Anda di halaman 1dari 138

ht

tp
s:
//b
an
te
n.
bp
s.
go
.id
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
INDEKS KESEJAHTERAAN RAKYAT
PROVINSI BANTEN 2016

ISBN : 978-602-0932-84-2
No. Publikasi : 36550.1712
Katalog BPS : 4102004.36

.id
Ukuran Buku : 17,6 X 25 cm

o
Jumlah Halaman : x + 126 Halaman

.g
Naskah ps
: Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik
b
n.

Penyunting : Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik


e
nt

Gambar Kover : Bidang Integrasi Pengolahan dan


a

Diseminasi Statistik
//b
s:

Diterbitkan oleh : © Badan Pusat Statistik Provinsi Banten


tp

Dicetak oleh : CV. Dharmaputra


ht

"Dilarang mengumumkan, mendistribusikan, mengomunikasikan,


dan/atau menggandakan sebagian atau seluruh isi buku ini untuk
tujuan komersial tanpa izin tertulis dari Badan Pusat Statistik"

2.
3.
4.
Kata Pengantar

Publikasi Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 merupakan


publikasi tahunan BPS Provinsi Banten, yang menyajikan data tentang tingkat
perkembangan kesejahteraan rakyat dari waktu ke waktu. Dalam publikasi ini

.id
disajikan data dan indikator kesejahteraan rakyat, yang bersumber dari hasil

o
.g
survei Badan Pusat Statistik (BPS), yang meliputi Survei Sosial Ekonomi
ps
Nasional dan Survei Angkatan Kerja Nasional, serta data dari instansi lain
b
di luar BPS.
e n.

Data dan indikator yang disajikan dalam publikasi ini, diharapkan dapat
a nt

digunakan sebagai dasar perencanaan maupun evaluasi terhadap upaya


//b

peningkatan kualitas hidup masyarakat. Data dan indikator yang dicakup,


s:

antara lain meliputi aspek kependudukan, kesehatan, pendidikan,


tp

ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan, dan kemiskinan.


ht

Disadari, publikasi ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan
saran demi perbaikan di masa mendatang sangat diharapkan. Ucapan terima
kasih disampaikan pada semua pihak yang telah berperan dalam membantu
menyusun publikasi ini, sehingga dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Serang, November 2017

Kepala Badan Pusat Statistik


Provinsi Banten

Agoes Soebeno

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 iii


ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
Daftar Isi

Kata Pengantar …………………………………………………………………….. iii


Daftar Isi ……………………………………………………………………………… v
Daftar Tabel …………………………………………………………………………. vi

.id
Daftar Gambar ……………………………………………………………………… ix

o
.g
Bab I. Kependudukan .…………………………………………………… 1
Bab II.
ps
Kesehatan dan Gizi ……..…………………………………………
b
23
n.

Bab III. Pendidikan ……………………………………………………..……. 39


e

Bab IV. Ketenagakerjaan …………………………………………………… 57


nt

Bab V. Taraf dan Pola Konsumsi ……………………………………….. 73


a
//b

Bab VI. Perumahan …………………………………………………………… 87


Bab VII. Kemiskinan ……………………………………………………………
s:

101
tp

Daftar Pustaka ……………………………………………………………………… 135


ht

Lampiran ……………………………………………………………………………… 141

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 v


Daftar Tabel

Daftar Tabel

Tabel 1.1. Komposisi Penduduk Menurut Kabupaten/Kota dan


Daerah Tempat Tinggal, Tahun 2017 ……………………. 9
Tabel 1.2. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan

.id
Angka Beban Ketergantungan, Tahun 2013-2017 …… 12

o
Tabel 1.3. Perkembangan Beberapa Indikator Fertilitas,

.g
Tahun 2010-2035 ..…………………………………………….. 15
Tabel 1.4.
ps
Persentase Perempuan Usia 10 Tahun ke Atas
b
Menurut Usia Perkawinan Pertama dan
n.

Daerah Tempat Tinggal, Tahun 2010-2014 …………… 18


e
nt

Tabel 1.5. Persentase Wanita Berumur 15-49 Tahun yang


Berstatus Kawin Menurut Alat/Cara KB yang
a
//b

Digunakan dan Daerah Tempat Tinggal,


Tahun 2015-2016 ………………………………………………. 20
s:
tp

Tabel 2.1. Angka Kesakitan dan Rata-Rata Lama Sakit Penduduk


ht

Menurut Daerah Tempat Tinggal, Tahun 2015-2016 .. 27


Tabel 2.2. Perkembangan Angka Harapan Hidup
Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2010-2020 …………..… 29
Tabel 2.3. Persentase Anak Usia Kurang dari 2 Tahun yang
Pernah Disusui dan Lama Disusui
Menurut Daerah Tempat Tinggal, Tahun 2015-2016 31

Tabel 2.4. Persentase Balita (Usia 0-59 Bulan) yang Pernah


Disusui Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016 ………………………………………………. 34

Tabel 2.5. Persentase Penduduk yang Berobat Jalan


Menurut Jenis Fasilitas Kesehatan dan
Daerah Tempat Tinggal, Tahun 2015-2016 …………… 36

vi Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Daftar Tabel

Tabel 2.6. Persentase Perempuan Berumur 15-49 Tahun


Menurut Penolong Kelahiran Terakhir dan
Daerah Tempat Tinggal, Tahun 2015-2016 …………… 37

Tabel 3.1. Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas


Menurut Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki dan
Daerah Tempat Tinggal, Tahun 2015-2016 …………… 49

Tabel 3.2. Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas


Menurut Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki dan
Jenis Kelamin, Tahun 2015-2016 ..………………………. 51

Tabel 4.1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan

.id
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

o
Menurut Daerah Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin,

.g
Tahun 2015-2017 ………………………………………………. 61

Tabel 4.2 ps
Persentase Penduduk yang Bekerja
b
Menurut Lapangan Usaha Pekerjaan Utama dan
n.

Jenis Kelamin, Tahun 2016-2017 …………….…………… 65


e

Tabel 4.3 Persentase Penduduk yang Bekerja


nt

Menurut Status Pekerjaan Utama dan


a

Daerah Tempat Tinggal,Tahun 2016-2017 …….……… 68


//b

Tabel 4.4 Persentase Penduduk yang Bekerja


s:

Menurut Kategorisasi Lama Jam Kerja dan


tp

Daerah Tempat Tinggal, Tahun 2016-2017 …………… 70


ht

Tabel 5.1 Rata-Rata Pengeluaran per Kapita


Menurut Kelompok Pengeluaran, Tahun 2015-2016 78
Tabel 5.2 Komposisi Rata-Rata Pengeluaran per Kapita
Menurut Kelompok Pengeluaran dan
Daerah Tempat Tinggal, Tahun 2015-2016 …………… 79

Tabel 5.3 Distribusi Pengeluaran Penduduk Kriteria Bank Dunia


dan Indeks Gini, Tahun 2015-2016 ………………………. 81
Tabel 5.4 Rata-Rata Konsumsi Kalori (Kkal) dan Protein (Gram)
per Kapita Sehari Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016 ……………………………………………… 85

Tabel 6.1 Persentase Rumahtangga Menurut Beberapa Fasilitas


Perumahan dan Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016 ……………………………………………… 97

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 vii


Daftar Tabel

Tabel 6.2 Persentase Rumahtangga


Menurut Status Kepemilikan Rumah Tinggal dan
Daerah Tempat Tinggal, Tahun 2015-2016 …………… 99

Tabel 7.1 Garis Kemiskinan Menurut Daerah Tempat Tinggal,


Maret 2015-Maret 2017
(Ribu Rupiah per Kapita Sebulan) ……………………….. 105

Tabel 7.2 Komposisi Garis Kemiskinan


Menurut Komoditas dan Daerah Tempat Tinggal,
Maret 2015-Maret 2017 ………………………………………. 107

Tabel 7.3 Persentase Penduduk Miskin

.id
Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Maret 2015-Maret 2017 ………………………………………. 109

o
.g
Tabel 7.4 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan

Menurut Daerah Tempat Tinggal,


b ps
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)

Maret 2015-Maret 2017 ………………………………………. 111


e n.
ant
//b
s:
tp
ht

viii Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Daftar Gambar

Gambar 1.1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk,


Tahun 2000 dan 2010-2017 ……………………………. 5
Gambar 1.2. Rasio Jenis Kelamin Penduduk,

.id
Tahun 2010-2017 ………………………………………….. 6

o
Gambar 1.3. Rasio Jenis Kelamin Penduduk

.g
Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2017 ……….……. 8
Gambar 1.4.
ps
Tingkat Kepadatan Penduduk per Km Persegi
b
Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2017 ……….……. 10
n.

Gambar 1.5. Perkembangan Penduduk Usia 65 Tahun ke Atas,


e
nt

Tahun 2010-2035 …………………………………….……. 14


a
//b

Gambar 2.1. Persentase Anak Usia 2-4 Tahun yang Pernah


Diberi Asi Eksklusif Menurut Daerah Tempat
s:

Tinggal, Tahun 2015-2016 ………………………….….. 33


tp

Gambar 2.2. Persentase Penduduk yang Berobat Jalan


ht

Menurut Daerah Tempat Tingggal,


Tahun 2015-2016 ………………………………………….. 35

Gambar 3.1. Angka Melek Huruf (AMH) Usia 15 Tahun ke Atas


Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016 (Persen) ………………………………. 43

Gambar 3.2. Angka Melek Huruf (AMH) Usia 15 Tahun ke Atas


Menurut Jenis Kelamin,
Tahun 2015-2016 (Persen) ………………………………. 44

Gambar 3.3. Angka Partisipasi Sekolah (APS)


Menurut Kelompok Usia Sekolah,
Tahun 2015-2016 (Persen) ………………………………. 45

Gambar 3.4. Angka Partisipasi Sekolah (APS)


Menurut Kelompok Usia Sekolah dan
Daerah Tempat Tinggal,Tahun 2016 (Persen) …… 47

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 ix


Daftar Gambar

Gambar 3.5. Angka Partisipasi Sekolah (APS)


Menurut Kelompok Usia Sekolah dan
Jenis Kelamin,Tahun 2016 (Persen) ……………….… 48

Gambar 3.6. Rasio Murid-Guru Menurut Jenjang Pendidikan,


Tahun 2015-2016 …………………………….………….… 52
Gambar 3.7. Rasio Murid per Kelas Menurut Jenjang
Pendidikan, Tahun 2015-2016 ………….…….…….… 53
Gambar 3.8. Persentase Guru Berpendidikan Minimal S1/D4
Menurut Jenjang Pendidikan, Tahun 2015-2016 … 54
………….…….…….…
Gambar 4.1. TPT Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang

.id
Ditamatkan, Tahun 2016-2017 (Persen) ………….. 63

o
.g
Gambar 5.1. Rata-Rata Pengeluaran per Kapita Sebulan dan
Proporsi Pengeluaran Untuk Konsumsi Makanan
b ps
per Kapita, Tahun 2012-2016 …………………………. 76
n.

Gambar 5.2. Rata-Rata Konsumsi Kalori (Kkal) dan


Protein (Gram) per Kapita Sehari,
e
nt

Tahun 2012-2016 …………………………….……………. 84


a
//b

Gambar 6.1. Persentase Rumahtangga yang Menempati Rumah


dengan Lantai Terluas Bukan Tanah
s:

Menurut Daerah Tempat Tinggal,


tp

Tahun 2012-2016 …………………………….……………. 91


ht

Gambar 6.2. Persentase Rumahtangga yang Menempati Rumah


dengan Atap Terluas dari Beton/Genteng/Sirep/
Seng Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2012-2016 …………………………….……………. 92

Gambar 6.3. Persentase Rumahtangga yang Menempati Rumah


dengan Dinding Terluas dari Tembok dan Kayu
Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2012-2016 …………………………….……………. 93

Gambar 6.4. Persentase Rumahtangga yang Menempati Rumah


dengan Luas Lantai per kapita Minimal 10 M2
Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2012-2016 …………………………….……………. 95

Gambar 7.1. Distribusi Persentase Garis Kemiskinan


Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2012-2016 …………………………….……………. 106

x Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id

BAB I
KEPENDUDUKAN
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
I Kependudukan

Penduduk memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi


di suatu wilayah. Menurut berbagai literatur ekonomi kependudukan, jumlah
penduduk yang bertambah besar akan berdampak positif terhadap

.id
pembangunan ekonomi. Penduduk yang bertambah ini akan memperbesar

o
.g
jumlah tenaga kerja dan sekaligus akan meningkatkan jumlah produksi.
ps
Selain itu, akibat pendidikan, latihan dan pengalamanan kerja, kemahiran
b
penduduk akan bertambah tinggi sehingga produktivitas akan bertambah
n.

pula. Dengan produktivitas yang bertambah, jumlah produksi akan tumbuh


e
nt

lebih cepat dari pada pertambahan tenaga kerja.


a
//b

Dampak positif lain yang timbul dari perkembangan penduduk terhadap


s:

pertumbuhan ekonomi, bersumber dari pertambahan luas pasar. Dimana,


tp

besarnya luas pasar dari barang-barang yang dihasilkan dalam suatu


ht

perekonomian, salah satunya bergantung kepada jumlah penduduk. Apabila


penduduk bertambah, dengan sendirinya luas pasar akan bertambah pula.
Oleh karena itu, perkembangan penduduk akan menimbulkan dorongan
kepada pertambahan dalam produksi dan tingkat kegiatan ekonomi.

Di sisi lain, jumlah penduduk yang besar memerlukan kebutuhan hidup yang
besar pula. Bila terjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan hidup, akan
menimbulkan berbagai masalah yang dapat mengganggu kesejahteraan
penduduk. Misalnya, penyediaan pangan yang tidak mencukupi dapat
menimbulkan terjadinya kelaparan dan resiko meningkatnya jumlah kematian
penduduk. Ketersediaan pemukiman yang tidak mencukupi, mengakibatkan
munculnya pemukiman-pemukiman liar, kumuh dan tidak layak.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 3


Bab I Kependudukan

Masalah lain yang dapat muncul, adalah terjadinya gangguan keamanan


akibat maraknya aksi tindakan kriminalitas yang dipicu oleh kurangnya
lapangan pekerjaan. Menurunnya tingkat kesehatan masyarakat, akibat
sarana kesehatan yang kurang memadai, serta rendahnya kualitas sumber
daya manusia karena sarana pendidikan yang terbatas.

Selain jumlah penduduk yang besar, ketimpangan komposisi dan sebaran


penduduk juga menjadi masalah serius yang harus segera ditangani oleh
pemerintah. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah terkait masalah
kependudukan, harus dipilih sedemikian rupa sehingga berdampak positif

.id
terhadap perkembangan ekonomi dan wilayah secara keseluruhan. Dengan

o
.g
demikian, kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.
b ps
n.

Jumlah, Laju Pertumbuhan Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin


e
nt

Hasil proyeksi penduduk yang dihitung menurut Sensus Penduduk 2010,


a
//b

menunjukkan bahwa jumlah penduduk Banten pada tahun 2017 mencapai


s:

12,4 juta orang. Berarti, Banten menjadi provinsi dengan populasi terbanyak
tp

kelima di Indonesia, setelah Jawa Barat (48,0 juta), Jawa Timur (39,3), Jawa
ht

Tengah (34,3 juta) dan Sumatera Utara (14,3 juta).

Laju pertumbuhan penduduk Banten, sejak berdiri pada tahun 2000 memang
terus mengalami penurunan (Gambar 1.1). Namun, Banten termasuk provinsi
dengan tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi di Indonesia. Bahkan, juga
masih lebih tinggi dibandingkan empat provinsi besar di atas (BPS, 2013a).
Akibatnya, proporsi penduduk Banten terhadap total penduduk Indonesia
meningkat dari 4,48 persen pada tahun 2000 menjadi 4,75 persen pada
tahun 2017.

Tingginya laju pertumbuhan penduduk ini, tentunya menimbulkan persoalan


tersendiri bagi Banten. Hal ini karena dalam proses perencanaan dan
penentuan kebijakan pembangunan, akan semakin banyak lagi yang perlu

4 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kependudukan Bab I

dipertimbangkan. Terutama, dalam hal penyediaan berbagai sarana dan


prasarana perumahan, pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum, serta
penyediaan lapangan kerja.

Gambar 1.1.

Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk,


Tahun 2000 dan 2010-2017

15 5

.id
12,20 12,45
11,70 11,96

o
11,20 11,45
12 10,69 10,94 4

.g
8,10

9
b ps 3
3,10
2,81
n.

6 2
2,39 2,33
e

2,27 2,20 2,14


nt

2,07 2,01
3 1
a
//b

0 0
s:

2000 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017


tp

Jumlah Penduduk (Juta Orang) LPP per Tahun (Persen)


ht

Sumber : Proyeksi Penduduk Banten 2010-2035 (data diolah)

Betapapun juga, tingginya laju pertumbuhan penduduk di suatu wilayah


secara teoritis dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni fertilitas, mortalitas dan
migrasi. Akan tetapi, faktor yang paling dominan bagi tingginya laju
pertumbuhan Banten adalah migrasi.

Migrasi menjadi faktor dominan karena sebagian wilayah Banten, terutama


Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan yang
menjadi daerah tujuan migrasi utama, akibat perannya sebagai daerah
hinterland bagi DKI Jakarta. Selain itu, Kabupaten Tangerang dan Kota
Tangerang juga merupakan daerah konsentrasi spasial industri pengolahan

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 5


Bab I Kependudukan

padat tenaga kerja, sehingga turut memperkuat daya tarik daerah-daerah


tersebut sebagai daerah tujuan migrasi. Oleh karena itu, penduduk ketiga
daerah ini pada tahun 2017 tumbuh sangat pesat, yakni masing-masing
mencapai 2,21 persen, 3,08 persen dan 3,21 persen.

Gambar 1.2.

Rasio Jenis Kelamin Penduduk,


Tahun 2010-2017

o .id
104,6

.g
104,4 104,37
104,32
104,26
b ps
104,21
n.

104,2 104,15
e

104,08
nt

104,01
103,94
a

104,0
//b
s:

103,8
tp
ht

103,6
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Sumber : Proyeksi Penduduk Banten 2010-2035 (data diolah)

Selain jumlah dan pertumbuhan penduduk, rasio jenis kelamin (Sex Ratio)
menjadi salah satu indikator kependudukan yang layak untuk dicermati.
Berdasarkan Gambar 1.2, terlihat bahwa rasio jenis kelamin penduduk
Banten terus mengalami penurunan, meskipun besarannya masih tetap di
atas 100. Rasio jenis kelamin penduduk Banten pada tahun 2017 mencapai
103,94. Dengan kata lain, ada sekitar 104 orang penduduk laki-laki untuk
setiap 100 orang penduduk perempuan.

6 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kependudukan Bab I

Sementara itu turunnya rasio jenis kelamin ini menjadi penanda bahwa
proporsi penduduk laki-laki dalam struktur penduduk Banten telah
mengalami penurunan. Salah satu penyebabnya, kemungkinan adalah
berkurangnya jumlah bayi laki-laki yang dilahirkan, seperti yang sebelumnya
sudah terjadi di negara-negara maju.

Menurut para peneliti dari Universitas Exeter dan Universitas Oxford, gaya
hidup modern dengan pola makan rendah kalori, dapat menjelaskan
mengapa jumlah bayi laki-laki yang lahir di negara-negara maju menjadi
berkurang. Hal ini karena tingginya kadar kalori yang dikonsumsi oleh wanita

.id
yang sedang berusaha untuk hamil, akan lebih meningkatkan peluang

o
.g
mereka dalam melahirkan anak laki-laki (Kaitan Bayi Laki-laki dan Kalori,
www.bbc.co.uk, 23 April 2008).
b ps
n.

Di sisi lain, menurunnya proporsi penduduk laki-laki, secara teori juga


e

disebabkan oleh lebih banyaknya laki-laki yang meninggal setiap tahun,


a nt

dibandingkan perempuan. Penurunannya ini sejalan dengan meningkatnya


//b

kelompok umur. Oleh karena itu, semakin tua usia kelompok umur, proporsi
s:

penduduk laki-laki akan semakin berkurang. Bahkan, pada usia dewasa


tp

(40 – 54 tahun), usia tua (55 – 64 tahun) dan usia lanjut (65 tahun ke atas),
ht

jumlah perempuan cenderung lebih banyak daripada laki-laki.

Dalam banyak literatur juga ditemukan bahwa naik atau turunnya proporsi
penduduk laki-laki atau rasio jenis kelamin, berkaitan erat dengan fenomena
migrasi. Dalam arti, daerah tujuan migrasi yang memerlukan banyak tenaga
kerja laki-laki, seperti di daerah pertambangan, rasio jenis kelaminnya akan
meningkat dan dengan besaran tetap di atas 100. Sementara daerah yang
ditinggalkan pergi merantau oleh para laki-laki, rasio jenis kelaminnya akan
menurun dan bahkan cenderung berada di bawah 100.

Hanya saja untuk level kabupaten/kota di Banten (Gambar 1.3), tinggi atau
rendahnya rasio jenis kelamin sepertinya tidak dapat dikatakan berkaitan
erat dengan fenomena migrasi. Namun, untuk beberapa kecamatan yang

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 7


Bab I Kependudukan

menjadi daerah tujuan migrasi, jumlah penduduk laki-lakinya lebih sedikit


daripada penduduk perempuan.

Gambar 1.3.

Rasio Jenis Kelamin Penduduk Menurut Kabupaten/Kota,


Tahun 2017

106

105,01 105,11

.id
105 104,69
104,30 104,28

o
104,17

.g
104

103 102,80
b ps
n.

102
e

101,46
nt

101
a
//b

100
s:

Pandeglang Lebak Tangerang Serang Kota Kota Cilegon Kota Serang Kota
Tangerang Tangerang
tp

Selatan
ht

Sumber : Proyeksi Penduduk Banten 2010-2035 (data diolah)

Bahkan di Kecamatan Kibin (Kabupaten Serang), hanya ada sekitar 69


penduduk laki-laki untuk setiap 100 orang penduduk perempuan. Kecamatan
Kibin menjadi bagian dari daerah konsentrasi spasial industri padat tenaga
kerja, dengan salah satu perusahan industrinya mempekerjakan sekitar 47
ribu pekerja perempuan dari total 57 ribu pekerja.

Persebaran dan Kepadatan Penduduk

Selain pertumbuhan penduduk yang tinggi, persebaran penduduk yang tidak


merata menjadi salah satu masalah kependudukan yang harus selalu

8 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kependudukan Bab I

dihadapi Banten. Hal ini karena sekitar 73,8 persen dari total penduduk
Banten, tinggal dan menetap di daerah perkotaan (Tabel 1.1).

Ketidakmerataan sebaran penduduk ini, pada awalnya disebabkan oleh


adanya aglomerasi industri pengolahan yang mendorong munculnya daerah-
daerah perkotaan baru. Berdasarkan data-data yang ada, aglomerasi industri
pengolahan tersebut terjadi pada hampir semua kabupaten/kota di Banten,
kecuali di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang.

Tabel 1.1.

o .id
Komposisi Penduduk Menurut Kabupaten/Kota dan

.g
Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2017
b ps
n.

Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
e

Perdesaan
nt

Kabupaten/Kota
Jumlah Persen- Jumlah Persen- Jumlah Persen-
a

(juta) tase (juta) tase (juta) tase


//b

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


s:

1. Pandeglang 0,42 34,8 0,79 65,2 1,21 100,0


tp
ht

2. Lebak 0,27 20,8 1,02 79,2 1,29 100,0

3. Tangerang 3,19 88,9 0,40 11,1 3,58 100,0

4. Serang 0,57 38,0 0,93 62,0 1,49 100,0

5. Kota Tangerang 2,14 100,0 - 0,0 2,14 100,0

6. Kota Cilegon 0,42 98,3 0,01 1,7 0,43 100,0

7. Kota Serang 0,54 81,1 0,13 18,9 0,67 100,0

8. Kota Tangerang Selatan 1,64 100,0 - 0,0 1,64 100,0

Provinsi Banten 9,18 73,8 3,26 26,2 12,45 100,0

Sumber : Proyeksi Penduduk Banten 2010-2035

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 9


Bab I Kependudukan

Di sisi lain, cepatnya perkembangan ekonomi dan bisnis, lengkapnya fasilitas


pemukiman dan perkotaan, tingginya upah, serta banyak dan beragamnya
kesempatan kerja yang tersedia di daerah perkotaan, mendorong terjadinya
migrasi penduduk dari desa ke kota. Hanya saja, proses migrasi ini selain
meningkatkan jumlah penduduk, juga menyebabkan timbulnya masalah-
masalah perkotaan, seperti polusi dan kemacetan, pemukiman kumuh, serta
kemiskinan kota.

Sementara itu bila diamati menurut wilayah administrasi, sekitar 7,4 juta
orang atau 59,2 persen dari total penduduk Banten terkonsentrasi di wilayah

.id
Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan yang

o
.g
merupakan daerah tujuan migrasi utama (Tabel 1.1). Kondisi ini berakibat
ps
kepada muculnya perbedaan tingkat kepadatan penduduk antar kabupaten/
b
kota, yang sangat mencolok mata.
e n.
nt

Gambar 1.4.
a
//b

Tingkat Kepadatan Penduduk per Km Persegi


s:

Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2017


tp
ht

15.000
13.902

12.000 11.175

9.000

6.000

3.543
3.000 2.422 2.499

861
439 376
0
Pandeglang Lebak Tangerang Serang Kota Kota Kota Serang Kota
Tangerang Cilegon Tangerang
Selatan

Sumber : Proyeksi Penduduk Banten 2010-2035 (data diolah)

10 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kependudukan Bab I

Dimana, setiap kilometer persegi wilayah Kabupaten Tangerang, Kota


Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, masing-masing dihuni oleh sekitar
3.500 penduduk, 13.900 penduduk dan 11.200 penduduk. Adapun wilayah
Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang, hanya
dihuni oleh 376 orang, 439 orang dan 861 orang per kilometer persegi.
Tingkat kepadatan penduduk Banten sendiri mencapai 1.288 per kilometer
persegi, sehingga menjadi provinsi terpadat ketiga di Indonesia, setelah DKI
Jakarta (15.623 orang per km2) dan Jawa Barat (1.358 orang per km2).

.id
Angka Beban Ketergantungan

o
.g
ps
Angka beban ketergantungan atau rasio ketergantungan (Dependency Ratio)
b
merupakan salah satu indikator kependudukan yang penting, karena dapat
n.

menggambarkan dampak dari keberhasilan pembangunan dalam berbagai


e
nt

bidang. Dimana semakin besar angkanya, menunjukkan semakin tinggi pula


a

beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif (usia 15-64 tahun),
//b

dalam membiayai hidup penduduk yang belum produktif (usia 0-14 tahun)
s:

dan tidak produktif lagi (usia 65 tahun ke atas). Sebaliknya bila semakin
tp

kecil, beban yang ditanggung menjadi lebih ringan.


ht

Komposisi penduduk Banten terlihat masih didominasi oleh penduduk usia


produktif. Bahkan, persentasenya juga terus meningkat hingga menjadi
68,53 persen pada tahun 2017 (Tabel 1.2). Dengan demikian, penduduk usia
produktif ini sangat potensial untuk digunakan sebagai modal dasar dalam
membangun Banten.

Sementara itu persentase penduduk usia 0-14 tahun dapat dikatakan cukup
tinggi, walaupun besarannya terus menurun. Penurunannya juga dapat
merupakan penanda bagi keberhasilan dari upaya pengendalian kelahiran
yang dilakukan oleh pemerintah. Adapun meningkatnya persentase
penduduk usia 65 tahun ke atas, menjadi salah satu bukti adanya perbaikan
dalam bidang kesehatan, sehingga penduduk dapat hidup lebih lama.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 11


Bab I Kependudukan

Tabel 1.2.

Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan


Angka Beban Ketergantungan,
Tahun 2013-2017

Komposisi Penduduk (Persen)


Angka Beban
Tahun
0-14 15-64 65 Tahun Ketergantungan
Tahun Tahun ke Atas
(1) (2) (3) (4) (5)

.id
2013 29,06 67,99 2,95 47,08

o
2014 28,81 68,16 3,02 46,71

.g
2015 28,59 68,30 ps
b
3,11 46,41
n.

2016 28,36 68,43 3,21 46,14


e
nt

2017 28,14 68,53 3,33 45,91


a
//b

Sumber : Proyeksi Penduduk Banten 2010-2035


s:
tp

Adanya perubahan komposisi penduduk di atas, jelas sangat mempengaruhi


ht

besarnya angka beban ketergantungan. Pada tahun 2013, angka beban


ketergantungan Banten masih sebesar 47,08. Berarti, setiap 100 orang
penduduk usia produktif harus menanggung antara 47 sampai 48 orang
penduduk usia tidak produktif. Sementara pada tahun 2017, beban yang
ditanggung sedikit mengalami penurunan, sehingga yang ditanggung hanya
46 orang penduduk usia tidak produktif.

Melihat besaran angka beban ketergantungan yang kurang dari 50 ini, dapat
dikatakan bahwa Banten sudah mengalami bonus demografi (demographic
dividend). Bahkan berdasarkan hasil proyeksi penduduk, bonus demografi
sudah diraih sejak tahun 2010. Bonus demografi tersebut juga masih akan
dinikmati, setidaknya hingga tahun 2035 (BPS, 2013a).

12 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kependudukan Bab I

Bonus demografi adalah suatu fenomena, dimana struktur penduduk sangat


menguntungkan dari sisi pembangunan. Hal ini karena jumlah penduduk usia
produktif sangat besar, sedangkan proporsi penduduk usia muda sudah
semakin kecil dan proporsi penduduk usia lanjut belum banyak. Bonus
demografi mulai dinikmati bila angka beban ketergantungan terus mengalami
penurunan hingga menjadi di bawah 50.

Walaupun sudah lama meraihnya, namun bonus demografi belum tentu


bermanfaat bagi Banten. Untuk benar-benar bisa menikmatinya, kualitas
sumber daya manusia Banten harus terus-menerus ditingkatkan. Selain itu,

.id
ketersediaan lapangan kerja juga mesti ditambah, agar dapat menampung

o
.g
banyaknya penduduk usia produktif.
ps
Setelah bonus demografi, penuaan penduduk (ageing population) sepertinya
b
n.

akan menjadi isu penting pada masa-masa mendatang. Penuaan penduduk


e

adalah suatu fenomena demografi, yang akan terjadi ketika umur median
a nt

penduduk meningkat akibat naiknya angka harapan hidup dan atau


//b

menurunnya tingkat fertilitas.


s:
tp

Selain dengan umur median, penuaan penduduk juga dapat diukur melalui
ht

proporsi penduduk usia 65 tahun ke atas. Disebut mengalami penuaan,


apabila persentasenya sudah di atas 7 persen. Banten sendiri diproyeksikan
akan mulai memasuki era penuaan penduduk antara tahun 2030 sampai
2035 (Gambar 1.5). Hal ini berdampak pada keharusan untuk menyediakan
berbagai fasiltas pendukung dan peningkatan cakupan jaminan hari tua bagi
penduduk lanjut usia ini.

Betapapun juga, bila bonus demografi benar-benar berhasil dinikmati, Banten


akan mengalami apa yang disebut sebagai bonus demografi kedua. Bonus
demografi kedua ini adalah suatu kondisi, dimana proporsi penduduk yang
berusia tua semakin banyak namun masih produktif, sehingga tetap mampu
memberikan kontribusi bagi perekonomian negara.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 13


Bab I Kependudukan

Gambar 1.5.

Perkembangan Penduduk Usia 65 Tahun ke Atas,


Tahun 2010-2035

10

8
8,1
6
6,4

o .id
4 4,9

.g
3,8
2 2,8
3,1
b ps
n.

0
e

2010 2015 2020 2025 2030 2035


a nt
//b

Sumber : Proyeksi Penduduk Banten 2010-2035 (data diolah)


s:
tp
ht

Fertilitas

Perkembangan jumlah penduduk tidak terlepas dari faktor alamiah, yakni


fertilitas. Fertilitas dalam terminologi kependudukan, diartikan sebagai hasil
reproduksi yang nyata dari seorang wanita. Dengan kata lain, fertilitas ini
menyangkut banyaknya bayi yang lahir hidup. Adapun natalitas mempunyai
arti yang sama dengan fertilitas, namun berbeda ruang lingkupnya. Fertilitas
menyangkut peranan kelahiran pada perubahan penduduk, sedangkan
natalitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan penduduk dan
reproduksi manusia.

Salah satu indikator fertilitas adalah angka fertilitas total atau Total Fertility
Rate (TFR). TFR didefiniskan sebagai rata-rata jumlah anak yang dilahirkan

14 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kependudukan Bab I

hidup oleh seorang perempuan, sampai akhir masa reproduksinya. Angka


TFR Banten pada tahun 2017 lebih dari 2,19 (Tabel 1.3). Berarti, seorang
perempuan di Banten hingga akhir masa reproduksinya, rata-rata akan
melahirkan 2 sampai 3 orang anak.

TFR Banten ini termasuk cukup tinggi, karena melebihi angka TFR untuk
pertumbuhan seimbang yang sebesar 2,1. Implikasinya, akan terjadi ledakan
penduduk, akibat jumlah penduduk yang lahir melebihi yang meninggal.
Angka TFR yang tinggi juga menjadi penanda dari lebih mudanya rata-rata
usia kawin, rendahnya tingkat pendidikan terutama untuk perempuan,

.id
tingkat sosial ekonomi rendah atau tingkat kemiskinan yang tinggi, dan

o
.g
kurangnya efektivitas atau cakupan pemakaian alat kontrasepsi. Betapapun
ps
juga, angka TFR tersebut masih lebih rendah dari rata-rata Indonesia yang
b
berkisar antara 2,26 sampai 2,37.
e n.
nt

Tabel 1.3.
a
//b

Perkembangan Beberapa Indikator Fertilitas,


Tahun 2010-2035
s:
tp
ht

Tahun TFR GRR NRR CBR

(1) (2) (3) (4) (5)

2010 2,55 1,2 1,2 23,4

2015 2,35 1,2 1,1 20,7

2020 2,19 1,1 1,0 18,1

2025 2,04 1,0 1,0 15,9

2030 1,90 0,9 0,9 14,3

2035 1,79 0,9 0,8 13,5

Sumber : Proyeksi Penduduk Banten 2010-2035

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 15


Bab I Kependudukan

Selain TFR, ada pula angka reproduksi kotor atau gross replacement rate
(GRR) yang menggambarkan rata-rata jumlah anak perempuan yang
dilahirkan oleh seorang perempuan dalam masa reproduksinya. GRR dihitung
dengan mengabaikan kemungkinan anak-anak perempuan tersebut
meninggal sebelum masa reproduksinya berakhir.

Ada hubungan antara TFR dan GRR. Pada saat angka TFR pertumbuhan
seimbang tercapai, seorang Ibu akan digantikan oleh hanya seorang anak
perempuan untuk meneruskan keturunan, dengan tanpa menghasilkan

.id
pertambahan penduduk yang tinggi dan tidak terkendali. Peristiwa tersebut
dikenal dengan istilah “tingkat pergantian manusia” atau “replacement level”.

o
.g
Pada saat peristiwa itu terjadi, nilai GRR akan sama dengan satu.
ps
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, Banten akan mencapai tingkat
b
n.

penggantian manusia pada tahun 2025 (Tabel 1.3). Sementara pada tahun
e

2017, angka GRRnya berkisar antara 1,0 sampai 1,1. Berarti, seorang ibu
nt

di Banten hingga akhir masa reproduksinya rata-rata akan digantikan oleh 1


a
//b

sampai 2 orang anak perempuan.


s:

Bila memperhitungkan kemungkinan anak-anak perempuan yang dilahirkan


tp
ht

oleh perempuan itu meninggal sebelum masa reproduksinya berakhir,


Banten akan mencapai tingkat penggantian manusia pada tahun 2020
(Tabel 1.3). Kondisi ini terlihat dari angka reproduksi bersih atau net
replacement rate (NRR) yang bernilai satu pada tahun 2020.

Indikator fertilitas lainnya adalah angka kelahiran kasar atau crude birth rate
(CBR). Angka CBR menggambarkan banyaknya kelahiran hidup dalam satu
tahun per seribu penduduk. Angka CBR disebut sebagai angka kelahiran
kasar, karena pembaginya adalah jumlah penduduk laki-laki dan perempuan.

Di Banten pada tahun 2017, terdapat 18 sampai 21 kelahiran hidup per


seribu penduduk. Berarti, menurun dibandingkan tahun 2010 yang mencapai
23 kelahiran hidup per seribu penduduk. Angka CBR juga akan terus
menurun hingga menjadi 14 kelahiran hidup per seribu penduduk (Tabel 1.3).

16 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kependudukan Bab I

Wanita Menurut Usia Perkawinan Pertama

Tingkat fertilitas tidak terlepas dari usia perkawinan pertama, khususnya bagi
penduduk perempuan. Semakin dini usia perkawinan, semakin panjang
rentang masa reproduksi, sehinga memperbesar peluang untuk melahirkan
anak dengan jumlah yang lebih banyak lagi.

Perkawinan pada usia dini marak terjadi, karena faktor rendahnya tingkat
pendidikan antar kedua pasangan, tuntutan ekonomi, sistem nilai budaya,
pernikahan yang sudah diatur atau perjodohan, dan bahkan seks bebas.

o .id
Perkawinan pada usia dini akan meningkatkan resiko kematian bagi anak

.g
yang dilahirkan serta dapat menurunkan kesehatan reproduksi bagi ibu yang
ps
melahirkannya. Beban ekonomi yang muncul juga semakin bertambah berat.
b
Selain itu, dapat meningkatkan kasus kekerasan dalam rumah tangga serta
e n.

perceraian, dan bahkan bunuh diri.


a nt

Sesungguhnya, perkawinanan pada usia dini itu lebih banyak menimbulkan


//b

dampak yang merugikan, terutama bagi perempuan dan anak yang


s:

dilahirkannya. Sayangnya, peraturan perundangan di Indonesia masih


tp

membolehkan terjadinya perkawinan pada usia dini. Bukan hanya itu, bahkan
ht

terjadi inkonsistensi antara satu undang-undang dengan undang-undang


lainnya dalam batas minimal usia perkawinan.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan


bahwa perkawinan hanya diijinkan bila pihak laki-laki mencapai umur 19
tahun dan perempuan sudah berusia 16 tahun. Hanya saja, undang-undang
ini ternyata masih membuka peluang bagi terjadinya pernikahan dengan usia
yang lebih dini lagi. Caranya adalah dengan meminta dispensasi kepada
pengadilan, jika usia calon mempelai belum memenuhi batas minimal usia
yang telah ditetapkan.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 17


Bab I Kependudukan

Sementara Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak, menegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Oleh karena itu,
mereka berhak diberi perlindungan atas hak-hak yang mesti didapatkannya.
Implikasinya, batas menimal usia perkawinan menurut undang-undang ini
adalah 18 tahun, yang tentu saja berbeda ketentuan dengan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Adapun BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional)


merekomendasikan batas minimal usia perkawinan, yaitu 21 tahun bagi

.id
perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Alasannya, umur ideal yang matang

o
.g
secara biologis dan psikologis adalah 20-25 tahun bagi wanita serta 25-30
ps
tahun bagi laki-laki. Rekomendasi ini ditujukan demi kebaikan masyarakat,
b
agar pasangan yang baru menikah memiliki kesiapan matang dalam
n.

mengarungi rumah tangga, sehingga dalam keluarga tercipta hubungan yang


e
nt

berkualitas (republika.co.id, 6 Maret 2017).


a
//b

Tabel 1.4.
s:
tp

Persentase Perempuan Usia 10 Tahun ke Atas Menurut Usia Perkawinan


ht

Pertama dan Daerah Tempat Tinggal, Tahun 2014-2016

Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
Kelompok
Umur
2014 2015 2016 2014 2015 2016 2014 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

<16 16,27 3,52 6,75 37,91 10,03 15,84 23,34 5,64 9,60

16-18 17,34 25,78 11,31 29,03 40,60 19,09 21,16 30,59 13,75

19-24 49,52 56,18 46,78 28,93 45,53 45,37 42,79 52,72 46,34

25+ 16,87 14,52 35,16 4,13 3,85 19,70 12,70 11,05 30,01

Sumber : Susenas 2014-2016

18 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kependudukan Bab I

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), sebagian besar


perempuan di Banten melakukan perkawinan pertama pada usia yang ideal,
yakni usia 19-24 tahun. Dimana, persentasenya pada tahun 2016 mencapai
46,34 persen, meningkat dibandingkan dua tahun sebelumnya yang hanya
sebesar 42,79 persen. Namun demikian, masih ditemukan perempuan
berusia kurang dari 18 tahun yang sudah menikah, padahal mereka masih
dikategorikan sebagai anak perempuan menurut Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahkan, untuk yang berusia kurang
dari 16 tahun cukup tinggi, yakni sebesar 9,60 persen (Tabel 1.4).

.id
Diamati menurut daerah tempat tinggal, rata-rata perempuan di perkotaan

o
.g
melangsungkan perkawinan pertama pada usia yang lebih tua dibandingkan
ps
rekannya yang tinggal di perdesaan. Kondisi ini terlihat dari lebih tingginya
b
persentase perempuan di perkotaan yang menikah pertama kali saat berusia
n.

19-24 tahun. Selain itu, persentase yang menikah pada usia 10-18 tahun
e
nt

juga lebih sedikit daripada perempuan yang tinggal di daerah perdesaan.


a
//b
s:

Penggunaan Alat/Cara KB
tp
ht

Penurunan tingkat fertilitas tidak terlepas dari peranan pemerintah. Salah


satunya melalui program Keluarga Berencana (KB), yang bertujuan untuk
menekan laju pertumbuhan penduduk, mengurangi kelahiran anak dan
angka kematian ibu. Program KB ini dilaksanakan dengan menggunakan alat
kontrasepsi atau alat KB, yang beragam jenis dan macamnya.

Berdasarkan hasil Susenas tahun 2015-2016 (Tabel 1.5), persentase wanita


berumur 15-49 tahun berstatus kawin yang sedang menggunakan alat/cara
KB sedikit mengalami penurunan. Hanya saja, besaran penurunan di daerah
perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Namun demikian, persentase
pengguna alat/cara KB nya masih lebih tinggi daripada di daerah perkotaan.
Betapapun juga, semua penurunan tersebut perlu dicermati dan dicarikan
jalan keluarnya, agar pada tahun-tahun selanjutnya tidak menurun lagi.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 19


Bab I Kependudukan

Tabel 1.5.

Persentase Wanita Berumur 15-49 Tahun yang Berstatus Kawin


Menurut Alat/Cara KB yang Digunakan dan Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016

Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
Alat/Cara
Kontrasepsi
2015 2016 2015 2016 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

.id
MOW/Tubektomi 1,89 2,53 0,45 0,48 1,40 1,87

o
MOP/Vasektomi 0,29 0,69 0,00 0,00 0,19 0,47

.g
AKDR/IUD/Spiral 7,03 9,18 1,50
b ps 1,95 5,15 6,85
n.

Suntikan KB 67,26 62,95 78,36 77,28 71,02 67,56


e

Susuk KB/Norplan/
nt

1,75 3,11 6,45 3,93 3,34 4,02


Implanon/Alwalit
a
//b

Pil KB 19,04 19,04 12,97 14,07 16,98 17,44


s:

Kondom Pria/Karet KB 1,41 1,01 0,16 0,00 0,98 0,69


tp
ht

Intravag/Tisu/Kondom
0,14 0,11 0,00 0,19 0,10 0,14
Wanita

Cara Tradisional 1,20 1,37 0,12 0,12 0,84 0,97

% Wanita yang Sedang


Menggunakan Alat/ 59,17 56,84 65,45 60,10 61,16 57,85
Cara KB

Sumber : Susenas 2015-2016

Banyak ragam atau jenis alat/cara KB. Pasangan usia subur bebas memilih
alat/cara KB yang diinginkan dan dirasakan nyaman bagi diri dan
pasangannya. Namun, yang paling banyak digunakan oleh akseptor KB di
seluruh daerah tempat tinggal adalah Suntikan KB dan Pil KB.

20 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kependudukan Bab I

Suntikan KB merupakan salah satu alat/cara KB metode kontrasepsi jangka


panjang (MKJP). Tingkat efektivitasnya menurut berbagai penelitian lebih
rendah dibandingkan metode MKJP lainnya, yakni IUD dan Implant. Suntikan
KB banyak dipilih karena dirasakan cukup efektif, praktis dan harganya lebih
murah. Selain itu, ada ketakutan dan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh
akseptor KB bila menggunakan IUD atau Implant.

Sementara itu Pil KB menjadi salah satu alat/cara KB metode kontrasepsi


jangka pendek (Non MKJP). Tingkat efektivitasnya memang lebih rendah dari
alat KB metode MKJP, karena menuntut adanya kedisiplinan dari akseptor

.id
KB. Pil KB banyak dipilih karena penggunaannya lebih mudah dan praktis

o
.g
dibandingkan alat KB metode MKJP, harganya jelas lebih murah dan juga
ps
lebih nyaman digunakan daripada alat KB Non MKJP lain, yaitu Kondom
b
Pria/Karet KB dan Intravag/Tisu/Kondom Wanita.
e n.

Untuk menjamin keberhasilan program KB, alat kontrasepsi yang lebih tepat
a nt

digunakan adalah IUD dan Implant. Sayangnya persentase pengguna kedua


//b

alat KB tersebut masih sangat rendah, yaitu masing-masing hanya 6,85


s:

persen dan 4,02 persen dari seluruh Akspetor KB. Oleh karena itu, BKBBN
tp

harus berusaha lebih keras lagi untuk meningkatkan cakupan penggunaan


ht

IUD dan Implant. Lebih-lebih, masih ada pasangan usia subur yang
menggunakan cara tradisional dalam ber-KB.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 21


ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
.id
o
.g
ps
b
e n.
nt
a
//b
s:
tp
ht

BAB II
KESEHATAN DAN GIZI
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
II Kesehatan dan Gizi

Derajat atau tingkat kesehatan masyarakat merupakan indikator penting


dalam menggambarkan kualitas pembangunan manusia suatu wilayah.
Semakin sehat kondisi suatu masyarakat, akan semakin mendukung proses

.id
dan dinamika pembangunan ekonomi wilayah tersebut, khususnya dalam

o
.g
meningkatkan produktivitas penduduk.
ps
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, Pemerintah Provinsi
b
n.

Banten telah menetapkan strategi dan arah kebijakan pembangunan bidang


e

kesehatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)


a nt

2005-2025. Dalam hal ini, derajat kesehatan masyarakat akan ditingkatkan


//b

melalui program peningkatan mutu pelayanan kesehatan, peningkatan


s:

kesehatan masyarakat, serta pencegahan dan pengendalian penyakit.


tp
ht

Sasaran dan tujuan dari berbagai program bidang kesehatan di atas adalah
untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengakses
layanan kesehatan publik, meningkatkan kualitas pelayanan, menurunkan
prevalensi gizi buruk dan gizi kurang, menurunkan angka kematian ibu dan
anak, serta meningkatkan angka harapan hidup.

Adapun upaya yang sudah dilakukan Pemerintah melalui program-program


bidang kesehatan, antara lain adalah menyediakan sumber daya kesehatan
yang kompeten dan mendistribusikan tenaga kesehatan secara lebih merata,
meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan melalui pembangunan dan
peningkatan status rumah sakit daerah, meningkatkan cakupan dan mutu
puskesmas/pustu, polindes dan posyandu, serta meningkatkan cakupan
jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 25


Bab II Kesehatan dan Gizi

Derajat dan Status Kesehatan Penduduk

Menurut WHO, sehat adalah keadaan sejahtera secara fisik, mental dan
sosial yang merupakan satu kesatuan, bukan hanya terbebas dari penyakit
maupun cacat. Sejalan dengan definisi tersebut, Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa sehat adalah keadaan
sejahtera, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial, yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga menegaskan

.id
bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia dan warga negara, sehingga

o
pemenuhannya menjadi tanggungjawab pemerintah. Oleh karena itu,

.g
ps
pemerintah terus berupaya untuk mewujudkan masyarakat sehat yang
b
mandiri dan berkeadilan melalui peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
e n.

Derajat kesehatan merupakan gambaran profil kesehatan individu atau


nt

masyarakat di suatu daerah. Menurut Hendrik L. Blum, terdapat empat faktor


a
//b

yang mempengaruhi peningkatan derajat kesehatan masyarakat, yaitu


s:

keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan. Derajat kesehatan


tp

masyarakat dapat diukur dengan menggunakan berbagai indikator


ht

kesehatan, antara lain angka kesakitan dan rata-rata lama sakit, serta tingkat
kematian dan angka harapan hidup.

Angka kesakitan (morbidity rate) adalah angka yang menunjukkan jumlah


penduduk yang mengalami keluhan kesehatan, hingga mengakibatkan
terganggunya aktivitas sehari-hari. Sementara lamanya sakit merupakan
salah satu indikator yang memberikan gambaran mengenai kondisi keluhan
kesehatan yang dirasakan oleh penduduk. Dengan demikian, semakin
tinggi angka kesakitan dan semakin lama sakit yang diderita, semakin
rendah derajat kesehatan di wilayah tersebut.

26 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kesehatan dan Gizi Bab II

Tabel 2.1.

Angka Kesakitan dan Rata-rata Lama Sakit Penduduk


Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016

Angka Kesakitan Rata-Rata Lama


Daerah (Persen) Sakit (Hari)
Tempat Tinggal
2015 2016 2015 2016
(1) (2) (3) (4) (5)

.id
Perkotaan 29,94 28,78 5,13 5,31

o
.g
Perdesaan 31,21 27,25 6,55 5,91
ps
Perkotaan dan Perdesaan 30,34 28,30 5,61 5,51
b
n.

Sumber : Susenas 2015-2016


e
ant
//b

Hasil Susenas tahun 2016 yang disajikan pada Tabel 2.1, menunjukkan
s:

bahwa angka kesakitan penduduk Banten mencapai 28,30 persen. Angka ini,
tp

bukan hanya menurun dari tahun sebelumnya, bahkan juga lebih rendah
ht

dibandingkan rata-rata Nasional yang sebesar 28,53 persen. Selain itu, rata-
rata lama sakit penduduk juga mengalami penurunan dari 5,61 hari menjadi
5,51 hari. Kedua kondisi ini menandakan bahwa derajat kesehatan
masyarakat Banten sudah mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu.

Diamati menurut daerah tempat tinggal, turunnya angka kesakitan dan rata-
rata lama sakit penduduk, terjadi pada semua daerah tempat tinggal. Hanya
saja, penurunannya memang lebih banyak di perdesaan.

Dari sisi besaran, angka kesakitan di perdesaan pada tahun 2016 berada di
bawah daerah perkotaan. Ada kemungkinan hal ini disebabkan oleh kondisi
udara dan lingkungan yang relatif lebih baik daripada di perkotaan. Adapun
banyaknya fasilitas kesehatan yang ada di perkotaan, memudahkan

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 27


Bab II Kesehatan dan Gizi

penduduknya untuk berobat jalan, sehingga rata-rata lama sakitnya lebih


pendek dibandingkan di perdesaan.

Sementara itu angka harapan hidup adalah rata-rata perkiraan banyak tahun
yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Secara teori, semakin
baik kesehatan seseorang maka kecenderungan untuk bertahan hidup akan
semakin tinggi. Sebaliknya, semakin buruk kesehatannya maka umur
kehidupan orang tersebut akan semakin pendek.

Ada keterkaitan antara angka harapan hidup dan mortalitas. Saat mortalitas

.id
rendah, angka harapan hidup akan meningkat. Demikian pula sebaliknya.

o
Mortalitas adalah ukuran jumlah kematian yang terjadi pada suatu populasi.

.g
ps
Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya mortalitas ini, antara
lain yaitu penyakit, tingkat kriminalitas yang tinggi dan sanitasi lingkungan
b
n.

yang buruk.
e
nt

Angka harapan hidup (AHH) penduduk Banten pada tahun 2017 paling
a
//b

sedikit telah mencapai 69,4 tahun. Angka ini meningkat dibandingkan tahun
s:

2010 dan akan terus meningkat hingga menjadi 70,0 tahun pada tahun 2020
tp

(Tabel 2.2). Hanya saja, angka tersebut masih lebih rendah dari rata-rata
ht

Nasional yang minimal selama 70,8 tahun. Betapapun juga, kondisi yang
demikian selalu langsung menjadi penanda bagi meningkatnya derajat
kesehatan, sekaligus tingkat kesejahteraan masyarakat.

Bila dibandingkan antara penduduk laki-laki dan perempuan, terlihat bahwa


perempuan memiliki AHH yang lebih tinggi. Berarti, secara rata-rata
perempuan hidup lebih lama dari laki-laki. Salah satu penyebabnya adalah
karena perempuan lebih kuat menghadapi penyakit jantung. Sementara
kecenderungan perkembangan penyakit jantung dan risiko meninggal karena
penyakit ini, paling cepat pada usia 30-an dan 40-an dimiliki oleh laki-laki.
Adapun untuk perempuan, perkembangannya membutuhkan waktu 10 tahun
lebih lama (BPS Provinsi Banten, 2017a).

28 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kesehatan dan Gizi Bab II

Tabel 2.2.

Perkembangan Angka Harapan Hidup Menurut Jenis Kelamin,


Tahun 2010-2020

Uraian 2010 2015 2020

(1) (2) (3) (4)

1. Angka Harapan Hidup

a. Laki-laki 66,6 67,5 68,1

.id
b. Perempuan 70,5 71,4 71,9

o
.g
c. Laki-laki dan Perempuan 68,5 69,4 70,0
ps
2. Angka Kematian Bayi
b
n.

a. Laki-laki 37,2 33,2 30,8


e
nt

b. Perempuan 25,5 23,1 21,6


a
//b

c. Laki-laki dan Perempuan 31,5 28,2 26,3


s:
tp

Sumber : Proyeksi Penduduk Banten 2010-2035


ht

Selain harapan hidup yang panjang, peningkatan kualitas atau derajat


kesehatan masyarakat juga harus tercermin dari menurunnya tingkat
kematian. Salah satu indikator untuk mengukurnya adalah angka kematian
bayi (AKB). AKB adalah angka yang menunjukkan banyaknya kematian bayi
usia 0 tahun dari setiap seribu kelahiran hidup pada tahun tertentu, atau
dapat dikatakan juga sebagai probabilitas bayi meninggal sebelum mencapai
usia satu tahun (dinyatakan dengan per seribu kelahiran hidup).

Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, AKB Banten berhasil ditekan dari 37


kematian per seribu kelahiran hidup pada tahun 2010, menjadi makmimal
sebanyak 33 kematian di tahun 2017. Angka ini diproyeksikan akan terus
berhasil ditekan hingga mencapai 31 kematian pada tahun 2020. Sayangnya,

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 29


Bab II Kesehatan dan Gizi

angka AKB tersebut, jauh lebih tinggi dari sasaran pembangunan kesehatan
pada RPJMN 2015-2019, yang mencapai 24 kematian bayi per seribu
kelahiran hidup pada tahun 2019.

Sementara itu tingginya angka harapan hidup perempuan, sudah seharusnya


didukung oleh rendahnya tingkat mortalitas penduduk perempuan. Adapun
relatif lebih rendahnya angka harapan hidup laki-laki, harus ditopang oleh
tingkat mortalitas yang lebih tinggi dari perempuan. Kedua kondisi tingkat
mortalitas tersebut memang terlihat dari AKB perempuan, yang memang
lebih rendah dibandingkan laki-laki.

o .id
.g
Tingkat Imunitas dan Gizi Balita
b ps
n.

ASI merupakan makanan pertama bayi yang memiliki peranan penting


e

dalam proses tumbuh kembang anak. ASI memiliki manfaat jangka panjang
nt

yang sangat baik, karena ASI adalah nutrisi terbaik dan terlengkap, serta
a
//b

mengandung protein dan gizi yang berkualitas tinggi. ASI juga mengandung
s:

zat antibodi yang sangat berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan


tp

kecerdasan bayi, melindungi tubuh bayi dari alergi dan diare, serta penyakit
ht

infeksi dan penyakit lainnya.

Demikian pentingnya pemberian ASI bagi bayi, sehingga World Health


Organizations (WHO), merekomendasikan kegiatan berupa proses inisiasi
menyusui dini. Kegiatan ini lebih dikenal sebagai Program Inisiasi Menyusui
Dini (PIMD), yang dijalankan selama satu jam pertama kehidupan awal bayi.
Proses inisiasi tersebut dilakukan dengan cara menempatkan bayi di dada
ibunya, segera setelah bayi keluar dari jalan lahir. Bayi ini kemudian akan
secara alami, mencari puting ibunya untuk menghisap ASI.

Banyak sekali manfaat yang didapat dari proses IMD ini. Diantaranya adalah
dapat memberikan kesempatan kepada bayi untuk mendapatkan kolostrum,
membuat bayi menjadi tenang, mengurangi angka kematian bayi,

30 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kesehatan dan Gizi Bab II

meningkatkan kesehatan dan daya tahan tubuh bayi, lebih menstabilkan


napas bayi, dan menunjang keberhasilan pemberian ASI eksklusif, serta
membantu ibu untuk pulih lebih cepat.

Disamping itu, bukti menunjukan bahwa kulit bayi yang bersentuhan


langsung dengan kulit ibunya, segera setelah lahir ke dunia, dapat
membangun keintiman yang lebih dalam dengan sang ibu. Proses ini juga
membantu bayi tetap merasa hangat setelah keluar dari rahim
(www.alodokter.com).

.id
Selain PIMD, pemerintah juga menganjurkan agar seorang ibu dapat

o
memberikan ASI ekslusif kepada bayi sejak dilahirkan sampai 6 bulan ke

.g
ps
depan, tanpa menambahkan atau mengganti dengan makanan atau
minuman lain. Setelah bayi berusia 6 bulan ke atas, baru dilanjutkan
b
n.

bersama makanan tambahan dan ASI tetap diberikan hingga usia 2 tahun,
e

agar diperoleh kekebalan yang lebih kuat.


a nt
//b

Tabel 2.3.
s:

Persentase Anak Usia Kurang dari 2 Tahun yang Pernah Disusui dan
tp

Lama Disusui Menurut Daerah Tempat Tinggal,


ht

Tahun 2015-2016

Persentase yang Pernah Rata-rata Lama Disusui


Daerah Disusui (Bulan)
Tempat Tinggal
2015 2016 2015 2016
(1) (2) (3) (4) (5)

Perkotaan 93,69 94,23 9,66 9,89

Perdesaan 97,23 96,67 10,40 9,09

Perkotaan dan Perdesaan 94,85 94,98 9,90 9,64

Sumber : Susenas 2015-2016

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 31


Bab II Kesehatan dan Gizi

Berdasarkan data yang ada pada Tabel 2.5, diketahui bahwa anak berusia
kurang dari 2 tahun di Banten yang pernah disusui sebanyak 94,98 persen.
Angka ini sedikit lebih besar dari tahun 2015, yang mencapai 94,85 persen.
Sayangnya, rata-rata lama disusuinya justru menurun dari 9,9 bulan (9 bulan
27 hari) menjadi 9,64 bulan (9 bulan 19 hari).

Diamati menurut daerah tempat tinggal, naiknya persentase anak berusia


kurang dari 2 tahun yang pernah disusui hanya terjadi di perkotaan.
Sementara di daerah perdesaan, penurunannya kemungkinan disebabkan
oleh semakin banyaknya perempuan yang bekerja.

o .id
Betapapun juga, jumlah perempuan perkotaan yang bekerja relatif lebih

.g
ps
banyak, akibatnya persentase anak berusia kurang dari 2 tahun yang pernah
disusui menjadi lebih kecil. Namun demikian, mereka itu sepertinya lebih
b
n.

memahami akan pentingnya pemberian ASI, sehingga rata-rata lama


e

disusuinya lebih tinggi dibandingkan di daerah perdesaan.


a nt
//b

Sementara itu pemberian ASI Eksklusif harus dilakukan selama 6 bulan,


s:

karena sampai umur 6 bulan pencernaan bayi hanya dapat menerima ASI.
tp

Selain itu, dengan hanya diberi ASI saja, seorang bayi akan memiliki
ht

kecerdasan dan kesehatan yang lebih baik. Hanya saja, persentase anak usia
2-4 tahun yang pernah diberi ASI saja selama 6 bulan pada tahun 2016
hanya 40,56 persen (Gambar 2.1). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
kesadaran akan pentingnya pemberian ASI eksklusif sangat rendah sekali.

Dicermati menurut daerah tempat tinggal, terlihat bahwa tingkat kesadaran


akan pentingnya pemberian ASI eksklusif untuk daerah perdesaan, lebih
rendah dibandingkan perkotaan. Salah satu penyebabnya adalah adanya
kebiasaan memberikan makanan tambahan, biasanya pisang, kepada bayi
sebelum berusia 6 bulan oleh ibu-ibu di perdesaan. Kebiasaan ini sangat
membahayakan dan sudah seharusnya dihilangkan, organ pencernaan bayi
memang belum kuat untuk mencerna makanan tambahan tersebut.

32 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kesehatan dan Gizi Bab II

Gambar 2.1.

Persentase Anak Usia 2-4 Tahun yang Pernah Diberi Asi Ekslusif
Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016

60

45,22 2015 2016


41,37 40,56
40 36,45

.id
30,41

o
26,67

.g
20
b ps
e n.
nt

0
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan
a
//b
s:

Sumber : Susenas 2015-2016 (data diolah)


tp
ht

Selain ASI, imunisasi juga sangat diperlukan bagi perkembangan dan


peningkatan kekebalan dan daya tahan tubuh balita. Ada dua jenis
imunisasi, yaitu imunisasi pasif dan aktif. Imunisasi pasif merupakan
kekebalan bawaan yang diperoleh anak sejak lahir, sedangkan imunisasi aktif
didapat dari pemberian vaksin kepada anak, melalui suntik atau tetes.

Hasil Susenas 2016 yang ada pada Tabel 2.4, memperlihatkan bahwa balita
di Banten yang pernah sekali saja mendapat imunisasi tanpa memandang
jenis imunisasinya, yaitu imunisasi folio, menurun hingga menjadi 88,08
persen. Penurunannya itu juga terjadi pada semua daerah tempat tinggal.
Hanya saja untuk daerah perkotaan, persentase penurunannya lebih tinggi
dibandingkan di daerah perdesaan.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 33


Bab II Kesehatan dan Gizi

Sementara itu untuk memperoleh kekebalan yang cukup, seorang anak harus
mendapatkan imunisasi lengkap. Yang dimaksud dengan imunisasi lengkap
adalah anak yang telah mendapatkan satu kali imunisasi BCG, tiga kali
imunisasi DPT, tiga kali imunisasi polio dan satu kali imunisasi campak.

Berdasarkan data Susenas (Tabel 2.4), terlihat hanya sekitar 51 persen dari
balita yang ada di Banten telah mendapatkan imunisasi lengkap. Angka
tersebut jelas masih sedikit, namun sudah jauh bertambah dari tahun 2015.
Bahkan untuk daerah perkotaan, penambahannya sangat besar sekali, yakni
mencapai 30 persen poin.

o .id
.g
Tabel 2.4.
ps
Persentase Balita (Usia 0-59 Bulan) yang Pernah Diimunisasi
b
Menurut Jenis Imunisasi dan Daerah Tempat Tinggal,
n.

Tahun 2015-2016
e
a nt

Perkotaan dan
//b

Perkotaan Perdesaan
Jenis Perdesaan
s:

Imunisasi
2015 2016 2015 2016 2015 2016
tp
ht

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Pernah Diimunisasi
27,44 57,72 14,75 35,58 23,26 50,85
Lengkap

BCG 88,94 90,38 86,25 79,02 88,05 86,86

DPT 80,43 86,22 74,10 69,37 78,33 80,99

Polio 93,65 91,49 90,17 80,49 93,16 88,08

Campak/Morbili 74,40 71,92 63,04 59,85 70,62 68,18

Hepatitis B 78,28 84,66 66,25 66,57 74,28 79,05

Sumber : Susenas 2015-2016

34 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kesehatan dan Gizi Bab II

Pemanfaatan Fasilitas Tenaga Kesehatan

Ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan menjadi hal yang wajib dalam
pembangunan kesehatan masyarakat. Apalagi jika melihat tingkat kesakitan
penduduk Banten yang masih tergolong tinggi, yakni mencapai 28,30 persen.
Tingkat kesakitan atau morbiditas dihitung dari jumlah penduduk yang
mengalami keluhan (sakit) hingga menyebabkan terganggunya aktivitas
sehari-hari. Keluhan kesehatan adalah gangguan terhadap kondisi fisik
maupun jiwa, termasuk karena kecelakaan, atau hal lain yang menjadi

.id
penyebab terganggunya aktivitas atau kegiatan sehari-hari.

o
.g
Gambar 2.2.
ps
Persentase Penduduk yang Berobat Jalan
b
Menurut Daerah Tempat Tinggal,
n.

Tahun 2015-2016
e
a nt
//b

70
s:

2015 2016
tp

60,41 59,88
ht

60 58,65

54,89 55,54 55,1

50

40
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan

Sumber : Susenas 2015-2016 (data diolah)

Sayangnya, meskipun mengalami keluhan kesehatan, namun tidak semua


secara serta merta berobat pada fasilitas kesehatan maupun tempat berobat

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 35


Bab II Kesehatan dan Gizi

lainnya. Hal ini terlihat dari persentase penduduk yang mempunyai keluhan
kesehatan dan berobat jalan, yang sekitar 60 persen. Betapapun juga, angka
berobat jalan ini sudah meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang
hanya 55 persen (Gambar 2.2).

Banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya persentase penduduk yang


berobat jalan, dalam hal ini memanfaatkan fasilitas dan tenaga kesehatan.
Beberapa diantaranya adalah jarak tempat tinggal dengan letak sarana
pelayanan kesehatan, kualitas pelayanan, sosial-ekonomi penduduk atau
kemampuan penduduk untuk membiayai pengobatannya, dan jenis

.id
pelayanan kesehatan serta preferensi penduduk dalam mengakses fasilitas

o
.g
kesehatan tersebut.
ps
b
Tabel 2.5.
e n.

Persentase Penduduk yang Berobat Jalan


nt

Menurut Jenis Fasilitas Kesehatan dan Daerah Tempat Tinggal,


a

Tahun 2015-2016
//b
s:

Perkotaan dan
tp

Perkotaan Perdesaan
Fasilitas Layanan Perdesaan
ht

Kesehatan
2015 2016 2015 2016 2015 2016
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Rumah Sakit 15,10 15,38 3,70 5,42 11,34 12,46

Praktek Dokter/Bidan/
Klinik/Praktek Dokter 64,47 61,70 61,89 61,14 63,62 61,53
Bersama

Puskesmas/Pustu 21,12 23,54 25,11 32,22 22,43 26,08

Unit Pelayanan Kesehatan


0,71 0,99 5,39 1,40 2,25 1,11
Lainnya
Praktek Pengobatan
1,76 1,99 2,28 1,12 1,93 1,74
Tradisional

Lainnya 1,38 0,77 4,77 2,28 2,50 1,22

Sumber : Susenas 2015-2016

36 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kesehatan dan Gizi Bab II

Bila diamati menurut fasilitas kesehatan (Tabel 2.5), sebagian besar


penduduk lebih memilih praktek dokter/bidan/klinik/praktek dokter dan
puskesmas/pustu puskesmas pembantu bersama sebagai tempat berobat
jalan. Hal ini karena kedua fasilitas tersebut sudah banyak tersebar di
seluruh daerah tempat tinggal dan prosedurnya pun lebih mudah
dibandingkan berobat jalan di rumah sakit.

Tabel 2.6.

Persentase Perempuan Berumur 15-49 Tahun

.id
Menurut Penolong Kelahiran Terakhir dan Daerah Tempat Tinggal,

o
Tahun 2015-2016

.g
ps
Perkotaan
b
Perdesaan
Perkotaan dan
Perdesaan
Penolong Kelahiran
n.

Terakhir
2015 2016 2015 2016 2015 2016
e
nt

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


a
//b

1. Tenaga Kesehatan 94,06 96,18 69,04 71,17 85,95 88,65


s:

- Dokter 28,97 34,78 10,02 7,60 22,83 26,59


tp
ht

- Bidan 63,97 61,06 59,02 62,93 62,36 61,63

- Lainnya 1,12 0,34 0,00 0,64 0,76 0,43

2. Bukan Tenaga Kesehatan 5,95 3,81 30,95 28,83 14,05 11,36

- Dukun Beranak/Paraji 5,95 3,61 30,61 28,83 13,94 11,22

- Lainnya 0,00 0,20 0,34 0,00 0,11 0,14

Sumber : Statistik Kesejahteraan Rakyat 2015-2016

Selain untuk berobat jalan, fasilitas dan tenaga kesehatan juga digunakan
untuk membantu proses kelahiran. Proses kelahiran dinyatakan aman dan
memenuhi syarat kesehatan, jika sejak awal hingga akhir proses, ditangani

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 37


Bab II Kesehatan dan Gizi

oleh tenaga kesehatan terlatih atau tenaga terlatih lainnya di bidang


persalinan. Bila tidak ditangani oleh tenaga terlatih di bidangnya,
dikhawatirkan tingkat keamanan dan kesehatannya menjadi tidak terjamin.
Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya kasus kematian bayi adalah
penanganan atau penolong kelahiran yang ditangani oleh tenaga non medis
tidak terlatih.

Hasil Susenas 2015-2016 (Tabel 2.6), memperlihatkan bahwa sebagian besar


proses persalinan penduduk Banten, ditangani oleh Bidan. Hal ini karena
biaya persalinannya dirasakan cukup murah, sehingga lebih mudah diakses

.id
oleh masyarakat yang tinggal di berbagai daerah tempat. Sementara dokter

o
.g
yang tingkat keamanan dan kesehatan persalinannya paling terjamin, relatif
ps
lebih banyak menangani proses kelahiran di perkotaan daripada di daerah
b
perdesaan. Sebaliknya, dukun beranak atau paraji, relatif lebih banyak
n.

menangani proses kelahiran di daerah perdesaan dibandingkan perkotaan.


e
a nt
//b
s:
tp
ht

38 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id

BAB III
PENDIDIKAN
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
III Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu modal yang sangat penting bagi seseorang
untuk menjalani kehidupan bermasyarakat. Melalui pendidikan, seseorang
dapat memperoleh berbagai macam informasi dan ilmu pengetahuan yang

.id
sangat berguna untuk dirinya, serta dapat dimanfaatkan bagi kepentingan

o
.g
masyarakat. Selain itu, dengan pendidikan yang dimilikinya, seseorang
ps
diharapkan akan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
b
n.

Mengingat pentingnya peranan pendidikan ini, maka pembangunan bidang


e

pendidikan yang dilaksanakan haruslah mencakup peningkatan pendidikan


a nt

formal dan non formal. Pembangunan bidang pendidikan juga memerlukan


//b

peran serta aktif dari semua pihak, yang dalam hal ini adalah pemerintah dan
s:

masyarakat. Dengan demikian, semua program peningkatan pendidikan


tp

dapat berjalan lancar dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan.


ht

Tujuan pembangunan bidang pendidikan sendiri adalah meningkatnya akses


masyarakat terhadap pendidikan dan peningkatan mutu atau kualitas
pendidikan yang diselenggarakan. Meningkatnya akses terhadap pendidikan
ini, antara lain ditandai oleh naiknya angka partisipasi sekolah pada semua
jenjang pendidikan. Implikasinya, ketersediaan sekolah atau kelas dan
kemudahaan untuk mengaksesnya, mutlak diperlukan bagi peningkatan
angka partisipasi sekolah tersebut.

Sementara itu ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan sangat


berpengaruh terhadap kualitas layanan pendidikan yang diselenggarakan.
Dalam hal ini, salah satu yang terpenting adalah ketersediaan tenaga
pendidik yang mencukupi dan berkualitas. Ketersediaan tenaga pendidik

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 41


Bab III Pendidikan

yang mencukupi dapat diketahui dari indikator rasio murid-guru dan rasio
murid per kelas. Adapun tenaga pendidik berkualitas setidaknya dapat dilihat
dari tingginya kualitas guru yang mengajar.

Angka Melek Huruf

Melek huruf adalah kemampuan untuk membaca dan menulis. Lebih detail
lagi adalah konsep dari UNESCO, yang menyatakan bahwa melek huruf
adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan,

.id
membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang

o
.g
terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan
berbagai situasi.
b ps
n.

Sementara itu Angka Melek Huruf (AMH) adalah persentase penduduk usia
e

15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis, serta mengerti sebuah
nt

kalimat sederhana dalam hidupnya sehari-hari. AMH sangat berkaitan erat


a
//b

dengan Angka Buta Huruf (ABH). Semakin tinggi AMH, menunjukkan


s:

semakin menurunnya ABH. Baik AMH maupun ABH, dapat digunakan untuk
tp

melihat capaian keberhasilan program-program pemberantasan buta huruf.


ht

Program pemberantasan buta huruf, sebenarnya sudah berjalan sejak jaman


kemerdekaan, namun dalam perjalanannya terjadi pasang surut. Bahkan
dalam sejarahnya, Indonesia pernah memproklamirkan telah bebas buta
huruf. Namun karena tidak dipergunakan, membuat banyak orang yang
sudah melek huruf kembali menjadi buta huruf.

Program pemberantasan buta huruf ini bertujuan untuk meningkatkan


kemampuan membaca dan menulis huruf latin, kemampuan berhitung, serta
berketerampilan. Dengan kemampuan tersebut, memungkinkan seseorang
untuk berkomunikasi dengan lebih baik, sehingga dapat memecahkan
persoalah sehari-hari. Selain itu, juga untuk menciptakan tenaga kerja lokal
yang potensial, agar mampu mengelola sumberdaya di lingkungannya.

42 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Pendidikan Bab III

Gambar 3.1.

Angka Melek Huruf (AMH) Usia 15 Tahun ke Atas


Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016 (Persen)

100

2015 2016
98,14 98,19
98
97,37 97,55

.id
96
96,08
95,64

o
.g
94 b ps
92
e n.
nt

90
a

Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan


//b
s:

Sumber : Susenas 2015-2016 (data diolah)


tp
ht

AMH Banten sendiri pada tahun 2016 mencapai 97,55 persen, sedikit
mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 97,37
persen (Gambar 3.1). Meskipun sedikit, namun peningkatannya itu
menunjukkan bahwa angka buta huruf masyarakat juga menurun.
Implikasinya, kualitas SDM Banten dari sisi pendidikan telah meningkat,
walaupun minimal hanya dapat membaca dan menulis.

Meningkatnya AMH Banten ini, ternyata juga terjadi di semua daerah tempat
tinggal. Hanya saja untuk daerah perdesaan, angka AMH nya masih di bawah
AMH daerah perkotaan. Berarti, program pemberantasan buta huruf nanti,
harus lebih terfokus ke daerah perdesaan agar masalah buta huruf yang
menghinggapi sebagian kecil masyarakat cepat terselesaikan.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 43


Bab III Pendidikan

Gambar 3.2.

Angka Melek Huruf (AMH) Usia 15 Tahun ke Atas


Menuurut Jenis Kelamin,
Tahun 2015-2016 (Persen)

100

98,57 98,67 2015 2016


98
97,37 97,55

96,14 96,38

.id
96

o
.g
94
b ps
92
e n.
nt

90
Laki-Laki Perempuan Laki-Laki dan Perempuan
a
//b

Sumber : Susenas 2015-2016 (data diolah)


s:
tp
ht

Diamati menurut jenis kelamin, terlihat bahwa AMH laki-laki dan AMH
perempuan sama-sama meningkat. Hanya saja, AMH keduanya masih tetap
di bawah 100 persen (Gambar 3.2). Dengan kata lain, masih terdapat kasus
buta huruf, dan yang terbanyak justru menghinggapi kaum parempuan.

Terkait perempuan yang buta huruf, menurut Kusnadi dalam Statistik


Pendidikan 2012 (BPS, 2013b), dapat menimbulkan efek negatif terhadap
generasi kedua. Hal ini karena, ibu yang buta huruf cenderung kurang
memiliki pengetahuan terhadap kebutuhan-kebutuhan anak berusia dini,
padahal usia dini merupakan masa golden age nya. Adapun kekurangan
pengetahuan ini, jelas mempengaruhi perkembangan kesehatan, emosi,
sosial, dan intelektual sang anak.

44 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Pendidikan Bab III

Angka Partisipasi Sekolah

Angka partisipasi sekolah (APS) merupakan indikator bidang pendidikan,


yang dapat mengukur partisipasi masyarakat dalam mengikuti pendidikan
pada berbagai kelompok usia sekolah. Pemerintah berharap APS pada semua
kelompok usia tersebut, setiap tahunnya selalu menunjukkan peningkatan.
Hal ini karena, peningkatannya itu dapat menunjukkan semakin banyaknya
masyarakat yang telah memperoleh layanan pendidikan.

.id
Gambar 3.3.

o
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Kelompok Usia Sekolah,

.g
Tahun 2016-2017 (Persen)
b ps
n.

120
e
nt

99,43
100 99,31 95,67 2016 2017
95,59
a
//b

80
67,77
s:

67,00
tp

60
ht

40
21,33
20,74
20

0
7-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun 19-24 Tahun

Sumber : Susenas 2016-2017 (data diolah)

Berdasarkan data Susenas 2017, terlihat bahwa APS penduduk usia 13 tahun
ke atas selama setahun terakhir ini mengalami peningkatan (Gambar 3.3).
Kondisi yang demikian dapat menjadi penanda dari meningkatnya akses
penduduk kelompok usia tersebut terhadap layanan pendidikan. Ada

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 45


Bab III Pendidikan

kemungkinan hal ini disebabkan oleh bertambahnya anggaran pemerintah


daerah terkait fungsi pendidikan.

Khusus usia 16 tahun ke atas, meskipun APS nya mengalami kenaikan, tetapi
masih harus terus ditingkatkan. Hal ini karena besarannya jauh lebih kecil
dibandingkan sebagian besar provinsi yang ada di Indonesia. Usia 16 tahun
ke atas sendiri adalah kelompok usia yang setara dengan jenjang pendidikan
menengah (SMA/MA/SMK) dan tinggi (Universitas). Implikasinya, kualitas
sumber daya manusia (SDM) yang juga berarti daya saing Banten, dari sisi
pendidikan berpotensi untuk menjadi lebih rendah dari rata-rata Nasional.

o .id
Adapun turunnya APS Usia 7-12 tahun, sepertinya lebih dipengaruhi oleh

.g
ps
perubahan kebijakan penerimaan murid sekolah dasar. Sebelum tahun ajaran
2017/2018, sebagian sekolah dasar yang ada di Banten masih membolehkan
b
n.

anak-anak yang berusia kurang dari 7 tahun untuk bersekolah. Namun


e

sekarang ini, jumlah sekolah dasar yang masih membolehkannya semakin


a nt

jauh berkurang. Akibatnya, banyaknya penduduk usia 7-12 tahun yang masih
//b

bersekolah pada tahun 2017 relatif lebih sedikit dari tahun sebelumnya.
s:
tp

Bila dicermati menurut daerah tempat tinggal, APS daerah perdesaan untuk
ht

setiap kelompok usia sekolah terlihat selalu lebih rendah dibandingkan


daerah perkotaan (Gambar 3.4). Penyebabnya, terutama adalah kurangnya
ketersediaan fasilitas pendidikan di perdesaan dan sulitnya akses penduduk
yang tinggal di daerah tersebut terhadap layanan pendidikan.

Untuk jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP/MTs), ketersediaan fasilitasnya


sudah relatif mencukupi. Selain itu, biaya pendidikannya juga tidak begitu
mahal, sehingga masyarakat mudah mengaksesnya. Dengan demikian,
penyebab dari tidak semua penduduk usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun
bersekolah, sepertinya bukan karena faktor ekonomi. Namun, tidak tertutup
kemungkinan penduduk miskin tidak mampu mengakses layanan pendidikan
tersebut, khususnya untuk SMP/MTs.

46 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Pendidikan Bab III

Gambar 3.4.

Angka Partisipasi Sekolah (APS)


Menurut Kelompok Usia Sekolah dan Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2016 (Persen)

120

99,83 98,66 Perkotaan


100 96,47 94,01
Perdesan

80

.id
71,42
58,38

o
60

.g
40
b ps 23,68
n.
20
10,62
e
nt

0
7-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun 19-24 Tahun
a
//b

Sumber : Susenas 2016 (data diolah)


s:
tp
ht

Sementara untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi, jumlah fasilitas


pendidikannya sedikit. Ketersediaan di daerah perdesaan juga sangat jarang.
Lebih-lebih untuk universitas, yang memang tidak tersedia di perdesaan.
Selain itu, biaya pendidikannya juga mahal. Dengan demikian, penyebab dari
penduduk usia 16-18 tahun dan 19-24 tahun tidak bersekolah lagi, dapat
dipastikan karena faktor ekonomi.

Disamping itu, mereka yang berusia 16 tahun ke atas, secara legal formal
memang sudah boleh bekerja. Oleh karena itu, banyak penduduk yang
berada pada kelompok usia tersebut, lebih memilih bekerja dari pada
bersekolah. Terlebih lagi, mereka yang berasal dari keluarga miskin, yang
memang harus membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 47


Bab III Pendidikan

Gambar 3.5.

Angka Partisipasi Sekolah (APS)


Menurut Kelompok Usia Sekolah dan Jenis Kelamin,
Tahun 2016 (Persen)

120

99,65 96,62 Laki-Laki


100 99,23
94,54 Perempuan

80

.id
70,66
63,54

o
60

.g
40
b ps
20,53
19,44
n.
20
e
nt

0
7-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun 19-24 Tahun
a
//b

Sumber : Susenas 2016 (data diolah)


s:
tp
ht

Sementara itu APS penduduk perempuan untuk setiap kelompok usia


sekolah, terlihat selalu lebih tinggi dibandingkan APS laki-laki (Gambar 3.5).
Ada kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya perubahan cara pandang di
tengah masyarakat, dimana anak perempuan sudah dianggap sama
pentingnya dengan anak laki-laki. Akibatnya, peluang seorang anak untuk
bersekolah tidak lagi ditentukan berdasarkan jenis kelamin, melainkan
semata-mata karena faktor kemampuan.

Lebih tingginya APS perempuan ini juga menjadi penanda bahwa di masa
depan, kualitas SDM perempuan akan melampaui laki-laki. Bila diskriminasi
gender suatu saat sudah tidak ada lagi di dunia kerja, akan jauh lebih banyak
lagi perempuan yang bekerja dibandingkan sekarang ini. Bahkan, ada
kemungkinan proporsi perempuan yang bekerja melebihi laki-laki. Lebih jauh

48 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Pendidikan Bab III

lagi, tidak tertutup kemungkinan apa yang digambarkan dalam sinetron


“Dunia Terbalik”, dapat terjadi dalam lingkup wilayah yang lebih luas lagi.

Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan

Tingkat pendidikan erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia.


Hal ini karena kualitas sumber daya manusia yang tercermin dari keahlian/
keterampilan serta ilmu pengetahuan yang dimilikinya, dapat dicapai melalui
pendidikan. Oleh karena itu, meningkatnya tingkat pendidikan penduduk

.id
dapat menjadi gambaran dari meningkatnya kualitas sumber daya manusia.

o
.g
ps
Tabel 3.1.
b
Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas
n.

Menurut Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki dan Daerah Tempat Tinggal,


e
nt

Tahun 2015-2016
a
//b

Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
s:

Ijazah/STTB
Tertinggi
tp

2015 2016 2015 2016 2015 2016


ht

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Tidak/Belum Tamat SD 10,75 8,71 26,67 21,92 15,65 12,71

SD/MI 20,08 25,82 40,94 44,51 26,50 31,48

SMP/MTS 22,61 18,65 18,81 18,73 21,44 18,67

SMA/MA/SMK 35,66 36,07 11,45 12,07 28,21 28,81

Universitas 10,90 10,75 2,12 2,77 8,21 8,33

Sumber : Susenas 2015-2016

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 49


Bab III Pendidikan

Tabel 3.1 menyajikan komposisi penduduk usia 15 tahun ke atas menurut


ijazah/STTB atau tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Berdasarkan
tabel tersebut terlihat bahwa ada 37,14 persen penduduk di Banten yang
pada tahun 2016 mengenyam pendidikan sampai jenjang SMA ke Atas.
Namun demikian, angka tersebut sudah meningkat dari tahun sebelumnya
yang mencapai 36,42 persen. Selain itu, juga lebih tinggi dibandingkan rata-
rata Nasional yang hanya sebesar 34,27 persen.

Untuk lulusan SMA/MA/SMK, peningkatannya ternyata terjadi di semua


daerah tempat tinggal. Sementara lulusan Universitas, hanya meningkat di

.id
daerah perdesaan saja. Selain itu, besaran proporsi lulusan kedua jenjang

o
.g
pendidikan tersebut juga sangat timpang antara di daerah perkotaan dengan
ps
di daerah perdesaan. Bahkan untuk jenjang Universitas, perbandingan
b
proporsi lulusannya mencapai 4 banding 1 untuk daerah perkotaan.
e n.

Meningkatnya proporsi penduduk yang tamat SMA ke Atas ini terjadi seiring
a nt

dengan turunnya proporsi penduduk yang tamat SMP ke Bawah. Dalam hal
//b

ini, yang mengalami penurunan adalah yang belum atau tidak tamat SD serta
s:

yang tamat SMP. Adapun lulusan SD justru meningkat dari 26,50 persen
tp

menjadi 31,48 persen pada tahun 2016. Sementara peningkatan atau


ht

penurunan proporsi lulusan SMP ke Bawah tersebut, terjadi pada semua


daerah tempat tinggal, yakni di daerah perkotaan dan daerah perdesaan.

Diamati menurut jenis kelamin (Tabel 3.2), meningkatnya proporsi penduduk


yang tamat SMA ke Atas, hanya terjadi untuk penduduk perempuan. Namun
demikian, besaran proporasi lulusannya masih lebih rendah dibandingkan
laki-laki. Sementara untuk lulusan SMP ke bawah, baik perempuan maupun
laki-laki, sama-sama mengalami peningkatan atau penurunan proporsi.
Hanya saja, besaran proporsi penduduk perempuan lulusan SMP ke Bawah
masih di atas penduduk laki-laki.

50 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Pendidikan Bab III

Tabel 3.2.

Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas


Menurut Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki dan Jenis Kelamin,
Tahun 2015-2016

Laki-Laki+
Laki-Laki Perempuan
Perempuan
Ijazah Tertinggi
2015 2016 2015 2016 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

.id
Tidak/Belum Tamat SD 12,55 10,10 18,86 15,41 15,65 12,71

o
.g
SD/MI 25,61 30,95 27,42 32,02 26,50 31,48

SMP/MTS 20,91
b ps
18,20 21,99 19,16 21,44 18,67
n.

SMA/MA/SMK 32,14 32,13 24,14 25,37 28,21 28,81


e
nt

Universitas 8,78 8,63 7,59 8,04 8,21 8,33


a
//b

Sumber : Susenas 2015-2016


s:
tp
ht

Kualitas Layanan Pendidikan

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan program pembangunan


nasional, khususnya dalam bidang pendidikan adalah pelayanan pendidikan
yang baik dan berkualitas. Oleh karena itu, peningkatan mutu layanan
pendidikan menjadi program utama pemerintah guna mempersiapkan
sumber daya manusia yang berkualitas dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.

Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas


layangan pendidikan adalah rasio murid-guru. Rasio murid-guru adalah
jumlah murid dibandingkan dengan jumlah guru pada setiap jenjang
pendidikan. Rasio murid-guru ini digunakan untuk mengetahui rata-rata

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 51


Bab III Pendidikan

jumlah murid yang dilayani oleh satu orang guru di suatu sekolah atau
daerah tertentu.

Semakin tinggi rasio murid-guru, akan semakin berkurang pengawasan/


perhatian yang diberikan oleh guru terhadap murid, sehingga kualitas
pengajaran cenderung semakin rendah. Hal ini karena, semakin banyak
murid yang diajar oleh seorang guru dapat mengurangi daya tangkap murid
terhadap pelajaran yang diberikan. Dengan kata lain, akan mengurangi
efektivitas proses belajar mengajar.

.id
Gambar 3.6.

o
.g
Rasio Murid-Guru Menurut Jenjang Pendidikan,
Tahun 2015-2016
b ps
e n.

30
a nt

2015 2016
25 23,72
//b

21,01
20,56
s:

20
tp

15,10 16,03
ht

15 14,40

10

0
SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK

Sumber : Dinas Pendidikan dan Budaya Provinsi Banten (data diolah)

Secara umum terjadi penurunan rasio murid-guru di Banten menurut jenjang


pendidikan, selama tahun 2015-2016 (Gambar 3.6). Pada jenjang pendidikan
SD/MI, menurun dari 23,72 menjadi 21,01, jenjang pendidikan SMP/MTS dari
20,56 menjadi 16,10 dan jenjang pendidikan SMA/MA/SMK dari 16,03

52 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Pendidikan Bab III

menjadi 14,40. Penurunan rasio murid-guru ini menjadi penanda adanya


perbaikan dalam layanan pendidikan. Hal ini karena, proses belajar mengajar
pada berbagai jenjang menjadi semakin efektif.

Gambar 3.7.

Rasio Murid per Kelas Menurut Jenjang Pendidikan,


Tahun 2015-2016

40

.id
2015 2016 37,55

o
.g
36,33

35
33,58 32,94
34,94
b ps
33,37
e n.
nt

30
a
//b
s:
tp

25
SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK
ht

Sumber : Dinas Pendidikan dan Budaya Provinsi Banten (data diolah)

Indikator berikutnya adalah rasio murid per kelas. Rasio murid per kelas
adalah perbandingan antara jumlah murid dengan daya tampung kelas pada
setiap jenjang pendidikan. Rasio murid per kelas ini digunakan untuk
mengetahui rata-rata besarnya kepadatan kelas di suatu sekolah atau daerah
tertentu. Semakin tinggi nilai rasio, berarti tingkat kepadatan kelas semakin
tinggi atau dapat dikatakan bahwa jumlah siswa yang ada di dalam kelas
tersebut sangat banyak. Tingginya rasio murid per kelas juga akan
memberikan dampak pada rendahnya efektivitas proses belajar mengajar.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 53


Bab III Pendidikan

Secara umum juga terjadi penurunan rasio murid per kelas di Banten
menurut jenjang pendidikan, selama tahun 2015-2016 (Gambar 3.7). Untuk
jenjang pendidikan SD/MI, menurun dari 33,58 menjadi 32,94, jenjang
pendidikan SMP/MTS dari 34,94 menjadi 33,37 dan jenjang pendidikan
SMA/MA/SMK dari 37,55 menjadi 36,33. Berarti, ada perbaikan dalam
layanan pendidikan karena proses belajar mengajar pada berbagai jenjang
menjadi semakin efektif. Meskipun demikian, dibandingkan dengan jumlah
murid yang ideal untuk proses belajar mengajar yang maksimal hanya 25
murid per kelas, terlihat jumlah murid per kelasnya sangat padat.

o .id
Gambar 3.8.

.g
ps
Persentase Guru Berpendidikan Minimal DIV/S1
Menurut Jenjang Pendidikan,
b
n.

Tahun 2015-2016
e
a nt

100
//b

2015 2016
s:

90 89,02
tp

83,32 85,14
82,00
ht

80 77,15

70
70,03

60

50
SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK

Sumber : Dinas Pendidikan dan Budaya Provinsi Banten (data diolah)

Guru yang profesional merupakan faktor penentu proses pendidikan yang


berkualitas. Untuk dapat menjadi guru profesional, mereka harus mampu

54 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Pendidikan Bab III

menemukan jati diri dan mengaktualisasikan diri sesuai dengan kemampuan


dan kaidah-kaidah guru yang profesional. Profesionalitas seorang guru dapat
diketahui dari kemampuannya dalam menciptakan kondisi dan suasana
belajar yang kondusif, sehingga siswa atau murid menjadi termotivasi untuk
lebih giat lagi mengikuti proses belajar mengajar.

Sebelum menjadi profesional, seorang guru harus terlebih dahulu berkualitas.


Kualitas guru sendiri, setidaknya dapat diketahui dari tingkat pendidikan yang
disandangnya. Berdasarkan data yang ada (Gambar 3.8), terlihat bahwa
sebagian besar guru sudah berpendidikan minimal D4/S1, dengan persentase

.id
yang meningkat. Berarti, guru yang mengajar di Banten memang cukup

o
.g
berkualitas. Lebih-lebih, persentase guru yang berkualitas juga semakin
ps
bertambah, seiring dengan naiknya jenjang pendidikan.
b
e n.
a nt
//b
s:
tp
ht

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 55


ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id

BAB IV
KETENAGAKERJAAN
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
IV Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting dalam mewujudkan


kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, cukup banyak permasalahan yang
menghinggapi bidang ketenagakerjaan, yang harus mendapat perhatian,

.id
diantisipasi dan diselesaikan oleh Pemerintah. Permasalahan tersebut antara

o
.g
lain adalah tingginya tingkat pengangguran, rendahnya penciptaan lapangan
ps
kerja, rendahnya kualitas dan produktivitas tenaga kerja, dan sebagainya.
b
n.

Bidang ketenagakerjaan sendiri adalah bagian dari upaya pengembangan


e

sumberdaya manusia, yang memegang peranan penting dalam mewujudkan


a nt

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia


//b

seluruhnya. Oleh karena itu, pembangunan di bidang ketenagakerjaan


s:

diarahkan untuk memberikan kontribusi nyata dan terukur dalam rangka


tp

peningkatan kesejahteraan pekerja.


ht

Data dan informasi ketenagakerjaan sangat penting bagi penyusunan


kebijakan pemerintah, dalam rangka pembangunan nasional dan untuk
mengatasi masalah ketenagakerjaan. Kebijakan, strategi dan program
ketenagakerjaan yang tepat, sangat ditentukan oleh ketersediaan data dan
informasi ketenagakerjaan.

Konsep ketenagakerjaan yang digunakan oleh BPS adalah merujuk kepada


The Labor Force Concept, yang menjadi rekomendasi dari International
Labour Organization (ILO). Konsep ini membagi penduduk menjadi dua
kelompok, yaitu penduduk usia kerja (usia 15 tahun ke atas) dan bukan usia
kerja. Selanjutnya, penduduk usia kerja juga dibedakan menjadi dua
kelompok berdasarkan kegiatan utama yang dilakukan, yakni angkatan kerja

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 59


Bab IV Ketenagakerjaan

dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari dua bagian yaitu
bekerja dan mencari pekerjaan (pengangguran). Sementara bukan angkatan
kerja mencakup sekolah, mengurus rumahtangga dan lainnya.

BPS setiap tahun mengumpulkan data ketenagakerjaan sebanyak dua kali,


melalui kegiatan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), yaitu Sakernas
Februari dan Sakernas Agustus. Data yang ditampilkan dalam publikasi ini
adalah hasil Sakernas Tahunan (Agustus).

.id
Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran Terbuka

o
.g
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) adalah indikator ketenagakerjaan
ps
yang menggambarkan persentase penduduk usia kerja (15 tahun ke atas),
b
n.

yang tergolong sebagai angkatan kerja. Dengan kata lain, TPAK mengukur
e

keterlibatan aktif penduduk dalam kegiatan ekonomi. TPAK diperoleh dari


nt

perbandingan jumlah angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja.


a
//b

TPAK Banten selama kurun waktu tiga tahun terakhir ini terlihat sedikit
s:

berfluktuasi. TPAK pada tahun 2015 sebesar 62,24 persen, berarti ada
tp
ht

sekitar 62 orang dari 100 penduduk usia kerja, aktif secara ekonomi atau
berperan serta dalam kegiatan produksi. Adapun sisanya, bukan merupakan
angkatan kerja, yang dalam hal ini bisa jadi masih bersekolah, mengurus
rumahtangga atau lainnya. Memasuki tahun 2016, TPAK mengalami kenaikan
menjadi 63,66 persen, lalu pada tahun 2017 menurun kembali hingga
mencapai 62,32 persen (Tabel 4.1).

Menurunnya angka TPAK ini, ternyata terjadi di semua daerah tempat


tinggal. Hanya saja untuk daerah perkotaan, penurunannya terlihat lebih
banyak. Akibatnya, TPAK daerah perkotaan menjadi sedikit lebih rendah
dibandingkan TPAK daerah perdesaan. Kondisi yang demikian menjadi rekor
tersendiri bagi Banten, karena pada tahun-tahun sebelumnya, TPAK daerah
perdesaan yang sesungguhnya lebih rendah.

60 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Ketenagakerjaan Bab IV

Tabel 4.1.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan


Tingkat Pengganguran Terbuka (TPT)
Menurut Daerah Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin,
Tahun 2015-2017 (Persen)

TPAK TPT
Daerah Tempat Tinggal/
Jenis Kelamin
2015 2016 2017 2015 2016 2017

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

.id
1. Daerah Tempat Tinggal

o
.g
a. Perkotaan 62,44 64,09 62,32 8,83 8,26 8,69
b ps
b. Perdesaan 61,78 62,65 62,33 11,24 10,54 10,73
n.

c. Perkotaan dan
e

62,24 63,66 62,32 9,55 8,92 9,28


Perdesaan
a nt

2. Jenis Kelamin
//b
s:

a. Laki-Laki 82,06 81,38 81,15 9,37 9,03 9,58


tp

b. Perempuan 41,67 45,29 42,80 9,92 8,72 8,71


ht

c. Laki-Laki dan
62,24 63,66 62,32 9,55 8,92 9,28
Perempuan

Sumber : BPS Provinsi Banten

Diamati menurut jenis kelamin, menurunnya angka TPAK hanya terjadi pada
angkatan kerja perempuan. Namun demikian, TPAK perempuan tetap lebih
rendah dibandingkan TPAK laki-laki. Lebih rendahnya TPAK perempuan ini
adalah sangat wajar, mengingat perempuan secara umum bukanlah
tumpuan ekonomi keluarga, apalagi setelah menikah kebanyakan dari
mereka akan mengurus rumahtangga. Angka TPAK perempuan sendiri
selama tiga tahun terakhir ini sekitar 41-45 persen, atau sekitar separuh dari
angka TPAK laki-laki.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 61


Bab IV Ketenagakerjaan

Dari TPAK dapat diketahui besarnya penduduk usia kerja yang aktif secara
ekonomi. Namun untuk mengetahui seberapa banyak angkatan kerja yang
tidak terserap oleh pasar tenaga kerja, hanya dapat dilihat melalui Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT). Bagian yang tidak terserap oleh pasar ini
selanjutnya disebut sebagai penganggur, yang timbul karena suplai tenaga
kerja jauh lebih tinggi dari permintaannya.

Sementara penganggur atau pengangguran terbuka didefinisikan sebagai


orang yang sedang mencari pekerjaan, atau yang sedang mempersiapkan
usaha, atau juga yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin

.id
lagi mendapatkan pekerjaan, termasuk juga mereka yang baru mendapat

o
.g
kerja tetapi belum mulai bekerja.
ps
Sama seperti TPAK, TPT Banten selama kurun waktu tiga tahun terakhir ini
b
n.

juga mengalami fluktuasi. Bedanya, angka TPT pada tahun 2017 meningkat
e

dari 8,92 persen menjadi 9,28 persen. Akibatnya, Banten menempati


a nt

peringkat kedua TPT tertinggi di Indonesia.


//b
s:

Meningkatnya angka TPT Banten, ternyata juga pada semua daerah tempat,
tp

Namun demikian untuk daerah perdesaan, peningkatannya jauh lebih tinggi


ht

dibandingkan daerah perkotaan. Selain itu, angka TPT daerah perdesaan


juga lebih besar dari daerah perkotaan.

Diamati menurut jenis kelamin, terlihat bahwa angka TPT perempuan lebih
rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini mudah dipahami, karena perempuan
lebih berperan sebagai ibu rumahtangga daripada pencari nafkah. Ketika
perempuan menganggur, mereka bisa berlindung dibalik perannya sebagai
ibu rumahtangga, sehingga tidah lagi tercatat sebagai angkatan kerja.
Sementara laki-laki yang menggangur, karena fungsinya sebagai pencari
nafkah, tidak memiliki perlindungan seperti itu.

62 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Ketenagakerjaan Bab IV

Tingkat Pengangguran dan Pendidikan

Pendidikan yang tinggi menjadi jembatan untuk memperoleh pekerjaan yang


layak. Semakin tinggi pendidikan seseorang akan berdampak pada semakin
tingginya harapan dan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang
sesuai dengan tingkat pendidikannya. Namun, keterbatasan lapangan kerja
yang tersedia menyebabkan mereka tidak terserap pada lapangan usaha
yang sesuai dengan tingkat pendidikannya.

.id
Gambar 4.1.

o
TPT Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan,

.g
Tahun 2016-2017 (Persen)
b ps
n.

16
e

14,25
nt

2016 2017
13,14
12,72
a

12 11,79
//b
s:

8,50
tp

8 7,76
ht

5,31
4 3,61

0
SMP ke Bawah SMA Umum SMK Universitas

Sumber : BPS Provinsi Banten (data diolah)

Gambar 3.1, menyajikan angka TPT menurut tingkat pendidikan, sehingga


dapat memberikan gambaran mengenai penyerapan tenaga kerja pada
masing-masing jenjang pendidikan. Terlihat bahwa tingkat pengangguran
terbuka penduduk berpendidikan SD ke Bawah relatif rendah. Hal ini terjadi

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 63


Bab IV Ketenagakerjaan

karena angkatan kerja berpendidikan rendah bersedia untuk melakukan


pekerjaan apa saja, termasuk dengan upah yang relatif rendah.

Sementara lulusan SMA Umum dan SMK, tingkat penganggurannya sangat


tinggi. Hal ini dimungkinkan karena dengan keahlian yang terbatas, mereka
harus bersaing dengan angkatan kerja berpendidikan tinggi, dalam
memperoleh pekerjaan yang layak. Mereka juga harus bersaing dengan
pencari kerja berpendidikan rendah, yang bersedia untuk melakukan
pekerjaan apa saja.

.id
Khusus lulusan SMAK, sesungguhnya agak mengherankan bila memiliki

o
tingkat pengangguran yang lebih tinggi daripada lulusan SMA Umum. Hal ini

.g
ps
karena, mereka benar-benar dipersiapkan untuk bekerja. Ada kemungkinan
keahlian yang mereka miliki juga terlalu spesifik, sehingga lowongan
b
n.

pekerjaan yang tersedia sangat terbatas. Kemungkinan lain adalah ada


e

ketidakcocokan antara kurikulum yang diajarkan dengan kebutuhan pasar


a nt

tenaga kerja yang ada di Banten.


//b
s:

Adapun lulusan universitas, tingkat penganggurannya paling rendah diantara


tp

semua angkatan kerja. Rendahnya angka TPT pencari kerja berpendidikan


ht

tinggi ini, mengindikasikan bahwa mereka memang memiliki daya saing yang
tinggi dalam pasar tenaga kerja. Hanya saja, mereka sepertinya memilih-
milih pekerjaan, tentunya sesuai dengan tingkat pendidikan dan upah yang
diharapkannya. Kondisi yang demikian setidaknya terlihat dari masih adanya
penganggur diantara mereka.

Lapangan Usaha dan Status Pekerjaan

Distribusi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha pekerjaan utama


merupakan salah satu ukuran untuk melihat potensi suatu lapangan usaha
dalam penyerapan tenaga kerja. Ukuran ini memberikan gambaran lapangan
usaha mana saja yang dominan menyerap tenaga kerja dan sebaliknya.

64 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Ketenagakerjaan Bab IV

Dengan demikian bila pemerintah ingin menerapkan kebijakan di bidang


ketenagakerjaan, dapat fokus kepada lapangan-lapangan usaha tertentu,
sesuai dengan tujuan kebijakan tersebut.

Tabel 4.2.

Persentase Penduduk yang Bekerja


Menurut Lapangan Usaha Pekerjaan Utama dan Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2016-2017

.id
2016 2017

o
Lapangan Usaha
Kota+ Kota+

.g
Kota Desa Kota Desa
Desa Desa
(1) (2)
b ps
(3) (4) (5) (6) (7)

Pertanian, Perkebunan,
n.

Kehutanan, Perburuan dan 4,61 37,09 13,88 3,90 36,88 13,31


e

Perikanan
nt

Pertambangan dan
a

0,16 0,19 0,17 0,43 1,51 0,74


Penggalian
//b

Industri Pengolahan
s:

24,96 14,42 21,95 26,71 19,12 24,54


tp

Listrik, Gas dan Air Minum 0,66 0,58 0,64 0,45 0,32 0,41
ht

Konstruksi 7,95 10,93 8,80 4,94 7,34 5,62

Perdagangan, Rumah
26,30 17,31 23,73 26,24 17,34 23,71
Makan dan Jasa Akomodasi

Transportasi, Pergudangan
6,38 6,39 6,38 8,29 5,11 7,38
dan Komunikasi

Lembaga Keuangan, Real


Estate, Usaha Persewaan 8,05 1,75 6,25 8,70 1,19 6,56
dan Jas Perusahanan

Jasa Kemasyarakatan,
20,94 11,33 18,20 20,34 11,19 17,73
Sosial dan Perorangan

Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber : BPS Provinsi Banten

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 65


Bab IV Ketenagakerjaan

Ada empat lapangan usaha yang sangat dominan dalam penyerapan tenaga
kerja di Banten. Keempat lapangan usaha ini adalah lapangan usaha
pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan, lapangan
usaha industri pengolahan, lapangan usaha perdagangan, rumah makan dan
jasa akomodasi, serta lapangan usaha jasa kemasyarakatan, sosial dan
perorangan. Keempat lapangan usaha ini pada tahun 2017 masing-masing
mampu menyerap tenaga kerja sebesar 13,31 persen, 24,54 persen, 23,71
persen, dan 17,73 persen (Tabel 4.2).

Dari keempat lapangan usaha tersebut, hanya lapangan usaha industri

.id
pengolahan saja yang penyerapan tenaga kerjanya mengalami peningkatan.

o
.g
Bila dibandingkan dengan sumbangannya dalam perekonomian Banten yang
ps
terus mengalami penurunan (BPS Provinsi Banten, 2017), dapat dikatakan
b
bahwa lapangan usaha tersebut semakin padat tenaga kerja.
e n.

Sementara itu lapangan usaha pertanian perkebunan, kehutanan, perburuan


a nt

dan perikanan, meskipun mengalami penurunan, namun masih mampu


//b

menyerap tenaga kerja sebanyak 13,31 persen dari seluruh tenaga kerja
s:

yang di Banten. Kondisi yang demikian sangat menarik untuk didalami,


tp

karena upah pekerjanya relatif lebih kecil dibandingkan lapangan usaha


ht

lainya. Ada kemungkinan karena SDM nya kurang berkualitas, mereka


semakin tidak mampu untuk mengakses pekerjaan yang ada pada lapangan
usaha lainnya.

Diamati menurut daerah tempat tinggal, terlihat ada sedikit perbedaan


struktur pekerja menurut lapangan usaha. Pekerja yang tinggal di daerah
perkotaan lebih banyak bekerja pada lapangan usaha industri pengolahan,
lapangan usaha perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi, serta
lapangan usaha jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan. Persentase
pekerjanya yang bekerja pada ketiga lapangan usaha tersebut masing-
masing sebesar 26,71 persen, 26,24 persen dan 20,34 persen.

66 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Ketenagakerjaan Bab IV

Di daerah perdesaan, lapangan usaha yang penyerapan tenaga kerjanya


paling tinggi, terlihat sedikit lebih banyak. Hampir separuh dari pekerjanya,
bekerja pada lapangan usaha industri pengolahan, lapangan usaha
perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi, serta lapangan usaha jasa
kemasyarakatan, sosial dan perorangan. Hanya saja, karena perusahaan/
usaha pada ketiga lapangan usaha ini biasanya berlokasi di perkotaan,
hampir bisa dipastikan kebanyakan dari mereka menjadi pekerja ulang-alik.

Adapun lapangan usaha pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan


perikanan sendiri masih menjadi tumpuan hidup mayoritas penduduk

.id
perdesaan. Hal ini terlihat dari persentase pekerja yang bekerja pada

o
.g
lapangan usaha tersebut, yang pada tahun 2017 mencapai 36,88 persen.
ps
Namun demikian, besaran persentasenya sudah mengalami penurunan
b
dibandingkan tahun sebelumnya. Patut diduga, penurunan ini terjadi karena
n.

sebagian dari mereka beralih pekerjaan ke lapangan usaha transportasi,


e
nt

pergudangan dan komunikasi serta lapangan usaha industri pengolahan.


a
//b

Selain lapangan usaha, penduduk yang bekerja juga bisa diamati menurut
s:

status pekerjaan utamanya. Status pekerjaan utama ini, selanjutnya


tp

digunakan sebagai pendekatan untuk menyusun dua kelompok kegiatan


ht

ekonomi, yakni formal dan informal. Kegiatan ekonomi formal terdiri dari
mereka yang berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar dan mereka yang
berstatus buruh/karyawan/pegawai. Adapun sisanya, digolongkan ke dalam
kegiatan informal.

Berdasarkan data yang ada pada Tabel 4.3, terlihat bahwa mayoritas pekerja
di Banten bekerja pada sektor ekonomi formal. Hanya saja, persentasenya
mengalami penurunan dari 61,51 persen di tahun 2016 menjadi 58,07 pada
tahun 2017. Kondisi yang demikian ini, setidaknya dapat menjadi penanda
adanya pelemahan pada kegiatan ekonomi formal.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 67


Bab IV Ketenagakerjaan

Melemahnya kegiatan ekonomi formal ini, lebih dipengaruhi oleh turunnya


persentase pekerja yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai (Tabel
4.3). Ada kemungkinan hal ini disebabkan oleh melemahnya kegiatan usaha
perdagangan, akomodasi dan rumah makan, yang ditandai oleh turunnya
persentase pekerja pada lapangan usaha tersebut (Tabel 4.2).

Tabel 4.3.

Persentase Penduduk yang Bekerja


Menurut Status Pekerjaan Utama dan Daerah Tempat Tinggal,

.id
Tahun 2016-2017

o
.g
2016 2017
Status Pekerjaan Utama
ps
b
Kota+ Kota+
Kota Desa Kota Desa
n.

Desa Desa
e

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


nt

1. Formal 70,69 38,50 61,51 67,48 34,48 58,07


a
//b

a. Buruh/Karyawan/
65,74 34,97 56,97 64,65 32,20 55,39
Pegawai
s:
tp

b. Berusaha Dibantu
Buruh Tetap/Buruh 4,95 3,53 4,54 2,83 2,28 2,67
ht

Dibayar

2. Informal 29,31 61,50 38,49 32,52 65,52 41,93

a. Berusaha Sendiri 11,37 17,20 13,03 17,61 19,27 18,08

b. Berusaha Dibantu
Buruh Tidak Tetap/
5,24 15,78 8,25 4,71 14,60 7,53
Pekerja Keluarga/
Pekerja Tidak Dibayar

c. Pekerja Bebas 7,06 18,73 10,39 6,16 22,25 10,75

d. Pekerja Keluarga/
5,64 9,78 6,82 4,04 9,40 5,57
Pekerja Tidak Dibayar

Sumber : BPS Provinsi Banten

68 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Ketenagakerjaan Bab IV

Sebaliknya, kegiatan ekonomi informal berkembang pesat. Penyebabnya,


terutama adalah meningkatnya usaha mikro, yang dikelola oleh hanya
seorang pengusaha yang merangkap sebagai pekerja. Hal ini terlihat dari
naiknya persentase pengusaha yang berusaha sendiri, yaitu dari 13,03
persen menjadi 18,08 persen.

Kegiatan ekonomi informal sesungguhnya berkembang pesat di daerah


perkotaan. Namun demikian, pengusaha maupun pekerjanya banyak juga
yang berasal dari daerah perdesaan. Itulah yang menjadi penyebab,
mengapa pekerja sektor informal sangat dominan daerah perdesaan.

.id
Pengusaha dan pekerja sektor informal dari daerah perdesaan, biasanya

o
.g
bekerja di jasa angkutan darat, pedagang kaki lima dan jasa perorangan
di daerah perkotaan.
b ps
e n.
nt

Jumlah Jam Kerja


a
//b

Dalam mengukur tingkat produktivitas tenaga kerja dapat dilakukan dengan


s:

berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan pendekatan jumlah jam


tp

kerja. Penggunaan pendekatan ini dilakukan dengan asumsi bahwa semakin


ht

lama jumlah jam kerja yang digunakan untuk bekerja, akan semakin banyak
jumlah barang/jasa yang dihasilkan. Dengan kata lain, pekerjanya akan
semakin produktif.

Berdasarkan lama jam kerja pula, penduduk yang bekerja dapat digolongkan
menjadi tiga kategori, yaitu sementara tidak bekerja, setengah penganggur
dan pekerja penuh. Yang dimaksud sementara tidak bekerja adalah pekerja
yang memiliki pekerjaan, namun selama seminggu terakhir sedang tidak
bekerja. Setengah menganggur adalah penduduk yang bekerja selama
seminggu yang lalu, namun memiliki jumlah jam kerja kurang dari 35 jam.
Adapun pekerja penuh ialah penduduk yang bekerja selama seminggu yang
lalu, dengan jumlah jam kerja minimal 35 jam.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 69


Bab IV Ketenagakerjaan

Terkait asumsi tingkat produktivitas yang bergantung kepada lamanya jam


kerja, dapat dikatakan bahwa setengah penganggur akan memiliki tingkat
produktivitas yang lebih rendah dibandingkan pekerja penuh.

Tabel 4.4.

Persentase Penduduk yang Bekerja


Menurut Kategorisasi Lama Jam Kerja dan Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2016-2017

.id
2016 2017

o
Kategori Pekerja
Kota+ Kota+

.g
Kota Desa Kota Desa
Desa Desa
(1) (2) (3) ps
(4)
b
(5) (6) (7)

Sementara Tidak Bekerja 1,34 2,11 1,56 1,00 1,51 1,14


e n.

Setengah Penganggur 13,58 30,49 18,41 13,43 26,02 17,02


a nt

Pekerja Penuh 85,08 67,40 80,04 85,58 72,46 81,84


//b
s:

Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00


tp

Sumber : BPS Provinsi Banten


ht

Tabel 4.4, menyajikan persentase penduduk yang bekerja menurut


kategorisasi lama jam kerja dan daerah tempat tinggal. Terlihat bahwa
persentase pekerja berkategori setengah penganggur menurun dari 18,41
persen di tahun 2016 menjadi 17,02 persen pada tahun 2017. Penurunannya
ini dengan sendirinya menaikkan persentase pekerja penuh. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa produktivitas pekerja di Banten, secara
umum mengalami peningkatan dengan bertambahnya persentase pekerja
penuh. Terlebih lagi, persentase pekerja penuh sangat besar sehingga
mendominasi struktur pekerja di Banten.

70 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Ketenagakerjaan Bab IV

Diamati menurut daerah tempat tinggal, pekerja berkategori setengah


penganggur banyak dijumpai di daerah perdesaan. Hal ini dapat dipahami,
mengingat lapangan pekerjaan sebagian besar di pedesaan adalah pertanian
tanaman pangan, yang tidak terlalu banyak menggunakan waktu. Adapun
penurunan persentasenya terjadi seiring dengan semakin ditinggalkannya
lapangan usaha pertanian tersebut.

o .id
.g
b ps
e n.
a nt
//b
s:
tp
ht

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 71


ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
o.id
.g
ps
b
e n.
nt
a
//b
s:
tp
ht

BAB V
TARAF DAN
POLA KONSUMSI
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
Taraf dan Pola
V Konsumsi

Pola konsumsi adalah susunan kebutuhan seseorang terhadap barang dan


jasa yang akan dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Setiap orang
memiliki pola konsumsi masing-masing, yang berbeda satu sama lainnya.

.id
Perbedaan pola konsumsi ini dipengaruhi oleh besar-kecilnya pendapatan,

o
.g
tingkat pendidikan atau pengetahuan, jenis pekerjaan, harga barang dan
ps
jasa, dan selera yang sedang berkembang di tengah masyarakat.
b
n.

Pola konsumsi juga dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya dan lingkungan
e

tempat tinggal. Hal ini karena, kondisi tersebut akan membentuk pola
nt

kebiasaaan tertentu pada suatu kelompok masyarakat. Akibatnya, pola


a
//b

konsumsi antar kelompok masyarakat juga dapat berbeda.


s:
tp

Betapapun juga, dalam berkonsumsi, setiap orang atau masyarakat pada


ht

umumnya akan mendahulukan barang kebutuhan pokok, baru kemudian


memenuhi kebutuhan lainnya.

Pengeluaran Penduduk

Pola konsumsi atau pengeluaran penduduk, secara garis besar dibedakan


menurut kelompok makanan dan bukan makanan. Pola pengeluaran ini akan
berubah, seiring dengan perubahan yang terjadi pada pendapatan. Semakin
tinggi pendapatan, proporsi pengeluaran untuk makanan akan menurun,
sedangkan pengeluaran bukan makanan akan meningkat.

Pergeseran pola pengeluaran tersebut, dapat terjadi karena elastisitas


pendapatan terhadap makanan cukup rendah, sebaliknya terhadap bukan

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 75


Bab V Taraf dan Pola Konsumsi

makanan sangat tinggi. Oleh karena itu, kelebihan pendapatan akibat


naiknya pendapatan ini, biasanya akan lebih banyak digunakan untuk
konsumsi bukan makanan, daripada untuk makanan.

Perubahan pola pengeluaran akibat naiknya pendapatan ini, sebenarnya


sudah sejak lama diformulasikan dalam bentuk “Hukum Engel” oleh Ernst
Engel (1821-1896). Menurut Engel, bila tidak ada perubahan selera maka
dengan meningkatnya pendapatan, proporsi pengeluaran makanan akan
menurun, sebaliknya proporsi pengeluaran bukan makanan akan meningkat.

.id
Dengan demikian, proporsi pengeluaran untuk konsumi makanan dapat

o
digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengetahui adanya perubahan

.g
tingkat kesejahteraan masyarakat.
b ps
n.

Gambar 5.1.
e
nt

Rata-Rata Pengeluaran per Kapita Sebulan dan


a

Proporsi Pengeluaran Untuk Konsumsi Makanan per Kapita,


//b

Tahun 2012-2016
s:
tp
ht

52 1,5
1,20
1,12 1,2
50 1,02
0,87
0,9
48 0,93
0,75 0,88 0,89
0,79
0,6

46
0,3
49,68 50,29
47,31 47,68 45,43
44 0,0
2012 2013 2014 2015 2016

Proporsi Pengeluaran Untuk Makanan (Persen)


Pengeluaran per Kapita (Juta Rupiah)
Pengeluaran per Kapita Riil (Juta Rupiah, 2012=100)

Sumber : Susenas 2012-2016 (data diolah)

76 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Taraf dan Pola Konsumsi Bab V

Sayangnya, proporsi pengeluaran makanan rata-rata penduduk Banten,


selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan (Gambar 5.1). Pada
periode 2012-2014, proporsi pengeluaran makanannya cenderung menurun
dari 47,31 persen menjadi 45,43 persen. Sementara pada periode 2014-
2016, proporsinya terus meningkat hingga mencapai 50,29 persen. Namun
demikian, angka proporsi tahun 2016 tersebut, masih lebih rendah
dibandingkan Indonesia yang mencapai 51,61 persen.

Meningkatnya proporsi pengeluaran makanan di atas, belum dapat dikatakan


sebagai petunjuk bagi menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal ini

.id
karena, pada saat bersamaan rata-rata pengeluaran per kapita sebulan

o
.g
penduduk Banten, meningkat hingga mencapai 1,20 juta rupiah pada tahun
ps
2016. Selain itu, angka pengeluaran per kapitanya juga masih di atas rata-
b
rata Nasional yang hanya 1,02 juta rupiah. Lebih-lebih, pengeluaran per
n.

kapita riil sebulan penduduk Banten juga mengalami kenaikan dari 0,75 juta
e
nt

rupiah di tahun 2012 menjadi 0,93 juta rupiah pada tahun 2016.
a
//b

Dilihat menurut kelompok pengeluaran (Tabel 5.1), rata-rata pengeluaran


s:

per kapita sebulan penduduk Banten mengalami kenaikan pada hampir


tp

semua kelompok pengeluaran. Kenaikan terbesar terjadi pada komoditas


ht

bahan makanan yang bertambah 46 ribu rupiah hingga mencapai 314 ribu
rupiah pada tahun 2016. Sementara yang paling sedikit adalah komoditas
makanan/minuman jadi dan rokok, yang naik dari 289 ribu rupiah menjadi
292 ribu rupiah pada tahun 2016. Adapun barang tahan lama, menjadi satu-
satunya komoditas yang pengeluaran per kapitanya mengalami penurunan.

Diamati menurut proporsinya, terlihat ada pergeseran pada pola pengeluaran


penduduk Banten. Pada tahun 2015, tiga komoditas dengan urutan
pengeluaran per kapita terbesar adalah perumahan, makanan/minuman jadi
dan rokok, dan bahan makanan. Adapun pada tahun 2016, ketiga komoditas
ini bertukar posisi sehingga urutan terbesarnya berubah menjadi bahan
makanan, perumahan serta makanan/minuman jadi dan rokok.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 77


Bab V Taraf dan Pola Konsumsi

Tabel 5.1.

Rata-Rata Pengeluaran per Kapita Menurut Kelompok Pengeluaran,


Tahun 2015-2016

Nominal (Rupiah) Proporsi (Persen)


Kelompok Pengeluaran
2015 2016 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (6)

1. Makanan 557.178 605.531 49,68 50,29

.id
a. Bahan Makanan 268.029 313.693 23,90 26,05

o
b. Makanan/Minuman Jadi

.g
289.149 291.838 25,78 24,24
dan Rokok

2. Bukan Makanan 564.327


ps
598.634
b
50,32 49,71
n.

a. Perumahan 292.362 313.358 26,07 26,02


e
nt

b. Barang dan Jasa 146.133 161.035 13,03 13,37


a
//b

c. Pakaian 30.143 32.979 2,69 2,74


s:
tp

d. Barang Tahan Lama 57.663 41.417 5,14 3,44


ht

e. Lainnya 38.026 49.845 3,39 4,14

3. Makanan+Bukan Makanan 1.121.505 1.204.165 100,00 100,00

Sumber : Susenas 2015-2016

Meningkatnya proporsi pengeluaran makanan penduduk Banten, juga terjadi


pada semua daerah tempat tinggal. Hanya saja untuk daerah perdesaan,
peningkatannya sedikit lebih besar. Selain itu, proporsi pengeluaran
makanannya juga sangat tinggi, yakni sekitar 64 persen dari total
pengeluaran. Dengan demikian, ada selisih 17 persen poin dengan proporsi
pengeluaran makanan di daerah perkotaan (Tabel 5.2).

78 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Taraf dan Pola Konsumsi Bab V

Tingginya proporsi pengeluaran makanan di daerah perdesaan tersebut,


mudah dipahami. Hal ini karena, setiap orang atau rumahtangga
berpendapatan rendah, biasanya akan memprioritaskan pengeluaran untuk
kebutuhan pokoknya, yang dalam hal ini adalah makanan. Rata-rata
penduduk perdesaan sendiri memang memiliki pendapatan yang rendah,
setidaknya bila dibandingkan dengan penduduk perkotaan.

Tabel 5.2.

Komposisi Rata-Rata Pengeluaran per Kapita

.id
Menurut Kelompok Pengeluaran dan Daerah Tempat Tinggal,

o
Tahun 2015-2016 (Persen)

.g
b ps
Perkotaan Perdesaan
Kelompok Pengeluaran
n.

2015 2016 2015 2016


e
nt

(1) (2) (3) (4) (6)


a
//b

1. Makanan 46,67 47,05 61,75 63,88


s:

a. Bahan Makanan 21,70 23,70 32,69 35,91


tp

b. Makanan/Minuman Jadi
ht

24,97 23,35 29,06 27,97


dan Rokok

2. Bukan Makanan 53,33 52,95 38,25 36,12

a. Perumahan 27,19 27,24 21,56 20,91

b. Barang dan Jasa 14,03 14,63 9,02 8,08

c. Pakaian 2,67 2,74 2,77 2,73

d. Barang Tahan Lama 5,86 3,84 2,27 1,77

e. Lainnya 3,58 4,50 2,64 2,63

3. Makanan+Bukan Makanan 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber : Susenas 2015-2016

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 79


Bab V Taraf dan Pola Konsumsi

Ketimpangan Pendapatan

Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan harus berujung pada naiknya


tingkat kesejahteraan seluruh masyarakat. Berarti, bukan hanya pendapatan
saja yang meningkat, ketimpangan pendapatan antar penduduk atau antar
kelompok masyarakat juga harus berhasil diturunkan. Bila tidak berhasil
diturunkan, pasti akan menimbulkan berbagai masalah sosial di tengah-
tengah masyarakat.

Untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan haruslah menggunakan

.id
data pendapatan. Sayangnya data pendapatan tidak tersedia di Indonesia,

o
karena itu pengukurannya menggunakan data pengeluaran sebagai proksi

.g
ps
dari pendapatan. Penggunaan data pengeluaran ini menyebabkan angka
b
ketimpangan yang dihasilkan menjadi bias ke bawah. Namun demikian,
n.

angka ketimpangannya tetap dapat digunakan sebagai arah untuk melihat


e
nt

perkembangan yang terjadi.


a
//b

Salah satu indikator yang umum digunakan untuk mengukur tingkat


s:

ketimpangan pendapatan antar penduduk adalah Indeks Gini. Nilai Indeks


tp

Gini berkisar antara 0 hingga 1. Angka Indeks Gini bernilai 0, menunjukkan


ht

adanya pemerataan pendapatan yang sempurna, atau setiap (kelompok)


orang memiliki pendapatan yang sama. Sementara bila bernilai 1,
menunjukkan ketimpangan yang sempurna, atau satu (kelompok) orang
memiliki segalanya, sedangkan yang lain tidak memiliki apa-apa.

Selain Indeks Gini, indikator lainnya adalah tingkat ketimpangan pendapatan


antar penduduk menurut kriteria Bank Dunia. Tingkat ketimpangan
pendapatan ini dibentuk dengan mengacu kepada proporsi pendapatan dari
40 persen penduduk berpendapatan rendah. Adapun penggolongannya
mengikuti aturan sebagai berikut :

a. Memperoleh < 12 persen, maka tingkat ketimpangan pendapatan


dianggap tinggi,

80 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Taraf dan Pola Konsumsi Bab V

b. Memperoleh 12-17 persen, maka tingkat ketimpangan pendapatan


dianggap sedang,

c. Memperoleh > 17 persen, maka tingkat ketimpangan pendapatan


dianggap rendah.

Berdasarkan data yang ada pada Tabel 5.3, terlihat bahwa Indeks Gini
selama lima tahun terakhir ini berfluktuasi. Pada periode 2012-2014,
besarannya terus meningkat dari 0,38 menjadi 0,42. Sebaliknya pada periode
2014-2016, menurun hingga mencapai 0,39. Berarti, tingkat ketimpangan

.id
pendapatan antar penduduk di Banten selama periode tersebut cenderung

o
.g
mengalami penurunan.
b ps
Tabel 5.3.
en.

Distribusi Persentase Pengeluaran Penduduk Kriteria Bank Dunia dan


nt

Indeks Gini, Tahun 2012-2016 (Persen)


a
//b

Kelompok Pengeluaran
s:
tp

Tahun Indeks Gini


40% 40% 20%
ht

Terendah Menengah Tertinggi


(1) (2) (3) (4) (5)

2012 17,91 36,31 45,78 0,38

2013 17,92 36,12 45,96 0,39

2014 16,06 34,08 49,86 0,42

2015 18,41 34,63 46,95 0,39

2016 17,41 36,08 46,51 0,39

Sumber : Susenas 2012-2016

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 81


Bab V Taraf dan Pola Konsumsi

Sementara itu proporsi pengeluaran dari 40 persen penduduk berpendapatan


rendah pada periode 2012-2016 juga berfluktuasi. Meskipun demikian, pada
akhirnya menurun dari 17,91 persen menjadi 17,41 persen (Tabel 5.3).
Berdasarkan angka proporsi ini, bila mengacu pada kriteria Bank Dunia,
maka ketimpangan pendapatan antar penduduk di Banten selama periode
tersebut, dapat dikatakan cenderung tidak mengalami perubahan. Dalam hal
ini, ketimpangannya masih termasuk dalam kategori “Rendah”.

Tabel 5.4.

.id
Distribusi Persentase Pengeluaran Penduduk Kriteria Bank Dunia dan

o
Indeks Gini Menurut Daerah Tempat Tinggal,

.g
Tahun 2015-2016b ps
n.

Kelompok Pengeluaran
e

Daerah Tempat
Indeks Gini
nt

Tinggal 40% 40% 20%


a

Terendah Menengah Tertinggi


//b

(1) (2) (3) (4) (6)


s:

A. Perkotaan
tp
ht

2015 15,41 35,02 49,56 0,39

2016 15,41 34,62 49,97 0,40

B. Perdesaan

2015 24,47 38,73 36,80 0,26

2016 23,81 41,76 34,44 0,25

Sumber : Susenas 2015-2016

Diamati menurut daerah tempat tinggal, terlihat bahwa distribusi pendapatan


antar penduduk di daerah perdesaan relatif lebih merata dibandingkan
daerah perkotaan. Hal ini dapat diketahui dari besaran Indeks Gininya yang

82 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Taraf dan Pola Konsumsi Bab V

selalu berada di bawah Indeks Gini daerah perkotaan. Angka Indeks Gini
daerah perdesaan sendiri pada tahun 2016 mencapai 0,25, sedangkan di
perkotaan sebesar 0,40 (Tabel 5.4).

Tingkat ketimpangan pendapatan di daerah perdesan juga termasuk dalam


kategori “Rendah”, Sedangkan di daerah perkotaan berada dalam kategori
“Sedang”. Perbedaan kategori ketimpangan antara kedua daerah tempat
tinggal tersebut, dapat diketahui dari proporsi pengeluaran 40 persen
penduduk berpendapatan rendah, yang pada tahun 2016 masing-masing
sebesar 23,81 persen dan 15,41 persen.

o .id
.g
Konsumsi Energi dan Protein
b ps
n.

Tingkat kecukupan gizi yang mencakup konsumsi kalori dan protein


e

merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur


nt

tingkat kesejahteraan penduduk. Jumlah konsumsi kalori dan protein


a
//b

dihitung berdasarkan jumlah dari hasil kali antara kuantitas setiap makanan
s:

yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein dalam


tp

masing-masing makanan tersebut.


ht

Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan adalah suatu kecukupan rata-
rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis
kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas tubuh, untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 75 Tahun 2013 (Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi XI tahun
2012), rata-rata kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia
masing-masing sebesar 2.150 kkal dan 57 gram protein.

Gambar 5.2 menyajikan rata-rata konsumsi kalori dan protein per kapita
sehari penduduk Banten. Terlihat bahwa rata-rata konsumsi kalorinya
cenderung meningkat. Pada periode 2012-2014, rata-rata konsumsi kalori
per kapita sehari terus menurun dari 1.980 kkal menjadi 1.884 kkal.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 83


Bab V Taraf dan Pola Konsumsi

Sementara pada periode 2014-2016, meningkat hingga mencapai 2.173 kkal.


Dengan demikian, angka konsumsi kalori ini sudah berada di atas batas
kecukupan energi yang telah ditetapkan. Selain itu, juga lebih tinggi
dibandingkan rata-rata Indonesia yang hanya 2.101 kkal.

Pada saat bersamaan, rata-rata konsumsi protein per kapita sehari penduduk
Banten juga mengalami kenaikan hingga menjadi 64,5 gram. Berarti, sudah
melebihi batas kecukupan protein yang telah ditentukan. Disamping itu, rata-
rata konsumsi protein ini berada di atas rata-rata Nasional yang hanya
sebanyak 61,2 gram.

o .id
.g
Gambar 5.2.
ps
Rata-Rata Konsumsi Kalori (Kkal) dan Protein (Gram) per Kapita Sehari,
b
Tahun 2012-2016
e n.
a nt

2.200 80
//b

Kalori Protein
64,5
s:

59,4 59,3
2.000 57,7 56,0 60
tp
ht

2.173

1.800 40
2.041

1.980
1.600 20
1.919
1.884

1.400 0
2012 2013 2014 2015 2016

Sumber : Susenas 2012-2016 (data diolah)

Berdasarkan naiknya rata-rata konsumsi kalori dan protein per kapita sehari
ini, dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk Banten memang
sudah mengalami peningkatan. Lebih-lebih, kedua jenis konsumsi tersebut

84 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Taraf dan Pola Konsumsi Bab V

telah melebihi batas kecukupan energi dan protein yang ditetapkan melalui
keputusan Menteri Kesehatan RI pada tahun 2013.

Tabel 5.5.

Rata-Rata Konsumsi Kalori (Kkal) dan Protein (Gram) per Kapita Sehari
Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016

Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan

.id
Jenis Konsumsi
2015 2016 2015 2016 2015 2016

o
.g
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

A.Kalori 2.052 2.153


b ps2.018 2.219 2.041 2.173
n.

B. Protein 62,1 65,7 53,4 64,6 59,3 64,5


e
nt

1. Nabati 45,6 45,8 42,5 45,3 44,6 45,7


a
//b

2. Hewani 16,5 19,9 11,0 16,4 14,8 18,8


s:

a. Ikan 7,3 8,6 7,3 9,4 7,3 8,8


tp
ht

b. Daging 4,7 7,2 1,5 5,0 3,7 6,5

c. Telur dan Susu 4,5 4,2 2,2 2,0 3,8 3,5

Sumber : Susenas 2015-2016

Diamati menurut daerah tempat tinggal (Tabel 5.5), meningkatnya konsumsi


kalori penduduk Banten terjadi pada semua daerah. Hanya saja untuk daerah
perdesaan, peningkatannya jauh lebih besar dibandingkan daerah perkotaan.
Akibatnya, rata-rata konsumsi kalori per kapita sehari penduduknya lebih
besar dari konsumsi kalori penduduk daerah perkotaan.

Demikian pula dengan konsumsi protein penduduk Banten, yang juga terjadi
pada semua daerah tempat tinggal. Peningkatan konsumsi protein untuk

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 85


Bab V Taraf dan Pola Konsumsi

daerah perdesaan juga lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Hanya


saja, rata-rata konsumsi protein per kapita sehari penduduknya lebih sedikit
dari konsumsi protein penduduk daerah perkotaan.

Peningkatan konsumsi protein ini, ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh


meningkatnya konsumsi protein hewani. Sementara peningkatan konsumsi
protein hewani disebabkan oleh meningkatnya konsumsi ikan dan daging.
Adapun tingkat konsumsi telur dan susu per kapita seharinya, justru
mengalami penurunan.

.id
Tingkat konsumsi daging serta telur dan susu per kapita sehari penduduk

o
daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan penduduk daerah perdesaan.

.g
ps
Sebaliknya untuk ikan, tingkat konsumsi per kapita seharinya lebih rendah
dari tingkat konsumsi penduduk daerah perdesaan.
b
e n.

Sementara itu tingkat konsumi ikan, daging, serta telur dan susu, per kapita
nt

sehari penduduk Banten ternyata masih di atas rata-rata Nasional. Hal ini
a
//b

setidaknya dapat diketahui dari tingkat konsumsi protein yang berasal dari
s:

ketiga sumber protein hewani ini. Rata-rata konsumsi protein penduduk


tp

Banten sendiri, untuk ketiga sumber protein tersebut, pada tahun 2016
ht

masing-masing mencapai 8,8 gram, 6,5 gram dan 3,5 gram per kapita
sehari. Adapun untuk Indonesia, rata-rata hanya sebesar 8,2 gram, 5,7 gram
dan 3,1 gram per kapita sehari.

86 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id

BAB VI
PERUMAHAN
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
VI Perumahan

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, setelah pangan dan
sandang. Rumah berfungsi sebagai sarana pengamanan dan pemberi
ketentraman hidup. Rumah mempunyai pengaruh terhadap pembinaan

.id
watak dalam kepribadian. Selain itu, rumah juga mempunyai fungsi strategis

o
.g
sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, dan peningkatan
ps
kualitas generasi yang akan datang. Oleh karena itu, rumah menjadi faktor
b
penting yang mempengaruhi produktivitas dan kreativitas kerja orang-orang
n.

yang tinggal di dalamnya.


e
a nt

Secara umum, rumah dapat diartikan sebagai bangunan yang selama jangka
//b

waktu tertentu, dijadikan tempat tinggal. Adapun dalam arti khusus, istilah
s:

rumah mengacu pada konsep-konsep sosial kemasyarakatan, yang terjalin di


tp

dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, hidup, makan, tidur,


ht

beraktivitas, dan lain-lain (id.wikipedia.com).

Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman


sebagai pengganti dari Undang-Undang No. 4 tahun 1992, mencantumkan
bahwa salah satu tujuan diselenggarakannya perumahan dan kawasan
permukiman yaitu untuk menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan
terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana,
terpadu, dan berkelanjutan. Definisi perumahan itu sendiri merupakan
kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun
perdesaan yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan fasilitas umum
sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 89


Bab VI Perumahan

Rumah yang layak huni adalah rumah sehat, dalam hal ini harus memenuhi
standar kesehatan, agar penghuni rumah dapat terjamin kesehatannya.
Menurut Kemenkes RI (2002), rumah harus memenuhi empat kriteria agar
bisa dikatakan sehat, yaitu: Pertama, dapat memenuhi kebutuhan fisiologis
yang dalam hal ini adalah pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang
cukup, terhindar dari kebisingan yang menggangu. Kedua, dapat memenuhi
kebutuhan psikologis, yaitu privasi yang cukup, komunikasi yang sehat antar
anggota keluarga dan penghuni rumah.

Ketiga, memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antara

.id
penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah

o
.g
rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak
ps
berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman
b
dari pencemaran. Keempat, memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya
n.

kecelakaan baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah.
e
a nt

Selain sebagai tempat tinggal, rumah juga dapat menunjukkan status sosial
//b

pemiliknya. Hal ini karena, status sosial seseorang berhubungan positif


s:

dengan kualitas atau kondisi rumah yang dihuni atau dimilikinya. Semakin
tp

tinggi status sosial seseorang, semakin besar peluang untuk memenuhi


ht

kebutuhan akan tempat tinggal dengan kualitas yang lebih baik.

Kualitas Rumah Tinggal

Kualitas rumah tinggal yang baik atau layak huni, pasti akan membuat
penghuninya merasa aman, terlindung dan terjamin kesehatannya. Ada
beberapa indikator yang dapat menunjukkan kualitas rumah tinggal layak
huni, yaitu jenis lantai rumah bukan dari tanah, atap dari beton/genteng/
sirap/seng/asbes dan dinding tembok atau kayu.

Lantai rumah harus kuat untuk menahan beban diatasnya, tidak licin, stabil
waktu dipijak, dan mudah dibersihkan. Bila musim hujan, lantai juga tidak

90 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Perumahan Bab VI

boleh lembab, karena dapat menimbulkan gangguan/penyakit terhadap


penghuninya. Agar tidak lembab, lantai rumah perlu dilapisi dengan lapisan
yang kedap air, seperti marmer, keramik, ubin dan lapisan anti lembab
lainnya. Dengan demikian, salah satu ciri rumah layak huni itu adalah bukan
berlantai tanah.

Gambar 6.1.

Persentase Rumahtangga yang Menempati Rumah dengan Lantai Terluas


Bukan Tanah Menurut Daerah Tempat Tinggal,

.id
Tahun 2015-2016

o
.g
100
b ps
n.

98 97,8 2015 2016


e

96,92
nt

96,42
96,12
a

96
//b

94,39
s:

94
93,3
tp
ht

92

90
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan

Sumber : Susenas 2015-2016 (data diolah)

Berdasarkan hasil Susenas (Gambar 6.1), terlihat bahwa hampir semua


rumahtangga yang ada di Banten sudah menempati rumah yang bercirikan
layak huni. Kondisi ini ditandai oleh persentase rumahtangga yang
menempati rumah dengan lantai terluas bukan tanah, yang pada tahun 2016
mencapai 96,42 persen. Selain itu, persentasenya juga bukan hanya
meningkat dari tahun sebelumnya, bahkan lebih tinggi dari rata-rata Nasional

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 91


Bab VI Perumahan

yang sebesar 93,71 persen. Sayangnya untuk daerah perdesaan, persentase


tersebut justru mengalami penurunan. Akibatnya, besaran persentasenya
menjadi semakin lebih rendah dibandingkan daerah perkotaan.

Selain lantai, atap rumah juga mempengaruhi kualitas rumah layak huni.
Atap yang baik harus mampu melindungi rumah dari perubahan cuaca, baik
panas dan hujan, maupun petir, angin, debu, dan sebagainya. Adapun atap
yang layak menurut kriteria ini adalah atap yang terbuat dari beton, genteng,
sirap, seng, dan asbes.

.id
Gambar 6.2.

o
.g
Persentase Rumahtangga yang Menempati Rumah dengan Atap Terluas
ps
dari Beton/Genteng/Sirep/Seng Menurut Daerah Tempat Tinggal,
b
Tahun 2015-2016
e n.
a nt

100 99,64 99,70


//b

98,80
2015 2016
s:

98 97,93
tp

96,76
ht

96

94,22
94

92

90
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan

Sumber : Susenas 2015-2016 (data diolah)

Sama seperti lantai terluas, hampir semua rumahtangga di Banten juga


sudah menempati rumah dengan ciri-ciri layak huni, yaitu memiliki atap
terluas dari beton/genteng/asbes/seng/sirep (Gambar 6.2). Persentasenya

92 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Perumahan Bab VI

pada tahun 2016 juga meningkat dari tahun sebelumnya. Selain itu, besaran
persentasenya pun lebih tinggi dibandingkan rata-rata Nasional yang
mencapai 98,26 persen. Peningkatan persentasenya juga terjadi pada semua
daerah tempat tinggal. Meskipun demikian, persentase rumahtangga di
daerah perdesaan yang menempati rumah dengan atap terluas dari jenis
tersebut, tetap di bawah rumahtangga di daerah perkotaan.

Gambar 6.3.

Persentase Rumahtangga yang Menempati Rumah dengan Dinding Terluas

.id
dari Tembok dan Kayu Menurut Daerah Tempat Tinggal,

o
Tahun 2015-2016

.g
b ps
100
n.

96,02
94,83
e

2015 2016
nt

90 88,76
86,88
a
//b

80
s:

72,30
tp

70 69,62
ht

60

50
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan

Sumber : Susenas 2015-2016 (data diolah)

Selain lantai dan atap, dnding rumah juga turut mempengaruhi kualitas
rumah layak huni. Dinding yang baik, harus tegak lurus agar dapat memikul
berat dinding sendiri dan beban tekanan angin, serta mampu memikul beban
di atasnya. Dinding harus dipisahkan dari pondasi, oleh lapisan kedap air.
Pelapisan ini dimaksudkan agar air tanah tidak meresap naik, sehingga

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 93


Bab VI Perumahan

dinding terhindar dari basah, lembab, tampak bersih dan tidak berlumut.
Adapun jenis dinding yang layak menurut kriteria ini, hanyalah yang
menggunakan tembok dan kayu.

Berdasarkan hasil Susenas (Gambar 6.3), sebagian besar rumahtangga di


Banten terlihat sudah menempati rumah bercirikan layak huni, yakni memiliki
dinding terluas dari tembok atau kayu. Hal ini ditandai dengan proporsinya
yang pada tahun 2016 mencapai 88,76 persen, atau meningkat dibandingkan
tahun sebelumnya. Hanya saja, besaran persentasenya masih lebih rendah
dari rata-rata Nasional yang sebesar 91,64 persen.

o .id
Diamati menurut daerah tempat tinggal, peningkatan rumahtangga yang

.g
ps
menempati rumah dengan dinding terluas dari tembok atau kayu ini, terjadi
pada semua daerah tempat tinggal. Namun demikian, besaran persentase
b
n.

untuk rumahtangga di daerah perdesaan, lebih rendah dibandingkan


e

rumahtangga di daerah perkotaan.


a nt
//b

Selain dilihat dari kualitas rumah, rumah yang layak huni atau rumah sehat
s:

harus mampu memberikan privasi kepada para penghuninya. Pemberian


tp

privasi ini didekati dengan luas lantai per kapita. Ada beberapa batasan
ht

minimal luas lantai per kapita, salah satunya dari Badan Kesehatan Dunia
(WHO), yang menyatakan bahwa rumah sehat adalah rumah tinggal yang
memiliki luas lantai per orang minimal 10 meter persegi (BPS, 2001).

Menurut hasil Susenas yang disajikan pada Gambar 6.4, sebagian besar
rumahtangga di Banten terlihat sudah menempati rumah dengan ciri-ciri
layak huni, yaitu memiliki luas lantas per kapita minimal 10 meter persegi.
Hanya saja, persentasenya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015
yang sebesar 78,32 persen. Selain itu, juga lebih rendah dari rata-rata
Nasional yang mencapai 78,81 persen.

Diamati menurut daerah tempat tinggal, penurunan rumahtangga yang


menempati rumah dengan luas lantas per kapita minimal 10 meter persegi

94 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Perumahan Bab VI

ini, terjadi pada semua daerah tempat tinggal. Namun demikian, persentase
penurunan untuk daerah perkotaan, lebih tinggi dibandingkan daerah
perdesaan. Akibatnya, besaran persentasenya menjadi semakin lebih rendah
dari daerah perdesaan.

Gambar 6.4.

Persentase Rumahtangga yang Menempati Rumah dengan Luas Lantai


per Kapita Minimal 10 M2 Persegi Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016

o .id
.g
82
b 2015 ps 2016

79
n.

78,26 78,45 78,32


77,69
e

76,75 77,03
nt

76
a
//b
s:

73
tp
ht

70
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan

Sumber : Susenas 2015-2016 (data diolah)

Fasilitas Rumah Tinggal

Fasilitas rumah tinggal yang lengkap, sudah tentu akan menambah


kenyamanan dan memberikan kemudahan dalam beraktifitas, serta
meningkatkan derajat kesehatan penghuninya. Yang termasuk dalam
kelengkapan fasilitas ini adalah tersedianya air minum bersih, sanitasi yang
layak, serta penerangan yang baik.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 95


Bab VI Perumahan

Air minum bersih merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam


kehidupan rumahtangga sehari-hari. Ketersediaan dalam jumlah yang cukup,
terutama untuk keperluan minum dan masak merupakan tujuan dari
program penyediaan air bersih yang terus menerus diupayakan pemerintah.

Air minum bersih sendiri didefinisikan sebagai air yang bersumber dari air
kemasan, air isi ulang dan air ledeng. Termasuk juga air minum bersih
adalah air dari sumur bor/ pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung,
yang jarak ke tempat penampungan kotoran tinja minimal 10 meter.

.id
Besarnya persentase rumah tangga yang menggunakan air minum bersih

o
pada tahun 2016 sebesar 68,78 persen, atau menurun dibandingkan tahun

.g
ps
sebelumnya (Tabel 6.1). Selain itu, persentasenya juga lebih rendah dari
rata-rata Nasional yang mencapai 70,63 persen.
b
e n.

Disamping itu, ada perbedaan yang sangat besar dalam hal penggunaan air
nt

minum bersih menurut daerah tempat tinggal. Penggunaannya di daerah


a
//b

perkotaan sudah mencapai 79,14 persen, sedangkan di daerah perdesaan


s:

hanya 45,27 persen. Perbedaan yang sangat besar ini terjadi karena adanya
tp

perbedaan gaya hidup dalam mengkonsumsi air minum bersih. Berdasarkan


ht

data yang ada, rumahtangga yang mengkonsumsi air kemasan, air isi ulang
dan air ledeng mencapai 62,86 persen. Sementara di daerah perdesaan
hanya 25,76 persen.

Ketersediaan sanitasi yang layak merupakan bagian yang sangat penting


dalam upaya peningkatan kesehatan diri dan lingkungan. Fasilitas rumah
tinggal yang berkaitan dengan hal ini adalah ketersediaan tempat buang air
besar sendiri. Selain itu, ada pula akses terhadap sanitasi layak, yang
didefinisikan sebagai rumahtangga yang memiliki fasilitas buang air besar
sendiri dan bersama, menggunakan kloset leher angsa, dan menggunakan
tangki septik sebagai tempat pembuangan akhir kotoran atau tinja.

96 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Perumahan Bab VI

Tabel 6.1.

Persentase Rumahtangga Menurut Beberapa Fasilitas Perumahan dan


Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016

Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
Fasilitas Perumahan
2015 2016 2015 2016 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Air Kemasan, Air Isi

.id
Ulang dan Ledeng 63,38 62,86 25,73 25,76 51,50 51,52

o
(Persen)

.g
Air Minum Layak
(Persen)
79,72
b ps
79,14 46,85 45,27 69,35 68,78

Tempat Air Besar


n.

84,52 87,57 54,35 58,34 75,00 78,63


Sendiri (Persen)
e
nt

Sanitasi Layak (Persen) 80,75 86,24 37,28 44,30 67,04 73,42


a
//b

Penerangan Listrik
99,97 99,89 99,25 99,36 99,74 99,73
(Persen)
s:
tp

Sumber : Susenas 2015-2016


ht

Berdasarkan hasil Susenas (Tabel 6.1), terlihat bahwa sebagian besar


rumahtangga di Banten sudah memiliki kesadaran terhadap kebersihan dan
kesehatan diri dan lingkungannya. Hal ini terlihat dari tingginya persentase
rumahtangga yang menggunakan fasilitas tempat buang air besar sendiri dan
yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak. Bahkan, persentasenya
juga lebih tinggi dibandingkan Indonesia yang pada tahun 2016 masing-
masing hanya sebesar 69,04 persen dan 67,80 persen.

Sayangnya, kesadaran terhadap kebersihan dan kesehatan ini, tidak banyak


dimiliki oleh rumahtangga yang tinggal di daerah perdesaan. Kondisi ini
terlihat jelas dari sedikitnya persentase yang menggunakan atau yang
memiliki akses terhadap kedua jenis fasilitas sanitasi tersebut.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 97


Bab VI Perumahan

Penyebabnya adalah rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah


perdesaan, sehingga mereka kurang dapat memiliki kedua jenis fasilitas
sanitasi di atas. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bila hal itu
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor budaya atau kebiasaan masyarakat
yang tinggal di daerah perdesaan.

Fasilitas perumahan lainnya yang juga penting adalah penerangan. Sumber


penerangan yang ideal adalah yang berasal dari listrik (PLN dan Non PLN),
karena cahaya listrik lebih terang dibandingkan sumber penerangan lainnya.
Berdasarkan hasil Susenas (Tabel 6.1), terlihat hampir semua rumahtangga

.id
pada setiap daerah tempat tinggal sudah menikmati fasilitas penerangan

o
.g
listrik. Dimana, secara keseluruhan ada sebanyak 99,73 persen rumahtangga
ps
telah menikmati fasilitas tersebut. Angka ini sedikit mengalami penurunan
b
dibandingkan tahun 2015, namun masih di atas rata-rata Nasional yang
n.

hanya sebesar 97,62 persen.


e
a nt
//b

Status Kepemilikan Rumah Tinggal


s:
tp

Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan dan
ht

juga peningkatan taraf hidup masyarakat adalah status kepemilikan rumah


tinggal. Hal ini karena, kondisi ekonomi rumahtangga sangat berpengaruh
terhadap kepemilikan rumah tinggal. Status kepemilikan rumah tinggal yang
dicakup di sini adalah rumah milik sendiri, kontrak/sewa, bebas sewa, dan
lainnya (rumah dinas, rumah milik orang tua/saudara atau status kepemilikan
lainnya). Rumahtangga yang menempati rumah milik sendiri dapat dikatakan
telah mampu memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal yang terjamin dan
permanen dalam jangka panjang.

Berdasarkan hasil Susenas 2016, rumahtangga yang menempati rumah milik


sendiri sebanyak 81,52 persen, sedangkan sisanya 18,48 adalah bukan milik
sendiri. Kepemilikan rumah tinggal milik sendiri di daerah perkotaan jauh
lebih sedikit dibandingkan daerah perdesaan. Hal ini dimungkinkan karena

98 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Perumahan Bab VI

harga rumah di daerah perkotaan lebih mahal daripada di daerah perdesaan,


sehingga banyak penduduk atau rumahtangga yang mengontrak/menyewa
rumah atau menempati rumah milik orang tua/saudara.

Tabel 6.2.

Persentase Rumahtangga Menurut Status Kepemilikan Rumah Tinggal dan


Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016

.id
Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan

o
Status Kepemilikin

.g
2015 2016 2015 2016 2015 2016

(1) (2)
b ps
(3) (4) (5) (6) (7)

Milik Sendiri 74,89 75,39 94,06 95,42 80,94 81,52


e n.

Kontrak/Sewa 18,92 18,70 0,71 0,50 13,17 13,13


ant

Bebas Sewa 5,52 5,43 5,08 3,92 5,38 4,97


//b
s:

Lainnya 0,67 0,48 0,15 0,15 0,50 0,38


tp
ht

Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber : Susenas 2015-2016

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 99


ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id

BAB VII
KEMISKINAN
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
VII Kemiskinan
Kemiskinan masih menjadi masalah kronis di berbagai belahan dunia,
terutama di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, kemiskinan yang
sebelumnya menjadi tujuan utama agenda pembangunan “Millennium

.id
Development Goals (MDGs)”, kembali menjadi tujuan utama dalam

o
.g
“Sustainable Development Goals (SDGs)“. Terkait kemiskinan ini, SDGs
ps
menargetkan penghapusan kemiskinan dalam berbagai bentuk di wilayah
b
manapun pada tahun 2030.
en.

Kemiskinan di Indonesia juga selalu menjadi prioritas pemerintah, sehingga


a nt

menjadi agenda rutin dalam Rencana Pembangunan Nasional. Dalam


//b

Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Pemerintah


s:

menargetkan tingkat kemiskinan dapat turun menjadi 7%—8% pada 2019


tp

dari angka baseline 11,22% pada 2015. Adapun program yang dilaksanakan
ht

meliputi program mengurangi beban penduduk miskin, bantuan tunai


bersyarat atau Program Keluarga Harapan (PKH), penyediaan Kartu Keluarga
Sejahtera (KKS). Selain itu, ada pula program perbaikan penyaluran raskin,
penyediaan layanan kesehatan bagi warga kurang mampu lewat Kartu
Indonesia Sejahtera (KIS), beasiswa bagi 21 juta siswa kurang mampu
melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP), Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
Ketenagakerjaan.

Meskipun demikian, permasalahan kemiskinan memang tidak dapat teratasi


dengan mudah. Hal ini karena, kemiskinan adalah persoalan multidimensi
yang mencakup berbagai aspek kehidupan, tidak hanya sisi ekonomi, tetapi
juga sisi sosial dan budaya.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 103


Bab VII Kemiskinan

Untuk mengetahui perkembangan tingkat kemiskinan di suatu wilayah, dapat


menggunakan indikator kemiskinan. Indikator tersebut mencakup persentase
penduduk miskin (P0), garis gemiskinan (GK), indeks kedalaman kemiskinan
(P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2). Keempat indikator ini juga
digunakan sebagai target pencapaian perencanaan serta bahan evaluasi
program penanggulangan kemiskinan. Adapun data kemiskinannya,
bersumber dari Susenas yang dilaksanakan pada setiap semester.

.id
Perkembangan Garis Kemiskinan

o
.g
Kemiskinan adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi, untuk memenuhi
ps
kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan. Penghitungan
b
angka kemiskinan menggunakan garis kemiskinan yang diperoleh dari data
n.

pengeluaran, sebagai batas antara penduduk miskin dan tidak miskin.


e
nt

Adapun penduduk miskinnya, didefinisikan sebagai penduduk yang memiliki


a

rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.


//b
s:

Garis kemiskinan di Banten selama periode Maret 2015 hingga Maret 2017
tp

terus mengalami peningkatan. Pada Maret 2015, garis kemiskinannya


ht

mencapai 336 ribu rupiah per kapita sebulan, kemudian secara bertahap
meningkat hingga menjadi 387 ribu rupiah per kapita sebulan (Tabel 7.1).
Meningkatnya garis kemiskinan ini terjadi seiring dengan naiknya harga
barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat. Selain itu, adanya
perubahan selera atau gaya hidup, yang mengubah pola konsumsi
rumahtangga juga turut mendorong naiknya garis kemiskinan.

Sementara itu tingginya biaya hidup, sepertinya menjadi penyebab utama


garis kemiskinan di daerah perkotaan selalu lebih tinggi dibandingkan daerah
perdesaan. Garis kemiskinan daerah perkotaan pada Maret 2017 mencapai
383 ribu rupiah per kapita per bulan, atau sekitar 9,1 persen di atas garis
kemiskinan daerah perdesaan.

104 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kemiskinan Bab VII

Lebih tingginya garis kemiskinan daerah perkotaan ini, secara langsung


menggambarkan bahwa standar kemiskinannya memang di atas daerah
perdesaan. Artinya, seseorang penduduk miskin yang tinggal di daerah
perkotaan, akan menjadi tidak miskin ketika diukur menurut standar
kemiskinan di daerah perdesaan.

Tabel 7.1.

Garis Kemiskinan Menurut Daerah Tempat Tinggal,


Maret 2015-Maret 2017

.id
(Ribu Rupiah per Kapita Sebulan)

o
.g
ps Perkotaan dan
Periode Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
b
n.

(1) (2) (3) (4)


e

Maret 2015 345 318 336


a nt

September 2015 366 337 356


//b
s:

Maret 2016 377 348 368


tp

September 2016 383 352 373


ht

Maret 2017 397 364 387

Sumber : BPS Provinsi Banten

Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan
dan garis kemiskinan bukan makanan. Garis kemiskinan makanan merupakan
nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan, yang disetarakan dengan
2.100 kalori per kapita per hari. Adapun garis kemiskinan bukan makanan
adalah nilai pengeluaran atau kebutuhan minimum untuk perumahan,
sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 105


Bab VII Kemiskinan

Berdasarkan komponennya (Gambar 7.1), terlihat bahwa peranan komoditas


makanan terhadap garis kemiskinan sangat besar sekali. Hal ini terlihat dari
proporsi garis kemiskinan makanan yang pada Maret 2017 mencapai 70,47
persen. Selain itu, angka proporsi ini juga jauh di atas persentase
pengeluaran untuk konsumsi makanan bagi penduduk Banten yang rata-rata
mencapai 50,29 persen.

Dari kedua kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengeluaran penduduk


miskin memang lebih banyak digunakan untuk keperluan konsumsi makanan.
Berarti, pemenuhan kebutuhan pangan harus menjadi hal yang paling utama

.id
bagi penduduk miskin. Terlebih lagi di daerah perdesaan, yang proporsi

o
.g
konsumsi makanannya jauh lebih tinggi dari daerah perkotaan.
b ps
Gambar 7.1.
e n.

Komposisi Garis Kemiskinan


nt

Menurut Kelompok Pengeluaran dan Daerah Tempat Tinggal,


a

Maret 2017 (Persen)


//b
s:
tp

0,8
75,40%
ht

68,52% 70,47%

0,6

0,4
31,48% 29,53%
24,60%
0,2

0
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Persdesaan

Makanan Bukan Makanan

Sumber : BPS Provinsi Banten (data diolah)

106 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kemiskinan Bab VII

Tabel 7.2.

Komposisi Garis Kemiskinan


Menurut Komoditas dan Daerah Tempat Tinggal,
Maret 2017

Perkotaan Perdesaan

Persentase Persentase
Terhadap Terhadap
Komoditas Komoditas
Garis Garis
Kemiskinan Kemiskinan

.id
(1) (2) (3) (4)

o
A. Makanan 68,52 A. Makanan 75,40

.g
1. Rokok 16,22
b ps1. Beras 26,32
n.

2. Beras 14,95 2. Rokok 14,70


e
nt

3. Daging Ayam Ras 3,44 3. Telur Ayam Ras 3,03


a
//b

4. Telur Ayam Ras 3,19 4. Mie Instan 2,63


s:

5. Mie Instan 3,00 5. Kopi 2,55


tp
ht

6. Lainnya 27,71 6. Lainnya 25,17

B. Bukan Makanan 31,48 B. Bukan Makanan 24,60

1. Perumahan 11,72 1. Perumahan 9,71

2. Listrik 3,08 2. Bensin 1,80

3. Bensin 2,53 3. Pendidikan 1,54

4. Pendidikan 2,49 4. Listrik 1,31

5. Pakaian Jadi
5. Angkutan 1,69 0,96
Perempuan Dewasa

6. Lainnya 9,96 6. Lainnya 9,28

Sumber : BPS Provinsi Banten

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 107


Bab VII Kemiskinan

Diamati komoditas pembentuk garis kemiskinan (Tabel 7.2), terlihat ada


sedikit perbedaan pola pengeluaran antara penduduk miskin di daerah
perkotaan dengan di daerah perdesaan. Khususnya pada 5 besar komoditas
pembentuk garis kemiskinan, baik makanan maupun bukan makanan.

Betapapun juga, beras yang merupakan makanan pokok, masih memberikan


sumbangan sangat besar dalam penghitungan garis kemiskinan. Oleh karena
itu perlu dilakukan upaya pengendalian harga, agar beras dapat dibeli oleh
penduduk miskin. Adapun besaran sumbangan beras sendiri pada Maret
2017 mencapai 14,95 persen di daerah perkotaan dan 26,32 persen

.id
di daerah perdesaan.

o
.g
ps
Rokok adalah komoditas yang tidak menghasilkan kalori. Namun karena
banyak dikonsumsi oleh penduduk miskin, maka rokok dimasukkan dalam
b
n.

penghitungan garis kemiskinan. Malah, saking banyaknya penduduk miskin


e

yang mengkonsumi, sumbangannya dalam penghitungan garis kemiskinan


a nt

di daerah perkotaan, mengalahkan sumbangan yang diberikan oleh beras.


//b
s:

Sementara itu perumahan menjadi komoditas non makanan, yang biaya atau
tp

pengeluarannya memberi pengaruh sangat besar terhadap penghitungan


ht

garis kemiskinan. Besaran sumbangannya pada Maret 2017 sebesar 11,72


persen di daerah perkotaan dan 9,71 persen didaerah perdesaan. Dengan
demikian, sumbangannya dalam penghitungan garis kemiskinan Banten,
hanya kalah dari beras dan rokok.

Perkembangan Penduduk Miskin

Tingkat kemiskinan atau persentase penduduk miskin di Banten pada Maret


2017 mencapai 5,45 persen (Tabel 7.3). Sayangnya, angka ini justru
mengalami peningkatan dibandingkan periode Maret-September 2016.
Namun demikian, masih berada di bawah angka kemiskinan periode Maret-
September 2015.

108 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kemiskinan Bab VII

Betapapun juga, angka kemiskinan Banten lebih rendah dibandingkan rata-


rata Nasional yang sebesar 10,64 persen. Dengan angka sebesar itu, Banten
juga berada di posisi keenam sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan
terendah se Indonesia, di bawah DKI Jakarta (3,77 persen), Bali (4,25
persen), Kalimantan Selatan (4,73 persen), Bangka Belitung (5,20 persen),
dan Kalimantan Tengah (5,37 persen).

Rendahnya tingkat kemiskinan ini, bukan berarti masalah kemiskinan tidak


lagi menjadi prioritas utama. Pengentasan kemiskinan tetap menjadi program
prioritas, karena hidup yang layak menjadi hak semua orang dan inilah yang

.id
ingin diwujudkan oleh Pemerintah Provinsi Banten.

o
.g
ps
Tabel 7.3.
b
Persentase Penduduk Miskin Menurut Daerah Tempat Tinggal,
n.

Maret 2015-Maret 2017


e
a nt

Jumlah
//b

Persentase
Penduduk Miskin
Penduduk Miskin
s:

(Ribu Orang)
Periode
tp

Kota+ Kota+
ht

Kota Desa Kota Desa


Desa Desa
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Maret 2015 409 294 702 5,03 7,78 5,90

September 2015 419 272 691 5,11 7,12 5,75

Maret 2016 377 281 658 4,51 7,45 5,42

September 2016 380 278 658 4,49 7,32 5,36

Maret 2017 391 284 675 4,52 7,61 5,45

Sumber : BPS Provinsi Banten

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 109


Bab VII Kemiskinan

Terlebih lagi, jumlah penduduk miskin di Banten masih cukup besar, yakni
sebanyak 675 ribu orang. Selain itu jumlahnya juga mengalami peningkatan
dibandingkan periode September dan Maret 2016, yang hanya 658 ribu
orang. Hanya saja, jumlahnya masih di bawah angka September dan Maret
2015, yang masing-masing mencapai 691 ribu orang dan 702 orang.

Diamati menurut tempat tinggal, terlihat bahwa meningkatnya jumlah dan


persentase penduduk miskin selama periode September 2016-Maret 2017,
terjadi pada semua daerah tempat tinggal. Penyebabnya adalah tingginya
laju inflasi selama periode September 2016-Maret 2017 yang mencapai 2,52

.id
persen. Selain itu, tingkat kesejahteraan petani pada periode Oktober 2016-

o
.g
Maret 2017 juga mengalami penurunan, yang ditandai oleh rata-rata nilai
ps
tukar petani pada periode tersebut yang kurang dari 100.
b
e n.
nt

Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan


a
//b

Persoalan kemiskinan, bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase


s:

penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat


tp

kedalaman dan keparahan kemiskinan. Oleh karena itu, selain menurunkan


ht

jumlah dan persentase penduduk miskin, kebijakan penanggulangan


kemiskinan juga terkait dengan bagaimana mengurangi tingkat kedalaman
dan keparahan kemiskinan.

Untuk mengukur tingkat kedalaman kemiskinan digunakan indeks kedalaman


kemiskinan (Poverty Gap Index, P1). P1, akan melihat rata-rata jarak
pengeluaran per kapita penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin
besar nilai P1, semakin besar tingkat kesenjangannya. Sementara itu indeks
keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index, P2), adalah indikator untuk
mengukur tingkat kedalaman kemiskinan. Dimana P2, akan menunjukkan
sebaran pengeluaran penduduk miskin. Semakin tinggi nilai P2, semakin
tinggi pula ketimpangan pengeluaran di antara sesama penduduk miskin. P1
dan P2 dapat menunjukkan kualitas dari kemiskinan di suatu daerah.

110 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Kemiskinan Bab VII

Tabel 7.4.

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)


Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Maret 2015-Maret 2017

Indeks Kedalaman Indeks Keparahan


Kemiskinan (P1) Kemiskinan (P2)
Periode
Kota+ Kota+
Kota Desa Kota Desa
Desa Desa

.id
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

o
Maret 2015 0,867 1,081 0,935 0,232 0,222 0,229

.g
September 2015 0,820 1,075
b ps
0,901 0,200 0,232 0,210
n.

Maret 2016 0,611 1,207 0,797 0,134 0,254 0,171


e
nt

September 2016 0,687 0,932 0,763 0,163 0,173 0,166


a
//b

Maret 2017 0,704 1,217 0,859 0,149 0,284 0,190


s:

Sumber : BPS Provinsi Banten


tp
ht

Berdasarkan data yang ada pada Tabel 7.4, terlihat bahwa indeks kedalaman
kemiskinan Banten pada Maret 2017 mencapai 0,859. Dalam hal ini, besaran
indeksnya masih berada di bawah periode Maret-September 2015, namun
sudah meningkat dibandingkan periode Maret-September 2016. Fenomena
yang sama juga terjadi pada indeks keparahan kemiskinan, dengan besaran
indeksnya pada Maret 2017 sebesar 0,190.

Meningkatnya angka P1 selama periode September 2016-Maret 2017,


menjadi penanda bahwa rata-rata pengeluaran per kapita penduduk miskin
pada periode tersebut semakin menjauh dari garis kemiskinan. Sementara
tingkat kesenjangan pengeluaran per kapita antar penduduk miskinnya, yang
ditandai oleh angka P2, juga semakin melebar.

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 111


Bab VII Kemiskinan

Meningkatnya angka P1 dan P2 ini, sepertinya disebabkan oleh naiknya garis


kemiskinan yang melebihi besaran kenaikan pendapatan rata-rata penduduk
miskin. Akibatnya, jumlah penduduk miskin menjadi bertambah dan tingkat
kedalaman serta keparahannya juga semakin meningkat. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa kualitas penduduk miskin di Banten selama periode
September 2016-Maret 2017 semakin menurun.

Di amati menurut daerah tempat tinggal, penurunan kualitas penduduk


miskin Banten juga terjadi pada semua daerah tempat tinggal. Hanya saja,
penurunan terparah terjadi di daerah perdesaan, yang ditandai oleh

.id
tingginya besaran peningkatan angka P1 dan P2. Adapun lebih besarnya

o
.g
angka P1 dan P2 untuk daerah perdesaan, menjadi penanda bahwa tingkat
ps
kedalaman dan keparahan kemiskinnya jauh lebih tinggi dibandingkan
b
daerah perkotaan.
e n.

Menurunnya kualitas penduduk miskin selama periode September 2016-


a nt

Maret 2017 ini, akan semakin menyulitkan pemerintah dalam upayanya


//b

mengentaskan kemiskinan di masa depan. Hal ini karena, biaya yang


s:

dikeluarkannya menjadi bertambah besar. Lebih-lebih, di perdesaan yang


tp

tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinannya melebihi daerah perkotaan.


ht

112 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id

DAFTAR
PUSTAKA
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
Daftar Pustaka

BPS. 2001. Statistik Perumahan 2001. BPS: Jakarta

BPS. 2013a. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. BPS: Jakarta

.id
BPS. 2013b. Statistik Pendidikan 2012. BPS: Jakarta

o
.g
BPS. 2015. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2015. BPS: Jakarta
ps
b
BPS. 2016. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2016. BPS: Jakarta
e n.
nt

BPS Provinsi Banten. 2015. Proykesi Penduduk Provinsi Banten 2010-2020.


a

BPS Provinsi Banten: Kota Serang


//b
s:

BPS Provinsi Banten. 2017a. Indeks Pembangunan Gender Provinsi Banten


tp

2016. BPS Provinsi Banten: Kota Serang


ht

BPS Provinsi Banten. 2017b. PDRB Provinsi Banten Menurut Lapngan Usaha
2012-2016. BPS Provinsi Banten: Kota Serang

Ditjen PPM dan PL. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat.
Departemen Kesehatan RI: Jakarta

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 115


ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id

LAMPIRAN
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
Lampiran

Lampiran 1.

Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin


Tahun 2016-2017 (Ribu Orang)

o .id
.g
2016 2017
Kabupaten/
Kota
ps
L P L+P L P L+P
b
n.

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


e
nt

1. Pandeglang 613 587 1.201 615 590 1.205


a
//b

2. Lebak 656 624 1.279 660 628 1.288


s:

3. Tangerang 1.779 1.698 3.477 1.833 1.751 3.585


tp
ht

4. Serang 753 732 1.485 757 737 1.494

5. Kota Tangerang 1.069 1.025 2.094 1.092 1.048 2.140

6. Kota Cilegon 214 205 419 217 208 425

7. Kota Serang 336 319 655 342 325 667

8. Kota Tangerang
803 791 1.594 828 817 1.645
Selatan

Provinsi Banten 6.222 5.982 12.203 6.344 6.104 12.448

Sumber : Proyeksi Penduduk Banten 2010-2035

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 119


Lampiran

Lampiran 2.

Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin


Tahun 2016-2017 (Ribu Orang)

2016 2017
Kelompok
Umur
L P L+P L P L+P

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

0-4 625 602 1.227 623 600 1.223

.id
5-9 605 574 1.179 618 589 1.207

o
10-14 541 514 1.055 550 522 1.073

.g
15-19 542 512 1.054
b ps 540 512 1.052

20-24 549 530 1.079 553 531 1.084


en.

25-29 560 548 1.108 563 551 1.114


a nt

30-34 549 546 1.095 555 550 1.105


//b

35-39 518 514 1.032 527 526 1.053


s:
tp

40-44 468 447 915 480 462 942


ht

45-49 396 365 761 412 382 794

50-54 309 282 590 324 297 621

55-59 226 205 431 239 219 458

60-64 151 134 285 162 145 308

65-69 89 89 178 97 94 190

70-75 51 58 109 54 61 115

75+ 44 61 105 46 63 109

Jumlah 6.222 5.982 12.203 6.344 6.104 12.448

Sumber : Proyeksi Penduduk Banten 2010-2035

120 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Lampiran

Lampiran 3.

Persentase Penduduk yang Berobat Jalan


Menurut Jenis Fasilitas Kesehatan dan Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016

Perkotaan dan
Perkotaan Perdesaan
Fasilitas Layanan Perdesaan
Kesehatan
2015 2016 2015 2016 2015 2016
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

.id
Rumah Sakit Pemerintah 5,07 4,73 2,41 3,51 4,19 4,37

o
.g
Rumah Sakit Swasta 10,03 10,65 1,29 1,91 7,15 8,09

Praktek Dokter/Bidan 28,97


b ps
27,87 43,62 44,13 33,79 32,63
n.

Klinik/Praktek Dokter
35,50 33,83 18,27 17,01 29,83 28,90
e

Bersama
a nt

Puskesmas/Pustu 21,12 23,54 25,11 32,22 22,43 26,08


//b
s:

UKBM 0,71 0,99 5,39 1,40 2,25 1,11


tp

Praktek Pengobatan
1,76 1,99 2,28 1,12 1,93 1,74
ht

Tradisional

Lainnya 1,38 0,77 4,77 2,28 2,50 1,22

Sumber : Susenas 2015-2016

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 121


Lampiran

Lampiran 4.

Persentase Perempuan Berumur 15-49 Tahun


Menurut Penolong Kelahiran Terakhir dan Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016

Perkotaan dan
Perkotaan Perdesaan
Penolong Kelahiran Perdesaan
Terakhir
2015 2016 2015 2016 2015 2016
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

.id
Dokter Kandungan 27,14 30,74 7,41 6,49 20,75 23,43

o
.g
Dokter Umum 1,83 4,04 2,61 1,11 2,08 3,16

Bidan 63,97 61,06


ps
59,02
b
62,93 62,36 61,63
n.

0,50 0,34 0,00 0,64 0,34 0,43


e

Perawat
nt

Tenaga Kesehatan
a

0,62 0,00 0,00 0,00 0,42 0,00


//b

Lainnya
s:

Dukun Beranak/Paraji 5,95 3,61 30,61 28,83 13,94 11,22


tp

Lainnya 0,00 0,20 0,00 0,00 0,00 0,14


ht

Tidak Ada 0,00 0,00 0,34 0,00 0,11 0,00

Sumber : Susenas 2015-2016

122 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Lampiran

Lampiran 5.

Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas


Menurut Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki dan Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016

Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
Ijazah Tertinggi
2015 2016 2015 2016 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

.id
Tidak Mempunyai Ijazah 10,75 8,71 26,67 21,92 15,65 12,71

o
.g
SD/MI 20,08 25,82 40,94 44,51 26,50 31,48

SLTP/MTs 22,61
b ps
18,65 18,81 18,73 21,44 18,67
n.

SMU/MA 27,64 27,42 8,49 10,09 21,75 22,18


e
nt

SM Kejuruan 8,02 8,65 2,96 1,98 6,46 6,63


a
//b

Diploma I dan II 0,85 0,46 0,29 0,29 0,68 0,41


s:
tp

Akademi/Diploma III 2,41 2,09 0,27 0,25 1,76 1,53


ht

Diploma IV/Universitas
7,64 8,20 1,56 2,23 5,77 6,39
S2/S3

Sumber : Susenas 2015-2016

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 123


Lampiran

Lampiran 6.

Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas


Menurut Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki dan Jenis Kelamin,
Tahun 2015-2016

Laki-Laki+
Laki-Laki Perempuan
Perempuan
Ijazah Tertinggi
2015 2016 2015 2016 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

.id
Tidak Mempunyai Ijazah 12,55 10,10 18,86 15,41 15,65 12,71

o
.g
SD/MI 25,61 30,95 27,42 32,02 26,50 31,48

SLTP/MTs 20,91 18,20


ps
21,99
b
19,16 21,44 18,67
n.

SMU/MA 24,78 23,92 18,61 20,37 21,75 22,18


e
nt

SM Kejuruan 7,36 8,21 5,53 5,00 6,46 6,63


a
//b

Diploma I dan II 0,54 0,31 0,81 0,52 0,68 0,41


s:
tp

Akademi/Diploma III 1,60 1,27 1,91 1,80 1,76 1,53


ht

Diploma IV/Universitas
6,64 7,05 4,87 5,72 5,77 6,39
S2/S3

Sumber : Susenas 2015-2016

124 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


Lampiran

Lampiran 7.

Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas


Menurut Jenis Kegiatan dan Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2016-2017

Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
Jenis Kegiatan
2016 2017 2016 2017 2016 2017

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Angkatan Kerja

.id
3.965 3.975 1.622 1.622 5.587 5.597
(Ribu Orang)

o
.g
a. Bekerja 3.637 3.629 1.451 1.448 5.088 5.077

b. Pengangguran Terbuka 328


b ps
346 171 174 499 520
n.

2. Bukan Angkatan Kerja


2.222 2.403 967 980 3.189 3.384
e

(Ribu Orang)
nt

a. Sekolah 565 669 157 183 723 852


a
//b

b. Mengurus
1.349 1.477 718 656 2.067 2.133
s:

Rumahtangga
tp

c. Lainnya 307 257 92 141 399 399


ht

3. Penduduk Usia Kerja


6.186 6.378 2.590 2.602 8.776 8.981
(Ribu Orang)

4. TPAK (Persen) 64,09 62,32 62,65 62,33 63,66 62,32

5. TPT (Persen) 8,26 8,69 10,54 10,73 8,92 9,28

Sumber : BPS Provinsi Banten 2015-2016

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 125


Lampiran

Lampiran 8.

Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas


Menurut Jenis Kegiatan dan Jenis Kegiatan,
Tahun 2016-2017

Laki-Laki+
Laki-Laki Perempuan
Perempuan
Jenis Kegiatan
2016 2017 2016 2017 2016 2017

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

.id
1. Angkatan Kerja 3.636 3.710 1.951 1.887 5.587 5.597

o
.g
a. Bekerja 3.308 3.355 1.781 1.723 5.088 5.077

b. Pengangguran Terbuka 328 355


ps
170
b
164 499 520
n.

2. Bukan Angkatan Kerja 832 862 2.357 2.522 3.189 3.384


e
nt

a. Sekolah 374 426 349 427 723 852


a
//b

b. Mengurus
169 146 1.898 1.987 2.067 2.133
s:

Rumahtangga
tp

c. Lainnya 290 290 110 108 399 399


ht

3. Penduduk Usia Kerja 4.468 4.572 4.308 4.409 8.776 8.981

4. TPAK (Persen) 81,38 81,15 45,29 42,80 63,66 62,32

5. TPT (Persen) 9,03 9,58 8,72 8,71 8,92 9,28

Sumber : BPS Provinsi Banten 2015-2016

126 Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016


ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id

Anda mungkin juga menyukai