <0.2, C-reactive protein (CRP), pewarnaan gram

dan pemeriksaan kultur, analisis gas darah (bila sesak), pemeriksaan cairan

serebrospinal (kecurigaaan meningitis), kadar gula darah, kadar bilirubin, foto

toraks, CT-scan kepala (gejala neurologis).38

Tabel 2.3 Kategori A dan B Sepsis Neonatorum


Kategori A Kategori B
1. Kesulitan bernafas (apneu, nafas > 60 Tremor
kali permenit, retraksi dinding dada,
grunting pada waktu ekspirasi, sianosis
sentral)
2. Kejang Letargi atau lunglai
3. Tidak sadar Mengantuk atau aktivitas
berkurang
4. Suhu tubuh tidak normal (sejak lahir dan Iritable atau rewel,
muntah, perut kembung
tidak respon dengan pemberian terapi) atau
suhu tidak stabil sesudah pengukuran suhu
normal selama tiga kali atau lebih
5. Persalinan dilingkungan yang kurang Tanda-tanda mulai
munculnya sesudah hari
higienis (menyokong ke arah sepsis) ke empat
6. Kondisi memburuk secara cepat dan Air ketuban bercampur
meconium
dramatis (menyokong ke arah sepsis)

20
7 Malas minum,
sebelumnya minum
dengan baik

6. Tatalaksana

a) Bayi harus dirawat di rumah sakit dan dipasang jalulr intravena serta

diberikan O2.38

b) Pemberian antibiotik sesuai peta kuman rumah sakit pada lini pertama dan

diberikan golongan penisilin dan aminoglikosida seperti gentamisin.38

c) Terapi lainnya: pemberian cairan dosis rumatan berupa NaCL 0,9% atau 10

ml/Kgbb/30 menit pada gangguan perfusi, transfusi komponen darah yang

diperlukan, serta manajemen nutrisi secara adekuat.38

d) Terapi spesifik sesuai etiologi dan gangguan sistem yang terjadi. 38

D. Hipoksik Iskemik Encephalophaty

1. Definisi

Ensefalopati hipoksik iskemik adalah suatu sindrom yang ditandai dengan

kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak

yang akut yang disebabkan karena asfiksia neonatorum.46 Neonatal HIE adalah

sindrom klinis dengan gangguan fungsi neurologis pada awal kehidupan

neonatus yang lahir pada atau lebih dari 35 minggu gestasi, dengan manifestasi

penurunan kesadaran atau kejang, sering disertai gangguan untuk memulai dan

menjaga pernapasan, dan depresi tonus otot dan refleks. HIE juga merupakan

21
penyebab penting kerusakan otak pada bayi baru lahir dengan konsekuensi

jangka panjang yang buruk.47

2. Gejala Klinis

Neonatus dengan ensefalopati dapat disertai nilai APGAR rendah saat

persalinan dan asidosis metabolik darah umbilikal; dalam 24 jam kehidupan, dapat

muncul gejala apnea dan kejang serta abnormalitas EEG

(electroencephalography). Sekuele defisit neurologis dapat berupa gangguan

belajar, retardasi mental, dan gangguan penglihatan dan pendengaran. Sarnat dan

Sarnat membuat klasifikasi derajat HIE pada neonatus dengan usia kehamilan >36

minggu.47

Tabel 2.4. Klasifikasi derajat hypoxic-ischemic encephalopathy47

Tanda Klinis Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3

(Ringan) (Sedang) (Berat)

Tingkat Hyperalert/ Letargi Stupor, koma

kesadaran irritable

Tonus otot Normal Hipotonik Flaccid

Postur Normal Fleksi Decerebrate

Reflek Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada

tendon/klonus

Mioklonus Tampak Tampak Tidak tampak

22
Reflek moro Kuat Lemah Tidak ada

Pupil Midriasis Miosis Tidak sama, reflek

cahaya lemah

Kejang Tidak ada Sering Deserebrasi

EEG Normal Voltase rendah Burst supression ke

sampai bangkitan isoelektrik

kejang

Lamanya <24 jam 24 jam sampai 14 Beberapa hari-

hari minggu

Saat terjadinya asfiksia berhubungan dengan lokasi cedera otak dan tipe

disabilitas yang terjadi; dapat dibagi menjadi akut dan berlanjut. Cedera otak akut

(misal karena ruptur uteri) biasanya disertai bradikardia janin, umumnya akan

menyebabkan cedera otak di bagian sentral, sedangkan cedera otak berlanjut dan

parsial (misal karena insufisiensi plasenta) biasanya disertai deselerasi intermiten

denyut jantung janin umumnya akan menyebabkan cedera otak di zona watershed.

Perpanjangan kedua tipe asfiksia tersebut berakibat kerusakan yang lebih luas.

3. Diagnosis

Diagnosis HIE dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Tidak

ada satupun tes yang spesifik untuk menyingkirkan atau menegakkan diagnosis

HIE. Keterlambatan diagnosis dan tatalaksana asfiksia neonatorum menyebabkan

bayi jatuh dalam HIE berat.46

23
4. Tatalaksana

Prinsip manajemen bayi baru lahir yang mengalami cedera hipoksik-

iskemik dan berisiko cedera sekunder adalah:47

1. Identifikasi awal bayi dengan risiko tinggi Tanda yang mungkin didapat

adalah denyut jantung janin abnormal, bayi depresi berat (skor APGAR

rendah dan berkepanjangan), perlu resusitasi (intubasi, kompresi dada,

pemberian epinefrin), asidosis berat (pH umbilikal <7,0 dengan atau base

deficit ≥16 mEq/L), diikuti hasil pemeriksaan neurologis awal abnormal

atau hasil EEG abnormal.

2. Perawatan suportif intensif untuk memfasilitasi perfusi dan nutrisi otak yang

adekuat, dibutuhkan perawatan suportif seperti koreksi gangguan

hemodinamis (hipotensi, asidosis metabolik), ventilasi adekuat, koreksi

gangguan metabolik seperti kadar glukosa, kalsium, magnesium, dan

elektrolit lainnya, penanganan kejang, serta monitor kegagalan fungsi organ-

organ lain. Salah satu faktor utama perawatan intensif adalah menjaga

ventilasi dan perfusi adekuat. Kekurangan oksigen akan menyebabkan

gangguan autoregulasi serebrovaskuler dengan konsekuensi bertambahnya

cedera sel-sel otak. Sedangkan hiperoksia berat pada awal masa kehidupan

akan menyebabkan peningkatan stres oksidatif yang pada akhirnya

memperburuk status neurologis jangka panjang.

3. Pertimbangan intervensi untuk memperbaiki proses cedera otak yang sedang

terjadi. Intervensi terapi neuroprotektif dapat dipilah menjadi intervensi

farmakologi dan non-farmakologi. Meskipun banyak terapi neuroprotektif

24
telah diteliti, hingga saat ini tidak ada agen neuroprotektif yang aman dan

efektif mengobati sekuele neurologis setelah kejadian HIE pada neonatus.

Tujuan terapi neuroprotektif adalah untuk mengurangi kerusakan serebral

dengan cara mengurangi pembentukan radikal bebas yang toksik,

menghambat masuknya kalsium berlebihan ke dalam neuron, dan

mengurangi edema serebral.

25

Anda mungkin juga menyukai