Anda di halaman 1dari 22

Sikap Dokter Terhadap Rahasia Pasien dengan Penyakit Menular Seksual

Patricia Sry Citra Nabut

102014188/A3

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat, 11510

E-mail: patricianabut@yahoo.com

Pendahuluan
Profesional kedokteran diharapkan memiliki sikap profesionalisma, yaitu sikap yang
bertanggungjawab, dalam arti sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat
(masyarakat profesi ataupun masyarakat luas). Beberapa ciri profesionalisme tersebut
merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu sesuai
dengan tempat dan waktu, sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuatu
dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan
ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban).
Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain
mempertimbangkan keempat hubungan dasar manusia (kebutuhan fisiologis, psikologis,
sosial, dan kreatif & spiritual), keputusan hendaknya juga mempertimbangkan hak-hak asasi
pasien.1

Etika Kedokteran
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu
sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Ada dua
macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya perilaku
manusia terutamanya apabila menyangkut ilmu profesi kedokteran yang berhadapan dengan
pasien:
 Etika deskriptif, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional
sikap dan perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini
sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk
mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang mau diambil.

1
 Etika normative, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola
perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu
yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai
dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.1

Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban


terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya,
Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran
Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada
prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam
membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya
suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam
perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi
pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics)
dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, keputusan
hendaknya mempertimbangkan Etika Profesi Kedokteran. Etika adalah disiplin ilmu yang
mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang
individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk, benar-salah dari sisi moral
tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua
teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi. Deontologi
mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri
sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasil
atau akibatnya. Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya,
sedangkan teologi lebih kearah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada
azas manfaat.1,2
Kaidah dasar (prinsip) Etika / Bioetik adalah aksioma yang mempermudah penalaran
etik. Prinsip-prinsip itu harus spesifik. Pada praktiknya, satu prinsip dapat dibersamakan
dengan prinsip yang lain. Tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip
menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain.
Keadaan terakhir disebut dengan prima facie. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan
mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia
mengacu kepada 4 kaidah dasar moral (sering disebut kaidah dasar etika kedokteran atau
bioetika), juga prima facie dalam penerapan praktiknya.
2
Prinsip-Prinsip Etika Profesi. Beauchamp and childress menguraikan bahwa untuk
mencapai suatu keputusan etis diperlukan empat kaedah dasar moral dan beberapa rules
dibawahnya, yaitu:
 Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditunjukan kepada kebaikan pasien. Dokter harus mengusahakan agar pasien yang
dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya. Pengertian berbuat baik di sini adalah
bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajibannya.
 Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai ‘primum non nocere’ atau
‘do not harm’.
 Prinsip autonomy, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien (the rights to
self determinations). Maksudnya tiap individu harus diperlakukan sebagai makhluk
hidup yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasibnya sendiri).
 Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Maksudnya adalah
memperlakukan semua pasien sama dalam kondisi yang sama.1,3

Praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-


prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam
menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari
segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika
biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat
keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di
bidang medis. Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter.
Pembuatan keputusan etik terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler, dan
Winslade mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang esensial dalam
pelayanan klinik, yaitu :
1. Medical indication. Pada topik ini dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi
yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek
indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kadiah

3
beneficence dan non-maleficence. Pertanyaan etika pada topic ini adalah serupa
dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada informed
consent.
2. Patient preferences. Pada topik ini kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien
tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah
autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat
volunteer sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat
keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dan
lain-lain.
3. Quality of life. Topik ini merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu,
memperbaiki, menjaga, atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa, siapa, dan
bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar
prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, non-maleficence, dan autonomy.
4. Contextual features. Dalam topik ini dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis
yang mempengaruhi keputusan, seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya,
kerahasiaan, alokasi sumber daya, dan faktor hukum.1,3

Aspek Hukum
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 29 Tahun 2004 tentang
praktik kedokteran, terdapat pasal-pasal berkaitan dengan pelaksanaan praktik seorang dokter
yaitu dengan pasiennya (Pasal 39); persetujuan kedokteran dalam menjalankan prakteknya
(Pasal 45); rahasia kedokteran (Pasal 48) dan kewajiban dokter merahasiakan hal pasien
(Pasal 51); dan hak pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran (Pasal 52)
seperti berikut:3
 Pasal 39
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau
dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan peyakit dan pemulihan.
 Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.

4
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
(4) Diagnosis dan tata cara tindakan medis; tujuan tindakan medis yang dilakukan;
alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(5) Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara
bertulis maupun lisan.
(6) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
 Pasal 48
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan prakrik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien.
 Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia.
 Pasal 52
Pasien dalam, menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
(1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam pasal 45 ayat (3),
(2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
(3) Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
(4) Menolak tindakan medis; dan mendapatkan isi rekam medis.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10 tahun 1966 dijelaskan tentang


kewajiban simpan rahasia Kedokteran seperti berikut:
 Pasal 1
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh
orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu tertentu atau selama melakukan
pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.
 Pasal 2

5
Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang tersebut dalam
pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada
PP ini menentukan yang lain.
 Pasal 3
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah: a.Tenaga
kesehatan menurut pasal 2 UU tentang kesehatan b.Mahasiswa kedokteran, murid
yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan, dan
orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan.
 Pasal 4
Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran, yang
tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri
kesehatan dapat melakukan tindakan administrative berdasarkan pasal UU tentang
tenaga kesehatan.
 Pasal 5
Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka disebut
dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-tindakan
berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.
 Pasal 6
Dalam pelaksanaan peraturan ini, menteri kesehatan dapat mendengar Dewan
Pendinding Susila Kedokteran dan atau badan-badan lain bilamana perlu.
 Tetapi menurut pasal 48 KUHP:
Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.Yaitu
disini, apabila seorang dokter itu terpaksa membuka rahasia dokter karena dipaksa
dengan diancam nyawa, dokter itu tidak akan dipidana.

 MA 117/K/Kr/1968 2 Juli 1969


Dalam “noodtoestand” harus dilihat adanya:
1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum
2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum
3. Pertentangan antara dua kewajiban hukum

6
 Pasal 49 KUHP
Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri
maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat
pada saat itu yang melawan hukum.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan keguncangan
jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
 Pasal 50 KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang
tidak dipidana.

Dampak Hukum
Dampak hukum yang mungkin timbul dari keputusan dokter seperti dalam pasal 4 PP
no 10/1966, tindak pidana yang dikenakan adalah berdasarkan pasal 322 yang seperti berikut:
Pasal 322 KUHP:
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan
ribu rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang itu.

Pelanggaran kewajiban untuk menjaga rahasia medis dapat dikenakan beberapa


sanksi, antaranya ialah:
1. Sanksi disiplin oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
sesuai dengan Pasal 64 sampai dengan Pasal 70 UU No.29 Tahun 2004. Dalam
peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No.16/KKI/PER/VIII/2006 tentang Tata Cara
Penanganan Perlanggaran Disiplin MKDKI, ada tiga alternative sanksi disiplin yaitu:
 Pemberian peringatan tertulis.
 Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.
 Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.

7
Selain sanksi disiplin, dokter yang tidak menjaga rahasia medis dapat dikenakan
sanksi etik oleh organisasi profesi yaitu Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
(MKEK).
2. Sanksi administratif tetap diberikan meskipun pasien HIV/AIDS yang dirugikan telah
memaafkan dan tidak mengadukan kepada pihak berwajib sesuai dengan Pasal 4
Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
3. Sanksi pidana sesuai dengan pasal 322 KUHP dan Pasal 79 huruf (c) UU No.29
Tahun 2004. Pembocoran rahasia medis pasien HIV/AIDS oleh dokter merupakan
delik aduan, dimana dokter hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari pasien yang
bersangkutan.
4. Sanksi Perdata sesuai dengan Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 58 UU No.36 Tahun
2009. Jika membuka rahasia medis pasien HIV/AIDS bukan inisiatif sang dokter
tetapi atas kemauan rumah sakit, maka sanksi perdata sesuai dengan Pasal 1367
KUHPerdata dan Pasal 46 UU No.44 tentang Rumah Sakit.

Dalam kasus, dokter menjalankan kewajiban sebagai seorang dokter dengan


memberikan informed consent kepada pasien mengenai penyakit gonore yang dialami pasien.
Dokter juga menjaga rahasia kedokteran karena tidak memberitahu istri pasien mengenai
suaminya, takut terjadi pertengkaran diantara keduanya tapi tetap menyarankan sang suami
untuk berterus terang supaya istrinya juga dapat diobati. Oleh itu, dokter tidak dikenakan
tindak pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.
Merupakan hak pasien supaya istrinya tidak diberitahu mengenai penyakit yang dialaminya
dan kewajiban pasien untuk memberikan informasi yang benar kepada dokter. Dokter juga
memberi pengobatan kepada pasien sesuai standard pelayanan medis yang mana merupakan
salah satu kewajiban dokter.

Rahasia Kedokteran
Rahasia kedokteran adalah suatu norma yang secara tradisional dianggap sebagai
norma dasar yang melindungi hubungan dokter dan pasien. Sesuai dengan sumpah dokter,
kode etik kedokteran internasional, dan peraturan pemerintah no.10 tahun 1966 yang
mengatur kewajiban simpan rahasia kedokteran oleh seluruh tenaga kesehatan. Namun dalam
PP ini diberikan pengecualian apabila terdapat Peraturan Perundang-undangan (PP) yang
sederajat atau lebih tinggi (UU), dalam pasal 48 ayat (2): 3,4
 Untuk kepentingan kesehatan pasien
8
 Untuk memenuhi permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum
 Permintaan pasien sendiri
 Berdasarkan ketentuan undang-undang

Peraturan lain yang membenarkan pembukaan rahasia kedokteran antara lain adalah
ketentuan pasal 50 KUHAP, pasal 51 KUHAP, pasal 48 KUHAP, dan pasal 49 KUHAP.
Dalam permenkes no.749a, rekam medis boleh dibuka untuk pendidikan dan penelitian.
Dalam kaitannya dengan keadaan memaksa, dikenal dua keadaan yaitu:
1. Overmacth: pengaruh daya paksa yang memadai.
2. Noodtoeestand: keadaan yang memaksa.1

Dapat diakibatkan pertentangan antara dua kepentingan hukum, pertentangan antara


kepentingan hukum dan kewajiban hukum, dan pertentangan antara dua kewajiban hukum.
Salah satu contoh noodtoestand adalah kasus dokter yang menemukan child abuse yang berat
dan dicurigai akan bertambah parah dihari kemudian.

Hak & Kewajiban Dokter dan Pasien


A. Hak Pasien
Undang-undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan yang telah di perbaharui dengan
UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Kedokteran Gigi mengatur dan
menyebutkan tentang hak-hak pasien, yang antara lain adalah:
 Hak Atas Informasi
Dalam segala bidang sebuah informasi menduduki peringkat yang sangat tinggi.
Informasi ini menjadi penting karena menuntut kejujuran dan mengharapkan kebenaran. Jika
informasi yang kita dapatkan dari dokter atau pihak pemberi layanan medis yang berkaitan
sangat minim, sudah saatnya kita mengingatkan atau bahkan menegaskan kepada mereka
bahwa salah satu kewajiban mereka adalah sebagai sumber informasi bagi pasien, karenanya
sangat tidak beralasan jika mereka tidak bersedia menjelaskan segala sesuatu terkait dengan
penyakit yang diderita oleh pasien yang mendatangi mereka.
 Hak Atas Second Opinion
Hak atas second opinion (pendapat kedua) adalah hak pasien yang dapat digunakan
jika si pasien ingin meyakinkan dirinya akan kebenaran diagnosa dan tindakan dokter

9
pertama yang telah ditemuinya. Jika ternyata second opinion dari dokter lain ini berbeda,
pasien bisa membicarakannya kembali dengan dokter pertama atau mencari pendapat ketiga.
 Hak Memilih Dokter
Pasien kanker akan dihadapkan pada banyak pilihan untuk menentukan dokter yang
akan menangani. Mulai dari dokter ahli bedah onkologi, ahli radiologi, medical onkologi, ahli
patologi, dan lain-lainnya. Ini tidak mudah karenanya pasien dituntut untuk sedikit kritis
sebelum menjatuhkan pilihan untuk ditangani oleh (dokter) siapa.
 Hak Memilih Rumah Sakit/Layanan Medis Lain
Tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas yang memadai dan sama antara satu
dengan yang lainnya. Tidak ada salahnya keluarga pasien membantu mencari informasi
rumah sakit untuk mencukupi kebutuhan pasien itu sendiri. Sebagai pasien kanker kita
cenderung berobat ke rumah sakit besar dengan fasilitas tercanggih dan terlengkap, walau
terpaksa harus antre seharian. Ini sangat menyiksa. Kenyataannya tidak semua fasilitas itu
kita butuhkan. Lebih baik kita memilih rumah sakit yang memiliki layanan medis sesuai
kebutuhan dan mudah dijangkau sehingga mencegah bertambahnya penderitaan.
 Hak Mendapatkan Pelayanan Sesuai Dengan Kebutuhan Medis
Ada hal-hal yang terkadang membuat pasien tidak nyaman selama menjalani
pengobatan. Salah satunya adalah kondisi dimana pasien sendiri merasa bahwa pengobatan
yang dijalani masih kurang/belum cukup. Hal ini didukung oleh banyaknya perusahaan
farmasi yang menyodorkan obat-obatan terbaru yang promosinya dilakukan antara lain oleh
marketing representative langsung kepada dokter-dokter.
 Hak Memberikan Persetujuan
Setelah mengetahui secara lengkap informasi tentang sakit yang kita derita
sebagaimana dijelaskan di atas, kita memiliki hak untuk memberikan persetujuan baik secara
lisan dan/atau tertulis (sebaiknya tertulis) tentang pengobatan yang akan kita tempuh. Dengan
kata lain tindakan apapun yang akan dilakukan harus disetujui oleh pasien dan/atau minimal
keluarganya.
 Hak Menolak Pengobatan & Menolak Tindakan Medis Tertentu serta Hak
Untuk Menghentikan Pengobatan
Setiap pasien berhak menolak semua/sebagian pengobatan atau tindakan medis,
setelah pasien tersebut tahu akan manfaat/resiko pengobatan yang seharusnya dilakukan,
tetapi secara sadar memilih untuk tidak melakukannya. Hal ini banyak terjadi pada pasien

10
kanker, mengingat untuk stadium lanjut memang disarankan agar pasien memilih penanganan
medis yang lebih nyaman bagi dirinya sendiri.
 Hak Atas Rahasia Kedokteran
Banyak ditemui kejadian dimana tim medis membicarakan penyakit pasien A kepada
pasien B atau kepada orang lain. Ini melanggar hak pasien atas rahasia kedokteran.
 Hak Melihat Rekam Medis (medical record)
Rekam medis wajib dibuat oleh seorang dokter, di mana setiap isi dari rekam medis
tersebut adalah hak pasien, yang meliputi: hasil laboratorium, gambar/foto beserta
keterangannya, serta tindakan pengobatan apa saja yang dilakukan.

B. Kewajiban pasien
Jika ada hak, tentu ada kewajiban. Dalam kontak terapeutik antara pasien dan dokter,
memang dokter mendahulukan hak pasien karena tugasnya merupakan panggilan
perikemanusiaan. Namun, pasien yang telah mengikatkan dirinya dengan dokter, perlu pula
memperhatikan kewajiban-kewajibannya sehingga hubungan dokter dan pasien yang sifatnya
saling hormat-menghormati dan saling percaya-mempercayai terpelihara baik.
Kewajiban-kewajiban pasien pada garis besarnya adalah sebagai berikut:
 Memeriksakan diri sedini mungkin pada dokter
 Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakitnya
 Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter
 Menandatangani surat-surat PTM, surat jaminan dirawat di rumah sakit, dan lain-
lainnya
 Yakin pada dokternya dan yakin akan sembuh
 Melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya pemeriksaan dan pengobatan serta
honorarium dokter.

C. Hak Dokter
Sebagai manusia biasa dokter memiliki tanggung jawab terhadap pribadi dan
keluarga, di samping tanggung jawab profesinya terhadap masyarakat sekitarnya.
Hak-hak dokter adalah sebagai berikut:
 Melakukan praktik dokter setelah memperoleh Surat Izin Dokter (SID) dan Surat Izin
Praktik (SIP).

11
 Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien/keluarga tentang
penyakitnya.
 Bekerja sesuai standar profesi.
 Menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika, hukum, agama,
dan hati nuraninya.
 Mengakhiri hubungan dengan seorang pasien jika menurut penilaiannya kerja sama
pasien dengannya tidak berguna lagi, kecuali dalam keadaan gawat darurat.
 Menolak pasien yang bukan bidang spesialisasinya, kecuali dalam keadaan darurat
atau tidak ada dokter lain yang mampu menanganinya.
 Hak atas kebebasan pribadi (privacy) dokter.
 Ketenteraman bekerja.
 Mengeluarkan surat-surat keterangan dokter.
 Menerima imbalan jasa.
 Menjadi anggota perrhimpunan profesi.
 Hak membela diri.

D. Kewajiban Dokter
Dokter yang membuktikan hidupnya untuk perikemanusiaan tentulah akan selalu
lebih mengutamakan kewajiban di atas hak-hak ataupun kepentingan pribadinya.
Dalam menjalankan tugasnya, bagi dokter berlaku “Aegroti Lex Suprema”, yamg
berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi (yang utama). Kewajiban dokter
yang terdiri dari kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman
sejawat, dan kewajiban terhadap diri sendiri telah dibahas secara terinci dalam Bab 3 tentang
Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Dalam Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51
dinyatakan bahwa kewajiban dokter atau dokter gigi adalah:
 Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien
 Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksan atau
pengobatan
 Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia

12
 Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin pada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, dan
 Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi

Sumpah Kedokteran Indonesia

Sumpah Dokter Indonesia adalah sumpah yang dibacakan oleh seseorang yang akan
menjalani profesi dokter Indonesia secara resmi. Sumpah Dokter Indonesia didasarkan atas
Deklarasi Jenewa (1948) yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippokrates. Lafal Sumpah
Dokter Indonesia pertama kali digunakan pada 1959 dan diberikan kedudukan hukum dengan
Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1960. Sumpah mengalami perbaikan pada 1983
dan1993. Sumpah tersebut berbunyi:6

Demi Allah, saya bersumpah bahwa :

Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan; Saya akan
memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang
selayaknya; Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan bermoral
tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan saya; Kesehatan penderita senantiasa akan saya
utamakan; Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya
dan karena keilmuan saya sebagai dokter; Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga
martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran; Saya akan memperlakukan teman sejawat saya
sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan; Dalam menunaikan kewajiban terhadap
penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh
pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial;
Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan; Sekalipun diancam,
saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang
bertentangan dengan hukum perikemanusiaan; Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-
sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.

Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban
moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban
hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral haruslah

13
menjadi “pemimpin” dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik
haruslah hukum yang etis.6

Inform Consent
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU No. 29 Tahun 2004 Pasal
45 ayat 1 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008, Informed Consent
adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya
setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut.3 Tujuan Informed Consent adalah memberikan
perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu
kegagalan dan bersifat negatif.
Informed consent merupakan alat paling penting dalam hubungan dokter-pasien pada
masa kini. Informed consent yang benar harus disertai dengan komunikasi baik antara dokter
dan pasien. Keterangan yang dapat diberikan kepada pasien sebelum mendapatkan informed
consent termasuklah menerangkan diagnosis penyakit, prognosis dan pilihan pengobatan
penyakit. Perlu juga kebaikan dan keburukan masing-masing tindakan yang bakal dilakukan.
Informed consent harus memuatkan pilihan untuk pasien menerima atau menolak
tindakan medik yang bakal dilakukan dokter selain mencantumkan pilihan terapi lain. Pasien
yang kompeten boleh memilih untuk menolak tindakan medik walaupun tanpa tindakan ini
dapat mengancam nyawa pasien. Terdapat dua kondisi di mana informed consent
dikecualikan yaitu:3
1. Pasien menyerahkan sepenuhnya keputusan tindakan medik terhadap dirinya kepada
dokter. Apabila pasien menyerahkan semua keputusan kepada dokter yang
merawatnya, dokter tetap harus menerangkan secara lengkap tindakan yang bakal
dilakukan.
2. Keadaan apabila pemberitahuan tentang kondisi penyakit pasien dapat berdampak
besar terhadap pasien secara fisik, psikologis dan emosional. Contohnya adalah
apabila pasien cenderung untuk membunuh diri apabila mengetahui tentang
penyakitnya. Namun, dokter pada awalnya harus menganggap bahwa semua pasien
dapat menerima berita tentang penyakitnya dan memberikan informasi selengkapnya
sesuai dengan hak pasien.4

Pada kasus, dikatakan seorang seorang pasien laki-laki yang datang ke praktek dokter
mengeluh bahwa alat kemaluannya mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Setelah diperiksa,

14
ternyata ia menderita gonore. Pasien tidak ingin diketahui istrinya, walau bagaimanapun,
istrinya harus diobati karena telah tertular akibat berhubungan. Dokter harus dapat
menjelaskan:
 Diagnosis dan tata cara tindakan medis : pasien mengalami positif bakteri Neisseria
Gonorrhoeae setelah dilakukan pemeriksaan pewarnaan, kuman penyebab hubungan
kelamin dan harus diobati dengan pemberian antibiotik bisa secara injeksi
intramuscular atau peroral selama satu minggu.
 Tujuan pengobatan gonore ; supaya tidak timbulnya komplikasi pada pasien dan tidak
mendapat infeksi untuk kali kedua setelah berhubungan dengan sang istri.
 Alternatif tindakan lain dan risikonya.
 Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi jika penyakit GO tidak diobati, antara
lain yaitu infeksi yang bisa menyebar ke sendi-sendi dan ke jantung sehingga bisa
timbulnya artritis dan endocarditis. Selain itu, bisa juga menderita miokarditis,
endocarditis, meningitis dan dermatitis.
 Prognosis terhadap tindakan pengobatan GO; membaik (ad bonam) jika pasien diobati
segera karena pengobatan untuk gonore mudah jika terdeteksi dini.

Dokter meminta persetujuan pasien untuk diobati dan menyarankan pada sang suami
untuk memberitahukan istrinya mengenai penyakit yang dialami dengan membawa istrinya
ke praktek dokter untuk diobati. Jika sebaliknya, bisa timbul komplikasi yang dialami istrinya
dan bisa tertular ke sang suami jika melakukan hubungan.
Dokter memberi edukasi kepada sang suami agar segera memberitahu istrinya bahwa
ia juga harus diobati bertujuan keduanya sembuh total dari penyakit GO tersebut dan
mengatakan kepada sang suami agar tidak lagi melakukan hubungan dengan wanita lain
karena berbagai faktor termasuk faktor agama, hukum, dan kesehatan.
Dokter tidak bisa menghakimi dan menekan jiwa pasien. Namun dokter harus dapat
memberikan solusi dan jalan penengah kepada pasien sehingga pasien dapat menerima
keputusan dokter.3

Prosedur Tindakan Medis


A. Pemeriksaan Medis
1. Anamnesis
Anamnesis yang bisa ditanyakan kepada pasien yang menderita gonore adalah:

15
 Apakah bapak/ibu pada saat kencing ada nanah?
 Apakah bapak/ibu pada saat kencing ada terasa nyeri?
 Apakah bapak/ibu sebelumnya melakukan hubungan seksual?
 Apakah bapak/ibu saat berhubungan seksual selalu berganti-ganti pasangan?
 Apakah di keluarga bapak/ibu ada yang pernah mengalami hal yang sama?

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik bisa dilakukan inspeksi, pada pria di bagian uretra anterior
sedangkan pada wanita pada servik uteri dan uretra. Pada pria terlihat orificium uretra externa
merah, edema, sedangkan pada wanita porsio uteri merah, edema dengan sekret
mukupurulen. Ditemukan juga edema pada uretra, bengkak pada testikel, discharge kental,
kemerahan atau bengkak pada uretra.5

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang terdiri dari 5 tahap:
 Sedian langsung
Pada sediaan langsung dengan pewarnaan akan di temukan gonokok negatif-
gram, intraselular dan ekstraseluler
 Kultur
Identifikasi juga dapat di lakukan dengan pembiakan dengan menggunakan media
transpor dan media pertumbuhan
 Tes definitif
Tes definitif terdiri dari 2 cara. Dapat dilakuan dengan tes oksidatif dan tes
fermentasi. Dari hasil tes oksidatif dapat ditemukan perubahan warna koloni yang
semula bening menjadi merah muda sampai dengan merah tua; sedangkan untuk tes
fermentasi menggunakan glukosa, maltosa, dan sukrosa yang nantinya hanya glukosa
yang akan diragikan
 Tes beta laktamase
Pemeriksaan dengan tes ini menggunakan cefinase TMN disk. Bbl 961192 yang akan
mengubah warna sediaan dari kuning menjadi merah apabila mengandung enzim beta
laktamase
 Tes thomson

16
Tes ini hanya digunakan untuk menentukan sampai dimana infeksi sudah
berlangsung. Tes ini menggunakan urine dari penderita yang dibagi ke dalam dua
gelas, dari hasil tes akan ditemukan:

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Tes Thomson6


Gelas I Gelas II Arti
Jernih Jernih Tidak ada infeksi
Keruh Jernih Infeksi uretritis anterior
Keruh Keruh Panuretritis
Jernih Keruh Tidak mungkin

Prosedur Terapi dan Edukasi


Dokter perlu memberikan pengobatan yang komprehensif dan holistic serta harus
mengobati penyakit gonore pada laki-laki tersebut serta istrinya. Antara obat yang dapat
diberikan kepada pasien akibat penyakit gonore adalah:
 Ceftriaxone 250 mg, IM single dose
 Ciprofloxacin 500 mg, single oral dose
 Oflosacin 400 mg, single oral dose
 Thiamfenicol 3,5 gr, single oral dose
 Spechnomycine 2 gr, IM single dose
 Kanamycin 2 gr, single oral dose.7
Edukasi juga penting dengan memberitahu mengenai cara pencegahan penyakit
tersebut dan memberikan pengetahuan mengenai PMS. Selain itu, dokter perlu memberi
pengetahuan kepada pasien tentang penyakit-penyakit lain yang bisa terjadi pada pasien
tersebut seperti HIV, Hepatitis B akibat daripada hubungan seks bebas.7
Setelah dilakukan terapi pengobatan, pasien perlu diminta datang kembali ke tempat
praktek dokter tersebut untuk dilakukan evaluasi terhadap pengobatan yang telah diberikan
dan meminta keterangan kembali apakah pengobatan sudah dilaksanakan dengan baik. Selain
itu, ditanyakan juga apakah pasien sudah menghilangkan kebiasaan buruknya dan sekiranya
belum kita sebagai dokter harus menasehati pasien agar sadar dampak buruk dari
perbuatannya terhadap kesehatan dan istrinya dan diakhirnya juga ditanyakan keadaan istri
pasien setelah terapi pengobatan.

17
Penatalaksanaan

Definisi Gonorrhea

Gonorrhea adalah sebuah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhea
yang penularannya melalui hubungan kelamin baik melalui genito-genital, oro-genital, ano-
genital. Bakteri ini dapat hidup dan mudah berkembangbiak dengan cepat di dalam saluran
pembiakan/peranakan seperti pangkal rahim (cervix), rahim (uterus), dan tuba fallopi (saluran
telur) bagi wanita dan juga saluran kencing (urine canal) bagi wanita dan lelaki. Sehingga
pada laki-laki gejalanya adalah kencing bernanah sedangkan pada wanita seringkali tidak
bergejala karena letak rahim yang di dalam.7,8

Edukasi Penyakit Menular Seksual (PMS)

Memberikan pendidikan kepada pasien dengan menjelaskan tentang:7-9

 Bahaya penyakit menular seksual.


 Pentingnya mematuhi pengobatan yang diberikan.
 Cara penularan PMS dan perlunya pengobatan untuk pasangan seks tetapnya.
 Hindari hubungan seksual sebelum sembuh dan memakai kondom jika tidak dapat
dihindari. (safe sex education)
 Pengobatan pasangan seks dibutuhkan untuk menghindari fenomena ping-pong, yaitu
dimana penyakit kembali saling menularkan antara pasangan hubungan seksual.
 Kemungkinan terjangkit penyakit menular seperti HIV/AIDS.

Definisi HIV/AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome
(disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virusnya sendiri bernama Human
Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan
pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat
memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa
disembuhkan.7-9

18
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan
kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung
HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan
dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum
suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui,
serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.7,8

CST for HIV/AIDS

CST (Caring, Support, & Therapy) for HIV/AIDS adalah sekelompok orang yang
bekerja untuk memberikan perhatian (caring), dukungan (support), dan pengobatan (therapy)
bagi orang-orang penderita HIV/AIDS. Petugas kesehatan disini berfungsi sebagai
pendukung ODHA (orang dengan HIV AIDS) untuk tetap memiliki semangat hidup
walaupun penyakitnya sampai sekarang belum dapat diobati. Selain itu lembaga ini juga
mendorong ODHA untuk menginformasikan keluarga/orang terdekatnya tentang keadaan
kesehatannya walaupun terlihat memalukan. Dokter dan lembaga ini pun tidak berhak
memberitahu siapapun tentang keadaan pasien kecuali atas seijin pasien.7-9

Rekam Medis
Dalam pelayanan kedokteran/kesehatan, terutama yang dilakukan para dokter baik
dirumah sakit maupun praktik pribadi, peran pencatatan rekam medis (RM) sangat penting
dan sangat melekat dengan kegiatan pelayanan tersebut. Dengan demikian, ada ungkapan
bahwa rekam medis adalah orang ketiga pada saat dokter menerima pasien. Hal tersebut
dapat dipahami karena catatan demikian akan berguna untuk merekam keadaan pasien, hasil
pemeriksaan serta tindakan pengobatan yang diberikan pada waktu itu. Catatan atau rekaman
itu menjadi sangat berguna untuk mengingatkan kembali dokter tentang keadaan, hasil
pemeriksaan, dan pengobatan yang telah diberikan bila pasien datang kembali untuk berobat
ulang setelah beberapa hari, beberapa bulan, bahkan setelah beberapa tahun kemudian.
Dengan adanya rekam medis, ia bisa mengingat atau mengenali keadaan pasien saat diperiksa
sehingga lebih mudah melanjutkan strategi pengobatan dan perawatannya. Namun, kini
makin dipahami bahwa peran rekam medis tidak terbatas pada asumsi yang dikemukakan
diatas, tetapi jauh lebih luas. Oleh karena itu, para tenaga kesehatan masa kini harus
memahami dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan rekam medis.1

19
Dalam Undang-undang Kesehatan, walaupun tidak ada bab yang mengatur tentang
rekam medis secara khusus, secara implisit Undang-undang ini jelas membutuhkan adanya
rekam medis yang bermutu sebagai bukti pelaksanaan pelayanan kedokteran/ kesehatan yang
berkualitas.1
Kewajiban dokter untuk membuat rekam medis dalam pelayanan kesehatan dipertegas
dalam UUPK seperti terdapat pada pasal 46:(1). Setiap dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis. (2) Rekam medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan
kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tandatangan petugas
yang memberikan pelayanan atau tindakan. Selanjutnya dalam pasal 79 diingatkan tentang
sanksi hukum yang cukup berat, yaitu denda paling banyak Rp.50.000.000,- bila dokter
terbukti sengaja tidak membuat rekam medis.
Dalam Permenkes No. 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang RM, disebut pengertian
RM adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.1
Secara umum kegunaan rekam medis adalah:1
1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil
bagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien. Dengan
membaca RM, dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang terlibat dalam merawat
pasien (misalnya pada pasien rawat bersama atau dalam konsultasi) dapat mengetahui
penyakit, perkembangan penyakit, terapi yang diberikan, dan lain-lain tanpa harus
berjumpa satu sama lain. Ini tentu merupakan sarana komunikasi yang efisien.
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada
pasien. Segala instruksi kepada perawat atau komunikasi sesama dokter ditulis agar
rencana pengobatan dan perawatan dapat dilaksanakan.
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan
selama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit. Bila suatu waktu diperlukan bukti
bahwa pasien pernah dirawat atau jenis pelayanan yang diberikan serta perkembangan
penyakit selama dirawat, tentu data dari RM dapat mengungkapkan dengan jelas.
4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada
pasien. Baik buruknya pelayanan yang diberikan tercermin dari catatan yang ditulis
atau data yang didapati dalam RM. Hal ini tentu dapat dipakai sebagai bahan studi
ataupun evaluasi dari pelayanan yang diberikan.

20
5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga
kesehatan lainnya. Bila timbul permasalahan (tuntutan) dari pasien kepada dokter
maupun rumah sakit, data dan keterangan yang diambil dari RM tentu dapat diterima
semua pihak. Di sinilah akan terungkap aspek hukum dari RM tersebut. Bila catatan
dan data terisi lengkap, RM akan menolong semua yang terlibat. Sebaliknya, bila
catatan yang ada hanya sekedarnya saja, apalagi kosong pasti akan merugikan dokter
dan rumah sakit. Penjelasan yang bagaimanapun baiknya tanpa bukti tertulis, pasti
sulit dipercaya.
6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan
pendidikan. Setiap penelitian yang melibatkan data klinik pasien hanya dapat
dipergunakan bila telah direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena itu, RM di rumah
sakit pendidikan biasanya tersusun lebih rinci karena sering digunakan untuk bahan
penelitian.
7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien. Bila
pasien mau dipulangkan, bagian administrasi keuangan cukup melihat RM, dan segala
biaya yang harus dibayar pasien/keluarga dapat ditentukan.
8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan. Data dan infomasi yang didapat dari RM sebagai
bahan dokumentasi, bila diperlukan dapat digunakan sebagai dasar untuk
pertanggungjawaban atau laporan kepada pihak yang memerlukan masa mendatang.

21
Kesimpulan
Dalam kasus dimana ada seorang pasien pria dengan GO datang berobat ke dokter
dan ternyata sudah berhubungan dengan istrinya, tidak ingin istrinya sampai tahu tentang
penyakitnya, sebagai seorang dokter yang dapat dilakukan adalah memberikan edukasi pada
pasien tersebut dan menyuruh pasien mau tidak mau untuk membicarakan tentang
penyakitnya kepada istrinya karena jika kedua-duanya tidak diobati, maka akan terjadi “ping-
pong phenomena”. Sebagai dokter memang dituntut untuk tidak membuka rahasia jabatan
sesuai dengan lafal sumpah dokter dan peraturan pemerintah yang berlaku, sedangkan di sisi
lain jika dilihat dari segi bioetika, dokter harus mengonbati pasien dengan tuntas agar tidak
ada yang dirugikan.

Daftar Pustaka
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Rahasia Kedokteran. In: Sampurna B, Syamsu Z,
Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. Edisi ke-2. Jakarta : Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2007.
2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im TWA, Hertian S, et al. Ilmu
kedokteran forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia ; 1997. h. 20-36.
3. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Edisi ke-2. Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakart a; 1994. h. 11-9.
4. Williams J. World Medical Association : Medical Ethics Manual. 2nd Edition. 2009.
5. Siregar RS. Saripati penyakit kulit. Jakarta : EGC ; 2005.
6. Hanafiah J. Lafal Sumpah Dokter. In: Hanafiah J, Amir A. Etika Kedokteran & Hukum
Kesehatan. 3rd ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 1999. h. 5-14.
7. Centers for Disease Control and Prevention. Sexual Transmitted Disease – Gonorrhea.
2010. Diunduh dari http://www.cdc.gov/std/gonorrhea/stdfact-gonorrhea.htm.
8. Djuanda A, Mochtar H, Siti A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta :
Badan penerbit FKUI ; 2010. h. 363-79.
9. Mansjoer A, Suprohaita. Wardhani WI, Setiowulan W. Gonore, AIDS dalam Penyakit
Menular Seksual. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. Vol. II. Penerbit Media
Aesculapius. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta ; 2009. h. 141-6, 162-6.

22

Anda mungkin juga menyukai