Anda di halaman 1dari 18

REFRESHING

BEDAH ANAK I

Pembimbing :
dr. H. Saleh Setiawan, Sp.B

Oleh :
Sally Novrani Puteri
2013730174

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU KEDOKTERAN BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

RSIJ PONDOK KOPI

2018
A. UNDESENSUS TESTIS
Pada masa janin testis berada di rongga abdomen dan beberapa saat sebelum
bayi dilahirkan, testis mengalami desensus testikulorum atau turun ke dalam
kantung skrotum. Diduga ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan
testis ke dalam skrotum :

- Adanya tarikan dari gubernakulum testis dan refleks dari otot kremaster
- Perbedaan pertumbuhan gubernakulum dengan pertumbuhan badan
- Dorongan dari tekanan intraabdominal

Oleh karena sesuatu hal, proses penurunan tersebut tidak berjalan dengan baik
sehingga testis tidak berada di kantung skrotum. Dalam hal ini mungkin testis
tidak mampu mencapai skrotum tetapi masih berada pada jalurnya yang normal
(kriptorkismus), atau testis tersesat (keluar) dari jalurnya yang normal (ektopik).

1. Angka Kejadian
Insidens maldesensus testis setelah usia satu tahun adalah 1,8-2%.
Pembagian dibuat berdasarkan retensi testis pada abdomen, inguinal atau
preskrotal dan ekstopik testis di epifasial, femoral atau penodorsal. Sliding atau
testis retraktil merupakan variasi dan kriptorkismus. Sliding testis dengan
funikulus spermatikus yang terlalu pendek akan kembali ke posisi
nonfisiologik saat ditarik ke dalam skrotum dan kemudian dilepaskan. Testis
retraktil atau pendulosa dengan hipertrofik otot kremaster dihubungkan dengan
retraksi intermiten dari testis yang umumnya orthotopik.

Kriptokismus pada bayi prematur kurang dari 30%, sedangkan pada bayi
cukup bukan sebesar 3%. Dengan ertambahnya usia, testis mengalami desensus
spontan, sehingga pada usia 1 tahun angka kejadian menurun hingga 0,7-0,9%.
Setelah 1 tahun, sudah jarang mengalami desensus spontan.

2. Etiologi
Testis maldesensus dapat terjadi karena :

- Gubernakulum testis

1
- Kelainan intrinsik testis
- Defisiensi hormon gonadotropin yang memacu proses desensus testis.

Gambar 1. Kriptokismus dan Testis Ektopik

Keterangan gambar : 1. Testis retraktil, 2. Inguinal, dan 3. Abdominal, sedangkan


gambar di sebelah kiri menunjukkan testis ektopik, antara lain: 4. Inguinal
superfisial, 5. Penil, 6. Femoral

3. Patofisiologi dan Patogenesis


Suhu di dalam rongga abdomen ± 10C lebih tinggi daripada suhu di dalam
skrotum, sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih tinggi
daripada testis normal; hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel epitel germinal
testis. Pada usia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah

2
mengalami kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel germinal
yang masih normal. Kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya
testis menjadi mengecil.

Karena sel-sel Leydig sebagai penghasil hormon androgen tidak ikut rusak,
maka potensi seksual tidak mengalami gangguan.

Akibat lain yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada di skrotum
adalah mudah terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih mudah
mengalami degenerasi maligna.

4. Gambaran klinis
Pasien biasanya dibawa berobat ke dokter karena orang tuanya tidak
menjumpai testis di kantong skrotum, sedangkan pasien dewasa mengeluh
karena infertilitas yaitu belum mempunyai anak setelah kawin beberapa tahun.
Kadang-kadang merasa ada benjolan di perut bagian bawah yang disebabkan
testis maldesensus mengalami trauma, mengalami torsio, atau berubah menjadi
tumor testis.

Inspeksi pada regio skrotum terlihat hipoplasia kulit skrotum karena tidak
pernah ditempati oleh testis. Pada palpasi, testis tidak teraba di kantung
skrotum melainkan berada di inguinal atau di tempat lain. Pada saat melakukan
palpasi untuk mencari keberadaan testis, jari tangan pemeriksa harus dalam
keadaan hangat.

Jika kedua buah testis tidak diketahui tempatnya, harus dibedakan dengan
anorkismus bilateral (tidak mempunyai testis). Untuk itu perlu dilakukan
pemeriksaan hormonal antara lain hormon testosteron, kemudian dilakukan uji
dengan pemberian hormon hCG (human chorionic gonadotropin).

5. Diagnosis
Maldesensus testis didiagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik dan sonografi.
Pada pemeriksaan fisik, testis lebih mudah diraba bila penderita pada posisi
skrotum dan hipertrofi testis kontralateral. Sonografi dan magnetic resonance
imaging (MRI) dapat membantu untuk menemukan lokasi testis yang tidak

3
teraba; akurasi MRI adalah 90% untuk testis intraabdomen. Laparoskopi sudah
ditetapkan sebagai prosedur diagnostik dan terapeutik jika diduga terdapat
retensi abdomen. Pada prosedur ini, posisi testis di abdomen dapat ditemukan
dan diletakkan ke skrotum dengan menggunakan teknik sesuai dengan kondisi
anatomis. Tes stimulasi human chorionic gonadotrophin (HCG), sebagai bukti
adanya jaringan testis yang menghasilkan testosteron, sebaiknya dilakukan
sebelum operasi eksplorasi pada testis yang tidak teraba bilateral.

Uji hCG untuk mengetahui keberadaan testis dengan periksa kadar


testosteron dengan Injeksi hCG 2000U/hari selama 4 hari, apabila pada hari ke
5 kadar meningkat 10 kali lebih tinggi daripada kadar semula berarti testis
memang ada. Keberadaan testis sering kali sulit untuk ditentukan, apalagi testis
yang letaknya intraabdominal dan pada pasien yang gemuk. Untuk itu
diperlukan bantuan beberapa sarana penunjang, di antaranya adalah flebografi
selektif atau diagnostik laparoskopi.

Pemakaian ultrasonografi untuk mencari letak testis sering kali tidak


banyak manfaatnya sehingga jarang dikerjakan. Pemeriksaan flebografi selektif
adalah usaha untuk mencari keberadaan testis secara tidak langsung, yaitu
dengan mencari keberadaan pleksus Pampiniformis. Jika tidak didapatkan
pleksus pampiniformis kemungkinan testis memang tidak pernah ada.

Melalui laparoskopi dicari keberadaan testis mulai dari dari fossa renalis
hingga anulus inguinalis internus, dan tentunya laparoskopi ini lebih dianjurkan
daripada melakukan eksplorasi melalui pembedahan terbuka.

6. Diagnosis Banding
Seringkali dijumpai testis yang biasanya berada di kantung skrotum tiba-tiba
berada di daerah inguinal dan pada keadaan lain kembali ke tempat semula.
Keadaan ini terjadi karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca
dingin, atau setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis
retraktil atau kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati.

Selain itu maldesensus testis perlu dibedakan dengan anorkismus yaitu testis
memang tidak ada. Hal ini bisa terjadi secara kongenital memang tidak

4
terbentuk testis atau testis yang mengalami atrofi akibat torsio in utero atau
torsio pada saat neonatus.

7. Terapi
Pada prinsipnya testis yang tidak berada di skrotum harus diturunkan ke
tempatnya, baik dengan cara medikamentosa maupun pembedahan. Dengan
asumsi bahwa jika dibiarkan, testis tidak dapat turun sendiri setelah usia 1
tahun sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang cukup
bermakna, maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1
tahun.

a. Medikamentosa
Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak memberikan hasil
terutama pada kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral
hasilnya masih belum memuaskan. Hanya diberikan untuk testis yang
retensi karena terapi ini tidak efektif untuk testis ektopik. Obat yang
diberikan adalah suntikan HCG intramuskular (1500 IU/m2 dua kali
seminggu selama 4 minggu) atau luteinizing hormone releasing hormone
(LHRH) berupa semprotan nasal (400 µg, tiga kali sehari). Kedua metode
terbukti efektif pada 20-30% kasus. Penting untuk melakukan follow-up
karena dapat terjadi kegagalan setelah beberapa waktu {reascend 10 - 25%).

b. Operasi
Tujuan operasi pada kriptorkismus adalah: (1) mempertahankan fertilitas,
(2) mencegah timbulnya degenerasi maligna, (3) mencegah kemungkinan
terjadinya torsio testis, (4) melakukan koreksi hernia, dan (5) secara
psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri karena tidak mempunyai
testis.

Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke


dalam skrotum dengan melakukan fiksasi pada kantong sub dartos.
Pembedahan orkhidofunikulolisis dan orkhidopeksi merupakan
penatalaksanaan pilihan pertama. Testis pendulosa (retraktil) tidak
diindikasikan untuk koreksi bedah. Indikasi absolut untuk operasi primer

5
adalah retensi testis setelah gagal terapi hormonal atau setelah operasi di
daerah inguinal, ektopik testis dan seluruh maldesensus testis yang disertai
dengan kelainan patologis lainnya (hemia dan atau prosesus vaginalis yang
terbuka). Akses inguinal funikulus spermatikus dicapai setelah membuka
kanalis inguinalis. Kondisi patologis lain yang berhubungan (seperti
prosesus vaginaiis yang terbuka, hemia inguinalis) dikoreksi pada saat yang
bersamaan. Setelah funikulus spermatikus dan testis dibebaskan dari
jaringan ikat dan serat kremaster telah direseksi, testis diletakkan tension
free secara peksi ke dalam skrotum. Jika tidak ditemukan testis atau jaringan
funikulus spermatikus pada saat eksplorasi kanalis inguinalis, peritoneum
dibuka dan dilakukan orkhido-funikulolisis intraperitoneal. Jika funikulus
spermatikus terlalu pendek, dapat dilakukan teknik Fowler-Stephens (ligasi
dan diseksi pembuiuh darah spermatika). Syaratnya adalah duktus deferens
dan pembuluh darah epididimis yang intak; hal ini dapat dites dengan
melakukan klem sementara pada arteri testikularis. Pada kasus yang jarang,
dapat dipertimbangkan untuk melakukan auto-transplantasi dengan
anastomosis bedah mikro pembuluh darah testis dengan pembuluh darah
epigastrika

Tabel 1. Penatalaksanaan kriptorkhismus

KRIPTORKHISMUS

Pemeriksaan Fisik
Sonografi

Dapat dideteksi Tidak terdeteksi unilateral Tidak terdeteksi

6
Bilateral

MRI (opsional) (+) stimulasi HCG

(-)

Terapi Laparoskopi Interseks ?

7
B. HIPOSPADIA
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa muara uretra yang terletak di sebelah
ventral penis dan sebelah prokimal ujung penis. Hipospadia merupakan salah satu dari
kelainan congenital paling sering pada genitalia laki laki, terjadi pada satu dalam 350
kelahiran laki-laki, dapat dikaitkan dengan kelainan kongenital lain seperti anomali ginjal,
undesensus testikulorum dan genetik seperti sindroma klinefelter.
Tergantung pada lokasi orifisium uretra ekstema, hipospadia dapat dibagi menjadi bentuk
distal (75%; glandular, koronar, subkoronar), intermediet (13%) dan proksimal (12%;
penoskrotal, skrotal, perineal).
1. Etiopatogenesis
Hipospadia terjadi karena gangguan perkembangan urethra anterior yang tidak
sempurna yaitu sepanjang batang penis sampai perineum. Semakin ke arah proksimal
muara meatus uretra maka semakin besar kemungkinan ventral penis memendek dan
melengkung dengan adanya chordae.
Patofisiologi hypospadia masih belum diketahui dengan pasti, akan tetapi beberapa
teori yang menyatakan tentang penyebab hipospadia antara lain :
 Faktor genetik.
Jika orang tua kandung laki-laki memiliki kelainan kelamin (hypospadia) maka
resiko yang akan diturunkan kepada anak kandung laki-laki kurang lebih 12% -
14 %.

 Faktor etnik dan geografis.


Di Amerika Serikat angka kejadian hypospadia pada kaukasoid lebih tinggi dari
pada orang Afrika, Amerika.

 Faktor hormonal
Faktor hormon androgen/estrogen sangat berpengaruh terhadap kejadian hipospadia
karena berpengaruh terhadap proses maskulinisasi masa embrional. Terdapat
hipotesis tentang pengaruh estrogen terhadap kejadian hipospadia bahwa estrogen
sangat berperan dalam pembentukan genital eksterna laki-laki saat embrional. Secara
umum diketahui bahwa genital eksterna laki-laki dipengaruhi oleh estrogen yang
dihasilkan testis primitif. Suatu hipotesis mengemukakan bahwa kekurangan
estrogen atau terdapatnya anti-androgen akan mempengaruhi pembentukan genitalia
ekterna laki-laki.

8
 Faktor pencemaran limbah industri
Limbah industri berperan sebagai “Endocrin discrupting chemicals” dengan sifat
anti-androgenik seperti polychlorobiphenyls, dioxin, furan, peptisida organochlorin,
alkilphenol polyethoxsylates dan phtalites.
2. Perkembangan Embrionik dari Hipospadia
Perkembangan dari penis dan skrotum dipengaruhi oleh testis. Tanpa adanya testis,
maka struktur wanita seperti klitoris, labia minora dan labia mayora dominan, tetapi
dengan adanya testis, klitoris membesar menjai penis, sulkus antara labia minora terbentuk
menjadi uretra dan labia mayora berkembang menjadi skrotum, ke dalam sana testis
kemudian turun. Hipospadia terjadi jika sel testis yang berkembang secara premature
berhenti memproduksi androgen, karena itu menimbulkan interupsi konversi penuh dari
genitalia eksterna menjadi bentuk laki laki.
3. Klasifikasi
Klasifikasi hipospadia yang digunakan sesuai dengan letak meatus uretra yaitu tipe
glandular, distal penile, penile, penoskrotal, skrotal dan perineal.
Semakin ke proksinal letak meatus, semakin berat kelainan yang diderita dan semakin
rendah frekuensinya. Pada kasus ini 90% terletak di distal di mana meatus terletak di
ujung batang penis atau di glands penis. Sisanya yang 10% terletak lebih proksimal yaitu
ditengah batang penis, skrotum atau perineum. Berdasarkan letak muara uretra setelah
dilakukan koreksi korde, Brown membagi hipospadia dalam 3 bagian : (1) Hipospadia
anterior : tipe glanular, subkoronal, dan penis distal. (2) Hipospadia Medius : midshaft,
dan penis proksimal (3) Hipospadia Posterior : penoskrotal, scrotal, dan perineal.

9
Gambar 2. Klasifikasi hipospadia berdasarkan lokasi meatus

Gambar 3. Klasifikasi hipospadia berdasarkan letak muara uretra setelah dilakukan koreksi
korde (Brown)

4. Manifestasi Klinis
Pada kebanyakan penderita terdapat penis yang melengkung ke arah bawah yang akan
tampak lebih jelas pada saat ereksi. Hal ini disebabkan oleh adanya chordee yaitu suatu
jaringan fibrosa yang menyebar mulai dari meatus yang letaknya abnormal ke glands
penis. Jaringan fibrosa ini adalah bentuk rudimeter dari uretra, korpus spongiosum dan
tunika dartos. Walaupun adanya chordee adalah salah satu ciri khas untuk mencurigai
suatu hipospadia, perlu diingat bahwa tidak semua hipospadia memiliki chordee.
Gejala yang timbul pada kebanyakan penderita hypospadia biasanya datang dengan
keluhan kesulitan dalam mengatur aliran air kencing (ketika berkemih). Hypospadia tipe
perineal dan penoscrotal menyebabkan penderita harus miksi dalam posisi duduk dan
pada orang dewasa akan mengalami gangguan hubungan seksual.

Tanda-tanda klinis hypospadia:

10
a. Lubang Osteum/orifisium Uretra Externa (OUE) tidak berada di ujung glands
penis.
b. Preputium tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis.
c. Biasanya jika penis mengalami kurvatura (melengkung) ketika ereksi, maka dapat
disimpulkan adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang membentang hingga ke
glans penis.
d. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glands penis.
Selain terdapat tanda dan gejala klinis diatas dalam beberapa penelitian juga
membuktikan bahwa sebagian besar hypospadia mengalami sedikit gangguan psikologis.
5. Diagnosis
Kelainan hipospadia dapat diketahui segera setelah kelahiran dengan pemeriksaan
inspeksi genital pada bayi baru lahir. Selain pada bayi baru lahir diagnosis hypospadia
sering dijumpai pada usia anak yang akan disirkumsisi (7-9 tahun). Jika pasien diketahui
memiliki kelainan kelamin (hypospadia) maka tindakan sirkumsisi tersebut tidak boleh
dilakukan karena hal tersebut merupakan kontra-indikasi tindakan.

Selain deskripsi temuan lokal (posisi, bentuk dan lebar orifisium, ukuran penis,
urethra plate, informasi mengenai kurvatura penis saat ereksi dan inflamasi), evaluasi
diagnostik juga mencakup penilaian adanya anomali yang berhubungan:

- prosesus vaginalis yang terbuka (pada 9% kasus)


- testis letak tinggi (pada 5% bentuk ringan hipospadia; pada 31 % hipospadia
posterior) anomali saluran kemih bagian atas (3%)
Hipospadia berat dengan testis yang tidak teraba unilateral atau bilateral dan transposisi
skrotal memerlukan pemeriksaan genetik lengkap. Pemeriksaan fisik lengkap, urinalisa
dan biasanya sonografi dilakukan secara rutin pada semua bentuk hipospadia.
6. Penatalaksanaan
Rekonstruksi phallus (penis) pada hypospadia dapat dilakukan sebelum usia belajar
(±1,5 bulan - 2 tahun). Terdapat beberapa cara penatalaksanan penbedahan untuk
merekonstruksi phallus pada hypospadia. Tujuan penatalaksanaan hypospadia yaitu untuk
memperbaiki kelainan anatomi phallus, dengan keadaan bentuk phallus yang melengkung
(kurvatura) karena pengaruh adanya chordee
Dikenal banyak tehnik operasi hipospadia, yang umumnya terdiri dari beberapa tahap
yaitu :

11
a. Chordectomi : melepas chordae untuk memperbaiki fungsi dan memperbaiki
penampilan phallus (penis).
Dilakukan pada usia 1,5-2 tahun. Pada tahap ini dilakukan operasi eksisi chordee
dari muara uretra sampai ke glands penis. Setelah eksisi chordee maka penis akan
menjadi lurus tetapi meatus uretra masih terletak abnormal. Untuk melihat keberhasilan
eksisi dilakukan tes ereksi buatan intraoperatif dengan menyuntikkan NaCL 0,9%
kedalan korpus kavernosum.
b. Urethroplasty : membuat Osteum Urethra Externa diujung gland penis sehingga
pancaran urin dan semen bisa lurus ke depan.
Biasanya dilakukan 6 bulan setelah operasi pertama. Uretra dibuat dari kulit penis
bagian ventral yang di insisi secara longitudinal pararel di kedua sisi.
Chordectomi dan urethroplasty dilakukan dalam satu waktu operasi yang sama disebut
satu tahap, bila dilakukan dalam waktu berbeda disebut dua tahap.

7. Komplikasi
Komplikasi yang biasa terjadi antara lain striktur uretra (terutama pada sambungan
meatus uretra yang sebenarnya dengan uretra yang baru dibuat) atau fistula. Komplikasi
tersebut meliputi:
- Perdarahan
- Infeksi
- Fistel urethrokutan
- Striktur urethra, stenosis urethra
- Divertikel urethra
Komplikasi yang terjadi setelah rekonstruksi phallus dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain usia pasien, tipe hipospadia dan tahapan operasi yang meliputi ketelitian teknik
operasi.

12
Tabel 2. Algoritme penatalaksanaan hipospadia

Hipospadia

Diagnosis interseks
saat lahir

Perlu Tidak perlu


rekonstruksi rekonstruksi

Persiapan

(prepusium, terapi

Distal Proksimal

Chordee Tanpa chordee

MAGPI,
Lempeng uretra Lempeng uretra
Mathieu,King,Duplay,
dibuang dipertahankan
Snodgrass,dll

Tube-onlay, Inlay-
Onlay kulit lokal,
onlay, Prosedur 2
Mukosa bukal
tahap

C. FIMOSIS dan PARAFIMOSIS


1. Fimosis
Fimosis adalah prepusium penis yang tidak dapat diretraksi (ditarik) ke proksimal
sampai ke korona glandis. Fimosis dialami oleh sebagian besar bayi baru lahir karena
terdapt adesi alamiah antara prepusium dengan glans penis.

13
Pada akhir tahun pertama kehidupan, retraksi kulit prepusium ke belakang sulkus
glandularis hanya dapat dilakukan pada sekitar 50% anak laki-laki; hal ini meningkat
menjadi 89% pada saat usia tiga tahun. Insidens fimosis adalah sebesar 8% pada usia 6
sampai 7 tahun dan 1% pada laki-laki usia 16 sampai 18 tahun.

a. Etiologi
Fimosis dapat terjadi akibat radang seperti balanopostitis (radang glans dan
prepusium) atau setelah sirkumsisi yang tidak sempurna.

b. Patologi
Pada fimosis dapat terjadi 2 penyulit yaitu balanopostitis kronik dan residif serta
kesulitan miksi. Balanopostitis sukar sembuh karena tindak hygiene biasa untuk
membersihkan glans dan permukaan dalam prepusium tidak dapat dilakukan. Sudah
tentu retensi smegma akan berperan dalam proses patologi ini. Risiko perkembangan
malignitas kulit glans penis atau dalam prepusium sangat meningkat pada fimosis.

c. Manifestasi klinis
Sulit kencing, pancaran urin mengecil, menggelembungnya ujung prepusium penis
pada saat miksi, dan menimbulkan retensi urin. Hygiene local yang kurang bersih
menyebabkan terjadinya infeksi pada prepusium (postitis), infeksi pada glans penis
(balanitis) atau infeksi pada glans dan prepusium penis (balanopostitis).
d. Diagnosis
Jika prepusium tidak dapat atau hanya sebagian yang dapat diretraksi, atau menjadi
cincin konstriksi saat ditarik ke belakang melewati glans penis, harus diduga adanya
disproporsi antara lebar kulit prepusium dan diameter glans penis. Selain konstriksi
kulit prepusium, mungkin juga terdapat perlengketan antara permukaan dalam
prepusium dengan epitel glandular dan atau frenulum breve. Frenulum breve dapat
menimbulkan deviasi glans ke ventral saat kulit prepusium diretraksi.

e. Tindakan
Terapi fimosis pada anak-anak tergantung pada pilihan orang tua dan dapat berupa
sirkumsisi plastik atau sirkumsisi radikal setelah usia dua tahun. Tidak dianjurkan
melakukan dilatasi atau retraksi yang dipaksakan pada fimosis. Fimosis yang disertai
balanitis xerotika obliterans dapat dicoba diberikan salep deksametasone 0,1% yang
dioleskan 3 atau 4 kali selama 6 bulan.

14
Pada fimosis yang menimbulkan keluhan miksi, menggelembungnya ujung
prepusium pada saat miksi, atau fimosis yang disertai dengan infeksi postitis
merupakan indikasi untuk dilakukan sirkumsisi. Tentunya pada balanitis atau postitis
harus diberi antibiotika dahulu sebelum sirkumsisi.
Tujuan sirkumsisi plastik adalah untuk memperluas lingkaran kulit prepusium saat
retraksi komplit dengan mempertahankan kulit prepusium secara kosmetik. Pada saat
yang sama, periengketan dibebaskan dan dilakukan frenulotomi dengan ligasi arteri
frenular jika terdapat frenulum breve. Sirkumsisi neonatal rutin untuk mencegah
karsinoma penis tidak dianjurkan. Kontraindikasi operasi adalah infeksi total akut dan
anomali kongenital dari penis.

Sebagai pilihan terapi konservatif dapat diberikan salep kortikoid (0,05-0,1%) dua
kali sehari selama 20-30 hari Terapi ini tidak dianjurkan untuk bayi dan anak-anak yang
masih memakai popok, tetapi dapat dipertimbangkan untuk usia sekitar tiga tahun.

2. Parafimosis
Prepusium penis yang di retraksi sampai di sulkus koronarium tidak dapat
dikembalikan pada keadaan semula dan timbul jeratan pada penis dibelakang sulkus
koronarius.

a. Etiologi
Menarik Prepusium ke proksimal yang biasanya di lakukan pada saat
bersenggama/masturbasi atau sehabis pemasangan kateter tetapi tidak dikembalikan
ketempat semula secepatnya.

b. Patologi
Parafimosis merupakan kasus gawat darurat. Upaya untuk menarik kulit preputium
ke belakang batang penis, terutama yang berlebihan namun gagal untuk
mengembalikannya lagi ke depan manakala sedang membersihkan glans penis atau saat
memasang selang untuk berkemih (kateter), dapat menyebabkan parafimosis. Kulit
preptium yang tidak bisa kembali ke depan batang penis akan menjepit penis sehingga
menimbulkan bendungan aliran darah dan pembengkakan (edema) glans penis dan
preputium, bahkan kematian jaringan penis dapat terjadi akibat hambatan aliran darah
pembuluh nadi yang menuju glans penis. Oleh karena itu, setelah memastikan bahwa
tidak ada benda asing seperti karet atau benang yang menyebabkan penis terjepit.

15
c. Penatalaksanaan
Preputium diusahakan di kembalikan secara manual dengan teknik memijat gland
selama 3-5 menit diharapkan edema berkurang dan secra perlahan preputium
dikembalikan pada tempatnya. Jika usaha gagal, lakukan dorsum insisi pada tempatnya
setelah edema dan proses inflamasi menghilang pasien dianjurkan menjalani sirkumsisi

Parafimosis harus dianggap sebagai kondisi darurat karena retraksi prepusium yang
terlalu sempit di belakang glans penis ke sulkus glandularis dapat mengganggu perfusi
permukaan prepusium distal dari cincin konstriksi dan juga pada glans penis dengan
risiko terjadinya nekrosis.

16
DAFTAR PUSTAKA

Awad, Mohamed, M, S. 2006. Urethra Advancement Technique for Repair of Distal Penile
Hypospadias : A Revisit, Jurnal diakses dari : www.ijps.org pada tanggal 23 February 2010.

Djakovic, et all. 2008. Review Article Hypospadias, Jurnal diakses dari :


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2577154/ pada tanggal 26 February 2010.

IDAI, 2005, Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Badan Pnerbit IDAI, Jakarta.

Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI). 2005. Panduan Penatalaksanaan (Guidelines) Pediatric
Urology (Urologi Anak) di Indonesia.

Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Ed.6. EGC: Jakarta.

Purnomo, Basuki B. Dasar-dasar Urologi, ed. 2. 2009. Sagung Seto : Jakarta.

Sadler, T, W. 2002. Embriologi Kedokteran Langman. Ed.7. EGC: Jakarta.

Sigh, Chandra, et all. 2008. Effect of Hypospadias on Sexual Fungtion an Reproduction,


Jurnal diakses dari : www.indianjurol.com pada tanggal 23 February 2010.

Sjamsuhidajat, R & Jong Wim De. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. EGC: Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai