Kutipan:
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (Dit. KKJI). 2013. Strategi
Pengembangan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Direktorat
Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Jakarta, 60 hal.
ii
KATA PENGANTAR
Peningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi menjadikan eksploitasi
sumberdaya ikan semakin tidak terkendali. Indikasi tangkap-lebih (overfishing)
telah terjadi di sebagian besar wilayah perairan Indonesia. Untuk itu perlu
upaya komprehensif untuk menahan laju penurunan ketersediaan sumberdaya
ikan serta dalam upaya untuk memastikan kestabilan produksi perikanan.
Pengembangan dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) merupakan
salah satu cara yang efektif dalam pengelolaan perikanan yang lestari dan
berkelanjutan.
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB 4. STRATEGI PENGELOLAAN JEJARING KKP ...................................41
4.1 Kemauan Politik dan Kepemimpinan ...........................................42
4.2 Pendidikan Publik dan Komunikasi ...............................................43
4.3 Pendanaan Berkelanjutan ...............................................................45
4.3.1 Strategi membangun pendanaan berkelanjutan
untuk jejaring KKP................................................................46
4.4 Kepatuhan dan Penegakan Hukum ...............................................47
4.5 Pemantauan Pelaksanaan Jejaring KKP ........................................49
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Kawasan Konservasi didefinisikan oleh IUCN-WCPA (2008) sebagai “sebuah kawasan yang memiliki batas geografis
jelas yang diakui, diperuntukkan dan dikelola, baik secara formal maupun tidak formal, agar dalam jangka panjang
melindungi alam berikut jasa-jasa ekosistem dan nilai-nilai budayanya.” Menurut UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan
“pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.” Sementara Peraturan Pemerintah (PP) No. 60/2007 tentang
Konservasi Sumberdaya Ikan menjelaskan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) sebagai “kawasan perairan yang
dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara
berkelanjutan.” Kawasan yang dilindungi melalui definisi ini mencakup tidak hanya kawasan laut namun juga perairan
secara umum, termasuk sungai dan danau.
1
kegiatan manusia dan
perubahan iklim (Fernandes
et al., 2012; Gaines & Airame,
2010; McLeod et al., 2009;
PISCO, 2011; Roberts et al.,
2001; Schwenke et al., 2010).
Untuk memperkuat peran
dan manfaat ekologi serta
sosial-ekonomi dari sebuah
KKP dalam skala yang lebih
luas, sangat disarankan untuk
mendirikan jejaring KKP2
(
(Marine Protected Areas Network - MPAs Network).
2
Jejaring KKP secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “ sejumlah KKP yang berada dalam
suatu wilayah ekosistem yang bertindak secara kooperatif dan sinergistik “ (Agardy, 2005).
2
memberikan panduan untuk melakukan pembentukan dan pengelolaan jejaring
KKP di Indonesia.
Buku ini merupakan pelengkap dari buku ‘Profil Jejaring KKP Indonesia’. Strategi
pengembangan jejaring KKP terdiri dari dua bagian utama, yaitu: strategi
pembentukan jejaring KKP (Bab 3), dan strategi pengelolaan jejaring KKP (Bab
5). Secara rinci, organisasi buku ini sebagai berikut:
3
Bab 3 Strategi Pembentukan Jejaring KKP, menjelaskan prinsip-prinsip
pembentukan jejaring dan strategi pembentukannya berdasarkan pengalaman
di negara lain dan di Indonesia. Selain itu, disampaikan contoh membangun visi,
misi dan tujuan jejaring KKP.
Bab 5 Evaluasi Kinerja dan Efektivitas Jejaring KKP, menjelaskan tentang penilaian
kinerja dan efektivitas pengelolaan jejaring dalam mencapai tujuan pembentukan
jejaring.
Bab 6 Penutup.
4
BAB 2
JEJARING KAWASAN
KONSERVASI PERAIRAN
2.1 Pentingnya Membangun Jejaring KKP
Kawasan Konservasi yang berukuran kecil tidak dapat melindungi banyak spesies
yang memiliki home range (wilayah jelajah) yang luas. Dilain pihak, KKP yang
terlalu besar akan menurunkan produksi perikanan karena menyempitnya daerah
penangkapan (PISCO, 2011). KKP yang terlalu luas juga tidak efektif karena
berbenturan dengan kepentingan ekonomi, sosial, dan politik, seperti yang terjadi
di banyak tempat (Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008). Bohnsack et al.
5
(2000) menyatakan bahwa melindungi sekitar 20 - 30% terumbu karang terbukti
dapat mendukung keberlanjutan ekosistem terumbu karang. Selanjutnya
persentase tersebut dijadikan standar untuk melindungi kelestarian habitat
secara optimum.
6
Jejaring KKP diyakini dapat meningkatkan daya tahan dan daya lenting KKP
terhadap dampak pemanasan global, menyebar risiko (spreading risk) manakala
ada gangguan lokal, mengurangi kegagalan pengelolaan, dan memastikan
keberlanjutan sumberdaya yang lebih baik daripada pengelolaan KKP secara
sendiri-sendiri (NRC, 2001). Jejaring dapat dibangun untuk tujuan ekologi yang
berbeda, seperti meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati dan/atau
perbaikan perikanan, serta meningkatkan kemampuan dan ketahanan dalam
menghadapi perubahan iklim global. Jejaring KKP juga memberikan keuntungan
sosial dan ekonomi, dimana akan terjadi kerjasama yang baik antar pengelola,
dan terjadi pertukaran informasi yang baik antar masyarakat di dalam lingkup
jejaring tersebut (Bustamante et al., 2010; White et al., 2006).
7
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa sebuah ekosistem laut secara
ekologis tidak berdiri sendiri tetapi terhubung erat dengan ekosistem lainnya.
Sebagai contoh, kesehatan terumbu karang tergantung pada kesehatan man-
grove dan padang lamun di sekitarnya, begitu juga sebaliknya (CTI-CFF, 2013;
Fernandes et al., 2012; Gaines & Airame, 2010; Schwenke et al., 2010). Dari segi
sosial, banyak penduduk pesisir yang memiliki ikatan sosial budaya tinggi dengan
desa-desa atau daerah-daerah sekitarnya. Jika beberapa kawasan pesisir di tempat
tersebut dijadikan kawasan konservasi yang dikelola secara lokal, adalah wajar
jika para pengurus kawasan bergabung dalam satu jejaring karena kedekatan
sosial budaya mereka (Bustamante et al., 2010; CTI-CFF, 2013; White et al.,
2006). Dari segi ekonomi, kawasan-kawasan konservasi perairan dapat
menghemat biaya pembentukan dan pemeliharaan suatu kawasan dengan bekerja
sama dalam satu jejaring (Balmford et al., 2004; Bustamante et al., 2013).
8
2.3 Manfaat Jejaring KKP
Sebuah jejaring KKP dapat dibangun oleh keterkaitan sosial antar KKP, misalnya
komunikasi dan koordinasi antar pihak pengelola dalam pengaturan dan
perencanaan KKP, membantu memecahkan dan mengelola konflik penggunaan
sumberdaya, serta mencegah duplikasi kegiatan.
9
Beberapa manfaat sosial pengembangan jejaring KKP adalah:
• Membuka jalur komunikasi dan koordinasi untuk saling berbagi dan bertukar
pengalaman dan pembelajaran.
• Membangun kapasitas pengelolaan KKP yang lebih baik dibandingkan dengan
pengelolaan KKP yang dikelola secara sendiri-sendiri.
• Menciptakan basis informasi bersama untuk semua KKP di suatu wilayah
atau jaringan yang membantu dalam membuat pilihan-pilihan pengelolaan.
• Menyediakan kemungkinan kemitraan pendanaan dan administrasi antara
badan pengelola KKP dengan institusi dan sektor-sektor lain dalam sebuah
jejaring.
• Membangun konsensus lintas wilayah dalam pengambilan keputusan.
10
mencapai tujuan pelestarian keanekaragaman hayati. Selain itu, keberadaan
sebuah jejaring dapat diartikan sebagai suatu sistem KKP yang terkoordinasi
dan terhubung satu sama lain baik melalui aspek biologi maupun administratif
yang kesemuanya mencerminkan pendekatan terhadap rancangan, pengelolaan
dan pemantauan yang konsisten (IUCN-WCPA, 2008). Untuk itu ada beberapa
kriteria ekologi yang perlu dipertimbangkan ketika merancang sebuah jejaring
(IUCN-WCPA, 2008). Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
• Keterwakilan (representativeness) – jejaring KKP seyogianya mewakili
sejumlah kisaran keanekaragaman hayati laut dan pesisir (dari genetik sampai
ekosistem) dan lingkungan oseanografi terkait pada suatu wilayah. Semua
ekosistem dan habitat dalam wilayah tersebut harus terwakili dalam jejaring
KKP. Untuk memastikan hal ini, pengelola KKP harus mengkaji jenis dan
sebaran habitat, dan mengidentifikasi habitat-habitat perwakilan dan unik
yang harus dilindungi untuk memenuhi tujuan konservasi kawasan. Sebagai
contoh, bila sebuah jejaring KKP ditujukan untuk melindungi tempat asuhan
dan mencari makan rajungan, maka para pengelola KKP harus mem-
pertimbangkan semua habitat yang digunakan oleh rajungan sepanjang
seluruh siklus hidupnya (misal, perairan muara, bakau, teluk, kedalaman
yang berbeda pada kolom air, salinitas berbeda, dan lain-lain).
• Keterulangan (replication) – jejaring KKP akan sangat efektif ketika setiap
jenis habitat terwakili di lebih dari satu KKP. Idealnya, semua habitat di
setiap wilayah harus direplikasi dalam jejaring dan disebar secara spasial
11
(spatially distributed) di seluruh bagian jejaring. Replikasi ini memberi “batu-
lompatan” bagi spesies yang tersebar di dalam jejaring dan juga memberikan
perlindungan (safeguard) terhadap hilangnya habitat atau punahnya populasi.
• Keterkaitan (connectivity) – keterkaitan menjelaskan seberapa jauh populasi-
populasi yang berada di tempat berbeda saling terkait melalui pertukaran
telur, larva, hewan muda maupun dewasa. Rancangan jejaring KKP
seyogianya mengenali pola keterkaitan dalam dan di antara ekosistem (antara
lain keterkaitan ekologis di antara terumbu karang, lamun dan mangrove).
Sebuah jejaring KKP yang bertujuan untuk melindungi spesies yang
menjelajah secara luas, harus mempertimbangkan semua habitat yang
digunakan oleh spesies tersebut selama siklus hidupnya. Jarak maksimum
antar KKP disarankan berkisar antara 100 – 200 km. Untuk menjamin
keterkaitan di dalam dan antar KKP, perlu diupayakan untuk memasukkan
kombinasi jenis habitat penting (terumbu karang, lamun, mangrove, muara
sungai). Jarak antar KKP sekitar 100 – 200 km untuk menjaga keterkaitan
genetik, sedangkan jarak antar zona larang ambil di dalam KKP disarankan
sekitar 15 – 20 km untuk menjaga keterkaitan ekologis (Wilson et al.,
2011).
• Daya lenting (resilience) – jejaring KKP harus dirancang untuk menjaga agar
ekosistem selalu berada dalam kondisi alaminya dan mampu untuk bertahan
terhadap gangguan, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan
perubahan dalam skala besar dan dalam jangka waktu panjang seperti
perubahan iklim. Keterwakilan (representativeness) dan daya lenting
(resilience) merupakan kriteria yang saling terkait erat: bila sejumlah habi-
tat terwakili dalam suatu jajaring KKP, maka jejaring tersebut kemungkinan
dapat mengakomodasi perubahan-perubahan pada sebaran spesies,
perbedaan salinitas, perbedaan suhu, dan dinamika ekosistem lain yang sering
dikaitkan dengan pemanasan global.
• Kepermanenan (permanence) – jejaring KKP harus memberikan
perlindungan jangka panjang agar dapat dengan efektif melestarikan
keanekaragaman hayati dan memperbaiki kondisi sumberdaya. Meski
beberapa perubahan biologis dapat saja terjadi dengan relatif cepat setelah
pembentukan jejaring, manfaat penuh dari KKP dan jejaringnya kemungkinan
baru terlihat setelah beberapa tahun. Perlindungan jangka panjang KKP,
khususnya KKP larang ambil, dapat berdampak positif terhadap jenis ikan
dan perikanan karena penelitian telah membuktikan bahwa biomassa,
kelimpahan, ukuran dan keanekaragaman hayati beberapa spesies ikan
12
meningkat di dalam KKP. Ikan berukuran lebih besar menghasilkan lebih
banyak telur dan menghasilkan anakan lebih banyak yang dapat memperbaiki
kondisi populasi ikan dalam KKP dan mendorong limpahan ikan (spillover)
ke daerah-daerah yang tidak dilindungi di sekeliling KKP.
• Ukuran & bentuk (size & shape) – unit-unit KKP dalam sebuah jejaring
harus memiliki ukuran yang cukup untuk meminimumkan dampak dari
kegiatan di luar kawasan lindung. Umumnya, sebuah KKP yang berukuran
lebih besar memberikan manfaat bagi keanekaragaman hayati lebih baik
dibandingkan dengan KKP yang berukuran (lebih) kecil. KKP berukuran
(lebih) besar memberikan ruang kisaran lebih luas bagi pergerakan hewan
dewasa, serta memberikan jarak yang lebih jauh bagi penyebaran larva.
Meskipun demikian, tidak berarti sebuah KKP berukuran kecil tidak
memberikan manfaat. KKP berukuran kecil lebih mudah untuk didirikan
dan dikelola, serta memberikan manfaat yang lebih cepat baik ekologi
maupun sosio-ekonomi, namun luasan dampaknya bersifat setempat.
Bentuk suatu KKP seyogianya mempertimbangkan habitat-habitat yang
menjadi tempat pergantian tahapan hidupnya atau tempat hidup dari spesies
yang dilindungi. Selain itu, bentuk KKP dirancang untuk memudahkan para
pengelola dan stakeholders diantaranya dalam meletakkan batas-batas KKP.
13
14
BAB 3
STRATEGI PEMBENTUKAN
JEJARING KKP
Strategi atau cara untuk membentuk jejaring KKP menjadi sebuah kebutuhan
karena beberapa alasan. Pertama, pengembangan jejaring KKP merupakan hal
yang relatif baru dalam konteks pengembangan Sistem KKP Nasional di Indo-
nesia (Susanto, 2011). Kedua, terbatasnya pengalaman yang dimiliki dalam
perencanaan, pembentukan dan pengelolaan jejaring KKP. Mempertimbangkan
kompleksitas terkait dengan pembentukan jejaring KKP dan aspek-aspek yang
terlibat di dalamnya, bab ini membahas strategi pembentukan jejaring KKP
yang dilengkapi dengan studi kasus tentang pengalaman membangun dan
mengelola jejaring KKP di Indonesia dan negara lain.
Pembentukan jejaring KKP tidak terlepas dari Siklus Pengelolaan Jejaring KKP
(MPA Network Management Cycle), seperti yang disajikan pada Gambar 1. Siklus
Pengelolaan Jejaring KKP (selanjutnya disingkat menjadi Siklus Pengelolaan)
merupakan sebuah siklus yang menunjukkan urutan logis sebuah proses untuk
mendirikan, mengelola dan mengevaluasi jejaring. Siklus Pengelolaan ini berulang
setiap periode waktu tertentu.
15
Setelah Rencana Kerja disetujui oleh semua pihak yang berkepentingan dengan
jejaring, maka tahap selanjutnya adalah melaksanakan semua kegiatan yang sudah
direncanakan. Pada pelaksanaan berjejaring ini melekat erat kegiatan pemantauan
(monitoring) dan analisis (evaluasi formatif) untuk meningkatkan kinerja
berjejaring pada periode waktu yang sedang berjalan.
Kebutuhan untuk berjejaring biasanya ditentukan oleh paling tidak dua hal,
yaitu (1) karena adanya ancaman (threat) terhadap keanekaragaman hayati dan
sumberdaya hayati bernilai ekonomis (cf. McLeod et al., 2009; Pressey et al.,
2007; Salafsky & Margoluis, 1999; Secretariat of the Convention on Biological
Diversity, 2006), dan/atau (2) karena menerapkan prinsip kehati-hatian (pre-
cautionary principles – Cooney, 2004). Ancaman dapat berupa kegiatan manusia
yang menimbulkan dampak negatif dalam jangka pendek dan menengah seperti
pencemaran, maupun dalam jangka panjang seperti perubahan iklim (McLeod
et al., 2009; Pressey et al., 2007; Salafsky & Margoluis, 1999; Secretariat of the
Convention on Biological Diversity, 2006). Penerapan prinsip kehatian-hatian
dilakukan karena keterbatasan manusia untuk memprakirakan dan mengetahui
16
perubahan yang terjadi di masa depan (Cooney, 2004). Pada umumnya
pembentukan jejaring adalah untuk memenuhi tujuan pelestarian
Menyusun Rencana
Kerja Berjenjang
3 3
Pelaksanaan
berjejaring
4 Merancang
Jejaring
2 4 2
Evaluasi Kinerja
dan Efektivitas 5 1 Kajian Kebutuhan
Berjenjang 5 1
Berjejaring
Waktu
17
Terkait dengan pembentukan jejaring sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola,
langkah yang sama diulangi, namun data dan informasi yang dikumpulkan adalah
yang berhubungan dengan aspek-aspek sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola
yang relevan dengan pengelolaan jejaring.
Jejaring tata kelola biasanya dilakukan pemerintah dan diinisiasi oleh unit-unit
pengelola yang memiliki pendekatan pengelolaan serupa karena berada di bawah
satu badan atau lembaga tertentu, seperti misalnya Kementerian Kelautan &
Perikanan, Kementerian Kehutanan (Pet-Soede et al., 2009; Schwenke et al.,
2010) atau pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten). Sementara itu, jejaring
sosial-budaya-ekonomi yang dibangun oleh masyarakat setempat atau berbasis
masyarakat, karena adanya keserupaan pendekatan pengelolaan, seperti buka-
tutup kawasan pada sasi laut di Indonesia Timur, serta ketergantungan dan
pemanfaatan sumberdaya yang serupa (Bustamante et al., 2010; Varney et al.,
2010; White et al., 2006).
Tantangan cukup berat akan dihadapi oleh KKP yang dikelola oleh masyarakat
dan calon-calon KKP yang biasanya belum memiliki unit organisasi pengelola.
Perlu dipikirkan siapa yang seharusnya berperan dalam menginisiasi
pembentukan jejaring, apakah oleh pengelola di masing-masing KKP atau melalui
arahan yang diberikan oleh pemerintah pusat (baca: Kementerian Kelautan dan
Perikanan), pemerintah daerah, atau pemangku kepentingan lainnya (perguruan
tinggi dan lembaga swadaya masyarakat).
18
3.1.2 Merancang jejaring
Ketika jejaring yang akan didirikan sudah diputuskan, maka hasil kajian kebutuhan
perlu disempurnakan untuk menyediakan data dan informasi yang lebih tajam
dan terorganisasi dengan baik.
Dari jenis-jenis jejaring yang sudah disinggung di atas, kriteria yang paling lengkap
untuk merancangnya adalah jejaring ekologi, dengan berbagai contoh di seluruh
dunia. Jejaring tata kelola merupakan jenis jejaring yang cukup banyak memiliki
data dan informasi. Sementara jejaring sosial-budaya-ekonomi yang melibatkan
masyarakat setempat, meski diyakini sebetulnya banyak sekali dan merupakan
semacam antar-fasa (interphase) antara jejaring ekologi dan jejaring tata kelola,
merupakan jejaring yang paling sedikit memiliki data dan informasi. Meskipun
demikian, akhir-akhir ini semakin banyak laporan tentang jejaring sosial-budaya-
ekonomi berbasis masyarakat (Varney et al., 2010).
Pada sub-bab berikut disajikan kriteria untuk merancang jejaring ekologi, sosial-
budaya-ekonomi, dan tata kelola.
Sebuah jejaring disebut jejaring ekologi ketika setiap KKP memberikan kontribusi
kepada tujuan bersama konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan (Pet-Soede
et al., 2009). Dalam banyak kasus, setiap KKP yang tergabung dalam jejaring ini
diasumsikan memiliki keterkaitan ekologis antara satu sama lain, atau bahkan
ketika beberapa jejaring KKP memiliki tujuan ekologi yang sama. Sebagai contoh,
jejaring SSME (Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion) adalah sebuah jejaring ekologi
(DeVantier et al., 2004; Miclat et al., 2006) karena di dalamnya terdapat kawasan-
kawasan prioritas yang mencakup ekosistem, spesies dan proses-proses ekologis
yang mewakili wilayah tersebut (Pet-Soede et al., 2009). Pendekatan pengelolaan
dari masing-masing KKP dalam suatu jejaring bisa saja berbeda, dan dalam suatu
jejaring ekologi mungkin saja dijumpai kawasan-kawasan konservasi baik yang
dikelola oleh pemerintah ataupun masyarakat setempat (Pet-Soede et al., 2009).
Dalam skala yang lebih luas, pembentukan jejaring KKP dibentuk dalam skala
regional dan global yang melampaui batas-batas negara. Hal ini diperlukan
untuk mengakomodasi spesies yang memiliki wilayah ruaya atau migrasi sangat
19
luas. Sebagai contoh, Paus Bungkuk (Megaptera novaeangliae) mendorong
beberapa KKP yang terletak di Alaska dan Hawaii (NOAA Fisheries – Office
for Protected Resources, 2013) dan di Alaska dan Costa Rica (Oviedo & Solis,
2008) berjejaring untuk memastikan tempat mencari makan (Alaska) dan tempat
berkembangbiak dan membesarkan paus muda (Hawaii dan Costa Rica)
terlindungi. Contoh lain adalah jejaring KKP kerjasama 3 negara (Indonesia,
Malaysia dan Filipina) di Ekoregion Laut Sulu Sulawesi (SSME). Jejaring ini
dibentuk dengan tujuan untuk melindungi penyu, mulai dari tempat bertelur,
mencari makan, dan berkembang biak (DeVantier et al., 2004; Miclat et al.,
2006).
Sebuah jejaring disebut jejaring tata kelola ketika semua KKP yang tercakup di
dalamnya menggunakan pendekatan pengelolaan yang sama karena berada di
bawah administrasi lembaga yang sama (Pet-Soede et al., 2010) atau wilayah
yuridiksi yang sama. Sebagai contoh adalah sejumlah kawasan konservasi yang
berada di bawah Kementarian Kehutanan atau Kementerian Kelautan dan
Perikanan atau pemerintah daerah.
20
terkait dengan masing-masing KKP untuk saling berkoordinasi dan berbagi
pengalaman untuk meningkatkan upaya pengelolaan KKP yang bersangkutan
(White et al., 2006). Pada jejaring KKP, semua badan, otoritas pengelola atau
masyarakat berbagi tujuan akhir dan mereka dapat menjadi matang seperti
halnya ekosistem menjadi matang (Agardy & Wolfe, 2002).
Sebetulnya tidak ada satu cara baku untuk merancang jejaring ekologi. Dengan
mengacu kriteria yang sudah disampaikan sebelumnya, di bawah ini disampaikan
contoh dari proses perancangan jejaring.
21
(iv) Merancang jejaring KKP di Ekoregion Sunda Kecil yang berdaya lenting
dengan menggunakan perangkat pengambilan keputusan dengan masukan
dari para pemangku kepentingan.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Wilson et al. (2011) kurang lebih serupa
dengan yang disarankan oleh Green et al. (2008) yang menyatakan bahwa dalam
membangun sebuah jejaring hal-hal berikut perlu dipenuhi:
(i) Adanya tujuan-tujuan bersama jejaring yang jelas;
(ii) Menggunakan sains terbaik yang tersedia (best available science) dan
pendekatan kehati-hatian; serta
(iii) Melibatkan para pemangku kepentingan sejak awal dan sepanjang proses
pembentukan dan pengelolaan.
22
Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa perancangan jejaring
sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola, siapapun pemrakarsanya, selalu dimulai
dari adanya (i) kebutuhan untuk membangun suatu jejaring berdasarkan
keserupaan tujuan dan kegiatan pengelolaan yang dilakukan. Hal ini
kemudian mengarah kepada upaya untuk (ii) menentukan tujuan-tujuan
bersama pengelolaan jejaring. Umumnya jejaring dibentuk dengan tujuan
untuk efisiensi dan efektivitas kerja, disamping saling memperkuat dalam hal
kapasitas teknis. Pada kasus lainnya, adanya peluang untuk dapat berkomunikasi
secara intensif dan saling mendukung dalam mendorong pengelolaan yang efektif
dalam suatu wilayah yang luas, juga dapat dijadikan sebagai alasan dan tujuan
bersama. Sebagai contoh, seperti yang terjadi di Laut Tengah, dimana para manajer
KKP membentuk sebuah jejaring yang semula bersifat sosial kemudian
berkembang mencakup aspek tata-kelola (lihat MedPAN pada laman http://
www.medpan.org/en/medpan). Hal yang serupa juga terjadi ketika beberapa
KKP yang dikelola oleh masyarakat meski dalam banyak kasus komponen sosial-
ekonomi dan sosial-budaya lebih mengemuka sebagai alasan dan tujuan bersama
(Bustamante et al., 2010;Varney et al., 2010; White et al., 2006).
Contoh visi dan misi untuk memandu tujuan-tujuan berjejaring yang perlu
dimiliki oleh sebuah jejaring disajikan pada Boks I. Langkah selanjutnya adalah
(iii) menyusun rencana pengelolaan jejaring melalui sejumlah konsultasi
guna menjaring dukungan dari para pemangku kepentingan, termasuk dukungan
legal, komitmen politik jangka panjang, dan pendanaan, baik untuk berbagi
beban maupun untuk memperoleh dukungan dari luar. Langkah yang tidak mudah
tetapi harus dilakukan ini sangat penting bagi keberadaan jejaring yang sedang
dibentuk, karena pada langkah inilah diputuskan apakah sebuah jejaring akan
dilanjutkan atau tidak. Bila rencana pengelolaan jejaring sudah selesai disusun
dan diterima oleh semua pihak, maka implementasi jejaring KKP dapat
dilaksanakan, termasuk di dalamnya adalah pemantauan dan evaluasi formatif
untuk meningkatkan kinerja pengelolaan jejaring sekaligus menerapkan
pendekatan adaptif.
Untuk menilai apakah jejaring berjalan secara efektif sesuai yang diharapkan
dan juga untuk memutuskan apakah sebuah jejaring perlu diteruskan atau tidak,
langkah yang perlu dilakukan selanjutnya adalah (iv) melakukan evaluasi
kinerja dan efektivitas pengelolaan jejaring. Evaluasi ini dilakukan secara
teratur setiap satu periode waktu tertentu yang disepakati oleh semua anggota
jejaring.
23
BOKS 1
Visi dan Misi Jejaring
Visi
Terbentuknya jejaring KKP yang komprehensif, berdaya lenting, dan
mewakili ekosistem dan habitat penting, dalam rangka melindungi
keanekaragaman hayati dan kesehatan perairan untuk saat ini dan
generasi mendatang.
Misi
1. Melindungi dan memelihara keanekaragaman hayati laut, ekosistem
dan habitat penting, tampilan/fitur alami khusus (special natural
features), dan spesies TCMS (Threatened Charismatic Migratory
Species).
2. Memberi kontribusi terhadap upaya perlindungan sumberdaya
ikan dan habitat penting dimana mereka hidup.
3. Memberi kontribusi terhadap kepastian dan stabilitas ekonomi
masyarakat.
4. Memberi perlindungan dan pemeliharaan kawasan yang berpotensi
sebagai daerah pengembangan wisata.
5. Memberi perlindungan dan keberlanjutan pemanfaatan tradisional,
warisan budaya (cultural heritage) dan sumberdaya arkeologi (ar-
chaeological resources).
6. Memberi peluang bagi kajian-kajian ilmiah, peningkatan kepedulian
masyarakat, dan pendidikan lingkungan.
24
3.1.5 Studi kasus
Ekoregion Sunda Kecil, yang dikenal juga sebagai Ekoregion Perairan Bali dan
Nusa Tenggara menurut Ekoregion Laut Indonesia, mencakup 3 (tiga) provinsi
(Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur) dengan luas keseluruhan
625.018 km2. Secara oseanografi, ekoregion ini menjadi ‘pintu keluar’ dari Arus
Lintas Indonesia (Indonesian Through-Flow)3 ke perairan samudera di belahan
bumi selatan melalui Selat Lombok, selat Ombai dan Terusan Timor. Dari segi
ekologi, ekoregion ini memiliki beberapa ekosistem laut dan pesisir penting,
seperti Selat Bali sebagai habitat bagi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru); Teluk
Saleh, Sumbawa, NTB, sebagai habitat bagi bermacam komoditas seperti ikan
kerapu, udang barong dan rumput laut; Teluk Ekas, NTB, yang secara periodik
dikunjungi oleh kelompok-kelompok paus (Cetacea) yang bermigrasi; dan Laut
Flores, NTT, sebagai jalur migrasi paus dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia.
Sampai saat ini, telah dibentuk 19 kawasan konservasi perairan yang berstatus
nasional maupun daerah dengan berbagai kategori yang mengacu kepada UU
No. 5/1990, PP No. 60/2007 dan UU No. 27/2007. Sebagian KKP tersebut
melindungi habitat-habitat penting seperti terumbu karang, mangrove, dan lamun;
sebagian melindungi jenis terancam seperti paus dan lumba-lumba; dan sebagian
lainnya melindungi pantai tempat penyu mendarat dan bertelur.
3
Arus ini membawa massa air dari Samudera Pasifik melintasi perairan Indonesia melalui Selat Malaka,Terusan Limafatola,
Laut Banda dan Laut Aru.
25
selama 3 (tiga) tahun sampai 2009. Tim tersebut memiliki beberapa tugas: (i)
mengumpulkan data informasi tentang kondisi ekologi dan sosial-ekonomi guna
mengidentifikasi area-area penting; (ii) membuatan rancangan jejaring; (iii)
meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan melalui pelatihan dan lokakarya;
dan (iv) menyelenggarakan konsultasi publik.
Pengkajian kondisi ekologi meliputi semua data habitat penting dan data
oseanografi. Berbagai habitat seperti terumbu karang, mangrove, dan padang
lamun dipetakan melalui interpretasi visual data satelit Landsat. Selain itu, daerah
migrasi dan tempat makan dari paus, lumba-lumba, manta dan penyu juga
diidentifikasi berdasarkan informasi dari masyarakat setempat dan para ahli.
Pengkajian kondisi sosial-ekonomi mencakup aspek-aspek kependudukan,
pariwisata, daerah kegiatan budidaya, serta kegiatan-kegiatan perikanan.
26
• Pengulangan – habitat yang dilindungi mencakup dua atau tiga lokasi kawasan
konservasi yang berbeda.
• Habitat penting – dalam memilih kawasan konservasi, wilayah arus naik
(upwelling), habitat penyu, tempat bertelur ikan, dan daerah migrasi
merupakan daerah prioritas yang dilindungi.
• Keterkaitan – jarak antar kawasan konservasi berkisar 100-200 km.
Melalui analisis secara ilmiah yang kemudian mendapat masukan dari para ahli
dan dikonsultasikan kepada para pemangku kepentingan, diperoleh rancangan
jejaring ekologi Sunda Kecil. Rancangan tersebut meliputi 100 kawasan
konservasi yang mencakup 86 daerah-daerah konservasi di wilayah pesisir yang
melindungi terumbu karang, mangrove, dan padang lamun, serta 14 daerah
konservasi laut dalam (deep sea) untuk melindungi spesies terancam seperti
paus dan lumba-lumba (Gambar 2).
Gambar 2 – Rancangan final jejaring KKP yang menampilkan KKP yang sudah ada dan yang
diusulkan serta area-area penting untuk dipertimbangkan sebagai KKP baru baik untuk habitat
pesisir dan laut dangkal, dan habitat laut dalam dekat-pantai (Sumber: Wilson et al., 2011).
27
3.1.5.2 Indonesia – Jejaring KKP Bali
Bali memiliki luas 563,666 Hektare yang terdiri dari pulau utama Bali dan
sejumlah pulau kecil di sekelilingnya. Bali terkenal sebagai tujuan wisata
terkemuka di dunia karena budaya masyarakatnya yang unik serta kondisi
sumberdaya alamnya, seperti terumbu karang yang relatif dalam kondisi baik.
Hasil kajian cepat (rapid assessment) kondisi kelautan Provinsi Bali tahun 2011
menunjukkan bahwa terdapat 406 jenis karang dengan rata-rata tutupan karang
keras 38,2%, sementara ikan karang tercatat sebanyak 977 jenis. Secara biofisik
terdapat keterkaitan ekosistem antara satu kawasan dengan kawasan lainnya
karena Bali merupakan pulau dengan ukuran yang relatif kecil. Keterkaitan ini
ditunjukkan oleh kemiripan antar komunitas pada wilayah berbeda. Kajian ini
menunjukkan paling tidak terdapat 5 tipe komunitas karang di Bali, yaitu: (1)
Nusa Penida utara; (2) pantai timur Bali dari Nusa Dua hingga Gili Selang; (3)
terumbu pesisir utara dari Amed hingga Pulau Menjangan; (4) habitat bersubstrat
lunak di pesisir utara Puri Jati/Kalang Anyar dan Gilimanuk Secret Bay; dan (5)
pesisir barat dan selatan Bali dan pesisir selatan Nusa Penida yang sering terpapar
gelombang. Pola komunitas karang yang mengelilingi Bali ini juga diikuti oleh
struktur komunitas ikan karang. Dipandang dari struktur komunitas ikan karang,
Bali secara umum dapat dibedakan menjadi empat zona utama: (1) Nusa Penida;
(2) pesisir timur (menghadap Selat Lombok); (3) pesisir utara; dan (4) Secret
Bay (Gilimanuk).
Selain karang dan ikan karang, survei kajian cepat juga mengidentifikasi sejumlah
tempat di perairan Bali yang memiliki nilai konservasi tinggi karena keutuhan
habitat, keanekaragaman hayati yang unik, keberadaan jenis yang endemik atau
langka, tempat ikan memijah atau tempat penyu bertelur. Fauna laut besar yang
ditemukan di perairan Bali juga menjadi pertimbangan dalam pembentukan
jejaring. Lokasi-lokasi penting paus, lumba-lumba, dugong, penyu dan pari manta
tercakup dalam lokasi prioritas pendirian KKP di Bali dan menjadi bagian dari
jejaring.
Semua tipe komunitas karang dan ikan karang yang ada di perairan Bali perlu
dilindungi melalui kawasan-kawasan konservasi yang terwakili dalam jejaring.
28
Hal ini penting untuk memberi jaminan bagi adaptasi dan kelentingan terhadap
beragam gangguan lokal dan dampak jangka panjang perubahan iklim.
Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali Nomor
16 Tahun 2009, menyatakan bahwa Bali merupakan satu kesatuan wilayah
pengembangan ekosistem pulau kecil yang terpadu. Berdasarkan peraturan ini,
Bali perlu dikelola menurut prinsip satu pulau, satu perencanaan dan satu
pengelolaan (one island, one plan, one management). Tujuannya adalah untuk
mewujudkan keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi
dan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan
dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang.
Mengacu kepada hal ini, maka pengelolaan kawasan-kawasan konservasi perairan
di Bali perlu dilakukan dalam satu perencanaan dan satu pengelolaan melalui
pembentukan jejaring.
Inisiasi pembentukan jejaring KKP Bali diawali dengan lokakarya pada Juni 2010
yang diselenggarakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali. Pemangku
kepentingan yang terlibat dalam lokakarya tersebut mencakup sejumlah dinas
terkait dari seluruh kabupaten/kota, Taman Nasional, BKSDA, universitas, fo-
rum lembaga adat, kelompok nelayan, dan LSM. Lokakarya ini menghasilkan
kesepakatan untuk membentuk jejaring KKP Bali, selain berhasil mengidentifikasi
25 lokasi prioritas yang dianggap penting untuk menjadi bagian jejaring KKP
Bali. Sebagian lokasi-lokasi tersebut telah memiliki status seperti TN Bali Barat,
Tahura Mangrove Ngurah Rai, KKPD Nusa Penida di Kabupaten Klungkung,
KKPD Kabupaten Buleleng, dan sebagian lainnya yang belum dibentuk sebagai
kawasan konservasi.
Proses selanjutnya adalah melakukan Kajian Cepat Kondisi Kelautan Bali (Bali
Marine Rapid Assessment Program - MRAP) yang melibatkan Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Bali, Balai Riset Oseanografi dan Kelautan Kementerian
Kelautan dan Perikanan, serta Conservation International Indonesia. Survei
dilakukan di 25 lokasi prioritas yang telah diidentifikasi sebelumnya. Tujuan
dari kajian cepat ini adalah untuk menghasilkan data dan informasi ekologi dan
sosial-ekonomi yang dapat digunakan sebagai masukan untuk merekomendasikan
29
lokasi-lokasi prioritas pendirian KKP baru, 9 lokasi penting sebagai kawasan
konservasi (Gambar 3), serta langkah-langkah yang perlu diambil dalam
merancang jejaring KKP Bali. Kemudian, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Bali membentuk kelompok kerja yang terdiri dari perwakilan dinas terkait di
tingkat provinsi dan kabupaten serta LSM untuk menyiapkan: (a) program dan
kegiatan jejaring, dan (b) kelembagaan dan pendanaan jejaring.
Gambar 3 – Sembilan lokasi/calon lokasi jejaring kawasan konservasi perairan Bali (Sumber:
Mustika et al., 2011)
30
3.1.5.3 Papua Nugini – Jejaring KKP Teluk Kimbe
Teluk Kimbe terletak di pesisir utara Pulau New Britain di Laut Bismarck,
Provinsi New Britain Barat, Papua Nugini.Teluk Kimbe merupakan sebuah teluk
berukuran besar dengan batas-batas yang jelas, dan rumah bagi beragam habi-
tat laut dangkal (terumbu karang, mangrove dan lamun), perairan laut dalam
dan gunung bawah laut yang letaknya saling berdekatan. Kondisi ini memberikan
peluang dan alasan untuk melindungi bermacam-macam habitat laut dengan
keanekaragaman-hayati pada satu lokasi.
Jejaring KKP Teluk Kimbe memiliki dua tujuan yaitu: (1) untuk melestarikan
keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam di Teluk Kimbe secara lestari; dan
(2) memenuhi kebutuhan untuk mengelola sumberdaya laut setempat. Rancangan
ilmiah jejaring KKP Teluk Kimbe dilakukan berdasarkan kajian nilai
31
keanekaragaman hayati dan identifikasi area-area penting atau KKP-KKP yang
memenuhi tujuan-tujuan konservasi spesifik. Rancangan ilmiah jejaring KKP
dikembangkan melalui 6 langkah proses yang melibatkan saran ilmiah para pakar,
riset dan pemantauan tersasar (targeted research and monitoring), dan proses
perancangan analitik menggunakan perangkat lunak MARXAN.
32
Gambar 4– Hasil akhir penempatan KKP di Teluk Kimbe, Papua Nugini, berdasarkan analisis
optimisasi dengan menggunakan MARXAN (Sumber: Green et al., 2007)
4
Informasi lebih rinci tentang jejaring ini bisa dilihat pada laman http://www.medpan.org/en/home
33
jejaring. Mereka inilah yang mengelola 80 KKP yang tersebar di 18 negara-
negara yang terletak di Laut Mediterania (Gambar 5).
Gambar 5– Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Laut di Laut Tengah (Sumber: http://
www.medpan.org/en/medpan)
Periode awal: Sejak pembentukannya di tahun 1990, selama enam tahun (1990-
1996) jejaring MedPAN dipimpin oleh Taman Nasional Port-Cros (Perancis)
melakukan kegiatan-kegiatan berupa seminar tematik dan empat publikasi setiap
tahun. Ketiadaan sumberdaya manusia dan keuangan menyebabkan jejaring
tidak aktif sejak 1996. Jejaring diaktifkan kembali pada i999 oleh UNEP. Pada
tahun yang sama, Taman Nasional Port-Cros menerapkan statuta baru untuk
MedPAN dan mengubahnya menjadi organisasi nirlaba di bawah hukum Perancis.
34
Pada tahun 2001, Taman Nasional Port-Cros mengusulkan program “Oceans
and Coasts” dari WWF Perancis untuk mengambil alih pengelolaan adminis-
tratif jejaring untuk merevitalisasi, mengkkordinasikan dan menggalang dana
bagi Jejaring MedPAN.
Periode pemantapan: Pada akhir 2007, para pengelola yang terlibat dalam proyek
INTERREG IIIC memutuskan bahwa diperlukan sebuah organisasi permanen
yang didedikasikan untuk memberi dukungan penuh terhadap Jejaring MedPAN.
35
Dengan dukungan teknis dari WWF Perancis dan 9 anggota pendiri, pada tahun
2008 dibentuk sebuah organisasi nirlaba di (bawah hukum) Perancis. Statuta
organisasi kini terdaftar secara legal di Perancis, dan sejumlah anggota baru
bergabung dengan organisasi MedPAN.
Pada tahun 2009, disusun strategi aksi (action strategy) untuk 2010-2012, yang
ditindaklanjuti dengan pertemuan Majelis Umum pada akhir tahun yang sama.
Pada tahun 2012, jejaring MEdPAN beserta para mitranya menyusun strategi
2013-2015. Pada April 2013, jejaring MedPAN memiliki 52 anggota yang
mengelola lebih dari 80 KKP dan 27 mitra dari 18 negara-negara Laut
Mediterania, yang didukung oleh sebuah kantor Sekretariat Eksekutif.
Beberapa capaian penting dari Jejaring MedPAN, antara lain, adalah (i) tersedianya
dokumen-dokumen strategi jejaring 2013-2017 dan peta jalan (roadmap) menuju
2020; (ii) kegiatan di tingkat regional Laut Mediterania, seperti penyusunan
basis-data KKP, kegiatan penguatan kapasitas, dan forum komunikasi antar-
pengelola KKP; serta (iii) kegiatan di tingkat sub-regional seperti pemanfaatan
KKP sebagai tujuan ekowisata melalui program MEET (Mediterranean Experi-
ence of Eco-Tourism).
5
Informasi lebih rinci tentang jejaring ini bisa dilihat pada laman: http://campam.gcfi.org/campam.php
36
Selatan ke Guyana Perancis di selatan, meliputi Kepulauan Bahama, Mexico,
Amerika Tengah, Kepulauan Antilles Besar dan Kecil, serta Kolombia,Venezuela,
Trinidad & Tobago, Suriname dan Guyana; dan mencakup sembilan ekoregion
laut (Gambar 6).
Gambar 6– Peta kepulauan Karibia dan wilayah di sekitarnya. Lingkaran dengan garis penuh
menunjukkan kawasan-kawasan yang menunjukkan keterkaitan biologi, sementara lingkaran
dengan garis terputus menunjukkan kawasan-kawasan yang kurang terdokumentasi atau
berpotensi menjadi satu unit jejaring. (Sumber: Bustamante et al., 2010)
37
Dengan semakin bertambahnya informasi yang tersedia mengenai kegagalan
dan keberhasilan KKP-KKP tunggal dan keterkaitan antara populasi-populasi
spesies laut dalam wilayah Karibia, kebutuhan bagi KKP-KKP untuk
mengkoordinasikan pengelolaan dan fungsi mereka sebagai sebuah jejaring untuk
mencapai tujuan-tujuan konservasinya menjadi jelas. Masing-masing KKP
memang dapat memberikan manfaat tetapi sifatnya hanya setempat, sementara
bila bekerja sebagai sebuah jajaring mereka dapat melindungi tempat-tempat
penting untuk berkembang biak, pengasuhan, dan pertumbuhan jenis-jenis ikan
yang bernilai komersial. Oleh karena itu, sebagian besar negara dan organisasi
konservasi di Karibia berkeinginan untuk mendirikan sebuah jejaring KKP yang
efektif untuk pemanfaatan ganda (multiple uses) seperti konservasi, rekreasi
dan perikanan.
38
tahun 1997. Sejak saat itu, berdasarkan kebutuhan prioritas yang diidentifikasi
oleh para pengelola, CaMPAM telah mengembangkan sejumlah perangkat
komunikasi dan penguatan kapasitas untuk menyebarluaskan praktik-praktik
pengelolaan terbaik (best management practices) dan mendorong kolaborasi di
antara semua KKP yang terdapat di Kepulauan Karibia dan wilayah sekitarnya.
Sejak pendiriannya, CaMPAM telah berevolusi menyesuaikan dengan kebutuhan
yang muncul, disamping juga beradaptasi terhadap sains dan informasi baru
untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan jejaring.
39
Kondisi geopolitik dan budaya yang unik dari Kepulauan Karibia dan wilayah
sekitarnya memiliki beberapa ciri khas yang dapat memfasilitasi suatu pendekatan
regional dalam mengelola sumberdaya laut. Ciri khas tersebut meliputi:
• Kemiripan iklim dan kondisi oseanografi: arus laut tropika yang memasuki
Laut Karibia dari Samudera Atlantik mengalir keluar di sepanjang pantai
Florida (Gulf Stream).
• Satu wilayah biogeografi dengan beberapa ekoregion: meski Kepulauan
Karibia dan wilayah sekitarnya memiliki hampir semua populasi spesies
laut yang serupa (ikan, invertebrata, penyu, tumbuhan, mamalia), wilayahnya
sendiri kemungkinan terbagi menjadi beberapa ekoregion atau unit yang
berbeda, tetapi saling terkait karena adanya arus yang menahan larva yang
berasal dari samudera (oceanic larvae).
• Ekonomi berbasis pariwisata pesisir: di hampir semua negara, pariwisata
pesisir merupakan industri yang dominan.
• Keragaman bahasa yang rendah: bahasa-bahasa Inggris dan Spanyol adalah
bahasa yang dominan, meski bahasa-bahasa Perancis, Belanda, Creole dan
Papiamento juga dipakai di beberapa pulau.
• Kemiripan warisan sejarah dan budaya: kolonialisme dan perbudakan
membantu pembentukan budaya Karibia pada abad ke-16 dan 18.
• Kedekatan geografis: 38 negara di dalam sebuah basin seluas 1,2 juta km2.
• Perjanjian antar pemerintah regional dalam bidang sumberdaya pesisir dan
laut: Konvensi Cartagena Tahun 1981 dan protokolnya memberikan kerangka
legal untuk menangani persoalan perlindungan dan pembangunan
berkelanjutan lingkungan laut. Semua negara Kepulauan Karibia dan wilayah
sekitarnya saat ini berpartisipasi dalam program tersebut.
Meski ada beragam hal yang mendukung di atas, banyak tantangan yang dihadapi
untuk melakukan pengelolaan secara efektif sumberdaya laut lintas-batas dan
lintas-ekoregion. Sistem-sistem KKP nasional dan sub-regional yang mencakup
daerah larang ambil dan perikanan bertanggung jawab, dipadukan dengan
perangkat pengelolaan lainnya (untuk daerah pesisir dan dataran tinggi), dapat
membantu memaksimumkan layanan lingkungan laut bagi Kepulauan Karibia
dan wilayah sekitarnya di abad ke-21.
40
BAB 4
STRATEGI PENGELOLAAN
JEJARING KKP
41
h. Pembiayaan pengelolaan kawasan konservasi perairan;
i. Restorasi dan rehabilitasi ekosistem; dan
j. Penelitian dan pengembangan teknologi.
Ditinjau dari perspektif tata kelola, pengelolaan KKP pada dasarnya adalah
hubungan antara dua sistem: (1) sistem yang menata-kelola, dan (2) sistem
yang ditata-kelola (Jentoft et al., 2007). Lebih jauh lagi, sistem yang menata-
kelola bersifat sosial (karena dibangun oleh lembaga dan mekanisme yang
mengarahkan), sementara sistem yang ditata-kelola sebagian bersifat alami
(karena terdiri dari ekosistem dan sumberdaya di dalamnya), dan sebagian bersifat
sosial (karena terdapat sistem para pengguna dan pemangku kepentingan
diantara mereka sendiri, yang membentuk koalisi dan lembaga politik) (Jentoft
et al., 2007). Dalam konteks jejaring, pengelolaan dan penata-kelolaan yang
efektif untuk mencapai sukses jangka panjang perlu memenuhi beberapa
prasyarat yang dicerminkan oleh: (i) kemauan politik dan kepemimpinan; (ii)
pendidikan publik dan komunikasi; (iii) pendanaan berkelanjutan; (iv) penegakan
hukum/aturan dan kepatuhan; serta (v) pemantauan dan kajian (Ebanks et al.,
2009; Gleason et al., 2010, 2013; Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008;White
et al., 2006). Masing-masing prasyarat ini diulas lebih jauh di bawah ini berdasarkan
Ebanks et al. (2009), Gleason et al. (2010, 2013), Green et al. (2008), IUCN-
WCPA (2008), dan White et al. (2006).
42
Kesadaran dan dukungan politik sangat penting bagi proses pengembangan dan
pengelolaan jejaring KKP. Implementasi rencana pengelolaan biasanya melibatkan
beberapa tindakan legislatif atau dasar hukum lainnya. Politisi dan pembuat
kebijakan harus sering dilibatkan sejak awal proses perencanaan untuk
membangun dukungan mereka. Dukungan politik yang kuat dapat sangat
membantu jejaring KKP yang diusulkan memperoleh persetujuan yang
diperlukan berdasarkan perundang-undangan dan untuk menggalang pendanaan.
Membangun dukungan politik secara luas merupakan hal yang sangat penting
untuk mendapatkan kepastian pendanaan pengelolaan, serta memastikan sistem
dan kebijakan yang dibutuhkan untuk membangun tata kelola jejaring KKP yang
lebih baik. Hal ini juga penting untuk menyesuaikan usulan anggaran dan
kompromi kegiatan pengelolaan. Dalam banyak kasus, lebih baik berkompromi
dan mencapai hasil konservasi yang masuk akal daripada mempertahankan tujuan
ideal jejaring tetapi tidak mendapat dukungan secara politis.
Kepemimpinan yang kuat dan efektif juga penting untuk mengembangkan dan
mengelola jejaring KKP yang efektif. Banyak program perencanaan kelautan di
seluruh dunia yang lebih menekankan pentingnya pengetahuan ilmiah tetapi
kurang melibatkan masyarakat dan para pengambil keputusan dalam setiap
tahapan prosesnya. Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan kaum terpelajar
merupakan sasaran utama yang perlu dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan untuk merencanakan dan mengelola jejaring KKP.
43
Banyak cerita sukses terkait pengelolaan KKP merupakan hasil kerja di bidang
pendidikan, penyuluhan/penjangkauan dan komunikasi6. Pendidikan, penyuluhan/
penjangkauan dan komunikasi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku
masyarakat serta meningkatkan kesadaran, pemahaman dan partisipasi mereka
dalam pengembangan dan pengelolaan jejaring KKP. Upaya penjangkauan yang
luas, misalnya, dapat meningkatkan pemahaman tentang manfaat keseluruhan
jejaring KKP. Sementara itu, program-program yang lebih spesifik dapat mengatasi
masalah sumberdaya tertentu dan mempromosikan layanan penting lainnya
seperti penelitian, pemantauan dan penegakan hukum. Upaya pendidikan juga
dapat memperkuat komitmen para pembuat kebijakan.
6
Penyuluhan/penjangkauan, pendidikan dan komunikasi merupakan padanan bebas dari IEC atau Information, Educa-
tion and Communication. Pada praktiknya, penyuluhan (extension) berbeda dari penjangkauan (outreach).
44
Dengan memberikan informasi tentang konservasi dan pengelolaan kepada
khalayak yang lebih luas, pengelola kawasan dapat meningkatkan rasa memiliki
dan menggugah kebanggaan masyarakat terhadap KKP yang ada. Kebanggaan
dan rasa memiliki ini selanjutnya akan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat
dalam pengelolaan kawasan.
45
daerah untuk mendukung kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat di
dekat atau sekitar kawasan konservasi dapat pula dijadikan sebagai sumber
pendanaan.
46
jejaring secara keseluruhan. Beberapa langkah yang harus diambil oleh
pemerintah, masyarakat, LSM, dunia usaha, lembaga donor, dan lainnya, untuk
membantu menentukan strategi pendanaan berkelanjutan antara lain:
• Melakukan analisis biaya-manfaat terhadap jejaring KKP dengan
mempertimbangkan wilayah darat dan laut yang lebih luas.
• Memasukan potensi sumberdaya pendanaan atau menciptakan kemitraan
sebagai kriteria utama dalam memilih dan menentukan daerah yang harus
membangun jejaring KKP.
• Mengartikulasikan tujuan-tujuan jejaring KKP dengan jelas dan
menghubungkan dengan kegiatan-kegiatan yang relevan dalam rangka
mencari sumber pendanaan dan kemitraan yang saling sesuai (compatible)
dengan tujuan-tujuan tersebut.
• Mengidentifikasi sumber pendanaan baik yang sudah ada maupun yang masih
potensial, serta cara-cara untuk mengurangi atau berbagi biaya pengelolaan.
• Menyusun strategi yang mencakup beragam mekanisme keuangan dan
pendekatan pengelolaan.
• Mengidentifikasi jenis pengelolaan (termasuk pengaturan pengelolaan
kolaboratif dan atau kemitraan) yang tepat dan akuntabel, serta pengawasan
yang diperlukan untuk menghasilkan dan mengalokasikan sumberdaya
pendanaan secara efisien.
47
masyarakat dimana suatu jejaring KKP berada. Beberapa aspek berikut ini
membantu memastikan berjalannya kepatuhan dan penegakan hukum yang
efektif dalam pengelolaan jejaring KKP.
• Aspek kepatuhan dan penegakan hukum atau aturan sudah
dibangun sejak tahap perencanaan jejaring KKP
Pertimbangan utama meliputi kelayakan, keterjangkauan, pemahaman publik
untuk melindungi kawasan yang paling rentan terhadap dampak negatif
dari aktivitas manusia.
48
4.5 Pemantauan Pelaksanaan Jejaring KKP
49
Elemen-elemen kunci yang dapat memaksimalkan nilai pemantauan dan evaluasi
formatif jejaring KKP adalah (Ebanks et al., 2009; Gleason et al., 2010, 2013;
Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008; White et al., 2006):
• Mengidentifikasi indikator yang tepat berkaitan dengan tujuan berjejaring.
• Mengembangkan sistem informasi terpadu dengan basis data yang handal
(termasuk hasil-hasil dari kajian ilmiah).
• Melakukan koordinasi dan standarisasi pengumpulan data dari para anggota
jejaring sehingga pengelola dapat membandingkan data, baik antar KKP
maupun dari waktu ke waktu.
• Memaksimalkan akses data, analisis dan pelaporan untuk mendukung proses
konsultasi publik.
• Memastikan sumberdaya manusia yang memiliki kapasitas dan berdedikasi
serta dukungan kelembagaan.
• Menghubungkan hasil pemantauan dengan proses pengambilan keputusan,
dan memastikan akuntabilitasnya.
• Membangun sistem yang fleksibel untuk mengelola perubahan dan teknologi
baru.
50
BAB 5
EVALUASI KINERJA DAN EFEKTIVITAS
PENGELOLAAN JEJARING KKP
Evaluasi terhadap
kinerja dan efektivitas
pengelolaan jejaring
KKP perlu dilakukan
secara periodik antara 3
atau 5 tahun sekali.
Berbeda dari evaluasi
formatif yang melekat
dengan pemantauan
b e r ke s i n a m b u n g a n
terhadap pelaksanaan
kegiatan-kegiatan
pengelolaan jejaring, evaluasi kinerja dan efektivitas dilakukan setelah satu
periode waktu yang disepakati oleh para pengelola jejaring (cf. Ebanks et al.,
2009; Gleason et al., 2010, 2013; Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008;White
et al., 2006).Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk: (i) menilai kinerja pengelolaan,
apakah komponen mendasar seperti sumberdaya manusia dan pendanaan
dikelola dan bekerja secara efisien sehingga memberikan efek positif terhadap
kegiatan-kegiatan pengelolaan; dan (ii) menilai efektivitas pengelolaan jejaring,
apakah pengelolaan mencapai tujuan-tujuan bersama dalam bidang biofisik dan
sosial-ekonomi, serta memberikan dampak positif yang diharapkan terhadap
komponen biofisik dan sosial-ekonomi jejaring. Kedua tujuan ini sesuai dengan
tujuan dari evaluasi efektivitas pengelolaan7 yang tercantum pada Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (SK Dirjen
KP3K) No. 44/2012 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Kawasan
Konservasi Perairan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (E-KKP3K).
7
Efektivitas Pengelolaan didefinisikan sebagai “tingkat/level/peringkat sejauh mana upaya pengelolaan kawasan konservasi
memberikan hasil positif terhadap aspek-aspek sumberdaya kawasan dan sosial-ekonomi-budaya masyarakat yang
berdampak pada peningkatan kinerja pengelolaan“ (SK Dirjen KP3K No. 44/2012 tentang Pedoman Teknis E-KKP3K).
51
Menurut Gleason et al., 2013 dan Green et al., 2008, hampir tidak ada upaya
evaluasi efektivitas terhadap pengelolaan jejaring KKP. Hal ini terjadi mengingat:
(i) pengembangan jejaring KKP masih relatif baru, dan (ii) tidak adanya perangkat
untuk melakukan evaluasi kinerja efektivitas pengelolaan jejaring KKP. Ketiadaan
perangkat tersebut memberi peluang untuk membuat sebuah perangkat evaluasi
yang sesuai.
52
BAB 6
PENUTUP
Saat ini pembentukan dan pengelolaan jejaring KKP merupakan suatu kebutuhan
untuk mengelola sumberdaya perikanan menjadi lebih baik dan bermanfaat.
Untuk mengembangkan jejaring KKP dibutuhkan strategi pembentukan dan
pengelolaan berdasarkan pengalaman, pembelajaran, dan praktek-praktek terbaik
(best practices) yang ada baik di Indonesia maupun negara lain.
53
disebarluaskan ke khalayak untuk meningkatkan pemahaman dan mendapatkan
dukungan yang lebih luas.
Hingga saat ini belum ada perangkat untuk mengukur kinerja efektivitas
pengelolaan jejaring KKP. Oleh karena itu perlu disusun sebuah perangkat
evaluasi yang sesuai dengan konteks Indonesia.
54
DAFTAR PUSTAKA
Agardy, T. (2005). Global marine policy versus site-level conservation: the mis-
match of scale and its implications. Marine Ecology Progress Series,
300: 242-248.
Agardy, T. & Wolfe, L. (2002). Institutional options for integrated management
of a North American MPAs network. Montreal: Commission for
Environmental Cooperation.
Balmford, A., Gravestock, P., Hockley, N. McClean, C.J. & Roberts, C.M. (2004).
The worldwide costs of marine protected areas. Proceedings of the
National Academy of Sciences, 101(26): 9694-9697.
Bohnsack, J.A., Causey, B., Crosby, M.P., Griffis, R.B., Hixon, M.A., Hourigan, T.F.,
Koltes, K.H., Maragos, J.E., Simons, A. & Tilmant, J.T. (2000). A ratio-
nale for minimum 20-30% no-take protection. Proceeding of the 9th
International Coral reef Symposium, 23-27 October 2000, Bali, Indone-
sia.
Bustamante, G., Gombos, M., Hermann, H., Schmidt, K. & Vanzella-Khouri. A.
(2010). Institutional Networks of Marine Protected Areas — Con-
necting People to Protect Places. Current, the Journal of Marine Educa-
tion, 26(2): 12-19.
Claudet, J., Pelletier, D., Jouvenel, J.Y., Bachet, F. & Galzin, R. (2006).Assessing the
Effects of Marine Protected Area (MPA) on a Reef Fish Assemblage
In a Northwestern Mediterranean Marine Reserve: Identifying Com-
munity-Based Indicators. Biological Conservation, 130 : 349-369.
Cooney, R. (2004). The Precautionary Principle in Biodiversity Conservation
and Natural Resource Management:An issues paper for policy-mak-
ers, researchers and practitioners. Gland, Switzerland & Cambridge,
UK: IUCN, xi + 51 pp.
Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food security (CTI-
CFF). (2013). Coral Triangle Marine Protected Areas System Framework
and Action Plan. CTI-CFF, USAID-CTSP, and US-NOAA. Cebu City,
Philippines.
55
DeVantier, L., Alcala, A. & Wilkinson, C. (2004). The Sulu-Sulawesi sea: environ-
mental and socioeconomic status, future prognosis and ameliora-
tive policy options. Ambio, 33: 88-97.
Ebanks,A.E., Miller, M. & Mahon, R. (2009). Best Management Practices for Marine
Protected Areas od the Wider Caribbean Region. CERMES Technical Re-
port No. 17, Centre for Resource Management and Environmental
Studies, University of the West Indies, Cave Hill Campus, Barbados,
40 pp.
Fernandes, L., Green, A., Tanzer, J., White, A., Alino, P.M., Jompa, J., Lokani, P.,
Soemodinoto, A., Knight, M., Pomeroy, B., Possingham, H. & Pressey,
B. (2012). Biophysical principles for designing resilient networks of marine
protected areas to integrate fisheries, biodiversity and climate change ob-
jectives in the Coral Triangle. Report prepared by The Nature Conser-
vancy for the Coral Triangle Support Partnership, 152 pp.
Gaines, S. & Airame, S. (2010). Why are ecological networks of Marine Pro-
tected Areas important? Current, the Journal of Marine Education, 26(2):
20-23.
Garrod, B. & Wilson, J.C. (2004). Nature on the edge? Marine ecotourism in
peripheral coastal areas. Journal of Sustainable Tourism, 12(2): 95-99.
Gleason, M., Fox, E.,Ashcraft, S.,Vasques, J.,Whitemane, E., Serpa, P., Saarman, E.,
Caldwell, M., Frimodig, A., Miller-Henson, M., Kirlin, J., Ota, B., Pope,
E., Weber, M. & Wiseman, K. (2013). Designing a network of marine
protected areas in California: Achievements, costs, lessons learned,
and challenges ahead. Ocean & Coastal Management, 74: 90-101.
Gleason, M., McCreary, S., Miller-Henson, M., Ugoretz, J., Fox, E., Merrifield, M.,
McClintock, W., Serpa, P. & Hoffman, K. (2010). Science-based and
stakeholder-driven marine protected area network planning: A suc-
cessful case study from north central California. Ocean & Coastal
Management, 53: 52-68.
Green, A., Lokani, P., Sheppard, S., Almany, J., Keu, S., Aitsi, J., Warku Karvon, J.,
Hamilton, R. & Lipsett-Moore, G. (2007). Scientific Design of a Resil-
ient Network of Marine Protected Areas. Kimbe Bay, West New
Britian, Papua New Guinea. TNC Pacific Island Countroes Report
No. 2/07, x + 60 pp.
Green, A., White, A. & Kilarski, S. (Eds.) (2013). Designing marine protected area
networks to achieve fisheries, biodiversity, and climate change objectives in
56
tropical ecosystems: a practitioner guide. The Nature Conservancy and
the USAID Coral Triangle Support Partnership, Cebu City, Philip-
pines. viii + 35 pp.
Green, J.S., Meneses, A.B.T., White, A.T. & Christie, P. (2008). Marine Protected
Area Networks in the Coral Triangle: Development and Lessons. TNC,
WWF, CI, WCS, and USAID. Cebu City, Philippines, 106 pp.
IUCN World Commission on Protected Areas (IUCN-WCPA). (2008). Estab-
lishing Marine Protected Area Networks—Making it Happen. Washing-
ton, DC: IUCN-WCPA, National Oceanic and Atmospheric Admin-
istration and The Nature Conservancy, 118 pp.
Jentoft, S., Son, T.C.v. & Bjørkan, M. (2007). Marine Protected Areas: a gover-
nance system analysis. Human Ecology DOI 10.1007/s10745-007-9125-
6.
Notarbartolo-di-Sciara, G. (2007). Guidelines for the Establishment and Manage-
ment of Marine Protected Areas for Cetaceans. Contract RAC/SPA, No.
03/2007: 1-29.
NRC (National Research Council). (2001). Marine protected areas: tools for sus-
taining ocean ecosystems. Washington DC: National Academic Press,
xvi + 272 pp.
McLeod, E., Salm, R., Green, A. & Almany, J. (2009). Designing marine protected
area networks to address the impacts of climate change. Frontiers in
Ecology and the Environments: 7, doi:10.1890/070211
Miclat, E.F., Ingles, J.A. & Dumaup, J.N.B. (2006). Planning across boundaries for
the conservation of the Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion. Ocean &
Coastal Management, 49: 597-609.
NOAA Fisheries – Office for Protected Resources. (2013). Humpback Whale
(Megaptera Novaeangliae).Available at http://www.nmfs.noaa.gov/pr/
species/mammals/cetaceans/humpbackwhale.htm, last seen Novem-
ber 23, 2013.
Oviedo, L. & Solis, M. (2008). Underwater topography determines critical breed-
ing habitat for humpback whales near Osa Peninsula, Costa Rica:
implications for Marine Protected Areas. Revista de Biologia Tropical,
56(2): 591-602.
57
Pet-Soede, L., Cesar, H., Beukering, P.v.,Willsteed, E. & Mous, P.J. (2009). Benefits
of Marine Protected Area networks: an overview in support of of the Coral
Triangle Initiative. WWF Report, 145 pp.
Pressey, R.L., Cabeza, M., Watts, M.E., Cowling, R.M. & Wilson, K.A. (2007).
Conservation planning in a changing world. TRENDS in Ecology and
Evolution, 22(11): 583-592.
Roberts, C.M. (1997). Connectivity and management of Caribbean coral reefs.
Science, 278: 1454-1457.
Roberts, C.M., Halpern, B., Palumbi, S.R. & Warner, R.R. (2001). Designing ma-
rine reserve networks: why small, isolated protected areas are not
enough? Conservation in Practice, 2: 10-17.
Salafsky, N. & Margoluis, R. (1999).Threat reduction assessment: a practical and
cost-effective approach to evaluating conservation and development
projects. Conservation Biology, 13(4): 830-841.
Salm, R.V., Clark, J.R. & Siirila, E. (2000). Marine and coastal protected areas – A
guide for planners and managers, third edition. Gland, Switzerland: In-
ternational Union for Conservation of Nature and Natural Resources,
xi + 370 pp.
Schwenke, S., Wenzel, L. & Wowk, K. (2010). Networks of Marine Protected
Areas: what are they and why are they needed? Current, the Journal of
Marine Education, 26(2): 2-6.
Secretariat of the Convention on Biological Diversity. (2006). Global Biodiversity
Outlook 2. Montreal, vii + 81 pp.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Nomor KEP.44/KP3K/2012 (SK Dirjen KP3K No. 44/2012) tentang
Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi
Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K). Jakarta:
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Susanto, H.A. (2011). Progres Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi
PerairanIndonesia: A Consultancy Report. Kerjasama Kementerian
Kelautan dan Perikanan dengan Coral Triangle Support Partnership
(CTSP), Jakarta, 35 hal.
58
Syakur, A., Wibowo, J. T., Firmansyah, F., Azam, I. & Linkie, M. (2012). Ensuring
local stakeholder support for marine conservation: establishing a
locally managed marine area network in Aceh. Oryx, 46: 516-524
UNEP-WCMC. (2008). National and Regional Networks of Marine Protected Ar-
eas: A Review of Progress. Cambridge: UNEP-WCMC, v + 144 pp.
Varney, A., Christie, P., Eisma-Osorio, R.-L., Labrado, G., Pinsky, M. & White, A.
(2010). Designing and planning a network of community-based Ma-
rine Protected Areas. Seattle, Washington, US & Cebu City, Philip-
pines: University of Washington, School of Marine Affairs &Coastal
Cosnervation and Education Foundation, viii + 74 pp.
White, A.T., Aliño, P.M. & Meneses, A.T. (2006). Creating and managing marine
protected areas in the Philippines. Fisheries Improved for Sustain-
able Harvest, Coastal and Community Environment Foundation, and
the University of the Philippines Marine Science Institute, Cebu City,
Philippines, 83 pp.
Wilson, J., Darmawan,A., Subijanto, J., Green,A. & Sheppard, S. (2011). Rancangan
Ilmiah Jejaring Kawasan Konservasi Laut yang Tangguh. Ekoregion Sunda
Kecil, Segitiga Terumbu Karang. Program Kelautan Asia Pasifik Laporan
No. 2/11, 96 hal.
59
60