Anda di halaman 1dari 112

Nama Internsip : dr.

Luh Putu Widya


Saraswati Tangkas , S.Ked
Pendamping : dr. Ni Made Ariani, MM
dr. I Made Gunawan

1
LAPSUS

ASUHAN PERSALINAN NORMAL

PORTOFOLIO

1. STEMI
2. KEJANG DEMAM KOMPLEK
3. CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
4. SELULITIS

2
LAPORAN KASUS
Asma Bronkiale Serangan Berat

Disusun oleh:
dr. Luh Putu Widya Saraswati Tangkas

Pembimbing:
dr. Upeksha, Sp.P

Pendamping:
dr. Ni Made Ariani, MM
dr. I Made Gunawan

RUMAH SAKIT ARI CANTI


JL. RAYA MAS, MAS, UBUD, KABUPATEN GIANYAR, BALI
2019

3
LAPORAN KASUS
Asma Bronkiale Serangan Berat

Disusun oleh:
dr. Luh Putu Widya Saraswati Tangkas

Pembimbing:
dr. Upeksha, Sp.P

Pendamping:
dr. Ni Made Ariani, MM
dr. I Made Gunawan

RUMAH SAKIT ARI CANTI


JL. RAYA MAS, MAS, UBUD, KABUPATEN GIANYAR, BALI
2019

4
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmatNya saya dapat menyelesaikan Laporan kasus yang berjudul “Asma
Bronkiale Serangan Berat”. Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu bagian dari
kegiatan Dokter Internsip di RSU ARI CANTI. Pada kesempatan ini, tidak lupa saya
mengucapkan terima kasih kepada seluruh Dokter dan Staff yang telah membimbing
saya selama proses penulisan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini membahas mengenai pemahaman yang tentang persalinan
normal sebelum mempelajari ilmu yang lebih kompleks dalam ilmu kebidanan.
Pemahaman terkait definisi, faktor penyebab mulainya persalinan, tahapan,
mekanisme, pemantauan persalinan dengan partograf WHO dan pimpinan persalinan
penting diketahui khususnya oleh tenaga kesehatan. Dengan adanya laporan kasus ini,
diharapkan pembaca dapat menambah pengetahuan dan memberi informasi mengenai
ilmu Penyakit Paru.
Saya menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya
harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah
membantu sampai selesainya laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini berguna
bagi kita semua.

Gianyar, 16 December 2019

Penulis

5
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Riwayat Antenatal Care ........................................................................ 29

Tabel 3.2 Darah Lengkap ...................................................................................... 33

Tabel 3.3 Pembekuan Darah ................................................................................. 33

Tabel 3.4 Evaluasi 2 Jam Post Partum .................................................................. 38

6
BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit inflamasi dari saluran pernafasan yang

melibatkan inflamasi pada saluran pernafasan dan mengganggu aliran

udara, dan dialami oleh 22 juta warga Amerika. Inflamasi saluran nafas

pada asma meliputi interaksi kompleks dari sel, mediator-mediator, sitokin,

dan kemokin.1 Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif

jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi,

sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau

dini hari. Episode tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang

luas, bervariasi dan sering kali bersifat reversibel dengan atau tanpa

pengobatan.2

Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan

dan kematian. Hal tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan

rumah tangga (SKRT) di berbagai provinsi di Indonesia. SKRT 1986

menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan

(morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada

SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab

kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995,


7
prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000 dibandingkan

bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Menurut Sarwono, persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran


janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu) lahir spontan dengan
presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam tanpa komplikasi baik
pada ibu maupun janin. Menurut Syaifudin, persalinan adalah suatu proses
pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta), yang dapat hidup ke dunia dan diluar
rahim melalui jalan lahir. Sedangkan menurut Benson, persalinan merupakan proses
normal, berupa kontraksi uterus involunter yang efeketif dan terkoordinasi yang
menyebabkan penipisan dan dilatasi serviks secara progresif serta penurunan dan
kelahiran bayi dan plasenta.11

Berbagai pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa persalinan adalah


proses pengeluaran hasil konsepsi (janin, plasenta dan selaput ketuban) dari uterus
ibu. Persalinan dikatakan normal jika jalan persalinan per vaginam, usia kehamilan
cukup bulan, berat badan bayir lahir normal (>2500 gram dan <4000 gram),
presentasi belakang kepala, persalinan berlangsung tidak lebih dari 18 jam dan tidak
terjadi komplikasi pada ibu maupun janin.3 Sementara persalinan spontan merupakan
persalinan yang terjadi dengan tenaga ibu sendiri tanpa menggunakan bantuan obat,
alat atau pertolongan khusus.3

Kehamilan cukup bulan atau aterm adalah kehamilan yang berusia antara 37
sampai 42 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Persalinan prematur
adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan yang berusia 28 sampai 36 minggu,
dimana hasil konsepsi dapat hidup tetapi belum aterm atau cukup bulan dengan berat

8
janin antara 1000-2500 gram. Persalinan postmatur adalah persalinan pada kehamilan
yang melebihi usia 42 minggu atau terjadi 2 minggu atau lebih dari waktu persalinan
yang diperkirakan. Persalinan immatur terjadi bila usia kehamilan kurang dari 28
minggu dan lebih dari 20 minggu dengan berat janin antara 500-1000 gram,
sedangkan abortus adalah keluarnya hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar
kandungan dengan berat janin di bawah 500 gram atau umur kehamilan di bawah 20
minggu.3,4

2.2. Faktor Penyebab Mulainya Persalinan

Penyebab terjadinya suatu persalinan sampai kini masih merupakan teori-teori


yang kompleks. Terjadinya suatu persalinan ditandai dengan peningkatan aktivitas
miometrium dari aktivitas jangka panjang dan frekuensi rendah menjadi aktivitas
tinggi dengan frekuensi lebih tinggi. Otot polos ini mulai menunjukkan aktivitas
kontraksi secara terkoordinasi menjelang persalinan, diselingi dengan suatu periode
relaksasi dan mencapai puncaknya menjelang persalinan, serta secara berangsur
menghilang pada periode postpartum. Kondisi ini menghasilkan suatu keadaan
menipis dan membukanya serviks uterus. Pada persalinan normal terdapat juga
hubungan antara waktu dengan perubahan biokimia jaringan ikat serviks yang
menyebabkan kontraksi uterus dan pembukaan serviks. Semua peristiwa tersebut
terjadi sebelum pecahnya ketuban.6

Terdapat beberapa teori penyebab terjadinya suatu persalinan yang sering


dibicarakan, antara lain faktor-faktor hormonal, pengaruh prostaglandin, struktur
uterus, sirkulasi uterus, pengaruh saraf, dan faktor nutrisi dimana faktor-faktor ini
dapat menyebabkan persalinan dimulai. Perkembangan ilmu biokimia dan biofisika
telah banyak mengungkapkan proses dimulai dan berlangsungnya persalinan antara
lain penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Seperti diketahui progesteron
merupakan penenang bagi otot-otot uterus. Penurunan kadar kedua hormon ini terjadi
kira-kira 1-2 minggu sebelum persalinan dimulai. Selain itu kadar prostaglandin
dalam kehamilan dari minggu ke-15 hingga aterm meningkat terlebih sewaktu
persalinan.3,4
9
Selama persalinan, uterus berubah bentuk menjadi dua bagian yang berbeda.
Segmen atas berkontraksi secara aktif menjadi lebih tebal ketika persalinan
berlangsung, sementara bagian bawah relatif pasif dibandingkan dengan segmen atas.
Bagian bawah uterus ini akan menjadi lebih tipis selama kala persalinan sehingga
menjadi jalan lahir. Segmen atas yang berkontraksi akan mengalami retraksi sehingga
mendorong janin keluar sebagai respon terhadap gaya dorong kontraksi pada segmen
atas. Sedangkan segmen bawah uterus dan serviks akan semakin lunak, berdilatasi
sehingga membentuk suatu saluran muskular dan fibromuskular yang menipis untuk
janin dapat menonjol keluar.7

Terdapat tiga faktor penting yang berperan selama persalinan yakni kekuatan
kontraksi ibu (his) dan kekuatan mengedan, kondisi jalan lahir, dan janin itu sendiri.
His adalah kekuatan kontraksi uterus karena otot-otot polos rahim bekerja dengan
baik. Sifat his yang baik adalah kontraksi uterus yang simetris, fundus dominan,
terkoordinasi, dan terdapat relaksasi. Walaupun his merupakan kontraksi yang
bersifat fisiologis, sifat ini bertentangan dengan kontraksi fisologis lainnya karena
bersifat nyeri.4

Suatu his dimulai sebagai gelombang dari salah satu sudut di mana tuba masuk
ke dalam dinding uterus. Di tempat tersebut terdapat suatu pacemaker darimana
gelombang tersebut berasal. Kontraksi ini bersifat involunter karena berada di bawah
pengaruh saraf intrinsik. Ini berarti bahwa seorang wanita tidak memiliki kendali
fisiologis terhadap frekuensi dan durasi kontraksi. Kontraksi uterus juga bersifat
intermiten sehingga ada periode relaksasi uterus di antara kontraksi. Fungsi penting
relaksasi, yaitu: mengistirahatkan otot uterus, memberi kesempatan istirahat bagi ibu,
mempertahankan kesejahteraan bayi karena uterus menyebabkan konstriksi pembuluh
darah plasenta. Kontraksi yang sempurna adalah kontraksi yang simetris dengan
dominasi di fundus uteri, mempunyai amplitudo 40-60 mmHg, berlangsung selama
60-90 detik dengan jangka waktu kontraksi 2-4 menit dan pada relaksasi tonus uterus
kurang dari 12 mmHg. Walaupun diagnosis banding antara persalinan palsu dan

10
persalinan sejati kadang sulit di tentukan, diagnosis biasanya dibuat berdasarkan
kontraksi yang terjadi.3,4

Sifat kontraksi akan berubah setelah pembukaan lengkap dan selaput ketuban
telah pecah atau dipecahkan, serta sebagian presentasi sudah berada di dasar panggul,
yakni kontraksi akan bersifat mendorong keluar dibantu dengan keinginan ibu untuk
mengedan. Keinginan mengedan ini disebabkan karena kontraksi otot-otot dinding
perut yang mengakibatkan peninggian tekanan intra abdominal dan tekanan ini
menekan uterus pada semua sisi dan menambah kekuatan untuk mendorong keluar.
Tenaga ini serupa dengan tenaga mengedan sewaktu buang air besar, tetapi jauh lebih
kuat. Saat kepala bayi sampai ke dasar panggul, timbul refleks yang mengakibatkan
ibu menutup glotisnya, mengkontraksikan otot-otot perut dan menekan diafragma ke
bawah. Tenaga mengedan ini hanya dapat berhasil bila pembukaan sudah lengkap
dan paling efektif sewaktu ada his. Tanpa tenaga menegedan bayi tidak akan lahir.4,6

2.3. Tahapan Persalinan Normal

Suatu proses persalinan terdiri dari 4 kala yaitu kala I, kala II, kala III, dan kala
IV. Kala I merupakan kala yang terdiri dari 2 fase yakni fase laten dan fase aktif,
dimana waktu untuk pembukaan serviks pada kala ini yakni sampai menjadi
pembukaan lengkap 10 cm. Kala II meliputi proses pengeluaran janin dengan
kekuatan his dan juga kekuatan mengedan mendorong janin hingga lahir. Kala III
adalah waktu untuk pelepasan dan pengeluaran plasenta disertai dengan pengeluaran
darah kira-kira 100-200 cc, serta yang terakhir adalah kala IV yakni kala pengawasan
selama 2 jam setelah bayi dan plasenta lahir untuk mengamati keadaan ibu terutama
terhadap perdarahan postpartum.7

2.3.1. Kala I

Kala I persalinan adalah permulaan kontraksi persalinan sejati (inpartu), yang


ditandai oleh:

a. Perubahan serviks yang progresif seperti penipisan dan pembukaan serviks.


11
b. Kontraksi uterus yang mengakibatkan perubahan serviks (frekuensi minimal 2
kali dalam 10 menit)
c. Cairan lendir yang bercampur darah (bloody show) keluar melalui vagina.

Lendir yang keluar berasal dari lendir kanalis servikalis yang mulai membuka
atau mendatar. Sedangkan darah berasal dari pembuluh-pembuluh kapiler yang
berada disekitar kanalis servikalis yang pecah karena pergeseran-pergeseran ketika
serviks membuka. Proses membukanya serviks sebagai akibat his dibagi dalam 2
fase:

1) Fase laten. Berlangsung hampir atau hingga 8 jam. Pembukaan terjadi sangat
lambat sampai mencapai ukuran diameter 3 cm. Selama fase ini, orientasi dari
kontraksi uterus adalah perlunakan serviks serta penipisan (effacement).
Kriteria minimal Friedman untuk memasuki fase aktif adalah pembukaan
dengan laju 1,2 cm/jam untuk nullipara, serta 1,5 cm/jam untuk multipara.4
2) Fase aktif. Fase ini ditandai dengan frekuensi dan lama kontraksi uterus yang
meningkat secara bertahap (kontraksi dianggap adekuat atau memadai jika
terjadi 3 kali atau lebih dalam waktu 10 menit dan berlangsung selama 40
detik atau lebih). Dibagi menjadi 3, yakni:
a. Fase akselerasi. Dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm menjadi 4 cm.
b. Fase dilatasi maksimal. Dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung
sangat cepat, dari 4 cm menjadi 9 cm.
c. Fase deselerasi. Pembukaan menjadi lambat kembali. Dalam waktu 2 jam
pembukaan dari 9 cm menjadi lengkap.

Mekanisme membukanya serviks berbeda antara primigravida dengan


multigravida. Pada primigravida, ostium uteri internum akan membuka terlebih
dahulu sehingga serviks akan mendatar dan menipis, kemudian ostium uteri
eksternum membuka. Pada multigravida ostium uteri internum sudah sedikit terbuka,
sehingga pembukaan ostium uteri internum dan eksternum serta penipisan dan
pendataran serviks terjadi dalam waktu bersamaan. Ketuban akan pecah sendiri ketika
pembukaan hampir atau telah lengkap. Tidak jarang ketuban harus di pecahkan ketika
12
pembukaan hampir lengkap atau telah lengkap. Kala I selesai apabila pembukaan
serviks uteri sudah lengkap.3

2.3.2. Kala II

Kala II dimulai dari pembukaan lengkap hingga janin lahir. Gejala dan tanda kala
II persalinan yaitu:

a. Ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi


b. Ibu merasa adanya peningkatan tekanan pada rektum dan/atau vagina
c. Perineum menonjol
d. Vulva vagina dan sfingter ani membuka
e. Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah

Tanda pasti kala II ditentukan dengan pemeriksaan dalam yaitu pembukaan


serviks telah lengkap dan terlihat bagian kepala bayi melalui introitus vagina. Pada
kala II his menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kira-kira satu kali setiap 2 sampai 3
menit. Karena biasanya kepala janin sudah masuk di ruang panggul, secara reflektoris
timbul rasa ingin mengedan. Tekanan pada rektum juga menimbulkan perasaan
hendak buang air besar sehingga perineum mulai menonjol dan menjadi lebar dengan
anus membuka. Labia mulai membuka dan tidak lama kemudian kepala janin tampak
dalam vulva pada waktu his. Bila dasar panggul sudah lebih berelaksasi, kepala janin
tidak akan masuk lagi di luar his. Kemudian dengan his dan kekuatan mengedan
maksimal, kepala janin dilahirkan dengan suboksiput di bawah simfisis dan secara
berurutan lahir dahi, muka, dan dagu melewati perineum. Setelah istirahat sebentar,
his mulai lagi untuk mengeluarkan badan dan ekstremitas bayi. Pada primigravida
kala II berlangsung rata-rata 1,5 jam dan pada multipara rata-rata 30 menit. Batasan
kala 2 lama pada nulipara adalah 2 jam atau 3 jam dengan analgesia regional, dan
multipara adalah 1 jam atau 2 jam dengan analgesia regional.3,4,6

2.3.3. Kala III

Kala III dimulai setelah bayi lahir dan berakhir dengan lahirnya plasenta. Tanda-
tanda lepasnya plasenta adalah:
13
a. Perubahan bentuk dan tinggi fundus uterus
b. Tali pusat memanjang, yaitu tali pusat terlihat menjulur keluar melalui vulva
(tanda Ahfeld)
c. Semburan darah mendadak dan singkat. Hal ini terjadi karena dorongan darah
yang terkumpul di belakang plasenta mendorong plasenta keluar
(retroplacental pooling).

Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dengan fundus uteri agak di atas pusat.
Beberapa menit kemudian uterus berkontraksi lagi mengikuti penyusutan volume
rongga uterus setelah bayi lahir. Penyusutan ini menyebabkan berkurangnya ukuran
tempat perlekatan plasenta sehingga plasenta akan terlipat, menebal dan kemudian
lepas dari dinding uterus. Biasanya plasenta lepas dalam 6 sampai 15 menit setelah
bayi lahir dan keluar spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri. 3,4

2.3.4. Kala IV

Kala IV dimulai dari lahirnya plasenta hingga 2 jam pasca persalinan. Pada kala
ini ibu pasca melahirkan dipantau selama 1-2 jam untuk melihat apakah terjadi
perdarahan postpartum atau tidak. Pada saat ini juga dilakukan pemantauan tanda
vital untuk mengetahui keadaan umum ibu.3,4

2.4. Mekanisme Persalinan Normal

Posisi normal janin dalam suatu kehamilan ialah posisi dengan presentasi kepala.
Dimana hampir 96% janin berada dalam uterus dengan presentasi kepala dan pada
presentasi kepala ini ditemukan ± 58% ubun-ubun kecil terletak di kiri depan, ± 23%
di kanan depan, ± 11% di kanan belakang, dan ± 8% di kiri belakang. Keadaan ini
mungkin disebabkan terisinya ruangan di sebelah kiri belakang oleh kolon sigmoid
dan rektum. Posisi janin sebagian besar dengan presentasi kepala bisa jadi disebabkan
karena kepala relatif lebih besar dan lebih berat. Mungkin pula karena bentuk uterus
sedemikian rupa sehingga volume bokong dan ekstremitas yang lebih besar berada di
atas, yaitu di ruangan yang lebih luas sedangkan kepala berada di bawah, di ruangan
yang lebih sempit. Hal ini dikenal sebagai teori akomodasi.3,4

14
Suatu persalinan diawali dengan adanya peristiwa engagement, dimana diameter
biparietal yang merupakan diameter melintang dalam presentasi occiput melewati
rongga pelvis. Kepala janin akan masuk pada beberapa minggu terakhir kehamilan.
Masuknya kepala melintasi pintu atas panggul dapat dalam keadaan sinklitismus,
yaitu bila sumbu kepala janin tegak lurus dengan bidang pintu atas panggul. Dapat
pula kepala masuk dalam keadaan asinklitismus, yaitu arah sumbu kepala janin
miring dengan bidang pintu atas panggul. Asinklitismus anterior menurut Naegele
ialah apabila arah sumbu kepala membuat sudut lancip ke depan dengan pintu atas
panggul. Dapat pula asinklitismus posterior menurut Litzman yaitu keadaan
sebaliknya dari asinklitismus anterior. Keadaan asinklitismus anterior lebih
menguntungkan daripada asinklitismus posterior karena ruangan pelvis di daerah
posterior lebih luas dibandingkan dengan ruangan pelvis di daerah anterior. Hal
asinklitismus penting apabila daya akomodasi panggul agak terbatas.3,4

Setelah proses engagement, kemudian janin akan menurun oleh karena adanya
dorongan dari kontraksi fundus uterus. Akibat sumbu kepala janin yang eksentrik
atau tidak simetris, dengan sumbu lebih mendekati suboksiput, dan tahanan oleh
jaringan dibawah terhadap kepala yang akan menurun, maka kepala akan
mengadakan fleksi di dalam rongga panggul menurut hukum Koppel. Dengan fleksi
kepala janin memasuki ruang panggul dengan ukuran yang paling kecil, yakni dengan
diameter suboksipitobregmatikus (9,5cm) dan dengan sirkumferensia
suboksipitobregmatika (32 cm). Sampai di dasar panggul kepala janin berada dalam
keadaan fleksi maksimal. Kepala yang sedang turun menemui diafragma pelvis yang
berjalan dari belakang atas ke bawah depan. Akibat kombinasi elastisitas diafragma
pelvis dan tekanan intrauterin disebabkan oleh his yang berulang-ulang, kepala
mengadakan rotasi yang disebut juga putaran paksi dalam. Pada saat melakukan
rotasi, ubun-ubun kecil berada di bawah simfisis. Sesudah kepala janin sampai di
dasar panggul dan ubun-ubun kecil di bawah simfisis, maka dengan suboksiput
sebagai hipomoklion, kepala mengadakan gerakan defleksi untuk dapat dilahirkan.
Pada tiap his, vulva lebih membuka dan kepala janin makin tampak. Perineum

15
menjadi lebih melebar, berturut-turut tampak bregma, dahi, muka, dan akhirnya dagu.
Sesudah kepala lahir, Kepala segera mengadakan rotasi yang disebut putaran paksi
luar. Putaran paksi luar ini ialah gerakan kembali sebelum putaran paksi dalam terjadi,
untuk menyesuaikan kedudukan kepala dengan punggung anak.3,4,6

Bahu melintasi pintu atas panggul dalam keadaan miring. Di dalam rongga
panggul, bahu akan menyesuaikan diri dengan bentuk panggul yang dilaluinya,
sehingga di dasar panggul, apabila kepala telah dilahirkan, bahu akan berada dalam
posisi depan belakang. Selanjutnya dilahirkan bahu depan terlebih dahulu, kemudian
bahu belakang. Demikian pula dilahirkan trokanter depan terlebih dahulu, kemudian
trokanter belakang. Kemudian bayi lahir seluruhnya.3,4

Setelah bayi lahir, jalan nafas bayi harus segera dibersihkan, kemudian tali pusat
dijepit diantara 2 cunam pada jarak 5 cm dan 10 cm. Kemudian di gunting diantara
kedua cunam tersebut, lalu diikat. Jepit tali pusat diberi antiseptik. Umumnya bila
telah lahir lengkap, bayi akan segera menarik napas dan menangis. Resusitasi dengan
jalan membersihkan dan mengisap lendir pada jalan napas harus segera dikerjakan.3,4

Setelah bayi lahir, uterus akan mengecil dan persalinan berada pada kala III.
Seperti telah dikemukakan, segera setelah bayi lahir, his mempunyai amplitudo yang
kira-kira sama tingginya, hanya frekuensinya yang berkurang. Akibat his ini uterus
akan mengecil, sehingga perlekatan plasenta dengan dinding uterus akan terlepas.
Lepasnya plasenta dari dinding uterus ini dapat dimulai dari tengah (sentral) menurut
Schultze, pinggir (marginal) menurut Mathews-Duncan, atau kombinasi keduanya.
Yang terbanyak adalah pelepasan menurut Schultze. Umumnya pada kala III
berlangsung selama 6 sampai 15 menit. Tinggi fundus uteri setelah kala III kira-kira 2
jari di bawah pusat.3,4

2.5. Pemantauan Persalinan Dengan Partograf WHO

Partograf WHO adalah alat bantu untuk memantau kemajuan kala satu persalinan
dan sebagai informasi untuk membuat keputusan klinik. Tujuan utama dari
penggunaan partograf adalah untuk :9

16
a. Mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan dengan menilai pembukaan
serviks melalui periksa dalam.
b. Mendeteksi apakah proses persalinan berjalan secara normal. Dengan
demikian juga dapat mendeteksi secara dini kemungkinan terjadinya
persalinan lama.
c. Data pelengkap yang terkait dengan pemantauan kondisi ibu, kondisi bayi,
grafik kemajuan proses persalinan, bahan dan medikamentosa yang diberikan,
pemeriksaan laboratorium, membuat keputusan klinik dan asuhan atau
tindakan yang diberikan dimana semua itu dicatatkan secara rinci pada status
atau rekam medik ibu bersalin dan bayi baru lahir.

Jika digunakan dengan tepat dan konsisten, partograf akan membantu penolong
persalinan untuk mencatat kemajuan persalinan, kondisi ibu dan janinnya, asuhan
yang diberikan selama persalinan dan kelahiran, menggunakan informasi yang
tercatat untuk identifikasi dini penyulit persalinan dan membuat keputusan klinik
yang sesuai dan tepat waktu.9

Partograf WHO harus digunakan kepada semua ibu bersalin dalam fase aktif kala
I dan merupakan elemen penting dari asuhan persalinan. Partograf harus digunakan
untuk semua persalinan baik normal maupun patologis. Partograf sangat membantu
penolong persalinan dalam memantau, mengevaluasi dan membuat keputusan klinik
baik persalinan dengan penyulit maupun yang tidak disertai dengan penyulit.
Penggunaan partograf secara rutin dapat memastikan bahwa ibu dan bayi
mendapatkan asuhan yang aman, adekuat dan tepat waktu serta membantu mencegah
terjadinya penyulit yang mengancam keselamatan ibu maupun bayi.8

17
2.5.1. Pencatatan Temuan Pada Partograf

a. Informasi Tentang Ibu

Bagian awal (atas) partograf harus dilengkapi secara teliti pada saat memulai
asuhan persalinan. Waktu kedatangan (tertulis sebagai: ‘jam atau pukul’ pada
partograf) dan perhatikan kemungkinan ibu datang dalam fase laten. Catat
waktu pecahnya selaput ketuban.9

b. Kondisi Janin

Bagan atas grafik pada partograf adalah untuk pencatatan denyut jantung janin
(DJJ), air ketuban dan penyusupan kepala janin.9

• Denyut Jantung Janin

- Nilai dan catat denyut jantung janin (DJJ) setiap 30 menit (lebih sering
jika ada tanda-tanda gawat janin).

- Setiap kotak di bagian atas partograf menunjukkan waktu 30 menit.

- Skala angka di sebelah kolom paling kiri menunjukkan DJJ

- Catat DJJ dengan memberi tanda titik pada garis yang sesuai dengan
angka yang menunjukkan DJJ.

- Hubungkan yang satu dengan titik lainnya dengan garis tegas dan
bersambung

- Penolong harus waspada bila DJJ mengarah hingga dibawah 120 atau
diatas 160.

• Warna dan adanya air ketuban

- Nilai air kondisi ketuban setiap kali melakukan periksa dalam dan nilai
warna air ketuban jika selaput ketuban pecah.

- Catat temuan-temuan dalam kotak yang sesuai di bawah lajur DJJ.

- Gunakan lambang-lambang berikut ini:

18
U : selaput ketuban masih utuh (belum pecah)

J : selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban jernih

M : selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur


mekonium

D : selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur darah

K : selaput ketuban sudah pecah tapi air ketuban tidak mengalir


lagi (kering)

• Penyusupan (molase) tulang kepala janin

- Penyusupan adalah indikator penting tentang seberapa jauh kepala bayi


dapat menyesuaikan diri terhadap bagian keras panggul ibu

- Semakin besar derajat penyusupan atau tumpang-tindih antar tulamg


kepala semakin menunjukkan risiko disproporsi kepala-panggul (CPD)

- Gunakan lambang-lambang berikut ini :

0: Tulang-tulang kepala janin terpisah, sutura dengan mudah dapat


di palpasi

1: Tulang-tulang kepala janin hanya saling bersentuhan

2: Tulang-tulang kepala janin saling tumpang-tindih tetapi masih


dapat dipisahkan

3: Tulang-tulang kepala janin saling tumpang-tindih dan tidak dapat


di pisahkan

c. Kemajuan Persalinan

• Pembukaan Serviks

Nilai dan catat pembukaan serviks setiap 4 jam (lebih sering dilakukan jika
ada tanda-tanda penyulit). Saat ibu berada dalam fase aktif persalinan, catat
pada partograf setiap temuan dari setiap pemeriksaan. Tanda ‘X’ harus
dicantumkan di garis waktu yang sesuai dengan lajur besarnya pembukaan
19
serviks. Hubungkan tanda ‘X’ dari setiap pemeriksaan dengan garis utuh
(tidak terputus).9

• Penurunan Bagian Terbawah Janin

Setiap kali melakukan periksa dalam (setiap 4 jam), atau lebih sering (jika
ditemukan tanda-tanda penyulit). Cantumkan hasil pemeriksaan penurunan
kepala (perlimaan) yang menunjukkan seberapa jauh bagian terbawah janin
telah memasuki rongga panggul. Pada persalinan normal, kemajuan
pembukaan serviks selalu diikuti dengan turunnya bagian terbawah janin.
Tapi ada kalanya, penurunan bagian terbawah janin baru terjadi setelah
pembukaan serviks mencapai 7 cm. Tulisan “Turunnya kepala” dan garis
tidak terputus dari 0-5, tertera di sisi yang sama dengan angka pembukaan
serviks. Berikan tanda ‘O’ yang ditulis pada garis waktu yang sesuai.
Sebagai contoh, jika hasil pemeriksaan palpasi kepala di atas simfisi pubis
adalah 4/5 maka tuliskan tanda “O” di garis angka 4. Hubungkan tanda ‘O’
dari setiap pemeriksaan dengan garis tidak terputus.9

• Garis Waspada dan Garis Bertindak

Garis waspada dimulai pada pembukaan serviks 4 cm dan berakhir pada


titik dimana pembukaan lengkap diharapkan terjadi jika laju pembukaan
adalah 1 cm per jam. Pencatatan selama fase aktif persalinan harus dimulai
di garis waspada. Jika pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan garis
waspada (pembukaan kurang dari 1 cm per jam), maka harus
dipertimbangkan adanya penyulit (misalnya : fase aktif yang memanjang,
serviks kaku, atau inersia uteri hipotonik, dan lain-lain). Garis bertindak
tertera sejajar dan di sebelah kanan (berjarak 4 jam) garis waspada. Jika
pembukaan serviks telah melampaui dan berada di sebelah kanan garis
bertindak maka hal ini menunjukkan perlu dilakukan tindakan untuk
menyelesaikan persalinan.9

20
d. Kontraksi Uterus

 Periksa frekuensi dan lama kontraksi uterus setiap jam selama fase laten
dan setiap 30 menit selama fase aktif.
 Nilai frekuensi dan lama kontraksi yang terjadi dalam 10 menit observasi.
 Catat lamanya kontraksi menggunakan lambang yang sesuai:

<20 detik 20–40 detik >40 detik

 Catat temuan-temuan di kotak yang sesuai dengan waktu penilaian.

e. Obat-obatan dan cairan yang diberikan

Dibawah lajur kotak observasi kontraksi uterus tertera lajur kotak untuk
mencatat oksitosin, obat-obat lainnya dan cairan IV.9

 Oksitosin
Jika tetesan (drip) oksitosin sudah dimulai, dokumentasikan setiap 30
menit jumlah unit oksitosin yang diberikan per volume cairan IV dan
dalam satuan tetesan per menit.
 Obat-obatan lain dan cairan IV
Catat semua pemberian obat-obatan tambahan dan/atau cairan IV dalam
kotak yang sesuai dengan kolom waktunya.

f. Kondisi Ibu

Bagian terbawah lajur dan kolom pada halaman depan partograf, terdapat
kotak atau ruang untuk mencatat kondisi kesehatan dan kenyamanan ibu
selama persalinan.9

 Nadi, tekanan darah dan suhu tubuh


Angka di sebelah kiri bagian partograf ini berkaitan dengan nadi dan
tekanan darah ibu.

21
- Nilai dan catat nadi ibu setiap 30 menit selama fase aktif persalinan
(lebih sering jika diduga adanya penyulit). Beri tanda titik (•) pada
kolom waktu yang sesuai.

- Nilai dan catat tekanan darah ibu setiap 4 jam selama fase aktif
persalinan (lebih sering jika diduga adanya penyulit). Beri tanda panah
pada partograf pada kolom waktu yang sesuai:

- Nilai dan catat temperatur tubuh ibu (lebih sering jika terjadi
peningkatan mendadak atau diduga adanya infeksi) setiap 2 jam dan
catat temperatur tubuh pada kotak yang sesuai.

 Volume urin, protein dan aseton

Ukur dan catat jumlah produksi urin ibu sedikitnya setiap 2 jam (setiap kali
ibu berkemih). Jika memungkinkan, setiap kali ibu berkemih, lakukan
pemeriksaan aseton dan protein dalam urin.

2.5.2. Pencatatan Pada Lembar Belakang Partograf. 9

Catatan persalinan adalah terdiri dari unsur-unsur berikut:

a. Data atau informasi umum - data dasar terdiri dari tanggal, nama bidan,
tempat persalinan, alamat tempat persalinan, catatan dan alasan merujuk,
tempat rujukan dan pendamping pada saat merujuk.

b. Kala I - terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tentang partograf saat melewati


garis waspada, masalah-masalah lain yang timbul, penatalaksanaannya, dan
hasil penatalaksanaan tersebut.

c. Kala II - terdiri dari episiotomi, pendamping persalinan, gawat janin, distosia


bahu, masalah lain, penatalaksanaan masalah dan hasilnya.

d. Kala III - terdiri dari lamanya kala III, pemberian oksitosin, penegangan tali
pusat terkendali, rangsangan pada fundus, kelengkapan plasenta saat
dilahirkan, retensio plasenta yang > 30 menit, laserasi, atonia uteri, jumlah
pendarahan, masalah lain, penatalaksanaan dan hasilnya.
22
e. Bayi baru lahir - informasi yang perlu diperoleh dari bagian bayi baru lahir
adalah berat dan panjang badan, jenis kelamin, penilaian bayi baru lahir,
pemberian ASI, masalah lain dan hasilnya.

f. Kala IV – terdiri dari data tentang tekanan darah, nadi, temperatur, tinggi
fundus, kontraksi uterus, kandung kemih dan pendarahan. Pemantauan pada
kala IV ini sangat penting, terutama untuk menilai deteksi dini risiko atau
kesiapan penolong mengantisipasi komplikasi pendarahan pasca persalinan.
Pemantauan kala IV dilakukan setiap 15 menit dalam 1 jam pertama setelah
melahirkan dan setiap 30 menit pasa 1 jam berikutnya.

2.6. Pimpinan Persalinan

Pimpinan persalinan yang normal terbagi dalam 4 kala sesuai dengan mekanisme
persalinan normal:3,4,8

2.6.1. Kala I

Pekerjaan dokter, bidan, atau penolong persalinan pada persalinan kala I adalah
mengawasi ibu inpartu sebaik-baiknya dan melihat apakah semua persiapan untuk
persalinan sudah dilakukan. Pemberian obat atau tindakan hanya apabila ada indikasi
untuk ibu maupun anak. Pada seorang primigravida aterm umumnya kepala janin
sudah masuk pintu atas panggul pada kehamilan 36 minggu, sedangkan pada
multigravida baru pada kehamilan 38 minggu. Pada kala I, apabila kepala janin telah
masuk sebagian ke dalam pintu atas panggul serta ketuban belum pecah, Ibu dapat
dipersilahkan duduk atau berjalan-jalan di sekitar kamar bersalin. Akan tetapi, pada
umumnya ibu lebih suka berbaring karena sakit yang dirasakan ketika muncul his.
Berbaring sebaiknya ke sisi kiri untuk mempermudah sirkulasi uteroplasenta.Tidak
boleh berbaring terlentang lebih dari 10 menit, karena saat berbaring terlentang berat
uterus dan isinya akan menekan vena cava inferior, sehingga hal ini dapat
menyebabkan turunya aliran darah ari sirkulasi ibu ke plasenta yang dapat
menyebabkan hipoksia janin. Apabila his sudah sering dan ketuban sudah pecah, Ibu
harus berbaring.

23
Pemeriksaan luar untuk menentukan letak janin dan turunnya kepala hendaknya
dilakukan untuk memeriksa kemajuan persalinan, disamping dapat dilakukan pula
pemeriksaan rektal atau pervaginam. Hasil pemeriksaan pervaginam juga disebut
pemeriksaan dalam harus menyokong dan lebih merinci apa yang dihasilkan oleh
pemeriksaan luar. Harus disadari bahwa tiap pemeriksaan dalam pada waktu
persalinan selalu menimbulkan bahaya infeksi dan rasa nyeri pada Pasien. Akan
tetapi hal-hal tersebut jangan sampai menghalangi untuk menjalankan pemeriksaan
dalam yang diperlukan untuk menilai vagina (terutama dindingnya, menyempit atau
tidak), keadaan dan pembukaan serviks, kapasitas panggul, ada tidaknya penghalang
jalan lahir, sifat fluor albus, dan adanya penyakit (bartholinitis, urethritis, sistitis, dan
sebagainya), ketuban, presentasi kepala janin, turunnya kepala dalam ruang panggul,
penilaian besar kepala terhadap panggul, dan menilai kelangsungan persalinan.

Pemeriksaan per rektum baik untuk menilai turunnya kepala, tetapi kurang baik
untuk menilai ketuban, keadaan serviks, serta posisi dan presentasi kepala.
Pemeriksaan per rektum dapat mengurangi infeksi eksogen (dari luar), tetapi dapat
menimbulkan infeksi endogen (dari dalam) bila pemeriksaan kurang memperhatikan
asepsis dan antisepsis dan menggosok-gosok dengan jari dinding vagina bagian
belakang yang pada umumnya mengandung kuman-kuman ke dalam pembukaan
serviks. Pada pemeriksaan per vaginam kemungkinan infeksi eksogen dapat
diperkecil bila pemeriksa memperhatikan asepsis dan antisepsis dengan memakai
sarung tangan steril. Mengingat adanya kemungkinan menimbulkan infeksi, maka
pemeriksaan dalam hendaknya hanya dilakukan bila ada indikasi ibu maupun janin
atau bila akan diadakan tindakan di samping perlu untuk mengetahui kemajuan
persalinan.

Anjurkan ibu untuk mendapat asupan (makanan ringan dan minuman) selama
kala persalinan ini. Makanan ringan dan asupan cairan yang cukup selama persalinan
akan memberi lebih banyak energi dan mencegah dehidrasi. Dehidrasi bisa
memperlambat kontraksi dan/atau membuat kontraksi menjadi tidak teratur dan
kurang efektif.
24
Pada kala I wanita dalam keadaan inpartu dilarang mengedan. Ibu dianjurkan
untuk mengosongkan kandung kemih secara rutin, sedikitinya setiap 2 jam atau lebih
sering jika ibu ingin berkemih. Kandung kemih yang penuh dapat berpotensi
memperlambat turunnya janin dan menganggu kemajuan persalinan, ibu tidak
nyaman, meningkatkan risiko perdarahan postpartum karena atonia uteri, menganggu
penatalaksanaan distosia bahu dan meningkatkan risiko infeksi saluran kemih pasca
persalinan. Kateter dapat digunakan untuk membantu ibu berkemih pada fase aktif
sehingga ibu tidak perlu ke toilet.

2.6.2. Kala II

Kala II dimulai ketika pembukaan serviks telah lengkap. Umumnya pada akhir
kala I atau permulaan kala II dengan kepala janin sudah masuk dalam ruang panggul,
ketuban akan pecah sendiri. Bila ketuban belum pecah, ketuban harus dipecahkan.
Kadang-kadang pada permulaan kala II ini, Ibu mau muntah disertai timbulnya rasa
mengedan yang kuat. Di samping his, Ibu harus dipimpin untuk mengedan pada
waktu ada his. Jangan menganjurkan ibu untuk meneran berkepanjangan dan
menahan napas, karena hal tersebut dapat menyebabkan ibu sulit bernapas sehingga
terjadi kelelahan yang tidak perlu dan meningkatkan risiko asfiksia pada bayi sebagai
akibat turunnya pasokan oksigen melalui plasenta. Selain itu, denyut jantung janin
juga harus sering diawasi. Ada dua cara mengedan yang baik, yaitu:10

a. Ibu dalam letak terbaring merangkul kedua pahanya sampai batas siku. Kepala
sedikit diangkat, sehingga dagunya mendekati dadanya dan ia dapat melihat
perutnya.
b. Sikap seperti diatas, tetapi badan dalam posisi miring ke kiri atau ke kanan,
tergantung pada letak punggung anak. Hanya satu kaki dirangkul, yakni kaki
berada di atas. Posisi ini baik dilakukan bila putaran paksi dalam belum
sempurna. Dokter atau penolong persalinan berdiri pada sisi kanan ibu.

Bila kepala janin telah sampai di dasar panggul, vulva mulai membuka. Rambut
dan kepala janin mulai tampak. Perineum dan anus tampak mulai meregang.

25
Perineum mulai lebih tinggi, sedangkan anus mulai membuka. Anus pada awalnya
berbentuk bulat, kemudian berbentuk seperti huruf D. Yang tampak dalam anus
adalah dinding depan rektum. Perineum harus ditahan dan bila tidak, dapat
menyebabkan ruptur perineum, terutama pada primigravida. Perineum ditahan
dengan tangan kanan dan sebaiknya dilapisi dengan kain steril.

Episiotomi dianjurkan untuk dilakukan pada primigravida atau pada wanita


dengan perineum yang kaku. Episiotomi ini dilakukan bila perineum telah menipis
dan kepala janin tidak masuk kembali ke dalam vagina. Ketika kepala janin akan
mengadakan defleksi dengan suboksiput di bawah simfisis sebagai hipomoklion,
sebaiknya tangan kiri menahan bagian belakang kepala dengan maksud agar gerakan
defleksi tidak terlalu cepat. Dengan demikian, ruptura perineum dapat dihindarkan.
Untuk mengawasi perineum ini, posisi miring lebih menguntungkan dibandingkan
dengan posisi biasa. Akan tetapi, bila perineum jelas telah tipis dan menunjukkan
akan timbul ruptura perineum, maka sebaiknya dilakukan episiotomi. Ada beberapa
teknik untuk melakukan episiotomi, antara lain episiotomi medial, dikerjakan pada
garis tengah, episiotomi mediolateral, dikerjakan pada garis tengah yang dekat
muskulus sfingter ani yang diperluas ke sisi, episiotomi lateral dimana sering
menimbulkan perdarahan.

Keuntungan episiotomi mediana ialah tidak menimbulkan perdarahan banyak dan


penjahitan kembali lebih mudah, sehingga sembuh dan hampir tidak berbekas.
Bahaya yang dapat terjadi ialah dapat menimbulkan ruptura perineum totalis. Dalam
hal ini muskulus sfingter ani eksternus dan rektum ikut robek pula. Perawatan ruptur
perineum totalis harus dikerjakan serapi-rapinya, agar jangan sampai gagal dan
timbul inkontinensia alvi. Untuk menghindarkan robekan perineum kadang-kadang
dilakukan perasat menurut Rintgen, yaitu bila perineum meregang dan menipis, tahan
kiri menahan dan menekan bagian belakang kepala janin ke arah anus. Tangan kanan
pada perineum. Dengan ujung jari-jari tangan kanan tersebut melalui kulit perineum
dicoba menggait dagu janin dan ditekan ke arah simfisis dengan hati-hati. Dengan
demikian, kepala janin dilahirkan perlahan-lahan keluar. Setelah kepala lahir
26
diselidiki apakah tali pusat mengadakan lilitan pada leher janin. Bila terdapat lilitan
dilonggarkan, bila sukar dapat dilepaskan dengan cara menjepit tali pusat dengan 2
cunam Kocher, kemudian diantaranya dipotong dengan gunting yang tumpul
ujungnya. Setelah kepala lahir, kepala akan mengadakan putar paksi luar ke arah
letak punggung janin. Usaha selanjutnya ialah melahirkan bahu janin. Mula-mula
dilahirkan bahu depan, dengan kedua telapak tangan pada samping kiri dan kanan
kepala janin. Kepala janin ditarik perlahan-lahan ke arah anus sehingga bahu depan
lahir. Tidak dibenarkan penarikan yang terlalu keras dan kasar oleh karena dapat
menimbulkan robekan pada muskulus sternokleidomastoideus. Kemudian, kepala
janin diangkat kearah simfisis untuk melahirkan bahu belakang.

Setelah kedua bahu janin dapat dilahirkan, maka usaha selanjutnya ialah
melahirkan badan janin, trokanter anterior disusul oleh trokanter posterior. Usaha ini
tidak sesukar usaha melahirkan kepala dan bahu janin oleh karena ukuran-ukurannya
lebih kecil. Dengan kedua tangan dibawah ketiak janin dan sebagian di punggung atas,
berturut-turut dilahirkan badan, trokanter anterior, dan trokanter posterior.

Setelah janin lahir, bayi sehat dan normal umumnya segera menarik napas dan
menangis keras. Kemudian bayi diletakkan dengan kepala ke bawah kira-kira
membentuk sudut 30 derajat dengan bidang datar. Lendir pada jalan napas segera
dibersihkan atau diisap dengan pengisap lendir. Tali pusat digunting 5 sampai 10 cm
dari umbilikus. Dengan cara, tali pusat dijepit 2 cunam Kocher pada jarak 5 dan 10
cm dari umbilikus. Bila ada kemungkinan akan diadakan transfusi pertukaran pada
bayi maka pemotongan tali pusat diperpanjang sampai antara 10-15 cm. Di antara
kedua cunam tersebut tali pusat digunting dengan yang berujung tumpul. Ujung tali
pusat bagian bayi didesinfeksi dan diikat dengan kuat. Hal ini harus diperhatikan
karena ikatan kurang kuat dapat terlepas dan perdarahan dari tali pusat masih dapat
terjadi yang dapat membahayakan bayi tersebut. Kemudian diperhatikan kandung
kencing, bila penuh dilakukan pengosongan kandung kencing, jika bisa Ibu kencing
sendiri. Kandung kencing yang penuh dapat menimbulkan atonia uteri dan

27
mengganggu pelepasan plasenta, yang berarti dapat menimbulkan perdarahan
postpartum.

2.6.3. Kala III

Kala III tidak kalah pentingnya dengan kala I dan kala II. Ketidakhati-hatian
dalam memimpin kala III dapat mengakibatkan kematian karena perdarahan. Kala III
dimulai sejak bayi lahir lengkap sampai plasenta lahir lengkap. Terdapat dua tingkat
kelahiran plasenta, yang pertama ialah melepasnya plasenta dari implantasinya pada
dinding uterus dan dilanjutkan dengan pengeluaran plasenta dari kavum uteri. Seperti
telah disebut diatas, setelah janin lahir uterus masih mengadakan kontraksi yang
mengakibatkan pengecilan permukaan kavum uteri tempat implantasi plasenta. Hal
ini mengakibatkan plasenta akan lepas dari tempat implantasinya. Pelepasan ini dapat
dimulai dari tengah menurut Schultze atau dari pinggir menurut Mathews-Duncan
atau serempak dari tengah dan pinggir plasenta. Cara yang pertama ditandai oleh
makin panjang keluarnya tali pusat dari vagina, tanda ini dikemukakan oleh Ahlfield,
tanpa adanya perdarahan pervaginam, sedangkan cara yang kedua ditandai oleh
adanya perdarahan dari vagina apabila plasenta mulai terlepas. Umumnya perdarahan
tidak melebihi 400 ml. Bila lebih, maka hal ini patologik. Apabila plasenta lahir,
umumnya otot-otot uterus segera berkontraksi menjepit pembuluh-pembuluh darah
dan menyebabkan perdarahan segera berhenti.

Pada keadaan normal menurut Caldeyro-Barcia, plasenta akan lahir spontan dalam
waktu ± 6 menit setelah anak lahir lengkap.6 Untuk mengetahui apakah plasenta telah
lepas dari tempat implantasinya, dipakai beberapa perasat antara lain:

a. Perasat Kustner. Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali pusat,
tangan kiri menekan daerah di atas simfisis. Bila tali pusat ini masuk kembali
dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus. Perasat ini
hendaknya dilakukan secara hati-hati. Apabila hanya sebagian plasenta
terlepas, perdarahan banyak akan dapat terjadi.

28
b. Perasat Strassmann. Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali
pusat, tangan kiri mengetok-ngetok fundus uteri. Bila terasa ada getaran pada
tali pusat yang diregangkan ini, berarti plasenta belum lepas dari dinding
uterus. Bila tidak terasa getaran, berarti plasenta telah lepas dari dinding
uterus.
c. Perasat Klein. Ibu disuruh mengedan dan tali pusat tampak turun ke bawah.
Bila pengedanannyan dihentikan dan tali pusat masuk kembali ke dalam
vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus.

Kombinasi dari tiga perasat ini baik dijalankan secara hati-hati setelah mengawasi
wanita yang baru melahirkan bayi selama 6 sampai 15 menit. Bila plasenta telah lepas
spontan, maka dapat dilihat bahwa uterus berkontraksi baik dan terdorong keatas
kanan oleh vagina yang berisi plasenta. Dengan tekanan ringan pada fundus uteri
plasenta mudah dapat dilahirkan, tanpa menyuruh wanita bersangkutan mengedan
yaitu dengan menggunakan perasat Crede. Dengan cara memijat uterus seperti
memeras jeruk agar plasenta lepas dari dinding uterus hanya dapat digunakan bila
terpaksa misalnya perdarahan. Perasat ini dapat mengakibatkan kecelakaan
perdarahan postpartum. Pada orang yang gemuk, perasat Crede sukar atau tidak dapat
dikerjakan.

Setelah plasenta lahir, harus diteliti apakah kotiledon-kotiledon lengkap atau masih
ada sebagian yang tertinggal dalam kavum uteri. Begitu pula apakah pada pinggir
plasenta masih didapat hubungan dengan plasenta lain, seperti adanya plasenta
suksenturiata. Selanjutnya harus pula diperhatikan apakah korpus uteri berkontraksi
baik. Harus dilakukan masase ringan pada korpus uteri untuk memperbaiki kontraksi
uterus. Apabila diperlukan karena kontaksi uterus kurang baik, dapat diberikan
uterotonika seperti pitosin, metergin, ermetrin, dan sebagainya, terutama pada
persalinan lama, grande multipara, gemelli, hidroamnion, dan sebagainya. Bila
semuanya telah berjalan dengan lancar dan baik, maka luka episiotomi harus diteliti,
dijahit, dan diperbaiki.

29
Setelah bayi lahir, tinggi fundus uteri dan konsistensinya segera diperiksa kembali.
Selama uterus kencang dan tidak ada perdarahan yang luar biasa, menunggu dengan
waspada sampai plasenta terlepas biasa dilakukan. Jangan dilakukan masase; tangan
hanya diletakkan diatas fundus, untuk memastikan bahwa organ tersebut tidak
menjadi atonik dan berisi darah dibelakang plasenta yang telah terlepas. Tanda-tanda
pelepasan plasenta:

a. Uterus menjadi globular, dan biasanya terlihat lebih kencang. Ini merupakan
tanda awal.
b. Sering ada pancaran darah mendadak.
c. Uterus naik di abdomen karena plasenta yang telah terlepas, berjalan turun
masuk ke segmen bawah uterus dan vagina, serta massanya mendorong uterus
keatas.
d. Tali pusat keluar lebih panjang dari vagina yang menandakan bahwa plasenta
telah turun.

Tanda ini kadang-kadang terlihat dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir dan
biasanya dalam waktu lima menit. Kalau plasenta sudah lepas, penolong harus
memastikan bahwa uterus telah berkontraksi kuat. Ibu boleh diminta untuk mengejan
dan tekanan intraabdominal yang ditimbulkan mungkin cukup untuk mendorong
plasenta.

Manajemen Aktif Kala III3

Penatalaksanaan aktif pada kala III (pengeluaran aktif plasenta) membantu


menghindarkan terjadinya perdarahan pasca persalinan. Penatalaksanaan aktif kala III
meliputi:

• Penatalaksanaan oksitosin dengan segera

• Pengendalian tarikan pada tali pusat

• Pemijatan uterus segera setelah plasenta lahir

Penanganan tersebut dilakukan dalam tahap sebagai berikut:

30
• Memberikan oksitosin untuk merangsang uterus berkontraksi yang juga
mempercepat pelepasan plasenta.

• Lakukan Penegangan Tali Pusat Terkendali atau PTT dengan cara:

a. Satu tangan diletakkan pada korpus uteri tepat di atas simfisis pubis. Selama
kontraksi tangan mendorong korpus uteri dengan gerakan dorso kranial ke
arah belakang dan ke arah kepala ibu

b. Tangan yang satu memegang tali pusat dengan klem 5 cm di depan vulva

c. Jaga tahanan ringan pada tali pusat dan tunggu adanya kontraksi kuat (2-3
menit)

d. Selama kontraksi lakukan tarikan terkendali pada tali pusat terus menerus,
dalam tegangan yang sama dengan tangan ke uterus.

 PTT dilakukan hanya selama uterus berkontraksi. Tangan pada uterus


merasakan kontraksi, ibu dapat juga memberitahu petugas ketika ia merasakan
kontraksi. Ketika uterus tidak berkontraksi, tangan petugas dapat tetap berada
pada uterus, tetapi bukan melakukan PTT. Ulangi langkah-langkah PTT pada
setiap kontraksi sampai plasenta terlepas.
 Begitu plasenta terasa lepas, keluarkan dengan menggerakkan tangan atau klem
tali pusat mendekati plasenta, keluarkan plasenta dengan gerakan ke bawah dan
ke atas sesuai dengan jalan lahir. Kedua tangan dapat memegang plasenta dan
perlahan memutar plasenta searah jarum jam untuk mengeluarkan selaput
ketuban.
 Segera setelah plasenta dan selaputnya dikeluarkan, masase fundus agar
menimbulkan kontraksi. Hal ini dapat mengurangi pengeluaran darah dan
mencegah perdarahan pascapersalinan.
 Periksa Ibu secara seksama dan jahit semua robekan pada serviks atau vagina
atau perbaiki episiotomi.

31
2.6.4. Kala IV

Kala IV adalah pemantauan ibu dan jani selama dua jam pasca persalinan. Dua
jam pertama setelah persalinan merupakan waktu yang kritis bagi ibu dan bayi. Kala
ini perlu untuk melihat apakah ada perdarahan postpartum. Rata-rata dalam batas
normal, jumlah pada umumnya adalah 100-300 cc. Bila perdarahan lebih dari 500 cc
ini sudah dianggap abnormal, harus dicari penyebabnya. Tujuh pokok penting yang
harus diperhatikan sebelum meninggalkan ibu yang baru melahirkan adalah:

a. Kontraksi rahim. Dapat diketahui dengan palpasi fundus uteri. Bila perlu
dilakukan masase dan berikan uterotonika (methergin, ermetrin, pitogin).
b. Perdarahan. Apakah ada atau tidak serta jumlahnya.
c. Kandung kencing. Diharuskan kosong, jika penuh ibu diminta kencing sendiri
atau menggunakan kateter.
d. Luka-luka. Dilihat jahitan terdapat perdarahan atau tidak.
e. Selaput ketuban harus telah lahir lengkap.
f. Keadaan umum ibu. Tekanan darah, nadi, dan pernapasan.
g. Bayi dalam keadaan baik

32
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas

Nama : CIN

Alamat : Banjar Geriya Tampak Siring

Jenis kelamin : Perempuan

TTL : 24 Januari 1999

Usia : 19 tahun

No. RM : 23.19.78

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Hindu

Suku : Bali

MRS : 23 November 2018 (11.30 WITA)

Tanggal Pemeriksaan : 23 November 2018

3.2. Anamnesis

Keluhan Utama

Sakit perut hilang timbul

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RS Ari Canti diantar oleh suami dalam kondisi hamil
dengan keluhan sakit hilang timbul dan keluar air tidak berbau sejak pukul 10.45
WITA (23 November 2018). Nyeri dirasakan dari perut atas kemudian menjalar ke
perut bawah hingga ke pinggang. Sakit perut dirasakan semakin sering, memberat
dengan durasi yang semakin lama, semakin kuat. Keluhan tersebut disertai dengan
keluarnya lendir bercampur darah dari kemaluannya. Gerak janin dirasakan baik.
33
Riwayat Menstruasi

Menarche pertama umur ± 15 tahun, siklus teratur 28 hari dengan lama 5 – 7


hari. Pasien mengganti pembalut sebanyak 2-3 kali dalam sehari saat menstruasi
dengan volume +60 cc. Keluhan selama menstruasi seperti nyeri di bagian bawah
perut. Hari pertama haid terakhir pasien tanggal 27 Februari 2018. Tafsiran persalinan
pada tanggal 4 Desember 2018. Pasien mengatakan ini merupakan kehamilan pertama.

Riwayat Perkawinan

Pasien menikah sebanyak satu kali dengan suami sekarang. Pertama kali
menikah saat berusia 19 tahun, pernikahan tersebut sudah berlangsung kurang lebih
11 bulan.

Riwayat Kontrasepsi

Pasien tidak menggunakan kontrasepsi saat ini.

Riwayat Kehamilan

1. Kehamilan ini.

Riwayat Antenatal Care (ANC)

Tabel 3.1 Riwayat Antenatal Care

TD BB UK Letak
Tgl. Keluhan TFU DJJ Tindakan
(mmHg) (kg) (minggu) Janin

Asam
Mual
folat
4/4/ saat baru Tidak
110/70 53 7-8 (+) 1x400
2018 bangun teraba
mcg,
pagi
TT1

Mual 2jri diatas Asam


4/5/ 100/70 54 10-12 (+)
dan symphisi folat 1 x

34
2018 muntah s 400 mcg,
pada TT2
pagi hari

Ballote Asam
6/6/ Tidak 1/2 pusat- 140x/me
110/70 55 16 ment folat 1 x
2018 ada simphisis nit
(+) 400 mcg,

Ballote Asam
9/7/20 Tidak Setinggi 156x/me
110/70 56 20 ment folat 1 x
18 ada pusat nit
(+) 400 mcg,

Sulfas
Ballote
7/8/20 Tidak 2 jari di 152x/me Ferosus
120/80 56 23-24 ment
18 ada atas pusat nit 1x 300
(+)
mg,

8/9/20 Tidak 144x/me Sulfas


110/70 58 28-29 3 jari Letak
18 ada nit Ferosus
diatas Kepala
1x 300
pusat
mg

Sulfas
10/10/ Tidak 152x/me Letak Ferosus
110/70 59 31-32 28 cm
2018 ada nit kepala 1x300
mg

Sulfas
24/10/ Tidak 156x/me Letak Ferosus
110/70 60 34-35 29 cm
2018 ada nit kepala 1x300
mg

Tidak Sulfas
15/11/ 120/80 61 37-38 30 cm 144x/me Letak
ada Ferosus
35
2018 keluhan nit kepala 1x 300
mg

Riwayat Penyakit Terdahulu

Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi,


diabetes mellitus, penyakit jantung dan kejang. Riwayat alergi makanan maupun obat
serta riwayat operasi juga disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, maupun asma dalam


keluarga disangkal oleh pasien.

3.3. Pemeriksaan Fisik

Status Present

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Respirasi : 20x/menit

Temperatur axilla : 36ºC

Berat badan : 61 kg

Berat badan sebelum hamil : 50 kg

Tinggi badan : 158 cm

BMI : 20.2 kg/m2

36
Status General

Mata : Anemis -/-

THT : Kesan normal

Cor : S1S2 normal, regular, murmur (-)

Pulmo : Vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-

Mammae : Hiperpigmentasi areola mammae, mammae tampak tegang

Abdomen : Sesuai status obstetri

Ekstremitas : Akral Hangat + + edema - -

+ + - -

Status obstetri

Pemeriksaan luar

Inspeksi

 Tampak perut membesar ke depan, linea nigra (+), Tidak tampak luka bekas
operasi

Palpasi

 Tinggi fundus uteri 3 jari di bawah Prosesus Xiphoideus (34 cm)

 Pemeriksaan Leopold

I. Teraba bagian besar, bulat dan lunak, kesan bokong

II. Teraba tahanan keras dan memanjang pada sisi kiri, kesan punggung

Teraba bagian kecil pada sisi kanan, kesan ekstremitas

III. Teraba bagian bulat, keras dan melenting, kesan kepala

IV.Teraba bagian terbesar kepala sudah masuk pintu atas panggul (konvergen)

Penurunan kepala janin 4/5

 His (+) 3-4x/10 menit, durasi selama 30-35 detik


37
Auskultasi

 Denyut jantung janin terdengar paling keras di sebelah kiri bawah umbilicus
dengan frekuensi 148x/menit.

Pemeriksaan dalam (23 November 2018 / 11.30 WITA)

Inspeksi : Blood slym (+) air ketuban (+)

VT (11.35 WITA) : Pembukaan serviks 3 cm, effacement 25%, ketuban (-)

Teraba kepala, ubun-ubun kecil kiri melintang, penurunan


Hodge I, tidak teraba bagian kecil atau tali pusat

3.4. Pemeriksaan Penunjang

Adapun pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada tanggal 23 November 2018


adalah darah lengkap (DL), bleeding time (BT), clotting time (CT)

Tabel 3.2 Darah Lengkap (23 November 2018)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

WBC 13,7 x103/µL 4,1 – 11,0 Tinggi

HGB 13,2 g/dL 12,0 – 16,0 Normal

HCT 40 % 36,0 – 46,0 Normal

PLT 266 x103/µL 140,0 – 440,0 Normal

Tabel 3.3 Pembekuan Darah (23 November 2018)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

BT 1’30” Menit 1,00 – 3,00 Normal

CT 8’00” Menit 5,00-15,00 Normal

38
3.5. Diagnosis

G1P0000 UK 38 minggu 3 hari, Tunggal/Hidup, Persalinan Kala I

PBB: 2800 gram.

3.6. Penatalaksanaan

Tx : Ekspektatif pervaginam

Mx : Sesuai partograf WHO

KIE : Pasien dan keluarga tentang keadaan ibu dan janin serta rencana tindakan,
risiko tindakan, dan komplikasi dari tindakan yang akan dilakukan.

3.7. Perjalanan Persalinan

23 November 2018 (Pukl 14.46 WITA)

S: Pasien ingin mengedan, sakit perut hilang timbul (+)

Gerak bayi (+) baik

O: Status Present:

Keadaan umum stabil

Kesadaran compos mentis (E4V5M6)

Tekanan darah : 120/80 mmHg Respirasi : 22x/menit

Nadi : 84x/menit Temperatur axilla: 36,6oC

Status Obstetri

Abdomen : HIS (+) 3x/10 menit ~ 40-45 detik

DJJ (+) 140x/menit

Inspeksi vagina : Vulva membuka dan perineum menonjol

39
VT (14.48 WITA) : Pembukaan serviks 7cm, effacement 75%,
ketuban (-), teraba kepala, ubun-ubun kecil
depan, penurunan Hodge III

A: G1P0000 UK 38 minggu 3 hari, Tunggal/Hidup, Persalinan Kala I

PBB: 2800 gram.

P: Persalinan pervaginam

Evaluasi 2 jam

23 November 2018 (Pukl 15.00 WITA)

S: Pasien ingin mengedan, sakit perut hilang timbul (+), gerak bayi (+) baik

O: Status Present:

Keadaan umum stabil

Kesadaran compos mentis (E4V5M6)

Tekanan darah : 110/80 mmHg Respirasi : 22x/menit

Nadi : 86x/menit Temperatur axilla: 36,6oC

Status Obstetri

Abdomen : HIS (+) 4-5x/10 menit ~ 40-45 detik

DJJ (+) 148x/menit

Inspeksi vagina : Vulva membuka dan perineum menonjol

VT (15.05 WITA) : Pembukaan serviks lengkap, ketuban (-) jernih,

teraba kepala, ubun-ubun kecil depan,


penurunan Hodge III+

A: G1P0000 UK 38 minggu 3 hari, Tunggal/Hidup, Persalinan Kala I

40
PBB: 2800 gram.

P: Pimpin persalinan

Mx - his, denyut jantung janin

KIE - Cara mengedan yang benar

LAPORAN PERSALINAN

Tanggal 23 November 2018 (Pukul 15.10 WITA)

Pasien dipimpin dalam posisi setengah duduk saat puncak his pasien dipimpin
untuk meneran. Saat kepala crowning tangan kanan menahan perineum dan tangan
kiri mengatur defleksi kepala, dengan suboksiput sebagai hipomoklion, berturut-
turut lahir ubun-ubun kecil, ubun-ubun besar, dahi, hidung, mulut, dagu, hingga
seluruh bagian kepala dilahirkan. Hidung dan mulut bayi dibersihkan
menggunakan kasa steril. Sambil menunggu bayi melakukan putar paksi luar
dilakukan evaluasi belitan tali pusat. Belitan tali pusat (-). Setelah putar paksi luar,
dengan posisi kedua tangan memegang kepala bayi secara biparietal, dilakukan
tarikan curam kebawah untuk melahirkan bahu depan, dan curam ke atas untuk
melahirkan bahu belakang. Lakukan sanggah susur, tangan kanan menyangga
leher dan tangan kiri menyusuri punggung sampai kaki bayi, hingga lahir seluruh
tubuh bayi.

Tanggal 23 November 2018 (Pukul 15.45 WITA)

Lahir bayi perempuan, spontan, presentasi belakang kepala, segera menangis,


kulit kemerahan, berat badan lahir 2820 gram, panjang badan 49 cm, APGAR
Score 7-8, anus (+), kelainan kongenital (-).

Inisiasi Menyusui Dini:

a. Bayi ditengkurapkan di dada-perut ibu dengan kulit bayi melekat pada kulit ibu
dan mata bayi setinggi puting susu ibu. Keduanya diselimuti.

41
b. Ajarkan ibu menyentuh bayi untuk merangsang bayi. Biarkan bayi mencari
puting susu ibu sendiri.

c. Ibu didukung dan dibantu mengenali perilaku bayi sebelum menyusui.

d. Biarkan kulit bayi bersentuhan dengan kulit ibu selama kurang lebih 5 menit
sehingga bayi mencapai puting susu ibu, kemudian bayi diambil lagi oleh bidan
untuk ditimbang, diukur, dicap, dan diberi vitamin K.

Manajemen Aktif Kala III:

1. Injeksi oksitosin 10 IU, secara intramuskular pada paha kanan regio


anterolateral.

2. Dilakukan penegangan tali pusat terkendali (PTT).

3. Dilakukan masase fundus uteri setelah plasenta lahir.

Tanggal 23 November 2018 (Pukul 16.00 WITA)

Lahir plasenta kesan lengkap, hematoma (-), kalsifikasi (-),

total perdarahan ± 100 cc

S: Nyeri post partum (+),

O: Status present:

Keadaan umum stabil

Kesadaran: compos mentis (E4V5M6)

Tekanan darah : 110/70 mmHg Respirasi : 18x/menit

Nadi : 80x/menit Temperatur axilla: 36,5oC

Status General:

Mata : Anemis -/-

THT : Kesan normal

Cor : S1S2 normal, regular, murmur (-)

42
Pulmo : Vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-

Abdomen : Sesuai status obstetric

Ekstremitas : Akral Hangat + + Edema - -

+ + - -

Status Obstetri

Abdomen : tinggi fundus uteri 1 jari dibawah pusat, kontraksi


uterus (+) baik

Inspeksi vagina: Ruptur Perineum (+), lochea (+)

A: P1001, persalinan spontan belakang kepala, post partum hari ke-0+


Ruptur perinium grade II

P: Tx -Repair Perineum

Mx - Observasi 2 jam post partum.

KIE - Mobilisasi dini, ASI eksklusif,KB,Menjaga kebersihan vulva


dan vagina

Tabel 3.4 Evaluasi 2 Jam Post Partum

Tekanan
Kontraksi Kandung
Waktu Darah Nadi Suhu TFU Perdarahan
uterus kemih
(mmHg)

16.15 110/80 88 36,7 2jari bpst (+) baik Tidak penuh Lochea (+)

16.30 120/80 86 2jari bpst (+) baik Tidak penuh Lochea (+)

16.45 120/70 84 2 jari bpst (+) baik Tidak penuh Lochea (+)

17.00 110/70 80 2 jari bpst (+) baik Tidak penuh Lochea (+)

17.30 120/80 80 36,2 2 jari bpst (+) baik Tidak penuh Lochea (+)

43
18.00 120/80 80 2 jari bpst (+) baik Berkemih Lochea (+)
300 cc

Tanggal 23 November 2018 (Pukul 18.10 WITA)

Observasi 2 jam post partum

S: Nyeri bekas jahitan (+), ASI +/+, BAK (+), mobilisasi baik

O: Status Present:

Keadaan umum stabil

Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)

Tekanan darah : 120/80 mmHg Respirasi : 20 x/menit

Nadi : 84x/menit Temperatur axilla : 36,2 oC

Status General

Mata : anemis-/-

Cor : S1S2 normal, regular, murmur (-)

Pulmo : Vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-

Mammae : ASI +/+, Bendungan -/-, Bengkak -/-, Kemerahan -/-

Abdomen : sesuai status obstetri

Ekstremitas : Akral Hangat + + Edema - -

+ + - -

Status Obstetri

Abdomen : tinggi fundus uteri 2 jari dibawah pusat, kontraksi


uterus (+) baik

Inspeksi vagina: lochea rubra (+)

A: P1001 persalinan spontan belakang kepala, post partum hari ke-0

44
P: Tx – Analtram tablet (PO) tiap 8 jam

Becom C tablet (PO) tiap 12 jam

Vitamin A tablet (PO) tiap 24 jam

Mx - Keluhan, vital sign, perdarahan, kontraksi uterus

KIE - Mobilisasi dini, ASI Eksklusif, KB

3.8. Perkembangan Kesehatan Pasien

24 November 2018 (Pukul 08.00 WITA)

S: Nyeri luka jahitan (+) minimal, mobilisasi (+), ASI (+/+), BAB dan
BAK : lampias, makan minum (+)

O: Status Present:

Keadaan umum stabil

Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)

Tekanan darah : 120/80 mmHg Respirasi : 20x/menit

Nadi: 80x/menit Temperatur axilla: 36,5oC

Status general

Mata : Anemis -/-

Cor : S1S2 normal, regular, murmur (-)

Pulmo : Vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-

Mammae : ASI +/+, Bendungan -/-, Bengkak -/-, Kemerahan -/-

Abdomen : Sesuai status obstetri

Ekstremitas : Edema -/- pada tungkai bawah

Status Obstetri

Abdomen : TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+) baik,


45
distensi (-), BU (+) normal

Inspeksi vagina: lochea (+)

A: P1001 persalinan spontan belakang kepala, post partum hari ke-1

P: Tx – Analtram tablet (PO) tiap 8 jam

Becom C tablet (PO) tiap 12 jam

Vitamin A tablet (PO) tiap 24 jam

Pasien sudah boleh pulang

Kontrol ke puskesmas 1 minggu post-partum

KIE - Konsumsi obat secara rutin, ASI eksklusif,KB, selalu jaga

kebersihan diri.

46
BAB IV
PEMBAHASAN

Kasus yang dibahas dalam laporan kasus ini adalah persalinan normal.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan saat pasien datang ke UGD RS Ari Canti pada 23
November 2018 pukul 11.30 WITA. Pasien datang ke UGD diantar suami dengan
kondisi hamil dan mengeluh sakit hilang timbul dan keluar air sejak pukul 10.45
WITA (23 November 2018). Nyeri dirasakan dari perut atas kemudian menjalar ke
perut bawah hingga ke pinggang. Sakit perut dirasakan semakin sering, memberat
dengan durasi yang semakin lama, semakin kuat. Keluhan tersebut disertai dengan
keluarnya lendir bercampur darah dari kemaluannya. Gerak janin dikatakan aktif.
Keluhan lain seperti mual, muntah, sakit kepala, sesak nafas, atau demam disangkal
pasien.

Pada anamnesis didapatkan pula mengenai riwayat menstruasi dan kehamilan


pasien. Pasien menarche pada usia ±15 tahun, siklus menstruasinya teratur setiap
bulan dengan siklus tiap 28 hari dengan lama 5-7 hari tiap kali menstruasi. Hari
pertama haid terakhir pasien tanggal 27 Februari 2018. Tafsiran persalinan pada
tanggal 4 Desember 2018

Kehamilan ini merupakan kehamilan yang pertama. Pasien menyatakan rutin


melakukan pemeriksaan kehamilan sebanyak lebih dari 4 kali di bidan dan
pemeriksaan USG sebanyak 2 kali di dokter spesialis kandungan.

Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan tanda-tanda inpartu pasien, yaitu


adanya sakit perut hilang timbul yang dirasakan dari perut bagian atas menjalar ke
bawah hingga pinggang dan, tidak menghilang saat istirahat, semakin sering
dirasakan, dan semakin kuat. Tanda inpartu juga dibuktikan melalui pemeriksaan
dalam (VT) pukul 11.35 WITA didapatkan pembukaan serviks 3 cm, effacement 25%,
ketuban (-), teraba kepala dengan ubun-ubun kecil kiri melintang, penurunan Hodge I,
tidak teraba bagian kecil atau tali pusat.

47
Pada kala I, pasien dijelaskan agar jangan mengedan terlebih dahulu dan
mengosongkan kandung kemihnya secara spontan, karena kandung kemih yang
penuh dapat menghambat penurunan kepala janin. Posisi berbaring pasien sebaiknya
ke arah kiri untuk menjaga sirkulasi uteroplasenta yang baik. Cara ini mencegah
tertekannya arteri aorta abdominalis dan vena kava inferior sehingga mencegah
hipoksia intrauterin dan edema tungkai bawah. Pasien juga disarankan minum yang
cukup untuk menghindari dehidrasi. Pada Pukul 14.46 WITA, pasien mengeluh ingin
meneran seperti buang air besar. Di lakukan pemeriksaan dalam kembali dan
didapatkan pembukaan serviks 7cm, effacement 75%, ketuban (-), teraba kepala,
ubun-ubun kecil depan, penurunan Hodge III. Pada pukul 15.00 WITA, pasien
kembali mengeluh ingin meneran seperti buang air besar.

Tanda masuknya persalinan kala II adalah keinginan ibu untuk meneran,


tekanan pada anus yang disertai dengan perineum menonjol dan vulva yang membuka.
Kala II juga dibuktikan dengan pemeriksaan dalam yang mendapatkan pembukaan
serviks sudah lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa kala I telah berakhir dan proses
persalinan sudah memasuki kala II. Langkah selanjutnya adalah bersiap untuk
memulai memimpin persalinan pada Pukul 15.10 WITA. Pasien harus dipimpin
meneran pada puncak his dengan posisi setengah duduk. Saat kepala janin telah
sampai di dasar panggul, vulva mulai membuka lebih lebar, rambut kepala janin
mulai tampak, perineum dan anus tampak mulai meregang. Perineum ditahan dengan
tangan kanan yang beralaskan kain kasa steril untuk mencegah terjadinya robekan
perineum yang tidak beraturan (perasat Ritgen). Setelah kepala lahir, mulut dan
hidung dibersihkan dengan kasa steril. Bayi kemudian akan melakukan putaran paksi
luar sesuai letak punggung janin sambil diselidiki apakah terdapat belitan tali pusat
pada leher. Setelah itu dilanjutkan dengan melahirkan bahu depan dengan memegang
kepala secara biparietal dan gerakan curam ke bawah untuk melahirkan bahu depan
dan curam ke atas untuk melahirkan bahu belakang. Bayi lahir segera menangis. Jalan
napas dibersihkan dengan menghisap lendir di mulut dan hidung bayi dengan
penghisap lendir, tali pusat diklem lalu digunting. Setelah sepintas menilai tidak

48
adanya tanda asfiksia, bayi kemudian dikeringkan dan mulai dilakukan inisiasi
menyusui dini. Pasien segera mungkin disuntik oksitosin 10 IU secara intramuskuler
pada paha anterolateral untuk membantu kontraksi uterus dan membantu
mengeluarkan plasenta serta mengurangi perdarahan.

Pada pukul 15.45 WITA lahir bayi perempuan, spontan, presentasi belakang
kepala, segera menangis, kulit kemerahan, berat badan lahir 2820 gram, panjang
badan 49 cm, APGAR Score 7-8, anus (+), kelainan kongenital (-).

Kala III dimulai sejak bayi lahir lengkap sampai plasenta lahir lengkap.
Setelah oksitosin 10 IU disuntikkan secara intramuskuler pada paha anterolateral,
peregangan tali pusat terkendali dilakukan dengan perasat Kustner untuk melahirkan
plasenta. Plasenta lahir pada pukul 16.00 WITA. Setelah plasenta lahir, diteliti apakah
kotiledon-kotiledon lengkap atau ada bagian yang tertinggal dalam kavum uteri
dengan mengevaluasi menggunakan kasa steril karena sisa plasenta dapat
menimbulkan perdarahan postpartum. Masase ringan pada uterus dilakukan untuk
membantu kontraksi uterus. Kontraksi uterus pada pasien ini baik. Kemudian
dilanjutkan dengan evaluasi perdarahan dan robekan jalan lahir.

Memasuki kala IV, pasien diobservasi selama 2 jam. Pada kala IV ini
diperhatikan kontraksi uterus sudah baik, tidak ada perdarahan aktif dari vagina,
plasenta dan selaput ketuban lahir lengkap, kandung kencing tidak penuh, bayi dalam
keadaan baik, ibu dalam keadaan baik, tanda-tanda vital normal, serta tidak ada
keluhan sakit kepala maupun mual. Hasil observasi kala IV pada pasien ini adalah
normal. Semua proses pada keempat kala tersebut dicatat dalam partograf WHO.
Pasien kemudian dipindahkan ke ruang perawatan dan dilakukan follow-up tanda-
tanda vital, keluhan, serta diberikan KIE untuk memberi ASI eksklusif kepada
bayinya, mobilisasi dini dan cara menjaga kebersihan diri.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kasus ini adalah


persalinan normal yang sesuai dengan definisi persalinan normal dan spontan karena
bayi lahir melalui vagina, presentasi belakang kepala, kehamilan cukup bulan, berat

49
badan bayi normal, tanpa bantuan alat dan obat,berlangsung kurang dari 18 jam dan
tidak terjadi komplikasi pada ibu ataupun janin.

50
BAB V
SIMPULAN

Persalinan adalah suatu proses dimana janin, plasenta, dan selaput ketuban
keluar dari uterus ibu. Persalinan normal adalah ketika bayi lahir per vaginam, usia
kehamilan cukup bulan, berat badan bayir lahir normal (>2500 gram dan <4000
gram), presentasi belakang kepala, persalinan berlangsung tidak lebih dari 18 jam dan
tidak terjadi komplikasi pada ibu maupun janin. Sementara persalinan spontan
merupakan persalinan yang terjadi dengan tenaga ibu sendiri tanpa menggunakan
bantuan obat, alat atau pertolongan khusus. Mulainya proses persalinan ditandai
dengan adanya kontraksi uterus yang menyebabkan dilatasi serviks yang mendorong
janin keluar melalui jalan lahir dan mengeluarkan lendir darah. Tiga faktor penting
yang berperan pada dan selama persalinan adalah kekuatan kontraksi ibu (his) dan
kekuatan mengedan, kondisi jalan lahir, dan janin itu sendiri.

Proses persalinan terdiri dari 4 kala yaitu kala I, kala II, kala III, dan kala IV.
Kala I merupakan kala yang terdiri dari 2 fase yakni fase laten dan fase aktif, dimana
waktu untuk pembukaan serviks pada kala ini yakni sampai mencapai pembukaan
lengkap 10 cm. Kala II meliputi proses pengeluaran janin kekuatan kontraksi pada
uterus (his) dan juga kekuatan mengedan mendorong janin hingga lahir. Kala III
adalah waktu untuk pelepasan dan pengeluaran plasenta, serta yang terakhir adalah
kala IV yakni kala pengawasan selama 2 jam setelah bayi dan plasenta lahir untuk
mengamati keadaan ibu terutama terhadap perdarahan postpartum. Proses keempat
kala tersebut dicatat dalam partograf WHO.

Pada laporan kasus ini, pasien mengalami persalinan normal dan spontan. Ibu
dan bayi yang dilahirkan setelah proses persalinan ini dalam keadaan baik dan
dipulangkan 1 hari kemudian dengan KIE ASI eksklusif, mobilisasi dini, cara
menjaga kebersihan diri dan anjuran untuk kontrol kembali 1 minggu ke poliklinik
setelah pulang dari rumah sakit.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Kehamilan, Persalinan dan Nifas


Normal. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan. Jakarta. 2013.

2. Riset Kesehatan Dasar Bali 2013. Persentase Cara Persalinan Menurut


Kabupaten/Kota, Bali 2013.

3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Asuhan Persalinan Normal. 2014.

4. Profil Kesehatan Indonesia 2016. Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4 dan


Persalinan ditolong Tenaga Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Menurut
Provinsi Tahun 2016.

5. Pribadi, A. Mose CJ. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: JNPK-KR: Jaringan


Nasional Pelatihan Klinik Kesehtan Reproduksi. 2008.

6. Gabbe, S.G,. et al. Normal Labor and Delivery. In: Gabbe, S.G., Niebyl, J.R.,
Simpson, J.L. Obstetrics Normal and Problem Pregnancies, 6th Edition. New
York: Churchill Livingstone. 2012.

7. Keman K. Fisiologi dan Mekanisme Persalinan Normal. Pada: Wiknjosastro GH,


Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawiroharjo, Edisi 4.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2008. Hal:296-314.

8. Sofian A. Rustam M. Fisiologi Persalinan. Pada: Sofian A. Rustam M. Sinopsis


Obstetri: Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi, Edisi 3, Jilid 1. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2011. Hal:87-102.

9. Keman, K. Partograf. Pada: Wiknjosastro GH, Saifuddin AB, Rachimhadhi T.


Ilmu Kebidanan Sarwono Prawiroharjo, Edisi. 4. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. 2008. Hal: 315-333.

10.Saifuddin, AB. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2009.
52
11. Aisyah,S. Oktarina,A. Perbedaan kejadian Ketuban Pecah Dini Antara Primipara
dan Multipara. Lamongan. Jurnal Midpro. Edisi 1.2012

53
Borang Portofolio I

Nama peserta : dr. Ni Putu Ayu Luih Adnyani, S.Ked


Nama wahana: RS Ari Canti, Gianyar, Bali
Topik : STEMI
Tanggal (kasus) : 4 Juni 2019
Nama pasien : An. JR No. RM: 11.24.60
Tanggal presentasi : (-) Pendamping: dr. I Made Gunawan
dr. Ni Made Ariani, MM
Tempat presentasi : (-)
Objektif presentasi : mendiagnosis, memberikan tatalaksana awal dan merujuk
kepada dokter spesialis yang tepat untuk STEMI
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia
Deskripsi: Pasien datang sadar ke rumah sakit pada pukul 10.00 dengan keluhan nyeri
dada. Nyeri dada dirasakan di bagian dada kiri dan terasa menjalar sampai ke legan
kiri, dan sampai menembus ke punggung. Nyeri dada dirasakan berat seperti
tertindih. Pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas. Keluhan sesak disangkal oleh
pasien.
Tujuan: dapat mendiagnosis, memberikan tatalaksana awal dan merujuk kepada
dokter spesialis pada pasien STEMI
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
bahasan: pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan Email Pos
membahas: diskusi
Data pasien: Nama: An. JR Nomor registrasi: 11.24.60
Terdaftar sejak: 4 Juni
2019
54
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis / gambaran klinis: STEMI
2. Riwayat pengobatan: (-)
3. Riwayat kesehatan/penyakit: penyakit yang sama (-), hipertensi (-), DM (+)
terkontrol.
4. Riwayat keluarga: penyakit yang sama (-), hipertensi (-), asma (-), alergi (-)
5. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (rumah, lingkungan, pekerjaan): rumah
pasien memiliki lingkungan yang bersih, pasien bekerja sebagai pegawai
swasta.
6. Lain-lain (Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan Laboratorium, tambahan lain):
terlampir
Daftar Pustaka:
1. Steg PG, James SK, Atar D, Badano LP, Blo¨mstrom-Lundqvist C, Borger
MA, et al. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction
in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal. 24
August 2012;33(20):2569-619.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010.
3. Antman EM, Hand M, Armstrong PW. Focused update of the ACC/AHA 2004
guidelines for the management of the patients with ST- elevation myocardial
infarction : A report of the American College of Cardiology American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines. AHA Journal. 2008;51:210–
47.
4. Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. Braunwald’s Heart Diseases: A
Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier; 2008.
Hasil pembelajaran:
1. Diagnosis STEMI
2. Tatalaksana awal STEMI
3. Merujuk kepada dokter spesialis yang tepat
55
4. Edukasi pasien mengenai penyakitnya

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:


1. Subyektif:
Deskripsi: Pasien datang sadar ke rumah sakit pada pukul 10.00 dengan
keluhan nyeri dada. Nyeri dada dirasakan di bagian dada kiri dan terasa
menjalar sampai ke legan kiri, dan sampai menembus ke punggung. Nyeri
dada dirasakan berat seperti tertindih. Pasien juga mengeluhkan badan terasa
lemas. Keluhan sesak disangkal oleh pasien.

2. Objektif:
Keadaan umum: tampak sakit sedang
GCS : E4V5M6
Tanda-tanda vital:
 TD: 130/70 mmHg
 HR: 88x/menit
 RR: 20 x/menit
 Suhu: 35,7o C
Pemeriksaan Fisik
 Mata: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
 THT : faring dan tonsil dalam batas normal
 Thorax:
o Paru:
 Inspeksi: pernapasan kussmaul, gerakan napas simetris
 Auskultasi: vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing-/-
o Jantung: bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen:
o Inspeksi: distensi (-)
o Auskultasi: Bising usus (+) N
56
o Palpasi: nyeri tekan(-)
 Ekstremitas: hangat pada ekstremitas atas, dingin pada ekstremitas
bawah, edema (-).

Pemeriksaan EKG

57
Keterangan :

Irama : Sinus, HR : 44 x/menit, regular, Normoaxis I (+), aVF (+),


Gelombang P normal, PR interval normal, QRS kompleks < 0,12 detik
(Normal), ST Elevasi pada lead II,III,aVF Gelombang T normal, R/S di V1 <1
(Normal), SV2 + RV5 > 35 mm

Pemeriksaan Darah
Parameter Nilai Satuan Nilai Normal Interpretasi

WBC 8,7 109/L 4,1-11,0 Normal

HGB 13 g/dL 13,5-17,5 Normal

58
HCT 39,4 % 41,0-53,0 Normal

PLT 256 109/L 150,0-440,0 Normal

GDS 117 mg/dL 70-140 Normal

Hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium menunjang untuk


diagnosis STEMI. Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan:
 Anamnesis dan gejala klinis : pasien mengeluh nyeri dada tipikal untuk
diagnosis STEMI.
 Pemeriksaan fisik : untuk pemeriksaan jantung paru masih dalam batas
normal, dingin pada ekstremitas bawah.
 Pemeriksaan EKG ditemukan adanya ST Elevasi pada lead II,III,aVF
3. “Assessment” (penalaran klinis):
Acute coronary syndrome diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidak adanya
ST elevasi. ST elevasi biasanya menggambarkan sumbatan akut pada arteri
koroner oleh trombus. Terapi yang paling efekstif antara lain adalah
rekanalisasi arteri yang tersumbat secepat mungkin dengan percutaneous
coronary intervention (PCI) atau dengan terapi thrombolitik. Di seluruh dunia,
coronary artery disease (CAD) merupakan penyebab kematian tersering.

Definisi
STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction) merupakan bagian dari
ACS (Acute Coronary Syndrom) yang terdiri dari Unstable Angina, STEMI
(ST Elevation Myocardial Infarction), dan NSTEMI (Non-ST Elevation
Myocardial Infarction). STEMI terjadi apabila aliran darah koroner menurun
secara mendadak setelah oklusi total thrombus yang terbentuk karena
rupturnya plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya dan mengakibatkan
matinya otot-otot jantungoleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen. Daerah otot yang samasekali tidak mendapat aliran darah
59
atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi
otot jantung, dikatakan mengalami infark.

Epidemiologi
Di seluruh dunia, coronary artery disease (CAD) merupakan penyebab
kematian tersering. Lebih dari 7 juta orang meninggal setiap tahunnya karena
CAD, terhitung sekitar 12.8% dari semua kematian. Setiap 6 pria dan 7 wanita
di Eropa akan meninggal karena infark myocard. Insidens STEMI telah
menurun selama 20 tahun terakhir. Mortalitas di rumah sakit akibat acute
coronary syndrome telah menurun dari sekitar 20% menjadi sekitar 5%,
karena perbaikan terapi dan cepatnya didapatkan terapi yang efektif.

Etiologi dan Faktor Resiko


Atherosclerosis adalah penyakit utama yang bertanggung jawab pada
sebagian besar kasus ACS (Acute Coronary Syndrom). Sekitar 90%
Myocardial Infarction (MI) diakibatkan oleh trombus aterosklerotik akut yang
menyumbat arteri koroner. Erosi dan pecahnya plak dianggap sebagai pemicu
utama trombosis koroner. Setelah erosi atau ruptur plak, proses aktivasi dan
agregasi platetelet , aktivasi jalur koagulasi, dan vasokonstriksi endotel terjadi,
menyebabkan trombosis dan oklusi pada pembuluh darahkoroner.
Sedangkan factor resiko Acute Coronary Syndrom termasuk STEMI
secara garis besar dibagi menjadi 2 berdasarkan dapat atau tidaknya
dimodifikasi, yaitu:
1. Faktor Resiko Non-Modifiable
a. Usia
Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia.
Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko
lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat
proses aterogenik.

60
b. Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan jantung dan
kejadiannyalebih awal dari pada wanita. Morbiditas penyakit ini pada
laki-laki lebih besar daripada wanita dan kondisi ini terjadi dan kondisi
ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada wanita. Wanita setelah
menopause menjadi sama rentannya seperti pria. Hal diduga karena
tidak adanya efek perlindungan esterogen.
c. Ras
Ras kulit putih lebih sering terjadi serangan jantung daripada ras African
American.Kelompok masyarakat kulit putih maupun kulit berwarna,
laki-laki mendominasi kematian, tetapi lebih nyata pada kulit putih dan
lebih sering ditemukan pada usia muda dari pada usia lebih tua.
Insidensi kematian dini akibat penyakit jantung koroner pada orang Asia
yang tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lokal
dan juga angka yang rendah pada ras Afro-Karibia.
d. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga pada kasus penyakit jantung koroner yaitu keluarga
langsung yang berhubungan darah pada pasien berusia kurang dari 70
tahun merupakan faktor risiko independen. Faktor familial dan genetika
mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis PJK, hal tersebut
dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam diagnosis,
penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK.
2. Faktor Resiko Modifiable
a. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler
terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung
bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan
kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan

61
oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena
hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang
tersedia.Secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan darah
mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan
oklusi vaskuler dapat terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang
normotensi.
b. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik - pathologi pada
system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial
dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko
terjadinya Coronary Artery Diseases (CAD).
c. Dislipidemia
The National Cholesterol Education Program (NCEP) menemukan
kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit jantung koroner.
Peningkatan kadar lipoprotein LDL berhubungan dengan proses
pembentukan aterosklerosis karena LDL merupakan bahan utama
pembentukan plak aterosklerosis itu sendiri. Berikut ini faktor risiko dari
faktor lipid darah: total kolesterol plasma > 200 mg/dl, kadar LDL > 130
mg/dl, kadar trigliserid > 150 mg/dl, kadar HDL < 40 mg/dl. The
Coronary Primary Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa
penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark
miokard.
d. Overweight dan Obesitas
Overweight dan Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung
koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di negara
berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks massa tubuh
(IMT). Biasanya keadaan ini berhubungan dengan kelainan metabolik
seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan
tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus

62
tipe II. Sedangkan keadaan tersebut meningkatkan resiko terbentuknya
plak aterosklerosis yang merupakan prekusor terjadinya Myocardial
Infarction.
e. Riwayat Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner sebesar
50%. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama perokok (perokok
pasif) memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30 % dibandingkan
dengan orang yang tinggal dengan bukan perokok. Hal ini disebabkan
karena kebiasaan merokok akan mempercepat terbentuknya plak
aterosklerosis yang merupakan etiologi utama terjadinya Myocardial
Infarction.

f. Faktor psikososial
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan
sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara
konsisten meningkatkan resiko terkena aterosklerosis. Stres merangsang
sistem kardiovaskuler dengan dilepasnya catecholamine yang
meningkatkan kecepatan denyut jantung dan pada akhirnya dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah koronaria. Beberapa
ilmuwanmempercayai bahwa stress menghasilkan suatu percepatan dari
prosesatherosklerosis pada arteri koroner. Perilaku yang rentan terhadap
terjadinya penyakit koroner (kepribadian tipeA) antara lain sifat agresif,
kompetitif, kasar, sinis, keinginan untuk dipandang,keinginan untuk
mencapai sesuatu, gangguan tidur, kemarahan di jalan, dan lain-
lain.Baik ansietas maupun depresi merupakan predictor penting bagi
PJK.
g. Aktivitas Fisik
Olah raga yang teratur berkaitan dengan penurunan insiden PJK sebesar
20 – 40 %. Pada latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada sistem

63
kardiovaskuler,yaitu peningkatan curah jantung dan redistribusi aliran
darah dari organ yang kurang aktif ke organ yang aktif.
Olah raga secara teratur akan menurunkan tekanan darah sistolik,
menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadar
kolesterol dan lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein,
memperbaiki sirkulasi coroner, meningkatkan sensitivitas insulin serta
menurunkan berat badan.
h. Gaya Hidup
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang
mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang vitamin C dan E.

Patofisiologi
STEMI terjadi karena terbentuknya trombus akibat rupturnya plak
aterosklerosis yg telah ada sebelumnya. Trombus ini selanjutnya akan menjadi
sumbatan bagi aliran darah koroner, STEMI terjadi apabila sumbatan ini
bersifat total. Hal tersebut mengakibatkan penurunan aliran darah koroner
secara mendadak dan mengakibatkan otot-otot jantung yang diinervasi arteri
koroner yang tersumbat menjadi infark. Hal ini terjadi karena arteri kororner
merupakan arteri cabang terakhir yang menginervasi otot jantung sehingga
tanpa adanya aliran darah dari arteri koroner, maka otot jantung tidak
mendapatkan suplai oksigen dan nutrisi dari manapun, sehingga terjadilah
infark.
Trombus yang mengakibatkan sumbatan total dari arteri koroner ini
terbentuk mula-mula karena rupturnya plak aterosklerosis. Plak ini mudah
ruptur jika memiliki fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core).
Setelah terjadi rupture, maka akan terjadi aktivasi kaskade koagulasi serta
adhesi, aktivasi, dan agregasi platelet, proses ini akan menghasilkan produk
fibrin dan bekuan platelet yang dapat menyumbat pembuluh darah koroner
dan mengakibatkan myocardial infark( infark otot-otot jantung).

64
Trombus terbentuk dari rupturnya plak aterosklerosis, sedangkan plak
aterosklerosis ini terbentuk dari proses yang cukup panjang, dimulai dari
akumulasi lipoprotein (LDL). LDL ini akan berikatan dnegan reseptor di
permukaan endothelial sel, lalu akan mengalami internalisasi dari lumen ke
tunika intima endothelium. Lalu LDL ini mengalami oksidasi menjadi
Modified LDL. Modified LDL ini akan memacu MCP-1 sehingga
memudahkan sel monosit untuk masuk ke intima, yang nantinya akan
memacu sitokin dan menyebabkan sel inflamasi melakukan adhesi. Selain itu,
Modified LDL ini juga akan dimakan oleh makrofag dan menghasilkan sel
busa (foam cell). Foam cell ini berkembang terus menerus seiring
bertambahnya usia yang ditunjang oleh berbagai faktor resiko. Foam cellakan
berkembang menjadi Fatty streak lalu menjadi Intermediate lesion lalu
menjadi atheroma hingga menjadi fibrous plaque, jika sudah menjadi fibrous
plaque, maka akan memiliki kecenderungan untuk ruptur, karena pada jenis
plak ini memiliki fibrous cap, yaitu batas atas plak. Fibrous cap ini dapat
semakin tipis seiring terpajannya faktor resiko dan usia dan pada akhirnya
akan mudah sekali ruptur dan membentuk trombus, menjadi penyumbat, dan
menyebabkan infark myocardial sebagaimana sudah dijelaskan di atas.
Berikut gambaran terbentuknya foam cells dan plak atherosclerosis hingga
rupturnya plak aterosklerosis.
Diagnosis
Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan
angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.Presentasi angina

65
atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina
tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal
ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut
(>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis
banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah
halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi
komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut,
hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan
kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rubkarena perikarditis,
kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibatdiseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EKG. Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau
keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan
EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat.
Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam
pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia
dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada
semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat
mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di
ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan
angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan
keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left
Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang

66
persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan
atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point
dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi
segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian
besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk
diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang
elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV,
pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai
ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah
≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan
V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang
≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5
mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien
STEMIkecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien
SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
(komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat
terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk
STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan
marka jantung tersedia.
Pemeriksaan marka jantung. Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau
troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka
untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.Peningkatan
marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat
dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan
kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,
hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang

67
dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas,
penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan
insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan
informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada
keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas
yang lebih tinggi dari troponin T. Dalam keadaan nekrosis miokard,
pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal
dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam
setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas,
maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama.
Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan
kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu
paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB
lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun
infark periprosedural.
Pemeriksaan laboratorium. Data laboratorium, di samping marka
jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah
rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal,
dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.
Pemeriksaan foto polos dada. Mengingat bahwa pasien tidak
diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan,
maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat
portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding,
identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.

Penatalaksanaan
a. Tindakan Umum dan Langkah Awal
Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera
menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan

68
selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang
diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau
SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil
pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud
adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak
harus diberikan semua atau bersamaan.
1. Tirah baring
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi
O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6
jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih
cepat.
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien
STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat
reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) .
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang
setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena
diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis

69
NTG sublingual. dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat
(ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
b. Terapi reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis,
diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12
jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch
Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin
berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun
EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah
ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak
tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah
menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP.
Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan waktu
tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit
tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu
lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik
selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat
dengan fasilitas IKP.Berikut evaluasi yang harus dilakukan sebelum
menentukan jenis terapi reperfusi:
 Langkah 1
a. Nilai waktu onset serangan
b. Nilai Resiko STEMI
c. Nilai Resiko Fibrinolisis
d. Nilai waktu yang diperlukan dari transportasi kepada ahli intervensi
(kateterisasi/IKP) yang tersedia
 Langkah II

70
a. Pemilihan strategi terapi perfusi (fibrinolisis atau invasive)
1. Intervensi Koroner Perkutan Primer
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa
didahului fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif
dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan pada
beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif
dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan
memiliki outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih
baik. PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama
pada pasien < 75 tahun), resiko perdarahan meningkat, atau gejala
sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih
matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI
lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas
berdasarkan tersedianya sarana, hanya pada beberapa rumah sakit.

2. Terapi Fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama
pada tempattempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien
STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik
direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada
pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak
medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak
awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah,
fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis
pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus
dimulai pada ruang gawat darurat. Sebelum dilakukan tindakan
fibrinolisi, pasien harus dilakukan pemeriksaan ada tidaknya
kontraindikasi fibrinolysis dan menilai resikonya dengan ceklis

71
fibrinolitik. Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien
STEMI yang diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila
dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari.
Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan
heparin tidak terfraksi) .
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai
berat badan dan infus selama 3 hari .
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks
intravena secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam
kemudian.

Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA:
a. Klasifikasi Killip: berdasarkan pemeriksaan fisik bedsite sederhana: S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik
b. Klasifikasi Forrester: berdasarkan monitoring hemodinamik indeks
jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
c. TIMI Risk Score: adalah sistem prognostic paling akhir yang
menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai
pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.

4. “Plan”:
Diagnosis:
STEMI Inferior/K1/onset <12 jam
Pengobatan:
 Konsul ke dokter spesialis jantung dan pembuluh darah :
o O2 4 lpm k/p
o IVFD NaCl 0,9% 8 tpm

72
o Aspilet 1x80 mg
o Plavix (Clopidogrel) 1x75 mg
o Simvastatin 0-0-20 mg
o Laxadin 3x10 CC
o Diazepam 3 x 5 mg
o SA 0,5 mg IV
o ISDN 5 mg SL  di ulang 3x jika masih nyeri
o Lovenox 2x0,4 CC SC
o Reff PJT Pro PPCI  jika menolak (krn alasan biaya) 
rawat HCU dengan terapi konservatif

Pendidikan:
 Edukasi mengenai penyakit yang dialami pasien bahwa kondisi pasien
merupakan keadaan gawat darurat dan harus segera mendapat
penanganan. Keadaan ini disebabkan karena adanya sumbatan pada
pembuluh darah jantung sehingga menyebabkan terganggunya aliran
darah ke area jantung dan menyebabkan kerusakan pada area jantung
tersebut.
 Edukasi mengenai tindakan yang harus segera dilakukan beserta resiko
yang dapat ditimbulkan akibat tindakan tersebut.
 Edukasi mengenai perawatan lanjutan dan prognosis pasien.

Konsultasi: Pasien dikonsultasikan kepada dokter spesialis penyakit jantung


dan pembuluh darah untuk penanganan lebih lanjut.
Kegiatan Periode Hasil yang diharapkan

Pemantauan Selama Vital sign stabil, keluhan membaik.


gejala klinis, perawatan
vital sign,

73
keluhan
Nasihat Setiap kali Menasihati pasien dan keluarga pasien untuk
kunjungan rutin melakukan pengobatan.

74
Borang Portofolio II

Nama peserta : dr. Ni Putu Ayu Luih Adnyani, S.Ked


Nama wahana: RS Ari Canti, Gianyar, Bali
Topik : Kejang Demam Komplek
Tanggal (kasus) : 15 Mei 2019
Nama pasien : An. WKM No. RM: 20.04.11
Tanggal presentasi : (-) Pendamping: dr. I Made Gunawan
dr. Ni Made Ariani, MM
Tempat presentasi : (-)
Objektif presentasi : mendiagnosis, memberikan tatalaksana awal dan merujuk
kepada dokter spesialis yang tepat untuk Kejang Demam Komplek
Keilmuan Keterampilan Penyegaran TinjauanPustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia
Deskripsi: Pasien kejang kurang lebih selama 15 menit di rumah, kejang 1 kali.
Sesampai di IGD pasien kejang kembali kurang lebih 10 menit. Saat kejang pasien
melihat ke atas, kemudian di ikuti dengan tangan dan kaki lurus serta mulut kaku
seperti menggigit, setelah kejang pasien menangis. Pasien dikeluhkan demam yang
naik turun sejak 2 hari dan juga pilek. BAB dan BAK normal. Nafsu makan di
katakan berkurang. Pasien riwayat diberikan obat penurun panas yang didapat dari
bidan.

Tujuan: dapat mendiagnosis, memberikan tatalaksana awal dan merujuk kepada


dokter spesialis pada pasien kejang demam komplek.
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
bahasan: pustaka
Cara Diskusi Presentasi Email Pos
membahas: dan diskusi

75
Data pasien: Nama: An.WKM Nomor registrasi: 20.04.11
Terdaftar sejak: 15 Mei 2019
Data utama untuk bahan diskusi:
7. Diagnosis / gambaran klinis: Kejang Demam Komplek
8. Riwayat pengobatan: Parasetamol sirup 3 x 1 sendok teh
Obat telah diminum sejak 2 hari yang lalu.

9. Riwayat kesehatan/penyakit: penyakit yang sama (-), asma (-), alergi (-),
menelan / memasukkan benda asing ke mulut / hidung (-), kelainan bawaan
dari lahir (-)
10. Riwayat keluarga: penyakit yang sama (-), asma (-), alergi (-)
11. Riwayat kehamilan dan prenatal:ibu pasien tidak ada keluhan selama
kehamilan
12. Riwayat kelahiran: pasien lahir di rumah sakit dengan berat badan lahir 2700
gram panjang 50 cm, lahir spontan, langsung menangis kuat segera setelah
lahir dengan usia kehamilan 38 minggu.
13. Riwayat imunisasi: ibu pasien mengakui bahwa imunisasinya lengkap dan
dilakukan di bidan, namun tidak mengingat jumlah untuk masing-masing
imunisasi.
14. Riwayat perkembangan:
a. Motorik kasar: pasien dapat duduk sejak usia 5-6 bulan
b. Motorik halus: pasien memegang benda pada usia 3 bulan
c. Bahasa: pasien mulai mengeluarkan kata-kata sejak usia 8 bulan
Kesan: perkembangan sesuai usia
15. Riwayat makan minum anak : Pasien senang makan makanan ringan, nafsu
makan kurang. ASI (+) sejak lahir – usia 6 bulan. Susu formula (+) sejak usia
6 bulan keatas. MPASI (+) sejak usia 7 bulan
16. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (rumah, lingkungan, pekerjaan): rumah
pasien memiliki ventilasi yang baik.

76
17. Lain-lain (Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan Laboratorium, tambahan lain):
Terlampir.
Daftar Pustaka: (memakai sistem Vancouver)
1. Pusponegoro HD, Widodo DP, Sofyan I. Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta. 2006 : 1 – 14.
2. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol.
3, Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 –
2060
3. Febrile Seizures: Causes, Symptoms, Diagnosis and Treatment. Diunduh pada
tanggal 12 Desember 2017. Didapatkan dari:
www.medicinenet.com/febrile_seizures/article.htm
Hasil pembelajaran:
5. Diagnosis kejang demam komplek
6. Tatalaksana awal kejang demam komplek
7. Merujuk kepada dokter spesialis yang tepat
8. Edukasi pasien atau keluarga pasien mengenai penyakitnya

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:


5. Subyektif:
Pasien kejang kurang lebih selama 15 menit di rumah, kejang 1 kali. Sesampai
di IGD pasien kejang kembali kurang lebih 10 menit. Saat kejang pasien
melihat ke atas, dan di ikuti dengan tangan dan kaki lurus serta mulut kaku
seperti menggigit, setelah kejang pasien menangis. Pasien dikeluhkan demam
yang naik turun sejak 2 hari dan juga pilek. BAB dan BAK normal. Nafsu
makan di katakan berkurang. Pasien riwayat diberikan obat penurun panas
yang didapat dari bidan. Objektif:
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Berat badan: 15 kg

77
Tanda-tanda vital:
 TD: -
 HR: 118x/menit
 RR: 26 x/menit
 Suhu: 39,3o C
PemeriksaanFisik
 Mata: konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
 THT: faring dan tonsil tidak dapat dievaluasi karena pasien tidak
kooperatif, stridor (-)

 Thorax:
o Paru:
 Inspeksi: gerakan napas simetris, retraksi dinding dada
(-), ictus cordis tidak nampak
 Auskultasi: Bronchovesiculer +/+, ronki -/-,
wheezing -/-
o Jantung: bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen:
o Inspeksi: distensi (-)
o Auskultasi: Bising usus (+) N
o Palpasi: nyeri tekan (-)
 Ekstremitas: hangat pada seluruh ekstremitas, edema tidak ditemukan.
STATUS NEUROLOGIS
Tanda Rangsang meningeal : kaku kuduk (-), burdzinski I (-), burdzinski II (-
), kernique (-), laseque (-)
Refleks Patologis : babinski (-)
Openheim (-)
Refleks fisiologis : refleks biseps +/+
Refleks triseps +/+
78
Refleks patella +/+
Refleks achilles +/+

Pemeriksaan darah lengkap


Parameter Nilai Satuan Nilai Normal Interpretasi

WBC 15,5 109/L 6,0-14,0 Tinggi

HGB 14,5 g/dL 12,0-16,0 Normal

HCT 41,0 % 36,0-49,0 Normal

PLT 250 109/L 140,0-440,0 Normal

Pemeriksaan Elektrolit dan Gula Darah


Parameter Nilai Satuan Nilai Normal Interpretasi

Elektrolit

Kalium 2,59 mmol/L 3,50-5,10 Rendah

Natrium 135,8 mmol/L 136,0-145,0 Rendah

Chlorida 106,8 mmol/L 94,0-110,0 Normal

GDS 110 mg/dL 60-100 Tinggi

79
Hasil anamnesis, gejala, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah menunjang
untuk diagnosis kejang demam komplek. Pada kasus ini diagnosis ditegakkan
berdasarkan:
 Gejala klinis : pasien mengalami kejang saat demam sebanyak 2x dalam
waktu 24 jam, dengan durasi 15 menit. Kejang bersifat local kemudian
umum. Selama kejang pasien tidak sadar dan setelahnya pasien menangis.
 Pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik : ditemukan peningkatan
suhu dan dari pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pemeriksaan
neurologis dalam batas normal sehingga dapat menyingkirkan penyebab
kejang berasal dari intrakranial.
 Pemeriksaan laboratorium diperoleh hasil peningkatan sel darah putih
yang menunjukkan adanya infeksi yang dapat berasal dari infeksi saluran
pernapasan karena pasien mengalami pilek.

6. “Assessment” (penalaran klinis):


Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering
dijumpai di bidang neurologi khususnya anak. Kejang selalu merupakan
peristiwa yang menakutkan bagi orang tua, sehingga bagi dokter kita wajib
mengatasi kejang demam dengan tepat dan cepat. Kejang demam pada
umumnya dianggap tidak berbahaya dan sering tidak menimbulkan gejala
sisa; akan tetapi bila kejang berlangsung lama sehingga menimbulkan
hipoksia pada jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP), dapat menyebabkan
adanya gejala sisa di kemudian hari.
Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata
laksana kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru
pertama kali terjadi atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa
kali dan waktu anak berumur berapa . Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah
kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal. Ditanya pula lama serangan,
kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain yang menyertai

80
diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau
kemunduran kepandaian. Pada neonatus perlu diteliti riwayat kehamilan ibu
serta kelahiran bayi.

Definisi
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling
sering dijumpai pada anak yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang
disebabkan oleh kelainan ekstrakranial. Derajat tinggi suhu yang dianggap
cukup untuk diagnosa kejang demam adalah 38 derajat celcius di atas suhu
rektal atau lebih. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam.
Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan
kejang berulang tanpa demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa
demam kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam.

Epidemiologi
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6
bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun
pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada
laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita
didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. Jumlah
penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2 – 4% dari jumlah penduduk
di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan
penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% di antara jumlah penderita mengalami
kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat
jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang anak
laki-laki.

81
Etiologi
Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum
diketahui, akan tetapi umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat
mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor hereditas juga mempunyai peran
yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang demam mempunyai orang tua
dengan riwayat kejang demam pada masa kecilnya. Semua jenis infeksi
bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat
menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan
kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas terutama tonsillitis dan
faringitis, otitis media akut(cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan
merembes ke saraf di kepala pada otak akan menyebabkan kejang demam),
gastroenteritis akut, exantema subitum dan infeksi saluran kemih. Selain itu,
imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) juga dapat menyebabkan
kejang demam.

Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi
dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan
normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+)
dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali
ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi
dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
- Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular

82
- Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya
- Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat
20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu
kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion
natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang
demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya
aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat.

Klasifikasi
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, membagi kejang demam menjadi dua
yaitu :
1. Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut) :
- Berlangsung singkat
- Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
- Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam waktu 24 jam
2. Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut) :

83
- Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
dengan kejang parsial
- Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di
antara bangkitan kejang.

Diagnosis
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan dengan menyingkirkan
penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi
susunan saraf pusat, perubahan akut pada keseimbangan homeostasis, air dan
elektrolit dan adanya lesi struktural pada system saraf, misalnya epilepsi.
Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.
1. Anamnesis
- waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan
kejang
- sifat kejang (fokal atau umum)
- Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
- Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
- Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan,
menetap atau naik turun)
- Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA,
OMA, GE)
- Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak
disertai demam atau epilepsi)
- Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
- Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
- Trauma kepala

84
2. Pemeriksaan fisik
- Tanda vital terutama suhu
- Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang
berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan
adanya kelainan struktur otak.
- Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan
hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil
terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid
mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
- Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala
berlebihan yang disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang
tegang dan membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan
intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau
subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari
luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang
disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
- Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan
kraniofasial yang mungkin disertai gangguan perkembangan kortex
serebri.
- Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan
cairan subdural atau kelainan bawaan seperti parensefali atau
hidrosefalus.
- Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya
demam (ISPA, OMA, GE)
- Pemeriksaan refleks patologis
- Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
3. Pemeriksaan laboratorium
- Darah tepi lengkap

85
- Elektrolit, glukosa darah. Diare, muntah, hal lain yang dapat
mengganggu keseimbangan elektrolit atau gula darah.
- Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal untuk mendeteksi gangguan
metabolisme
- Kadar TNF alfa, IL-1 alfa & IL-6 pada CSS, jika meningkat dapat
dicurigai Ensefalitis akut / Ensefalopati.
4. Pemeriksaan penunjang
- Lumbal Pungsi jika dicurigai adanya meningitis, umur kurang dari 12
bulan sangat dianjurkan, dan umur di antara 12-18 bulan dianjurkan.
- EEG, tidak dapat mengidentifikasi kelainan yang spesifik maupun
memprediksi terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat
dipertimbangkan pada KDK. Tetapi beberapa ahli berpendapat EEG
tidak sensitif pada anak < 3 tahun.
- CT-scan atau MRI hanya dilakukan jika ada indikasi, misalnya:
kelainan neurologi fokal yang menetap (hemiparesis) atau terdapat
tanda peningkatan tekanan intrakranial.

Diagnosis Banding
- Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus
dipikirkan apakah penyebab kejang itu di dalam atau diluar susunan saraf
pusat. Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya
meningitis, ensefalitis, abses otak, dan lain-lain.oleh sebab itu perlu
waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak.
- Menegakkan diagnosa meningitis tidak selalu mudah terutama pada bayi
dan anak yang masih muda. Pada kelompok ini gejala meningitis sering
tidak khas dan gangguan neurologisnya kurang nyata. Oleh karena itu agar
tidak terjadi kekhilafan yang berakibat fatal dapat dilakukan pemeriksaan
cairan serebrospinal yang umumnya diambil melalui pungsi lumbal. Baru

86
setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang
demam atau epilepsi yang dprovokasi oleh demam.
No Kriteria Banding Kejang Epilepsi Meningitis
Demam Ensefalitis
1. Kejang Pencetusnya Tidak berkaitan Salah satu
demam dengan demam gejalanya demam
2. Kelainan Otak (-) (+) (+)
3. Kejang berulang (+) (+) (+)
4. Penurunan kesadaran (+) (-) (+)
-

Penatalaksanaan
Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu
dikerjakan, yaitu :
1. Mengatasi kejang secepat mungkin
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu datang,
kejang sudah berhenti. Apabila pasien datang dalam keadaan kejang, obat
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
secara intravena dengan dosis 0,3-0,5 mm/kgBB perlahan-lahan dengan
kecepatan 1-2mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit. Obat yang praktis
dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah atau yang sering digunakan di
rumah sakit adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-
0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan
kurang dari 10 kg, dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10kg. atau
diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak di bawah usia 3 tahun atau
7,5 mg mg untuk anak diatas usia 3 tahun.
Jika kejang masih berlanjut :
1. Pemberian diazepam 0,2 mg/kgBB per infus diulangi. Jika belum
terpasang selang infus, 0,5 mg/kg per rektal
2. Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
87
Jika kejang masih berlanjut :
1. Pemberian fenobarbital 20-30 mg/kgBB per infus dalam 30 menit
2. Pemberian fenitoin 10-20mg/kgBB per infus dalam 30 menit dengan
kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50mg/menit.
Jika kejang masih berlanjut, diperlukan penanganan lebih lanjut di ruang
perawatan intensif dengan thiopentone dan alat bantu pernapasan. Bila
kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.
2. Pengobatan penunjang
Pengobatan penunjang dapat dilakukan dengan memonitor jalan nafas,
pernafasan, sirkulasi dan memberikan pengobatan yang sesuai. Sebaiknya
semua pakaian ketat dibuka, posisi kepala dimiringkan untuk mencegah
aspirasi lambung. Penting sekali mengusahakan jalan nafas yang bebas
agar oksigenasi terjamin, kalau perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi.
Pengisapan lender dilakukan secara teratur dan pengobatan ditambah
dengan pemberian oksigen. Cairan intavena sebaiknya diberikan dan
dimonitor sekiranya terdapat kelainan metabolik atau elektrolit. Fungsi
vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi jantung
diawasi secara ketat.
Pada demam, pembuluh darah besar akan mengalami vasodilatasi,
manakala pembuluh darah perifer akan mengalami vasokontrisksi.
Kompres es dan alkohol tidak lagi digunakan karena pembuluh darah
perifer bisa mengalami vasokontriksi yang berlebihan sehingga
menyebabkan proses penguapan panas dari tubuh pasien menjadi lebih
terganggu. Kompres hangat juga tidak digunakan karena walaupun bisa
menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah perifer, tetapi sepanjang
waktu anak dikompres, anak menjadi tidak selesa karena dirasakan tubuh
menjadi semakin panas, anak menjadi semakin rewel dan gelisah.
Menurut penelitian, apabila suhu penderita tinggi (hiperpireksi), diberikan

88
kompres air biasa. Dengan ini, proses penguapan bisa terjadi dan suhu
tubuh akan menurun perlahan-lahan. Tidak ditemukan bukti bahwa
penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam,
namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat
diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15
mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis
ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari.

3. Memberikan pengobatan rumatan


Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumat dengan cara
mengirim penderita ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan lebih
lanjut. Kejang demam kompleks merupakan salah satu indikasi seorang
pasien untuk dirawat di rumah sakit selain adanya hiperpireksia, pasien <
6 bulan, kejang demam yang pertama kali, dan terdapat kelainan
neurologis. Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu:
 Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari, penderita
kejang demam diberikan obat campuran anti konvulsan dan
antipiretika yang harus diberikan kepada anak selama episode demam.
Antipiretik yang diberikan adalah paracetamol dengan dosis 10-
15mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari atau ibuprofen dengan dosis 5-
10mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Antikonvulsan yang ampuh dan banyak
dipergunakan untuk mencegah terulangnya kejang demam ialah
diazepam, baik diberikan secara rectal dengan dosis 5 mg pada anak
dengan berat di bawah 10kg dan 10 mg pada anak dengan berat di atas
10kg, maupun oral dengan dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat
tubuh ≥ 38,50C. Profilaksis intermitten ini sebaiknya diberikan sampai
kemungkinan anak untuk menderita kejang demam sedehana sangat
kecil yaitu sampai sekitar umur 4 tahun. Fenobarbital, karbamazepin

89
dan fenition pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang
demam.
 Profilaksis jangka panjang
Profilaksis jangka panjang gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis
teurapetik yang stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk
mencegah terulangnya kejang di kemudian hari. Pengobatan jangka
panjang dapat dipertimbangan jika terjadi hal berikut:
1. Kejang demam ≥ 2 kali dalam 24 jam
2. Kejang demam terjadi pada umur < 12 bulan
3. Kejang demam ≥ 4 kali per tahun
Obat yang dipakai untuk profilaksis jangka panjang ialah:
1). Fenobarbital
Dosis 4-5 mg/kgBB/hari. Efek samping dari pemakaian
fenobarbital jangka panjang ialah perubahan sifat anak menjadi
hiperaktif, perubahan siklus tidur dan kadang-kadang gangguan
kognitif atau fungsi luhur.
2). Sodium valproat / asam valproat
Dosisnya ialah 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama
1-2 tahun dan dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Efek
samping yang dapat terjadi adalah gejala toksik berupa rasa mual,
kerusakan hepar, pankreatitis.
3). Fenitoin
Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan
gangguan sifat berupa hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital.
Hasilnya tidak atau kurang memuaskan. Pemberian antikonvulsan
pada profilaksis jangka panjang ini dilanjutkan sekurang-
kurangnya 3 tahun seperti mengobati epilepsi. Menghentikan
pemberian antikonvulsi kelak harus perlahan-lahan dengan jalan
mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan.

90
4. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun kompleks biasanya
infeksi traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian
antibiotik yang tepat dan kuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut.
Secara akademis pada anak dengan kejang demam yang datang untuk
pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal. Hal ini
perlu untuk menyingkirkan faktor infeksi di dalam otak misalnya
meningitis. Apabila menghadapi penderita dengan kejang lama,
pemeriksaan yang intensif perlu dilakukan, yaitu pemeriksaan pungsi
lumbal, darah lengkap, misalnya gula darah, kalium, magnesium, kalsium,
natrium, nitrogen, dan faal hati.

7. “Plan”:
Diagnosis: Kejang Demam Komplek
Pengobatan:
 Stesolid supp 10 mg
 Proris supp 125 mg
 O2 nasal kanul 2 lpm
 Konsul kedokter spesialis anak
o IVFD Tridex 27 B 12 tpm
o Paracetamol infus 4 x 15 cc
o Cefixime syr 3 x ¾ cth
o Stesolid syr 3 x cth II

Pendidikan:
 Edukasi orang tua mengenai penyakitnya bahwa kejang yang dialami
pasien diakibatkan karena suhu tubuh yang terlalu tinggi. Peningkatan
suhu tubuh ini dapat disebabkan karena infeksi saluran pernapasan
yang dialami pasien.

91
 Edukasi mengenai penanganan pasien, dimana saat kejang sudah
teratasi yaitu melakukan penanganan terhadap faktor penyebab kejang
tersebut.
 Edukasi mengenai prognosis, dimana pada kejang demam sederhana
memiliki prognosis yang baik dengan penanganan yang cepat dan
tepat.
 Edukasi kepada orang tua mengenai bagaimana penanganan bila
terjadi kejang demam di rumah karena kejang demam dapat berulang
lagi.

Konsultasi:Pasien dikonsultasikan kepada dokter spesialis penyakit anak untuk


penanganan lebih lanjut.
Kegiatan Periode Hasil yang diharapkan

Pemantauan Selama Tidak terjadi kejang berulang


adanya perawatan
kejang
berulang
Nasihat Setiap kali Menasihati orang tua pasien untuk tidak panic
kunjungan dan segera ke fasilitas kesehatan terdekat jika
terjadi keluhan yang serupa

92
Borang Portofolio III

Nama peserta : dr. Ni Putu Ayu Luih Adnyani, S.Ked


Nama wahana: RS Ari Canti, Gianyar, Bali
Topik : Chronic Kidney Disease (CKD)
Tanggal (kasus) : 16 Juli 2019
Nama pasien : An. MPT No. RM: 22.15.32
Tanggal presentasi : (-) Pendamping: dr. I Made Gunawan
dr. Ni Made Ariani, MM
Tempat presentasi : (-)
Objektif presentasi : mendiagnosis, memberikan tatalaksana awal dan merujuk
kepada dokter spesialis yang tepat untuk CKD
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia
Deskripsi: Pasien datang dengan keluhan mual muntah dan lemas sejak + 5 hari yang
lalu. Frekuensi muntah >10x per hari, muntah berisikan sisa makanan. Makan minum
menurun sejak keluhan muncul. Pasien sempat berobat ke puskesmas dan sudah
ditangani dengan pemberian RL loading 1 flash dan Ondansentron IV 1 amp. Pasien
memiliki riwayat HT dan DM tidak terkontrol.
Tujuan: dapat mendiagnosis, memberikan tatalaksana awal dan merujuk kepada
dokter spesialis pada pasien CKD
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
bahasan: pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan Email Pos
membahas: diskusi
Data pasien: Nama: An. MPT Nomor registrasi: 22.15.32
Terdaftar sejak: 16 Juli
2019
93
Data utama untuk bahan diskusi:
18. Diagnosis / gambaran klinis: Chronic Kidney Disease (CKD)
19. Riwayat pengobatan: (-)
20. Riwayat kesehatan/penyakit: penyakit yang sama (+), hipertensi (+), DM (+)
tidak terkontrol
21. Riwayat keluarga: penyakit yang sama (-), hipertensi (-), asma (-), alergi (-)
22. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (rumah, lingkungan, pekerjaan): rumah
pasien memiliki lingkungan yang bersih, pasien sudah tidak bekerja.
23. Lain-lain (Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan Laboratorium, tambahan lain):
terlampir
Daftar Pustaka:
5. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
2009:1035-1040.
6. Skorecki, K. et al. Chronic Renal Failure : Harrison’s Principles of Internal
Medicine 16th Edition page 1653. The McGraw – Hill Companies, 2005.
Hasil pembelajaran:
9. Diagnosis Chronic Kidney Disease (CKD)
10. Tatalaksana awal Chronic Kidney Disease (CKD)
11. Merujuk kepada dokter spesialis yang tepat
12. Edukasi pasien mengenai penyakitnya

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:


8. Subyektif:
Deskripsi: Pasien datang dengan keluhan mual muntah dan lemas sejak + 5
hari yang lalu. Frekuensi muntah >10x per hari, muntah berisikan sisa
makanan. Makan minum menurun sejak keluhan muncul. Pasien sempat
berobat ke puskesmas dan sudah ditangani dengan pemberian RL loading 1

94
flash dan Ondansentron IV 1 amp. Pasien memiliki riwayat HT dan DM tidak
terkontrol.

9. Objektif:
Keadaan umum: tampak sakit sedang
GCS : E4V5M6
Tanda-tanda vital:
 TD: 140/90 mmHg
 HR: 115x/menit
 RR: 28 x/menit
 Suhu: 36,7o C
Pemeriksaan Fisik
 Mata: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
 THT : faring dan tonsil dalam batas normal
 Thorax:
o Paru:
 Inspeksi: pernapasan kussmaul, gerakan napas simetris
 Auskultasi: vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing-/-
o Jantung: bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen:
o Inspeksi: distensi (-)
o Auskultasi: Bising usus (+) N
o Palpasi: nyeri tekan(-)
 Ekstremitas: hangat pada seluruh ekstremitas, edema (-)

Pemeriksaan Darah Lengkap


Parameter Nilai Satuan Nilai Normal Interpretasi

95
WBC 24,8 109/L 4,1-11,0 Tinggi

HGB 11,4 g/dL 13,5-17,5 Rendah

HCT 33,6 % 41,0-53,0 Rendah

PLT 257 109/L 150,0-440,0 Normal

Pemeriksaan Kimia Darah


Parameter Nilai Satuan Nilai Normal Interpretasi

ELEKTROLIT

Kalium 9,4 mmol/l 3,50-5,10 Tinggi

Natrium 126,8 mmol/l 136,0-145,0 Rendah

Chlorida 108,7 mmol/l 94,0-110,0 Normal

DIABETES

GDS 223 mg/dL 70-140 Tinggi

GINJAL

BUN 116,26 mg/dL 8,00-23,00 Tinggi

SC 14,56 mg/dL 0,70-1,20 Tinggi

HATI

SGOT 14 U/L 11-33 Normal

SGPT 22 U/L 11-50 Normal

96
Hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium menunjang untuk
diagnosis Chronic Kidney Disease (CKD. Pada kasus ini diagnosis
ditegakkan berdasarkan:
 Anamnesis : riwayat diabetes mellitus tidak terkontrol dan batu ginjal.
 Gejala klinis : mual, muntah dan lemas menunjukkan gejala sindrom
uremia
 Pemeriksaan fisik ditemukan pernapasan kussmaul disebabkan oleh
kompensasi pernapasan pada asidosis metabolik yang sering terjadi pada
pasien diabetes mellitus.
 Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan sel darah
putih, glukosa darah tinggi, serta peningkatan BUN SC.

10. “Assessment” (penalaran klinis):


Chronic kidney disease (CKD) merupakan istilah yang dipakai untuk
menjelaskan beberapa spektrum proses patofisiologis yang berhubungan
dengan fungsi ginjal yang abnormal dan penurunan dari glomerular filtration
rate (GFR) yang progresif. CKD dipengaruhi oleh banyak faktor resiko
dengan patofisiologi yang masih belum dimengerti secara sempurna.
Beberapa faktor risiko untuk terjadinya PGK adalah umur diatas 60
tahun, diabetes melitus, hipertensi atau penyakit kardiovaskular, adanya
riwayat keluarga menderita sakit ginjal, infeksi saluran kemih yang berulang,
penggunaan obat yang berulang (NSAID, antibiotik, zat kontras), dan kontak
dengan bahan kimia yang berulang.
Definisi
CKD adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama tiga bulan atau lebih,
berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan
pada pemeriksaan urinalisis, dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG)
ataupun tidak. Selain itu definisi ini juga memperhatikan derajat fungsi ginjal
atau LFG, seperti dibawah ini

97
Kriteria

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural
atau fungsional dengan atau tanpa penurunan LFG, dengan manifestasi:
- kelainan patologis
- terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
2. LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.

Epidemiologi
Insiden dan prevalensi CKD semakin meningkat dan sudah merupakan
masalah kesehatan global. Pada sembilan orang Amerika Serikat satu
diantaranya, yaitu sekitar 20 juta orang dapat mengidap penyakit ginjal dan
sebagian besar tidak menyadari hal ini. Data dari beberapa pusat penelitian
yang tersebar di seluruh Indonesia melaporkan bahwa penyebab gagal ginjal
terminal yang menjalani dialisis oleh penyakit ginjal diabetik adalah 19,9%,
sedangkan penyebab yang lain meliputi glomerulonefritis (36,4%), penyakit
ginjal obstruksi dan infeksi (24,4%), hipertensi (9,1%), sebab lain (5,2%),
penyebab yang tidak diketahui (3,8%) dan penyakit ginjal polikistik (1,2%).

Etiologi
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes melitus 18,65%
Obstruksi dan infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%

98
Klasifikasi
Pada individu dengan CKD, klasifikasi ditentukan atas dua hal yaitu atas
dasar derajat penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar
derajat penyakit, dibuat atas dasar GFR, yaitu stadium yang lebih tinggi
menunjukkan nilai GFR yang lebih rendah, yang dihitung dengan
menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
(140 – umur) x berat badan
GFR (ml/menit/1,73m2) = *)
72 x kreatinin plasma (mg/dL)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi tersebut tampak dalam tabel berikut.
Klasifikasi CKD atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan GFR
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal / ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ mildly 60 – 89
3A Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ mildly to 45 – 59
moderately 30 – 44
3B Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ moderately 15 – 29
to severely < 15 atau
4 Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ severely dialisis
5 Gagal ginjal

Patofisiologi
Mekanisme terjadinya CKD meliputi dua mekanisme utama: (1)
mekanisme spesifik terkait etiologi (kompleks imun dan mediator inflamasi
pada tipe glomerulonefritis tipe tertentu, (2) mekanisme progresif, yang
melibatkan hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang masih bisa bertahan, yang
merupakan konsekuensi dari pengurangan masa ginjal, apapun penyebabnya.
Dalam menghadapi cedera, ginjal memiliki kemampuan untuk

99
mempertahankan GFR. Meskipun kerusakan nefron terjadi secara progresif,
GFR dipertahankan dengan hiperfiltrasi dan kompensasi hipertropi nefron
sehat yang tersisa. Kerusakan massa ginjal dengan sklerosis ireversibel dan
hilangnya nefron akan mengarah ke penurunan GFR.
Penyakit yang mendasari merupakan suatu patofisiologi CKD, tetapi
dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF β).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas
CKD adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Pada CKD fungsi ginjal menurun, produk akhir metabolisme protein
yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah sehingga
akan terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah
glomeruli yang normal menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya GFR mengakibatkan
penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini
menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan
anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi

100
kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak
mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama
pada neurosensori. Blood Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat.
Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau
diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan
elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung
kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan
suplai oksigen dengan kebutuhan. Tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi
edema dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume cairan
dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor keseimbangan cairannya.
Menurunnya fungsi renal secara terus-menerus dapat mengakibatkan
terjadinya asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam
(H+) yang berlebihan. Penurunan produksi eritropoetin yang mengakibatkan
terjadinya anemia, sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya
kelemahan dan kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap
aktifitas.
Menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan
kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar
kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon (PTH) dari kelenjar
paratiroid. Pada pasien CKD stadium lanjut kemampuan PTH untuk
mobilisasi garam kalsium dari tulang akan terganggu. Produksi PTH yang
berlebihan menyebabkan gangguan metabolisme vitamin D dan kehilangan
yang berlebihan melalui tinja dan semuanya ini merupakan faktor pencetus
terjadinya osteodistrofi renal. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan
gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi
protein dalam urin, dan adanya hipertensi.

Diagnosis
Gambaran Klinis

101
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya.
2. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
3. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida).
Gambaran laboratorium CKD meliputi:
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum dan penurunan GFR yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault.
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria.
Pemeriksaan radiologis CKD meliputi:
1. Foto polos abdomen bisa tampak batu radio-opak.
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
3. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi.
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

102
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih normal, dimana diagnosis secara noninvasif
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatoplogi ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil
terapi yang telah diberikan. Kontraindikasi biopsi ginjal adalah pada ukuran
ginjal yang sudah mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CKD atas dasar derajat GFR

Derajat GFR Rencana Tatalaksana


(ml/min/1,73m2)

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi


perburukan fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskular

2 60-89 Menghambat perburukan fungsi ginjal

3a 45-59 Evaluasi dan terapi komplikasi

3b 15-29 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

103
5 <15 Terapi pengganti ginjal

Prognosis
Mortality rate untuk pasien yang menjalani dialisis adalah sebesar 20%.
Apalagi jika disertai dengan gangguan kardiovaskular, mortality rate dapat
meningkat 30%.

11. “Plan”:
Diagnosis:
 CKD stage V
 Diabetes Mellitus tipe II
 Hipertensi stage I
 Susp Asidosis Metabolik Berat
 Hiperkalemia

Pengobatan:
 Konsul ke dokter spesialis penyakit dalam :
o Rawat ICU
o IVFD RL 30 tpm
o HD Cito
o Injeksi Ca Glukonas 1 amp
o Inj Novorapid 6 unit bolus  cek BS 1 jam kemudian
o Amlodipin 1x5 mg
o Ondansentron inj K/P

Pendidikan:
 Edukasi mengenai penyakit yang dialami pasien bahwa gangguan
ginjal yang dialami pasien sudah sangat parah dan menimbulkan
komplikasi. Hal ini dapat terjadi karena pasien tidak rutin berobat dari
104
penyakit yang diderita pasien sebelumnya yaitu diabetes mellitus yang
tidak terkontrol dan adanya batu ginjal.
 Edukasi mengenai tindakan yang harus segera dilakukan. Karena
keluarga pasien menolak untuk dirujuk ke rumah sakit yang lebih
besar maka pasien dan keluarga pasien harus siap terhadap segala
resiko yang mungkin terjadi dalam perkembangan kondisi pasien.
Pasien harus dilakukan hemodialisa segera dan akan dirawat di ruang
intensif untuk dapat memonitor lebih ketat kondisi perkembangan
pasien.
 Edukasi mengenai perawatan lanjutan dan prognosis pasien.

Konsultasi: Pasien dikonsultasikan kepada dokter spesialis penyakit dalam


untuk penanganan lebih lanjut.
Kegiatan Periode Hasil yang diharapkan

Pemantauan Selama Vital sign stabil, keluhan membaik, dan gula


vital sign, perawatan darah dapat terkontrol
keluhan dan
gula darah
Nasihat Setiap kali Menasihati pasien dan keluarga pasien untuk
kunjungan rutin melakukan pengobatan. Karena penyakit
yang dialami pasien merupakan penyakit kronis
dan akan memerlukan pengobatan seumur hidup.

105
Borang Portofolio IV

Nama peserta : dr. Ni Putu Ayu Luih Adnyani, S.Ked


Nama wahana: RS Ari Canti, Gianyar, Bali
Topik : Selulitis
Tanggal (kasus) : 19 Juli 2019
Nama pasien : An. GK No. RM: 01.32.43
Tanggal presentasi : (-) Pendamping: dr. I Made Gunawan
dr. Ni Made Ariani, MM
Tempat presentasi : (-)
Objektif presentasi : Mendiagnosis dan memberikan tatalaksana awal dan merujuk
secara tepat untuk kasus Selulitis
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia
Deskripsi: Anak berusia 8 tahun dating ke IGD RS Ari Canti diantar oleh orang
tuanya dengan keluhan demam dari 1 hari yang lalu dannyeri pada paha kanan dari
kemarin. Dari heteroanamnesis ibu pasien mengatakan sebelum timbul nyeri, terdapat
luka dibagian paha kanan setelah terbentur kayu. Paha kanan pasien juga nampak
kemerahan disekeliling luka dan jika di raba terasa lebih hangat. Pasien belum
pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Tujuan: Dapat mendiagnosis, memberikan tatalaksana awal, dan merujuk pasien
selulitis
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
bahasan: pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan Email Pos
membahas: diskusi
Data pasien: Nama: An. GK Nomor registrasi: 01.32.43
Terdaftar sejak: 19 Juli
106
2019
Data utama untuk bahan diskusi:
24. Diagnosis / gambaran klinis: Selulitis
25. Riwayat pengobatan: (-)
26. Riwayat kesehatan/penyakit: penyakit yang sama (-), hipertensi (-), DM (-)
tidak terkontrol
27. Riwayat keluarga: penyakit yang sama (-), hipertensi (-), asma (-), alergi (-)
28. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (rumah, lingkungan, pekerjaan): rumah
pasien memiliki lingkungan yang bersih, pasien sudah tidak bekerja.
29. Lain-lain (Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan Laboratorium, tambahan lain):
terlampir
Daftar Pustaka:
1. Mitaart A. 2014.JurnalBiomedik (JBM): SelulitisdenganUlkusVarikosum. (6)hlm.
60-643
2. Yarbrough PM, Kukhareva PV, Spivak ES, Hopkins C, Kawamoto K. 2015. J.
Hosp. Med. Evidence‐Based Care for Cellulitis. (12) 780-786.
3. Albuainain K. 2018. The Egyptian Journal of Hospital Medicine. Causes and
Management of Cellulitis. 70 (12), hlm. 2148-2151

Hasil pembelajaran:
13. Diagnosis Selulitis
14. Tatalaksana awal Selulitis
15. Merujuk kepada dokter spesialis yang tepat
16. Edukasi pasien dan orang tua mengenai penyakitnya

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:


12. Subyektif:
Deskripsi: Anak berusia 8 tahun dating ke IGD RS Ari Canti diantar oleh
orang tuanya dengan keluhan demam dari 1 hari yang lalu dannyeri pada paha

107
kanan dari kemarin. Dari heteroanamnesis ibu pasien mengatakan sebelum
timbul nyeri, terdapat luka dibagian paha kanan setelah terbentur kayu. Paha
kanan pasien juga nampak kemerahan disekeliling luka dan jika di raba terasa
lebih hangat. Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

13. Objektif:
Keadaan umum: tampak sakit sedang
GCS : E4V5M6
Tanda-tanda vital:
 HR: 80x/menit
 RR: 22 x/menit
 Suhu: 37,7o C
Pemeriksaan Fisik
 Mata: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
 THT : faring dan tonsil dalam batas normal
 Thorax:
o Paru:
 Inspeksi: pernapasan kussmaul, gerakan napas simetris
 Auskultasi: vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing-/-
o Jantung: bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen:
o Inspeksi: distensi (-)
o Auskultasi: Bising usus (+) N
o Palpasi: nyeri tekan(-)
 Ekstremitas: hangat pada seluruh ekstremitas, edema (-)
 Status lokalis :
Regio : Femur Dextra
Vulnus laceration berukuran 0,7 x 0,3 cm, Eritema (+) disekitar luka,
edema (+), nyeri tekan (+), infiltrate difuse (+)
108
Pemeriksaan Darah Lengkap
Parameter Nilai Satuan Nilai Normal Interpretasi

WBC 22,8 109/L 4,1-11,0 Tinggi

HGB 13,3 g/dL 13,5-17,5 Rendah

HCT 39,2 % 41,0-53,0 Rendah

PLT 365 109/L 150,0-440,0 Normal

Glukosa sewaktu
Parameter Nilai Satuan Nilai Normal Interpretasi

GDS 122 mmol/l 136-145 Normal

Hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mendukung untuk


diagnosis selulitis. Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan:
a. Gejala klinis: Nyeri pada paha kanan dan didapatkan gejala prodromal
berupa demam,
b. Pemeriksaan Fisik :terdapat luka gores sebagai port d’entry. Terdapat
makula eritematous, edema, Infiltrat difus dengan pinggiran tidak
meninggi.
 Pemeriksaan laboratorium : Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
3
adanya peningkatan nilai WBC dengan nilai 22,8 10 /μL

109
14. “Assessment” (penalaran klinis):
Selulitis merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang jaringan
subkutis yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes atau
hemolitikus, Staphylococcus aureus dan Streptococcus Group A. Seluliti
sering ditemukan pada orang dewasa. Tempat predileksi tersering ialah pada
ekstremitas bawah, namun dapat pula mengenai lengan, wajah, dan kulit
kepala. Sebuah studi menyebutkan bahwa selulitis tersering ditemukan pada
ekstremitas bawah. Jenis kelamin tidak mempengaruhi, namun bertambahnya
usia dikaitkan dengan insiden yang lebih tinggi. Faktor predisposisi pada
selulitis antara lain trauma lokal, luka terbuka di kulit, gangguan pada
pembuluh vena maupun pembuluh limfe, status gizi, hygiene perorangan,
iklim, penyakit yang mendasari, usia lanjut, penurunan fungsi imunologi
antara lain akibat HIV/AIDS. Selulitis biasanya didahului oleh adanya trauma
yang dapat terjadi pada bagian tubuh manapun, tetapi tungkai bawah
merupakan tempat yang paling sering terkena infeksi. Bagian tubuh lainnya
yang sering terkena adalah lengan, kepala dan leher. Selain itu, selulitis
biasanya timbul pada lokasi dengan lesi yang telah ada sebelumnya seperti
misalnya pada dermatitis, ulkus stasis, luka tusuk, gigitan binatang atau
trauma. Manifestasi klinis selulitis dapat didahului dengan gejala prodromal
yaitu demam, malaise, menggigil, sakit kepala, dan nyeri sendi. Setiap pasien
dapat mengalami lebih dari satu gejala prodromal dan masing-masing gejala
tersebut tidak harus selalu ada dalam setiap kasus. Pada pemeriksaan fisik
biasanya ditemukan temuan klinis berupa infeksi jaringan lunak yang akut,
tampak lesi eritema yang berbatas tidak tegas (difus) dengan tepi tidak
meninggi serta teraba panas dan nyeri, terdapat inflamasisupuratif pada bagian
dermis, subkutan atau jaringan otot. Selain itu tampak pula infiltrat yang difus
pada subkutan disertai tanda-tanda radang akut beruparubor, kalor, dolor dan
tumor. Dapat disertai nodul di bagian tengahnya, serta bula dan vesikel
diatasnya yang dapat pecah kemudian mengeluarkan pus dan jaringan

110
nekrotik. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
darah yang menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih, eosinofil dan
peningkatan laju sedimentasi eritrosit. Pemeriksaan pewarnaan gram dan
kultur pus atau bahan aspirasi dapat dilakukan untuk mengetahui
mikroorganisme penyebab. Penatalaksanaan selulitis meliputi tatalaksana
nonfarmakologi misalnya mengistirahat tungkai bawah dan kaki yang terkena
dengan posisi elevasi atau sedikit lebih tinggi dari pada letak jantung, untuk
mengurangi edema setempat. Pengobatan farmakologi dapat berupa
pemberian antibiotic secara sistemik. Pilihan antibiotic lini pertama ialah
flukloksasilin dan golongan penisilin. Apabila alergi terhadap penisilin, dapat
digunakan antibiotic golongan makrolid atau klindamisin sebagai alternatif.
Antibiotik yang sesuai diberikan dalam dosis lengkap secara intramuscular
atau intravena pada kasus yang lebih berat. Sedangka npengobatan oral
dapatdiberikan pada kasus yang lebih ringan dengan infeksi tanpa komplikasi.
Antihistamin dapat diberikan untuk mengurangi rasa gatal seperti antihistamin
golongan H1-sedatif. Penanganan secara topical yaitu dengan melakukan
kompres terbuka menggunakan larutan antiseptic misalnya seperti Nacl 0,9%.
Larutan ini bersifat isotonic dengan plasma dan dapat melembabkan
lingkungan sekitar untuk mempercepat penyembuhan luka. Apabila luka telah
kering dapat diberikan krim natrium fusidat sebagai antibiotic topikal yang
bekerja menghambat sintesis protein denganaktivitas spesifik terhadap
Staphylococcus serta mempunyai daya penetrasi tinggi, sehingga dapat
mencapailapisan yang lebih dalam. Selulitis bukan merupakan penyakit yang
dapat mengancam jiwa, namun penyakit ini dapat berkembang menjadi sepsis
apabila tidak diberikan pengobatan segera. Selulitis yang tidak mendapatkan
penatalaksanaan yang tepat dapat menimbulkan beberapa komplikasi
diantaranya limfangitis, elefantiasis, absessubkutan, serta gangren.

15. “Plan”:

111
Diagnosis:
 Selulitis

Pengobatan:
 Konsul kedokter spesialis Anak
o IVFD Tridex 27 B 18 tpm
o Cefotaxim 3 x 750 mg IV
o Paracetemol k/p

Pendidikan:
 Edukasi mengenai kepada orang tua mengenai penyakit pasien,
penyebab, dan tatalaksana yang diberikan, Edukasi mengenai
komplikasi yang mungkin timbul dari penyakit yang diderita
 Edukasi mengenai rencana perawatan lanjutan dan prognosis pasien.
Konsultasi: dokter spesialis anak untuk penanganan lebihlanjut.
Kegiatan Periode Hasil yang diharapkan

Pemantauan Selama Vital sign stabil, keluhan membaik.


tanda-tanda perawatan
komplikasi
Nasihat Setiap kali Menasihati pasien dan keluarga pasien untuk
kunjungan rutin melakukan pengobatan. Pasien pulih tanpa
komplikasi dengan prognosis baik.

112

Anda mungkin juga menyukai