Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 PDF
Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Banten 2016 PDF
tp
s:
//b
an
te
n.
bp
s.
go
.id
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
INDEKS KESEJAHTERAAN RAKYAT
PROVINSI BANTEN 2016
ISBN : 978-602-0932-84-2
No. Publikasi : 36550.1712
Katalog BPS : 4102004.36
.id
Ukuran Buku : 17,6 X 25 cm
o
Jumlah Halaman : x + 126 Halaman
.g
Naskah ps
: Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik
b
n.
Diseminasi Statistik
//b
s:
2.
3.
4.
Kata Pengantar
.id
disajikan data dan indikator kesejahteraan rakyat, yang bersumber dari hasil
o
.g
survei Badan Pusat Statistik (BPS), yang meliputi Survei Sosial Ekonomi
ps
Nasional dan Survei Angkatan Kerja Nasional, serta data dari instansi lain
b
di luar BPS.
e n.
Data dan indikator yang disajikan dalam publikasi ini, diharapkan dapat
a nt
Disadari, publikasi ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan
saran demi perbaikan di masa mendatang sangat diharapkan. Ucapan terima
kasih disampaikan pada semua pihak yang telah berperan dalam membantu
menyusun publikasi ini, sehingga dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Agoes Soebeno
.id
Daftar Gambar ……………………………………………………………………… ix
o
.g
Bab I. Kependudukan .…………………………………………………… 1
Bab II.
ps
Kesehatan dan Gizi ……..…………………………………………
b
23
n.
101
tp
Daftar Tabel
.id
Angka Beban Ketergantungan, Tahun 2013-2017 …… 12
o
Tabel 1.3. Perkembangan Beberapa Indikator Fertilitas,
.g
Tahun 2010-2035 ..…………………………………………….. 15
Tabel 1.4.
ps
Persentase Perempuan Usia 10 Tahun ke Atas
b
Menurut Usia Perkawinan Pertama dan
n.
.id
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
o
Menurut Daerah Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin,
.g
Tahun 2015-2017 ………………………………………………. 61
Tabel 4.2 ps
Persentase Penduduk yang Bekerja
b
Menurut Lapangan Usaha Pekerjaan Utama dan
n.
.id
Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Maret 2015-Maret 2017 ………………………………………. 109
o
.g
Tabel 7.4 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan
.id
Tahun 2010-2017 ………………………………………….. 6
o
Gambar 1.3. Rasio Jenis Kelamin Penduduk
.g
Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2017 ……….……. 8
Gambar 1.4.
ps
Tingkat Kepadatan Penduduk per Km Persegi
b
Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2017 ……….……. 10
n.
.id
Ditamatkan, Tahun 2016-2017 (Persen) ………….. 63
o
.g
Gambar 5.1. Rata-Rata Pengeluaran per Kapita Sebulan dan
Proporsi Pengeluaran Untuk Konsumsi Makanan
b ps
per Kapita, Tahun 2012-2016 …………………………. 76
n.
BAB I
KEPENDUDUKAN
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
I Kependudukan
.id
pembangunan ekonomi. Penduduk yang bertambah ini akan memperbesar
o
.g
jumlah tenaga kerja dan sekaligus akan meningkatkan jumlah produksi.
ps
Selain itu, akibat pendidikan, latihan dan pengalamanan kerja, kemahiran
b
penduduk akan bertambah tinggi sehingga produktivitas akan bertambah
n.
Di sisi lain, jumlah penduduk yang besar memerlukan kebutuhan hidup yang
besar pula. Bila terjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan hidup, akan
menimbulkan berbagai masalah yang dapat mengganggu kesejahteraan
penduduk. Misalnya, penyediaan pangan yang tidak mencukupi dapat
menimbulkan terjadinya kelaparan dan resiko meningkatnya jumlah kematian
penduduk. Ketersediaan pemukiman yang tidak mencukupi, mengakibatkan
munculnya pemukiman-pemukiman liar, kumuh dan tidak layak.
.id
terhadap perkembangan ekonomi dan wilayah secara keseluruhan. Dengan
o
.g
demikian, kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.
b ps
n.
12,4 juta orang. Berarti, Banten menjadi provinsi dengan populasi terbanyak
tp
kelima di Indonesia, setelah Jawa Barat (48,0 juta), Jawa Timur (39,3), Jawa
ht
Laju pertumbuhan penduduk Banten, sejak berdiri pada tahun 2000 memang
terus mengalami penurunan (Gambar 1.1). Namun, Banten termasuk provinsi
dengan tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi di Indonesia. Bahkan, juga
masih lebih tinggi dibandingkan empat provinsi besar di atas (BPS, 2013a).
Akibatnya, proporsi penduduk Banten terhadap total penduduk Indonesia
meningkat dari 4,48 persen pada tahun 2000 menjadi 4,75 persen pada
tahun 2017.
Gambar 1.1.
15 5
.id
12,20 12,45
11,70 11,96
o
11,20 11,45
12 10,69 10,94 4
.g
8,10
9
b ps 3
3,10
2,81
n.
6 2
2,39 2,33
e
2,07 2,01
3 1
a
//b
0 0
s:
Gambar 1.2.
o .id
104,6
.g
104,4 104,37
104,32
104,26
b ps
104,21
n.
104,2 104,15
e
104,08
nt
104,01
103,94
a
104,0
//b
s:
103,8
tp
ht
103,6
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Selain jumlah dan pertumbuhan penduduk, rasio jenis kelamin (Sex Ratio)
menjadi salah satu indikator kependudukan yang layak untuk dicermati.
Berdasarkan Gambar 1.2, terlihat bahwa rasio jenis kelamin penduduk
Banten terus mengalami penurunan, meskipun besarannya masih tetap di
atas 100. Rasio jenis kelamin penduduk Banten pada tahun 2017 mencapai
103,94. Dengan kata lain, ada sekitar 104 orang penduduk laki-laki untuk
setiap 100 orang penduduk perempuan.
Sementara itu turunnya rasio jenis kelamin ini menjadi penanda bahwa
proporsi penduduk laki-laki dalam struktur penduduk Banten telah
mengalami penurunan. Salah satu penyebabnya, kemungkinan adalah
berkurangnya jumlah bayi laki-laki yang dilahirkan, seperti yang sebelumnya
sudah terjadi di negara-negara maju.
Menurut para peneliti dari Universitas Exeter dan Universitas Oxford, gaya
hidup modern dengan pola makan rendah kalori, dapat menjelaskan
mengapa jumlah bayi laki-laki yang lahir di negara-negara maju menjadi
berkurang. Hal ini karena tingginya kadar kalori yang dikonsumsi oleh wanita
.id
yang sedang berusaha untuk hamil, akan lebih meningkatkan peluang
o
.g
mereka dalam melahirkan anak laki-laki (Kaitan Bayi Laki-laki dan Kalori,
www.bbc.co.uk, 23 April 2008).
b ps
n.
kelompok umur. Oleh karena itu, semakin tua usia kelompok umur, proporsi
s:
(40 – 54 tahun), usia tua (55 – 64 tahun) dan usia lanjut (65 tahun ke atas),
ht
Dalam banyak literatur juga ditemukan bahwa naik atau turunnya proporsi
penduduk laki-laki atau rasio jenis kelamin, berkaitan erat dengan fenomena
migrasi. Dalam arti, daerah tujuan migrasi yang memerlukan banyak tenaga
kerja laki-laki, seperti di daerah pertambangan, rasio jenis kelaminnya akan
meningkat dan dengan besaran tetap di atas 100. Sementara daerah yang
ditinggalkan pergi merantau oleh para laki-laki, rasio jenis kelaminnya akan
menurun dan bahkan cenderung berada di bawah 100.
Hanya saja untuk level kabupaten/kota di Banten (Gambar 1.3), tinggi atau
rendahnya rasio jenis kelamin sepertinya tidak dapat dikatakan berkaitan
erat dengan fenomena migrasi. Namun, untuk beberapa kecamatan yang
Gambar 1.3.
106
105,01 105,11
.id
105 104,69
104,30 104,28
o
104,17
.g
104
103 102,80
b ps
n.
102
e
101,46
nt
101
a
//b
100
s:
Pandeglang Lebak Tangerang Serang Kota Kota Cilegon Kota Serang Kota
Tangerang Tangerang
tp
Selatan
ht
dihadapi Banten. Hal ini karena sekitar 73,8 persen dari total penduduk
Banten, tinggal dan menetap di daerah perkotaan (Tabel 1.1).
Tabel 1.1.
o .id
Komposisi Penduduk Menurut Kabupaten/Kota dan
.g
Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2017
b ps
n.
Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
e
Perdesaan
nt
Kabupaten/Kota
Jumlah Persen- Jumlah Persen- Jumlah Persen-
a
Sementara itu bila diamati menurut wilayah administrasi, sekitar 7,4 juta
orang atau 59,2 persen dari total penduduk Banten terkonsentrasi di wilayah
.id
Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan yang
o
.g
merupakan daerah tujuan migrasi utama (Tabel 1.1). Kondisi ini berakibat
ps
kepada muculnya perbedaan tingkat kepadatan penduduk antar kabupaten/
b
kota, yang sangat mencolok mata.
e n.
nt
Gambar 1.4.
a
//b
15.000
13.902
12.000 11.175
9.000
6.000
3.543
3.000 2.422 2.499
861
439 376
0
Pandeglang Lebak Tangerang Serang Kota Kota Kota Serang Kota
Tangerang Cilegon Tangerang
Selatan
.id
Angka Beban Ketergantungan
o
.g
ps
Angka beban ketergantungan atau rasio ketergantungan (Dependency Ratio)
b
merupakan salah satu indikator kependudukan yang penting, karena dapat
n.
beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif (usia 15-64 tahun),
//b
dalam membiayai hidup penduduk yang belum produktif (usia 0-14 tahun)
s:
dan tidak produktif lagi (usia 65 tahun ke atas). Sebaliknya bila semakin
tp
Sementara itu persentase penduduk usia 0-14 tahun dapat dikatakan cukup
tinggi, walaupun besarannya terus menurun. Penurunannya juga dapat
merupakan penanda bagi keberhasilan dari upaya pengendalian kelahiran
yang dilakukan oleh pemerintah. Adapun meningkatnya persentase
penduduk usia 65 tahun ke atas, menjadi salah satu bukti adanya perbaikan
dalam bidang kesehatan, sehingga penduduk dapat hidup lebih lama.
Tabel 1.2.
.id
2013 29,06 67,99 2,95 47,08
o
2014 28,81 68,16 3,02 46,71
.g
2015 28,59 68,30 ps
b
3,11 46,41
n.
Melihat besaran angka beban ketergantungan yang kurang dari 50 ini, dapat
dikatakan bahwa Banten sudah mengalami bonus demografi (demographic
dividend). Bahkan berdasarkan hasil proyeksi penduduk, bonus demografi
sudah diraih sejak tahun 2010. Bonus demografi tersebut juga masih akan
dinikmati, setidaknya hingga tahun 2035 (BPS, 2013a).
.id
ketersediaan lapangan kerja juga mesti ditambah, agar dapat menampung
o
.g
banyaknya penduduk usia produktif.
ps
Setelah bonus demografi, penuaan penduduk (ageing population) sepertinya
b
n.
adalah suatu fenomena demografi, yang akan terjadi ketika umur median
a nt
Selain dengan umur median, penuaan penduduk juga dapat diukur melalui
ht
Gambar 1.5.
10
8
8,1
6
6,4
o .id
4 4,9
.g
3,8
2 2,8
3,1
b ps
n.
0
e
Fertilitas
Salah satu indikator fertilitas adalah angka fertilitas total atau Total Fertility
Rate (TFR). TFR didefiniskan sebagai rata-rata jumlah anak yang dilahirkan
TFR Banten ini termasuk cukup tinggi, karena melebihi angka TFR untuk
pertumbuhan seimbang yang sebesar 2,1. Implikasinya, akan terjadi ledakan
penduduk, akibat jumlah penduduk yang lahir melebihi yang meninggal.
Angka TFR yang tinggi juga menjadi penanda dari lebih mudanya rata-rata
usia kawin, rendahnya tingkat pendidikan terutama untuk perempuan,
.id
tingkat sosial ekonomi rendah atau tingkat kemiskinan yang tinggi, dan
o
.g
kurangnya efektivitas atau cakupan pemakaian alat kontrasepsi. Betapapun
ps
juga, angka TFR tersebut masih lebih rendah dari rata-rata Indonesia yang
b
berkisar antara 2,26 sampai 2,37.
e n.
nt
Tabel 1.3.
a
//b
Selain TFR, ada pula angka reproduksi kotor atau gross replacement rate
(GRR) yang menggambarkan rata-rata jumlah anak perempuan yang
dilahirkan oleh seorang perempuan dalam masa reproduksinya. GRR dihitung
dengan mengabaikan kemungkinan anak-anak perempuan tersebut
meninggal sebelum masa reproduksinya berakhir.
Ada hubungan antara TFR dan GRR. Pada saat angka TFR pertumbuhan
seimbang tercapai, seorang Ibu akan digantikan oleh hanya seorang anak
perempuan untuk meneruskan keturunan, dengan tanpa menghasilkan
.id
pertambahan penduduk yang tinggi dan tidak terkendali. Peristiwa tersebut
dikenal dengan istilah “tingkat pergantian manusia” atau “replacement level”.
o
.g
Pada saat peristiwa itu terjadi, nilai GRR akan sama dengan satu.
ps
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, Banten akan mencapai tingkat
b
n.
penggantian manusia pada tahun 2025 (Tabel 1.3). Sementara pada tahun
e
2017, angka GRRnya berkisar antara 1,0 sampai 1,1. Berarti, seorang ibu
nt
Indikator fertilitas lainnya adalah angka kelahiran kasar atau crude birth rate
(CBR). Angka CBR menggambarkan banyaknya kelahiran hidup dalam satu
tahun per seribu penduduk. Angka CBR disebut sebagai angka kelahiran
kasar, karena pembaginya adalah jumlah penduduk laki-laki dan perempuan.
Tingkat fertilitas tidak terlepas dari usia perkawinan pertama, khususnya bagi
penduduk perempuan. Semakin dini usia perkawinan, semakin panjang
rentang masa reproduksi, sehinga memperbesar peluang untuk melahirkan
anak dengan jumlah yang lebih banyak lagi.
Perkawinan pada usia dini marak terjadi, karena faktor rendahnya tingkat
pendidikan antar kedua pasangan, tuntutan ekonomi, sistem nilai budaya,
pernikahan yang sudah diatur atau perjodohan, dan bahkan seks bebas.
o .id
Perkawinan pada usia dini akan meningkatkan resiko kematian bagi anak
.g
yang dilahirkan serta dapat menurunkan kesehatan reproduksi bagi ibu yang
ps
melahirkannya. Beban ekonomi yang muncul juga semakin bertambah berat.
b
Selain itu, dapat meningkatkan kasus kekerasan dalam rumah tangga serta
e n.
membolehkan terjadinya perkawinan pada usia dini. Bukan hanya itu, bahkan
ht
.id
perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Alasannya, umur ideal yang matang
o
.g
secara biologis dan psikologis adalah 20-25 tahun bagi wanita serta 25-30
ps
tahun bagi laki-laki. Rekomendasi ini ditujukan demi kebaikan masyarakat,
b
agar pasangan yang baru menikah memiliki kesiapan matang dalam
n.
Tabel 1.4.
s:
tp
Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
Kelompok
Umur
2014 2015 2016 2014 2015 2016 2014 2015 2016
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
<16 16,27 3,52 6,75 37,91 10,03 15,84 23,34 5,64 9,60
16-18 17,34 25,78 11,31 29,03 40,60 19,09 21,16 30,59 13,75
19-24 49,52 56,18 46,78 28,93 45,53 45,37 42,79 52,72 46,34
25+ 16,87 14,52 35,16 4,13 3,85 19,70 12,70 11,05 30,01
.id
Diamati menurut daerah tempat tinggal, rata-rata perempuan di perkotaan
o
.g
melangsungkan perkawinan pertama pada usia yang lebih tua dibandingkan
ps
rekannya yang tinggal di perdesaan. Kondisi ini terlihat dari lebih tingginya
b
persentase perempuan di perkotaan yang menikah pertama kali saat berusia
n.
19-24 tahun. Selain itu, persentase yang menikah pada usia 10-18 tahun
e
nt
Penggunaan Alat/Cara KB
tp
ht
Tabel 1.5.
Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
Alat/Cara
Kontrasepsi
2015 2016 2015 2016 2015 2016
.id
MOW/Tubektomi 1,89 2,53 0,45 0,48 1,40 1,87
o
MOP/Vasektomi 0,29 0,69 0,00 0,00 0,19 0,47
.g
AKDR/IUD/Spiral 7,03 9,18 1,50
b ps 1,95 5,15 6,85
n.
Susuk KB/Norplan/
nt
Intravag/Tisu/Kondom
0,14 0,11 0,00 0,19 0,10 0,14
Wanita
Banyak ragam atau jenis alat/cara KB. Pasangan usia subur bebas memilih
alat/cara KB yang diinginkan dan dirasakan nyaman bagi diri dan
pasangannya. Namun, yang paling banyak digunakan oleh akseptor KB di
seluruh daerah tempat tinggal adalah Suntikan KB dan Pil KB.
.id
KB. Pil KB banyak dipilih karena penggunaannya lebih mudah dan praktis
o
.g
dibandingkan alat KB metode MKJP, harganya jelas lebih murah dan juga
ps
lebih nyaman digunakan daripada alat KB Non MKJP lain, yaitu Kondom
b
Pria/Karet KB dan Intravag/Tisu/Kondom Wanita.
e n.
Untuk menjamin keberhasilan program KB, alat kontrasepsi yang lebih tepat
a nt
persen dan 4,02 persen dari seluruh Akspetor KB. Oleh karena itu, BKBBN
tp
IUD dan Implant. Lebih-lebih, masih ada pasangan usia subur yang
menggunakan cara tradisional dalam ber-KB.
BAB II
KESEHATAN DAN GIZI
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
II Kesehatan dan Gizi
.id
dan dinamika pembangunan ekonomi wilayah tersebut, khususnya dalam
o
.g
meningkatkan produktivitas penduduk.
ps
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, Pemerintah Provinsi
b
n.
Sasaran dan tujuan dari berbagai program bidang kesehatan di atas adalah
untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengakses
layanan kesehatan publik, meningkatkan kualitas pelayanan, menurunkan
prevalensi gizi buruk dan gizi kurang, menurunkan angka kematian ibu dan
anak, serta meningkatkan angka harapan hidup.
Menurut WHO, sehat adalah keadaan sejahtera secara fisik, mental dan
sosial yang merupakan satu kesatuan, bukan hanya terbebas dari penyakit
maupun cacat. Sejalan dengan definisi tersebut, Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa sehat adalah keadaan
sejahtera, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial, yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
.id
bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia dan warga negara, sehingga
o
pemenuhannya menjadi tanggungjawab pemerintah. Oleh karena itu,
.g
ps
pemerintah terus berupaya untuk mewujudkan masyarakat sehat yang
b
mandiri dan berkeadilan melalui peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
e n.
kesehatan, antara lain angka kesakitan dan rata-rata lama sakit, serta tingkat
kematian dan angka harapan hidup.
Tabel 2.1.
.id
Perkotaan 29,94 28,78 5,13 5,31
o
.g
Perdesaan 31,21 27,25 6,55 5,91
ps
Perkotaan dan Perdesaan 30,34 28,30 5,61 5,51
b
n.
Hasil Susenas tahun 2016 yang disajikan pada Tabel 2.1, menunjukkan
s:
bahwa angka kesakitan penduduk Banten mencapai 28,30 persen. Angka ini,
tp
bukan hanya menurun dari tahun sebelumnya, bahkan juga lebih rendah
ht
dibandingkan rata-rata Nasional yang sebesar 28,53 persen. Selain itu, rata-
rata lama sakit penduduk juga mengalami penurunan dari 5,61 hari menjadi
5,51 hari. Kedua kondisi ini menandakan bahwa derajat kesehatan
masyarakat Banten sudah mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu.
Diamati menurut daerah tempat tinggal, turunnya angka kesakitan dan rata-
rata lama sakit penduduk, terjadi pada semua daerah tempat tinggal. Hanya
saja, penurunannya memang lebih banyak di perdesaan.
Dari sisi besaran, angka kesakitan di perdesaan pada tahun 2016 berada di
bawah daerah perkotaan. Ada kemungkinan hal ini disebabkan oleh kondisi
udara dan lingkungan yang relatif lebih baik daripada di perkotaan. Adapun
banyaknya fasilitas kesehatan yang ada di perkotaan, memudahkan
Sementara itu angka harapan hidup adalah rata-rata perkiraan banyak tahun
yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Secara teori, semakin
baik kesehatan seseorang maka kecenderungan untuk bertahan hidup akan
semakin tinggi. Sebaliknya, semakin buruk kesehatannya maka umur
kehidupan orang tersebut akan semakin pendek.
Ada keterkaitan antara angka harapan hidup dan mortalitas. Saat mortalitas
.id
rendah, angka harapan hidup akan meningkat. Demikian pula sebaliknya.
o
Mortalitas adalah ukuran jumlah kematian yang terjadi pada suatu populasi.
.g
ps
Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya mortalitas ini, antara
lain yaitu penyakit, tingkat kriminalitas yang tinggi dan sanitasi lingkungan
b
n.
yang buruk.
e
nt
Angka harapan hidup (AHH) penduduk Banten pada tahun 2017 paling
a
//b
sedikit telah mencapai 69,4 tahun. Angka ini meningkat dibandingkan tahun
s:
2010 dan akan terus meningkat hingga menjadi 70,0 tahun pada tahun 2020
tp
(Tabel 2.2). Hanya saja, angka tersebut masih lebih rendah dari rata-rata
ht
Nasional yang minimal selama 70,8 tahun. Betapapun juga, kondisi yang
demikian selalu langsung menjadi penanda bagi meningkatnya derajat
kesehatan, sekaligus tingkat kesejahteraan masyarakat.
Tabel 2.2.
.id
b. Perempuan 70,5 71,4 71,9
o
.g
c. Laki-laki dan Perempuan 68,5 69,4 70,0
ps
2. Angka Kematian Bayi
b
n.
angka AKB tersebut, jauh lebih tinggi dari sasaran pembangunan kesehatan
pada RPJMN 2015-2019, yang mencapai 24 kematian bayi per seribu
kelahiran hidup pada tahun 2019.
o .id
.g
Tingkat Imunitas dan Gizi Balita
b ps
n.
dalam proses tumbuh kembang anak. ASI memiliki manfaat jangka panjang
nt
yang sangat baik, karena ASI adalah nutrisi terbaik dan terlengkap, serta
a
//b
mengandung protein dan gizi yang berkualitas tinggi. ASI juga mengandung
s:
kecerdasan bayi, melindungi tubuh bayi dari alergi dan diare, serta penyakit
ht
Banyak sekali manfaat yang didapat dari proses IMD ini. Diantaranya adalah
dapat memberikan kesempatan kepada bayi untuk mendapatkan kolostrum,
membuat bayi menjadi tenang, mengurangi angka kematian bayi,
.id
Selain PIMD, pemerintah juga menganjurkan agar seorang ibu dapat
o
memberikan ASI ekslusif kepada bayi sejak dilahirkan sampai 6 bulan ke
.g
ps
depan, tanpa menambahkan atau mengganti dengan makanan atau
minuman lain. Setelah bayi berusia 6 bulan ke atas, baru dilanjutkan
b
n.
bersama makanan tambahan dan ASI tetap diberikan hingga usia 2 tahun,
e
Tabel 2.3.
s:
Persentase Anak Usia Kurang dari 2 Tahun yang Pernah Disusui dan
tp
Tahun 2015-2016
Berdasarkan data yang ada pada Tabel 2.5, diketahui bahwa anak berusia
kurang dari 2 tahun di Banten yang pernah disusui sebanyak 94,98 persen.
Angka ini sedikit lebih besar dari tahun 2015, yang mencapai 94,85 persen.
Sayangnya, rata-rata lama disusuinya justru menurun dari 9,9 bulan (9 bulan
27 hari) menjadi 9,64 bulan (9 bulan 19 hari).
o .id
Betapapun juga, jumlah perempuan perkotaan yang bekerja relatif lebih
.g
ps
banyak, akibatnya persentase anak berusia kurang dari 2 tahun yang pernah
disusui menjadi lebih kecil. Namun demikian, mereka itu sepertinya lebih
b
n.
karena sampai umur 6 bulan pencernaan bayi hanya dapat menerima ASI.
tp
Selain itu, dengan hanya diberi ASI saja, seorang bayi akan memiliki
ht
kecerdasan dan kesehatan yang lebih baik. Hanya saja, persentase anak usia
2-4 tahun yang pernah diberi ASI saja selama 6 bulan pada tahun 2016
hanya 40,56 persen (Gambar 2.1). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
kesadaran akan pentingnya pemberian ASI eksklusif sangat rendah sekali.
Gambar 2.1.
Persentase Anak Usia 2-4 Tahun yang Pernah Diberi Asi Ekslusif
Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016
60
.id
30,41
o
26,67
.g
20
b ps
e n.
nt
0
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan
a
//b
s:
Hasil Susenas 2016 yang ada pada Tabel 2.4, memperlihatkan bahwa balita
di Banten yang pernah sekali saja mendapat imunisasi tanpa memandang
jenis imunisasinya, yaitu imunisasi folio, menurun hingga menjadi 88,08
persen. Penurunannya itu juga terjadi pada semua daerah tempat tinggal.
Hanya saja untuk daerah perkotaan, persentase penurunannya lebih tinggi
dibandingkan di daerah perdesaan.
Sementara itu untuk memperoleh kekebalan yang cukup, seorang anak harus
mendapatkan imunisasi lengkap. Yang dimaksud dengan imunisasi lengkap
adalah anak yang telah mendapatkan satu kali imunisasi BCG, tiga kali
imunisasi DPT, tiga kali imunisasi polio dan satu kali imunisasi campak.
Berdasarkan data Susenas (Tabel 2.4), terlihat hanya sekitar 51 persen dari
balita yang ada di Banten telah mendapatkan imunisasi lengkap. Angka
tersebut jelas masih sedikit, namun sudah jauh bertambah dari tahun 2015.
Bahkan untuk daerah perkotaan, penambahannya sangat besar sekali, yakni
mencapai 30 persen poin.
o .id
.g
Tabel 2.4.
ps
Persentase Balita (Usia 0-59 Bulan) yang Pernah Diimunisasi
b
Menurut Jenis Imunisasi dan Daerah Tempat Tinggal,
n.
Tahun 2015-2016
e
a nt
Perkotaan dan
//b
Perkotaan Perdesaan
Jenis Perdesaan
s:
Imunisasi
2015 2016 2015 2016 2015 2016
tp
ht
Pernah Diimunisasi
27,44 57,72 14,75 35,58 23,26 50,85
Lengkap
Ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan menjadi hal yang wajib dalam
pembangunan kesehatan masyarakat. Apalagi jika melihat tingkat kesakitan
penduduk Banten yang masih tergolong tinggi, yakni mencapai 28,30 persen.
Tingkat kesakitan atau morbiditas dihitung dari jumlah penduduk yang
mengalami keluhan (sakit) hingga menyebabkan terganggunya aktivitas
sehari-hari. Keluhan kesehatan adalah gangguan terhadap kondisi fisik
maupun jiwa, termasuk karena kecelakaan, atau hal lain yang menjadi
.id
penyebab terganggunya aktivitas atau kegiatan sehari-hari.
o
.g
Gambar 2.2.
ps
Persentase Penduduk yang Berobat Jalan
b
Menurut Daerah Tempat Tinggal,
n.
Tahun 2015-2016
e
a nt
//b
70
s:
2015 2016
tp
60,41 59,88
ht
60 58,65
50
40
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan
lainnya. Hal ini terlihat dari persentase penduduk yang mempunyai keluhan
kesehatan dan berobat jalan, yang sekitar 60 persen. Betapapun juga, angka
berobat jalan ini sudah meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang
hanya 55 persen (Gambar 2.2).
.id
pelayanan kesehatan serta preferensi penduduk dalam mengakses fasilitas
o
.g
kesehatan tersebut.
ps
b
Tabel 2.5.
e n.
Tahun 2015-2016
//b
s:
Perkotaan dan
tp
Perkotaan Perdesaan
Fasilitas Layanan Perdesaan
ht
Kesehatan
2015 2016 2015 2016 2015 2016
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Praktek Dokter/Bidan/
Klinik/Praktek Dokter 64,47 61,70 61,89 61,14 63,62 61,53
Bersama
Tabel 2.6.
.id
Menurut Penolong Kelahiran Terakhir dan Daerah Tempat Tinggal,
o
Tahun 2015-2016
.g
ps
Perkotaan
b
Perdesaan
Perkotaan dan
Perdesaan
Penolong Kelahiran
n.
Terakhir
2015 2016 2015 2016 2015 2016
e
nt
Selain untuk berobat jalan, fasilitas dan tenaga kesehatan juga digunakan
untuk membantu proses kelahiran. Proses kelahiran dinyatakan aman dan
memenuhi syarat kesehatan, jika sejak awal hingga akhir proses, ditangani
.id
oleh masyarakat yang tinggal di berbagai daerah tempat. Sementara dokter
o
.g
yang tingkat keamanan dan kesehatan persalinannya paling terjamin, relatif
ps
lebih banyak menangani proses kelahiran di perkotaan daripada di daerah
b
perdesaan. Sebaliknya, dukun beranak atau paraji, relatif lebih banyak
n.
BAB III
PENDIDIKAN
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
III Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu modal yang sangat penting bagi seseorang
untuk menjalani kehidupan bermasyarakat. Melalui pendidikan, seseorang
dapat memperoleh berbagai macam informasi dan ilmu pengetahuan yang
.id
sangat berguna untuk dirinya, serta dapat dimanfaatkan bagi kepentingan
o
.g
masyarakat. Selain itu, dengan pendidikan yang dimilikinya, seseorang
ps
diharapkan akan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
b
n.
peran serta aktif dari semua pihak, yang dalam hal ini adalah pemerintah dan
s:
yang mencukupi dapat diketahui dari indikator rasio murid-guru dan rasio
murid per kelas. Adapun tenaga pendidik berkualitas setidaknya dapat dilihat
dari tingginya kualitas guru yang mengajar.
Melek huruf adalah kemampuan untuk membaca dan menulis. Lebih detail
lagi adalah konsep dari UNESCO, yang menyatakan bahwa melek huruf
adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan,
.id
membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang
o
.g
terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan
berbagai situasi.
b ps
n.
Sementara itu Angka Melek Huruf (AMH) adalah persentase penduduk usia
e
15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis, serta mengerti sebuah
nt
semakin menurunnya ABH. Baik AMH maupun ABH, dapat digunakan untuk
tp
Gambar 3.1.
100
2015 2016
98,14 98,19
98
97,37 97,55
.id
96
96,08
95,64
o
.g
94 b ps
92
e n.
nt
90
a
AMH Banten sendiri pada tahun 2016 mencapai 97,55 persen, sedikit
mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 97,37
persen (Gambar 3.1). Meskipun sedikit, namun peningkatannya itu
menunjukkan bahwa angka buta huruf masyarakat juga menurun.
Implikasinya, kualitas SDM Banten dari sisi pendidikan telah meningkat,
walaupun minimal hanya dapat membaca dan menulis.
Meningkatnya AMH Banten ini, ternyata juga terjadi di semua daerah tempat
tinggal. Hanya saja untuk daerah perdesaan, angka AMH nya masih di bawah
AMH daerah perkotaan. Berarti, program pemberantasan buta huruf nanti,
harus lebih terfokus ke daerah perdesaan agar masalah buta huruf yang
menghinggapi sebagian kecil masyarakat cepat terselesaikan.
Gambar 3.2.
100
96,14 96,38
.id
96
o
.g
94
b ps
92
e n.
nt
90
Laki-Laki Perempuan Laki-Laki dan Perempuan
a
//b
Diamati menurut jenis kelamin, terlihat bahwa AMH laki-laki dan AMH
perempuan sama-sama meningkat. Hanya saja, AMH keduanya masih tetap
di bawah 100 persen (Gambar 3.2). Dengan kata lain, masih terdapat kasus
buta huruf, dan yang terbanyak justru menghinggapi kaum parempuan.
.id
Gambar 3.3.
o
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Kelompok Usia Sekolah,
.g
Tahun 2016-2017 (Persen)
b ps
n.
120
e
nt
99,43
100 99,31 95,67 2016 2017
95,59
a
//b
80
67,77
s:
67,00
tp
60
ht
40
21,33
20,74
20
0
7-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun 19-24 Tahun
Berdasarkan data Susenas 2017, terlihat bahwa APS penduduk usia 13 tahun
ke atas selama setahun terakhir ini mengalami peningkatan (Gambar 3.3).
Kondisi yang demikian dapat menjadi penanda dari meningkatnya akses
penduduk kelompok usia tersebut terhadap layanan pendidikan. Ada
Khusus usia 16 tahun ke atas, meskipun APS nya mengalami kenaikan, tetapi
masih harus terus ditingkatkan. Hal ini karena besarannya jauh lebih kecil
dibandingkan sebagian besar provinsi yang ada di Indonesia. Usia 16 tahun
ke atas sendiri adalah kelompok usia yang setara dengan jenjang pendidikan
menengah (SMA/MA/SMK) dan tinggi (Universitas). Implikasinya, kualitas
sumber daya manusia (SDM) yang juga berarti daya saing Banten, dari sisi
pendidikan berpotensi untuk menjadi lebih rendah dari rata-rata Nasional.
o .id
Adapun turunnya APS Usia 7-12 tahun, sepertinya lebih dipengaruhi oleh
.g
ps
perubahan kebijakan penerimaan murid sekolah dasar. Sebelum tahun ajaran
2017/2018, sebagian sekolah dasar yang ada di Banten masih membolehkan
b
n.
jauh berkurang. Akibatnya, banyaknya penduduk usia 7-12 tahun yang masih
//b
bersekolah pada tahun 2017 relatif lebih sedikit dari tahun sebelumnya.
s:
tp
Bila dicermati menurut daerah tempat tinggal, APS daerah perdesaan untuk
ht
Gambar 3.4.
120
80
.id
71,42
58,38
o
60
.g
40
b ps 23,68
n.
20
10,62
e
nt
0
7-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun 19-24 Tahun
a
//b
Disamping itu, mereka yang berusia 16 tahun ke atas, secara legal formal
memang sudah boleh bekerja. Oleh karena itu, banyak penduduk yang
berada pada kelompok usia tersebut, lebih memilih bekerja dari pada
bersekolah. Terlebih lagi, mereka yang berasal dari keluarga miskin, yang
memang harus membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Gambar 3.5.
120
80
.id
70,66
63,54
o
60
.g
40
b ps
20,53
19,44
n.
20
e
nt
0
7-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun 19-24 Tahun
a
//b
Lebih tingginya APS perempuan ini juga menjadi penanda bahwa di masa
depan, kualitas SDM perempuan akan melampaui laki-laki. Bila diskriminasi
gender suatu saat sudah tidak ada lagi di dunia kerja, akan jauh lebih banyak
lagi perempuan yang bekerja dibandingkan sekarang ini. Bahkan, ada
kemungkinan proporsi perempuan yang bekerja melebihi laki-laki. Lebih jauh
.id
dapat menjadi gambaran dari meningkatnya kualitas sumber daya manusia.
o
.g
ps
Tabel 3.1.
b
Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas
n.
Tahun 2015-2016
a
//b
Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
s:
Ijazah/STTB
Tertinggi
tp
.id
daerah perdesaan saja. Selain itu, besaran proporsi lulusan kedua jenjang
o
.g
pendidikan tersebut juga sangat timpang antara di daerah perkotaan dengan
ps
di daerah perdesaan. Bahkan untuk jenjang Universitas, perbandingan
b
proporsi lulusannya mencapai 4 banding 1 untuk daerah perkotaan.
e n.
Meningkatnya proporsi penduduk yang tamat SMA ke Atas ini terjadi seiring
a nt
dengan turunnya proporsi penduduk yang tamat SMP ke Bawah. Dalam hal
//b
ini, yang mengalami penurunan adalah yang belum atau tidak tamat SD serta
s:
yang tamat SMP. Adapun lulusan SD justru meningkat dari 26,50 persen
tp
Tabel 3.2.
Laki-Laki+
Laki-Laki Perempuan
Perempuan
Ijazah Tertinggi
2015 2016 2015 2016 2015 2016
.id
Tidak/Belum Tamat SD 12,55 10,10 18,86 15,41 15,65 12,71
o
.g
SD/MI 25,61 30,95 27,42 32,02 26,50 31,48
SMP/MTS 20,91
b ps
18,20 21,99 19,16 21,44 18,67
n.
jumlah murid yang dilayani oleh satu orang guru di suatu sekolah atau
daerah tertentu.
.id
Gambar 3.6.
o
.g
Rasio Murid-Guru Menurut Jenjang Pendidikan,
Tahun 2015-2016
b ps
e n.
30
a nt
2015 2016
25 23,72
//b
21,01
20,56
s:
20
tp
15,10 16,03
ht
15 14,40
10
0
SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK
Gambar 3.7.
40
.id
2015 2016 37,55
o
.g
36,33
35
33,58 32,94
34,94
b ps
33,37
e n.
nt
30
a
//b
s:
tp
25
SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK
ht
Indikator berikutnya adalah rasio murid per kelas. Rasio murid per kelas
adalah perbandingan antara jumlah murid dengan daya tampung kelas pada
setiap jenjang pendidikan. Rasio murid per kelas ini digunakan untuk
mengetahui rata-rata besarnya kepadatan kelas di suatu sekolah atau daerah
tertentu. Semakin tinggi nilai rasio, berarti tingkat kepadatan kelas semakin
tinggi atau dapat dikatakan bahwa jumlah siswa yang ada di dalam kelas
tersebut sangat banyak. Tingginya rasio murid per kelas juga akan
memberikan dampak pada rendahnya efektivitas proses belajar mengajar.
Secara umum juga terjadi penurunan rasio murid per kelas di Banten
menurut jenjang pendidikan, selama tahun 2015-2016 (Gambar 3.7). Untuk
jenjang pendidikan SD/MI, menurun dari 33,58 menjadi 32,94, jenjang
pendidikan SMP/MTS dari 34,94 menjadi 33,37 dan jenjang pendidikan
SMA/MA/SMK dari 37,55 menjadi 36,33. Berarti, ada perbaikan dalam
layanan pendidikan karena proses belajar mengajar pada berbagai jenjang
menjadi semakin efektif. Meskipun demikian, dibandingkan dengan jumlah
murid yang ideal untuk proses belajar mengajar yang maksimal hanya 25
murid per kelas, terlihat jumlah murid per kelasnya sangat padat.
o .id
Gambar 3.8.
.g
ps
Persentase Guru Berpendidikan Minimal DIV/S1
Menurut Jenjang Pendidikan,
b
n.
Tahun 2015-2016
e
a nt
100
//b
2015 2016
s:
90 89,02
tp
83,32 85,14
82,00
ht
80 77,15
70
70,03
60
50
SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK
.id
yang meningkat. Berarti, guru yang mengajar di Banten memang cukup
o
.g
berkualitas. Lebih-lebih, persentase guru yang berkualitas juga semakin
ps
bertambah, seiring dengan naiknya jenjang pendidikan.
b
e n.
a nt
//b
s:
tp
ht
BAB IV
KETENAGAKERJAAN
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
IV Ketenagakerjaan
.id
diantisipasi dan diselesaikan oleh Pemerintah. Permasalahan tersebut antara
o
.g
lain adalah tingginya tingkat pengangguran, rendahnya penciptaan lapangan
ps
kerja, rendahnya kualitas dan produktivitas tenaga kerja, dan sebagainya.
b
n.
dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari dua bagian yaitu
bekerja dan mencari pekerjaan (pengangguran). Sementara bukan angkatan
kerja mencakup sekolah, mengurus rumahtangga dan lainnya.
.id
Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran Terbuka
o
.g
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) adalah indikator ketenagakerjaan
ps
yang menggambarkan persentase penduduk usia kerja (15 tahun ke atas),
b
n.
yang tergolong sebagai angkatan kerja. Dengan kata lain, TPAK mengukur
e
TPAK Banten selama kurun waktu tiga tahun terakhir ini terlihat sedikit
s:
berfluktuasi. TPAK pada tahun 2015 sebesar 62,24 persen, berarti ada
tp
ht
sekitar 62 orang dari 100 penduduk usia kerja, aktif secara ekonomi atau
berperan serta dalam kegiatan produksi. Adapun sisanya, bukan merupakan
angkatan kerja, yang dalam hal ini bisa jadi masih bersekolah, mengurus
rumahtangga atau lainnya. Memasuki tahun 2016, TPAK mengalami kenaikan
menjadi 63,66 persen, lalu pada tahun 2017 menurun kembali hingga
mencapai 62,32 persen (Tabel 4.1).
Tabel 4.1.
TPAK TPT
Daerah Tempat Tinggal/
Jenis Kelamin
2015 2016 2017 2015 2016 2017
.id
1. Daerah Tempat Tinggal
o
.g
a. Perkotaan 62,44 64,09 62,32 8,83 8,26 8,69
b ps
b. Perdesaan 61,78 62,65 62,33 11,24 10,54 10,73
n.
c. Perkotaan dan
e
2. Jenis Kelamin
//b
s:
c. Laki-Laki dan
62,24 63,66 62,32 9,55 8,92 9,28
Perempuan
Diamati menurut jenis kelamin, menurunnya angka TPAK hanya terjadi pada
angkatan kerja perempuan. Namun demikian, TPAK perempuan tetap lebih
rendah dibandingkan TPAK laki-laki. Lebih rendahnya TPAK perempuan ini
adalah sangat wajar, mengingat perempuan secara umum bukanlah
tumpuan ekonomi keluarga, apalagi setelah menikah kebanyakan dari
mereka akan mengurus rumahtangga. Angka TPAK perempuan sendiri
selama tiga tahun terakhir ini sekitar 41-45 persen, atau sekitar separuh dari
angka TPAK laki-laki.
Dari TPAK dapat diketahui besarnya penduduk usia kerja yang aktif secara
ekonomi. Namun untuk mengetahui seberapa banyak angkatan kerja yang
tidak terserap oleh pasar tenaga kerja, hanya dapat dilihat melalui Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT). Bagian yang tidak terserap oleh pasar ini
selanjutnya disebut sebagai penganggur, yang timbul karena suplai tenaga
kerja jauh lebih tinggi dari permintaannya.
.id
lagi mendapatkan pekerjaan, termasuk juga mereka yang baru mendapat
o
.g
kerja tetapi belum mulai bekerja.
ps
Sama seperti TPAK, TPT Banten selama kurun waktu tiga tahun terakhir ini
b
n.
juga mengalami fluktuasi. Bedanya, angka TPT pada tahun 2017 meningkat
e
Meningkatnya angka TPT Banten, ternyata juga pada semua daerah tempat,
tp
Diamati menurut jenis kelamin, terlihat bahwa angka TPT perempuan lebih
rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini mudah dipahami, karena perempuan
lebih berperan sebagai ibu rumahtangga daripada pencari nafkah. Ketika
perempuan menganggur, mereka bisa berlindung dibalik perannya sebagai
ibu rumahtangga, sehingga tidah lagi tercatat sebagai angkatan kerja.
Sementara laki-laki yang menggangur, karena fungsinya sebagai pencari
nafkah, tidak memiliki perlindungan seperti itu.
.id
Gambar 4.1.
o
TPT Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan,
.g
Tahun 2016-2017 (Persen)
b ps
n.
16
e
14,25
nt
2016 2017
13,14
12,72
a
12 11,79
//b
s:
8,50
tp
8 7,76
ht
5,31
4 3,61
0
SMP ke Bawah SMA Umum SMK Universitas
.id
Khusus lulusan SMAK, sesungguhnya agak mengherankan bila memiliki
o
tingkat pengangguran yang lebih tinggi daripada lulusan SMA Umum. Hal ini
.g
ps
karena, mereka benar-benar dipersiapkan untuk bekerja. Ada kemungkinan
keahlian yang mereka miliki juga terlalu spesifik, sehingga lowongan
b
n.
tinggi ini, mengindikasikan bahwa mereka memang memiliki daya saing yang
tinggi dalam pasar tenaga kerja. Hanya saja, mereka sepertinya memilih-
milih pekerjaan, tentunya sesuai dengan tingkat pendidikan dan upah yang
diharapkannya. Kondisi yang demikian setidaknya terlihat dari masih adanya
penganggur diantara mereka.
Tabel 4.2.
.id
2016 2017
o
Lapangan Usaha
Kota+ Kota+
.g
Kota Desa Kota Desa
Desa Desa
(1) (2)
b ps
(3) (4) (5) (6) (7)
Pertanian, Perkebunan,
n.
Perikanan
nt
Pertambangan dan
a
Industri Pengolahan
s:
Listrik, Gas dan Air Minum 0,66 0,58 0,64 0,45 0,32 0,41
ht
Perdagangan, Rumah
26,30 17,31 23,73 26,24 17,34 23,71
Makan dan Jasa Akomodasi
Transportasi, Pergudangan
6,38 6,39 6,38 8,29 5,11 7,38
dan Komunikasi
Jasa Kemasyarakatan,
20,94 11,33 18,20 20,34 11,19 17,73
Sosial dan Perorangan
Ada empat lapangan usaha yang sangat dominan dalam penyerapan tenaga
kerja di Banten. Keempat lapangan usaha ini adalah lapangan usaha
pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan, lapangan
usaha industri pengolahan, lapangan usaha perdagangan, rumah makan dan
jasa akomodasi, serta lapangan usaha jasa kemasyarakatan, sosial dan
perorangan. Keempat lapangan usaha ini pada tahun 2017 masing-masing
mampu menyerap tenaga kerja sebesar 13,31 persen, 24,54 persen, 23,71
persen, dan 17,73 persen (Tabel 4.2).
.id
pengolahan saja yang penyerapan tenaga kerjanya mengalami peningkatan.
o
.g
Bila dibandingkan dengan sumbangannya dalam perekonomian Banten yang
ps
terus mengalami penurunan (BPS Provinsi Banten, 2017), dapat dikatakan
b
bahwa lapangan usaha tersebut semakin padat tenaga kerja.
e n.
menyerap tenaga kerja sebanyak 13,31 persen dari seluruh tenaga kerja
s:
.id
perdesaan. Hal ini terlihat dari persentase pekerja yang bekerja pada
o
.g
lapangan usaha tersebut, yang pada tahun 2017 mencapai 36,88 persen.
ps
Namun demikian, besaran persentasenya sudah mengalami penurunan
b
dibandingkan tahun sebelumnya. Patut diduga, penurunan ini terjadi karena
n.
Selain lapangan usaha, penduduk yang bekerja juga bisa diamati menurut
s:
ekonomi, yakni formal dan informal. Kegiatan ekonomi formal terdiri dari
mereka yang berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar dan mereka yang
berstatus buruh/karyawan/pegawai. Adapun sisanya, digolongkan ke dalam
kegiatan informal.
Berdasarkan data yang ada pada Tabel 4.3, terlihat bahwa mayoritas pekerja
di Banten bekerja pada sektor ekonomi formal. Hanya saja, persentasenya
mengalami penurunan dari 61,51 persen di tahun 2016 menjadi 58,07 pada
tahun 2017. Kondisi yang demikian ini, setidaknya dapat menjadi penanda
adanya pelemahan pada kegiatan ekonomi formal.
Tabel 4.3.
.id
Tahun 2016-2017
o
.g
2016 2017
Status Pekerjaan Utama
ps
b
Kota+ Kota+
Kota Desa Kota Desa
n.
Desa Desa
e
a. Buruh/Karyawan/
65,74 34,97 56,97 64,65 32,20 55,39
Pegawai
s:
tp
b. Berusaha Dibantu
Buruh Tetap/Buruh 4,95 3,53 4,54 2,83 2,28 2,67
ht
Dibayar
b. Berusaha Dibantu
Buruh Tidak Tetap/
5,24 15,78 8,25 4,71 14,60 7,53
Pekerja Keluarga/
Pekerja Tidak Dibayar
d. Pekerja Keluarga/
5,64 9,78 6,82 4,04 9,40 5,57
Pekerja Tidak Dibayar
.id
Pengusaha dan pekerja sektor informal dari daerah perdesaan, biasanya
o
.g
bekerja di jasa angkutan darat, pedagang kaki lima dan jasa perorangan
di daerah perkotaan.
b ps
e n.
nt
lama jumlah jam kerja yang digunakan untuk bekerja, akan semakin banyak
jumlah barang/jasa yang dihasilkan. Dengan kata lain, pekerjanya akan
semakin produktif.
Berdasarkan lama jam kerja pula, penduduk yang bekerja dapat digolongkan
menjadi tiga kategori, yaitu sementara tidak bekerja, setengah penganggur
dan pekerja penuh. Yang dimaksud sementara tidak bekerja adalah pekerja
yang memiliki pekerjaan, namun selama seminggu terakhir sedang tidak
bekerja. Setengah menganggur adalah penduduk yang bekerja selama
seminggu yang lalu, namun memiliki jumlah jam kerja kurang dari 35 jam.
Adapun pekerja penuh ialah penduduk yang bekerja selama seminggu yang
lalu, dengan jumlah jam kerja minimal 35 jam.
Tabel 4.4.
.id
2016 2017
o
Kategori Pekerja
Kota+ Kota+
.g
Kota Desa Kota Desa
Desa Desa
(1) (2) (3) ps
(4)
b
(5) (6) (7)
o .id
.g
b ps
e n.
a nt
//b
s:
tp
ht
BAB V
TARAF DAN
POLA KONSUMSI
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
Taraf dan Pola
V Konsumsi
.id
Perbedaan pola konsumsi ini dipengaruhi oleh besar-kecilnya pendapatan,
o
.g
tingkat pendidikan atau pengetahuan, jenis pekerjaan, harga barang dan
ps
jasa, dan selera yang sedang berkembang di tengah masyarakat.
b
n.
Pola konsumsi juga dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya dan lingkungan
e
tempat tinggal. Hal ini karena, kondisi tersebut akan membentuk pola
nt
Pengeluaran Penduduk
.id
Dengan demikian, proporsi pengeluaran untuk konsumi makanan dapat
o
digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengetahui adanya perubahan
.g
tingkat kesejahteraan masyarakat.
b ps
n.
Gambar 5.1.
e
nt
Tahun 2012-2016
s:
tp
ht
52 1,5
1,20
1,12 1,2
50 1,02
0,87
0,9
48 0,93
0,75 0,88 0,89
0,79
0,6
46
0,3
49,68 50,29
47,31 47,68 45,43
44 0,0
2012 2013 2014 2015 2016
.id
karena, pada saat bersamaan rata-rata pengeluaran per kapita sebulan
o
.g
penduduk Banten, meningkat hingga mencapai 1,20 juta rupiah pada tahun
ps
2016. Selain itu, angka pengeluaran per kapitanya juga masih di atas rata-
b
rata Nasional yang hanya 1,02 juta rupiah. Lebih-lebih, pengeluaran per
n.
kapita riil sebulan penduduk Banten juga mengalami kenaikan dari 0,75 juta
e
nt
rupiah di tahun 2012 menjadi 0,93 juta rupiah pada tahun 2016.
a
//b
bahan makanan yang bertambah 46 ribu rupiah hingga mencapai 314 ribu
rupiah pada tahun 2016. Sementara yang paling sedikit adalah komoditas
makanan/minuman jadi dan rokok, yang naik dari 289 ribu rupiah menjadi
292 ribu rupiah pada tahun 2016. Adapun barang tahan lama, menjadi satu-
satunya komoditas yang pengeluaran per kapitanya mengalami penurunan.
Tabel 5.1.
.id
a. Bahan Makanan 268.029 313.693 23,90 26,05
o
b. Makanan/Minuman Jadi
.g
289.149 291.838 25,78 24,24
dan Rokok
Tabel 5.2.
.id
Menurut Kelompok Pengeluaran dan Daerah Tempat Tinggal,
o
Tahun 2015-2016 (Persen)
.g
b ps
Perkotaan Perdesaan
Kelompok Pengeluaran
n.
b. Makanan/Minuman Jadi
ht
Ketimpangan Pendapatan
.id
data pendapatan. Sayangnya data pendapatan tidak tersedia di Indonesia,
o
karena itu pengukurannya menggunakan data pengeluaran sebagai proksi
.g
ps
dari pendapatan. Penggunaan data pengeluaran ini menyebabkan angka
b
ketimpangan yang dihasilkan menjadi bias ke bawah. Namun demikian,
n.
Berdasarkan data yang ada pada Tabel 5.3, terlihat bahwa Indeks Gini
selama lima tahun terakhir ini berfluktuasi. Pada periode 2012-2014,
besarannya terus meningkat dari 0,38 menjadi 0,42. Sebaliknya pada periode
2014-2016, menurun hingga mencapai 0,39. Berarti, tingkat ketimpangan
.id
pendapatan antar penduduk di Banten selama periode tersebut cenderung
o
.g
mengalami penurunan.
b ps
Tabel 5.3.
en.
Kelompok Pengeluaran
s:
tp
Tabel 5.4.
.id
Distribusi Persentase Pengeluaran Penduduk Kriteria Bank Dunia dan
o
Indeks Gini Menurut Daerah Tempat Tinggal,
.g
Tahun 2015-2016b ps
n.
Kelompok Pengeluaran
e
Daerah Tempat
Indeks Gini
nt
A. Perkotaan
tp
ht
B. Perdesaan
selalu berada di bawah Indeks Gini daerah perkotaan. Angka Indeks Gini
daerah perdesaan sendiri pada tahun 2016 mencapai 0,25, sedangkan di
perkotaan sebesar 0,40 (Tabel 5.4).
o .id
.g
Konsumsi Energi dan Protein
b ps
n.
dihitung berdasarkan jumlah dari hasil kali antara kuantitas setiap makanan
s:
Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan adalah suatu kecukupan rata-
rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis
kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas tubuh, untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 75 Tahun 2013 (Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi XI tahun
2012), rata-rata kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia
masing-masing sebesar 2.150 kkal dan 57 gram protein.
Gambar 5.2 menyajikan rata-rata konsumsi kalori dan protein per kapita
sehari penduduk Banten. Terlihat bahwa rata-rata konsumsi kalorinya
cenderung meningkat. Pada periode 2012-2014, rata-rata konsumsi kalori
per kapita sehari terus menurun dari 1.980 kkal menjadi 1.884 kkal.
Pada saat bersamaan, rata-rata konsumsi protein per kapita sehari penduduk
Banten juga mengalami kenaikan hingga menjadi 64,5 gram. Berarti, sudah
melebihi batas kecukupan protein yang telah ditentukan. Disamping itu, rata-
rata konsumsi protein ini berada di atas rata-rata Nasional yang hanya
sebanyak 61,2 gram.
o .id
.g
Gambar 5.2.
ps
Rata-Rata Konsumsi Kalori (Kkal) dan Protein (Gram) per Kapita Sehari,
b
Tahun 2012-2016
e n.
a nt
2.200 80
//b
Kalori Protein
64,5
s:
59,4 59,3
2.000 57,7 56,0 60
tp
ht
2.173
1.800 40
2.041
1.980
1.600 20
1.919
1.884
1.400 0
2012 2013 2014 2015 2016
Berdasarkan naiknya rata-rata konsumsi kalori dan protein per kapita sehari
ini, dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk Banten memang
sudah mengalami peningkatan. Lebih-lebih, kedua jenis konsumsi tersebut
telah melebihi batas kecukupan energi dan protein yang ditetapkan melalui
keputusan Menteri Kesehatan RI pada tahun 2013.
Tabel 5.5.
Rata-Rata Konsumsi Kalori (Kkal) dan Protein (Gram) per Kapita Sehari
Menurut Daerah Tempat Tinggal,
Tahun 2015-2016
Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
.id
Jenis Konsumsi
2015 2016 2015 2016 2015 2016
o
.g
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Demikian pula dengan konsumsi protein penduduk Banten, yang juga terjadi
pada semua daerah tempat tinggal. Peningkatan konsumsi protein untuk
.id
Tingkat konsumsi daging serta telur dan susu per kapita sehari penduduk
o
daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan penduduk daerah perdesaan.
.g
ps
Sebaliknya untuk ikan, tingkat konsumsi per kapita seharinya lebih rendah
dari tingkat konsumsi penduduk daerah perdesaan.
b
e n.
Sementara itu tingkat konsumi ikan, daging, serta telur dan susu, per kapita
nt
sehari penduduk Banten ternyata masih di atas rata-rata Nasional. Hal ini
a
//b
setidaknya dapat diketahui dari tingkat konsumsi protein yang berasal dari
s:
Banten sendiri, untuk ketiga sumber protein tersebut, pada tahun 2016
ht
masing-masing mencapai 8,8 gram, 6,5 gram dan 3,5 gram per kapita
sehari. Adapun untuk Indonesia, rata-rata hanya sebesar 8,2 gram, 5,7 gram
dan 3,1 gram per kapita sehari.
BAB VI
PERUMAHAN
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
VI Perumahan
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, setelah pangan dan
sandang. Rumah berfungsi sebagai sarana pengamanan dan pemberi
ketentraman hidup. Rumah mempunyai pengaruh terhadap pembinaan
.id
watak dalam kepribadian. Selain itu, rumah juga mempunyai fungsi strategis
o
.g
sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, dan peningkatan
ps
kualitas generasi yang akan datang. Oleh karena itu, rumah menjadi faktor
b
penting yang mempengaruhi produktivitas dan kreativitas kerja orang-orang
n.
Secara umum, rumah dapat diartikan sebagai bangunan yang selama jangka
//b
waktu tertentu, dijadikan tempat tinggal. Adapun dalam arti khusus, istilah
s:
Rumah yang layak huni adalah rumah sehat, dalam hal ini harus memenuhi
standar kesehatan, agar penghuni rumah dapat terjamin kesehatannya.
Menurut Kemenkes RI (2002), rumah harus memenuhi empat kriteria agar
bisa dikatakan sehat, yaitu: Pertama, dapat memenuhi kebutuhan fisiologis
yang dalam hal ini adalah pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang
cukup, terhindar dari kebisingan yang menggangu. Kedua, dapat memenuhi
kebutuhan psikologis, yaitu privasi yang cukup, komunikasi yang sehat antar
anggota keluarga dan penghuni rumah.
.id
penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah
o
.g
rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak
ps
berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman
b
dari pencemaran. Keempat, memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya
n.
kecelakaan baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah.
e
a nt
Selain sebagai tempat tinggal, rumah juga dapat menunjukkan status sosial
//b
dengan kualitas atau kondisi rumah yang dihuni atau dimilikinya. Semakin
tp
Kualitas rumah tinggal yang baik atau layak huni, pasti akan membuat
penghuninya merasa aman, terlindung dan terjamin kesehatannya. Ada
beberapa indikator yang dapat menunjukkan kualitas rumah tinggal layak
huni, yaitu jenis lantai rumah bukan dari tanah, atap dari beton/genteng/
sirap/seng/asbes dan dinding tembok atau kayu.
Lantai rumah harus kuat untuk menahan beban diatasnya, tidak licin, stabil
waktu dipijak, dan mudah dibersihkan. Bila musim hujan, lantai juga tidak
Gambar 6.1.
.id
Tahun 2015-2016
o
.g
100
b ps
n.
96,92
nt
96,42
96,12
a
96
//b
94,39
s:
94
93,3
tp
ht
92
90
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan
Selain lantai, atap rumah juga mempengaruhi kualitas rumah layak huni.
Atap yang baik harus mampu melindungi rumah dari perubahan cuaca, baik
panas dan hujan, maupun petir, angin, debu, dan sebagainya. Adapun atap
yang layak menurut kriteria ini adalah atap yang terbuat dari beton, genteng,
sirap, seng, dan asbes.
.id
Gambar 6.2.
o
.g
Persentase Rumahtangga yang Menempati Rumah dengan Atap Terluas
ps
dari Beton/Genteng/Sirep/Seng Menurut Daerah Tempat Tinggal,
b
Tahun 2015-2016
e n.
a nt
98,80
2015 2016
s:
98 97,93
tp
96,76
ht
96
94,22
94
92
90
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan
pada tahun 2016 juga meningkat dari tahun sebelumnya. Selain itu, besaran
persentasenya pun lebih tinggi dibandingkan rata-rata Nasional yang
mencapai 98,26 persen. Peningkatan persentasenya juga terjadi pada semua
daerah tempat tinggal. Meskipun demikian, persentase rumahtangga di
daerah perdesaan yang menempati rumah dengan atap terluas dari jenis
tersebut, tetap di bawah rumahtangga di daerah perkotaan.
Gambar 6.3.
.id
dari Tembok dan Kayu Menurut Daerah Tempat Tinggal,
o
Tahun 2015-2016
.g
b ps
100
n.
96,02
94,83
e
2015 2016
nt
90 88,76
86,88
a
//b
80
s:
72,30
tp
70 69,62
ht
60
50
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan
Selain lantai dan atap, dnding rumah juga turut mempengaruhi kualitas
rumah layak huni. Dinding yang baik, harus tegak lurus agar dapat memikul
berat dinding sendiri dan beban tekanan angin, serta mampu memikul beban
di atasnya. Dinding harus dipisahkan dari pondasi, oleh lapisan kedap air.
Pelapisan ini dimaksudkan agar air tanah tidak meresap naik, sehingga
dinding terhindar dari basah, lembab, tampak bersih dan tidak berlumut.
Adapun jenis dinding yang layak menurut kriteria ini, hanyalah yang
menggunakan tembok dan kayu.
o .id
Diamati menurut daerah tempat tinggal, peningkatan rumahtangga yang
.g
ps
menempati rumah dengan dinding terluas dari tembok atau kayu ini, terjadi
pada semua daerah tempat tinggal. Namun demikian, besaran persentase
b
n.
Selain dilihat dari kualitas rumah, rumah yang layak huni atau rumah sehat
s:
privasi ini didekati dengan luas lantai per kapita. Ada beberapa batasan
ht
minimal luas lantai per kapita, salah satunya dari Badan Kesehatan Dunia
(WHO), yang menyatakan bahwa rumah sehat adalah rumah tinggal yang
memiliki luas lantai per orang minimal 10 meter persegi (BPS, 2001).
Menurut hasil Susenas yang disajikan pada Gambar 6.4, sebagian besar
rumahtangga di Banten terlihat sudah menempati rumah dengan ciri-ciri
layak huni, yaitu memiliki luas lantas per kapita minimal 10 meter persegi.
Hanya saja, persentasenya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015
yang sebesar 78,32 persen. Selain itu, juga lebih rendah dari rata-rata
Nasional yang mencapai 78,81 persen.
ini, terjadi pada semua daerah tempat tinggal. Namun demikian, persentase
penurunan untuk daerah perkotaan, lebih tinggi dibandingkan daerah
perdesaan. Akibatnya, besaran persentasenya menjadi semakin lebih rendah
dari daerah perdesaan.
Gambar 6.4.
o .id
.g
82
b 2015 ps 2016
79
n.
76,75 77,03
nt
76
a
//b
s:
73
tp
ht
70
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan
Air minum bersih sendiri didefinisikan sebagai air yang bersumber dari air
kemasan, air isi ulang dan air ledeng. Termasuk juga air minum bersih
adalah air dari sumur bor/ pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung,
yang jarak ke tempat penampungan kotoran tinja minimal 10 meter.
.id
Besarnya persentase rumah tangga yang menggunakan air minum bersih
o
pada tahun 2016 sebesar 68,78 persen, atau menurun dibandingkan tahun
.g
ps
sebelumnya (Tabel 6.1). Selain itu, persentasenya juga lebih rendah dari
rata-rata Nasional yang mencapai 70,63 persen.
b
e n.
Disamping itu, ada perbedaan yang sangat besar dalam hal penggunaan air
nt
hanya 45,27 persen. Perbedaan yang sangat besar ini terjadi karena adanya
tp
data yang ada, rumahtangga yang mengkonsumsi air kemasan, air isi ulang
dan air ledeng mencapai 62,86 persen. Sementara di daerah perdesaan
hanya 25,76 persen.
Tabel 6.1.
Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
Fasilitas Perumahan
2015 2016 2015 2016 2015 2016
.id
Ulang dan Ledeng 63,38 62,86 25,73 25,76 51,50 51,52
o
(Persen)
.g
Air Minum Layak
(Persen)
79,72
b ps
79,14 46,85 45,27 69,35 68,78
Penerangan Listrik
99,97 99,89 99,25 99,36 99,74 99,73
(Persen)
s:
tp
.id
pada setiap daerah tempat tinggal sudah menikmati fasilitas penerangan
o
.g
listrik. Dimana, secara keseluruhan ada sebanyak 99,73 persen rumahtangga
ps
telah menikmati fasilitas tersebut. Angka ini sedikit mengalami penurunan
b
dibandingkan tahun 2015, namun masih di atas rata-rata Nasional yang
n.
Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan dan
ht
Tabel 6.2.
.id
Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
o
Status Kepemilikin
.g
2015 2016 2015 2016 2015 2016
(1) (2)
b ps
(3) (4) (5) (6) (7)
BAB VII
KEMISKINAN
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
VII Kemiskinan
Kemiskinan masih menjadi masalah kronis di berbagai belahan dunia,
terutama di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, kemiskinan yang
sebelumnya menjadi tujuan utama agenda pembangunan “Millennium
.id
Development Goals (MDGs)”, kembali menjadi tujuan utama dalam
o
.g
“Sustainable Development Goals (SDGs)“. Terkait kemiskinan ini, SDGs
ps
menargetkan penghapusan kemiskinan dalam berbagai bentuk di wilayah
b
manapun pada tahun 2030.
en.
dari angka baseline 11,22% pada 2015. Adapun program yang dilaksanakan
ht
.id
Perkembangan Garis Kemiskinan
o
.g
Kemiskinan adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi, untuk memenuhi
ps
kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan. Penghitungan
b
angka kemiskinan menggunakan garis kemiskinan yang diperoleh dari data
n.
Garis kemiskinan di Banten selama periode Maret 2015 hingga Maret 2017
tp
mencapai 336 ribu rupiah per kapita sebulan, kemudian secara bertahap
meningkat hingga menjadi 387 ribu rupiah per kapita sebulan (Tabel 7.1).
Meningkatnya garis kemiskinan ini terjadi seiring dengan naiknya harga
barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat. Selain itu, adanya
perubahan selera atau gaya hidup, yang mengubah pola konsumsi
rumahtangga juga turut mendorong naiknya garis kemiskinan.
Tabel 7.1.
.id
(Ribu Rupiah per Kapita Sebulan)
o
.g
ps Perkotaan dan
Periode Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
b
n.
Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan
dan garis kemiskinan bukan makanan. Garis kemiskinan makanan merupakan
nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan, yang disetarakan dengan
2.100 kalori per kapita per hari. Adapun garis kemiskinan bukan makanan
adalah nilai pengeluaran atau kebutuhan minimum untuk perumahan,
sandang, pendidikan, dan kesehatan.
.id
bagi penduduk miskin. Terlebih lagi di daerah perdesaan, yang proporsi
o
.g
konsumsi makanannya jauh lebih tinggi dari daerah perkotaan.
b ps
Gambar 7.1.
e n.
0,8
75,40%
ht
68,52% 70,47%
0,6
0,4
31,48% 29,53%
24,60%
0,2
0
Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Persdesaan
Tabel 7.2.
Perkotaan Perdesaan
Persentase Persentase
Terhadap Terhadap
Komoditas Komoditas
Garis Garis
Kemiskinan Kemiskinan
.id
(1) (2) (3) (4)
o
A. Makanan 68,52 A. Makanan 75,40
.g
1. Rokok 16,22
b ps1. Beras 26,32
n.
5. Pakaian Jadi
5. Angkutan 1,69 0,96
Perempuan Dewasa
.id
di daerah perdesaan.
o
.g
ps
Rokok adalah komoditas yang tidak menghasilkan kalori. Namun karena
banyak dikonsumsi oleh penduduk miskin, maka rokok dimasukkan dalam
b
n.
Sementara itu perumahan menjadi komoditas non makanan, yang biaya atau
tp
.id
ingin diwujudkan oleh Pemerintah Provinsi Banten.
o
.g
ps
Tabel 7.3.
b
Persentase Penduduk Miskin Menurut Daerah Tempat Tinggal,
n.
Jumlah
//b
Persentase
Penduduk Miskin
Penduduk Miskin
s:
(Ribu Orang)
Periode
tp
Kota+ Kota+
ht
Terlebih lagi, jumlah penduduk miskin di Banten masih cukup besar, yakni
sebanyak 675 ribu orang. Selain itu jumlahnya juga mengalami peningkatan
dibandingkan periode September dan Maret 2016, yang hanya 658 ribu
orang. Hanya saja, jumlahnya masih di bawah angka September dan Maret
2015, yang masing-masing mencapai 691 ribu orang dan 702 orang.
.id
persen. Selain itu, tingkat kesejahteraan petani pada periode Oktober 2016-
o
.g
Maret 2017 juga mengalami penurunan, yang ditandai oleh rata-rata nilai
ps
tukar petani pada periode tersebut yang kurang dari 100.
b
e n.
nt
Tabel 7.4.
.id
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
o
Maret 2015 0,867 1,081 0,935 0,232 0,222 0,229
.g
September 2015 0,820 1,075
b ps
0,901 0,200 0,232 0,210
n.
Berdasarkan data yang ada pada Tabel 7.4, terlihat bahwa indeks kedalaman
kemiskinan Banten pada Maret 2017 mencapai 0,859. Dalam hal ini, besaran
indeksnya masih berada di bawah periode Maret-September 2015, namun
sudah meningkat dibandingkan periode Maret-September 2016. Fenomena
yang sama juga terjadi pada indeks keparahan kemiskinan, dengan besaran
indeksnya pada Maret 2017 sebesar 0,190.
.id
tingginya besaran peningkatan angka P1 dan P2. Adapun lebih besarnya
o
.g
angka P1 dan P2 untuk daerah perdesaan, menjadi penanda bahwa tingkat
ps
kedalaman dan keparahan kemiskinnya jauh lebih tinggi dibandingkan
b
daerah perkotaan.
e n.
DAFTAR
PUSTAKA
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
Daftar Pustaka
.id
BPS. 2013b. Statistik Pendidikan 2012. BPS: Jakarta
o
.g
BPS. 2015. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2015. BPS: Jakarta
ps
b
BPS. 2016. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2016. BPS: Jakarta
e n.
nt
BPS Provinsi Banten. 2017b. PDRB Provinsi Banten Menurut Lapngan Usaha
2012-2016. BPS Provinsi Banten: Kota Serang
Ditjen PPM dan PL. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat.
Departemen Kesehatan RI: Jakarta
LAMPIRAN
ht
tp
s:
//b
a nt
e n.
bps
.g
o .id
Lampiran
Lampiran 1.
o .id
.g
2016 2017
Kabupaten/
Kota
ps
L P L+P L P L+P
b
n.
8. Kota Tangerang
803 791 1.594 828 817 1.645
Selatan
Lampiran 2.
2016 2017
Kelompok
Umur
L P L+P L P L+P
.id
5-9 605 574 1.179 618 589 1.207
o
10-14 541 514 1.055 550 522 1.073
.g
15-19 542 512 1.054
b ps 540 512 1.052
Lampiran 3.
Perkotaan dan
Perkotaan Perdesaan
Fasilitas Layanan Perdesaan
Kesehatan
2015 2016 2015 2016 2015 2016
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
.id
Rumah Sakit Pemerintah 5,07 4,73 2,41 3,51 4,19 4,37
o
.g
Rumah Sakit Swasta 10,03 10,65 1,29 1,91 7,15 8,09
Klinik/Praktek Dokter
35,50 33,83 18,27 17,01 29,83 28,90
e
Bersama
a nt
Praktek Pengobatan
1,76 1,99 2,28 1,12 1,93 1,74
ht
Tradisional
Lampiran 4.
Perkotaan dan
Perkotaan Perdesaan
Penolong Kelahiran Perdesaan
Terakhir
2015 2016 2015 2016 2015 2016
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
.id
Dokter Kandungan 27,14 30,74 7,41 6,49 20,75 23,43
o
.g
Dokter Umum 1,83 4,04 2,61 1,11 2,08 3,16
Perawat
nt
Tenaga Kesehatan
a
Lainnya
s:
Lampiran 5.
Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
Ijazah Tertinggi
2015 2016 2015 2016 2015 2016
.id
Tidak Mempunyai Ijazah 10,75 8,71 26,67 21,92 15,65 12,71
o
.g
SD/MI 20,08 25,82 40,94 44,51 26,50 31,48
SLTP/MTs 22,61
b ps
18,65 18,81 18,73 21,44 18,67
n.
Diploma IV/Universitas
7,64 8,20 1,56 2,23 5,77 6,39
S2/S3
Lampiran 6.
Laki-Laki+
Laki-Laki Perempuan
Perempuan
Ijazah Tertinggi
2015 2016 2015 2016 2015 2016
.id
Tidak Mempunyai Ijazah 12,55 10,10 18,86 15,41 15,65 12,71
o
.g
SD/MI 25,61 30,95 27,42 32,02 26,50 31,48
Diploma IV/Universitas
6,64 7,05 4,87 5,72 5,77 6,39
S2/S3
Lampiran 7.
Perkotaan+
Perkotaan Perdesaan
Perdesaan
Jenis Kegiatan
2016 2017 2016 2017 2016 2017
1. Angkatan Kerja
.id
3.965 3.975 1.622 1.622 5.587 5.597
(Ribu Orang)
o
.g
a. Bekerja 3.637 3.629 1.451 1.448 5.088 5.077
(Ribu Orang)
nt
b. Mengurus
1.349 1.477 718 656 2.067 2.133
s:
Rumahtangga
tp
Lampiran 8.
Laki-Laki+
Laki-Laki Perempuan
Perempuan
Jenis Kegiatan
2016 2017 2016 2017 2016 2017
.id
1. Angkatan Kerja 3.636 3.710 1.951 1.887 5.587 5.597
o
.g
a. Bekerja 3.308 3.355 1.781 1.723 5.088 5.077
b. Mengurus
169 146 1.898 1.987 2.067 2.133
s:
Rumahtangga
tp