Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang
Dewasa ini masalah keamanan pangan sudah merupakan masalah global,
sehingga mendapat perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan
masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan (foodborne disease) dan kejadian-
kejadian pencemaran pangan terjadi tidak hanya di berbagai negara berkembang
dimana kondisi sanitasi dan hygiene umumnya buruk, tetapi juga di negara-negara
maju.
Diperkirakan satu dari tiga orang penduduk di negara maju mengalami
keracunan pangan setiap tahunnya. Bahkan di Eropa, keracunan pangan
merupakan penyebab kematian kedua terbesar setelah Infeksi Saluran Pernafasan
Atas atau ISPA.
Hal inilah yang menarik perhatian dunia internasional World Health
Organization (WHO) mendefinisikan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan
pangan atau dikenal dengan istilah “foodborne disease outbreak” sebagai suatu
kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit setelah
mengkonsumsi pangan yang secara epidemiologi terbukti sebagai sumber
penularan. Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia mempunyai makna sosial dan
politik tersendiri karena peristiwanya sering sangat mendadak, mengena banyak
orang dan dapat menimbulkan kematian.
Badan POM RI melalui Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan
Pangan, secara rutin memonitor kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di
Indonesia khususnya keracunan yang telah diketahui waktu paparannya (point
source) seperti pesta, perayaan, acara keluarga dan acara sosial lainnya. Selama
tahun 2004, berdasarkan laporan Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia
telah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan sebanyak 153 kejadian
di 25 provinsi.

1
Jumlah KLB keracunan pangan pada bulan Januari sampai Desember
2004, adalah 153 kejadian di 25 provinsi. Kasus keracunan pangan yang
dilaporkan berjumlah 7347 kasus termasuk 45 orang meninggal dunia.
KLB keracunan pangan terbanyak di Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 32
kejadian (21%), Jawa Tengah 17 kejadian (11%), DKI Jakarta, Jawa Timur dan
Nusa Tenggara Barat masing-masing 11 kejadian (7,2%), Bali 10 kejadian (6,5%),
DI Yogyakarta 9 kejadian (5,9 %), Kalimantan Timur 7 kejadian (4,6%),Sumatera
Utara dan Sulawesi Selatan masing-masing 5 kejadian (3,3 %), Sumatera Barat
dan Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Timur masing-masing 4 kejadian
(2,6%), Sumatera Selatan, Lampung dan Sulawesi Tenggara masing-masing
3 kejadian (2%), NAD, Jambi, Bengkulu, Sulawesi Tengah dan Maluku masing-
masing 2 kejadian (1,3%), Riau, Bangka Belitung, Banten, dan Kalimantan
Selatan masing-masing 1 kejadian (0,7%).
Ditinjau dari sumber pangannya, terlihat bahwa yang menyebabkan
keracunan pangan adalah makanan yang berasal dari masakan rumah tangga 72
kejadian keracunan (47,1%), industri jasa boga sebanyak 34 kali
kejadian keracunan (22,2 %), makanan olahan 23 kali kejadian keracunan (15,0
%), makanan jajanan 22 kali kejadian keracunan (14,4 %) dan 2 kali kejadian
keracunan (1,3 %) tidak dilaporkan.
Berdasarkan data tersebut sumber pangan penyebab keracunan pangan
terbesar yaitu masakan rumah tangga. Hal ini disimpulkan bahwa
kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan hygiene pengolahan pangan
(makanan dan air) dalam rumah tangga masih cukup rendah.

I. 2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah penyelidikan epidemiologi dari Kejadian Luar Biasa akibat
keracunan pangan/makanan?

I. 3 Tujuan
1. Untuk konfirmasi KLB keracunan pangan/makanan
2. Mengidentifikasi penyebab kejadian keracunan pangan/makanan

2
BAB II
LANDASAN TEORI

II. 1 Keracunan Pangan


KLB keracunan pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua oran
atau lebih yang menderita sakit dengan gejala yang sama atau hampir sama
setelah mengkonsumsi pangan dan berdasarkan analisis epidemiologi, pangan
tersebut terbukti sebagai sumber penularan (PP 28 thn 2004 penjelasan 25 ayat 3).
Akhir-akhir ini keracunan pangan sering dilaporkan di media massa,
meskipun menurut laporan resmi jumlah kejadian luar biasa (KLB) akibat pangan
di Indonesia tidaklah tinggi. Rendahnya angka KLB mungkin disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya adalah sedikitnya pelaporan. Beberapa penyakit yang
disebabkan keracunan pangan seringkali dianggap sakit ringan seperti sakit perut,
muntah dan acap kali dapat sembuh tanpa perawatan maupun pengobatan
sehingga orang tidak berobat ke puskesmas atau rumah sakit. Selain itu,
keracunan yang bersifat sporadik cenderung tidak dilaporkan. Sebenarnya
pelaporan keracunan pangan sangat penting untuk mengetahui status keamanan
pangan suatu negara. Yang lebih penting lagi adalah tindak lanjut pelaporan yakni
investigasi keracunan pangan, yang hasil investigasinya semestinya dapat
digunakan untuk penanggulangan keracunan, penetapan penyebab keracunan dan
pencegahan keracunan serupa di masa yang akan datang.
Investigasi keracunan yang baik seyogyanya tidak berhenti pada adanya
tindakan medis untuk menanggulangi korban, akan tetapi terutama ditujukan pada
penemuan penyebab keracunan dengan menggunakan informasi dan pendekatan
epidemiologi, seperti: apa bahan pangan penyebab keracunan, apa dan berapa
jumlah cemaran atau bahaya (hazard) yang menyebabkan keracunan dan mengapa
bahan cemaran tersebut terdapat dalam bahan pangan. Untuk itu, investigasi harus
dilakukan terhadap korban keracunan, sample makanan yang tersedia, sample

3
klinis yang dikumpulkan dari penderita dan dilanjutkan ke tempat atau lokasi
dimana bahan pangan tersebut diolah.
Untuk melakukan investigasi yang tuntas diperlukan suatu sistem
investigasi yang baik yang didukung oleh sumber daya manusia maupun
laboratorium yang baik. Investigasi yang baik akan memberikan hasil investigasi
yang bermakna sehingga dapat dikonfirmasi penyebab keracunan dan kesalahan
penanganan yang menyebabkan terjadinya keracunan sehingga dapat digunakan
sebagai pedoman untuk memperbaiki suatu proses maupun suatu kebijakan umum
tentang penanganan atau pengolahan pangan agar kejadian serupa tidak terulang
lagi.
Sistem investigasi keracunan yang baik diperlukan agar jelas institusi-
institusi mana yang bertanggung jawab terhadap suatu investigasi serta wewenang
yang dimiliki oleh institusi-institusi tersebut serta kepada siapa laporan harus
diberikan. Tim investigasi sebaiknya terdiri dari sekumpulan orang yang berasal
dari berbagai institusi di atas dengan dipimpin oleh orang yang kompeten. Tim
harus mendapat informasi tentang tujuan, prosedur program dan pentingnya
investigasi dan keterampilannya harus diasah agar dapat melakukan
peran/tugasnya dengan baik selama investigasi.
Disamping tim dan institusi yang jelas tugas dan wewenangnya, perlu
dikembangkan suatu prosedur operasi yang baik dan disepakati oleh semua pihak,
laboratorium rujukan dengan keahlian analisis yang diketahui serta jika diperlukan
adanya kelompok pakar sebagai narasumber. Hal ini penting untuk menetapkan
siapa-siapa saja yang akan bergerak ketika suatu keracunan dilaporkan, siapa yang
akan melakukan wawancara, siapa yang berhak menahan sample yang diduga
sebagai penyebab keracunan atau pun mengambil sample klinis untuk keperluan
investigasi.

4
Dalam sistem tersebut, seyogyanya terdapat bagian humas untuk memberi
penjelasan yang tepat serta tidak simpang siur mengenai kejadian keracunan
pangan. Selain itu, investigasi sebaiknya juga dipublikasikan dalam bentuk riset
ilmiah dalam publikasi ilmiah untuk menjadi bahan pembelajaran.

II. 2 Investigasi di lapangan


Investigasi keracunan pangan terutama dilakukan untuk mempersempit
penyebab keracunan karena keracunan pangan dapat disebabkan oleh ribuan galur
bakteri maupun berbagai racun baik yang dihasilkan oleh mikroba maupun bahan
kimia yang secara sengaja maupun tidak sengaja ditambahkan dalam suatu rantai
produksi pangan dari proses hulu (penanaman, pemanenan) sampai ke hilir
(pengolahan, pengemasan dan sebagainya). Dalam pelaksanaannya kegiatan
mempersempit kandidat penyebab keracunan ini dilakukan baik melalui
wawancara mapun analisis obyektif di laboratorium.
Wawancara dengan korban keracunan merupakan suatu langkah strategis
yang dapat menuntun tim investigasi ke arah penyebab keracunan yang paling
mungkin. Oleh karena itu, disamping memenuhi kaidah-kaidah teknik wawancara
untuk mendapatkan hasil yang optimal, substansi wawancara dalam investigasi
keracunan juga harus memuat pertanyaan-pertanyaan yang relevan yang dapat
menggiring pada berbagai data untuk analisis epidemiologi seperti gejala yang
dominan, waktu onset dan jenis-jenis pangan yang dikonsumsi dalam 72 jam
terakhir.
Analisis epidemiologi dan interpretasi yang tepat tentang gejala keracunan,
waktu onset, jenis bahan pangan dengan memahami teknik pengolahan yang
rawan terhadap keracunan suatu kontaminan tertentu, penghitungan food specific
attack rate, serta pengetahuan mutakhir tentang jenis-jenis kontaminan yang

5
banyak menyebabkan keracunan pangan dapat membawa tim investigasi pada
jenis pangan yang patut dicurigai serta penyebab keracunan yang paling mungkin.
Dalam suatu jamuan misalnya, lazimnya disajikan berbagai jenis lauk
pauk, makanan pembuka atau penutup. Hasil wawancara yang baik semestinya
dapat menggiring investigator pada 2-5 jenis pangan yang paling mungkin yang
sesuai dengan gejala, waktu onset, serta teknologi pangan yang diduga penyebab
keracunan tersebut.

II. 3 Investigasi di Laboratorium


Hasil analisis wawancara yang baik menjadi suatu modal penting dalam
pelaksanaan uji laboratorium. Dalam kenyataannya jumlah sampel yang tersedia
dalam keracunan pangan seringkali sangat terbatas untuk keperluan analisis untuk
beberapa dugaan penyebab keracunan. Penting diketahui disini bahwa penyebab
keracunan dalam analisis hanya dapat diketahui jika dilakukan analisis
terhadapnya, kecuali untuk gejala keracunan tipikal dengan satu jenis pangan yang
telah dikenal seperti keracunan tempe bongkrek, ikan buntal dan lain-lain. Apabila
analisis hanya dilakukan untuk mikroba A misalnya, maka tentu tidak mungkin
disimpulkan bahwa mikroba B-lah penyebab keracunan.
Di Eropa dan Amerika Serikat misalnya, saat ini melaporkan bahwa
Campylobacter Jejuni adalah penyebab keracunan terbesar. Mengingat
kompleksitas uji bakteri ini yang cukup tinggi, besar kemungkinan bakteri ini
tidak diuji dalam kejadian-kejadian keracunan sehingga meski mungkin terjadi
tetapi keracunan karena C. Jejuni di Indonesia mungkin belum muncul dalam
hasil investigasi.
Pemahaman mengenai penyebab keracunan dan jenis pangan menjadi
penting, apalagi saat ini muncul berbagai patogen “emerging”. Misalnya, jika
hasil wawancara menunjukkan kemungkinan bakteri penyebab spora merupakan

6
penyebab keracunan dalam bahan makanan matang berprotein tinggi maka
analisis lebih tepat diarahkan pada Clostridium Perfringens daripada Bacillus
Cereus, meskipun keduanya menghasilkan spora. Apabila muntah muncul sebagai
gejala utama pada keracunan pangan, dengan waktu onset yang pendek (kurang
dari 1 jam) maka analisis terhadap bakteri dan enterotoksin Staphylococcus
Aureus atau B. Cereus tentunya menjadi lebih tepat.
Dalam analisis laboratorium, penting diketahui modus suatu kontaminan
khususnya mikroba dalam menyebabkan keracunan. Apakah bakteri tersebut
menyebabkan infeksi? Apakah bakteri tersebut menyebabkan intoksikasi? Apakah
diperlukan jumlah besar untuk bakteri tersebut dalam menyebabkan keracunan?
Hal ini akan memberikan input tentang apakah analisis kualitatif saja sudah
mencukupi atau diperlukan analisis kuantitatif dan juga apakah analisis metabolit
(toksin) diperlukan. Untuk itu analisis laboratorium harus menggunakan metode
analisis yang terstandarisasi dan tenaga analisis yang berketrampilan tinggi agar
diperoleh hasil yang konsisten. Khususnya untuk keracunan karena mikroba,
penting digunakan pendekatan metode analisis yang paling mendekati sasaran.
Tahap pendugaan untuk analisis Escherichia Coli dalam lactose broth misalnya
akan mampu membawa analisis menemukan E. coli tetapi tahapan ini juga
meniadakan E. coli galur tertentu seperti O157:H7, sehingga pada kondisi E.coli
O157:H7 yang diduga menjadi penyebab keracunan, tahap pendugaan dalam
lactose broth harus dimodifikasi, misalnya dengan penggunaan antibiotika.

II. 4 Penanganan Sampel Keracunan Pangan


Hal penting lainnya dalam investigasi keracunan adalah penanganan
sampel. Jika toksin kimia merupakan penyebab keracunan, maka senyawa tersebut
umumnya stabil selama penyimpanan. Akan tetapi apabila mikroba merupakan
kandidat utama penyebab keracunan maka penanganan yang benar terhadap

7
sample harus dilaksanakan. Hal ini untuk menghindari “hilangnya” penyebab
keracunan dalam analisis karena penyimpanan sampel pada suhu ruang misalnya
dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri lain sehinggga menghambat
pertumbuhan penyebab keracunan.
Pada kondisi lain, penyimpananan pada suhu beku, juga dapat
menghilangkan bakteri-bakteri yang rapuh seperti C. Jejuni. Penyitaan sampel
oleh aparat kepolisian haruslah memperhatikan aspek ini karena sampel yang
berada pada suhu ruang selama >12 jam mungkin sudah tidak relevan lagi untuk
keperluan analisis mikrobiologi.
Investigasi laboratorium yang baik akan dapat memberikan gambaran
tentang kontaminan apa yang paling mungkin menyebabkan terjadinya keracunan.
Namun, seringkali hal ini tidak dapat diterapkan karena tidak adanya sampel
makanan. Dalam kasus-kasus seperti ini maka analisis laboratorium pada sample
klinis (muntahan, darah, feses korban) menjadi satu--satunya sumber analisis
laboratorium. Dengan mengacu pada hasil wawancara maka analisis sampel klinis
juga dapat diarahkan kepada sekelompok “kandidat penyebab keracunan”.
Investigasi epidemiologi dengan metode case control maupun cohort
menjadi penting untuk menetapkan kandidat penyebab keracunan. Apabila
mikroba tertentu diduga sebagai penyebab keracunan, analisis dapat menjadi
kompleks karena misalnya dalam feses mungkin ditemukan berbagai jenis
mikroba. Dalam keadaan seperti ini, analisis lebih dalam misalnya melalui
serotyping, ribotyping, resistotyping (ketahanan terhadap antibiotika tertentu)
menjadi pilihan untuk menghubungkan gejala klinis, jenis makanan dan jenis
galur bakteri yang paling mungkin menjadi penyebab keracunan.

8
II. 5 Investigasi di Lokasi Pengolahan Pangan Penyebab Keracunan
Dalam kondisi ideal, maka hasil investigasi dapat menjadi maksimal
ketika hubungan antara gejala klinis, jenis mikroba pada sample makanan dan
atau sampel klinis sesuai. Pada hasil investigasi yang terkonfirmasi seperti itu
maka perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut di tempat/sarana bahan pangan
tersebut diolah. Analisis tempat pengolahan ditujukan untu melakukan rekonstrusi
tentang bagaimana pangan penyebab keracunan tersebut dihasilkan pada saat
keracunan terjadi.
Dengan menggunakan data hasil analisis laboratorium maka investigasi
dilakukan dengan mendokumentasikan kembali proses, personel dan praktek-
praktek yang terjadi sehingga dapat disusun suatu skenario pada tahap apa dan
mengapa bahan berbahaya (bahan kimia atau mikroba) dapat berada pada
makanan. Informasi ini penting untuk dapat memperbaiki suatu langkah proses
atau prosedur pada industri pangan tersebut maupun industri pangan sejenis.

II. 6 Keracunan Pestisida


Pestisida berasal dari kata pest, yang berarti hama dan cida, yang berarti
pembunuh, jadi pestisida adalah substansi kimia digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan berbagai hama. Secara luas pestisida diartikan sebagai suatu zat
yang dapat bersifat racun, menghambat pertumbuhan/perkembangan, tingkah
laku, perkembangbiakan, kesehatan, pengaruh hormon, penghambat makanan,
membuat mandul, sebagai pengikat, penolak dan aktivitas lainnya yang
mempengaruhi OPT. Terdapat berbagai jenis pestisida salah satunya adalah
Hidrokarbon Berklor. Kelompok senyawa ini sering sisebut sebagai organoklorin
walaupun penamaannya kurang tepat karena didalamnya termasuk fosfat organik
yang mengandung klor.
Organoklorin Secara kimia tergolong insektisida yang toksisitas relatif
rendah akan tetapi mampu bertahan lama dalam lingkungan. Racun ini bersifat

9
mengganggu susunan syaraf dan larut dalam lemak. Insektisida organoklorin
dikelompokkan menjadi tiga golongan berikut:
1. DDT dan analognya, misalnya BHC, dicofol, Klorobenzilat, TDE dan
metoxychlor.
2. Senyawa siklodien, misalnya aldrin, dieldrin, endrin, endusulfan dan heptaklor
3. Terpena berklor, misalnya toksafen
Toksisitas/daya racun adalah sifat bawaan pestisida yang menggambarkan
potensi pestisida untuk menimbulkan kematian langsung pada hewan dan
manusia. Berdasarkan Toksisitasnya dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Sangat toksik ,aldrin, endosulfan, dieldrin.
2. Toksik sederhana,Clordane, DDT,lindane, heptaklor.
3. Kurang toksik Benzane hexacloride (BHC).
Tanda-tanda keracunan organoklorin: keracunan pada dosis rendah, si
penderita merasa pusing-pusing, mual, sakit kepala, tidak dapat berkonsentrasi
secara sempurna. Pada keracunan dosis yang tinggi dapat kejang-kejang, muntah
dan dapat terjadi hambatan pernafasan. Organoklorin juga merangsang sistem
saraf dan menyebabkan parestesia, peka terhadap perangsangan, iritabilitas,
terganggunya keseimbangan, tremor, dan kejang-kejang. Organoklorin bersifat
hepatotoksik, menginduksi pembesaran hati dan nekrosis sentrolobuler. Zat ini
juga merupakan penginduksi monooksigenase mikrosom, sehingga dapat
mempengaruhi toksisitas zat kimia lain.
Pestisida organoklorin umumnya lebih mampu bertahan di lingkungan dan
cenderung disimpan dalam timbunan lemak. Tetapi bioakumulasi lebih nyata pada
beberapa zat kimia dibanding dengan zat lainnya. Contohnya DDT jauh lebih
lama tersimpan dalam lemak tubuh dibanding metoksiklor. Kemampuannya
bertahan dalam lingkungan dapat menimbulkan masalah ekologis.
Secara tidak sengaja, pestisida dapat meracuni manusia atau hewan ternak
melalui mulut, kulit, dan pernafasan. Sering tanpa disadari bahan kimia beracun
tersebut masuk ke dalam tubuh seseorang tanpa menimbulkan rasa sakit yang
mendadak dan mengakibatkan keracunan kronis. Seseorang yang menderita
keracunan kronis, ketahuan setelah selang waktu yang lama, setelah berbulan atau

10
bertahun. Keracunan kronis akibat pestisida saat ini paling ditakuti, karena efek
racun dapat bersifat karsinogenic (pembentukan jaringan kanker pada tubuh),
mutagenic (kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang) dan teratogenic
(kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan).
Pengendalian pestisida harus sesuai dengan tujuan utamanya
mengendalikan OPT, maka penggunaannya harus rasional. (Panut,2008)
Disamping itu petani harus mengetahui pengetahuan dasar dalam menggunakan
pestisida:
a. Pekerja memahami bahaya kesehatan akibat paparan pestisida
b. Melakukan praktek yang tepat
c. Penggunaan Alat pelindung diri dengan benar
d. Praktik tindakan kebersihan diri
e. Mengetahui gejala awal keracunan
f. Mampu melakukan pertolongan pertama bila keracunan
g. Mempromosikan manajemen hama terpadu.

11
BAB III
PEMBAHASAN

ANALISA KASUS
Berita dari media massa lokal tertanggal 05 Januari 2016, telah terjadi
keracunan makanan di Kabupaten OKU Selatan dengan penderita sebanyak 5
orang (4 orang meninggal dunia dan 1 orang dirawat di RS Baturaja). Pada
tanggal 06 Januari 2016 Kepala BTKL PP Kelas I Palembang memberikan
mandat pada seksi Surveilans Epidemiologi untuk melakukan konfirmasi ke
Kabupaten OKU Selatan untuk kebenaran berita tersebut.
Sebelum meninggal dunia penderita makan pisang goreng dan minum kopi
hitam bersama-sama di sawah, beberapa saat kemudian penderita mengalami
gejala mual, muntah, kejang, mulut berlendir, tubuh kebiruan, pucat, nadi lemah
dan pingsan. Kelima penderita telah mendapat pertolongan di Puskesmas Pulau
Beringin, 4 penderita meninggal di Puskesmas Pulau Beringin (Doni, Ariana,
Juanda dan Rendi) dan 1 orang (Sudian) di rujuk ke RSUD Muaradua kemudian
dibawa ke RS Antonio Baturaja.

III. 1 Tujuan Penyelidikan Epidemiologi


a. Tujuan Umum
Dilaksanakannya penyelidikan epidemiologi KLB Keracunan Pangan di
Desa Aromantai Kecamatan Pulau Beringin Kabupaten OKU Selatan pada
tanggal 4 Januari 2016
b. Tujuan Khusus
1. Konfirmasi KLB Keracunan Pangan
2. Mendeskripsikan KLB Keracunan Pangan berdasarkan variabel
epidemiologi
3. Mengidentifikasi penyebab kejadian keracunan pangan

III. 2 Metodologi
a. Melakukan wawancara dengan petugas penyelidikan epidemiologi KLB

12
Keracunan Pangan
b. Mengambil, melihat dan mereview hasil penyelidikan epidemiologi
keracunan makanan

III. 3 Hasil Investigasi dan Pembahasan


Kabupaten OKU Selatan pada tahun 2014 memiliki penduduk 451.845
jiwa tersebar di 19 Kecamatan. Perekonomian Kabupaten OKU Selatan
didominasi oleh sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. KLB keracunan
makanan di Kabupaten OKU Selatan dari tahun 2013 s/d 2016 telah terjadi
sebanyak lima kali, sebagian besar disebabkan karena kesalahan dalam proses
pengolahan sehingga terkontaminasi bakteri (kuman).
Dari hasil investigasi di lapangan diketahui penyebab utama penderita
adalah keracunan makanan. Sebelum meninggal dunia penderita makan pisang
goreng dan minum kopi hitam bersama-sama di sawah, beberapa saat kemudian
penderita mengalami gejala mual, muntah, kejang, mulut berlendir, tubuh
kebiruan, pucat, nadi lemah dan pingsan. Kelima penderita telah mendapat
pertolongan di Puskesmas Pulau Beringin, 4 penderita meninggal di Puskesmas
Pulau Beringin (Doni, Aryama, Juanda dan Rendi) dan 1 orang (Sudian) di rujuk
ke RSUD Muaradua kemudian dibawa ke RS Antonio Baturaja.
Pada tanggal 10 Januari 2016 penderita (Tn. Sudian) telah pulang ke
rumahnya di desa Aromantai Kabupaten OKU Selatan dengan keadaan fisik
belum stabil, nafsu makan mulai membaik, penderita belum mampu
berkomunikasi dengan baik dikarenakan belum membaiknya daya ingat pasca
kejadian. Pada saat investigasi di pondok tempat terjadinya keracunan makanan,
didapati sisa air minum di dalam ceret yang kemudian di ambil sampelnya, pisang
dan mangga mulai membusuk, ikan mati dan ada juga yang hidup di air kolam
belakang pondok penderita kemudian diambil sampelnya.

a. Data Umum KLB Keracunan Pangan


■ Jumlah populasi berisiko = 5 orang
■ Jumlah penderita = 5 orang

13
→ 4 orang meninggal dunia dan 1 orang dirawat di RS Antonio Baturaja,
pada saat dilakukan investigasi tanggal 12 Januari 2016 penderita sudah
pulang ke rumah dengan kondisi masih lemah dan belum bisa
berkomunikasi dengan baik. Tim investigasi berkomunikasi melalui
keluarga penderita yang mengetahui kronologis kejadian tersebut.

b. Sampel yang diambil dan diperiksa di laboratorium


 Sampel pisang mentah = 1 sampel
 Sampel kopi hitam bubuk = 1 sampel
 Sampel minuman kopi hitam seduh = 1 sampel
 Sampel air masak untuk menyeduh kopi = 1 sampel
 Sampel muntahan penderita = 1 sampel
 Bahan untuk memasak: gandum, garam, gula= 1 sampel
 Sampel ikan yang mati di kolam = 1 sampel
 Sayur terong = 1 sampel
 Air kolam = 1 sampel
Pada saat dilakukan investigasi semua sampel telah dikirim ke Dinkes
provinsi Sumsel dan diperiksa di BPOM dan BBLK Palembang.

c. Gambaran Kasus
Saat dilakukan investigasi didapatkan data sebagai berikut:
1. Pada hari senin tanggal 4 Januari 2016, Tn. Sudian (37 th) bersama
keempat keluarganya, yaitu Ny. Aryama (57 th) ibu mertua, Tn. Rendi
(14 th), Tn. Juanda (14 th) dan Tn. Doni (16 th) pergi ke sawah pada
pukul 12.00 wib. Sesampai di sawah Ny. Aryama memasak lauk-pauk,
nasi, pisang goreng dan minum kopi hitam bersama-sama kemudian
melanjutkan aktivitas membajak sawah.
2. Pada pukul 14.00 wib, Tn. Sudian melihat Doni yang jatuh pingsan
ketika membajak sawah yang sebelumnya muntah-muntah. Tn. Sudian
meminta pertolongan pada tetangga sawah yaitu Tn. Sutandarni (42 th)
untuk segera membawa Doni ke Puskesmas Pulau Beringin. Tn.

14
Sudian kembali ke pondok dan melihat Ny. Aryama, Tn. Juanda dan
Tn. Rendi juga pingsan di pondok. Kemudian Tn. Sudian meminta
pertolongan warga untuk membawa korban lainnya ke Puskesmas
Pulau Beringin, setibanya di puskesmas Tn. Sudian menyusul pingsan.
3. Pukul 14.30 wib kelima korban mendapat pertolongan di Puskesmas
Pulau Beringin, kondisi kelima penderita nyaris sama yaitu: mual,
muntah, kejang, mulut berbuih, tubuh kebiruan, pucat dan nadi lemah.
Penderita segera diberikan susu steril, dipasang infuse RL dan oksigen.
4. Pukul 15.00 wib, Tn. Doni meninggal dunia, menyusul Ny. Aryama
pukul 15.15 wib, Tn. Juanda dan Tn. Rendi pukul 15.35 wib.
Sedangkan Tn. Sudian dirujuk ke RSUD Muaradua kemudian dirujuk
ke RS Antonio Baturaja.
5. Pada tanggal 10 Januari 2016, Tn. Sudian telah kembali ke rumahnya
di desa Aromantai akan tetapi kondisi penderita masih lemah dan
belum bisa diajak untuk berkomunikasi.

Sehubungan dengan penderita yang mengalami keracunan makanan saat


sedang beraktifitas di sawah dan dengan gejala yang ditimbulkan, maka
dugaan etiologi keracunan makanan kemungkinan diakibatkan oleh
pestisida. Adapun jenis pestisida dan gejala yang ditimbulkannya yang
mendekati gejala yang diderita oleh penderita adalah sebagai berikut:
- Organoklorin, dengan gejala mual, muntah, gelisah, pusing, lemah,
rasa geli atau menusuk pada kulit, kejang otot, hilang koordinasi, tidak
sadar.
- Organofosfat dan Karbamat, dengan gejala lelah, sakit kepala, pusing,
hilang selera makan, mual, kejang perut, diare, penglihatan kabur,
keluar air mata, keringat, air liur berlebih, tremor, pupil mengecil,
denyut jantung lambat, kejang otot, tidak sanggup berjalan, rasa tidak
nyaman dan sesak, buang air besar dan kecil tidak terkontrol,
inkontinensi, tidak sadar dan kejang-kejang.

15
Berdasarkan wawancara dengan warga yang menolong dan petugas
kesehatan di lapangan serta pemeriksaan fisik pada penderita, maka
disusun tabel sebagai berikut:

Tabel 1: Distribusi Gejala KLB Keracunan Pangan di Desa Aromantai Kec.


Pulau Beringin Kab. OKU Selatan
No Gejala dan Tanda Jumlah Kasus %
1 Mual 5 100%
2 Muntah 5 100%
3 Pusing 5 100%
4 Mulut Berbuih 5 100%
5 Tubuh Kebiruan 5 100%
6 Pingsan 5 100%
7 Kejang 5 100%

Pada tabel dapat dipelajari etiologi/gejala yang paling mungkin


dari kedua jenis pestisida sebagai diagnosis banding dan etiologi yang
paling tidak mungkin dapat disingkirkan sebagai etiologi KLB. Pada tabel
tersebut semua gejala masih dapat memungkinkan sehingga etiologi/gejala
keracunan pestisida organoklorin dan organofosfat masih belum
mendapatkan evidence based (hasil uji laboratorium) dari kejadian
tersebut.
Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit (dermal),
pernafasan (inhalasi) atau mulut (oral). Pestisida akan segera diabsorpsi
jika kontak melalui kulit atau mata. Absorpsi ini akan terus berlangsung
selama pestisida masih ada pada kulit. Kecepatan absorpsi berbeda pada
tiap bagian tubuh. Perpindahan residu pestisida dari suatu bagian tubuh ke
bagian lain sangat mudah. Jika hal ini terjadi maka akan menambah
potensi keracunan. Residu dapat pindah dari tangan ke dahi yang
berkeringat atau daerah genital. Pada daerah ini kecepatan absorpsi sangat

16
tinggi sehingga dapat lebih berbahaya daripada tertelan. Paparan melalui
oral dapat berakibat serius, luka berat atau bahkan kematian jika tertelan.

d. Kurva Epidemiologi
Berdasarkan data yang diperoleh dibuat kurva epidemi sebagai berikut:
Gambar 1: Kurva Epidemi KLB Keracunan Pangan di Desa Aromantai
Kab. OKU Selatan
6

3 Kasus
Kematian
2

0
14,00 14,30 15,00 15,30 15,35 16,00

Berdasarkan kurva epidemiologi diperoleh gambaran periode KLB pada


tanggal 4 Januari 2016 mulai jam 14.00 dan berakhir pada jam 15.35 WIB.

e. Gambaran Epidemiologi Menurut Umur


Tabel 2. Distribusi KLB Keracunan Makanan Menurut Umur di Desa
Aromantai Bulan Januari Tahun 2016
No Gol. Umur (th) Populasi Kasus Meninggal CFR
Rentan
1 ≤ 14 2 2 2 40%
2 > 14 3 3 2 40%
Total 5 5 4 80%

Dari 5 orang yang mengkonsumsi makanan sebanyak 5 orang mengalami


keracunan pangan terdiri dari golongan umur <14 th sebanyak 2 orang meninggal
dunia CFR (40%) dan golongan umur >14 th sebanyak 3 orang dan yang

17
meninggal dunia sebanyak 2 orang CFR (40%).

III. 4 Pemeriksaan Laboratorium


Semua sampel yang diambil untuk konfirmasi ke Laboratorium di BBLK
(Balai Besar Laboratorium Kesehatan) dan BPOM Prov. Sumsel. Berdasarkan
informasi dari Dinas Kesehatan OKU Selatan tanggal 25 Januari 2016, dari hasil
pemeriksaan laboratorium dari BPOM dan BBLK Palembang diketahui sampel
untuk minuman kopi hasilnya negatif, sedangkan untuk sampel muntahan,
gandum, ikan yang mati di kolam dan sayur terong yang belum dimakan hasilnya
positif mengandung pestisida organoklorin golongan endosulfan.

18
III. 5 Dokumentasi

19
20
BAB IV
PENUTUP

IV.1 KESIMPULAN
Untuk kasus ini, maka penyebab keracunan pangan di Desa Aromantai Kecamatan
Pulau Beringin Kabupaten OKU Selatan adalah:
1. Perilaku penderita/korban yang kurang mentaati prosedur penggunaan dan
penyimpanan pestisida.
2. Karena mengkonsumsi makanan pada saat di ladang yang diduga
terkontaminasi pestisida kelompok insektisida organoklorin.
3. Kemungkinan penderita/korban pada saat membajak sawah menggunakan
pestisida, kelima penderita yang telah terpapar pestisida pada saat istirahat
makan pisang goreng dan minum kopi tidak mencuci tangan pakai sabun
dan air mengalir sehingga sisa pestisida masih melekat pada kulit dan
tertelan bersama makanan yang dimakan.

. IV.2 SARAN
Saran dan tindak lanjut yang telah dilakukan:

1. Setiap kejadian keracunan pangan diharapkan masyarakat melapor cepat


ke Puskesmas dan Dinas Kesehatan terdekat sehingga dapat ditanggulangi
secara cepat.
2. Masyarakat diharapkan berobat ke Puskesmas terdekat dan apabila perlu
berobat ke rumah sakit terdekat guna mendapatkan pelayanan medis yang
lengkap sehingga kasus kematian pada KLB keracunan pangan tidak
terjadi.
3. Petugas Puskesmas diharapkan agar ikut melakukan pengawasan dan
penyuluhan kesehatan terhadap masyarakat sekitar tentang PHBS,
penyimpanan dan penggunaan pestisida yang baik dan benar.

21
22

Anda mungkin juga menyukai