Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HIV/AIDS DI


RUANG SAKURA RUMAH SAKIT DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Elsa Windasari, S.Kep
NIM 192311101096

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan berikut disusun oleh:
Nama : Elsa Windasari
NIM : 192311101096
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan HIV/AIDS Di Ruang
Sakura Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi Jember

telah diperiksan dan disahkan oleh pembimbing pada:

Hari, Tanggal :
Tempat :

Jember, November 2019


TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik Stase Pembimbing Klinik


Keperawatan Medikal Ruang Anturium
FKep Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Endang Purwati, S.Kep


NIP. 19651215 198903 2 016

ii
LAPORAN PENDAHULUAN

A. ANATOMI FISIOLOGI
Sistem imun merupakan kumpulan mekanisme dalam suatu mahluk hidup yang
melindunginya terhadap infeksi dengan mengidenti•kasi dan membunuh
substansi patogen. Sistem ini dapat mendeteksi bahan patogen, mulai dari virus
sampai parasit dan cacing serta membedakannya dari sel dan jaringan normal.
Deteksi merupakan suatu hal yang rumit karena bahan patogen mampu
beradaptasi dan melakukan cara-cara baru untuk menginfeksi tubuh dengan
sukses. Sebagai suatu organ kompleks yang disusun oleh sel-sel spesifik, sistem
imun juga merupakan suatu sistem sirkulasi yang terpisah dari pembuluh darah
yang kesemuanya bekerja sama untuk menghilangkan infeksi dari tubuh. Organ
sistem imun terletak di seluruh tubuh, dan disebut organ limfoid (Sudiono, 2014).
Pembuluh limfe dan kelenjar limfe merupakan bagian dari sistem sirkulasi
khusus yang membawa cairan limfe, suatu cairan transparan yang berisi sel darah
putih terutama limfosit. Kata lymph dalam bahasa Yunani berarti murni, aliran
yang bersih, suatu istilah yang sesuai dengan penampilan dan kegunaannya.
Cairan limfe membasahi jaringan tubuh, sementara pembuluh limfe
mengumpulkan cairan limfe serta membawanya kembali ke sirkulasi darah.
Kelenjar limfe berisi jala pembuluh limfe dan menyediakan media bagi sel sistem
imun untuk mempertahankan tubuh terhadap agen penyerang. Limfe juga
merupakan media dan tempat bagi sel sistem imun memerangi benda asing
(Sudiono, 2014).
Sel imun dan molekul asing memasuki kelenjar limfe melalui pembuluh darah
atau pembuluh limfe. Semua sel imun keluar dari sistem limfatik dan akhirnya
kembali ke aliran darah. Begitu berada dalam aliran darah, sel sistem imun, yaitu
limfosit dibawa ke jaringan di seluruh tubuh, bekerja sebagai suatu pusat
penjagaan terhadap antigen asing (Sudiono, 2014).
Banyak masalah yang dapat terjadi dari kerja sistem imun yang keliru atau
tidak diharapkan, contohnya alergi, diabetes melitus, artritis reumatoid, penolakan
jaringan transplantasi, AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), dan
tumor ganas limfoma. Pada AIDS, kelainan fungsi imun terjadi karena sel yang
bekerja dalam sistem imun berkurang baik dalam jumlah maupun fungsinya,
seperti sel makrofag dan sel T, karena kerja virus. Kelainan dalam bentuk
peningkatan jumlah dan fungsi sel-sel sistem imun, selain terjadi pada alergi dan
keadaan hipersensitivitas, dapat pula terjadi pada tumor ganas, misalnya limfoma
(Sudiono, 2014)
B. Definisi
Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang sel
darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan
tubuh manusia. Orang yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat menularkan
virusnya kepada orang lain bila melakukan hubungan seks berisiko dan berbagi
penggunaan alat suntik dengan orang lain (Kemenkes RI, 2015). Acquired
Immune Deficiency Syndrome atau AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang
timbul karena kekebalan tubuh yang menurun yang disebabkan oleh infeksi HIV
dan ditandai oleh suatu kondisi imunosupresi yang memicu infeksi oportunistik,
neoplasma sekunder, dan manifestasi neurologis (Kummar, et al. 2015). Akibat
menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang tersebut sangat mudah
terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru,
saluran penernaan, otak dan kanker. Orang dengan HIV memerlukan pengobatan
Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh,
sedangkan orang dengan AIDS juga memerlukan ARV untuk mencegah
terjadinya infeksi oportunistik dan komplikasinya (Kemenkes RI, 2015).

C. Epidemiologi
Diseluruh dunia pada tahun 2013 terdapat 35 juta orang dengan HIV yang
meliputi 16 juta perempuan dan 3.2 juta anak berusia < 15 tahun. Jumlah infeksi
baru HIV pada tahun 2013 sebesar 2.1 juta yang terdiri dari 1.9 juta dewasa dan
240.000 anak berusia < 15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1.5 juta
yang terdiri dari 1.3 juta orang dewasa dan 190.000 anak usia < 15 tahun
(Kemenkes RI, 2016). Indonesia HIV sudah menyebar di 386 kabupaten/kota di
seluruh provinsi di Indonesia. Peningkatan jumlah kasus baru AIDS selalu terjadi
setiap tahunnya, hingga puncaknya pada tahun 2013 tercatat 10.163 kasus
kemudian terjadi penurunan jumlah kasus baru pada tahun 2014 yaitu sebesar
5.494 kasus dengan jumlah kumulatif kasus AIDS sampai dengan akhir 2014
sebesar 65.790 kasus (Kemenkes RI, 2015). Dari keseluruhan penderita
HIV/AIDS yang ditemukan di Kabupaten Jember pada tahun 2016, sebanyak 567
penderita mendapatkan penanganan/perawatan di unit pelayanan kesehatan. Dari
data tersebut 107 diantara positif menderita AIDS (Dinkes, 2017). Pada bulan
Januari sampai dengan Maret 2017 jumlah infeksi HIV yang dilaporkan sebanyak
10.376 orang dan AIDS sebanyak 673 orang. Presentase infeksi pada kelompok
umur 25- 49 tahun (69,6%), 20-24 tahun (17,6%), dan >50 tahun (6,7%)
(Kemenkes RI, 2017).

D. Etiologi
Menurut WHO (2017), HIV dapat menular melalui sebagai berikut:
1. WPS, yaitu perempuan yang berusia 15 tahun ke atas yang menerima uang
atau barang untuk ditukar dengan seks penetratif dalam jangka waktu 12
bulan terakhir
2. LSL, yaitu orang yang secara biologis adalah laki-laki berusia 15 tahun ke
atas yang berhubungan seks dengan laki-laki lain dalam jangka waktu 12
bulan terakhir
3. Penasun, yaitu laki-laki atau perempuan berusia 15 tahun ke atas yang
menyuntikkan zat obatobatan yang masuk dalam golongan narkotika
dalam jangka waktu 12 bulan terakhir
4. Waria, yaitu orang yang secara biologis laki-laki berusia 15 tahun ke atas
yang mengidentifikasi gendernya sebagai perempuan
Menurut Purwokerto dkk., 2016 risiko penularan HIV dapat melalui parenteral
dan riwayat penyakit infeksi menular seksual yang pernah diderita sebelumnya.
Perilaku seksual yang berisiko merupakan faktor utama yang berkaitan dengan
penularan HIV/AIDS. Partner seks yang banyak dan tidak memakai kondom
dalam melakukan aktivitas seksual. Padahal, pemakaian kondom merupakan cara
pencegahan penularan HIV/AIDS yang efektif. Seks anal juga merupakan faktor
perilaku seksual yang memudahkan penularan serta pemakaian narkotika dan
obat-obatan terlarang (narkoba) secara suntik/injeksi atau injecting drug users
(IDU) merupakan faktor utama penularan HIV/AIDS, termasuk di Indonesia.

E. Tanda dan Gejala


Tanda gejala HIV menurut Kemenkes RI (2015) adalah sebagai berikut:
1. Fase I: masa jendela (window period) yaitu ketika tubuh sudah terinfeksi HIV,
namun pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV.
Pada masa jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga
bulan sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada
orang lain. Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa demam,
nyeri tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri sendi,
sakit kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya yang akan
mereda dan sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase “flu-like syndrome” ini
terjadi akibat serokonversi dalam darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebat
pada infeksi primer HIV.
2. Fase II: masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala
ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun gejala
penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini penderita tetap dapat menularkan
HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata berlangsung selama 2-3 tahun;
sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung selama 5-8 tahun,
ditandai oleh berbagai radang kulit seperti ketombe, folikulitis yang hilangtimbul
walaupun diobati.
3. Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan
tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai
infeksi oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur
di mulut, kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB banyak ditemukan di paru-paru
dan organ lain di luar paru-paru. Sering ditemukan diare kronis dan penurunan
berat badan sampai lebih dari 10% dari berat awal.
F. Patofosiologi dan Clinical Pathway
Infeksi HIV di jaringan memilikidua target utama yaitu sistem imun dan
sistem saraf pusat. Gangguan pada sistem imun mengakibatkan kondisi
imunodefisiensi pada cell mediated immunity yang mengakibatkan kehilangan sel
T CD4+ dan ketidakseimbangan fungsi ketahanan sel T helper. Selain sel
tersebut, makrofag dan sel dendrit juga menjadi target. HIV masuk ke dalam
tubuh melalui jaringan mukosa dan darah selanjutnya sel akan menginfeksi sel T,
sel dendritik da makrofag. Infeksi kemudian berlangsung di jaringan limfoid
dimana virus akan menjadi laten pada periode yang lama (Kummar, et al. 2015).
Mekanisme Penurunan Imunitas Pada Infeksi HIV dapat menyebabkan penurunan
fungsi sistem imun secara bertahap, dimana hal itu terjadi karena Deplesi sel T
CD4+ disebabkan oleh beberapa hal yaitu aktivasi kronik dari sel yang tidak
terinfeksi, non-cytopathic (abortif) infeksi HIV mampu mengaktifkan
inflammasome pathways dan memicu bentuk kematian sel yang disebut
pyroptosis. asimptomatik. (Maartens, et al. 2014, Kummar, et al. 2015). Dengan
berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T
CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3
atau lebih rendah lagi, sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme
patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi sekunder dan
akhirnya masuk ke stadium AIDS. Infeksi sekunder ini biasanya disebut infeksi
oportunistik, yang menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis
infeksi (Kummar, et al. 2015).
Clinical Pathway Seks bebas, transfusi darah, Invasi ke saluran Merusak mukosa Nafsu makan
jarum suntik gastrointestinal gastrointestinal Mual menurun

Sel imun menurun HIV masuk dan menginfeksi Diare Peristaltik usus meningkat Nutrisi tidak
tubuh adekuat

Defisiensi
Pengeluaran cairan berlebih Ketidakseimbangan
Merusak sel yang rentan volume cairan
AIDS nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
Sel kulit rusak, ada Gatal dan bersisikdigaruk
Muncul komplikasi lesi, herpes
Kekurangan energi

Perubahan status Khawatir terhadap


Nyeri akut
Turgor kulit jelek
kesehatan penyakit
Keterbatasan Keletihan
gerak
Kerusakan Integritas Kulit
Hospitalisasi
Ansietas
Intoleransi Aktivitas
Pengobatan yang lama dan Stres jangka panjang,
Keputusasaan
tidak kunjung sembuh kehilangan kepercayaan

Menyerang sistem Anemia, leukopeni,


Hemolisis, defisiensi besi Ketidakefektifan Perfusi
hematologi trombositopeni Jaringan Perifer
G. Pemeriksaan Penunjang
Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan
diagnosis. Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis
pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa (Kemenkes RI, 2015):
a. Tes cepat
Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi yang
ditunjuk Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi terhadap
HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel
yang lebih sedikit dan waktu tunggu untuk mengetahui hasil kurang dari
20 menit bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan oleh tenaga medis
yang terlatih.
b. Tes Enzyme Immunoassay (EIA)
Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi antigen-
antibodi dapat dideteksi dengan perubahan warna.
c. Test ELISA
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA), merupakan uji penapisan
infeksi HIV yaitu suatu tes untuk mendeteksi adanya antibody yang dibentuk
oleh tubuh terhadap virus HIV. ELISA memiliki sensitifitas yang tinggi, yaitu
> 99,5%. Dianjurkan agar pemeriksaan ELISA dilakukan setelah setelah
minggu ke 12 setelah seseorang dicurigai terpapar ( beresiko) untuk tertular
virus HIV,misalnya aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum
suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah
vena, air liur, atau urine.
d. Radioimmunoassay (RIA)
Prinsip dasar dari RIA adalah reaksi suatu antibody dalam konsentrasi yang
terbatas dengan berbagai konsentrasi antigen.
e. Imunokromatografi/ Rapid Test
a). Reaksi langsung (Double AntibodySandwich)
b). Reaksi kompetitif (Competitive inhibition)
Prosedur pemeriksaan untuk HIV menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes
tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA.
Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan
sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya
(A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (≥99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga
3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV
yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ‘negatif’, maka
perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang
berisiko.
Tabel 5. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1

f. Wastern Blot
Pemeriksaan Western Blot merupakan uji konfirmasi dari hasil reaktif ELISA
atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif.
g. Indirect Fluorescent Antibody (IFA)
IFA juga merupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Uji ini
sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan
sedikit lebih mahal dari uji Western blot.
h. Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test
untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA atau RNA HIV-1 dan
test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen
p24), dan PCR test.
H. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada pasien dengan HIV/ AIDS menurut Kemenkes
RI (2016) adalah pemberian dosis pertama PPP (Profilaksis Pasca Pajanan)
secepat mungkin setelah pajanan dalam waktu tidak lebih dari 3 kali 24 jam, dan
jika perlu, tanpa menunggu konseling dan tes HIV atau hasil tes dari sumber
pajanan. Strategi ini digunakan jika yang memberikan perawatan awal adalah
bukan ahlinya, tetapi selanjutnya dirujuk segera kepada dokter ahli.
Setiap tatalaksana pajanan berisiko harus dilakukan tindak lanjut yaitu:
1. Evaluasi laboratorium, termasuk tes HIV pada saat terpajan dan 6 minggu, 3
bulan, dan 6 bulan setelahnya; tes HbsAg bagi yang terpajan dengan risiko
Hepatitis B
2. Pencatatan
3. Follow-up dan dukungan, termasuk tindak lanjut klinis atas gejala infeksi HIV,
Hepatitis B, efek samping obat PPP, konseling berkelanjutan untuk kepatuhan
terapi ARV.
Pengobatan untuk pasien dengan HIV pada remaja dan dewasa
menggunakan Tenofovir (TDR), Lamivudin (3TC), Emtricitabin (FTC),
Zidovudin (AZT), dan Lopinavis/ Ritonavir (LPV/r). Sedangkan pada anak (≤ 10
tahun) menggunakan AZT, 3TC, LPV/r, atau dapat menggunakan EFV/ NVP.

I. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Pengkajian(Assessment)
1. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien memiliki riwayat melakukan hubungan seksual dengan
pasangan yang positif mengidap HIV/AIDS, pasangan seksual
multiple, aktivitas seksual yang tidak terlindung, seks anal,
homoseksual, penggunaan kondom yang tidak konsisten,
menggunakan pil pencegah kehamilan (meningkatkan kerentanan
terhadap virus pada wanita yang terpajan karena peningkatan
kekeringan/friabilitasvagina), pemakai obat-obatan IV dengan jarum
suntik yang bergantian, riwayat menjalani transfusi darah berulang,
dan mengidap penyakit defesiensi imun.
2. Riwayat KesehatanSekarang
Pasien mengatakan mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap
aktivitas biasanya, sulit tidur, merasa tidak berdaya, putus asa, tidak
berguna, rasa bersalah, kehilangan kontrol diri, depresi, nyeri panggul,
rasa terbakar saat miksi, diare intermitten, terus-menerus yang
disertai/tanpa kram abdominal, tidak nafsu makan, mual/muntah, rasa
sakit/tidak nyaman pada bagian oral, nyeri retrosternal saat menelan,
pusing, sakit kepala, tidak mampu mengingat sesuatu, konsentrasi
menurun, tidak merasakan perubahan posisi/getaran, kekuatan otot
menurun, ketajaman penglihatan menurun, kesemutan pada
ekstremitas, nyeri, sakit, dan rasa terbakar pada kaki, nyeri dada
pleuritis, nafas pendek, sering batuk berulang, sering demam berulang,
berkeringat malam, takut mengungkapkan pada orang lain dan takut
ditolak lingkungan, merasa kesepian/isolasi, menurunnya libido dan
terlalu sakit untuk melakukan hubunganseksual.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat HIV/AIDS pada keluarga, kehamilan keluarga dengan
HIV/AIDS, keluarga pengguna obat- obatan terlarang.

 PengkajianFisik
1. Aktivitas dan istirahat
Massa otot menurun, terjadi respon fisiologis terhadap aktivitas
seperti perubahan pada tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan
pernafasan.
2. Sirkulasi
Takikardi, perubahan tekanan darah postural, penurunan volume nadi
perifer, pucat/sianosis, kapillary refill time meningkat.
3. Integritasego
Perilaku menarik diri, mengingkari, depresi, ekspresi takut, perilaku
marah, postur tubuh mengelak, menangis, kontak mata kurang, gagal
menepati janji atau banyak janji.
4. Eliminasi
Diare intermitten, terus menerus dengan/tanpa nyeri tekan abdomen,
lesi/abses rektal/perianal, feses encer dan/tanpa disertai mukus atau
darah, diare pekat, perubahan jumlah, warna, dan karakteristikurine.
5. Makanan/cairan
Adanya bising usus hiperaktif; penurunan berat badan: parawakan
kurus, menurunnya lemak subkutan/massa otot; turgor kulit buruk;
lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih dan perubahan warna;
kurangnya kebersihan gigi, adanya gigi yang tanggal; edema.
6. Hygiene
Penampilan tidak rapi, kekurangan dalam aktivitas perawatan diri.
7. Neurosensori
Perubahan status mental dengan rentang antara kacau mental sampai
dimensia, lupa, konsentrasi buruk, kesadaran menurun, apatis,
retardasi psikomotor/respon melambat.Ide paranoid, ansietas
berkembang bebas, harapan yang tidak realistis. Timbul refleks tidak
normal, menurunnya kekuatan otot, gaya berjalanataksia.Tremor pada
motorik kasar/halus, menurunnya motorik fokalis, hemiparase, kejang
Hemoragi retina dan eksudat (renitis CMV).
8. Nyeri/kenyamanan
Pembengkakan sendi, nyeri tekan, penurunan rentang gerak,
perubahan gaya berjalan/pincang, gerak otot melindungi yang sakit.
9. Pernapasan
Takipnea, distress pernafasan, perubahan bunyi nafas/bunyi nafas
adventisius, batuk (mulai sedang sampai parah)
produktif/nonproduktif, sputum kuning (pada pneumonia yang
menghasilkan sputum).
10. Keamanan
Perubahan integritas kulit : terpotong, ruam, mis. Ekzema, eksantem,
psoriasis, perubahan warna, ukuran/warna mola, mudah terjadi memar
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
11. Rektum luka, luka-luka perianal atau abses.
Timbulnya nodul-nodul, pelebaran kelenjar limfe pada dua/lebih area
tubuh (leher, ketiak, paha) Penurunan kekuatan umum, tekanan otot,
perubahan pada gaya berjalan.
12. Seksualitas
Herpes, kutil atau rabas pada kulit genitalia
13. Interaksisosial
Perubahan pada interaksi keluarga/orang terdekat, aktivitas yang tak
terorganisasi, perobahan penyusunan tujuan.

 Pemeriksaan Penunjang
Tes untuk mendiagnosa infeksi HIV , yaitu :
a. ELISA
b. Western blot
c. P24 antigen test
d. Kultur HIV
Tes untuk mendeteksi gangguan sistem imun, yaitu :
a. Hematokrit
b. LED
c. Rasio CD4 / CD Limposit
d. Serum mikroglobulin B2
e. Hemoglobin

b. Diagnosa Keperawatan yang Sering Muncul (Herdman, 2018)


1. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
2. Mual
3. Defisiensi volume cairan
4. Nyeri akut
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
6. Kerusakan integritas kulit
7. Intoleransi aktivitas
8. Keletihan
9. Ansietas
10. Keputusasaan
c. Perencanaan/ Nursing Care Plan
NO. Masalah Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Ketidakseimba Setelah dilakukan perawatan Manajemen Nutrisi
ngan nutrisi: selama 3 x 24 jam masalah 1. Temukan status gizi
kurang dari ketidakseimbangan nutrisi: pasien dan
kebutuhan kurang dari kebutuhan tubuh kemamampuan pasien
tubuh teratasi dengan kriteria hasil: untuk memenuhi
1. Menunujukkan kebutuhan gizi
peningkatan/ 2. Observasi dan catat
mempertahankan berat masukkan nutrisi
badan dengan nilai normal. pasien
2. Tidak mengalami tanda 3. Atur diet yang
mal nutrisi. diperlukan (misalnya
3. Nutrisi adekuat protein tinggi,
4. Hidrasi tidak menambah atau
menyimpang dari rentang mnegurangi kalori)
normal 5. Observasi dan catat
kejadian mual/muntah,
flatus dan dan gejala
lain yang berhubungan
2. Mual Setelah dilakukan perawatan - Monitor nutrisi
selama 1 x 24 jam masalah - Manajemen mual
mual teratasi dengan kriteria 1. Monitor turgor kulit
hasil: 2. Monitor diet dan
1. Nafsu makan normal asupan kalori
2. Pasien dapat mengontrol 3. Identifikasi
mual muntah perubahan nafsu makan
3. Pasien merasa nyaman 4. Dorong pasien untuk
belajar strategi
mengatasi mual
5. Ajarkan teknik
akupresur untuk
mengurangi mual
6. Beri dorongan untuk
makan sedikit- sedikit
namun sering
3. Defisiensi Setelah dilakukan perawatan - Monitor Cairan
volume cairan selama 3 x 24 jam masalah - Manajemen
kekurangan volume cairan Elektrolit
teratasi dengan kriteria hasil: 1. Monitor membran
1. Tekanan darah 120/ 80 mukosa, turgor kulit
mmHg dan respon haus
2. Nadi radial 60 – 100 2. Monitor warna,
denyut per menit kuantitas, dan berat
3. Turgor kulit <2 detik jenis urin
4. Haus tidak ada 3. Berikan cairan
5. Warna urin kuning dengan tepat
4. Konsultasikan pada
dokter jika pengeluaran
urin kurang dari 0,5
ml/kg/jam atau asupan
cairan orang dewasa
5. Berikan diet sesuai
dengan kondisi
ketidakseimbangan
elektrolit pasien
6. Konsultasikan
dengan dokter jika
tanda-tanda dan gejala
ketidakseimbangan
cairan dan atau
elektrolit menetap atau
memburuk

4. Nyeri akut Setelah dilakukan perawatan - Terapi relaksasi


masalah nyeri teratasi dengan - Pemberian
kriteria hasil: analgesik
1. Pasien dapat mengenali 1. Lakukan pengkajian
kapan nyeri terjadi nyeri secara
2. Pasien mampu komprehensif
menyampaikan faktor (lokasi,
penyebab nyeri karakteristik, durasi,
3. Mampu menyampaikan dan intensitas nyeri)
tanda dan gejala nyeri 2. Observasi adanya
4. Penurunan skala nyeri petunjuk nonverbal
5. Ekspresi wajah tidak nyeri
mengerang dan meringis 3. Pastikan analgesik
kesakitan dipantau dengan
6. Nyeri terkontrol ketat
4. Gambarkan rasional
dan manfaat
relaksasi seperti
nafas dalam dan
musik
5. Dorong pasien
mengambil posisi
nyaman
5. Ketidakefektifa Setelah dilakukan perawatan - Monitor Tanda
n perfusi masalah ketidakefektifan Tanda Vital
jaringan perifer jaringan perifer dapat teratasi - Manajemen
dengan kriteria hasil: sensasi perifer
1. Pengisian kapiler jari 1 Instruksikan pasien
ringan dan keluarga
2. Tekanan darah sistolik
untuk menjaga
normal
3. Tekanan darah diastolik posisi tubuh ketika
normal sedang mandi,
4. Muka pucat tidak ada duduk, berbaring,
5. Kelemahan otot ringan atau merubah posisi
2 Intruksikan pasien
dan keluarga
untuk memeriksa
adanya kerusakan
kulit setiap harinya
3 Imobilisasikan
kepala, leher, dan
punggung dengan
tepat
4 Monitor
kemampuan untuk
BAB dan BAK
Pengaturan Suhu
1 Monitor suhu
paling tidak setiap 2
jam, sesuai
kebutuhan
2 Monitor tekanan
darah, nadi dan
respirasi, sesuai
kebutuhan
3 Monitor suhu dan
warna kulit
- Pengajaran:
Proses Penyakit
1 Kaji tingkat
pengetahuan pasien
terkait dengan
proses penyakit
yang spesifik
2 Jelaskan
patofisiologi
penyakit dan
bagaimana
hubungannya
dengan anatomi dan
fisiologi, sesuai
kebutuhan
3 Jelaskan tanda dan
gejala yang umum
dari penyakit,
sesuai kebutuhan
4 Edukasi pasien
mengenai tanda
dan gejala yang
harus dila-porkan
kepada petugas
kesehatan, sesuai
kebutuhan
- Pemberian Obat.
- Terapi Intravena
(IV)
6. Kerusakan Setelah dilakukan tindakan - Monitor TTV
integritas kulit keperawatan selama 3x24 - Monitor area luka
jam, masalah kerusakan atau lesi
integritas kulit pasien dapat 1. Berikan perawatan
teratasi dengan kriteria hasil: ulkus pada kulit,
1. Pigmentasi abnormal tidak yang diperlukan
ada 2. Oleskan salep yang
2. Lesi pada kulit tidak ada sesuai dengan
3. Lesi mukosa membrane kulit/lesi
tidak ada 3. Berikan balutan
4. Jaringan parut tidak ada yang sesuai dengan
5. Pengelupasan kulit tidak jenis Iuka
ada 4. Ajarkan cara
6. Wajah pucat tidak ada perawatan luka
secara mandiri
5. Kolaborasi
pemberian terapi
farmakologi
7. Intoleransi Setelah dilakukan tindakan - Manajemen energi
aktivitas keperawatan selama ... × 24 - Terapi latihan:
jam klien tidak mengalami ambulasi
intoleransi aktiitas dengan 1. Kaji status fisiologis
kriteria hasil : pasien yang
1. Melakukan aktivitas rutin menyebabkan
tidak terganggu keletihan
2. Daya tahan otot tidak 2. Monitor intake dan
terganggu asupan nutrisi
3. Hemoglobin tidak 3. Monitor/catat waktu
terganggu dan lama waktu
4. Hematokrit tidak istirahat tidur pasien
terganggu 4. Anjurkan aktivitas
fisik (misal
ambilasi, ADL)
sesuai dengan
kemampuan (energi)
pasien
5. Dorong untuk duduk
di tempat tidur, di
samping tempat
tidur (menjutai),
atau di kursi, sesuai
toleransi pasien
6. Bantu pasien untuk
duduk di sisi tempat
tidur untuk
memfasilitasi
penyesuaian sikap
tubuh.
7. Konsultasi dengan
ahli gizi terkait cara
peningkatan energi
dari asupan
makanan
8. Keletihan Setelah dilakukan perawatan Terapi Aktivitas
selama 2 x 24 jam masalah
keletihan teratasi dengan 1. Pertimbangakn
kriteria hasil: kemampuan klien
1. Tidak ada kelelahan dalam berpartisipasi
2. Selera makan baik melalui aktivitas fisik
3. Nyeri tidak ada 2. Kolaborasi dengan
4. Perawat/keluarga dapat fisioterapis
membantu pasien dalam 3. Bantu klien
melakukan aktivitas dan memperoleh
pemenuhan ADL pasien transportasi untuk
5. Pasien dapat melakukan dapat mengikuti
aktivitas dengan optimal aktivitas
4. Bantu klien untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang mampu
dilakukan
5. Bantu klien dan
keluarga
mengidentifikasi
kelemahan yang terjadi

9. Ansietas Setelah dilakukan perawatan - Peningkatan


selama 2 x 24 jam masalah koping
ansietas teratasi dengan - Terapi relaksasi
kriteria hasil: 1. Bantu klien
1. Mengidentifikasi pola mendapatkan informasi
koping yang efektif sering yang menarik baginya
menunjukkan 2. Bantu klien
2. Menyatakan penerimaan menentukan tujuan
diri terhadap situasi sering jangka pendek dan
menunjukkan\ jangka panjang
3. Modifikasi gaya hidup 3. Dukung aktivitas
untuk mengurangi stres sosial yang dilakukan
sering menunjukkan klien
4. Adaptasi perubahan hidup 4. Dukung
sering menunjukkan pengembangan
5. Menggunakan strategi keterampilan yang
koping yang efektif sering tepat
menunjukkan
10. Keputusasaan Setelah dilakukan perawatan - Inspirasi Harapan
selama 2 x 24 jam masalah - Manajemen alam
keputusasaan dapat teratasi perasaan
dengan kriteria hasil: 1. Bantu klien
1. Mengungkapkan harapan membangkitkan
masa depan yang positif spiritualitas diri
sering menunjukkan
2. Mengungkapkan 2. Jangan memalsukan
keinginan sering kondisi kenyataan
menunjukkan sebenarnya
3. Mengungkapkan 3. Dukung segala
keinginan untuk hidup aktvitas positif yang
sering menunjukkan dilakukan klien
4. Adaptasi perubahan hidup
sering menunjukkan 4. Kolaborasi dengan
5. Menunjukkan semangat memfasilitasi klien
hidup sering menunjukkan melaksanakan praktik
agamanya dengan tepat.
d. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan.
Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi

e. Discharge Planning
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk discharge planning bagi klien dengan
cidera kepala antara lain:
1. Rutin untuk konseling
2. Rutin untuk konsumsi obat ARV
3. Segera menghubungi layanan kesehatan jika terdapat efek atau kondisi yang
tidak diinginkan

f. Evidance based
Judul Artikel
A pilot randomized aerobic exercise trial in older HIV-infectedmen: Insights into
strategies for successful aging with HIV
Sebuah percobaan percontohan latihan aerobik pada pria yang terinfeksi HIV
yang lebih tua: Wawasan ke dalam strategi untuk penuaan yang berhasil dengan
HIV
Jurnal
PLOS ONE – 2018
Penulis
Chandr Krisann K. Oursler, John D. Sorkin, Alice S. Ryan, Leslie I. Katzel
Intervensi
Pada penelitian ini, Orang dewasa yang terinfeksi HIV memiliki
peningkatan risiko penyakit yang berkaitan dengan usia dan rendahnya
pernapasan jantung kebugaran yang dapat dicegah dan ditingkatkan dengan
berolahraga. Untuk menentukan keamanan dan kemanjuran latihan aerobik pada
pria terinfeksi HIV yang lebih tua di uji coba dominasi yang membandingkan
berbagai tingkat intensitas latihan. Pada penelitian ini, peserta yang telah dipilih
untuk melakukan intervensi perawatan Kami melakukan uji coba latihan
percobaan pada 22 laki-laki yang terinfeksi HIV - 50 tahun yang menerima
antireas terapi troviral yang diacak 1: 1 untuk latihan aerob intensitas sedang
(Mod-AEX) atau latihan aerobik intensitas tinggi (High-AEX) yang dilakukan
tiga kali semingguselama 16 minggu dalam pengaturan yang diawasi. Hasil utama
adalah kebugaran kardiorespirasi (VO2peak) diukur dengan pengujian treadmill.
Hasil sekunder adalah ketahanan olahraga, enam menit berjalan kaki (6-MWD),
komposisi tubuh diukur dengan sinar-X Dual-energi absorptiometry (DXA), dan
kadar lipid dan glukosa plasma puasa. Uji coba latihan percontohan ini
menunjukkan bahwa latihan aerobik intensitas sedang hingga tinggi di Indonesia
laki-laki yang terinfeksi HIV yang lebih tua meningkatkan daya tahan dan fungsi
rawat jalan. Namun, meningkat kebugaran kardiorespirasi diamati hanya dengan
latihan aerobik intensitas tinggi meskipun penurunan dasar stantial. Penelitian di
masa depan diperlukan untuk menentukan strategi latihan di orang dewasa yang
lebih tua yang terinfeksi HIV yang mengatasi penuaan lanjut dan komorbiditas
namun tahan lama dan layak (Oursler dkk., 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G & Butcher, H. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Edisi


6. Elsevier.

Dinkes. 2017. Profil kesehatan kabupaten jember tahun 2016

Herdman, T. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi


2018-2020. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Kemenkes RI. 2014. Situasi Dan Analisis HIV AIDS. 2014.

Kemenkes RI. 2015. Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV Dan


Sifilis Dari Ibu Ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan

Kemenkes RI. 2016. Program pengendalian hiv aids dan pims di fasilitas
kesehatan tigkat pertama

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi dan Analisis HIV AIDS di


Indonesia (internet). Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia;
2016. Available from:
http://www.pusdatin.kemkes.go.id/article/view/17020100001/situasi-
penyakit-hiv-aids-di-indonesia.html.

Kemenkes RI. 2017. Laporan perkembangan hiv- aids & penyakit infeksi menular
seksual (pms) triwulan i tahun 2017

Kummar, V., Abbas, AK., Aster JC (2015) Robbins and Cotran; Pathologic Basic
of Disease Ninth edition Philadelphia :Saunders Elsevier.

Maartens, G., Celum, C., dan Lewin,SR.(2014). HIV infection:epidemiology,


pathogenesis, treatment, dan prevention. Lancer. 384, pp.258-327.

Oursler, K. K., J. D. Sorkin, A. S. Ryan, dan L. I. Katzel. 2018. A pilot


randomized aerobic exercise trial in older hiv-infected men : insights into
strategies for successful aging with hiv. 2:1–12.
Purwokerto, D. I., A. Saprasetya, D. Laksana, D. Woro, dan D. Lestari. 2016.
Faktor-faktor risiko penularan hiv/aids pada laki-laki dengan orientasi seks
heteroseksual dan homoseksual di purwokerto. 4:113–123.
Sudiono, J. (2014) Sistem Kekebalan Tubuh. Jakarta: EGC

WHO. 2017. Kajian epidemiologi hiv indonesia 2016. 1–66.

Anda mungkin juga menyukai