Anda di halaman 1dari 78

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menyebabkan sistem imun

menjadi lemah dan menjadi lebih mudah untuk terkena infeksi yang secara

normalnya dapat dilawan oleh tubuh. Pertahanan tubuh terhadap infeksi dan

penyakit yang dihancurkan oleh HIV dengan cara mengahancurkan CD4+, dapat

menghilangkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Semakin lama,

penderita akan mengalami berbagai penyakit termasuk infeksi oportunstik.1

Bagi penderita infeksi HIV, diare kronik merupakan komplikasi yang

biasa terjadi pada 60-90% di negara berkembang. Suatu studi di India menyatakan

bahwa diare merupakan manifestasi klinis ketiga paling banyak pada pasien

dengan HIV.2 Selain itu, tuberkulosis merupakan Infeksi Opurtunistik (IO) yang

juga paling sering ditemukan pada anak terinfeksi HIV dan menyebabkan

peningkatan angka kesakitan dan angka kematian pada kelompok tersebut.

Besarnya angka kejadian TB pada anak terinfeksi HIV sampai saat ini sulit

diperoleh secara akurat. Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV

disebabkan tingginya transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak

(CD4 kurang dari 15%, umur di bawah 5 tahun). Meningkatnya kasus HIV pada

orang dewasa telah berdampak terhadap peningkatan jumlah anak yang terinfeksi

HIV pada umur yang rentan sehingga anak-anak tersebut sangat mudah terkena

TB.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Human Immunodeficiency Virus (HIV)

2.2.1 Definisi

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus RNA yang

termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan

penurunan imunitas tubuh pejamu. Untuk mengadakan replikasi

(perbanyakan) HIV perlu mengubah ribonucleic acid (RNA) menjadi

deoxyribonucleid acid (DNA) di dalam sel pejamu. Seperti retrovirus lain,

HIV menginfeksi tubuh, memiliki masa inkubasi yang lama (masa laten

klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala AIDS.3

2.2.2 Epidemiologi

Infeksi virus penyebab defisiensi imun (HIV-1) pada anak dapat

terjadi melalui trasnfusi darah atau komponennya yang tercemar. Makin

sering transfusi dilakukan maka makin besar kemungkinan terjadinya

infeksi. Menurut CDC Amerika, 13% kasus AIDS pada anak adalah

penerima transfusi darah atau komponennya, 5% diantaranya ternyata

infeksi dalam pengobatan hemofilia atau gangguan pembekuan darah yang

lain. Dengan diterapkannya sistem uji tapis yang lebih ketat terhadap

donor darah, penularan melalui transfusi ini telah berkurang, sehingga

penularan pada umumnya lebih sering terjadi akibat infeksi perinatal

(vertikal), yaitu sekitar 50-80% baik intra uterin, melalui plasenta, selama

2
persalinan melalui pemaparan dengan darah atau skreta dengan jalan lahir,

maupun yang terjadi setelah lahir (pasca natal) yaitu melalui air susu ibu

(ASI). Penularan pasca natal terjadi melalui pemaparan yang erat dengan

darah, eksreta atau skreta, masih belum dapat dipastikan oleh karena angka

kejadian terlampau kecil. Penularan melalui plasenta (intra natal), diduga

dapat terjadi pada periode kehamilan yang sangat dini, oleh karena pernah

ditemukan adanya antigen terhadap virus pada janin yang berusia 13-20

minggu.4

2.2.3 Etiologi

Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human

immuno deficiency virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari famili

retrovirus dan subfamili lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal 2

serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-2 yang juga disebut

limphadenopathy associated virus type 2 (LAV-2) yang sampai sekarang

hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika. Spektrum

penyakit yang menimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai

penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) yang tersering, dahulu dikenal

juga sebagai human T-cell-lymphotrophic virus type III (HTLV-III)

berbentuk bulat dan terdiri atas bagian inti (core) dan selubung

(envelope).4

Inti dari virus terdiri dari suatu protein sedangkan selubungnya

terdiri dari suatu glikoprotein. Protein dari inti terdiri dari genom RNA dan

suatu enzim yang dapat menyebabkan kematian sel T-CD4 adalah sebagai

3
akibat reseptor antigen sel T-CD4 berikatan dengan klas –II MHC dari sel

penyaji antigen yang telah mengikat antigen atau superantigen.4

2.2.4 Riwayat Alamiah infeksi HIV

1. Infeksi HIV Akut

Infeksi HIV akut disebut juga “infeksi HIV primer” atau

“sindrom serokonversi akut”. Sekitar 40% - 90% infeksi HIV baru,

memiliki gejala. Jangka waktu sejak terpajan sampai timbulnya gejala

penyakit biasanya sekitar 2-4 minggu. Beberapa orang mengalami

gejala seperti mononukleosis infeksiosa (glandular-fever): demam,

ruam, pegal-pegal dan limpadenopati. Terkadang pasien mengalami

sindrom saraf akut yang sering kali sembuh sendiri . Sindrom ini

mencakup meningitis aseptik, neuropati perifer, ensefalitis dan

mielitis. Sebagian besar pasien yang memiliki gejala akan berusaha

mencari pertolongan medis. Meskipin demikian, diagnosis jarang

dapat ditegakkan karena petugas kesehatan tidak menyangka gejala-

gejala tersebut adalah sebagai gejala infeksi HIV; gejala klinis

nonspesifik sehingga dipikirkan disebabkan oleh penyebab lain

misalnya malaria; tes serologi standar pada tahap infeksi akut ini

biasanya negatif. Tes serologis positif biasanya terjadi setelah 4 - 12

minggu setelah terinfeksi dengan lebih dari 95% pasien “serokonversi”

dalam waktu 6 bulan. Diagnosis infeksi HIV akut paling baik

ditegakkan dengan pemeriksaan HIV RNA pada plasma. 3

4
2. Infeksi HIV asimtomatis (tanpa gejala)

Seseorang yang terinfeksi bisa tidak memiliki gejala sampai 10

tahun atau lebih. Sebagian besar anak terinfeksi HIV pada periode

perinatal. Periode tanpa gejala pada anak-anak tidak diketahui.

Beberapa bayi akan sakit di minggu-minggu pertama setelah lahir.

Sebagian besar anak-anak mulai sakit sebelum mencapai usia 2 tahun.

Hanya sedikit yang tetap sehat selama beberapa tahun awal

kehidupan.3

3. Perjalanan sejak infeksi HIV sampai timbul penyakit terkait HIV

dan AIDS

Hampir semua orang yang terinfeksi HIV jika tidak diobati akan

mengalami penyakit terkait HIV dan AIDS. Berapa orang mengalami

ini lebih cepat dari yang lain. Laju perkembangan menjadi AIDS

tergantung pada karakteristik virus maupun orang yang terinfeksi.

Karakteristik virus adalah tipe dan subtipe HIV-1 dan beberapa subtipe

HIV-1 bisa menyebabkan progresivitas yang lebih cepat. Karakteristik

orang yang bisa mempercepat progresi ini antara lain berumur kurang

dari 5 tahun, berumur lebih dari 40 tahun, terdapat ko-infeksi dan

faktor genetik. 3

4. Immunosupresi yang terus berlanjut

Ketika infeksi HIV terus berkembang dan sistem kekebalan

tubuh menurun maka pasien akan lebih rentan terkena infeksi termasuk

TB, pneumonia, infeksi jamur pada kulit, orofaring dan herpes zoster.

5
Infeksi ini bisa terjadi kapanpun dalam perjalanan infeksi HIV.

Beberapa pasien dapat mengalami gejala konstitusional (demam dan

penurunan berat badan dengan penyebab yang tidak jelas) dulu dikenal

dengan nama AIDS-related complex (ARC). Beberapa pasien

mengalami diare kronik dengan diikuti penurunan berat badan sering

dikenal sebagai slim disease.3

2.2.5 Imunopatogenesis HIV

Human immunodeficiency virus menyerang sel yang mempunyai

molekul antigen CD4 pada permukaannya. Sel ini pada dasarnya adalah

subset sel limfosit T helper, yang sangat penting dalam respon imun yang

dimediasi sel. Sel-sel ini disebut limfosit-T CD4+. Beberapa tahun

belakangan juga diketahui bahwa HIV memerlukan molekul lain yang

dikenal sebagai kemokin yang terdapat pada permukaan sel dan berguna

untuk masuk ke dalam sel. Pasien yang tidak memiliki beberapa kemokin

spesifik ini (misalnya CCR5) lebih resisten terhadap infeksi HIV. Pada

pasien lain yang memiliki perubahan molekul pada reseptor kemokin ini

akan lebih lambat mengalami progresivitas menuju AIDS. 3

Akibat paling penting dari infeksi HIV adalah penurunan jumlah

limfosit-T CD4+ yang progresif. Disamping itu limposit-T CD4+ yang

tersisa tidak mempunyai kinerja yang sama seperti ketika belum terinfeksi,

sehingga infeksi HIV yang progresif akan mengakibatkan penurunan

system kekebalan tubuh yang progresif pula. 3

6
2.2.6 Manifestasi Klinis

Setelah terjadi infeksi HIV tidak segera timbul gejala, oleh karena

diperlukan waktu untuk terjadinya replikasi virus yang kemudian

memegang peran dalam timbulnya berbagai gejala klinis dan laboratorium.

Dengan demikian ini berarti masa inkubasi infeksi HIV sangat berbeda-

beda tergantung kepada dosis infeksi dan daya tahan tubuh inang. Menurut

apradi dan Caspe (1990), pada infeksi yang terjadi vertikal, lebih dari 50%

masa inkubasinya sekitar satu tahun 78% sekitar dua tahun. Pada anak

lebih besar, masa inkubasi ini umumnya lebih panjang, walaupun lebih

pendek jika dibandingkan dengan masa inkubasi pada orang dewasa. Pada

5% kasus, dijumpai masa inkubasi yang lebih dari 5-9 tahun. Setelah masa

inkubasi timbul gejala prodromal yang bersifat non spesifik setelah suatu

selang waktu yang berbeda-beda. 4

2.2.6.1 Gejala non spesifik (prodromal) infeksi HIV4

1. Demam

2. Gangguan pertumbuhan

3. Kehilangan berat badan (10% atau lebih)

4. Hepatomegali

5. Limfadenopati (diameter lebih dari 0,5 cm pada 2 tempat atau lebih)

6. Splenomegali

7. Parotitis

8. Diare

7
2.2.6.2 Gejala Spesifik Infeksi HIV4

1. Gangguan tumbuh kembang dan fungsi intelek

2. Gangguan pertumbuhan otak

3. Defisit motoris yang progresif yang ditandai oleh 2 atau lebih gejala

berikut, paresis, tonus otot yang abnormal, refleks patologis, ataksi

atau gangguan melangkah.

4. Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP)

5. Infeksi sekunder yang terdiri dari :

a. Infeksi opotunistik seperti pneumonia oleh pneumocystis carinii,

kandidiasis, infeksi cryptococcus, infeksi mikobakteria yang

atipik.

b. Infeksi sekunder oleh streptococcus pneumoniae, haemophilus,

influenzae, neiseeria meningitids, salmonella enteritidis yang

menimbulkan sepsis, meningitis, pneumonia dan abses organ

interna.

c. Infeksi virus yang berat dan berulang, stomatitis herpes yang

kronik dan berulang, herpes zoster multidermatomal atau luas.

6. Keganasan skunder seperti limfoma susunan saraf pusat primer,

Hodgkin’s B cell dan non Hodgkin’s lymphoma sarkoma kaposi

(umumnya pada orang dewasa).

7. Penyakit tertentu yang lain seperti kardiomiopati dengan gagal

jantung atau aritmia, beberapa kelainan hematologik (tersering

anemia dan trombositopenia), glomerulonefropati, kelainan kulit

8
seperti eksim, seborrhoe molluscum contagiosus yang berat dan

berjalan lama. Perlu dikemukakan bahwa sebelum timbul gejala,

umumnya telah dapat dijumpai adanya gangguan fungsi imun.

2.2.6.3 Kelainan imunologik pada awal infeksi HIV4

1. Hipo atau hiper gamaglobulinemia

2. Jumlah sel limfosit T-CD4 menurun

3. Menurunnya rasio sel limfosit T-DC4 (Th) : T-CD8 (Ts)

4. Limfopenia absolut

2.2.7 Diagnosis 4

Diagnosis HIV juga ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium. Anamnesis yang mendukung

kemungkinan adanya infeksi HIV misalnya :

1. Lahir dari ibu dengan risiko tinggi

2. Lahir dari ibu dengan pasangan berisiko tinggi

3. Penerima transfusi darah atua komponennya, lebih-lebih berulang dan

tanpa uji tapis HIV

4. Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya

pecandu narkotika)

5. Homoseksual atau biseksual

6. Kebiasaan seksual yang keliru

Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik,

penyakit yang menular secara seksual, infeksi yang berulang atau berat,

terdapat gagal tumbuh, adanya ensefalopati yang menetap atau progresif,

9
penyakit paru interstisial, keganaan sekunder, kardio-miopati dan lain-

lainnya.

Untuk diagnostik yang pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium

mulai dari yang relatif sederhana hingga yang relatif sulit dan mahal yaitu

mulai dengan menentukan adanya antibodi anti-HIV misalnya dengan

ELISA (enzymenked immunosorbant assay) sebagai uji tapis, yang

dilanjutkan dengan uji yang lebih pasti seperti western blot assay dan lain-

lainnya. Pada uji ELISA dipakai lisat seluruh tubuh. Virus dengan nilai cut

off yang direndahkan untuk meningkatkan sensitivitas tes. Sudah tentu ini

akan berakibat meningkatnya kemungkinan reaksi positif palsu. Uji

western blot, merupakan uji yang lebih spesifik karena menentukan

adanya bagian-bagian protein yang dikandung oleh HIV yaitu p24, gp41

dan gp120/160. Dikatakan positif apabila ditemukan atau 3 protein yang

ditentukan ini.

10
2.2.8 Stadium HIV
Anak dengan infeksi HIV diklasifikasikan berdasarkan kriteria klinis
dan kriteria imunologis.
Tabel 1. Tabel stadium HIV pada anak berdasarkan kriteria klinis3

11
Tabel 2. Tabel stadium HIV pada anak berdasarkan kriteria
imunologis. 3

2.2.9 Tatalaksana

Langkah awal dalam tatalaksana anak yang terdiagnosis HIV adalah

memastikan agar tumbuh dan kembangnya terjaga. Selanjutnya

mendiagnosis dan menatalaksana IO yang ada seperti TB. Pemberian

profilaksis untuk TB, PCP dan malaria merupakan bagian penting

terutama pada anak dengan kadar limfosit CD4 sangat rendah (< 15%)

atau bayi. Selanjutnya dilakukan penilaian untuk pemberian ARV yang

meliputi memastikan orang dewasa yang akan menjadi pemberi minum

obat, kondisi social, ekonomi secara keseluruhan dan kepatuhan terhadap

obat-obatan lain yang digunakan sebelum memulai terapi ARV. 3

12
Gambar 1. Tatalaksana umum anak terinfeksi HIV3

2.2. Diare Persisten

2.2.1. Definisi

Definisi diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan

konsistensi lebih lunak atau lebih cair dari biasanya dan terjadi paling

sedikit 3 kali dalam 24 jam. Dalam referensi disebutkan bahwa definisi

diare untuk bayi dan anak-anak adalah pengeluaran tinja >20 g/kg/24 jam,

sedagkan rata-rata pengeluaran tinja normal pada bayi sebesar 5-10

13
g/kg/24 jam. Diare umumnya dibagi menjadi diare akut dan diare yang

berkepanjangan (kronis) dan atau persisten). Diare kronis dan diare

persisten seringkali dianggap suatu kondisi yang sama. Ghishan

menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare lebih dari 2 minggu,

sedangkan kondisi serupa yang disertai berat badan menurun atau sukar

naik oleh Walker Smith et al. Didefiisikan sebagai diare persisten.5

2.2.2. Epidemiologi

Insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar

antara 7-15% setiap tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-54%

dari keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini menunjukkan bahwa diare

persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi

tingkat kematian anak di dunia. Meskipun penelitian epidemiologis

mengenai diare persisten masih terbatas, sebuah studi komunitas di

Bangladesh menunjukkan bahwa secara keseluruhan angka kejadian diare

persisten masih belum menurun secara bermakna dalam rentang tahun

1980-1992. Di Indonesia, prevalensi diare persisten/kronis sebesar 0,1%,

dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia 6-11 bulan.5

2.2.3. Etiologi

Diare berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam kondisi.

Dinegara maju sebagian besar membahas penyebab non infeksi, umumnya

meliputi intoleransi protein susu sapi/kedelai (pada anak usia <6 bulan,

tinja sering disertai dengan darah); celiac disease (gluten-sensitive

enteropathy), dan cystic fibrosis. Namun, perhatian global seringkali

14
tertuju pada diare berkepanjangan yang bermula dari diare akut akibat

infeksi saluran cerna. Diare jenis ini banyak di negara-negara

berkembang.5

Tabel 3. Enteropatogen penyebab diare di surabaya (1984 – 1993)5


Diare
Diare akut Diare
Etiologi berkepanjangan
(<7 hari) Kronis
7-15 hari
Rotavirus 116 n.d n.d
V. Cholera 78 2 -
Salmonella sp. 86 81 21 (11,9%)
E. Coli 102 14 16 (9%)
Campylobacte J. 16 2 -
Entamoeba histopytica - 16 12 (6,8%)
Staphylococcus aureus - 11 7 (4%)
Shigella 7 1 -
Pseudomonas - 1 -
Salmonella tphi - 1 3 (1,7%)
Morganella morgagni - - 3 (1,7%)
Klebsiella - - 1 (0,5%)
Enterobacter - - 1 (0,5%)
Aeromonas 4 n.d n.d
Klebsiella oxytocia 5 - -
Infeksi campuran 54 13 12 (6,8%)
76 (100%)

2.2.4. Patogenesis

Beberapa faktor seperti malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi

mikronutrient dan ketidaktepatan terapi diare menjadi faktor risiko

terjadinya diare berkepanjangan (prolonged diarrhea). Pada akhirnya

15
prolonged diarrhea akan menjadi diare persisten yang memiliki

konsekuensi enteropati dan malabsorpsi nutrisi lebih lanjut.5

Dua faktor utama mekanisme faktor mukosa diare kronis adalah

faktor intralumen dan faktor mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan

proses pencernaan dalam lumen. Faktor yang mempengaruhi pencernaan

dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses yang

mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus, ataupun

gangguan pada fungsi transport protein. Perubahan integritas membran

mukosal dapat disebabkan oleh proses akibat infeksi maupun non infeksi,

seperti alrgi susu sapi dan intoleransi laktosa. Gangguan fungsi transport

protein misalnya disebabkan gangguan penukar ion natrium hidrogen dan

klorida bikarbonat.5

Secara umum patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan

secara jelas oleh Ghishan, dengan membagi menjadi lima mekanisme,

yaitu: 5

1. Sekretoris

Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan Cl secara aktif dari

sel kripta akibat mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP dan Ca2+,

mediator tersebut juga mencegah terjadinya perangkaian antara Na+

dan Cl pada sel vili usus. Hal ini berakibat pada tidak dapat terserap

dan terjadi pengeluaran cairan secara masif ke lumen usus. Diare

dengan mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu volume tinja yang

banyak (>200 ml/24 jam), konsistensi tinja yang sangat cair,

16
konsentrasi Na+ dan Cl > 70 mEq dan tidak berespon terhadap

penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah vibrio

cholerae dimana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi

cAMP dengan mekanisme yang telah disebutkan sebelumnya. 5

2. Osmotik

Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjadi

kegagalan proses pencernaan dan/atau penyerapan nutien dalam usus

halus sehingga zat tersebut langsung memasuki colon. Hal ini

mengakibatkan tkanan osmotik lumen usus sehingga menarik cairan ke

dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak hanya tergantung pada faktor

keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang

diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak dengan epitel.

Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai dengan penurunan

waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan gangguan

absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat

intoleransi laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab

baik infeksi maupun non infeksi, yang didapat sekunder maupun

bawaan primer, menyebabkan laktosa terbawa ke usus besar dalam

keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini

kemungkinan akan difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk

laktosa dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala

khas yaitu pH < 5, bereaksi positif terhadap substansi reduksi dan

berhenti dengan penghentian konsumsi makanan yang memicu diare. 5

17
3. Mutasi protein nutrient

Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang

mengatur pertukaran ion Cl/HCO3 pada sel brush border apical usus

ileo colo, berdampak pada gangguan absorpsi Cl dan menyebabkan

HCO3 tidak dapat tersekresi. Hal ini berlanjut pada alkalosis metabolik

dan pengasaman isi usus yang kemudian mengganggu proses absorsi

Na+. Kadar Cl dan NA+ yang tinggi di dalam usus memicu terjadinya

diare dengan mekanisme osmotik. Pada kelainan ini, anak mengalami

diare cair sejak prenatal dengan konsekensi polihidramnion, kelahiran

prematur dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum

rendah, sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah

dilaporkan di berbagai daerah di dunia seperti Amerika Serikat,

Kanada, hampir seluruh negara di Eropa, Timur Tengah, Jepang dan

Vietnam. Selain mutasi pada penukar Cl/HCO3, didapat juga mutasi

pada penukar Na+/H+ dan Na+ protein pengangkut asam empedu. 5

4. Pengurangan Luas Permukaan Anatomi Usus

Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-

kondisi ertentu seperti necrotizing, enterocolitis, volvulus, atresia

intestinal, penyakit Crohn dan lain-lain, diperlukan pembedahana,

bahkan pemotongan bagian usus yang kemudian menyebabkan short

bowel synrom. Diare dengan patogenesis ini ditandai dengan

kehilangan cairan dan elektrolit yang masif, serta malasobrsi makro

dan mikronutrien. 5

18
5. Perubahan Pada Gerakan Usus

Hipomotilitas usus akibat berbgai kodisi seperti malnutrisi,

skleroderna, obstruksi usus dan diabetes mellitus, mengakibatkan

pertumbuhan bakteri berlebih di usus. Pertumbuhan bakteri yang

berlebihan menyebabkan dekonjugasi garam empedu yang berdampak

meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti pada mekanisme

diare sekretorik. Perubahan gerakan usus pada diabetes mellitus terjadi

akibat neurogpati saraf otonom, misalnya saraf adrenergik, yang pada

kondisi normal berperan sebagai antisekretori dan/atau proabsorptif

cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu

terjadinya diare. 5

Gambar 2. Konsep Patogenesis Diare Persisten dan kronis5

19
2.2.5. Diagnosis

Untuk mendiagnosis diare sama seperti penyakit lainnya, yaitu

dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.6

2.2.5.1. Anamnesis

Pada anamnesis, perjalanan penyakit diare harus

ditanyakan secara jelas, seperti: lamanya diare berlangsung,

kapan diare muncul (saat neonatus, bayi, atau anak-anak) untuk

mengetahui, apakah termasuk diare kongenital atau didapat,

frekuensi BAB, konsistensi dari feses, ada tidaknya darah dalam

tinja. Selain itu juga harus di cari faktor-faktor risiko penyebab

diare, antara lain: tidak diberikannya ASI, atau ASI tidak

eksklusif dalam 6 bulan pertama kehidupan, riwayat makanan

(adanya faktor-faktor modifikasi yang mempengaruhi BAB

seperti diet untuk memperkirakan termasuk diare osmotik atau

diare sekretorik) atau stress, riwayat kecil masa kehamilan dan

riwayat diare dalam dua bulan terakhir (yang menunjukkan ada

masalah dalam sistem imunologi anak). 6

2.2.5.2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada diare persisten harus mencakup

perhatian khusus pada penilaian status dehidrasi, status gizi dan

status perkembangan anak. Dapat dijumpai adanya (1) edema

yang mungkin menunjukkan adanya protein losing enteropathy

20
yang merupakan akibat sekunder dari inflammatory bowel

disease, lymphangiektasia atau colitis. (2) Perianal rash yang

merupakan akibat dari diare yang memanjang atau merupakan

tanda dari malabsorpsi karbohidrat karena feses menjadi bersifat

asam. (3) Tanda-tanda malnutrisi seperti cheilosis, rambut merah

jarang dan mudah dicabut, lidah yang halus, badan kurus, baggy

pants. 6

2.2.5.3. Pemeriksaan penunjang5

Pemeriksaan penunjang pada diare persisten meliputi:

1) Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis lekosit, serum

imunoglobulin untuk mengevaluasi adanya defisiensi imun,

HIV testing, KED (Kecepatan Endap Darah), CRP, albumin,

ureum darah, elektrolit, tes fungsi hati, vitamin B12, vitamin

A, D, dan E, folat, kalsium, feritin, waktu protrombin

(petanda untuk defisiensi vitamin K) untuk mengevaluasi

gangguan nutrisi akibat diare yang berkepanjangan.

2) Pemeriksaan tinja

a. Kultur feses: patogen yang sering ditemukan pada diare

persisten adalah --E. coli (EPEC), Salmonella,

enteroaggregative E. Coli (EAEC), Klebsiella,

Aeromonas, Amebiasis, Campylobacter, Shigella,

21
Giardiasis dan Cryptosporidium (antigen testing),

Rotavirus (Elisa).

b. Tes enzim pankreas seperti tes fecal elastase untuk kasus

yang diduga sebagai --insufisiensi pankreas. pH tinja < 5,5

atau adanya substansi yang mereduksi (glukosa, fruktosa,

laktosa) pada pemeriksaan tinja, membantu mengarahkan

kemungkinan intoleransi laktosa.

c. Osmolalitas feses dan elektrolit feses untuk menghitung

osmotik gap dapat membantu membedakan antara diare

osmotik dengan diare sekretorik. Osmotic gap dihitung

dengan rumus: 290 – 2 (Na+ + K+). Osmotic gap > 50

mOsm menunjukkan diare osmotik.

3) Pemeriksaan radiologi sedikit digunakan pada kasus diare

persisten, barium meal dapat menunjukkan nodularitas,

striktur dengan dilatasi proksimal usus yang bisa merupakan

tempat small bacterial overgrowth yang dapat menyebabkan

diare.

4) Endoskopi dapat digunakan untuk mengevaluasi beberapa

kasus diare persisten. Endoskopi dan kolonoskopi dengan

biopsi digunakan untuk mengevaluasi pasien yang dicurigai

mengalami inflammatory bowel disease.

22
5) Breath hydrogen test atau pemberian susu bebas laktosa

sementara waktu dapat dikerjakan pada pasien yang dicurigai

intoleransi laktosa.

2.2.6. Tatalaksana5

Manajemen diare persisten harus dilakukan secara bertahap dengan

meliputi:

1. Penilaian awal, resusitasi dan stabilitasi

Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan

rehidrasi secepatnya. Diare persisten seringkali disertai gangguan

eleketrolit sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit, khususnya pada

kondisi hipokalemia dan asidosis. Pemberian antibiotik elektrolit,

khususnya pada kondisi hipokalemia dan asidosis. Pemberian

spektrum luas harus dipertimbangkan pada anak-anak yang

menunjukkan gambaran kondisi kegawatan atau infeksi sistemik

sebelum hasil kultur diperoleh.

2. Pemberian Mikronutrien

Defisiensi zinc, vitamin A dan besi pada diare persisten/kronis

diakibatkan asupan nutrisi yang tidak adekuat dan pembuangan

mikronutrien melalui defekasi. Suplementasi multivitamin dan mineral

harus diberikan minimal dua RDA selama dua minggu. Satu RDA

anak umur 1 tahun meliputi asam folat 50 mikrogram, zinc 10 mg,

vitamin 400 mikrogram, zat besi 10 mg, tembaga 1 mg dan magnesium

80 mg. WHO (2006) merekomendasikan suplementasi zinc untuk aak

23
berusia ≤6 bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk anak berusia >6

bulan sebesar 20 mg (1 tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari.

Meta analisis yang dilakukan menurunkan probabilitas pemanjangan

diare akut sebesar 24% dan mencegah kegagalan terapi diare persisten

sebesar 42%.

3. Terapi Farmakologis

Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena terbukti

tidak efektif. Antibiotik diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda

infeksi, baik infeksi intestinal maupun ekstra intestinal. Jika dalam

tinja didapatkan darah, segera diberikan antibiotik yang sensitif untuk

shigellosis. Metronidazol oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi)

diberikan pada kondisi adanya trofozoit entamoeba histolytica dalam

sel darah, adanya trofozoit giardia lamblia pada tinja, atau jika tidak

didapatkan perbaikan klinis ada pemberian dua antibiotik berbeda yang

biasanya efektif untuk shigella. Jika dicurigai penyebab adalah infeksi

lainnya, antibiotik disesuaikan dengan hasil biakan tinja dan

sensitivitas.

4. Follow up

Follow up diperlukan untuk memantau tumbuh kembang anak

sekaligus memantau perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak

menunjukkan perbaikan dengan terapi diare persisten membutuhkan

pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan

intractable diarrhea yaitu diare yang berlangsung ≥ 2 minggu dimana

24
50% kebutuhan cairan anak harus diberikan dalam bentuk intravena.

Diare ini banyak ditemukan dinegara maju dan berhubungan dengan

kelainan genetik. Kegagalan manajemen nutrisi ditandai dengan

adanya peningkatan frekuensi berak dan diikuti kembalinya tanda-

tanda dehidrasi, atau kegagalan pertambahan berat badan dalam waktu

7 hari.

2.2.7. Diare persisten pada infeksi HIV

Diare persisten merupakan salah satu satu manifestasi klinis yang

banyak dijumpai penderita HIV. Insidensi diare persisten lima kali lebih

tinggi pada anak-anak dengan status HIV seropositif. Faktor penting yang

meningkatkan kerentanan anak-anak dengan HIV terhadap kejadian diare

persisten adalah jumlah episode diare akut sebelumnya. Setiap episode

diare akut pada pasien HIV meningkatkan risiko 1,5 kali untuk terjadinya

diare persisten.5

Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada

anak-anak belum diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten

pada kasus HIV terkait dengan perubahan status imunitas. Pada infeksi

HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA sekretorik dan peningkatan GDB

lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan bakteri. 5

25
2.3. Tuberkulosis (TB)

2.3.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar

kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh

lainnya.3

2.3.2 Epidemiologi

Tuberkulosis, terutama TB Paru, merupakan masalah yang timbul

tidak hanya di Negara berkembang, tetapi juga Negara maju. Tuberculosis

tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka morbiditas dan

mortalitas, baik di Negara berkembang maupun di Negara maju. Ada tiga

hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah tahun 1990, yaitu

perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV, dan pertumbuhan populasi

yang cepat.7

Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB anak di

antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4% kemudian menjadi

8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per

provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini

menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level

provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun

dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun

yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada

26
TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan

tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 mnjadi 6%.8

Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia

0-4 tahun adalah 19%, sedangkan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Di

Asia Tenggara selama 10 tahun diperkirakan bahwa jumlah kasus baru

adalah 35,1 juta, 8% diantaranya (2,8juta) disertai infeksi HIV. 7

Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini,

diduga disebabkan oleh berbagai hal yaitu diagnosis tidak tept, pengobatan

tidak adekuat, program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat,

infeksi endemic HIV, migrasi penduduk, mengobati sendiri (self

treatment), meningkatnya kemiskinan dan pelayanan kesehatan yang

kurang memadai. 7

2.3.3 Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempermudah terjadinya

infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor

tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi

infeksi menjadi penyakit (resiko penyakit).7

2.3.3.1 Risiko Infeksi TB

Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang

terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (Kontak TB positif),

daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (hygiene dan

sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan,

penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak pasien TB dewasa aktif. 7

27
Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan

terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif.

Berarti, bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko

tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi dengan ibunya, semakin besar pula

kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang

infeksius. 7

Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan

lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA Sputum positif,

infiltrate luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan

encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat factor lingkungan yang

kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik. 7

Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang

dewasa disekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang

ditemukan didalam secret endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal

yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah kuman TB pada

anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih

lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit.

Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit

TB primer biasanya terjadi didaerah parenkim yang jauh dari bronkus,

sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya

produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk didaerah parenkim

menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak. 7

28
2.3.3.2 Risiko Sakit TB

Tidak semua orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberkulosis akan

jadi sakit TB. Hanya sekitar 10% saja yang akan berkembang menjadi

sakit TB aktif. Biasanya risiko menjadi sakit TB ini terjadi sebelum 1

tahun setelah terjadinya infeksi. 7

Ada beberapa faktor yang dapat menurunkan daya tahan tubuh

sehingga yang bersangkutan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif,

misalnya: malnutrisi, kondisi yang menurunkan sistem imunitas (infeksi

HIV, diabetes, penggunaan kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif

lain dalam jangkapanjang).7

Sekitar 60% ODHA yang terinfeksi dengan kuman TB akan menjadi

sakit TB selama hidupnya. Seperti telah dijelaskan di atas maka pada

orang dengan HIV negatif, risiko ini jauh lebih rendah yaitu hanya sekitar

10%. Faktor risiko kejadian TB secara ringkas digambarkan pada gambar

berikut ini. 7

Gambar 3. Faktor risiko kejadian TB3

29
2.3.4 Patogenesis7

Paru merupakan port d’entri lebih dari 98% kasus infeksi TB.

Karena ukurannya yang sangat kecil (<5µm), kuman TB dalam percik

renik (droplet nuklei) yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada

sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme

imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis spesifik.

Akan tetapi, pada sebagian kasus laninnya, tidak seluruhnya dapat

dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh

kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian

besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat

dihancurkan akan terus berkembangbiak dalam makrofag, dan akhirnya

menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi

ditempat sersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe

menuju kelenjar limfe regional, yaitu kenlenjar limfe yang mempunyai

saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan

terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe

(limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak dilobus bawah atau

tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus

(perihiler), sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan

terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara focus primer,

limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary

complex).

30
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga

terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa

inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses

infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga

timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12

minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu.

Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer

dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler

tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya

hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yaitu uji tuberculin positif.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru

biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau

kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkejuan dan enkapsulasi.

Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi,

akan tetapi penyembuhannya biasanya tiak sesempurna focus primer

dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama

bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit

TB.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuk imunitas seluler, dapat

terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,

kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer,

atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi

penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi

31
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen

inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam

bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread).

Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi

sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian

mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang

mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan

kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang diorgan lain

seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lain-lain. Pada umumnya kuman

disarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan

proses patologiknya. Sarang diapeks paru disebut dengan focus Simon,

yang dikemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks

paru saat dewasa.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun

pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada

tiga bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen,

TB endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberculosis paru kronik adalah

TB pascaprimer sebagai reaktivasi kuman didalam focus yang tidak

mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak

tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.

Tuberculosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan

menifestasi TB pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang

32
terinfeksi TB. Tuberkulosis system skeletal terjadi pada 5-10% anak yang

terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi juga 2-3 tahun

setelah infeksi primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun

setelah infeksi primer.

Gambar 4. Patogenesis TB 8
2.3.5 Diagnosis8

Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan

pemeriksaan pada :

1) Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.

Sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah

terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif

dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan kontak

erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan pada bab

profilaksis TB pada anak.

33
2) Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB

anak.Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ

yang paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini

dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu

ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala

serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

2.3.5.1 Gejala sistemik/umum TB anak7

1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik

dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya

perbaikan gizi yang baik.

2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas

(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).

Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan

gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-

gejala sistemik/umum lain.

3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda

atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah

dapat disingkirkan.

4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal

tumbuh (failure to thrive).

5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan

pengobatan baku diare.

34
2.3.5.2 Gejala klinis pada organ yang terkena TB7

1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):

Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi

kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.

2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:

a. Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai

gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.

b. Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.

3. Tuberkulosis sistem skeletal:

a. Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang

(gibbus).

b. Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda

peradangan di daerah panggul.

c. Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa

sebab yang jelas.

d. Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

4. Skrofuloderma:

Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus

(skin bridge).

5. Tuberkulosis mata:

a. Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).

b. Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

35
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal

dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut

tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

Diagnosis pasti TB anak ditegakkan dengan ditemukannya M.

tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan

serebrospinal (CSS), cairan pleura, atau biopsi jaringan. Pada anak,

kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal, yaitu

sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan

spesimen (sputum).

Kedua alasan tersebut menyebabkan diagnosis TB anak terutama

didasarkan pada penemuan klinis dan radiologis, yang keduanya seringkali

tidak spesifik. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis

dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, foto Rontgen thorax,

dan pemeriksaan laboratorium.

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang

2.3.6.1 Uji Tuberkulin7

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai

sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada

seseorang yang telah terinfeksi TB, maka akan terjadi reaksi berupa

indurasi di lokasi suntikan. Hal ini terjadi karena vasodilatasi lokal,

edema, endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah

suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak dapat

36
menentukan tingkat aktivitas dan beratnya proses penyakit. Berikut

interpretasi hasil uji tuberkulin:

1) Secara umum, hasil uji tuberculin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm

dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini

sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih

mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG)

atau infeksi M.Atipik.

2) Indurasi 0-4 mm, dinyatakan uji tuberculin negatif. Sedangkan,

diameter 5-9 mm dinyatakan positif meragukan.

3) Pada keadaan imunokompromise, cut off-point hasil positif yang

digunakan adalah ≥5mm.

4) Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15

mm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena

infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCGnya.

Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:

1) Infeksi TB alamiah

a. Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)

b. Infeksi TB dan sakit TB

c. TB yang telah sembuh

2) Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)

3) Infeksi mikobakterium atipik

37
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut:

1) Tidak ada infeksi TB

2) Dalam masa inkubasi infeksi TB

3) Anergi (keadaan penekanan system imun oleh berbagai keadaan)

Tabel 4. Klasifikasi individu berdasarkan status tuberkulosisnya

Kelas Pajanan Infeksi Sakit

(kontak dengan (uji tuberkulin (uji tuberkulin,

Pasien TB positif) klinis, dan

aktif) penunjang positif)

0 - - -
1 + - -
2 + + -
3 + + +

2.3.6.2 Uji Interferon7

Uji tuberkulin dianggap tidak praktis karena pasien harus datang

minimal dua kali untuk diagnostik, yaitu saat penyuntikan dan saat

pembacaan. Disamping itu, pemeriksaan imunitas selular yang ada

biasanya tidak dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB. Oleh

karena itu, telah dikembangkan suatu pemeriksaan imunitas selular yang

lebih praktis yaitu dengan memeriksa spesimen darah, dan diharapkan

dapat membedakan infeksi TB dan sakit TB. Pemeriksaan yang dimaksud

adalah uji interferon (Interferon Gamma Release Assay, IGRA). Terdapat

dua jenis IGRA, pertama adalah inkubasi darah dengan Early Secretory

38
Antigenic Target-6 (ESAT-6) dan Culture Filtrate Protein-10 (CFP-10).

Kedua adalah pemeriksaan Enzyme-Linked Immuno spot.

2.3.6.3 Radiologi7

Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai

berikut:

1. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat

2. Konsolidasi segmental/lobar

3. Milier

4. Kalsifikasi dengan infiltrate

5. Atelektasis

6. Kavitas

7. Efusi pleura

8. Tuberkuloma

Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara anteroposterior (AP),

tetapi harus disertai dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran

KGB didaerah hilus biasanya lebih jelas pada foto lateral.

2.3.6.4 Mikrobiologi7

Diagnosis pasti TB paru ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada

pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan

terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung

untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman M.tuberculosis.

Pemeriksaan tersebut sulit dilakukan pada anak karena sulitnya

39
mendapatkan specimen berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan

pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) 3 hari berturut-turut. Minimal

2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak sebagian besar

negative, sedangkan hasil biakan M. tuberculosis memerlukan waktu yang

lama yaitu sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang

hasilnya diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), yaitu pemeriksaan Bactec,

tetapi biayanya mahal da secara teknologi lebih rumit.

2.3.6.5 Patologi Anatomik (PA) 7

Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang

ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh

limfosit. Granuloma tersebut memiliki karakteristik perkijuan atau area

nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Diagnosis histopatologik dapat

ditegakkan dengan menemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit,

dan sel datia Langerhans. Kadang-kadang dapat ditemukan juga BTA.

2.3.7 Sistem skoring8

Pada pusat kesehatan dengan sarana terbatas, dalam mendiagnosis

TB pada anak digunakan sistem skoring sebagai berikut:

Tabel 5. Sistem Penilaian Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB di


Sarana Kesehatan Terbatas.
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak - Laporan BTA
jelas keluarga, (+)
BTA (-)/BTA
tidak
jelas/tidak
tahu

40
Uji Negatif - - Positif
Tuberkulin (> 10
(Mantoux) mm
atau > 5
mm
pada
IMC)
Berat - BB/TB<9 Klinis gizi -
Badan/Keada 0% atau buruk atau
an Gizi BB/U<80 BB/TB<70%
% atau
BB/U<60%
Demam yang - >2 - -
tidak minggu
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik - >3 - -
minggu
Pembesaran - > 1 cm, > - -
kelenjar limfe 1, tidak
kolli, aksila, nyeri
inguinal
Pembengkak - Ada - -
an pembengk
tulang/sendi akan
panggul,
lutut, falang
Foto thorax Normal/ Gambaran - -
kelainan sugestif
tidak jelas TB
Skor
Total
Catatan:
1. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
2. Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
3. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)
4. Demam dan batuk tidak respon terhadap terapi sesuai baku puskesmas
5. Foto thorax bukan merupakan alat dagnsotik utama pada TB anak
6. Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem
skoring TB anak
7. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)
8. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke Puskesmas untuk
evaluasi lebih lanjut.
9. Gambaran sugestif TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau
paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelectasis, konsolidasi
segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrate, tuberkuloma.

41
2.3.8 Tatalaksana

Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi

(pengobatan) dan profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada

anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang

kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit

TB (profilaksis sekunder). 8

Gambar 5. Alur tatalaksana pasien TB anak. 8

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan

cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik

klinis maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak

merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila

dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak

menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.7

Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2

bulan pertama) dan sisanya tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB

adalah minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama)

dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali

42
pada TB berat). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap

intensif maupun tahap lanjutan. 7

Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT

disediakan dalam bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk

satu masa pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif,

yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z); sedangkan untuk

tahap lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan Isoniasid (H). 7

Tabel 6. OAT yang biasa dipakai dan Dosisnya7


Dosis
Dosis Harian Maksimal
Nama Obat Efek Samping
(mg/kgBB/hari) (mg per
hari)
Isoniazid 10-15* 300 Hepatitis, neuritis
perifer, hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi
kulit, hepatitis,
trombositopenia,
peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan
Pirazinamid 30-40 2000 Toksisitas hati,
arthralgia,
gastrointestinal
Etambutol 15-25 1250 Neuritis optic,
ketajaman mata
berkurang, buta warna
merah-hijau,
penyempitan lapang
pandang,
hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh
melebihi 10 mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidka boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorbsi dengan baik
melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan).

43
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani

pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan

OAT disediakan dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap = KDT (Fixed

Dose Combination = FDC). Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2

macam tablet, yaitu: Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R

(Rifampisin), H (Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada

tahap intensif. Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R

(Rifampisin) dan H (Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan.

Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan

anak dan komposisi dari tablet KDT tersebut. 7

Tabel 7. Dosis Kombinasi pada TB Anak8


BB (Kg) Fase intensif (2 bulan) Fase lanjutan (4 bulan)
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Catatan:
* Bila BB > 33 kg, dosis disesuaikan dengan tabel 4 (perhatikan dosis maksimal)
* Bila BB < 5 kg, sebaiknya dirujuk ke RS
* Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet
* Perhitungan pemberian tablet diatas sudah memperhatikan kesesuaian dosis per
kgBB

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal

seperti TB milier, meningitis TB, TB sendi dan tulang, dan lain-lain: 8

1. Pada tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH,

Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin).

44
2. Pada tahap lanjutan diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan.

3. Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis

TB, TB endobronkial dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid

(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis,

maksimal 60 mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4

minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tapering off selama 1-2

minggu.

2.3.9 Evaluasi Hasil Pengobatan

Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan

dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena

diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis.

Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi

klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang

terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya

kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya

penambahan BB yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk,

perbaikan nafsu makan, dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik,

maka pengobatan dilanjutkan.7

Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu

dilakukan secara rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang

nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura, atau bronkopneumonia TB. Pada

pasien TB milier, foto toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi

hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto toraks

45
dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai

sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi. 7

Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada

dan tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap dilanjutkan sambil

dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa tidak ada perbaikan.

Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau

resisten terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangai disarana kesehatan

terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan

paru anak. 7

Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis,

ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat, kemungkinan adanya

penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan

6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. 7

Pengobatan selama 6 bulan bulan bertujuan untuk meminimalisasi

residu subpopulasi persister M. tuberculosis (tidak mati dengan obat –

obatan) bertahan dalam tubuh, dan mengurang secara bermakna

kemungkinan terjadinya relaps. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB

paru tanpa komplikasi menunjukkan angka relaps yang tidak berbeda

bermakna dengan pengobatan 6 bulan. 7

2.3.10 Evaluasi Efek Samping Pengobatan

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan

berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada

pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,

46
hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta demam. Salah satu efek samping

yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas. 7

Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian isoniazid yang tidak

melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15

mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh

peningkatan SGOT/SGPT hingga ≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali

disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl,

serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun yang disertai

dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah. 7

Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan

hati yang terjadi. Anak dengan gangguan fungsi ringan mungkin tidak

membutuhkan perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa

peningkatan enzim transaminasi yang tidak terlalu tinggi dapat mengalami

resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan lebih

dari ≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala

memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis

rifampisin. Akan tetapi, mengingat pentingnya rifampisin dalam panduan

pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini cukup

menimbulkan keraguan. Akhirnya disimpulkan bahwa paduan pengobatan

dengan isoniazid dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan

dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas

dengan tepat. 7

47
2.3.11 Ko-Infeksi TB-HIV

2.3.11.1 Definisi

Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut

sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Sebagian besar orang yang terinfeksi

kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tidak menjadi sakit TB karena

mereka mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit

tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang

sistem imunitasnya menurun misalnya ODHA maka infeksi TB laten

tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif. 3

2.3.11.2 Epidemiologi

Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV

di dunia diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-

infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada

sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia

Tenggara. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV

sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB.3

2.3.11.3 Diagnosis

Gejala klinis TB pada anak terinfeksi HIV sama dengan yang

tidak terinfeksi HIV tetapi pada anak yang terinfeksi HIV lebih sering

mengalami TB diseminata. Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV sering

sulit dibedakan dengan kondisi lain akibat infeksi HIV seperti

Lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP), pneumonia bakteri, PCP,

48
bronkiektasis dan Sarkoma Kaposi. Gejala klinis umum TB pada anak

terinfeksi HIV antara lain batuk persisten lebih dari 3 minggu yang tidak

membaik setelah pemberian antibiotik spektrum luas, malnutrisi berat

atau gagal tumbuh, demam lebih dari 2 minggu, keringat malam yang

menyebabkan anak sampai harus ganti pakaian, gejala umum non-

spesifik lainnya dapat berupa fatigue (kurang aktif, tidak bergairah).

Indikator yang baik terdapatnya penyakit kronik dan TB anak adalah

gagal tumbuh meskipun keadaan ini dapat pula disebabkan kurang

nutrisi, diare kronik dan infeksi HIV. 3

2.3.11.4 Tatalaksana

Pada anak yang terinfeksi HIV, pemberian ART dimulai setelah

pasien mendapat pengobatan TB selama 2-8 minggu (lebih disukai

adalah 8 minggu) untuk mengurangi terjadinya IRIS dan efek samping

obat yang saling tumpang tindih. Hal yang paling penting diperhatikan

pada anak HIV dengan TB adalah potensi interaksi obat terutama

golongan NNRTI dengan Rifampisin. 3

Pilihan obat ARV lini pertama yang digunakan pada anak TB-HIV3

Anak umur > 3 tahun : 2 NRTI (Zidovudin dan Stavudin)

Efavirenz

Anak umur < 3 tahun : 2 NRTI (Zidovudin dan Stavudin)

Nevirapin

Anak semua umur : 3 NRTI (Zidovudin+Stavudin+Abacavir)

49
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama Lengkap : An. N. L. M. S

Tempat dan Tanggal Lahir : Mataram, 1 Juli 2008

Umur : 7 tahun 3 bulan

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Tanjung-KLU

Status dalam keluarga : Anak Kandung

Nomor Rekam Medis : 565943

Ibu Ayah

Nama Ibu A Bapak M

Umur 35 Tahun 43 Tahun


Pendidikan SMP SMA
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Swasta (pedagang elektronik)

Masuk RS tanggal : 28 Agustus 2015

Diagnosis masuk RS : GEA Dehidrasi ringan-sedang + TB on treatment

Tangggal keluar RS : 15 September 2015

Lama perawatan : 18 hari


Keadaan saat keluar RS : Berobat lanjut (Rawat Jalan)

50
ANAMNESIS (Tanggal 1 September 2015, Heteroanamnesis dari bapak pasien)

1. Keluhan Utama MRS : BAB cair

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan BAB cair sejak 2 hari yang lalu. BAB

sebanyak 4x/hari. BAB cair dengan ampas sedikit, darah (-), lendir (-).

Sebelumnya pasiem sempat dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara selama 2

hari sejak tanggal 13 Agustus 2015 dengan keluhan yang sama (mencret),

kemudian dinyatakan sembuh. Pada tanggal 19 Agustus 2015 pasien

mengeluhkan keluhan yang sama (BAB cair) sehingga pasien di rawat inap di

Rumah Sakit RISA selama 7 hari dan keluar pada tanggal 26 Agustus 2015

karena kekurangan biaya. 2 hari setelah keluar dari Rumah Sakit RISA (28

Agustus 2015) pasien kembali mengeluhkan keluhan yang sama (BAB cair)

dan dirawat inap di Rumah Sakit Umum Provinsi NTB.

Pasien juga dikeluhkan batuk sejak tahun 2014. Batuk berdahak

berwarna kekuningan dan sulit dikeluarkan. Darah (-). Sesak (-). Nyeri dada

(-). Selain itu pasien juga dikeluhkan mengalami demam yang hilang timbul

sejak 5 bulan lalu. Pasien mengalami penurunan berat badan sejak

mengeluhkan batuk. Nafsu makan dan minum menurun disangkal.

Saat ini pasien masih dikeluhkan batuk yang disertai dengan dahak,

namun dahak sulit dikeluarkan. Sesak (-). Demam (-). BAB (+) 2x pagi ini

konsistensi cair, berwarna coklat kekuningan, ampas (+) banyak, darah (-),

lendir (-).

51
3. Riwayat Penyakit Dahulu

a. Sebelum di rawat di RS Bhayangkara, RS RISA dan RSUP NTB pasien

pernah mengalami keluhan serupa (BAB cair) namun tidak sampai dirawat

di Rumah Sakit dan sembuh sendiri.

b. Riwayat TB (+) pada tahun 2014. Kata bapak pasien sudah dinyatakan

sembuh oleh dokter di suatu Puskesmas. Namun pada tanggal 2015 pasien

mengeluhkan batuk kembali sehingga pasien di bawa ke Poli anak RSUP

NTB dan dinyatakan kambuh. Pasien diberikan pengobatan TB (OAT) lagi

pada bulan April 2015.

c. Riwayat asma sebelumnya (-)

d. Riwayat jantung sebelumnya (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga

a. Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan keluhan serupa (BAB

cair).

b. Riwayat TB (+) pada sepupu pasien yang berusia 3 tahun namun saat ini

sudah dinyatakan sembuh.

c. Ibu pasien sering mengalami sariawan sejak tahun 2007, namun ibu pasien

sudah meninggal pada tanggal 3 Agustus 2015. Berdasarkan hasil CT-scan

didapatkan massa di intrakranial.

d. Riwayat asma tidak ada.

e. Riwayat sakit jantung tidak ada

52
5. Riwayat Keluarga (Ikhtisar Keluarga)
Pasien merupakan anak pertama dari perkawinan pertama

Pasien

6. Riwayat Pengobatan

a. Pada tahun 2014 pasien diberikan OAT dan diminum selama 6 bulan

b. Pada bulan April 2015 pasien diberikan OAT namun putus berobat

7. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Selama kehamilan, ibu pasien rutin melakukan pemeriksaan kehamilan

(ANC). Selama hamil ibu pasien tidak pernah mengalami sakit berat. Riwayat

minum obat (-). Riwayat minum jamu (+) namun jarang. Riwayat abortus (-).

Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pasien dilahirkan

dengan persalinan normal (per vaginam ) di Rumah Sakit Bhayangkara di

bantu oleh bidan, cukup bulan, langsung menangis dengan Berat Badan Lahir

(BBL) 3500gram, Panjang Badan Lahir (PBL) bapak pasien tidak ingat.

Riwayat biru (-). Riwayat kuning (-). Riwayat kejang (-).

53
8. Riwayat Nutrisi

a. Pasien mendapatkan ASI sejak lahir sampai usia 1,5 tahun

b. MP-ASI bapak pasien tidak tahu

c. Sehari – hari pasien makan nasi, lauk(telur, daging), jarang konsumsi

sayur – sayuran, makan 3x/hari

d. Pasien sering konsumsi buah – buahan (jeruk dan pisang)

9. Riwayat Vaksinasi

Berdasarkan pengakuan bapak pasien, pasien sudah mendapatkan

imunisasi dasar sesuai dengan program pemerintah.

a. 0 bulan = imunisasi Hb

b. 1 bulan = BCG, polio 1

c. 2 bulan = DPT/HB 1, polio 2

d. 3 bulan = DPT/HB 2, polio 3

e. 5 bulan = DPT/HB 3, polio 4

f. 9 bulan = Campak

10. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan

Bapak kandung pasien bekerja sebagai pedagang elektronik di Tanjung

sejak tahun 1995. Penghasilan perbulan sekitar Rp. 4.000.000,00 sampai Rp.

5.000.000,00. Pada tahun 1993 bapak pasien sempat bekerja kantoran di

bagian tata usaha di Sumbawa selama 6 bulan. Ibu kandung pasien bekerja

membantu bapak pasien sebagai pedagang elektronik. Sebelum menikah ibu

pasien bekerja sebagai pelayan toko.

54
Berdasarkan pengakuan bapak pasien, sebelum menikah bapak pasien

tinggal di Bali dan sering berhubungan dengan wanita yang diakuinya bukan

pacar. Jika berhubungan jarang menggunakan pengaman. Riwayat

menggunakan jarum suntik disangkal.

Pasien tinggal dalam satu halaman dengan keluarga pasien yang terdiri

dari nenek, bapak, paman tante, sepupu dan adik kandung pasien. Dalam 1

halaman terdiri dari 8 rumah. Pasien tinggal 1 rumah dengan bapak dan adik

kandung pasien.

Sumber air berasal dari sumur, ventilasi cukup, cahaya dapat menembus

ke dalam rumah, namun sangat minim.

11. Perkembangan dan Kepandaian

Motorik Kasar Motorik Halus Bicara Sosial


1. Perkembangan 1. Pasien dapat 1. Dapat dapat 2. Dapat bergaul
motorik normal mengikuti berkomunikasi dengan teman
sesuai dengan pelajaran di dengan baik dan sebayanya
teman sebayanya kelas. Pasien saat lancar dengan 3. Pasien
2. Pasien aktif ini kelas 2SD, orang mengaku
bermain dengan namun sejak disekitarnya. memiliki
teman – sakit pasien tidak banyak teman
temannya pernah masuk di sekolah
sekolah.
2. Pasien senang
menggambar dan
mewarnai tokoh
kartun(barney
and friend)

55
PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 1 September 2015)

Status Present

Kesan umum : Sedang

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : E4V5M6

TD : 100/60

Nadi : 91 x/menit, isi cukup dan kuat angkat, irama teratur

Pernapasan : 24 x/menit, teratur tipe abdominaltorakal

Temperature : 37,0oC

CRT : < 3 detik

Status Gizi

Berat badan lahir : 3,5 kg

Berat badan sekarang : 15 kg

Tinggi Badan : 118 cm

Lingkar kepala : 49 cm (Normosefali)

Kesimpulan status gizi menggunakan CDC:

1. BB/U = 65.2%  Underweight (BB Kurang)

2. TB/U = 97%  Normal

3. BB/PB = 68.1 % Malnutrisi berat

56
57
58
Status General :

Kepala dan Leher

1. Kepala

Bentuk : normosefali.

2. Rambut : hitam, lurus, distribusi merata, dan mudah dicabut

3. Mata

a. Palpebra kanan dan kiri tampak normal

b. Konjungtiva kanan dan kiri tidak tampak anemis

c. Sklera kanan dan kiri tidak tampak ikterik

d. Pupil kanan dan kiri isokor

e. Refleks pupil kanan dan kiri normal : Refleks cahaya langsung +|+ dan

Refleks cahaya tidak langsung +|+

f. Kornea tampak jernih

g. Eksoftalmus (-), enoftalmus (-), strabismus (-)

4. Telinga

a. Bentuk: telinga kanan dan kiri tampak simetris, tidak ditemukan

deformitas

b. Sekret: tidak ditemukan adanya sekret pada telinga kanan dan kiri

5. Hidung

a. Bentuk : hidung tampak simetris

b. Pernafasan cuping hidung: tidak ada

c. Tak tampak sekret pada lubang hidung kanan dan kiri

59
6. Tenggorokan

a. Faring : normal, tidak hiperemis

b. Tonsil : normal, tidak ada pembengkakan tonsil

7. Mulut

a. Bibir: mukosa bibir berwarna pucat (-), bibir sianosis (-), stomatitis

angularis (-)

b. Lidah : atrofi papil lidah (-)

8. Leher

Massa (-), Pembesaran KGB superficial leher bagian servikal, mastoideal dan

parotideal (-), pembesaran KGB Supraklavikula (-), krepitasi (-),

pembengkakan pada leher (-).

Thoraks

A. Pulmo

1. Inspeksi: pergerakan dinding dada tampak simetris antara kanan dan kiri,

retraksi subcostal (-), retraksi intercosta (-), retraksi suprasternal (-).

2. Palpasi: pergerakan dinding dada simetris, tidak terdapat ketertinggalan

gerak

3. Perkusi: sonor pada seluruh lapang dada

4. Auskultasi :Pulmo: suara vesikuler pada seluruh lapang paru, terdapat

rhonki basah kasar di kedua lapang paru, tidak terdapat wheezing di kedua

lapang paru.

60
B. Cor

1. Inspeksi: Pulsasi iktus kordis tidak tampak

2. Auskultasi Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen

1. Inspeksi: perut tidak tampak distensi, tidak tampak adanya massa, tidak

tampak pelebaran vena

2. Auskultasi: Bising usus meningkat

3. Perkusi: Timpani di semua kuadran

4. Palpasi: tidak teraba massa, organomegali (-), turgor normal

Kulit

Ikterus (-), ruam (-)

Urogenital

Tidak dievaluasi

Vertebrae

Tidak tampak kelainan

Ekstremitas

Tungkai Atas Tungkai Bawah

Kanan Kiri Kanan Kiri

Akral hangat + + + +

Edema - - - -

61
Pucat - - - -

Sianosis - - - -

Kelainan bentuk - - - -

Pembengkakan Sendi - - - -

Kekuatan otot 5 5 5 5

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium

Darah Lengkap

Parameter 28/08/2015 02/09/2015 Nilai Rujukan

HGB 14,2 g/dl 12.6 g/dl P 11,5 - 16,5

RBC 5.90 x 106/uL 5.10 x 106/uL P 4,0 - 5,0

HCT 42.6 % 37.9 % P 37,0 - 45,0

MCV 72.2 fL 74.3 fL 82,0 - 92,0

MCH 24.1 pg 24.7 pg 27,0 - 31,0

MCHC 33.3 g/dl 33.2 g/dl 32,0 - 37,0

WBC 11.17 x 103/uL 5.81 x 103/uL 4,0 – 11,0

PLT 191 x 103/uL 196 x 103/uL 150 – 400

62
Kimia Klinik

Parameter 28/08/2015 31/08/2015 02/09/2015 Nilai Normal

GDS 99 mgl/dl - <160

SGOT 21 mgl/dl 31 mgl/dl - <40

SGPT 18 mgl/dl 15 mgl/dl - <41

Albumin - 3.5 mgl/dl 3.5-5.0

Total protein - 5.9 gr% 6.4-8.3

Ureum - - 10-15

Pemeriksaan Hematologi

Parameter 02/09/2015 Nilai Normal

Jumlah Retikulosit 1,1 % 0,2-2,0

Pemeriksaan Gambaran Sediaan Apus Darah Tepi (02 September 2015)

Kesan Eritrosit : Normositik normokromik

Kesan Lekosit : Jumlah cukup, limfositosis reltif, limfosit atipik, kissing cell

Kesan Trombosit : Jumlah cukup, trombosit besar

Kesimpulan : Gambaran proses infeksi viral

Pemeriksaan Elektrolit Gas darah

Parameter 02/09/2015 Nilai Normal

Na 135 mmol/L 135-146

Ka+ 4.4 mmol/L 3,4-5,4

Cl- 107 mmol/L 95-108

63
Hasil pemeriksaan tinja (02 September 2015)

MAKROSKOPIS MIKROSKOPIS

Warna : kuning Leukosit : - /lpb Telur cacing

Konsistensi : lembek Eritrosit : - /lpb Askariasis : - /lpb

Darah : - Epitel : - /lpb Anokilos : - /lpb

Lendir : - Amoeba : - /lpb Oxyuris : - /lpb

Bakteri : + /lpb Candida sp (+)

Hasil pemeriksaan CD4+ (02 September 2015)

Hasil pemeriksaan CD4+ Satuan Nilai normal

53 c/μl 500-1500

Rontgen Thoraks AP/lateral ( 15 Agustus 2015)

64
Deskripsi Hasil Rontgen Thoraks

Proyeksi AP, kondisi foto tidak cukup, inspirasi cukup

1. Soft tissue : edema (-/-), udara subcutis (-/-), massa (-/-)

2. Tulang : fraktur costa dan clavicula (-/-), pelebaran sela iga (-/-)

3. Trakea : tak tampak deviasi

4. Pleura : Sudut costophrenicus dextra dan sinistra lancip

5. Parenkim paru : Corakan bronkovaskular meningkat (-/-), Infiltrat parahiler

(+/-) , air traping (-/-)

6. Jantung : Aortic knob tidak menonjol, bentuk normal, pinggang jantung dan

apex normal

7. Mediasinum : tidak terdapat udara bebas pada ruang mediastinum

Proyeksi Lateral dextra

1. Parenkim paru : tidak tampak gambaran perselubungan homogen luas pada

paru dextra. Infiltrat (+)

Kesan : KP dextra

DD : pneumoni

65
Rontgen Thoraks AP/lateral ( 02 September 2015)

Deskripsi Hasil Rontgen Thoraks

Proyeksi AP, kondisi foto cukup, inspirasi cukup

1. Soft tissue : edema (-/-), udara subcutis (-/-), massa (-/-)

2. Tulang : fraktur costa dan clavicula (-/-), pelebaran sela iga (-/-)

3. Trakea : tak tampak deviasi

4. Pleura : Sudut costophrenicus dextra dan sinistra lancip

5. Parenkim paru : Corakan bronkovaskular meningkat (-/-), Infiltrat (+/+) , air

traping (-/-) kalsifiksasi (+) pada paru dextra bagian inferior

6. Jantung : Aortic knob tidak menonjol, bentuk normal, pinggang jantung dan

apex normal

7. Mediasinum : tidak terdapat udara bebas pada ruang mediastinum

66
Proyeksi Lateral dextra

1. Parenkim paru : tidak tampak gambaran perselubungan homogen luas pada

paru. Infiltrate (+)

Kesan : TB Paru (lama) aktif/relaps/reinfeksi

Rontgen Thoraks AP/lateral (D) ( 15 September 2015)

Deskripsi Hasil Rontgen Thoraks

Proyeksi AP, kondisi foto cukup, inspirasi cukup

1. Soft tissue : edema (-/-), udara subcutis (-/-), massa (-/-)

2. Tulang : fraktur costa dan clavicula (-/-), pelebaran sela iga (-/-)

3. Trakea : tak tampak deviasi

4. Pleura : Sudut costophrenicus dextra dan sinistra lancip

5. Parenkim paru : Corakan bronkovaskular meningkat (+/+), Infiltrat (+/+) , air

traping (-/-)

6. Jantung : Aortic knob tidak menonjol, bentuk normal, pinggang jantung dan

apex normal

67
7. Mediasinum : tidak terdapat udara bebas pada ruang mediastinum

Proyeksi Lateral dextra

1. Parenkim paru : tidak tampak gambaran perselubungan homogen luas pada

paru. Infiltrate (+)

Kesan : bronkopneumoni spesifik proses

RESUME

Pasien perempuan, 7 tahun 3 bulan, datang dengan keluhan BAB cair

sejak 2 hari yang lalu. Sebelumnya pasien sempat dirawat di Rumah Sakit

Bhayangkara selama 2 hari dengan keluhan yang sama (BAB cair), kemudian

dinyatakan sembuh. Keluhan BAB cair kembali dikeluhkan sehingga pasien di

rawat inap di Rumah Sakit RISA selama 7 hari. 2 hari setelah keluar dari Rumah

Sakit RISA pasien kembali mengeluhkan keluhan yang sama (BAB cair) dan

dirawat inap di Rumah Sakit Umum Provinsi NTB.

Pasien memiliki riwayat TB pada tahun 2014. Riwayat TB (+) pada

sepupu pasien yang berusia 3 tahun namun saat ini sudah dinyatakan sembuh.

Selain itu juga bapak pasien memiliki riwayat berhubungan dengan beberapa

wanita tanpa menggunakan pengaman dan ibu pasien yang memiliki riwayat

sariawan berulang setelah menikah, serta penyebab kematian yang belum jelas.

Didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran: compos mentis, nadi

91x/menit,pernapasan 24 x/menit, suhu aksila 37,0oC, status gizi kurang. Pada

pemeriksaan fisik, didapatkan rhonki basah kasar di kedua lapang paru, tidak

terdapat wheezing di kedua lapang paru. Cor dalam batas normal. Abdomen :

distensi (-), tampak pelebaran vena (+), organomegali (-), massa (-).

68
Pada pemeriksaan foto rontgen didapatkan adanya infiltrate pada kedua

paru, hasil skoring 7, pada pemeriksaan tinja didapatkan bakteri dan candida sp

(+), dan pada pemeriksaan CD4+ didapatkan nilai yang lebih rendah dari normal

yaitu 53c/μl.

Diagnosis Kerja

Immunocompromised (B20) dengan Diare Persisten dan TB Paru

Terapi

1. IVFD RL 15 tpm

2. Kotrimoksazol syr 2x1 ½ cth

3. Ketokonazole puyer 2x10mg

4. 2HRZE/10HR

KDT (HRZ) Fase intensif BB=15kg  3 tab (1x3 tab)

Ethambutol 1 x 300mg

5. ARV 2x2 ½ tab

69
FOLLOW UP PASIEN

Rabu, 2 September 2015


Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Batuk berdahak  Ku: Sedang  TB paru 1. IVFD RL 15 tpm
(+)  TD : 90/50  IMC (B20) 2. Inf metro 500mg/12jam
 Demam (+)  Heart Rate : 112 x / 3. Inj ranitidine 1amp/hr
menit 4. Kotrimoksazol syr 2x1 ½ cth
 RR: 33 x/menit 5. Ketokonazole puyer 2x10mg
 Tax: 37,8 °C 6. OAT ulang:
 BB= 16 kg KDT Fase intensif anak I x 3 tab
Ethambutol 1 x 300mg
 Rhonki basah halus di
Rencana 2HRZE/10HR
kedua lapang paru
7. Gizi
 Ro Thorax :
Susu LLM 3x200cc
TB paru (lama)
aktif/Relaps
Kamis, 3 September 2015
Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Batuk berdahak  Ku: Sedang  TB paru 1. IVFD RL 15 tpm
 BAB 1x cair  TD : 100/80  IMC (B20) 2. Inf metro 500mg/12jam
bercampur ampas  Heart Rate : 112 x / 3. Inj ranitidine 1amp/hr
menit 4. Kotrimoksazol syr 2x1 ½ cth
 RR: 28 x/menit 5. Ketokonazole puyer 2x10mg
 Tax: 36,4 °C 6. Hari ini mulai OAT
 Sp02 : 95% 7. Ulang OAT
8. KDT Fase intensif anak I x 3 tab
 BB= 15,5 kg
Ethambutol 1 x 300mg
 Rhonki basah halus di

70
kedua lapang paru 9. Tunggi hasil cd4
10. Rencana ARV
11. Diet :
3x 1 nasi tnp sayur
3x200cc susu LLM
Jumat, 4 September 2015
Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Batuk berdahak  Ku: Sedang  TB paru 1. IVFD RL 15 tpm
(+) jarang  TD : 100/80  IMC (B20) 2. Inf metro 500mg/12jam
 Muntah (+)  Heart Rate : 108 x / 3. Inj ranitidine 1amp/hr
setelah minum menit 4. Kotrimoksazol syr 2x1 ½ cth
susu  RR: 28x/menit Ketokonazole puyer 2x10mg
 BAB cair 2x  Tax: 36,6 °C 5. KDT Fase intensif anak I x 3 tab
bercampur ampas  Sp02 : 97% Ethambutol 1 x 300mg
6. Diet :
 BB= 16 kg
3x 1 nasi tnp sayur
 Rhonki basah halus di
3x200cc susu LLM
kedua lapangl paru

Sabtu, 5 September 2015


Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Batuk berdahak  Ku: Sedang  TB paru 1. Inf metro 500mg/12jam
 BAB cair 1x  TD : 100/70  IMC (B20) 2. Inj ranitidine 1amp/hr
bercampur ampas  Heart Rate : 108 x /  3. Kotrimoksazol syr 2x1 ½ cth
menit Ketokonazole puyer 2x10mg
 RR: 26 x/menit 4. KDT Fase intensif anak I x 3 tab
 Tax: 37,6 °C Ethambutol 1 x 300mg
 Sp02 : 97% 5. Diet :

71
 BB= 15,5 kg 3x 1 nasi tnp sayur
 Rhonki basah halus di 3x200cc susu LLM
kedua lapang paru

Senin, 7 September 2015


Subyektif Obyektif Assesment Planning
 Batuk berdahak  Ku: Sedang  TB paru 1. OAT fase intensif 3 tablet  hari ke-5
 Muntah (+)  TD : 100/80  IMC (B20) 2. Etambutol 1x300mg
setelah minum  Heart Rate : 102 x / 3. Kotrimoksazol syr 2x1/2cth
susu menit 4. Ketokonazole puyer 2x50mg
 RR: 24 x/menit 5. Diet :
 Tax: 36,1 °C 3x nasi tanpa sayur
 Sp02 : 96% Susu LLM 3x200cc
6. Rencana ARV setelah 1 minggu OAT
 BB= 15 kg
 Rhonki basah halus di
kedua lapang paru

Selasa, 8 September 2015


Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Batuk  Ku: Sedang  TB paru 1. KDT 3 tablet
berdahak  TD : 100/80  IMC (B20) 2. Etambutol 1x300mg
 BAB 1x, cair (-)  Heart Rate : 118 x / menit 3. Kotrimoksazol syr 2x1/2cth
 RR: 24 x/menit 4. Ketokonazole puyer 2x50mg
 Tax: 36,2 °C 5. Diet :
 BB= 15 kg Nasi tanpa sayur
 SPO2 : 97%
 Rhonki basah halus di

72
medial dan inferior kedua
paru
Rabu, 9 September 2015
Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Batuk  Ku: Sedang  TB paru 1. OAT (KDT + etambutol)
berdahak  TD : 100/70  IMC (B20) 2. O2 2lt k/p
 BAB 1x, cair (-)  Heart Rate : 120 x / menit
 RR: 40 x/menit
 Tax: 36,7 °C
 BB= 16 kg
 SPO2 : 96%
 Rhonki basah halus di
kedua basal paru
Kamis, 10 September 2015
Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Batuk  Ku: Sedang  TB paru 1. OAT
berdahak  TD : 100/70  IMC (B20) KDT (3 tablet) + etambutol 300mg (15.00)
 BAB 1x, cair (-)  Heart Rate : 120 x / menit 2. Ketokonazol puyer 2x50mg
 RR: 30 x/menit 3. Kotri syr 2x1 ½ cth
 Tax: 37 °C 4. Rencana ARV hari ini
 BB= 16 kg 5. Diet : nasi tanpa sayur
6. Hari ini mulai ARV 07.00 & 19.00
 SPO2 : 96%
7. Rencana Ro toraks ulang ttgl 16/9/15
 Rhonki basah halus di
kedua basal paru

73
Jumat, 11 September 2015
Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Batuk  Ku: Sedang  TB paru 1. OAT
berdahak ↓  TD : 100/70  IMC (B20) KDT (3 tablet) + etambutol 300mg
 Heart Rate : 116 x / menit 2. ARV 2x2 ½ tab
 RR: 28 x/menit Jam7.00 & 19.00
 Tax: 37,2 °C 3. Ketokonazol puyer STOP!
 BB= 16 kg 4. Kotri syr 2x1 ½ cth
5. Salbutamol 3x0,75mg (puyer)
 SPO2 : 97%
6. Diet 3x nasi
 Rhonki basah halus di
kedua lapang paru

Sabtu, 12 September 2015


Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Batuk  Ku: Sedang  TB paru 1. OAT
berdahak ↓  TD :100/70  IMC (B20) KDT (3 tablet) + etambutol 300mg
 Heart Rate : 116 x / menit 2. ARV 2x2 ½ tab
 RR: 27 x/menit Jam7.00 & 19.00
 Tax: 36,5 °C 3. Kotri syr 2x1 ½ cth
 BB= 16 kg 4. Salbutamol 3x0,75mg (puyer)
5. Diet 3x nasi
 SPO2 : 95%
 Rhonki basah halus di
kedua lapang paru

74
Senin, 14 September 2015
Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Batuk  Ku: Sedang  TB paru 1. OAT
berdahak ↓  TD : 100/70  IMC (B20) KDT (3 tablet) + etambutol 300mg
 Heart Rate : 120 x / menit 2. ARV 2x2 ½ tab
 RR: 40 x/menit Jam7.00 & 19.00
 Tax: 37,1 °C 3. Kotri syr 2x1 ½ cth
 BB= 16 kg 4. Salbutamol 3x0,75mg (puyer)
5. Diet 3x nasi
 rhonki basah halus di
6. Ro thorax AP/lat (D) besok
kedua lapang paru

Selasa, 15 September2015
Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Batuk  Ku: Sedang  TB paru 1. OAT
berdahak ↓  TD : 100/70  IMC (B20) KDT (3 tablet) + etambutol 300mg
 Heart Rate : 116 x / menit 2. ARV 2x2 ½ tab
 RR: 36 x/menit
 Tax: 36,7 °C
 BB= 16 kg
 rhonki basah halus di
kedua lapang paru,
>>kanan

75
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien perempuan, 7 tahun 3 bulan, datang dengan keluhan

BAB cair sejak 2 hari yang lalu. Sebelumnya pasien sempat dirawat di Rumah

Sakit Bhayangkara selama 2 hari dengan keluhan yang sama (BAB cair),

kemudian dinyatakan sembuh. Keluhan BAB cair kembali dikeluhkan sehingga

pasien di rawat inap di Rumah Sakit RISA selama 7 hari. 2 hari setelah keluar dari

Rumah Sakit RISA pasien kembali mengeluhkan keluhan yang sama (BAB cair)

dan dirawat inap di Rumah Sakit Umum Provinsi NTB.

Mencret yang dialami sudah terjadi >14 hari disertai dengan penurunan

berat badan sehingga termasuk dalam diare persisten. Terdapat beberapa

penyebab diare kronis, baik infeksi maupun non infeksi akan menyebabkan

rangkaian proses yang pada akhirnya memicu kerusakan mukosa usus dan

mengakibatkan diare persisten. Pada pemeriksaan tinja didapatkan adanya bakteri

dan candida sp, sehingga diberikan ketokonazole 2x10mg.

Pasien memiliki riwayat TB pada tahun 2014. Kata bapak pasien sudah

dinyatakan sembuh oleh dokter di suatu Puskesmas. Namun pada tahun 2015

pasien mengeluhkan batuk kembali sehingga pasien di bawa ke Poli anak RSUP

NTB dan dinyatakan kambuh. Pasien diberikan pengobatan TB (OAT) lagi pada

bulan April 2015. Riwayat TB (+) pada sepupu pasien yang berusia 3 tahun

namun saat ini sudah dinyatakan sembuh. Selain itu juga bapak pasien memiliki

riwayat berhubungan dengan beberapa wanita tanpa menggunakan pengaman dan

ibu pasien yang memiliki riwayat sariawan berulang setelah menikah, serta

penyebab kematian yang belum jelas.

76
Berdasarkan keluhan dan riwayat TB yang dimiliki pasien, pasien

mengalami TB Paru. TB paru yang dialami berdasarkan riwayat pengobatannya,

pasien termasuk dalam klasifikasi putus berobat (lost to follow up), karena

sebelumnya pasien mendapatkan OAT namun tidak dihabiskan. Hasil skoring

pasien adalah 7 (memenuhi syarat ≥6) sehingga pasien dapat langsung di

diagnosis TB paru. Pemeriksaan penunjuang yang mendukung pasien mengalami

TB paru adalah hasil rontgen toraks yang dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2015

(KP dextra) dan 2 September 2015 (TB Paru (lama) aktif/relaps/reinfeksi). Terapi

TB yang diberikan pada pasien ini adalah 2HRZE/10HR dalam bentuk Kombinasi

Dosis Tetap (KDT  yang berisi HRZ). Berat badan pasien 15kg sehingga

diberikan 3 tablet sekali minum dan diberikan etambutol 1x300mg.

Dengan adanya riwayat bapak dan ibu seperti yang dijelaskan diatas,

disertai adanya diare persisten dan TB paru (yang hanya dapat terjadi apabila

terjadi penurunan status imun) perlu dipikirkan adanya Immunocompromised

(IMC). sehingga perlu dilakukan pemeriksaan CD4+.

Pada pasien telah dilakukan pemeriksaa CD4+ pada tanggal 2 September

dengan hasil CD4+ 53c/μl, dimana angka tersebut sangat rendah dibandingkan

dengan nilai normalnya yang berkisaran 500-1500 c/μl. Dengan hasil tersebut,

dapat dipastikan pasien mengalami Immunocompromised (IMC  B20). Pasien

IMC lebih mudah mengalami infeksi, hal tersebut yang menyebabkan diare

persisten dan TB paru pada pasien. Pada pasien IMC perlu diberikan terapi Anti

Retro Viral (ARV). Pada pasien ini diberikan ARV seminggu setelah pengobatan

TB berjalan. ARV diberikan 2x21/2 tablet.

77
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). 2008. Prevention of Mother to child


Transmission of HIV Generic Trainie Package. Department of HIV/AIDS.
World Health Organization (WHO) and the United States Departement of
Helath and Human Services. Centers for Disease Control and Prevention
(HHS-CDC). GAP:23-24.
2. Sadraei, J., Mosvahidi.A.R., Baveia. U.K. 2005. CD4+ Cell Count and
Opportunstic Protozoain Indian HIV-infected patients. Springer Verlag:270.
3. Wandra, T., et al. 2012. Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Ko-Infeksi TB-
HIV. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementrian Kesehatanh Republik Indonesia.
4. IDAI. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi II. Badan Penerbit
IDAI: Jakarta.
5. IDAI. 2012. Buku Ajar Gastroenterologi-hepatologi. Jilid I. Badan Penerbit
IDAI: Jakarta.
6. IDAI. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jilid II. Badan Penerbit IDAI:
Jakarta.
7. IDAI. 2012. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi I. Badan Penerbit IDAI:

Jakarta

8. Rahajoe, N.N., et al. 2013. Petunjuk Teknis Manajemen TB pada Anak.


Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementrian Kesehatanh Republik Indonesia.

78

Anda mungkin juga menyukai