Sipil Militer Dalam Perspektif Islam
Sipil Militer Dalam Perspektif Islam
Disusun oleh:
2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
2. Intervenssi Militer
Konsep intervensi menurut Taufik Abdullah seperti
dikutip Malik, bertolak dari “pra anggapan bahwa
sesuatu telah memasuki daerah yang sebenarnya bukan
haknya.” Dengan kata lain, intervensi berkaitan dengan
sesuatu penilaian normatif akan tidak sahnya hal
tersebut terjadi. Dengan demikian hubungan sipil militer
bisa dilihat dari sejauhmana pemimpinpemimpin sipil
mampu mengatasi dan mengantisipasi intervensi militer
ke dalam domain politik.
Amos Perlmutter menyebut ada dua kondisi yang
memberikan kesempatan bagi militer untuk melakukan
intervensi. Pertama, kondisi osial. Suatu negara yang
kondisi sosialnya lemah, maka kepentingan kelompok
akan tersebar dalam frekuensi yang tinggi. Kalau
struktur negara lemah maka institusi-institusi politik
tidak berfungsi efektif dan dengan demikian kontrol
sosial tidak efektif. Sebab saluran-saluran komunikasi
terhambat, maka militer memiliki peluang untuk
melakukan intervensinya.
Kedua, kondisi politik. Intervensi militer muncul dari
persoalanpersoalan sipil. Dalam banyak kasus
kembalinya sipil ke militer untuk mendapatkan
dukungan ketika struktur politik sipil terfragmentasi
dalam faksi-faksi politik dan ketika perangkat konstitusi
tidak berjalan.9 Berbeda dengan Perlmutter yang lebih
melihat faktor eksternal militer yang memperngaruhi
hubungan sipil militer, S. F. Finer lebih melihat faktor
internal militer. Ia menyebut:
“…lebih melihat internal militer sebagai faktor utama
terjadinya intervensi. Faktor motivasi biasanya sangat
berpengaruh besar apakah militer akan
memengintervensi atau tidak. Faaktor ini mencakup
beberapa motivasi antara lain; motivasi sebagai tujuan
akhir tentara, dorongan dari kepentingan nasional,
kepentingan kelompok yang meliputi kepentingan
kelas, kepentingan regional, kepentingan korps, dan
kepentingan individu.”
Dari dua pandangan itu bisa disebut ada dua
gerbong dalam memahami intervensi militer pada
domain sipil, yaitu memahami intervensi militer
disebabkan faktor-faktor eksternal dan melihat
intervensi militer sebagai dorongan atau motivasi
internal yang dikandung oleh militer.
Terlepas dari perdebatan itu, perlu dikaji saluran-
saluran yang memungkinkan terjadinya intervensi
militer. Finer mencatat, intervensi dapat dilakukaan
melalui:
a. The normal constitusional chanels (melalui
saluran-saluran konstitusi normal)
b. Collusion and/or competition with the civilian
authoritis (kolusi dan/atau persaingan dengan
otoritas sipil)
c. The intimidation of the civilian authoritis
(intimidasi terhadap otoritas sipil)
d. Threaths of non-cooperation with, or violence
towards the civilian authoritis (mengancam
dengan menolak bekerjasamadan/atau dengan
kekerasan terhadap otoritas sipil)
e. Failure to defend the civilian authoritis from
violence (gagalnya mempertahankan otoritas sipil
terhadap kekerasan)
f. The exercise of violence againts the civilian
authorities (menggunakan kekerasan terhadap
otoritas sipil).
B. Terminologi Militer dalam Fiqih Siyasah
1. Pengertian Perang dan Militer
Pada masa pra Islam di Jazirah Arab belum dikenal
istilah maupun sistem militer. Meskipun demikian
peperangan sudah menjadi tradisi di kalangan suku-
suku Arab untuk menempuh kehidupan. Peperangan
mereka lakukan bersifat sporadis (kadang-kadang) dan
temporer (sementara). Sehingga kriteria di Jazirah Arab
belum dikenal istilah maupun sistem militer
sebagaimana dikenal pada era modern sekarang ini
belum dikenal. Siapa saja yang merasa menjadi warga
sebuah suku atau kelompok, dengan sadar akan
mengikuti peperangan dalam rangka mempertahankan
suku dan atau kelompoknya. Perang dalam bahasa Arab
sering disebut dengan harb, dan ghazwah.
Ghazwah adalah masuknya kekuatan perang sebuah
negara ke daerah musuh, tetapi tidak termasuk di
dalamnya penyempurnaan kekuasaan pada daerah itu.
Sedangkan harb adalah pergulatan dengan senjata
antara dua negara atau dua kelompok dalam sebuah
negara dengan tujan untuk merebut hak negara atau
kelompok. Sehingga harb terjadi jika ada dua negara
yang bertikai.
Para orientalis sering menyamakannya dengan jihad,
dengan menyebut jihad sebagai ‘perang suci. Padahal
istilah perang dan jihad adalah sesuatu yang berbeda.
Pada masa Islam awal pun belum dikenal mengenai
terminologi militer. Walaupun demikian tradisi
peperangan masih cukup kental. Kaum muhajirin yang
berasal dari Makkah sudah terbiasa dengan
perikehidupan padang pasir yang kental dengan
peperangan dan penyergapan.
Sejarah bangsa-bangsa besar di dunia dari masa ke
masa pun menunjukkan bahwa eksistensi mereka
ditentukan oleh kemampuan dan kekuatan mereka
melakukan perang dan penaklukan atau ekspansi ke
daerah lain, seperti bangsa Romawi, Persia, Mongol, dan
lain-lain.
Di dalam al Qur’an pun dibahas mengenai masalah
perang, baik dalam dimensi sejarah, hukum, moral dan
strategi. Dalam dimensi sejarah bisa disebut QS. Ali
Imran ayat 146 yang artinya: dan berapa banyaknya
nabi yang berperang dengan disertai sejumlah besar
pengikutnya yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi
lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan
Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada
musuh). Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.
Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar. Dalam
dimensi hukum bisa dilihat pada Q.S Al Baqarah ayat
190 “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangio kalian, (tetapi) janganlah kalian melampui
batas sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.”
Sedangkan ayat-ayat perang yang berdimensi moral
terdapat pada Q.S An-Nisa ayat 94 “wahai orang-orang
yang beriman, apabila kalian pergi (berperang) di jalan
Allah, maka telitilah, dan jangan kalian mengatakan
kepada orang yang mengucapkan salam kepada kalian:
“kamu bukan seorang mukmin” (lalu kalian
membunuhnya) dengan maksud mencari harta benda
kehidupan dunia karena di sisi Allah dan harta yang
banyak. Begitu jugalah keadaan kalian dahulu, lalu Allah
menganugrahkan nikmat-Nya kepada kalin, maka
telitilah, sesungguhnnya Allah mengatahui apa yang
kalian kerjakan.”
Adapun ayat-ayat yang berdimensi strategi dan
taktik terdapat pada Q.S. Al-Anfal ayat 15 dan 16: “hai
orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu
dengan orang-orang kafir yang sedang menyerang
kalian, maka janganlah kalian membelakangi mereka
(mundur). Barangsiapa yang membelakngi mereka
(mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat)
perang atau hendak menggabungkan diri dengan
pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu
kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan
tempatnya ialah neraka jahanam. Dan amat buruklah
tempat kembalinya.”
PEMBAHASAN
Kesimpulan