Anda di halaman 1dari 19

ANESTESI NEURAXIAL

A. Anestesi Spinal

Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang dihasilkan

dengan menghambat saraf spinal di dalam ruang subaraknoid oleh zat-zat

anestetik lokal. Anestesi spinal adalah teknik yang mudah dilakukan,

dengan kedalaman dan kecepatan blokade saraf melalui penyuntikan dosis

kecil larutan anestetika lokal ke dalam ruang subaraknoid (Hunter D.

Nainggolan et al, 2014)

1. Anatomi

Sistem tulang belakang memiliki selubung pelindung yang

terdiri dari tiga lapisan. Lapisan dari luar ke dalam: duramater,

arachnoid dan piamater. Celah yang berada diantara duramater

dengan arachnoid disebut ruang subdural. Cairan serebrospinal

(CSF) mengalir di antara arachnoid dan piamater dalam ruang yang

disebut ruang subarachnoid . Sumsum tulang belakang dimulai dari

persarafan kranialis pada foramen magnum dan kelanjutan dari

medulla oblongata serta berakhir di conus medullaris, Perpanjangan

dari piamater yang disebut filum terminale yang menempel pada

sumsum tulang belakang ke tulang ekor (Yenukoti, 2018).

Tulang vertebra merupakan struktur komplek yang secara

garis besar terbagi atas 2 bagian. Bagian anterior tersusun atas

korpus vertebra, diskus intervertebralis (sebagai artikulasi), dan

ditopang oleh ligamentum longitudinale anterior dan posterior.


Sedangkan bagian posterior tersusun atas pedikel, lamina, kanalis

vertebralis, serta prosesus tranversus dan spinosus yang menjadi

tempat otot penyokong dan pelindung kolumna vertebrae. Bagian

posterior vertebra antara satu dan lain dihubungkan dengan sendi

apofisial (faset). Stabilitas vertebra tergantung pada integritas

korpus vertebra dan diskus intervertebralis serta dua jenis jaringan

penyokong yaitu ligamentum (pasif) dan otot (aktif) (Sakka, Coll

and Chazal, 2018)

Fungsi dari kolumna vertebralis atau rangkaian tulang

belakang adalah bekerja sebagai pendukung badan yang kokoh

sekaligus juga bekerja sebagai penyangga dengan perantaraan

tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungannya memberi

fleksibilitas dan memungkinkan membengkok tanpa patah.

Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi

bila menggerakan berat seperti waktu berlari dan meloncat, dan

dengan demikian otak dan sumsum tulang belakang terlindung

terhadap goncangan. Gelang panggul adalah penghubung antara

badan dan anggota bawah. Sebagian dari kerangka axial, atau tulang

sakrum dan tulang koksigeus, yang letaknya terjepit antara dua

tulang koxa, turut membentuk tulang ini. Dua tulang koxa itu

bersendi satu dengan lainnya di tempat simfisis pubis (Adigun and

Varacallo, 2019)

2. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal adalah cairan yang mengisi sistem

ventrikel dan ruang subarachnoid yang bertujuan melindungi otak

dari benturan, bakteri dan juga berperan sebagai pembersih

lingkungan otak (Sakka, Coll and Chazal, 2018). Jumlah cairan

serebrospinal pada orang dewasa berkisar antara 75-150 ml. Jumlah

ini konstan sesuai hukum monroe-kelli kecuali jika terdapat kondisi

yang tidak seimbang antara komponen parenkim, darah dan cairan

serebrospinal.

3. Indikasi

Anestesi spinal dilakukan dengan indikasi untuk

pembedahan ekstremitas bawah panggul, ekstremitas bawah

maupun operasi pada derah lumbar maupun pada daerah rectal.

Anestesi spinal dilakukan pada persarafan dengan menggunakan

anestesi lokal di cairan serebrospinal yang memiliki efek minimal

pada sumsum tulang belakang (Bucklin, 2018).

4. Kontra indikasi

Kontraindikasi absolut yaitu ketidaksetujuan pasien untuk

dilakukannya tindakan. Kontraindikasi lainnya yakni tekanan

intracranial yang tinggi, hypovolemia berat, infeksi pada tempat

penyuntikkan, adanya massa pada intracranial ataupun adanya risiko

penyakit meningitis (Stamer et al., 2007)

5. Baricity

Kepadatan zat larutan anestesi lokal denga cairan

sebrebrospinal. Rata-rata kepadatan nilai serebrospinal adalah


1.0003. Bila rata-rata mendekati 1.0 disebut isobaric, bila lebih dari

1.0 disebut dari hiperbarik, bila kurang dari 1.0 disebut hipobarik

(Morgan, 2016).

6. Keberhasilan Anestesi Menyebar dalam Cairan Tulang Belakang

a. Faktor utama

a) Baricity berkaitan dengan gravitasi

b) Posisi pasien (kecuali solusi isobarik)

c) Dosis, bukan volume atau konsentrasi

b. Faktor lainnya

a) Tingkat injeksi

b) Peningkatan tekanan perut (obesitas dan kehamilan)

c) Tinggi pasien

d) Batuk

e) Arah bevel jarum

7. Teknik Anestesi Spinal

a. Posisi Pasien

Posisi pasien dapat berupa penekukan lutut dengan posisi

lateral serta dagu ditekuk ke dada dan pasien duduk fleksi

dengan lutut pasien diganjal oleh bantal.

b. Teknik insersi

Teknik insesi dilakukan dengan jarumspinal 22-29

dengan tapered point. Insersi dilakukan sampai jarum masuk


ke dalam ruang sub araknoid pada bidang median setinggi

L3-L4 atau L4-L5. (Sivevski et al., 2018). Keberhasilan

anestesi dapat dilakukan dengan tes sensorik pada daerah

operasi.

8. Komplikasi

Komplikasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori sebagai

berikut: ketinggian blokade saraf, lokasi jarum penyuntikkan

dan toksisitas obat.

a. Ketinggian blokade saraf bisa menimbulkan

hipotensi sampai cardiac arrest dan retensi urin.

Ketinggian blokade saraf bisa terjadi akibat dosis

lebih dari anestetik lokal, kegagalan untuk

mengurangi dosis pada pasien-pasien yang rentan

terhadap penyebaran berlebih anestetik lokal (usia

tua, hamil, obesitas dan pendek), peningkatan

sensitifitas, penyebaran obat yang berlebih (Barton,

2017). Gejala awal yang muncul berupa dispnea,

rasa kebal atau kelemahan pada lengan, mual bisa

dikarenakan hipoperfusi otak, dan hipotensi ringan

sampai sedang. Jika penyebaran anestetik lokal

sampai pada cervical maka akan muncul gejala

hipotensi berat, bradikardia, gagal nafas. Bila timbul

gangguan kesadaran dan apnea, maka penanganan


airway dan breathing berupa pemberian oksigen,

intubasi dan ventilasi mekanik diperlukan.

Selanjutnya penangan sirkulasi berupa pemberian

cairan intravena, posisi trendelenburg dan

vasopressor .(Hunter D. Nainggolan, Iwan Fuadi,

2014).

a) Hipotensi

Hipotensi dan bradikardia adalah efek

samping yang diakibatkan oleh denervasi

simpatis. Faktor risiko hipotensi antara lain

hipovolemia, hipertensi preoperatif,

ketinggian blokade sensoris, usia diatas 40

tahun, obesitas, kombinasi anestesia umum

dan regional. Konsumpsi alkohol kronis,

riwayat hipertensi, BMI lebih, ketinggian

blokade sensoris, kedaruratan pembedahan

akan meningkatkan hipotensi setelah anestesi

spinal (Moos, 2002).

b) Retensi urin

Ini terjadi akibat blokade saraf S2-4

yang menurunkan tonus otot kandung kemih

dan menghambat refleks berkemih.

Pemasangan kateter urin bermanfaat pada

pembedahan yang cukup lama. Penilaian


postoperatif terhadap retensi urin sangat

berguna karena bila terdapat retensi urin yang

lama merupakan tanda adanya kerusakan

saraf yang serius

b. .Lokasi penyuntikkan

Nyeri punggung

Saat penyuntikkan dengan jarum pada bagian


punggung akan memicu repon peradangan yang akan
menghasilkan kekakuan sementara. Gejala dapat
berlanjut lebih dari seminggu. Nyeri punggung ini
bisa merupakan tanda awal dari komplikasi
hematoma spinal dan abses (Moos, 2002)
(a) Postdural puncture headache
Nyeri kepala terjadi akibat kebocoran
cairan serebrospinal melewati lubang pada
durameter. Adanya penurunan tekanan
intrakaranial akibat kebocoran cairan
serebrospinal. Ketika pasien dalam posisi
tegak akan ada traksi pada dura, tentorium
dan pembuluh darah yang menimbulkan
nyeri. Gejala berupa nyeri kepala pada posisi
duduk atau berdiri dan berkurang bila
berbaring, nyeri kepala bilateral, frontal, retro
orbita, oksipital dan menjalar ke leher. Onset
nyeri ini 12-72 jam setelah prosedur (Moos,
2002).

(b) Hematoma spinal


Insidensi hematoma spinal pada
anestesi spinal 1:220.000. adapun faktor yang
meningkatkan risiko hematoma spinal antara
lain pemakaian antikoagulan atau penyakit
yang berhubungan dengan koagulasi darah,
penyuntikkan anestesi spinal berulang kali.
Perdarahan pada ruang subarachnoid akan
mengompresi saraf dan menimbulkan
iskemia dan kerusakan sel saraf. Onset gejala
berjalan cepat berupa nyeri punggung dan
tungkai bawah, hilang rasa dan kelemahan
progresif, disfungsi sfingter (Moos, 2002).
9. Toksisitas obat
a. Transcient neurological symptoms
Gejala dan tanda berupa nyeri punggung bawah
menjalar ke tungkai bawah. Mekanisme pasti belum dapat
diketahui namun secara teoritis bahwa lidokain lebih
neurotoksik pada serabut saraf tak bermielin dibandingkan
anestetik lokal lainnya. TNS lebih sering pada pasien dengan
anestesi spinal dan posisi litotomi. Posisi ini membuat
peregangan pada serabut akar saraf lumbosacral, perfusi
menurun dan membuat saraf lebih mudah mendapatkan efek
toksik dari anestetik lokal. Pecegahan berupa pemakaian
bupivakain sebagai alternatif lainnya (Moos, 2002)
b. Sindrom cauda equine
Sindrom ini berhubungan dengan teknik kateter
spinal dan lidokain 5%. Sindrom cauda equina bersifat
permanen dan berupa disfungsi sfingter, defisit sensorik-
motorik dan parese. Tingkat neurotoksisitas pada anestetik
lokal yakni lidokain = tetrakain > bupivakain > ropivakain
(Katzung, 2011).

B. Anestesia Epidural
Anestesi epidural merupakan salah satu bentuk teknik blok
neuroaksial, dimana penggunaannya lebih luas dari pada anestesia spinal.
Epidural blok dapat dilakukan melalui pendekatan lumbal, torak, servikal
atau sacral (yang lazim disebut blok caudal). Teknik epidural sangat luas
penggunaannya pada anestesia operatif, analgesia untuk kasus-kasus
obstetri, analgesia post operatif dan untuk penanggulangan nyeri kronis
Ruang epidural berada diuar selaput dura. Radiks saraf berjalan di dalam
ruang epidural ini setelah keluar dari bagian lateral medula spinalis, dan
selanjutnya menuju kearah luar (Morgan, 2006)
Onset dari epidural anestesia (10-20 menit) lebih lambat
dibandingkan dengan anestesi spinal. Dengan menggunakan konsentrasi
obat anestesi lokal yang relatif lebih encer dan dikombinasi dengan obat-
obat golongan opioid, serat simpatis dan serat motorik lebih sedikit diblok,
sehingga menghasilkan analgesia tanpa blok motorik. Hal ini banyak
dimanfaatkan untuk analgesia pada persalinan dan analgesia post operasi
(Morgan, 2006)

1. Anatomi
a. Lumbal Epidural
Lumbal epidural merupakan daerah anatomis yang paling
sering menjadi tempat insersi atau tempat memasukan epidural
anestesia dan analgesia. Pendekatan median atau paramedian dapat
dikerjakan pada tempat ini. Anestesia lumbal epidural dapat
dikerjakan untuk tindakan-tindakan dibawah diafragma. Oleh
karena medula spinalis berakhir pada level L1, keamanan blok
epidural pada daerah lumbal dapat dikatan aman, terutama apabila
secara tidak sengaja sampai menembus dura.
b. Torakal epidural
Secara teknik lebih sulit dibandingkan teknik lumbal
epidural, demikian juga risiko cedera pada medula spinalis lebih
besar. Pendekatan median dan paramedian dapat dipergunakan.
Teknik torakal epidural lebih banyak digunakan untuk intra atau
post operatif analgesia (Visser, 2001).

c. Cervikal epidural
Teknik ini biasanya dikerjakan dengan posisi pasien duduk,
leher ditekuk dan menggunakan pendekatan median. Secara klinis
digunakan terutama untuk penanganan nyeri (Visser, 2001)

2. Teknik Anestesi Epidural


Dengan menggunakan pendekatan median atau paramedian, jarum
epidural dimasukan melalui kulit sampai menembus ligamentum flavum.
Dua teknik yang ada untuk mengetahui apakah ujung jarum telah mencapai
ruang epidural adalah teknik “loss of resistance” dan “hanging
drop”(Latief SA, Suryadi KA, 2010)

Teknik “loss of resistance” lebih banyak dipilih oleh para


klinisi. Jarum epidural dimasukkan menembus jaringan subkutan dengan
stilet masih terpasang sampai mencapai ligamentum interspinosum yang
ditandai dengan meningkatnya resistensi jaringan. Kemudian stilet atau
introducer dilepaskan dan spuit gelas yang terisi 2 cc cairan disambungkan
ke jarum epidural tadi. Bila ujung jarum masih berada pada ligamentum,
suntikan secara lembut akan mengalami hambatan dan suntikan tidak bisa
dilakukan. Jarum kemudian ditusukan secara perlahan, milimeter demi
milimeter sambil terus atau secara kontinyu melakukan suntikan. Apabila
ujung jarum telah mesuk ke ruang epidural, secara tiba-tiba akan terasa
adanya loss of resistance dan injeksi akan mudah dilakukan (Visser, 2001).

3. Aktifasi Epidural
Jumlah (volume dan konsentrasi) dari obat anestesi lokal yang
dibutuhkan untuk anestesi epidural relatif lebih banyak bila dibandingkan
dengan anestesi spinal. Keracunan akan terjadi bila jumlah obat sebesar itu
masuk intratekal atau intravaskuler. Untuk mencegah timbulnya hal
tersebut, dilakukan tes dose epidural. Hal ini dibenarkan dengan
menggunakan jarum ataupun melalui kateter epidural yang telah terpasang
(Morgan, 2006).
Test dose dilakukan untuk mendeteksi adanya kemungkinan injeksi ke
ruang subaraknoid atau intravaskuler. Test dose klasik dengan
menggunakan kombinasi obat anestesi lokal dan epineprin, 3 ml lidokain
1,5 % dengan 0,005 mg/mL epineprin 1:200.000. Apabila 45 mg lidokain
disuntikan kedalam ruang subaraknoid akan timbul anestesi spinal secara
cepat. 15 g epineprin bila disuntikan intravaskuler akan menimbulkan
kenaikan nadi 20% atau lebih. Beberapa menyarankan untuk menggunakan
obat anestesi lokal yang lebih sedikit suntikan 45 mg lidokain intratekal
akan menimbulkan kesulitan penanganan pada tempat tertentu, misalnya di
ruang persalinan. Demikian juga, epineprin sebagai marker injeksi intravena
tidaklah ideal. False positif dapat terjadi (kontraksi uterus sehingga
menimbulkan nyeri yang berakibat meningkatnya nadi) demikian juga false
negatif (pada pasien yang mendapat  bloker). Fentanil telah dianjurkan
untuk digunakan sebagai test dose intravena, yang mempunyai efek
analgesia yang besar tanpa epineprin. Yang lain menyarankan untuk
melakukan tes aspirasi sebelum injeksi dapat dilakukan untuk mencegah
injeksi obat anestesi lokal secara intravena (Visser, 2001).

4. Obat-obat anestesi epidural


Obat-obat epidural dipilih berdasarkan efek klinis yang diharapkan,
apakah akan digunakan sebagai obat anestesi primer, untuk suplementasi
pada anestesi umum, atau untuk lokal analgesia. Antisipasi terhadap
lamanya prosedur akan memerlukan suntikan tunggal short atau long acting
anestesi atau membutuhkan pemasangan kateter. Umumnya penggunaan
obat dengan durasi kerja pendek sampai sedang pada anestesi menggunakan
lidokain 1,5-2%, 3% kloroprokain, dan 2% mevipakain. Obat dengan durasi
kerja lama termasuk bupivakain 0,5-0,75%, ropivakain 0,5-1%, dan
etidokain (Katzung, 2011). Hanya obat-obat anestesi lokal yang bebas
preservatif atau yang telah diberi label khusus untuk epidural atau kaudal
saja yang dianjurkan (Morgan, 2006).
Sesuai dengan kaidah bolus 1-2 mL per segmen, dosis ulangan
melalui kateter epidural dikerjakan dalam waktu yang tetap, berdasarkan
pengalaman praktisi terhadap penggunaan obat tersebut, atau apabila telah
menunjukan regresi blok. Waktu regresi dua segmen sesuai dengan
karakteristik masing-masing obat anestesi lokal dan didefinisikan sebagai
waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya penurunan level sensoris sebanyak
dua level dermatom. Bila telah terjadi regresi dua segmen, boleh diberikan
suntikan ulang sebanyak sepertiga sampai setengah dari dosis inisial. Harus
dicatat bahwa kloroprokain, suatu ester dengan onset yang cepat, durasi
yang pendek, dan toksisitas yang rendah, akan mungkin bertumpang tindih
dengan efek efek epidural dari opiat. Dulunya formulasi dari kloroprokain
dengan preservatif bisulfit dan EDTA tampaknya menjadi suatu
permasalahan. Preparat bisulfit menimbulkan neurotoksik bila disuntikan
intratekal dengan volume yang besar. Sedangkan formulasi EDTA
menimbulkan nyeri pinggang yang berat (diperkirakan karena terjadinya
hipokalemia lokal). Saat ini preparat kloroprokain sudah bebas preservatif
dan tidak menimbulkan komplikasi tersebut (Katzung, 2011).
Bupivakain, yang merupakan salah satu anestesi lokal golongan
amide dengan onset yang lambat dan durasi kerja yang panjang, mempunyai
potensi menimbulkan toksisitas sistemik. Anestesi untuk pembedahan
diijinkan untuk menggunakan formulasi 0,5 % dan 0,75 %. Konsentrasi 0,75
% tidak dianjurkan pada anestesi obstetri. Penggunaannya pada masa lalu
dilaporkan menimbulkan cardiac arrest sebagai akibat injeksi kedalam
intravena. Kasulitan dalam melakukan resusitasi dan tingginya angka
kematian sebagai akibat ikatan dengan protein yang sangat tinggi dan
kelarutan bupivakain dalam lemak, mengakibatkan akumulasi dalam sistim
hantaran jantung sehingga timbul refractory re-entrant arrhythmias.
Konsentrasi yang sangat encer dari bupivakain (misal 0,0625%) sering
dikombinasi dengan fentanil dan digunakan untuk analgesia untuk
persalinan dan nyeri pasca operasi. S-enantiomer dari bupivakain :
levobupivakain, tampaknya berefek anestesi lokal pada konduksi saraf
tetapi tidak menimbulkan efek toksik secara sistemik.(Morgan, 2006).
Ropivakain, kurang toksik dibandingkan bupivakain, potensi, onset, durasi
dan kualitas blok sama dengan bupivakain.

5. Kegagalan Blok Epidural


Tidak seperti anestesi spinal, yang mana hasil akhirnya sangat jelas,
dan secara teknis tingkat keberhasilannya tinggi, anestesi epidural sangat
tergantung pada subyektifitas deteksi dari loss of resistance (atau hanging
drop). Juga, lebih bervariasinya anatomi dari ruang epidural dan kurang
terprediksinya penyebaran obat anestesi lokal, karenanya membuat
anestesia epidural kurang dapat diprediksi (Morgan, 2006)
Kesalahan tempat penyuntikan obat anestesi lokal dapat terjadi
dalam sejumlah situasi. Pada beberapa dewasa muda, ligamentum spinalis
lembut dan perubahan resistensi yang baik tidak bisa dirasakan, dengan kata
lain kekeliruan dari loss of resistance tidak bisa dipungkiri. Demikian juga
bila masuk ke muskulus paraspinosus dapat menimbulkan kekeliruan loss
of resistance. Penyebab lain kegagalan anestesi epidural seperti injeksi
intratekal, subdural, dan injeksi intravena. Walaupun dengan konsentrasi
dan volume yang adekuat dari obat anestesi lokal telah dimasukkan kedalam
ruang epidural, dan waktu yang dibutuhkan telah mencukupi, beberapa blok
epidural tidak berhasil (Fischer, 2009).
Blok unilateral dapat terjadi bila obat diberikan lewat kateter yang
keluar dari ruang epidural. Bila blok unilateral terjadi, masalah tersebut
dapat diatasi dengan menarik kateter 1-2 cm dan disuntikan ulang dimana
pasien diposisikan dengan bagian yang belum terblok berada disisi bawah.
Bisa juga pasien mengeluh akibat nyeri viseral pada blok epidural yang
bagus. Pada beberapa kasus (tarikan pada ligamentum inguinale dan tarikan
spermatic cord), yang lainnya seperti tarikan peritoneum. Pada keadaan ini
diperlukan pemberian suplementasi opioid intravena. Serat aferen visceral
yang berjalan bersama nervus vagus mengakibatkan semua hal ini
((Morgan, 2006).

6. Indikasi anestesi epidural


Menurut Morgan indikasi dilakukannya anestesi epidural,yakni :
a. Bedah daerah panggul dan lutut
Anestesi epidural untuk pembedahan daerah panggul dan
lutut berhubungan dengan rendahnya kejadian trombosis vena
dalam. Perdarahan juga minimal apabila dilakukan pembedahan
dengan teknik anestesi epidural
b. Revaskularisasi ekstremitas bawah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pasien dengan
penyakit pembuluh darah perifer yang dioperasi dengan teknik
anestesi epidural aliran darah ke distal lebih besar dan oklusi
pembuluh darah post operatif juga menunjukkan angka yang lebih
kecil dibandingkan dengan anestesi umum.
c. Persalinan
Pada proses persalinan yang sulit, apabila dilakukan dengan
teknik epidural anestesi menyebabkan stress peripartum berkurang.
Hal ini berhubungan dengan menurunnya produksi katekolamin.
d. Post operatif manajemen
Pasien dengan gangguan cadangan paru, misalnya PPOK
menunjukkan maintenance fungsi paru lebih bagus dengan teknik
epidural anestesi dibandingkan dengan general anestesi. Post
operatif pun, pasien lebih kooperatif dan lebih cepat dipindahkan
dari recovery room.1

7. Kontra indikasi
Tabel 2.1 Kontra indikasi anestesi epidural
No Kontra indikasi relatif Kontra indikasi absolut

1 Neuropati perifer Sepsis

2 “mini-dose” heparin Bakteremia

3 Demensia atau psikosis Infeksi kulit pada lokasi injeksi

4 Aspirin atau pengobatan anti Hipovolemia berat


platelet lainnya

5 Penyakit demielisasi system Koagulopati


saraf pusat

6 Stenosis aorta Dalam pengobatan dengan


antikoagulan

7 Pasien tidak kooperatif Peningkatan tekanan intra cranial

8 Pasien menolak

8. Komplikasi Anestesi Epidural


Komplikasi anestesi epidural hampir sama dengan komplikasi
anestesi spinal. Hal yang membedakannya hanya tingkat kehebatannya dan
insidennya (Fischer, 2009).
Dosis anestesi lokal dibutuhkan lebih besar untuk anestesi epidural
dibandingkan anestesi subaraknoid spinalis. Kadarnya dalam darah dapat
menjadi tinggi dan dapat menyebabkan gangguan fungsi jantung dan
pengurangan curah jantung pada penderita yang lanjut usia dengan keadaan
otot jantung yang tidak sempurna. Jarum atau kateter pada anestesi
subaraknoid dapat memasuki pembuluh darah dan suntikan sistemik
sehingga dapat menyebabkan hipotensi yang tiba-tiba. Jika dura ditembus
secara tidak sengaja, tetapi tidak diketahui, maka dosis anestesi lokal yang
disuntikkan berkali-kali pada anestesi spinalis subaraknoid dapat
menyebabkan blok spinal menyeluruh, hipotensi, ketidaksadaran, dan
apnue. Dura yang dapat ditembus oleh jarum besar untuk kateterisasi dapat
menyebabkan kebocoran LCS sehingga terjadi nyeri kepala spinalis.
Nyeri punggung kadang dilaporkan setelah dilakukan tindakan
anestesi epidural atau spinal. Hal ini dikaitkan dengan beberapa faktor
seperti yang terlihat pada tabel 2.2 (Boulton, 2013).

Tabel 2.2 Faktor penyebab nyeri punggung post anestesi


epidural/spinal

Faktor penyebab Keterangan

Nyeri bekas suntikan Terlokalisir dan bersifat sementara

Posisi Posisi yang berlebihan saat operasi atau


melahirkan

Obat-obatan 2-Chloroprocaine and EDTA

Abses atau hematoma epidural Jarang tetapi penting untuk diterapi

Rekurensi nyeri punggung


sebelumnya
Terjadinya hematoma jarang setelah anestesi epidural/spinal.
Sebagian besar kasus yang terjadi pada pasien dengan terapi koagulopati
atau antikoagulan (Boulton, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

1. Adigun, O. O. and Varacallo, M. (2019) ‘Anatomy , Back , Spinal Cord’,


[Diakses 12 Oktober 2019].
2. Barton, A. H. (2017) ‘(4) particularly’, pp. 329–330.
3. Boulton TB, Blogg CE. Anestesiologi. Edisi ke-10. Jakarta:EGC;1994.
4. Bucklin, B. A. (2018) ‘Neuraxial Anesthesia’. [Diakses pada 11 Oktober
2019]. Colorado : AS
5. Epidurals [homepage on the internet]. USA: The Association;c 2009 [cited
2011 May 9]. Epidurals.com. Available from http://epidurals.com/epidural-
frequently-asked-questions/
6. Fischer HBJ. Regional anaesthesia and analgesia. In: Fundamentals of
anaesthesia. Smith T, Pinnock C, Lin T, editors. 3rd ed. New York: Cambridge
University Press; 2009.
7. Hunter D. Nainggolan, Iwan Fuadi, I. S. R. (2014) ‘Artikel penelitian’, 2(1),
pp. 45–54.
8. Katzung BG. Farmakologi dasar & klinik. Edisi 10. Jakarta: EGC; 2011: 423-
430.
9. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. 2nd ed.
Jakarta. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2010.
10. Moos DD. Basic guide to anesthesia for developing countries. Volume 2. 2008.
[Diakses 11 Oktober 2019]. (Diakses dari http://www.ifna-
int.org/ifna/e107_files/downloads/DCAnesthesiaVolume2Final.pdf).
11. Morgan E, Mikhail MS. Clinical Aesthesiology. 4th ed. Elm St. Appleton
&lange Stamford; 2006.
12. Sakka, L., Coll, G. and Chazal, J. (2018) ‘Anatomy and physiology of
cerebrospinal fluid’, European Annals of Otorhinolaryngology, Head and Neck
diseases. Elsevier Masson SAS, 128(6), pp. 309–316.
13. Sivevski, A. G. et al. (2018) ‘Neuraxial Anesthesia in the Geriatric Patient’,
5(September), pp. 3–6.
14. Stamer, U. M. et al. (2007) ‘practice Contraindications to regional anaesthesia
in obstetrics : a survey of German practice’, [Diakses 11 Oktober 2019].
15. Yenukoti, R. (2018) .‘OF VERTEBRAL’. Tamil Nandu : India.
http://www.cmch-vellore.edu/ [Diakses pada 11 Oktober 2019].
16. Visser L. Epidural anesthesia. World Federation of Societies of
Anesthesiologists. 2001;11(4 Pt). Available from:
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u13/u1311_01.htm..

Anda mungkin juga menyukai