Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUBUNGAN SIPIL MILITER


Mata Kuliah Kewarganegaraan

Dosen Pengampu : Tauhid Hudini, M.Sos. Sc

Disusun oleh:

1. Atikah Luthfiyyah 41603013

2. Fa’izah Niswatun Jannah 41603022

3. Luqyana Inas Mufidah 41603034

PROGRAM STUDI BISNIS SYARIAH

SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM SEBI

2018/2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


BAB II

PEMBAHASAN

Hubungan Sipil Militer dalam Perspekif Siyasah

A. Hubungan Sipil Militer Perspektif Politik Modern


Hubungan sipil militer merupakan kajian yang baru
populer pada pertengahan abad XX, yaitu pasca-Perang
Dunia II. Sebelum Perang Dunia II, hubungan sipil-militer
baru sedikit mendapat perhatian para sarjana sosial daan
ahli sejarah, setidak-tidaknyaa pada literatur-literatur
inggris dan demikian pula literatur Amerika. Konflik Prsdien
Truman dengan Jendral Mac. Arthur pada tahun-tahun
1950-an telah merangsang suatu arus baru bagi
penganalisaan ilmiah maasalah-masalah hubungan sipil-
militer dan perumusan garis kebijaksanaan militer.1
Perspektif politik Barat yang senantiasa mengagungkan
supremasi sipil, seringkali mengkaji seputar hubungan sipil
militer menyangkut dua aspek, yaitu kontrol sipil atas
militer dan intervensi militer pada domain polittik.
Perspektif politik Barat yang senantiasa
mengagungkan supremasi sipil, seringkali mengkaji
seputar hubungan sipil militer menyangkut dua aspek,
yaitu kontrol sipil atas militer dan intervensi militer pada
domain polittik.
1. Kontrol Sipil Atas Militer
Ada beberapa teori menyangkut hubungan sipil
militer. Huntington melihat bahwa ada dua bentuk
hubungan sipil militer.
Pertama, kontrol sipil obyektif (Objective Civilian
Control). Istilah ini mengandung makna profesionalisme
militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer
akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang
mereka, subordiansi yang efektif dari militer kepada
pemimpin politik yang membuat keputusan pokok
tentang kebijakan luar negeri dan militer, pengakuan
dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut
atas kewewenangan profesional dan otonomi bagi
militer, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan
minimalisasi intervensi polittik dalam militer.
Kedua, kontrol sipil subyektif (subjective civilian
control). Bentuk kontrol ini adalah memaksimalkan
kekuasaan sipil. Model ini bisa diartikan sebagai upaya
meminimalkan kekuasaan militer dan memaksimalkan
kekuasaan kelompok-kelompok sipil.
Dengan merujuk Huntington, Michael C. Desch
menganalisis hubungan sipil militer dari munculnya
persoalan internal maupun eksternal suatu negara.
Desch mencatat suatu negara yang menghadapi
tantangan militer tradisional, yaitu ancaman dari luar,
tampaknya lebih mungkin memiliki hubungan sipil
militer yang stabil. Ancaman lingkungan seperti itu
memaksa institusi sipil lebih menyatu dan karenanya
membuat mereka mampu menangani masalah
bersama-sama dan bersatu dengan militer.4 Kemudian
Desch mempertegas:
terpecah belah, yang menyulut mereka untuk
mengontrol militer. Situasi seperti ini akan membuat
hubungan sipil militer terganggu atau tidak sehat.
Alfred Stepan melihat hubungan sipil militer dengan
mengamati sejauhmana sipil mampu mengurangi hak
istimewa militer dan sejauhmana militer berhasil
mempertahankan hak-hak istimewanya. Ia
memperkenalkan konsep “hak Istimewa”. Oleh karena
itu, reposisi militer tidak bisa dilepaskan dari
sejauhmana pihak sipil mampu membatasi dan
mengurangi otoritas militer dari non militernya.

2. Intervenssi Militer
Konsep intervensi menurut Taufik Abdullah seperti
dikutip Malik, bertolak dari “pra anggapan bahwa
sesuatu telah memasuki daerah yang sebenarnya bukan
haknya.” Dengan kata lain, intervensi berkaitan dengan
sesuatu penilaian normatif akan tidak sahnya hal
tersebut terjadi. Dengan demikian hubungan sipil militer
bisa dilihat dari sejauhmana pemimpinpemimpin sipil
mampu mengatasi dan mengantisipasi intervensi militer
ke dalam domain politik.
Amos Perlmutter menyebut ada dua kondisi yang
memberikan kesempatan bagi militer untuk melakukan
intervensi. Pertama, kondisi osial. Suatu negara yang
kondisi sosialnya lemah, maka kepentingan kelompok
akan tersebar dalam frekuensi yang tinggi. Kalau
struktur negara lemah maka institusi-institusi politik
tidak berfungsi efektif dan dengan demikian kontrol
sosial tidak efektif. Sebab saluran-saluran komunikasi
terhambat, maka militer memiliki peluang untuk
melakukan intervensinya.
Kedua, kondisi politik. Intervensi militer muncul dari
persoalanpersoalan sipil. Dalam banyak kasus
kembalinya sipil ke militer untuk mendapatkan
dukungan ketika struktur politik sipil terfragmentasi
dalam faksi-faksi politik dan ketika perangkat konstitusi
tidak berjalan.9 Berbeda dengan Perlmutter yang lebih
melihat faktor eksternal militer yang memperngaruhi
hubungan sipil militer, S. F. Finer lebih melihat faktor
internal militer. Ia menyebut:
“…lebih melihat internal militer sebagai faktor utama
terjadinya intervensi. Faktor motivasi biasanya sangat
berpengaruh besar apakah militer akan
memengintervensi atau tidak. Faaktor ini mencakup
beberapa motivasi antara lain; motivasi sebagai tujuan
akhir tentara, dorongan dari kepentingan nasional,
kepentingan kelompok yang meliputi kepentingan
kelas, kepentingan regional, kepentingan korps, dan
kepentingan individu.”
Dari dua pandangan itu bisa disebut ada dua
gerbong dalam memahami intervensi militer pada
domain sipil, yaitu memahami intervensi militer
disebabkan faktor-faktor eksternal dan melihat
intervensi militer sebagai dorongan atau motivasi
internal yang dikandung oleh militer.
Terlepas dari perdebatan itu, perlu dikaji saluran-
saluran yang memungkinkan terjadinya intervensi
militer. Finer mencatat, intervensi dapat dilakukaan
melalui:
a. The normal constitusional chanels (melalui
saluran-saluran konstitusi normal)
b. Collusion and/or competition with the civilian
authoritis (kolusi dan/atau persaingan dengan
otoritas sipil)
c. The intimidation of the civilian authoritis
(intimidasi terhadap otoritas sipil)
d. Threaths of non-cooperation with, or violence
towards the civilian authoritis (mengancam
dengan menolak bekerjasamadan/atau dengan
kekerasan terhadap otoritas sipil)
e. Failure to defend the civilian authoritis from
violence (gagalnya mempertahankan otoritas sipil
terhadap kekerasan)
f. The exercise of violence againts the civilian
authorities (menggunakan kekerasan terhadap
otoritas sipil).
B. Terminologi Militer dalam Fiqih Siyasah
1. Pengertian Perang dan Militer
Pada masa pra Islam di Jazirah Arab belum dikenal
istilah maupun sistem militer. Meskipun demikian
peperangan sudah menjadi tradisi di kalangan suku-
suku Arab untuk menempuh kehidupan. Peperangan
mereka lakukan bersifat sporadis (kadang-kadang) dan
temporer (sementara). Sehingga kriteria di Jazirah Arab
belum dikenal istilah maupun sistem militer
sebagaimana dikenal pada era modern sekarang ini
belum dikenal. Siapa saja yang merasa menjadi warga
sebuah suku atau kelompok, dengan sadar akan
mengikuti peperangan dalam rangka mempertahankan
suku dan atau kelompoknya. Perang dalam bahasa Arab
sering disebut dengan harb, dan ghazwah.
Ghazwah adalah masuknya kekuatan perang sebuah
negara ke daerah musuh, tetapi tidak termasuk di
dalamnya penyempurnaan kekuasaan pada daerah itu.
Sedangkan harb adalah pergulatan dengan senjata
antara dua negara atau dua kelompok dalam sebuah
negara dengan tujan untuk merebut hak negara atau
kelompok. Sehingga harb terjadi jika ada dua negara
yang bertikai.
Para orientalis sering menyamakannya dengan jihad,
dengan menyebut jihad sebagai ‘perang suci. Padahal
istilah perang dan jihad adalah sesuatu yang berbeda.
Pada masa Islam awal pun belum dikenal mengenai
terminologi militer. Walaupun demikian tradisi
peperangan masih cukup kental. Kaum muhajirin yang
berasal dari Makkah sudah terbiasa dengan
perikehidupan padang pasir yang kental dengan
peperangan dan penyergapan.
Sejarah bangsa-bangsa besar di dunia dari masa ke
masa pun menunjukkan bahwa eksistensi mereka
ditentukan oleh kemampuan dan kekuatan mereka
melakukan perang dan penaklukan atau ekspansi ke
daerah lain, seperti bangsa Romawi, Persia, Mongol, dan
lain-lain.
Di dalam al Qur’an pun dibahas mengenai masalah
perang, baik dalam dimensi sejarah, hukum, moral dan
strategi. Dalam dimensi sejarah bisa disebut QS. Ali
Imran ayat 146 yang artinya: dan berapa banyaknya
nabi yang berperang dengan disertai sejumlah besar
pengikutnya yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi
lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan
Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada
musuh). Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.
Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar. Dalam
dimensi hukum bisa dilihat pada Q.S Al Baqarah ayat
190 “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangio kalian, (tetapi) janganlah kalian melampui
batas sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.”
Sedangkan ayat-ayat perang yang berdimensi moral
terdapat pada Q.S An-Nisa ayat 94 “wahai orang-orang
yang beriman, apabila kalian pergi (berperang) di jalan
Allah, maka telitilah, dan jangan kalian mengatakan
kepada orang yang mengucapkan salam kepada kalian:
“kamu bukan seorang mukmin” (lalu kalian
membunuhnya) dengan maksud mencari harta benda
kehidupan dunia karena di sisi Allah dan harta yang
banyak. Begitu jugalah keadaan kalian dahulu, lalu Allah
menganugrahkan nikmat-Nya kepada kalin, maka
telitilah, sesungguhnnya Allah mengatahui apa yang
kalian kerjakan.”
Adapun ayat-ayat yang berdimensi strategi dan
taktik terdapat pada Q.S. Al-Anfal ayat 15 dan 16: “hai
orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu
dengan orang-orang kafir yang sedang menyerang
kalian, maka janganlah kalian membelakangi mereka
(mundur). Barangsiapa yang membelakngi mereka
(mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat)
perang atau hendak menggabungkan diri dengan
pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu
kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan
tempatnya ialah neraka jahanam. Dan amat buruklah
tempat kembalinya.”

2. Kajian Fiqih tentang Perang


Perang bukanlah konsep utama yang dikembangkan
dalam Islam. Perang disyariatkan oleh Islam dalam
rangka mempertahankan eksistensi Islam dan kaum
muslimin. Tidak benar, Islam disebarkan dengan
kekerasan atau pedang. Sejarah perang dalam Islam
klasik bukan semata-mata menyebarkan Islam, tetapi
mempertahankan sebuah negara Islam yang dipimpin
Nabi Muhammad Islam sebagai spirit peperangan tidak
bisa dipungkiri, karena secara subjektif kaum
musliminlah yang menjadi tulang punggung negara
Islam Madinah. Dalam konteks fiqih, peperangan
harus dilandasi dengan beberapa sebab. Wahbah Zuhaili
menyebut di antara sebab-sebab diperbolehkannya
adalah perbedaan pemikiran, perbedaan terhadap
ajaran agama, persoalan politik kenegaraan,
menghalang-halangi keinginan manusia, mengalahkan
yang lain, dan ekspansi ke negara lain.
Sedangkan macam-macam peperangan dalam Islam
menurut Wahbah adalah peperangan dengan non
muslim, peperangan melawan orang-orang murtad,
memerangi para pemberontak, dan memerangi
perampok.
Dalam peperangan melawan kaum musyrikin atau
non Islam harus melihat status dar al-harb tersebut. Ada
dua status dalam konteks ini. Pertama, mereka yang
disentuh oleh dakwah Islam, namun mereka tidak
menanggapi dan menolaknya. Dalam situasi ini,
tindakan yang harus dilakukan adalah satu di antara
dua pilihan. Pilihan pertama adalah memilih sikap yang
paling membawa kemaslahatan bagi kaum muslimin
dan membuat gentar kaum musyrikin, seperti
menyerang merekaa pada malam daan siang hari
dengan membunuh dan membakar perkaampungan
mereka. Pilihan kedua adalah dengan mengancam
mereka dengan diperangi atau dibunuh.
Kedua, mereka yang tidak tersentuh dakwah Islam.
Pada situasi ini kita diharamkan memerangi mereka baik
pada siang maupun malam hari, baik membunuh
maupun membakar perkampungan mereka. Tidak boleh
memerangi mereka sebelum menyampaikan dakwah
Islam kepada mereka. Adapun kewajiban yang harus
dilakukan oleh pasukan Islam adalah:
a. Bersikap teguh dalam menghadapi musuh saat
kedua pasukan bertemu dan bertempur, dan tidak
mundur serta tidak gentar untuk menghadapi
musuh yang dua kali lebih banyak dari
pasukannya atau yang lebih banyak lagi.
b. Perang yang dilakukan harus karena Allah SWT.
c. Di antara kewajiban yang harus ditunaikan
terhadap Allah SWT adalah agar menunaikan
amanat ghanimah yang mereka dapatkan dan
tidak ssedikitpun atas harta ghanimah itu.
d. Tidak condong kepada kaum musyrikin yang
mempunyai ikatan kekerabatan.
C. Tradisi Militer dalam Sejarah Arab
1. Tradisi Pra-Islam
Jazirah Arab, sebagai tempat tinggal bangsa Arab
lebih banyak dipenuhi dengan gurun atau padang pasir.
Realitas ini menimbulkan tiga karakteristik, yaitu sifat
fatalistik, ikatan kesukuan yang tinggi, dan sifat
pragmatisme. Akibat karakteristik demikian peperangan
antar suku adalah hal biasa. Di dalam masyarakat yang
mempunyai tabiat perang antar suku nilai-nilai
‘kemanusiaan’ sangat rendah. Hukum alam, homoni
lupus, menjadi pegangan dalam melaksanakan
kehidupan sehari-hari. Sejak Arab jahiliyah, perang
dikenal sebagai ‘solusi’ konflik. Hal ini kembali pada
tradisi dan karakter bangsa Arab yang keras dan
nonkompromistik.
Kebiasaan perang masa itu tentunya tidak bisa
disamakan dengan perang era sekarang. Peperangan
pada masa itu harus dipahami sebagai bentuk
penjagaan keamanan dan memupuk rasa solidaritas
antar warga masyarakat.
Akibat peperangan yang terus menerus, kebudayaan
Arab tidak berkembang. Karena itu, bahan-bahan
sejarah Arab pra-Islam sangat langka didapatkan, di
dunia Arab dan dalam bahasa Arab.

2. Tradisi Militer Masa Islam (Masa Muhammad dan


Khulafa al Rasyidiin)
Muhammad sebagai pembawa risalah Islam tidak
hanya berperan sebagai nabi melainkan juga berperan
sebagai kepala negara, hakim, dan komandan perang.
Posisi ini sesuai dengan eksistensi Islam itu sendiri, yang
tidak hanya merupakan sistem kepercayaan, tetapi juga
mencakup sistem hidup bagi umatnya yang diwujudkan
dalam kehidupan negara. Sebagai sebuah negara-kota
keperluan terhadap kekuatan militer tidak bisa dihindari.
Ia berfungsi sebagai alat mempertahankan diri dari
ancaman eksternal serta menjaga keamanan di dalam
negeri. Pada mulanya, Allah melarang Nabi dan kaum
muslimin melakukan perang, tetapi setelah kedzaliman
yang bertubi-tubi datang dari kaum musyrikin, maka
kemudian Allah mengizinkan perang. Ketentuan itu
terdapat Q.S. al-Baqarah:190 “dan perangilah di jalan
Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi
janganlah kamu melampaui batas.”
Ayat itulah yang dijadikan sebagai legitimasi
diperbolehkannya perang. Tidak mengherankan jika
perjalanan hidup Muhammad pun dihiasi dengan
berbagai peperangan. Perang yang diikuti Muhammad
sering disebut sebagai ghazwah sedangkan yang tidak
diikutinya disebut dengan sariyah. Begitu ekspansifnya
militer Islam dalam menaklukkan daerah-daerah sekitar
berakibat pandangan miring bahwa Islam disebarkan
dengan pedang.
Mengenai pandangan ini agaknya perlu dicermati
beberapa hal. Pertama, peperangan yang merupakan
pintu darurat itu terjadi tidak disebabkan oleh
perbedaan agama karena perbedaan agama dapat
dicarikan titik temunya. Kedua, Islam memerintahkan
amr ma’ruf nahy munkar. Kemunkaran yang dilakukan
oleh siapa saja, baik beragama Islam atau tidak harus
diberantas dengan segenap daya upaya. Ketiga, amr
ma’ruf nahy munkar ini tidak terkait langsung dengan
penyiaran Islam, karena dalam kenyataan, masyarakat
asing obyek nahy munkar tidak harus masuk Islam.
Keempat, karena perang itu menghadapi musuh maka
orang Islam tidak dibenarkan membunuh orang yang
bukan musuh, seperti anak-anak, wanita, dan orang
jompo.
Piagam Madinah pun menyebut bahwa
mempertahankan negara Madinah adalah hak dan
kewajiban umum segenap warga Madinah. Ketentuan ini
bertujuan untuk mempertahankan kedaulatan negara
Madinah dan menciptakan rasa aman bagi kepentingan
perkembangan ajaran Islam di jazirah Arab.
Pada masa kenabian, kekuatan militer yang dimiliki
oleh Islam belum diorganisasi secara sistematis dan
belum ada pembagian tugas secara profesional dengan
pengangkatan tentara reguler, karena setiap muslim
dewasa yang sehat diwajibkan untuk berperang. Namun
demikian, bukan berarti aksi militer yang dilakukan
tanpa persiapan dan strategi sama sekali.
Masa Abu Bakar (11-13 H/632-634 M) yang
diwarnai pula dengan perluasan wilayah Islam belum
menunjukkan pengorganisasian militer secara
sistematis. Pengorganisasian militer secara sistematis
baru ditemui pada era Umar ibn Khatthab (13-24
H/634-644 M). Beberapa kebijakan yang terjadi di
masa Umar Ibn Khattab ialah:
1. Diwan al-jund (dewan militer) dan diwan al-ahdats
(dewan kepolisian). Adanya diwan al-jund
berimplikasi pada pendataan tentara Islam. Sehingga
pada masa Umar semakin menegaskan adanya dua
kategorisasi militer/tentara dalam Islam. Pertama,
militer murtaziqah. Militer murtaziqah adalah militer
yang secara resmi diberikan gaji oleh negara. Mereka
dipersiapkan secara khusus untuk memepertahankan
negara dengan menghalau musuh-musuh yang dari
luar dan akan menduduki negara.
Mereka digaji negara dari pos pertahanan dan
keamanan. Sebagai konsekuensinya mereka harus
siap setiap saat untuk berperang apabila negara
dalam keadaan bahaya. Gaji tentara adalah sah,
karena jasa yang telah diberikan kepada negara.
Kedua, militer mutathowi’ah. Militer mutathowi’ah
adalah militer sukarela yang dijadikan sebagai
cadangan kalau negara dalam keadaan bahaya.
Kelompok ini tidak saja terdiri laki-laki, tetapi juga
perempuan dan anak-anak. Mereka mamasuki
kelompok ini atas dasar kesadaran dan kemauan
dalam rangka iktu serta mempertahankan negara
dari pasukan asing.
Kalau militer murataziqah dianggarkan dari
negara, bentuk militer yang kedua ini tidak ada
anggaran rutin, budget yang disediakan diambilkan
dari dana baitul maal yang menjadi hak fi sabilillah,
yakni orang-orang yang berjuang di jalan Allah SWT.
2. Terobosan baru diciptakan Umar dengan tidak
memberikan harta rampasan perang kepada tentara
Islam. harta rampasan perang itu dimasukkan ke
baitul maal. Sedangkan tentara Islam diberi gaji yang
diambilkan dari pajak umat Islam. Pemberlakuan
pajak ini juga merupakan terobosan baru yang
diciptakan Umar.
3. Kebijakan brilian lain yang diterapkan Umar adalah
dengan menciptakan lembaga qadhi atau hakim.
Sebelumnya, jabatan hakim dirangkap oleh masing-
masing gubernur yang diangkat. Pada masa Umar
Hakim ini diangkat dan bersifat independen. Hakim-
hakim yang diangkat itu adalah Abu Dardaa’ di
Madinah, Surayah Ibn al-harits al-Kindi di Kufah, dan
Qays bin Abi al-Ash di Mesir. Tidak heran jika Philip K.
Hitti menyebut sebagai pemimpin Islam terbesar
pasca Muhammad.
Pasca-Umar, tradisi ekspansi masih dilakukan oleh
khilafah Islam. Akan tetapi, pengornisasian militer hanya
menganut pada fondasi yang dibangun oleh Umar. Dengan
kata lain, tidak ada hal-hal baru yang fenomenal dalam
konteks pengornisasian militer.

D. Hubungan Sipil Militer Perspektif Fiqih Siyasah


Konsep hubungan sipil militer perspektif fiqih siyasah
sangat samar, untuk tidak mengatakan tidak ada.
Sehingga terkesan agak dipaksakan. Ini sangat wajar
mengingat kajian pada tradisi militer pada perspektif politik
barat pun baru marak pada abad ke-20. Namun,
setidaknya ada kerangka hubungan sipil militer yang
diambil dari realitas empirik pemerintahan Muhammad dan
Khulafa al-Rasyidiin. Di samping itu, perspektif dari teoritisi
politik muslim yang pada umumnya merujuk tradisi
pemerintahan era Muhammad dan Khulafa al-Rasyidiin bisa
dijadikan pijakan.
Beberapa fakta tentang tradisi militer dan hubungan
sipil militer bisa diungkap saat membaca sejarah
pemerintahan Muhammad dan Khulafa al Rasyidiin. Dari
pembacaan sejarah itu bisa disebut beberapa hal.
1. Mempertahankan negara adalah hak dan kewajiban
warga negara. Dari perspektif ini bisa disebut bahwa
semua warga negara adalah anggota militer. Kondisi ini
relevan jika melihat pada era awal masa Muhammad.
akan tetapi jika menilik pada masa Umar bin Khatthab
terdapat diferensiasi dengan kebijakan pembentukan
diwan al-jund (dewan tentara) dan diwan al-ahdats
(dewan kepolisian).
2. Pembentukan tentara profesional. Ini bisa dilihat dengan
kebijakan Umar yang menarik harta rampasan perang
ke baitu al-maal dan kemudian militer digaji dari hasil
pajak rakyat. Realitas ini menunjukkan bahwa telah
terbentuk komponen utama pertahanan negara, yakni
militer murtaziqah. Sedangkan komponen cadangannya
adalah militer mutathowi’ah.
3. Pembagian peran dalam pemerintahan. Terobosan yang
dilakukan Umar dalam menunjuk qadhi menunjukkan
adanya pembagian wilayah kerja. Sebelumnya, wilayah
kerja itu terpusat di tangan gubernur masing-masing
propinsi. Dengan adanya pengangkatan qadhi
setidaknya ada pembagian peran dari sisi kelembagaan.
Artinya semua tidak ditangani oleh lembaga militer.
4. Kepala negara sebagai pemimpin tertinggi militer.
Pengerahan pasukan, memilih panglima perang, dan
menentukan strategi makro pertahanan lainnya adalah
wewenang kepala negara. Mentaati perintah kepala
negara adalah kewajiban warga negara.

E. Hubungan Sipil Militer di Indonesia


BAB III

PEMBAHASAN

Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai