Anda di halaman 1dari 202

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

A. Penemuan pasien Tuberkulosis


Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui serangkaian
kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien tb, pemeriksaan fisik dan
laboratoris menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi tidak menularkan
penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan
terduga pasien, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.
Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadara akan keluhan
dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatanyang
kompeteten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut.
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien tb.
Penemuan dan penyembuhan pasien tb menularkan secara bermakna akan dapat
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB serta sekaligus merupakan
kegiatan pencegajan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Keikutsertaan
pasien merupakan salah satu faktir penting dalam upaya pengendalian TB
1. Strategi penemuan
a. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap :
1) Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti
pada pasien dengan HIV, Diabetes mellitus .
2) Kelompok yang rentan karena berada dilingkungan yang beresiko
tinggi terjadi penularan TB, seperti : Lapas/Rutan, tempat
penampungan pengungsi, daerah kumuh.
3) Anak dibawah umur 5 tahun yang kontak dengan pasien TB
4) Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat.
b. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring terduga TB memiliki
gejala :
A. Gelaja utama pasien tb paru adalah batuk berdahak selama 2
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan
yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, berat
badan menurun.
Gejala – gejala diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru
selain tb, seperti bronkiektasis, bronchitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain lain. Setiap orang yang dating ke fasyankes dengan
gejala tersebut, diangkat sebagai seorang terduga pasien TB, dan
perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung
atau pemeriksaan BTA.

2. Pemeriksaan dahak

a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan

pengobatan dan menentukan potensi penularan.

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3

contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa

dahak Pagi-Sewaktu (PS):

• P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun

tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.

• S (sewaktu): dahak ditampung dirumah pada saat pasien mau datang ke fasyankes untuk menyerahkan

Dahak.

b. Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb)

dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:

• Pasien TB ekstra paru.

• Pasien TB anak.

• Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.

Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya.

Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang

direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk

memanfaatkan tes cepat tersebut.


B. Diagnosis Tuberkulosos pada orang dewasa
1 . Diagnosa TB Paru :
 Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negative, maka penegakan diagnose
TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (
setidaknya-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh
dokteryang telah terlatih TB
 Tidak dibenarkan mendiagnosa TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja
harus diperiksakan juga Sputum / dahaknya.
 Pemeriksaan Dahak Mikroskopis langsung :
 Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung, terduga TB diperiksa contoh uji dahak PS (Pagi-sewaktu)
 Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 ( satu ) dari pemeriksaan contoh
uji dahak hasil BTA positif.
2. Diagnosa TB ekstra Paru :
 Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya nyeri dada pada TB
pleura ( Pleuritis ), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta
deformitas tulang belakang pada spondilitis TB dan lain-lain.
 Diagnosis pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinik,
bakteriologis dan histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang
terkena.
Gambar 1.
Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada pasien dewasa
(tanpa kecurigaan/bukti : hasil tes HIV (+) atau terduga TB resistan Obat)

Batuk berdahak ≥ 2 minggu

Pemeriksaan klinis dan BTA

(+-)(-+ Rujuk Ke Faskes Rujukan Tindak lanjut (--)


)

Foto toraks mendukung Foto toraks tidak mendukung Tidak bias dirujuk
TB, pertimbangan dokter TB, pertimbangan dokter

Bukan TB

Tidak ada Terapi AB Non


perbaikan OAT

Pemeriksaan BTA ulang Perbaikan

Pemeriksaan TCM (--) (+-)(-+)

M.tb (+) M.tb ( + )


M.tb ( - )
Rif. sensitif Rif. Resisten

Rujuk ke faskes rujukan


TBMDR

TB

Pengobatan TB sesuai TIPK


pedoman nasional

HIV (+)
Bukan TB
Kolaborasi Kegiatan TB HIV
18

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

20

1. Definisi Pasien TB:

Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis:

Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji

biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat

yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

a. Pasien TB paru BTA positif

b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif

c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif

d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan

maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.

e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa

memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.

Pasien TB terdiagnosis secara Klinis:

Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi

didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan

pengobatan TB.

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB.

b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan


histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.

c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi

bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus

diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.

2. Klasifikasi pasien TB:

Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga

diklasifikasikan menurut :

a. Lokasi anatomi dari penyakit

b. Riwayat pengobatan sebelumnya

c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

d. Status HIV

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

Tuberkulosis paru:

Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB

paru karena adanya lesi pada jaringan paru.

Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa

terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB

ekstra paru.

Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,

diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.


19

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

21

Tuberkulosis ekstra paru:

Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,

abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.

Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan

bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan

penemuan Mycobacterium tuberculosis.

Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan

sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB

sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (. dari

28 dosis).

2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan

OAT selama 1 bulan atau lebih (= dari 28 dosis).

Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,

yaitu:

• Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan

bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena

reinfeksi).

• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):

adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini

sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).

• Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan

sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari

Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :

• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja

• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama

selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan

• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)

secara bersamaan

• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan

terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT

lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)

• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa

resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes

cepat) atau metode fenotip (konvensional).

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV

1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah pasien TB

dengan:

• Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,


atau

• Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.


24

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

26

Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi

dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat

dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas

dalam satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak.

Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan

Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk

digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada

pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.

Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap

(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.

Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket

untuk satu pasien.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan

untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)

pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa

pengobatan.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa

keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:

a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat

dan mengurangi efek samping.


b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi

obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep

c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi

sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya.

a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

• Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.

• Pasien TB paru terdiagnosis klinis

• Pasien TB ekstra paru

Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Berat Badan

Tahap Intensif

tiap hari selama 56 hari

RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama 16 minggu

RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

= 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT


25

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

27

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

Tahap

Pengobatan

Lama

Pengobatan

Dosis per hari / kali Jumlah

hari/

kali

menelan

obat

Tablet

Isoniasid

@ 300 mgr

Kaplet

Rifampisin

@ 450 mgr

Tablet

Pirazinamid

@ 500 mgr

Tablet

Etambutol
@ 250 mgr

Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya

(pengobatan ulang):

• Pasien kambuh

• Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya

• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

Tabel 7. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Berat

Badan

Tahap Intensif

tiap hari

RHZE (150/75/400/275) + S

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu

RH (150/150) + E(400)

Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu

30-37 kg 2 tab 4KDT

+ 500 mg Streptomisin inj.

2 tab 4KDT 2 tab 2KDT

+ 2 tab Etambutol

38-54 kg 3 tab 4KDT

+ 750 mg Streptomisin inj.


3 tab 4KDT 3 tab 2KDT

+ 3 tab Etambutol

55-70 kg 4 tab 4KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj.

4 tab 4KDT 4 tab 2KDT

+ 4 tab Etambutol

=71 kg 5 tab 4KDT

+ 1000mg Streptomisin inj.

5 tab 4KDT

( > do maks )

5 tab 2KDT

+ 5 tab Etambutol

Tabel 8. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

Tahap

Pengobatan

Lama

Pengobatan

Tablet

Isoniasid

@ 300 mgr

Kaplet

Rifampisin

@ 450 mgr

Tablet

Pirazinamid
@ 500 mgr

Etambutol

Streptomi

sin injeksi

Jumlah

hari/kali

menelan

obat

Tablet @

250 mgr

Tablet @

400 mgr

Tahap

Awal

(dosis

harian)

2 bulan

1 bulan

11

11

33

33

--

0,75 gr

-
56

28

Tahap

Lanjutan

(dosis 3x

semggu)

5 bulan 2 1 - 1 2 - 60
26

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

28

Catatan:

• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.

• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest

sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

• Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan

apabila terjadi perubahan berat badan. ( ² )

• Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan

golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang

jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama.

Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.

• OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan pelayanan

pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.

7. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB ( ²6 )

a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan

dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara

mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau

kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau

kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.

Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak

(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak
tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil

pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan

harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara

terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal,

tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif

atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan

(tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien

TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5.

Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan

selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.

Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk

memantau kemajuan hasil pengobatan:

1) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif :

• Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis

pengobatan tahap lanjutan

• Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5

dan Akhir Pengobatan)

2) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif :

Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1) :

• Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,

diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.


27

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

29

• Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan).

Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap

lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan

pemeriksaan uji kepekaan obat.

• Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan

pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5

(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).

Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan

OAT kategori 2):

• Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,

diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.

• Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR

• Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB

MDR

• Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS

Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa

pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke

5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).

3) Pada bulan ke 5 atau lebih :

• Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil

pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai


seluruh dosis pengobatan selesai diberikan

• Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan dinyatakan

gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR .

• Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB

MDR

• Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1),

pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa

dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR,

berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal.

• Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan

paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan

semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk

ke RS Pussat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa

dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR,

berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap

upaya PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi).

Tindak lanjut atas dasar hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat

pada tabel di bawah ini. ( . )


28

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS


29

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS


30

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

33

** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien dapat diberikan

pengobatan paduan OAT kategori 2.

*** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien tidak diberikan

pengobatan paduan OAT.

c. Hasil Pengobatan Pasien TB ( ¹ )

Hasil

pengobatan

Definisi

Sembuh

Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada

awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir

pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan

sebelumnya.

Pengobatan

lengkap

Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap

dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan

hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan

bakteriologis pada akhir pengobatan.

Gagal

Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali


menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan

atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil

laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT

Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai

atau sedang dalam pengobatan.

Putus

berobat

(loss to

follow-up)

Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang

pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.

Tidak

dievaluasi

Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.

Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke

kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak

diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.

d. Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed Treatment) ( ¹¹ )

Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan menyembuhkan

sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat. Untuk

tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan seluruh

obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh seorang

PMO (Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan

tempat pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat

memberikan kenyamanan.Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat dengan


kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada

faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.

1) Persyaratan PMO

a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan

maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

2) Siapa yang bisa jadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,

Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas

kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,

anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

3) Tugas seorang PMO

a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan.

b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.


31

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

34

kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada

faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.

1) Persyaratan PMO

a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan

maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

2) Siapa yang bisa jadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,

Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas

kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,

anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

3) Tugas seorang PMO

a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan.

b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah

ditentukan.

d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai

gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit


Pelayanan Kesehatan.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil

obat dari unit pelayanan kesehatan.

4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada

pasien dan keluarganya:

a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan

b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya

d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)

e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur

f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta

pertolongan ke fasyankes.

e. Pengobatan TB pada keadaan khusus

1) Kehamilan

Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan

pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk

kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin

karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat

menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya

gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan

dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya


32

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

35

sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang

akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50

mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan

pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan pada

trimester 3 kehamilan menjelang partus. ( ¹² )

2) Ibu menyusui dan bayinya

Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan

pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang

ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.

Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan

kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut

dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada

bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

3) Pasien TB pengguna kontrasepsi

Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk

KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien

TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.

4) Pasien TB dengan kelainan hati ( ²6 )

a) Pasien TB dengan Hepatitis akut

Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,

ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk


ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.

b) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang

biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :

• Pembawa virus hepatitis

• Riwayat penyakit hepatitis akut

• Saat ini masih sebagai pecandu alkohol

Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan

kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.

c) Hepatitis Kronis

Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan

fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil

pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan

OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:

• 2 obat yang hepatotoksik

. 2 HRSE / 6 HR

. 9 HRE

• 1 obat yang hepatotoksik

. 2 HES / 10 HE

• Tanpa obat yang hepatotoksik

. 18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak

direkomendasikan karena potensimya sangat lemah).


33

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

36

Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB,

harus menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.

. Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan,

. Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama,

. Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan

diperlukan evaluasi gangguan penglihatan.

5) Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal

Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau

gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR.

H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan

dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis

pemberian 3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB.

Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan

tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari

penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15

mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali

pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau. ( ²6 )

Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada

pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek

samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar

dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama
dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi

ginjal sangat diperlukan. Sebagai acuan, tingkat kegagalan fungsi ginjal pada

penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 11: Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada

penyakit ginjal kronis.

Tingkat Hasil pemeriksaan klirens kreatinin (KK)

1 KK (normal) dan fungsi ginjal normal namun terdapat kelainan saluran

kencing, misalnya: ginjal polikistik, kelainan struktur

2 KK (60 – 90 ml/menit)

3 KK (30 – 60 ml/menit)

4 KK (15 – 30 ml/menit)

5 KK (< 15 ml/menit) dengan atau tanpa dialisis

Tabel 12: Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB dengan

penyakit ginjal kronis.

OAT Stadium 1-3 Stadium 4-5

Isoniasid 300 mg/hari Diberikan 3x/minggu

Dosis 300 mg/setiap pemberian

Rifampisin <50 kg: 450 mg/hari

=50 kg: 600 mg/hari

<50 kg: 450 mg/hari

=50 kg: 600 mg/hari

Pirasinamid <50 kg: 1,5 g/hari

=50 kg: 2 g/hari

25-30 mg/kgBB/hari,

Diberikan 3x/minggu
Etambutol 15 mg/kgBB/hari 15-25 mg/kgBB/hari,

Diberikan 3x/minggu
34

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

37

6) Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM) ( ¹² )

TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan Diabetes

mellitus.

Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus:

a) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi

pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol

b) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat

dilanjutkan sampai 9 bulan

c) Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering

mengalami komplikasi kelainan pada mata

d) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas

obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan

e) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila

terjadi kekambuhan

7) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid

Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa

pasien seperti:

a) Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis

b) TB milier dengan atau tanpa meningitis

c) Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial

d) Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing


(untuk mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening

dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah.

e) Hipersensitivitas berat terhadap OAT.

f) IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome )

Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya

keluhan serta respon klinis.

Predinisolon (per oral):

• Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari

• Dewasa: 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari

Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus

diturunkan secara bertahap (tappering off).

8) Indikasi operasi

Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru),

adalah:

a) Untuk TB paru:

• Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.

• Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi

secara konservatif.

• Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir.

b) Untuk TB ekstra paru:

Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien

TB tulang yang disertai kelainan neurologik.


35

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

38

8. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya ( ²6 )

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek

samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek

samping yang merugikan atau berat.

Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting untuk memantau kondisi

klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat segera

diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin tidak

diperlukan.

Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan

kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta

menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain

daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif

menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil

obat.

Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat

pada kartu pengobatannya.

Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap

melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan

tambahan untuk menghilangkan keluhannya.

Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara

dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna penatalaksanaan lebih
lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah sakit.

Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan

pendekatan keluhan dan gejala.

Tabel 13. Efek samping ringan OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Tidak ada nafsu makan,

mual, sakit perut H, R, Z

OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila

keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan

sedikit makanan

Apabila keluhan semakin hebat disertai

muntah, waspada efek samping berat dan

segera rujuk ke dokter.

Nyeri Sendi Z Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti

radang non steroid

Kesemutan s/d rasa terbakar

di telapak kaki

atau tangan

H Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 – 75 mg per

hari

Warna kemerahan pada

air seni (urine) R

Tidak membahayakan dan tidak perlu diberi

obat penawar tapi perlu penjelasan kepada

pasien.
Flu sindrom (demam,

menggigil, lemas, sakit

kepala, nyeri tulang)

R dosis

intermiten

Pemberian R dirubah dari intermiten menjadi

setiap hari
36

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

39

Tabel 14. Efek samping berat OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Bercak kemerahan kulit (rash)

dengan atau tanpa rasa gatal H, R, Z, S Ikuti petunjuk

penatalaksanaan dibawah*

Gangguan pendengaran (tanpa

diketemukan serumen) S S dihentikan

Gangguan keseimbangan S S dihentikan

Ikterus tanpa penyebab lain H, R, Z Semua OAT dihentikan

sampai ikterus menghilang.

Bingung, mual muntah

(dicurigai terjadi gangguan fungsi

hati apabia disertai ikterus)

Semua jenis

OAT

Semua OAT dihentikan,

segera lakukan pemeriksaan

fungsi hati.

Gangguan penglihatan E E dihentikan.

Purpura, renjatan (syok), gagal

ginjal akut R R dihentikan.


Penurunan produksi urine S S dihentikan.

* Penatalaksanaan pasien dengan efek samping pada kulit ( ²6 )

Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain, dianjurkan untuk

memberikan pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta pelembab kulit.

Pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Apabila kemudian

terjadi rash, semua OAT harus dihentikan dan segera rujuk kepada dokter atau fasyankes

rujukan. Mengingat perlunya melanjutkan pengobatan TB hingga selesai, di fasyankes

rujukan dapat dilakukan upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan terjadinya

reaksi dikulit dengan cara ”Drug Challengin ”:

• Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap satu persatu

dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat menimbulkan reaksi ( H atau R

) pada dosis rendah misal 50 mg Isoniazid.

• Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari. Apabila tidak

timbul reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan menambahkan 1 macam OAT

lagi.

• Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan bahwa OAT yang

diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi pada kulit tersebut.

• Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi dikulit tersebut, pengobatan dapat

dilanjutkan tanpa OAT penyebab tersebut.

** Penatalaksanaan pasien dengan ”drugs induced hepatitis” ( ²6 )

Dalam uraian ini hanya akan disampaikan tatalaksana pasien yang mengalami keluhan

gangguan fungsi hati karena pemberian obat (drugs induced hepatitis). Penatalaksanaan

pasien dengan gangguan fungsi hati karena penyakit penyerta pada hati, diuraikan dalam

uraian Pengobatan pasien dalam keadaan khusus.

OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z.
Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti gangguan

fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor penyebab lain

sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh karena paduan

OAT.
37

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

40

Penatalaksanaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan TB

tergantung dari:

• Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan

• Berat ringannya gangguan fungsi hati

• Berat ringannya TB

• Kemampuan fasyankes untuk menatalaksana efek samping obat

Langkah langkah tindak lanjut adalah sebagai berikut, sesuai kondisi:

1. Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena OAT,

pemberian semua OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan. Pengobatan yang

diberikan Streptomisin dan Etambutol sambil menunggu fungsi hati membaik. Bila

fungsi hati normal atau mendekati normal, berikan Rifampisin dengan dosis bertahap,

selanjutnya Isoniasid secara bertahap.

2. TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan pasien, dapat

diberikan paduan pengobatan non hepatatotoksik terdiri dari S, E dan salah satu OAT

dari golongan fluorokuinolon.

3. Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi hati kembali

normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum memulai pengobatan

kembali.

4. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu

sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan lemas serta pemeriksaan palpasi hati

sudah tidak teraba sebelum memulai kembali pengobatan.


5. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati berat, paduan

pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan salah satu golongan kuinolon dapat

diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan.

6. Setelah gangguan fungsi hati teratasi, paduan pengobatan OAT semula dapat dimulai

kembali satu persatu. Jika kemudian keluhan dan gejala gangguan fungsi hati kembali

muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati kembali tidak normal, OAT yang

ditambahkan terakhir harus dihentikan. Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan

dengan Rifampisin. Setelah 3-7 hari, Isoniazid dapat ditambahkan. Pada pasien yang

pernah mengalami ikterus akan tetapi dapat menerima kembali pengobatan dengan H

dan R, sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan Pirazinamid.

7. Paduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan fungsi hati.

Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian: 2HES/10HE.

Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan : 6-9 RZE.

Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tahap awal, total

lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9 bulan.

Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, paduan pengobatan OAT non hepatotoksik

terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan kuinolon harus dilanjutkan sampai 18-24

bulan.

8. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap awal

dengan H,R,Z,E (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi,

berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan dengan S untuk

menyelesaikan 2 bulan tahap awal diikuti dengan pemberian H dan R selama 6 bulan

tahap lanjutan.

9. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap lanjutan

(paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, mulailah kembali
pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan.
39

BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

41

anak

pajanan,

risiko

penyakit

dengan

foto

yang

yang

memberikan

kasus

8,2%

dari

sangat

0-4

yang

seharusnya

14

TB

sering

TB

TB
dalam

sering

atau

42

sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas,

karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

2. Gejala TB pada anak

Gejala sistemik/umum adalah sebagai berikut:

a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat

atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.

b. Demam lama (=2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam

tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi.

Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak

disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.

c. Batuk lama =3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas

semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.

d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to

thrive).

e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku

diare.

Gejala klinis spesifik terkait organ

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang terkena,

misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit, adalah sebagai

berikut:
a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):

Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter =1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri,

dan kadang saling melekat atau konfluens.

b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:

• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat

keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.

• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.

c. Tuberkulosis sistem skeletal:

• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).

• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di

daerah panggul.

• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.

• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

d. Skrofuloderma:

Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).

e. Tuberkulosis mata:

• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).

• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila

ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan

disertai kecurigaan adanya infeksi TB.


40

BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

43

C. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang

cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain

adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis

pada pemeriksaan dahak, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi

jaringan.

Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari

beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk

menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB,

dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi tidak

direkomendasikan untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal

BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan

penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik

sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan contoh uji. Contoh uji dapat diambil

berupa dahak, induksi dahak atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut,

apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah

pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang

khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan

di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.

1. Perkembangan terkini Diagnosis TB

Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan
ketepatan diagnosis TB Anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat

yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay dan NAAT=Nucleic

Acid Amplification Test, misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini tersedia di beberapa

laboratorium di seluruh provinsi di Indonesia.

WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi

pada tahun 2011 untuk menggunakan GenXpert MTB/RIF. Rekomendasi WHO tahun

2014 menyatakan pemeriksaan GenXpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis

TB MDR dan HIV suspek TB pada anak. Hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu

menunjukkan anak tidak sakit TB.

Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB pada anak penegakan

diagnosis TB pada anak dapat dilakukan dengan memadukan gejala klinis dan

pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB

menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber

penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB

dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi

hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak

langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau

anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita

TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk

melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara

klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun

apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka

anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis.

Gejala klinis dan radiologis TB pada anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya
41

BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

43

yang

lain

tuberculosis

biopsi

dari

untuk

TB,

tidak

Jenderal

larangan

mikrobiologik

diambil

turut,

adalah

yang

perkijuan

TB.

meningkatkan

cepat

Nucleic

beberapa
rekomendasi

tahun

mendiagnosis

selalu

penegakan

dan

TB

sumber

TB

reaksi

tidak

atau

menderita

untuk

secara

Namun

maka

radiologis.

gambarannya

44

dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian

dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.

Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak

adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test.

Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU. Namun uji
tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan.

Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun

gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.

Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk

mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier.

2. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring

Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat

dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat

menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem

skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli

yang berasal dari IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah

satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB pada anak terutama di fasilitas

kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat

dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga

diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:

• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai

tertinggi yaitu 3.

• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB

pada anak dengan menggunakan sistem skoring.


43

BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

45

46

Gambar 2: Algoritma Tatalaksana TB Anak

Anak 0 – 14 th

Suspek TB Anak

Sistem Skoring

Skor = 6

Didapat dari

parameter uji

tuberkulin (+)

atau kontak

dengan gejala

klinis lain

Didapat dari

parameter uji

tuberkulin (+)

dan kontak;

tanpa gejala

klinis lain

Skor> 6

TB ANAK

Perbaikan Tidak ada


perbaikan

Lanjutkan

terapi

Evaluasi, rujuk

bila perlu

Terdapat 1 atau lebih gejala TB anak (*)

Skor< 6

Infeksi laten TB

Bukan

TB

Pertimbangan

dokter (**)

Umur = 5 Umur< 5 th

th

PP INH

HIV pos HIV neg

PP INH Observasi

Evaluasi 2 bulan terapi

Keterangan :

(*) Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring

(**) Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila

ditemukan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis

lainnya pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin


46

BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

49

Tabel 16: OAT Anak yang biasa dipakai dan dosisnya

Nama Obat

Dosis harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis

maksimal

(mg /hari)

Efek samping

Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,

hipersensitivitis

Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gastrointestinal, reaksi kulit,

hepatitis, trombositopenia,

peningkatan enzim hati, cairan

tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia,

gastrointestinal

Etambutol (E) 20 (15–25) - Neuritis optik, ketajaman mata

berkurang, buta warna merah

hijau, hipersensitivitas,

gastrointestinal

Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik


j. Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan

tabel berikut ini:

Tabel 17: OAT Kategori Anak dan Peruntukannya

Jenis TB OAT Tahap

Awal

OAT Tahap

Lanjutan Prednison Lama

Pengobatan

TB Ringan

2HRZ 4HR

Efusi Pleura TB 6 bulan

2 mgg dosis penuh,

kemudian tappering

off.

TB BTA positif 2HRZE 4HR -

TB paru dengan tandatanda

kerusakan luas:

. TB milier

. TB+destroyed

lung

2HRZ+E atau

7-10HR

4 mgg dosis penuh,


kemudian tappering

off.

9-12 bulan

Meningitis TB

10HR

4 mgg dosis penuh,

kemudian tappering

off.

12 bulan

Peritonitis TB

2 mgg dosis penuh,

kemudian tappering

off.

Perikardistis TB

2 mgg dosis penuh,

kemudian tappering

off.

Skeletal TB -
47

BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

50

2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose

Combination)

Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,

paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu

pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif,

yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase

lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 18: Dosis kombinasi OAT TB pada anak

Berat badan

(kg)

2 bulan

RHZ (75/50/150)

4 bulan

(RH (75/50)

5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

Keterangan: BB >30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa.


Keterangan: R = Rifampisin; H = Isoniasid; Z = Pirazinamid

• Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi

dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan

• Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan

berat badan saat itu

• Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur).

Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran

• OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)

• Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau

dimasukkan air dalam sendok (dispersable).

• Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan

• Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh

digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

3. Pengobatan ulang TB pada anak

Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan

gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi

dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan

sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil

pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus

Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan

untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

50

2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose

Combination)

Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,


paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu

pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif,

yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase

lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 18: Dosis kombinasi OAT TB pada anak

Berat badan

(kg)

2 bulan

RHZ (75/50/150)

4 bulan

(RH (75/50)

5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

Keterangan: BB >30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa.

Keterangan: R = Rifampisin; H = Isoniasid; Z = Pirazinamid

• Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi

dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan

• Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan

berat badan saat itu

• Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur).

Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran


• OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)

• Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau

dimasukkan air dalam sendok (dispersable).

• Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan

• Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh

digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

3. Pengobatan ulang TB pada anak

Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan

gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi

dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan

sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil

pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus

Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan

untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

50

2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose

Combination)

Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,

paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu

pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif,

yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase

lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 18: Dosis kombinasi OAT TB pada anak

Berat badan
(kg)

2 bulan

RHZ (75/50/150)

4 bulan

(RH (75/50)

5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

Keterangan: BB >30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa.

Keterangan: R = Rifampisin; H = Isoniasid; Z = Pirazinamid

• Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi

dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan

• Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan

berat badan saat itu

• Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur).

Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran

• OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)

• Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau

dimasukkan air dalam sendok (dispersable).

• Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan

• Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh

digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

3. Pengobatan ulang TB pada anak


Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan

gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi

dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan

sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil

pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus

Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan

untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.


50

BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

Pada tahunnya. merupakan Indonesia bertahap penatalaksanaan Berdasarkan 13/Pengendalian A. B. 52

Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA dahak

positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB.

Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB

milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.

Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 19: Cara Pemberian Isoniazid untuk Pencegahan TB pada Anak

Umur HIV Hasil pemeriksaan Tata laksana

Balita (+)/(-) Infeksi laten TB INH profilaksis

Balita (+)/(-) Sehat, Kontak (+), Uji tuberkulin (-) INH profilaksis

> 5 th (+) Infeksi laten TB INH profilaksis

> 5 th (+) Sehat INH profilaksis

> 5 th (-) Infeksi laten TB Observasi

> 5 th (-) Sehat Observasi

Keterangan

• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)

setiap hari selama 6 bulan.

• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya

gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka

harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus

segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal

• Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka
pemberian INH dapat dihentikan.

• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah

PP- INH selesai diberikan.


53

BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

54

tatalaksana

jejaring

strategi

TB

mutu

mampu

yang

secara

terhadap

evaluasi

mutu

kualitasnya

untuk

memadai

dan

indikator

dari

Nasional,

TB

jawab

TB
56

BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

Keterangan dan Tindak lanjut setelah penegakan diagnosis:

a. Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen dahak, 1 (satu)

spesimen dahak untuk pemeriksaan GeneXpert (sewaktu pertama atau pagi) dan 2

spesimen dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) untuk pemeriksaan sediaan apus sputum

BTA, pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.

b. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb negatif, lakukan investigasi terhadap kemungkinan

lain. Bila pasien sedang dalam pengobatan TB, lanjutkan pengobatan TB sampai selesai.

Pada pasien dengan hasil Mtb negatif, tetapi secara klinis terdapat kecurigaan kuat

terhadap TB MDR (misalnya pasien gagal pengobatan kategori-2), ulangi pemeriksaan

GeneXpert 1 (satu) kali dengan menggunakan spesi mendahak yang memenuhi kualitas

pemeriksaan. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang

menjadi acuan tindakan selanjutnya.

c. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Sensitif Rifampisin, mulai atau lanjutkan tatalaksana

pengobatan TB kategori-1 atau kategori-2, sesuai dengan riwayat pengobatan sebelumnya.

d. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Resistan Rifampisin, mulai pengobatan standar TB

MDR. Pasien akan dicatat sebagai pasien TB RR. Lanjutkan dengan pemeriksaan biakan

dan identifikasi kuman Mtb.

e. Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif Mycobacterium tuberculosis (Mtb

tumbuh), lanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan lini pertama dan lini kedua sekaligus.

Jika laboratorium rujukan mempunyai fasilitas pemeriksaan uji kepekaan lini-1 dan lini-2,

maka lakukan uji kepekaan lini-1 dan lini-2 sekaligus (bersamaan). Jika laboratorium

rujukan hanya mempunyai kemampuan untuk melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka uji
kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan untuk mengkonfirmasi

hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi untuk mengetahui pola resistensi kuman TB lainnya.

f. Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan hasil pemeriksaan uji

kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan GeneXpert menjadi dasar penegakan

diagnosis.

g. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan TB MDR (hasil uji kepekaan menunjukkan

adanya tambahan resistan terhadap INH), catat sebagai pasien TB MDR, dan lanjutkan

pengobatan TB MDR-nya.

h. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR (hasil uji kepekaan

menunjukkan adanya resistan terhadap ofloksasin dan Kanamisin/Amikasin), sesuaikan

paduan pengobatan pasien (ganti paduan pengobatan TB MDR standar menjadi paduan

pengobatan TB XDR), dan catat sebagai pasien TB XDR.

Catatan:

Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah (diluar 9 kriteria terduga TB

Resistanobat), jika pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil Rifampisin Resistan, ulangi

pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali lagi dengan spesi mendahak yang baru. Jika terdapat

perbedaan hasil pemeriksaan, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan acuan

untuk tindak lanjut berikutnya.


58

BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO) 60

2. Paduan OAT MDR di Indonesia

Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment), yang

pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien TB RR/TB MDR.

a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:

Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:

1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah

sebagai berikut:

Cm – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar

adalah sebagai berikut:

Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR)

maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR

secara laboratoris.

c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap

lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama

paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan

adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan.

d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan.
Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.

Informasi lengkap mengenai pengobatan pasien TB MDR dibahas pada di Juknis

MTPTRO (Permenkes 13/2013).

3. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDR

Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons

pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak,

demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama

pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan.

Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak

pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.

Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara klinis dan

pemantauan laboratorium seperti pada tabel berikut.

F. 59

• Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida)

• Asam Urat

• Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan)

c. Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH)

d. Tes kehamilan untuk perempuan usia subur

e. Foto toraks.

f. Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)

g. Pemeriksaan EKG

h. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)


63

BAB VI

KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

HIV

dengan

TB.

Global

infection,

Permenkes

penanggulangan

tersebut

fasilitas

atau

tuberkulosis

koinfeksi

penyakit

semua

kematian

Kebijakan:

1. Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana pengendalian

TB dan HIV yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara

fasilitas pelayanan kesehatan.

2. Kelompok kerja atau forum komunikasi dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi dan

Kabupaten/Kota untuk mengkoordinasikan kegiatan kolaborasi TB-HIV dengan

melibatkan lintas sektoral.


3. Diperlukan keterlibatan lebih banyak komunitas dan LSM dalam program TB dan

HIV/AIDS guna meningkatkan jangkauan dan cakupan penemuan kasus TB-HIV secara

signifikan.

4. Perencanaan bersama antara program TB dan HIV dibutuhkan untuk melaksanaan

kolaborasi TB-HIV yang optimal dalam menetapkan peran dan tanggung jawab masingmasing

program meliputi pelaksanaan, perluasan layanan, serta monitoring dan

evaluasi aktivitas kolaborasi TB-HIV di setiap tingkatan

5. Surveilans TB-HIV di Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan data rutin yang

dikumpulkan dari layanan yang sudah melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV baik

dari layanan TB dan HIV dengan menggunakan SITT untuk program TB dan SIHA

untuk program HIV. Survei periodik dan survei sentinel dapat dilakukan bila diperlukan.

6. Semua pasien TB ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan diagnosis HIV tanpa

melihat faktor resiko.

7. Semua pasien koinfeksi TB-HIV sesegera mungkin dilakukan inisiasi ART tanpa menilai

jumlah CD4, setelah pengobatan TB dapat ditoleransi.

8. Semua pasien koinfeksi TB-HIV diberikan pengobatan pencegahan dengan

kotrimoksasol (PPK) tanpa menilai jumlah CD4.

B. Menurunkan beban TB pada ODHA dan inisiasi ART secara dini

B.1. Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi

kunci HIV dan memastikan pengobatan TB yang berkualitas

B.2. Inisiasi Pengobatan Pencegahan dengan INH dan inisiasi dini ART

B.3.Penguatan PPI TB di faskes yang memberikan layanan HIV, termasuk

Tempat Orang Berkumpul (Lapas/Rutan, Panti Rehabilitasi untuk

Pengguna NAPZA)

C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB


C.1 Menyediakan tes dan konseling HIV pada pasien TB

C.2 Meningkatkan Pencegahan HIV untuk pasien TB

C.3 Menyediakan Pemberian PPK pada Pasien TB-HIV

C.4 Memastikan perawatan, dukungan dan pengobatan serta pencegahan

HIV pada pasien ko-infeksi TB-HIV

C.5 Menyediakan ART bagi pasien ko-infeksi TB-HIV


65

BAB VI

KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

tes

kaji

ini

yang

dan

sistem

pelayanan

sama

sistem

antar

tingkat

koordinasi

lebih

menjamin

beberapa

satu

HIV

satu

model

kesempatan

ditemukan

gejala
ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena misalnya TB pleura, TB perikard, TB milier,

TB susunan saraf pusat dan TB abdomen.

Diagnosis TB pada ODHA

Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu berbeda dengan orang dengan HIV

negatif. Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada pemeriksaan

mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh hasil dahak BTA

negatif. Di samping itu, pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di mana diagnosisnya

sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan

atau histologi yang didapat dari tempat lesi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada

alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:

• Pemeriksaan mikroskopis langsung

Pemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan melalui pemeriksaan dahak Sewaktu Pagi

Sewaktu (SPS). Apabila minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya

positif maka ditetapkan sebagai pasien TB.

• Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif

Pemeriksaan mikroskopis dahak pada ODHA sering memberikan hasil negatif, sehingga

penegakkan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif perlu

dilakukan. Pemeriksaan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif juga dapat mengetahui adanya

resistensi terhadap rifampisin, sehingga penatalaksanaan TB pada ODHA tersebut bisa

lebih tepat. Jika fasilitas memungkinkan, pemeriksaan tes cepat dilakukan dalam waktu

yang bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan mikroskopis.

• Pemeriksaan biakan dahak

Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat

dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu

untuk konfirmasi diagnosis TB.


• Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi

Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur

diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB

terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu,

pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi.

Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh

infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotik

tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi

bakteri lain. Jangan menggunakan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan

respons terhadap M.tuberculosis dan dapat memicu terjadinya resistensi terhadap obat

tersebut.

• Pemeriksaan foto toraks

Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam membantu diagnosis TB

pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks

pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut.


72

BAB VII

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

74

BAB VII

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB (Mycobacterium tuberculosis)

tersebar melalui diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB laring batuk,

berbicara, menyanyi maupun bersin. Percik renik tersebut berukuran antara 1-5 mikron

sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara untuk waktu yang

cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya ditularkan

melalui udara, bukan melalui kontak permukaan.

Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman

TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli.

Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian pelayanan

pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan

Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk

mencegah tersebarnya kuman TB ini.

A. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan adalah

yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut belum

sempat dengan segera diperlakukan sesuai kaidah PPI TB yang tepat.

Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan

berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang

dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi
dengan 4 pilar yaitu :

1. Pengendalian Manajerial

2. Pengendalian administratif

3. Pengendalian lingkungan

4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri

PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada

rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat

pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus dilakukan

ada saat WBP baru, dan kontak sekamar.

1. Pengendalian Manajerial.

Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas

Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.

Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari

upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:

a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB

b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan

surveilans

c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif

BAB VII

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS


74

BAB VII

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

76

Langkah- Langkah Strategi TEMPO sebagai berikut:

a. Temukan pasien secepatnya.

Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk

mengidentifikasi terduga TB segera mencatat di TB 06 dan mengisi TB 05 dan dirujuk

ke laboratorium.

b. Pisahkan secara aman.

Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus

dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta diberikan masker.

Untuk alasan kesehatan masyarakat, pasien yang batuk harus didahulukan dalam

antrian (prioritas).

c. Obati secara tepat.

Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB

kepada orang lain. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera diobati

sesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi tidak infeksius

3. Pengendalian Lingkungan.

Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan

teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik

di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah

tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai

germisida.

Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu:


a. Ventilasi Alamiah

b. Ventilasi Mekanik

c. Ventilasi campuran

Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat.

Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu

struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara

luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.

4. Pengendalian Dengan Alat Pelindung Diri.

Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan

sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat

dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan.

Petugas kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah.

Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat (respirator) pada saat

melakukan prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum,

aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu

digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien atau saat

menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.


75

BAB VII

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

77

Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama

pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan

respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan

sekitarnya dari droplet.

Gambar 6: Jenis respirator untuk petugas kesehatan

Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular

respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi

seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini

terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah

tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat.

Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan

dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3 hari).

Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.
76

BAB VIII

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

78

BAB VIII

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN

TUBERKULOSIS

Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap

layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara

aktif seluruh penyedia layanan kesehatan oleh karena itu perlu pelibatan semua fasilitas

layanan kesehatan.

Public Private Mix (bauran layanan pemerintah-swasta), adalah pelibatan semua fasilitas

layanan kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien TB dan kesinambungan program

pengendalian TB dengan pendekatan secara komperhensif.

PPM (Public Private Mix) meliputi:

• Hubungan kerjasama pemerintah-swasta, seperti: kerjasama program pengendalian TB

dengan faskes milik swasta, kerjasama dengan sektor industri/perusahaan/tempat kerja,

kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

• Hubungan kerjasama pemerintah-pemerintah, seperti: kerjasama program pengendalian TB

dengan institusi pemerintah Lintas Program/Lintas Sektor, kerjasama dengan faskes milik

pemerintah termasuk faskes yang ada di BUMN, TNI, POLRI dan lapas/rutan.

• Hubungan kerjasama swasta-swasta, seperti: kerjasama antara organisasi profesi dengan

LSM, kerjasama RS swasta dengan DPM, kerjasama DPM dengan laboratorium swasta dan

apotik swasta.

Sehubungan dengan berlakunya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) yang dimulai
Januari tahun 2014, maka pemberian layanan TB tanpa penyulit dilakukan di FKTP,

sedangkan untuk TB dengan penyulit atau yang memerlukan pemeriksaan diagnosis lanjutan

dilakukan di FKRTL.

A. Tujuan

Tujuan PPM adalah menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata, bermutu dan

berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB untuk menjamin kesembuhan.

B. Prinsip dan Strategi PPM.

1. Prinsip PPM

Dalam melaksanakan kegiatan PPM harus menerapkan prinsip sebagai berikut:

a. Kegiatan dilaksanakan dengan prinsip kemitraan dan saling menguntungkan.

b. Kegiatan PPM diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kebaikan pasien dengan

menerapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK).

c. Kegiatan PPM diselenggarakan melalui sistim jejaring yang dikoordinir oleh program

pengendalian TB di setiap tingkat.

BAB VIII

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
77

BAB VIII

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

79

2. Strategi PPM

Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal

terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis

melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan, sehingga diharapkan

peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan penekanan

pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar Public Private Mix

(PPM), yaitu :

a. Pilar 1 : Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas,

b. Pilar 2 : Pelayanan DOTS di RS publik/swasta,

c. Pilar 3 : Pelayanan DOTS oleh DP mandiri dan spesialis,

d. Pilar 4 : Diagnosis TB yang berkualitas,

e. Pilar 5 : OAT dan penggunaan secara rasional,

f. Pilar 6 : Penguatan sistim komunitas.

C. Penerapan PPM

Penerapan PPM dilaksanakan di setiap tingkat, yaitu:

1. Tingkat Nasional

2. Tingkat Provinsi

3. Tingkat Kabupaten/Kota

1. Tingkat Nasional

Di tingkat nasional, strategi PPM diarahkan untuk mengembangkan kebijakan, peraturan,

pedoman, standar, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menjadi pegangan
bagi penerapan PPM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksana PPM di tingkat

nasional terdiri dari jajaran Kementerian Kesehatan RI dan kementerian terkait lainnya,

pemangku kepentingan di tingkat nasional: forum stop TB partnership Indonesia (FSTPI),

organisasi profesi, asosiasi penyelenggara kesehatan, LSM serta mitra internasional.

2. Tingkat Provinsi

Di tingkat provinsi dibentuk tim PPM yang terdiri dari dinas kesehatan, perhimpunan

profesi, serta pemangku kepentingan lain, yaitu: LSM, organisasi keagamaan, tempat

kerja, lapas/rutan. Pembentukan Tim PPM tingkat provinsi dimaksudkan agar dapat

melakukan pembinaan aspek program/kesehatan masyarakat maupun aspek profesi di

tingkat kabupaten/kota.

3. Tingkat kabupaten/kota

Penerapan strategi PPM kabupaten/kota melalui peningkatan jejaring kemitraan antar

pemangku kepantingan dan jejaring rujukan antar fasyankes.Tahapan pelaksanaan

dimulai dengan pembentukan tim, menyusun rencana kerja berdasarkan hasil pemetaan

dan evaluasi kebutuhan. Tim PPM Kab/kota mendukung dinas kesehatan kabupaten/kota

untuk berfungsinya jejaring kemitraan dan jejaring rujukan.

Uraian berikut menjelaskan rincian dari strategi PPM.

a. Pilar 1: Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas .

Subdit Tuberkulosis, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular langsung, Direktorat

Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menetapkan NSPK

berkaitan dengan Pilar ini antara lain:


78

BAB VIII

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

80

1) Penguatan sistem surveilans dan Management Information for Action (MIFA),

misalnya Pengembangan Sistim Informasi TB Terpadu (SITT) berbasis web yang

bekerjasama dengan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin).

2) Peningkatan Kualitas layanan DOTS paripurna.

3) Pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach to Lung Health/PAL) yaitu

pendekatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer terhadap pasien yang

mengalami gangguan saluran pernafasan dengan keluhan utama batuk kronis dan

sesak.

4) Meningkatkan cakupan TBHIV yaitu melalui:

• Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV

• Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV

5) Penyusunan Regulasi dari Kementerian Pertahanan dalam upaya pengendalian TB

di wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) melalui faskes

TNI dan pengembangan jejaring melalui Mobilisasi Sosial TNI.

6) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS dasar dengan pilar-pilar yang

lain, contohnya:

• Memperluas Pelayanan untuk pasien TB Resistan Obat.

• Pelibatan Rutan/Lapas dalam pelayanan untuk warga binaan pemasyarakatan

(WBP) yang terdampak dan rentan terhadap TB.

• Pelibatan tempat kerja, swasta dan dunia usaha untuk membangun kepedulian

perusahan terhadap pengendalian TB melalui CSR (Corporate Social


Responsibility).

• Integrasi layanan TB di FKTP kedalam skema JKN yang dikelola oleh Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

• Bekerjasama dengan organisasi profesi dalam hal peningkatan rujukan kasus

TB ke faskes DOTS dasar.

7) Peningkatan pelacakan kasus dan upaya promotif preventif.

b. Pilar 2: Pelayanan DOTS di RS publik/swasta

Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan akan menetapkan NSPK sesuai

pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

1) Integrasi penerapan layanan TB dengan Strategi DOTS ke dalam Akreditasi

Rumah Sakit 2012.

2) Penerapan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana TB.

3) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS di RS dengan pilar yang lain,

contohnya:

• Memperkuat jejaring rujukan dengan pelayanan DOTS dasar.

• Memperluas layanan rujukan TB resistan obat di RS-RS yang ditunjuk.

• Mendorong terbentuknya Center of Excellent (COE) untuk layanan TB.

• Meningkatkan kualitas layanan TB-HIV yaitu melalui:

. Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,

. Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,

. Pengobatan pencegahan dengan INH (PP-INH).

c. Pilar 3: Pelayanan DOTS oleh Dokter Praktek Mandiri dan Spesialis

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkoordinir penerapan pilar ke 3 melalui pendekatanpendekatan

sebagai berikut:
79

BAB VIII

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

81

1) Penerapan International Standards for TB Care (ISTC) yang telah diwujudkan

dalam bentuk PNPK yang merupakan standar pelayanan TB bagi dokter di seluruh

Indonesia.

2) Sertifikasi DPM untuk mengobati pasien TB melalui terbitnya Surat Keputusan PB

IDI No.680.1/PB/A/09/2013 tentang penatalaksanaan pasien tuberkulosis. Dokter

yang tersertifikasi TB memiliki kewenangan mengobati pasien TB, sedangkan

dokter yang belum tersertifikasi hanya diperkenankan menjaring terduga TB dan

merujuk kepada fasilitas layanan TB dengan strategi DOTS. Dokter yang

mengobati pasien TB akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk SKP dari PB

IDI.

3) Penetapan Panduan Praktik Klinis Dokter di Layanan Primer melalui Surat

Keputusan PB IDI no.561/PB/A.4/08/2013 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia no.5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis

bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.

Selain IDI, pilar 3 ini juga meliputi pendekatan lain yang dikoordinir oleh Kemenkes

berupa kerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional menerbitkan Pedoman

Nasional Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran dan telah

disosialisasikan kepada 70 Fakultas Kedokteran di Indonesia.

d. Pilar 4: Diagnosis TB yang berkualitas.

Pilar ini dikoordinir oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik (BPPM) dan

Sarana Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Upaya Rujukan, melalui pendekatan:


1) Penguatan Jejaring dan Quality Assurance (QA) laboratory dengan

mengembangkan sistim Pemantauan Mutu Eksternal pemeriksaan diagnostik TB

(Mikroskopis, kultur, DST dan molekuler).

2) Menjamin kualitas laboratorium di fasyankes melalui pengembangan Jejaring Lab

TB dengan mengatur dan mendorong adanya Laboratorium Rujukan TB Provinsi

dan Laboratorium rujukan intermediate.

3) Menentukan laboratorium yang bersertifikat untuk pemeriksaan biakan dan uji

kepekaan OAT lini 1 dan 2.

4) Pemanfaatan teknologi tes diagnostik TB dengan tes cepat (GeneXpert dan LPA).

5) Meningkatkan keterlibatan lab swasta dalam jejaring DOTS serta meningkatkan

mutunya.

e. Pilar 5: Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara Rasional.

Pilar ini dilaksanakan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Dirjen

Bina Kefarmasian Alat Kesehatan dengan melibatkan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Pendekatan pilar ini lebih pada penetapan regulasi dan penegakan hukum, yaitu:

1) Mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan kebijakan “One Gate Policy”.

2) Pelaksanaan post market surveillance untuk OAT lini-1.

3) Penyusunan SOP pengelolaan logistik TB OAT dalamnya termasuk SOP uji

kualitas OAT.

4) Memfaslitasi proses prakualifikasi WHO untuk OAT.

5) Mendorong regulasi penggunaan OAT secara rasional.

f. Pilar 6: Penguatan Sistem Komunitas.

Pilar ini melibatkan secara aktif lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),

Organisasi Masyarakat dan organisasi terdampak TB, melalui pendekatan:


82

BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas

(gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar

6 minggu) dan memerlukan fasilitas sumber daya laboratorium yang memenuhi standar .

Pemeriksaan 3 contoh uji (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan

pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan

pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan hanya dapat

dilaksanakan di semua unit laboratorium. Untuk mendukung kinerja penanggulangan TB,

diperlukan manajemen yang baik agar terjamin mutu laboratorium tersebut.

Manajemen laboratorium TB meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium

TB, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium TB,

keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi.

A. Organisasi Pelayanan Laboratorium TB.

Laboratorium TB tersebar luas dan berada di setiap wilayah, mulai dari tingkat Kecamatan,

Kab/Kota, Provinsi, dan Nasional, yang berfungsi sebagai laboratorium pelayanan

kesehatan dasar, rujukan maupun laboratorium pendidikan/penelitian. Setiap laboratorium

yang memberikan pelayanan pemeriksaan TB mulai dari yang paling sederhana, yaitu

pemeriksaan apusan secara mikroskopis sampai dengan pemeriksaan paling mutakhir

seperti PCR, harus mengikuti acuan/standar.

Untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan yang sesuai standar, maka diperlukan jejaring

laboratorium TB. Masing-masing laboratorium di dalam jejaring TB memiliki fungsi, peran,


tugas dan tanggung jawab yang saling berkaitan.

Masing-masing tingkat laboratorium memiliki fungsi sesuai dengan pelayanan laboratorium

mikroskopis, biakan, uji kepekaan dan molekuler.

1. Jejaring Pelayanan Laboratorium Mikroskopis TB.

a. Laboratorium mikroskopis TB di faskes

Dalam layanan pemeriksaan mikroskopis, fasilitas kesehatan dibagi berdasarkan

kemampuannya melakukan pemeriksaan mikroskopis TB menjadi:

• Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis TB (FKTP-RM), adalah

FKPT dengan laboratorium yang mampu membuat sediaan contoh uji , pewarnaan

dan pemeriksaan mikroskopis dahak, menerima rujukan dan melakukan pembinaan

teknis kepada laboratorium FKTP Satelit (FKPT-PS). FKTP-RM harus mengikuti

pemantapan mutu eksternal melalui uji silang berkala oleh laboratorium RUS-1 di

wilayahnya atau lintas kabupaten/kota.

• Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit (FKTP-S), adalah FKTP dengan

laboratorium yang melayani pengumpulan dahak, pembuatan contoh uji, fiksasi dan

kemudian merujuk ke FKTP-RM.

Dalam jejaring laboratorium mikroskopis TB semua fasiltas laboratorium kesehatan

termasuk laboratorium Rumah Sakit dan laboratorium swasta yang melakukan

pemeriksaan laboratorium mikroskopis TB dapat mengambil peran sebagai FKTP-RM

dan FKTP-S sesuai dengan kemampuan pemeriksaan yang dilaksanakannya.

BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS


83

BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

b. Laboratorium Rujukan Uji Silang Pertama /Lab Intermediate/ RUS 1

Laboratorium RUS 1 ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan dan berada di tingkat Kabupaten/Kota

dengan wilayah kerja yang ditetapkan oleh Dinas Kabupaten/Kota terkait atau lintas

kabupaten/kota atas kesepakatan antara Dinas Kabupaten /Kota. Pada Lab RUS 1

dengan wilayah kerja lebih dari 1 kabupaten/kota, penetapan laboratorium oleh Kepala

Dinas Kesehatan Provinsi.

Laboratorium RUS 1 memiliki tugas dan fungsi:

1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan mikroskopis BTA.

2) Melaksanakan uji silang sediaan dahak dari laboratorium fasyankes di wilayah

kerjanya.

3) Melakukan pembinaan teknis laboratorium mikroskopis di wilayah kerjanya.

4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah

kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan).

5) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan

jejaring laboratorium TB di wilayahnya.

c. Laboratorium Rujukan Uji Silang Kedua/ RUS 2

Laboratorium RUS 2 terdapat di provinsi yang memiliki laboratorium RUS 1. Apabila

provinsi yang tidak memiliki laboratorium RUS 1, maka laboratorium rujukan provinsi

berperan sebagai lab RUS.

Laboratorium RUS 2 ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi setelah memenuhi

kriteria yang telah ditentukan dengan peran dan fungsi:


1) Melakukan uji silang ke-2 jika terdapat perbedaan hasil pemeriksaan (diskordance)

mikroskopis laboratorium fasyankes dan laboratorium RUS 1

2) Melakukan pembinaan teknis laboratorium RUS 1 di wilayahnya

3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi untuk pengelolaan jejaring

laboratorium TB di wilayahnya

4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah

kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan).

5) Mengikuti PME tingkat nasional (uji silang sediaan dahak dengan metode LQAS,

supervisi, tes panel) dari Laboratorium Rujukan Nasional.

d. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011

tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BLK Provinsi

Jawa Barat sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan

Mikroskopis TB yang pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq

Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas

pokok sebagai berikut:

1) Peran:

a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan mikroskopis TB

b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan

mikroskopis TB

2) TanggungJawab:

Memastikan semua kegiatan laboratorium mikroskopis dalam jejaring laboratorium

mikroskopisTB berjalan sesuai peran dan tugas pokoknya.


85

BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

c. Laboratorium biakan

Laboratorium biakan adalah laboratorium yang melaksanakan pemeriksaan biakan M.

tuberculosis sesuai standar dan memenuhi indikator kinerja laboratorium biakan TB.

Pencatatan pelaporan wajib dilaksanakan oleh laboratorium biakan TB dan indikator

kinerja laboratorium ini dilaporkan kepada Laboratorium Rujukan Regional dan LRN.

Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:

1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan identifikasi parsial NTM

2) Mengirimkan isolat biakan ke Laboratorium Rujukan Regional

3) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN

4) Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi terkait dengan tugasnya sebagai

Laboratorium rujukan biakan provinsi

d. Laboratorium biakan dan uji kepekaan

Melakukan pemeriksaan pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji kepekaan OAT

sesuai standard dan tersertifikasi melalui mekanisme pemantapan mutu oleh LRN.

Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:

1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan/

atau 2

2) Melakukan pembinaan dan menerima rujukan dari laboratorium yang melakukan

pemeriksaan biakan TB di wilayah kerjanya. Fungsi ini merupakan fungsi sebagai

laboratorium rujukan regional. Laboratorium dengan fungsi regional adalah

laboratorium rujukan provinsi yang ditetapkan oleh LRN berkoordinasi dengan

Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan


3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan

jejaring laboratorium TB di wilayah kerjanya.

4) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN.

e. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011

tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BBLK Surabaya

sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan Mikroskopis TB yang

pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina

Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut:

1) Peran

a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB.

b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan

isolasi, identifikasi, dan uji kepekaan TB.

2) Tugas Pokok

a) Pemetaan distribusi, jumlah dan kinerja laboratorium biakan dan uji kepekaan

TB

b) Memfungsikan jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan TB

c) Menentukan spesifikasi alat dan bahan habis pakai untuk laboratorium biakan

dan uji kepekaan TB

d) Mengembangkan pedoman teknis, prosedur tetap, pemantapan mutu eksternal

(PME) dan pedoman pelatihan biakan dan uji kepekaan TB

e) Menyelenggarakan PME dalam jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan

TB

f) Melaksanakan pelayanan rujukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB


87

BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok

sebagai berikut:

1) Peran

a) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk penelitian operasional TB,

b) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan molekuler, serologi

dan MOTT.

2) Tugas Pokok

a) Melaksanakan penelitian operasional TB

b) Melaksanakan pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT.

c) Melaksanakan evaluasi/validasi teknologi baru.

d) Melaksanakan pelatihan dan evaluasi pasca pelatihan teknologi baru

e) Melaksanakan PME untuk teknologi baru

f) Bekerjasama dalam jejaring laboratorium TB internasional.

3) Tanggungjawab

Memastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB nasional sebagai penelitian

operasional TB, pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT berjalan sesuai peran

dan tugas pokok.

B. Manajemen Laboratorium TB.

1. Manajemen Logistik Laboratorium TB.

Perencanaan, pengadaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan dan penggunaan

logistik laboratorium TB diatur melalui mekanisme logistik Program Pengendalian TB

2. Manajemen Pemantapan Mutu Laboratorium TB.


Pemantapan mutu laboratorium TB dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jejaring

laboratorium mikroskopis, biakan/uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler.

Komponen pemantapan mutu terdiri dari 3 hal utama yaitu:

a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)

b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)

c. Peningkatan Mutu (Quality Improvement)

a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)

PMI adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan laboratorium TB untuk

mencegah kesalahan pemeriksaan laboratorium dan mengawasi proses pemeriksaan

laboratorium agar hasil pemeriksaan tepat dan benar.

Tujuan PMI:

1) Memastikan bahwa semua proses sejak persiapan pasien, pengambilan,

penyimpanan, pengiriman, pengolahan contoh uji, pemeriksaan contoh uji,

pencatatan dan pelaporan hasil dilakukan dengan benar.

2) Mendeteksi kesalahan, mengetahui sumber/penyebab dan mengoreksi dengan

cepat dan tepat.

3) Membantu peningkatan pelayanan pasien.

Kegiatan PMI harus meliputi setiap tahap pemeriksaan laboratorium yaitu tahap praanalisis,

analisis, pasca-analisis, dan harus dilakukan terus menerus.


88

BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

Beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan PMI yaitu:

1) Tersedianya Prosedur Tetap (Protap) untuk seluruh proses kegiatan pemeriksaan

laboratorium, misalnya :

a) Protap pengambilan dahak

b) Protap pembuatan contoh uji dahak

c) Protap pewarnaan Ziehl Neelsen

d) Protap pemeriksaan Mikroskopis

e) Protap pembuatan media

f) Protap inokulasi

g) Protap identifikasi

h) Protap pengelolaan limbah, dan sebagainya.

2) Tersedianya Formulir /buku untuk pencatatan dan pelaporan kegiatan pemeriksaan

laboratorium TB

3) Tersedianya jadwal pemeliharaan/kalibrasi alat, audit internal, pelatihan petugas

4) Tersedianya contoh uji kontrol (positip dan negatip) dan kuman kontrol.

b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)

PME laboratorium TB dilakukan secara berjenjang, karena itu penting sekali

membentuk jejaring dan tim laboratorium TB di laboratorium rujukan. Pelaksanaan

PME dalam jejaring ini harus berlangsung teratur/berkala dan berkesinambungan.

Koordinasi PME harus dilakukan oleh laboratorium penyelenggara yaitu laboratorium

rujukan bersama dengan Dinas Kesehatan setempat agar dapat melakukan evaluasi

secara baik, berkala dan berkesinambungan.


1) Perencanaan PME

a) Melakukan koordinasi diantara komponen pelaksana Program TB berdasarkan

wilayah kerja jejaring laboratorium TB

b) Menentukan kriteria laboratorium penyelenggara

c) Menentukan jenis kegiatan PME

d) Penjadwalan pelaksanaan PME dengan mempertimbangkan beban kerja

laboratorium penyelenggara.

e) Menentukan kriteria petugas yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan PME

f) Penilaian dan umpan balik.

2) Kegiatan PME

Kegiatan PME laboratorium TB dilakukan melalui:

a) PME Mikroskopis

• Uji silang sediaan dahak mikroskopis

Dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan dengan melakukan

pemeriksaan ulang sediaan dahak dari unit laboratorium mikroskopis TB di

fasyankes. Pengambilan sediaan dahak untuk uji silang dilakukan dengan

metode Lot Quality Assurance Sampling (LQAS). Metoda ini diterapkan

diseluruh Indonesia namun dengan mempertimbangkan kondisi geografis

dan sumber daya laboratorium metoda LQAS dapat dimodifikasi sehingga

alur dan peran komponen PME dapat berubah.


90

BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

3. Manajemen Sistim Informasi Laboratorium TB

Untuk menjamin data kegiatan laboratorium dapat termonitor dengan baik, maka seluruh

kegiatan laboratorium TB akan terintegrasi dengan Sistem Informasi Terpadu

Tuberkulosis (SITT) untuk pelayanan pemeriksaan mikrokopis (Laporan TB.12) dan eTB

Manager untuk pelayanan pemeriksaan biakan, uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler.

C. Keamanan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium TB

Manajemen laboratorium harus menjamin adanya sistem dan perangkat keamanan dan

keselamatan kerja serta pelaksanaannya oleh setiap petugas di laboratorium dengan

pemantauan dan evaluasi secara berkala, yang diikuti dengan tindakan koreksi yang

memadai. Komponen yang berperan pada keselamatan dan keamanan laboratorium TB

yaitu: infrastruktur laboratorium, peralatan, bahan yang dipakai, proses dan keterampilan

kerja dan pengelolaan limbah laboratorium TB. Komponen-komponen tersebut harus

diselaraskan baik dari aspek pengelolaan (manajemen) dan teknis laboratorium agar

terjamin keselamatan dan keamanan petugas dan lingkungan. Keselamatan dan Keamanan

Laboratorium TB bertujuan untuk mencegah dan menangani infeksi dan kecelakaan kerja di

laboratorium TB.
91

BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

94

BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN

TUBERKULOSIS

Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) merupakan komponen yang

penting dalam program pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan,

baik di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

(Fasyankes).

Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik sehingga

ketersediaan dan kualitasnya terjamin.

A. Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.

1. Pengertian Logistik P2TB.

Logistik P2TB adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB mulai

dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan

bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB, mulai dari proses

penegakan diagnosis sampai dengan pasien menyelesaikan pengobatannya.

Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT yang digunakan

untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat.

Logistik Non OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang

digunakan untuk mendukung tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat.

2. Jenis-jenis Logistik P2TB.

Jenis-jenis logistik P2TB dibagi dalam 2 jenis, yaitu: Obat Anti TB (OAT) dan Non
OAT.

a. Jenis-jenis Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Jenis-jenis logistik OAT yang digunakan Program Pengendalian TB (P2TB di

Indonesia adalah seluruh jenis OAT ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan

R.I. berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli (KOMLI) dengan

memperhatikan beberapa paduan OAT yang direkomendasikan oleh WHO.

Jenis-jenis OAT yang digunakan P2TB adalah:

• Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E)

dan Streptomisin (S).

• Lini kedua: Kanamycin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx),

Moxifloxacin (Mfx), Ethionamide (Eto), Cycloserin (Cs) dan Para Amino

Salicylic (PAS).

1) Obat Anti TB (OAT) Non Resistan

Dalam pelayanan pengobatan pasien TB, Program Nasional Pengendalian

TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk paket

individual untuk setiap pasien. Paket OAT ini dikemas dalam dua jenis

BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
92

BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

95

kemasan, yaitu: kemasan Kombinasi Dosis Tetap (KDT)/Fix Dose

Combination (FDC) dan kemasan Kombipak.

Paket OAT KDT/FDC adalah paket OAT yang dalam setiap tablet OAT-nya

telah ada seluruh/beberapa jenis OAT yang digunakan untuk paduan

pengobatan TB. Dimana P2TB pada paket OAT KDT-nya menggunakan

4KDT/4FDC dan 2KDT/2FDC.

Paket Kombipak adalah paket OAT dimana tablet OAT-nya masih lepasan

dari setiap jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB.

Baik paket OAT KDT/FDC maupun paket OAT Kombipak, tablet OAT-nya

dikemas dalam bentuk blister.

Paduan paket OAT yang saat ini disediakan oleh Program Nasional

Pengendalian Tuberkulosis adalah:

• Paket KDT OAT Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

• Paket KDT OAT Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

• Paket KDT OAT Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR)

• Paket Kombipak Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3

• Paket Kombipak Kategori Anak : 2HRZ/4HR

2) Obat Anti TB (OAT) RR/MDR

Dalam pelayanan pengobatan pasien TB resistan obat, Program Nasional

Pengendalian TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk

paduan individual yang terdiri dari beberapa OAT lini kedua ditambah OAT
lini pertama yang masih sensitif.

Paduan pengobatan pasien TB RR/MDR yang digunakan Program Nasional

Pengendalian Tuberkulosis adalah:

Km – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

Sediaan dari OAT lini kedua dan lini pertama yang digunakan untuk paduan

OAT RR/MDR yang disediakan adalah:

Nama OAT Dosis Bentuk

Kanamycin (Km) 1000 mg vial

Capreomycin (Cm) 1000 mg vial

Levofloxacin (Lfx) 250 mg tablet

Moxifloxacin (Mfx) 400 mg tablet

Ethionamide (Eto) 400 mg tablet

Cycloserin (Cs) 250 mg kapsul

Para Amino Salicylic (PAS) 2 g sachet

Pirasinamid (Z) 500 mg tablet

Etambutol (E) 400 mg tablet


93

BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

96

b. Logistik Non OAT

Logistik Non OAT yang digunakan dalam P2TB adalah seluruh jenis logistik

Non OAT yang digunakan P2TB baik dalam pelayanan pasien TB maupun

pasien TB resistan obat.

1) Logistik Non OAT Non Resistan

Logistik Non OAT yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu

barang habis pakai dan tidak habis pakai.

a) Logistik Non OAT habis pakai antara lain adalah:

. Bahan-bahan laboratorium TB, seperti: Reagensia, Pot Dahak, Kaca

sediaan, Oli Emersi, Ether Alkohol, Tisu, Sarung tangan, Lysol, Lidi,

Kertas saring, Kertas lensa, dll.

. Formulir pencatatan dan pelaporan TB, seperti: TB.01 s/d TB.13

b) Logistik Non OAT tidak habis pakai antara lain adalah:

. Alat-alat laboratorium TB, seperti: mikroskop binokuler, Ose, Lampu

spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak

penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak

penyimpanan OAT, dll

. Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku

petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lainlain.

2) Logistik Non OAT Resistan Obat

Logistik Non OAT resistan obat yang digunakan P2TB dibagi dalam dua
kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak habis pakai.

a) Logistik Non OAT resistan obat habis pakai antara lain adalah:

. Cartridge GeneXpert

. Masker bedah

. Respirator N95

. Formulir Pencatatan dan Pelaporan TB & MDR

b) Logistik Non OAT resistan obat tidak habis pakai antara lain adalah:

. Alat-alat laboratorium TB resistan obat, seperti: mikroskop binokuler,

Ose, Lampu spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide),

Kotak penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet,

Lemari/rak penyimpanan OAT, dll

. Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku

petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lainlain.

3. Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB.

Pengelolaan logistik P2TB dilakukan pada setiap tingkat pelaksana program

pengendalian TB, yaitu mulai dari tingkat Pusat, Dinkes Provinsi, Dinkes Kab/Kota

sampai dengan di Fasyankes, baik rumah sakit, puskesmas maupun fasyankes

lainnya yang melaksanakan pelayanan pasien TB dengan strategi DOTS.


94

BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

97

Jejaring pengelolaan logistik TB di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT adalah

seperti gambar dibawah ini:

Gambar 10: Jejaring Pengelolaan Logistik TB.

Keterangan:

Alur distribusi OAT

Alur permintaan dan pelaporan OAT

Keterangan:

Untuk Dokter Praktek Mandiri (DPM) dan klinik akan memperoleh logistik melalui

Puskesmas yang membina wilayah dimana DPS/Klinik tersebut berada.

Jejaring pengelolaan logistik TB Resisten Obat di fasyankes, baik OAT maupun

Non OAT Resistan Obat adalah seperti gambar dibawah ini:

distribusi

permintaan distribusi

permintaan

Dokter Praktik Mandiri

(DPM)

Klinik Swasta

Dinkes Provinsi

Dinkes Kab/kota

Fasyankes

Instalasi Farmasi Provinsi


(IFP)

Instalasi Farmasi

Kab/Kota(IFK)
95

BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

98

Gambar 11: Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB Resistan Obat

Keterangan:

Fasyankes Rujukan TB MDR memperoleh logistik TB Resistan Obat, baik obat

maupun non obat dari Dinas Kesehatan Provinsi. Sedangkan untuk fasyankes

satelit memperoleh logistik dari fasyankes rujukannya.

B. Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.

Pengelolan logistik P2TB merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

menjamin agar logistik P2TB tersedia di setiap layanan pada saat dibutuhkan

dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Kegiatan pengelolaan logistik

P2TB dilakukan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian,

sampai dengan penggunaan, serta adanya sistim manajemen pendukung. Hal ini

dapat dilihat pada siklus pengelolaan logistik dibawah ini.

Pusat

Instalasi Farmasi

Nasional

Instalasi Farmasi

Provinsi (IFP)

Instalasi Farmasi

Faskes Rujukan

Dinkes Provinsi

Faskes Rujukan
Faskes Sub Rujukan Faskes Satelit

Keterangan:

Alur Distribusi OAT

Alur Permintaan dan Pelaporan OAT


97

BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

100

f. Pelaksanaan perencanaan kebutuhan logistik disesuaikan dengan jadwal

penyusunan anggaran disetiap tingkat pemerintahan di Kabupaten/Kota,

Provinsi dan Pusat.

a. Perencanaan OAT

Perencanaan kebutuhan OAT menggunakan dua pendekatan yaitu metode

konsumsi dan metode morbiditas. Metode konsumsi adalah proses

penyusunan kebutuhan berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya,

sedangkan metode morbiditas adalah proses penyusunan kebutuhan

berdasarkan perkiraan jumlah pasien yang akan diobati (insidensi) sesuai

dengan target yang direncanakan.

Perencanaan OAT P2TB yang digunakan merupakan gabungan dari kedua

pendekatan metode konsumsi dan morbiditas. Perencanaan kebutuhan setiap

jenis/kategori OAT didasarkan target penemuan kasus, dengan

memperhitungkan proporsi tipe penemuan pasien tahun lalu, jumlah stok yang

ada dan masa tunggu (lead time).

1) Perencanaan OAT Tidak Resistan

Perencanaan OAT Non Resistan dilakukan secara “bottom up planning”

mulai dari Kabupaten/Kota kemudian diusulkan ke Provinsi dan rekapnya

diusulkan ke Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya.

2) Perencanaan OAT Resistan Obat

Mengingat data kondisi epidemilogis resistan obat disetiap wilayah belum


tersedia, maka perencanaan OAT resistan obat saat ini dilakukan secara

terpusat di Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya sesuai

dengan target penemuan kasus.

b. Perencanaan Non OAT

Perencanaan logistik Non OAT dilaksanakan disetiap tingkatan dengan

memperhatikan:

1) Jenis logistik

2) Spesifikasi

3) Jumlah kebutuhannya.

4) Stok yang tersedia dan masih dapat dipergunakan

5) Unit pengguna

Perencanaan logistik Non OAT dilakukan oleh Program Nasional Pengendalian

TB bersama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan

memperhatikan target penemuan kasus dan pengembangan cakupan program.


98

BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

101

2. Pengadaan Logistik P2TB.

Pengadaan logistik merupakan proses untuk penyediaan logistik yang dibutuhkan

pada institusi maupun layanan kesehatan. Pengadaan yang baik harus dapat

memastikan logistik yang diadakan sesuai dengan jenis, jumlah, tepat waktu

sesuai dengan kontrak kerja dan harga yang kompetitif. Proses pengadaan harus

mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tujuan Pengadaan logistic P2TB adalah:

a. Tersedianya logistik P2TB dalam jumlah, jenis, spesifikasi dan waktu yang

tepat.

b. Didapatkannya logistik P2TB dengan kualitas yang baik dengan harga yang

wajar.

Kebijakan Pengadaan Logistik P2TB adalah:

a. Pengadaan logistik bisa berasal dari APBN, APBD Provinsi, APBD

Kabupaten/Kota dan Bantuan Luar Negeri.

b. Pelaksanaan pengadaan logistik berdasarkan peraturan dan perundangan

yang berlaku dengan mengacu ke Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang

Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

c. Pengadaan yang sumber dana dari Bantuan Luar Negeri selain mengikuti

Perpres juga mengikuti persyaratan dari donor.

d. Pengadaan logistik yang berasal dari APBN dilaksanakan oleh Kemenkes RI,

Ditjen Binfar & Alkes, Ditjen PP&PL maupun Ditjen lainnya.


e. Pengadaan yang berasal dari APBD Provinsi dilaksanakan oleh Dinas

Kesehatan Provinsi dengan usulan dari Dinas Kesehatan Provinsi yang

bersangkutan.

f. Pengadaan yang berasal dari APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota.

a. Pengadaan OAT

OAT merupakan obat dengan kategori “Sangat Sangat Esensial” (SSE)

sehingga Pemerintah wajib menyediakannya, baik pemerintah Pusat maupun

Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).

Saat ini kebutuhan OAT masih dipenuhi dari pengadaan Pusat dengan dana

APBN. Sedangkan untuk OAT resistan obat masih menggunakan dana

bantuan (donor). Pengadaan OAT dengan dana APBN setiap tahunnya

dilakukan oleh Ditjen. Binfar dan Alkse Kemenkes R.I. Sedangkan OAT

resistan obat dengan dana bantuan dilakukan oleh Subdit. TB.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik OAT adalah:

1) Paduan OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program Nasional

Pengendalian TB.

2) Batas kadaluarsa OAT pada saat diterima oleh panitia penerima barang

minimal 24 (dua puluh empat) bulan.


99

BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

102

3) Persyaratan mutu OAT harus sesuai dengan persyaratan mutu yang

tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir.

4) Industri Farmasi yang memproduksi OAT bertanggung jawab terhadap mutu

OAT melalui pemastian dan pemeriksaan mutu (Quality Control) oleh

industri farmasi dengan mengimplementasikan CPOB secara konsisten.

5) OAT memiliki sertifikat analisa dan uji mutu yang sesuai dengan nomor bets

masing-masing produk.

6) OAT diproduksi oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB.

b. Pengadaan Non OAT

Logistik Non OAT P2TB juga merupakan komponen yang penting dalam

mendukung terlaksananya kegiatan P2TB. Untuk itu pengadaan logistik Non

OAT P2TB juga menjadi tanggung jawab Pemerintah khususnya Pemerintah

Kabupaten/Kota sesuai dengan kebijakan Desentralisasi, baik logistic Non OAT

untuk TB regular maupun TB resistan obat.

Saat ini, pengadaan logistik Non OAT P2TB masih mendapat dukungan dari

Pemerintah Pusat, baik dari dana APBN maupun dana bantuan donor. Namun

alokasi dana yang ada tidak dapat memenuhi/mengadakan 100% kebutuhan

Nasional. Sehingga kontribusi pengadaan dari Kabupaten/Kota maupun

Provinsi sangat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan yang ada.

Hal-Hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik Non OAT adalah:

1) Logistik Non OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program


Nasional Pengendalian TB.

2) Mutu logistik yang diadakan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan

untuk setiap jenis logistik.

3. Penyimpanan Logistik P2TB.

Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan logistik termasuk memelihara

yang mencakup aspek tempat penyimpanan (Instalatasi Farmasi atau gudang),

barang dan administrasinya. Dengan dilaksanakannya penyimpanan yang baik

dan benar, maka logistik P2TB akan terjaga mutu/kualitasnya, menghindari

penggunaan yang tidak bertanggung jawab (irasional) dan menjamin

ketersediaannya serta memudahkan pencarian dan pengawasan.

Dalam penyimpanan logistic P2TB baik OAT maupun Non OAT, Program

Nasional Pengendalian TB mengikuti kebijakan Ditjen. Binfar dan Alkes

Kemenkes R.I., yaitu: “One Gate Policy”, dimana seluruh OAT maupun Non OAT

disimpan di dalam Instalasi Farmasi baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten

Kota dan Fasyankes.


100

BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

103

Ketentuan-ketentuan dalam penyimpanan logistic P2TB agar terkelola dengan

baik dapat merujuk pada “Buku Panduan Pengelolaan Logistik P2TB”.

4. Distribusi Logistik P2TB.

Distribusi logistic P2TB adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengeluaran dan

pengiriman logistik P2TB dari tempat penyimpanan (Istalasi Farmasi/IF) ke

tempat lain (IFP/IFK/IFF) dengan memenuhi persyaratan baik administratif

maupun teknis untuk memenuhi ketersediaan jenis dan jumlah logistik dan terjaga

kualitasnya sampai di tempat tujuan. Proses distribusi ini harus memperhatikan

aspek keamanan, mutu dan manfaat.

Tujuan distribusi logistik P2TB adalah:

a. Terlaksananya pengiriman logistik P2TB seseuai kebutuhan dan terencana

(jadwal) sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan dengan jumlah yang

cukup.

b. Terjaminnya ketersediaan logistik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

c. Terjaminnya mutu logistik pada saat pendistribusian

Distribusi dilaksanakan berdasarkan permintaan secara berjenjang untuk

memenuhi kebutuhan logistik di setiap jenjang penyelenggara program

penanggulangan TB.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses distribusi adalah:

a. Distribusi dari Pusat dilaksanakan atas permintaan dari Dinas Kesehatan

Provinsi. Distribusi dari Provinsi kepada Kabupaten/ Kota atas permintaan


Kabupaten/ Kota. Distribusi dari Kabupaten/Kota berdasarkan permintaan

Fasyankes.

b. Setelah ada kepastian jumlah logistik yang akan didistribusikan, maka tingkat

yang lebih tinggi mengirimkan surat pemberitahuan kepada tingkat yang

dibawahnya mengenai jumlah, jenis dan waktu pengiriman logistik.

c. Membuat Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) dan Berita Acara Serah Terima

(BAST).

d. Apabila terjadi kelebihan atau kekurangan logistik maka Institusi yang

bersangkutan menginformasikan ke Institusi diatasnya untuk dilakukan relokasi

atau pengiriman logistik tersebut.

e. Proses distribusi ke tempat tujuan harus memperhatikan sarana/transportasi

pengiriman yang memenuhi syarat sesuai ketentuan obat atau logistik lainnya

yang dikirim.

f. Penerimaan logistik dilaksanakan pada jam kerja.

g. Penetapan frekuensi pengiriman logistik haruslah memperhatikan antara lain

anggaran yang tersedia, jarak dan kondisi geografis, fasilitas gudang dan

sarana yang ada.


102

BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

105

b. Pembiayaan Logistik P2TB

Pembiayaan dalam pengelolaan logistik program TB sangat diperlukan.

Pembiayaan ini dapat bersumber dari dana APBN, APBD maupun sumber

lainnya yang sah sesuai kebutuhan.

Penyusunan kebutuhan anggaran harus dibuat secara lengkap, dengan

memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan program dan anggaran terpadu.

Pembiayaan dapat diidentifikasi dari berbagai sumber mulai dari anggaran

pemerintah dan berbagai sumber lainnya, sehingga semua potensi sumber

dana dapat dimobilisasi.

c. Sistim Informasi Logistik P2TB

Saat ini Program Nasional Pengendalian TB telah menggunakan 2 sistem

informasi untuk pencatatan dan pelaporan Program TB dan TB resistan obat,

dimana didalamnya sudah termasuk sistim informasi tentang pengelolaan

logistik P2TB yaitu:

1) Untuk pelaporan TB.13 OAT menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu

(SITT), yang mulai dipergunakan sebagai sistem informasi TB sejak tahun

2011.

2) Untuk pelaporan TB.13 OAT resistan obat menggunakan e-TB Manajer,

yang mulai dipergunakan untuk sistem informasi TB MDR sejak tahun 2009.

d. Sumber Daya Manusia Logistik P2TB

Dalam Pengelolaan Logistik Program TB, dukungan manajemen dari segi


Sumber Daya Manusia (SDM) memegang peranan yang sangat penting untuk

terciptanya pengelolaan logistik yang baik. SDM TB untuk mengelola logistik di

setiap tingkat pelaksana sangat dibutuhkan, baik jumlah maupun kompetensinya,

sehingga perlu adanya suatu standar ketenagaan, pelatihan dan supervisi

sesuai tupoksi dan beban kerjanya.

Tujuan pengembangan SDM dalam program TB adalah tersedianya tenaga

pelaksana yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata

lain “kompeten”) yang diperlukan dalam pengelolaan logistik program TB,

dengan jumlah yang cukup sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan

program TB nasional. Pengembangan SDM tidak hanya berkaitan dengan

pelatihan tetapi meliputi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain

yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM

yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam

penanggulangan TB.

e. Pengawasan Mutu Logistik P2TB

Pengawasan atau jaga mutu logaitik P2TB adalah kegiatan yang dilakukan

untuk memastikan bahwa logistic P2TB yang ada terjamin/terjaga kualitasnya

baik mulai dari produksi, distribusi, penyimpanan sampai dengan saat

digunakan.
103

BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

106

1) Pengawasan Mutu OAT

Pengawasan/jaga mutu OAT adalah kegiatan/proses standardisasi produk

OAT dan sarana yang digunakan mulai dari pre sampai dengan post market,

yaitu:

a) Pre-market: pemberian nomor ijin edar, sertifikasi CPOB.

b) Post-market: pemeriksaan setempat, sampling dan pengujian, monitoring

efek samping.

Logistik terutama OAT yang diterima atau disimpan di gudang perbekalan

kesehatan secara rutin harus dilakukan uji mutu. Uji mutu ini dapat dilakukan

secara organoleptik dan laboratorium.

2) Pengawasan Mutu Logistik Non OAT

Pengawasan/jaga mutu logistik Non OAT pada prinsipnya sama dengan

jaga mutu OAT, hanya disesuaikan dengan jenis dan karakteristiknya.

Pengawasan/jaga mutu logistic Non OAT dilakukan pada saat produksi

dan distribusi sehingga kualitas logistic Non OAT dapat terjamin mutunya.

Contoh:

Reagensia, selain dilakukan uji secara organoleptik juga dilakukan uji secara

laboratorium.
104

BAB XI

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

105

BAB XI

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Pencapaian target global TB menjadi lebih menantang sehubungan dengan isu-isu seperti

HIV/AIDS, TB-MDR, TB-Infection Control (TB-IC) dan lain-lain. Demikian juga isu desentralisasi

di bidang kesehatan telah meningkatkan kompleksitas tantangan untuk pengembangan sumber

daya manusia (SDM). Turnover staf yang tinggi dan distribusi staf yang tidak merata di

provinsi/kabupaten/kota mengakibatkan permintaan lebih tinggi terhadap ketersediaan tenaga

yang terampil.

Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam Program Pengendalian Tuberkulosis

(P2TB) bertujuan untuk menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki keterampilan,

pengetahuan dan sikap (dengan kata lain ”kompeten”) yang diperlukan dalam pelaksanaan

program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang

tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Untuk menjamin

ketersediaan tenaga yang kompeten ini, kontribusi terhadap sistem pengelolaan SDM TB yang

terintegrasi sangat diperlukan misalnya perencanaan SDM TB yang memadai, pola rekrutmen

yang baik, distribusi yang merata dan retensi SDM TB yang terlatih.

Di dalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian yang lebih luas, tidak

hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan

lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu

tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam Pengendalian TB.


Bab ini akan membahas 3 hal kegiatan pokok yang sangat penting dalam pengembangan SDM

untuk mendukung tercapainya tujuan program yaitu perencanaan ketenagaan Program TB,

peran SDM TB dalam Pengendalian TB, pelatihan dan evaluasi paska pelatihan TB.

A. Perencanaan Ketenagaan Program Pengendalian TB.

Perencanaan ketenagaan dalam Program Pengendalian TB ditujukan untuk memastikan

kebutuhan tenaga demi terselenggaranya kegiatan Program TB di suatu unit pelaksana.

Dalam perencanaan ketenagaan ini berpedoman pada standar kebutuhan minimal baik

dalam jumlah dan jenis tenaga yang diperlukan.

1. Standar Ketenagaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

a. Puskesmas

1) Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri: kebutuhan

minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1

tenaga laboratorium.

BAB XI

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
105

BAB XI

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

106

2) Puskesmas satelit: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter

dan 1 perawat/petugas TB

b. Rumah Sakit Umum Pemerintah

1) RS kelas A: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2

dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR) , 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga

laboratorium

2) RS kelas B: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2

dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR), 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga

laboratorium

3) RS kelas C: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4 dokter (2

dokter umum, SpP/SpD, SpA), 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium

4) RS kelas D, RSP dan BBKPM/BKPM: kebutuhan minimal tenaga pelaksana

terlatih terdiri dari 2 dokter (dokter umum dan atau SpP), 2 perawat/petugas TB,

dan 1 tenaga laboratorium

5) RS swasta: menyesuaikan.

c. Dokter Praktik Mandiri, minimal telah dilatih.

2. Standar Ketenagaan di Tingkat Kabupaten/Kota

Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20

fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah yang aksesnya mudah dan 10

fasyankes untuk daerah lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 fasyankes dapat

memiliki lebih dari seorang supervisor.


Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah:

a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,

b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (Labkesda),

c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program

TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait.

3. Standar Ketenagaan di Tingkat Provinsi.

Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20

kabupaten/kota di daerah yang aksesnya mudah dan 10 kabupaten/kota untuk daerah

lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 kabupaten/kota dapat memiliki lebih dari

seorang supervisor.

Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah

a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,

b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (BLK),

c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program

TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait,

d. Provincial Training Team (PTT)/Tim Pelatihan TB Provinsi (TPP) yang terdiri dari 1

orang Provincial Training Coordinator (PTC)/Koordinator Pelatihan Provinsi (KPP)


108

BAB XI

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

109

Masyarakat Anggota keluarga, kader,

tenaga kesehatan, LSM

• Identifikasi dan rujuk terduga TB ke

fasyankes.

• Pengawas Menelan Obat (PMO)

• Kunjungan rumah

• Melacak yang mangkir

• Catatan sederhana

Laboratorium Staf Peran/ tugas utama

Lab TB nasional Ahli Biomolekuler, Spesialis

Patologi klinik, spesialis

Patologi Anatomi, Spesialis

mikrobiologi klinik, Ahli

Mikrobiologi, Analis.

Pemeriksaan dan penelitian

biomolekuler, pemeriksaan non

konvensional lainnya, uji silang ke dua

untuk pemeriksaan biakan

Lab TB rujukan regional Spesialis Patologi klinik, Ahli

Mikrobiologi, Analis dan

analis media.
Kultur, identifikasi dan uji kepekaan

M.TB dan MOTT dari dahak dan bahan

lain

Lab TB rujukan provinsi Spesialis Patologi Klinik,

Analis.

Pemeriksaan mikroskopis BTA, uji

silang mikroskopis final

Laboratorium rujukan

Uji silang (Intermediate

TB Laboratory)

Petugas laboratorium dan

analis

Uji silang pertama (Laboratory Quality

Assurance)

Pusat Mikroskopis TB:

PRM

PPM

Laboratorium RS

Laboratorium swasta

Analis Pembuatan contoh uji apusan dahak,

fiksasi, pewarnaan Z-N, pembacaan

skala IUATLD dan interpretasi

Pusat Fiksasi contoh uji

TB (Puskesmas satelit)

Petugas lab Pembuatan contoh uji apusan dahak


dan fiksasi

C. Pelatihan Program Pengendalian TB

Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan

petugas dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kinerja petugas. Kegiatan pelatihan ini

dapat dilakukan secara konvensional dengan klasikal dan pelatihan jarak jauh

(LJJ)/distance learning.

Pelatihan Program TB di Indonesia dilaksanakan secara berjenjang yaitu dimulai sejak

pembentukan Master Trainer/Pelatih Utama TB, kegiatan Training of Trainers (TOT) sampai

pelatihan untuk petugas kesehatan dan manajer yang terlibat dalam Pengendalian TB.

Namun, pengalaman menunjukkan bahwa peningkatan pelaksanaan pelatihan diikuti juga

dengan meningkatnya perhatian terhadap peningkatan kualitas pelatihan.


113

BAB XI

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

114

3. Manfaat EPP pada Program Pengendalian TB, adalah:

a. Rangkaian siklus yang dinamis dan berkesinambungan dalam memberikan umpan

balik pada proses perbaikan dan penyempurnaan program pelatihan

b. Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan yang telah dilaksanakan. Ada 3 aspek yang

dinilai yaitu:

1) Kognitif/Pengetahuan

2) Afektif/Sikap

3) Psikomotor/Perilaku

c. Mengetahui kesesuaian kurikulum pelatihan dengan tuntutan kerja individu

d. Bahan masukan untuk perumusan kebijakan pengembangan aparatur kesehatan di

wiilayahnya

4. Metode EPP Program Pengendalian TB

Evaluasi paska pelatihan dapat diperoleh dengan pengumpulan data. Metode

pengumpulan data yang digunakan sangat tergantung pada ranah kompetensi mantan

peserta latih di tempat kerjanya.

Tabel 25: Metode Pengumpulan Data dalam EPP

NO RANAH YANG AKAN DICAPAI METODE YANG DIGUNAKAN

1 KOGNITIF Test tertulis

Studi kasus

Wawancara

Focus Group Discussion/ Kelompok Diskusi Terarah


2 AFEKTIF Studi kasus

Wawancara dengan pihak ketiga

Kuestioner

3 PSIKOMOTOR Observasi

Cek dokumen
114

BAB XII

KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN


TUBERKULOSIS

114

BAB XII

KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI

KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan permasalahan kesehatan di masyarakat,

bukan hanya karena TB adalah penyakit menular, namun ada hubungan TB dengan penyakit

tidak menular lainnya seperti pada Diabetes Mellitus, penyakit akibat rokok, alkhohol,

pengguna narkoba dan malnutrisi. TB sebagian besar menyerang pada usia produktif dan

masyarakat dengan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan. TB menjadi penyebab

tersering untuk kesakitan dan kematian pada Orang dengan HIV AIDS. TB sering dihubungkan

dengan kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses untuk perilaku

hidup bersih dan sehat. Wanita hamil dan anak anak juga sangat rentan terkena TB.

Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan sebagian besar kasus

TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan mereka sudah dalam tahap lanjut

bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit untuk diobati. Keterlambatan pengobatan ini

bermakna karena menunjukkan lebih banyak lagi penduduk yang sudah terpapar TB.

Kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan secara dini sangatlah penting, oleh sebab

itu diperlukan peran serta masyarakat.dan strategi kunci untuk dapat menemukan sepertiga

kasus TB yang ‘hilang’ dan tidak terlaporkan serta untuk menjangkau kasus TB pada kelompok

rentan adalah dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam program pengendalian TB.

A. Bentuk-bentuk Organisasi Kemasyarakatan.

Organisasi kemasyarakatan dapat berupa:


• Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): lokal, nasional, internasional

• Organisasi berbasis komunitas

• Organisasi berbasis agama

• Organisasi pasien dan mantan pasien

• Organisasi profesi

• dan lain-lain.

B. Tantangan Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB.

Tantangan yang dihadapi saat ini adalah:

1. Pelayanan TB berada di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (fasyankes) yang mengharuskan

pasien datang ke fasyankes tersebut yang menyebabkan kerugian pasien karena

dibutuhkan biaya transport, kemungkinan kehilangan pekerjaan dan pendapatan,

meskipun pasien tidak perlu membayar obat anti tuberkulosis (OAT).

2. Kurangnya jumlah organisasi kemasyarakatan yang terlibat secara aktif dalam program

pengendalian TB

BAB XII

KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI

KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS


115

BAB XII

KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN


TUBERKULOSIS

115

3. Program Pengendalian TB belum merupakan prioritas dalam kegiatan organisasi

kemasyarakatan.

4. Belum sepenuhnya melibatkan pasien dan mantan pasien TB dalam kegiatan Program

Pengendalian TB.

5. Saat ini sebagian besar organisasi kemasyarakatan masih tergantung kepada dana

hibah untuk melaksanakan kegiatan Program Pengendalian TB.

C. Keuntungan Melibatkan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB

Keuntungan-keuntungan melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam Program

pengendalian TB, antara lain:

1. Organisasi kemasyarakatan mempunyai jejaring dengan organisasi kemasyarakatan

lainnya sehingga dapat menggerakkan organisasi lain yang belum terlibat untuk dapat

membantu dalam program pengendalian TB.

2. Organisasi kemasyarakatan bekerja di tengah-tengah masyarakat dan lebih memahami

situasi setempat sehingga lebih mengerti kebutuhan masyarakat.

3. Organisasi kemasyarakatan mempunyai akses untuk menjangkau masyarakat dengan

populasi khusus, misalnya pengungsi, pekerja sex komersial, pencandu narkoba,

penduduk musiman dan masyarakat miskin yang kurang mempunyai akses ke fasilitas

layanan kesehatan.

4. Banyak Organisasi kemasyarakatan mempunyai fasilitas dan sarana layanan kesehatan

yang dapat diakses oleh masyarakat secara langsung

5. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam penyebarluasan informasi tentang


TB kepada masyarakat

6. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu pasien TB untuk mengaskses pelayanan

TB dan membantu dalam sosial ekonomi

7. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam advokasi kepada pemerintah daerah

setempat.

8. Dan lain-lain.

D. Prinsip-Prinsip Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan Dalam

Pengendalian TB

Prinsip-prinsip pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah:

1. Kesetaraan dan saling menghormati, memahami kesamaan dan perbedaan serta

karakteristik masing-masing,

2. Saling menguntungkan,

3. Keterbukaan,

4. Dalam perencanaan kegiatan harus menyesuaikan dengan potensi dan situasi dari

organisasi kemasyarakatan itu sendiri,

5. Dalam monitoring dan evaluasi kegiatan harus terintegrasi dengan sistem yang ada di

Program Pengendalian TB.


116

116

E. Indikator Keberhasilan Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakat Dalam

Pengendalian TB

Indikator keberhasilan pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakat adalah:

1. Peningkatan jumlah pasien TB baru yang dirujuk oleh masyarakat atau organisasi

kemasyarakatan yang tercatat.

2. Peningkatan keberhasilan pengobatan pasien TB yang diawasi oleh masyarakat atau

organisasi kemasyarakatan yang tercatat.

3. Penurunan angka putus berobat pasien TB yang diawasi oleh masyarakat atau

organisasi kemasyarakatan yang tercatat.

F. Peran dan Kegiatan Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam pengendalian

TB

Beberapa contoh peran dan kegiatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam

pengendalian TB berbasis komunitas antara lain:

Peran Kegiatan

Pencegahan TB. Penyuluhan TB, pengembangan KIE, pelatihan kader.

Deteksi dini terduga TB. Pelacakan kontak erat pasien dengan gejala TB,

pengumpulan dahak terduga TB, pelatihan kader.

Melakukan rujukan. Dukungan motivasi kepada terduga TB untuk ke

Fasyankes, dukungan transport.

Dukungan/motivasi keteraturan

berobat pasien TB.

Pengawas Menelan Obat (PMO).

Dukungan sosial ekonomi. Dukungan transport pasien TB, nutrisi dan


sumplemen pasien TB, peningkatan ketrampilan

pasien TB guna meningkatkan penghasilan,

menyediakan pekerja sosial, memotivasi mantan

pasien untuk dapat mendampingi pasien TB.

Advokasi. Membantu penyusunan bahan advokasi, membantu

memberikan masukan kepada pemerintah.

Mengurangi stigma. Diseminasi informasi tentang TB, membentuk

kelompok pendidik sebaya, testimoni pasien TB.

G. Strategi Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan dalam Program pengendalian TB.

Ada 4 strategi kunci untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam TB berbasis

komunitas yaitu:

1. Melibatkan lebih banyak organisasi kemasyarakat (Engage).

Identifikasi organisasi kemasyarakatan potensial yang dapat dilibatkan untuk terlibat

dalam Program Pengendalian TB berbasis komunitas. Mengajak organisasi lainnya yang

BAB XII

KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN


TUBERKULOSIS
117

117

selama ini terlibat dalam Program kesehatan bukan TB, misalnya organisasi

kemasyarakatan dalam kesehatan Anak, HIV/AIDS, dll.

2. Memperluas (Expand).

a. Melibatkan dan Mengembangkan cakupan program organisasi kemasyarakatan yang

sudah terlibat dalam program pengendalian TB untuk menjangkau populasi

khusus misalnya, pekerja pabrik, sekolah, asrama, Lapas/Rutan, dan pekerja

seksual.

b. Meningkatkan dan memperkuat pelibatan pasien dan mantan pasien TB dalam

program pengendalian TB berbasis komunitas untuk membantu penemuan

terduga TB dan TB resistan obat serta pendampingan dalam pengobatannya.

3. Mempertegas (Emphasize).

Mempertegas fungsi dari Organisasi kemasyarakatan untuk penemuan terduga TB dan

TB resistan obat dan pendampingan dalam pengobatannya. Pemetaan peran, potensi

dan fungsi dari masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah penting agar kegiatan

yang dilakukan tidak tumpang tindih dan kontribusi dari masing-masing organisasi

kemasyarakatan dapat diidentifikasi.

4. Menghitung (Enumerate).

Menghitung kontribusi organisasi kemasyarakatan dalam program pengendalian TB

berbasis komunitas dengan melakukan monitoring dan evaluasi melalui sistem

pencatatan dan pelaporan standar berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan.

Ada 6 tahapan untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan terhadap program

pengendalian TB berbasis komunitas, yaitu:

No Kegiatan Pusat Provinsi Kab/Kota


1 Analisis situasi V V V

2 Menciptakan lingkungan yang kondusif V V V

3 Pedoman dan Juknis V - -

4 Identifikasi tugas V V V

5 Monitoring and evaluation V V V

6 Peningkatan kapasitas V V V

BAB XII

KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN


TUBERKULOSIS
119

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

119

Sistem surveilans TB akan menyediakan informasi mengenai prevalensi TB dan pola

perubahan risiko. Monitoring dan evaluasi menyediakan informasi tentang proses, luaran dan

dampak intervensi. Penelitian operasional dapat mengisi kesenjangan informasi dan menilai

kebijakan dan strategi intervensi. Penempatan ketiga elemen tesebut secara terpadu dan

menyeluruh dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program menjadi

sangat penting agar program berjalan secara efektif dan efisien.

A. Surveilans Tuberkulosis

Surveilans TB adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data penyakit

secara sistematik, lalu dilakukan analisis, dan interpretasi data. Hasil analisis

didiseminasikan untuk kepentingan tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya

menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB serta untuk peningkatan derajat

kesehatan masyarakat.

Ada 2 macam metode surveilans TB, yaitu: Surveilans Rutin (berdasarkan data pelaporan),

dan Surveilans Non Rutin (berupa survei: periodik dan sentinel).

1. Surveilans Rutin.

Surveilans rutin dilaksanakan dengan menggunakan data layanan rutin yang dilakukan

pada pasien TB. Sistem surveilans ini merupakan sistem terbaik (mudah dan murah)

untuk memperoleh informasi tentang prevalensi TB, meskipun kemungkinan terjadinya

bias cukup besar. Misalnya dalam layanan kolaborasi TB-HIV, jika jumlah pasien yang

menolak untuk di tes HIV cukup besar maka surveilans berdasar data rutin ini

interpretasinya kurang akurat. Surveilans berdasarkan data rutin ini tidak memerlukan
biaya khusus tapi mutlak memerlukan suatu pencatatan dan pelaporan yang berjalan

baik. Hasil surveilans berdasarkan data rutin ini perlu dikalibrasi dengan hasil dari

surveilans periodik atau surveilans sentinel.

2. Surveilans Non Rutin.

a. Surveilans non rutin khusus

Dilakukan melalui kegiatan survei baik secara periodik maupun sentinel yang

bertujuan untuk mendapatkan data yang tidak diperoleh dari kegiatan pengumpulan

data rutin.

Kegiatan ini dilakukan secara cross-sectional pada kelompok pasien TB yang

dianggap dapat mewakili suatu wilayah tertentu. Kegiatan ini memerlukan biaya yang

mahal dan memerlukan keahlian khusus. Hasil dari kegiatan ini dapat digunakan untuk

mengkalibrasi hasil surveilans berdasar data rutin.

Contoh: survei prevalensi TB Nasional, sero survei prevalensi HIV diantara pasien TB,

survei sentinel TB diantara ODHA, survei resistensi OAT, survei Knowledge Attitude

Practice (KAP) untuk pasien TB dan dokter praktek mandiri (DPM), dan survei lainlain.
120

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

120

Pemilihan metode surveilans yang akan dilaksanakan disuatu daerah/wilayah

tergantung pada tingkat epidemi TB di daerah/wilayah tersebut, kinerja program TB

secara keseluruhan, dan sumber daya (dana dan keahlian) yang tersedia.

b. Surveilans non rutin luar biasa

Meliputi surveilans untuk kasus-kasus TB lintas negara terutama bagi warga negara

Indonesia yang akan berangkat maupun yang akan kembali ke Indonesia (haji dan

TKI). Hal ini dilakukan karena mobilisasi penduduk yang sangat cepat dalam jumlah

besar setiap tahunnya tidak menguntungkan ditinjau dari pengendalian penyakit

tuberkulosis. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit dari satu

wilayah ke wilayah lain dan/atau dari satu negara ke negara lain dalam waktu yang

cepat.

Upaya pengawasan pasien TB yang akan menunaikan ibadah haji atau TKI yang akan

berangkat keluar negeri maupun kembali ke Indonesia memerlukan sistem surveilans

yang tepat. (secara lengkap dapat dilihat di buku “Prosedur Pelacakan Kasus TB Pada

Tenaga Kerja Indonesia dan jemaah Haji”, Kemenkes 2013).

B.Monitoring dan Evaluasi (Monev) Program TB

Monev program TB merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan

pelaksanaan program TB. Monitoring dilakukan secara berkala sebagai deteksi awal

masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera dilakukan tindakan

perbaikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan, indikator, dan

target yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama, biasanya
setiap 6 bulan s/d 1 tahun.

Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat pelaksana

program, mulai dari Fasilitas kesehatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Seluruh

kegiatan program harus dimonitor dan dievaluasi dari aspek masukan (input), proses,

maupun keluaran (output) dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung dan

wawancara ke petugas kesehatan maupun masyarakat sasaran.

Komponen utama untuk melakukan monev adalah: pencatatan pelaporan, analisis indikator

dan hasil dari supervisi.

1. Pencatatan dan Pelaporan Program TB

Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan kegiatan survailans, diperlukan suatu

sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar,

dengan maksud mendapatkan data yang valid untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi,

disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan sebagai dasar perbaikan program.

Data yang dikumpulkan harus memenuhi standar yang meliputi:


121

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

121

a. Lengkap, tepat waktu dan akurat.

b. Data sesuai dengan indikator program

c. Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan sistim

informasi kesehatan yang generik.

PENTING !!

TB adalah penyakit menular yang wajib dilaporkan. Setiap fasilitas kesehatan yang

memberikan pelayanan TB wajib mencatat dan melaporkan kasus TB yang

ditemukan dan atau diobati sesuai dengan format pencatatan dan pelaporan yang

ditentukan.

Data untuk program pengendalian TB diperoleh dari sistem pencatatan-pelaporan TB.

Pencatatan menggunakan formulir standar secara manual didukung dengan sistem

informasi secara elektronik, sedangkan pelaporan TB menggunakan sistem informasi

elektronik. Penerapan sistem informasi TB secara elektronik disemua faskes

dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya di

wilayah tersebut.

Sistem pencatatan-pelaporan TB secara elektronik menggunakan Sistem Informasi TB

Terpadu (SITT) yang berbasis web dan terintegrasi dengan sistem informasi kesehatan

secara Nasional.

Pencatatan dan pelaporan TB diatur berdasarkan fungsi dari masing-masing tingkatan

pelaksana, sebagai berikut:

a. Pencatatan di Fasilitas Kesehatan


FKTP dan FKRTL dalam melaksanakan pencatatan menggunakan format:

1) Daftar terduga TB yang diperiksa dahak (TB.06).

2) Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05).

3) Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).

4) Kartu identitas pasien TB (TB.02).

5) Register TB fasilitas kesehatan (TB.03 faskes)

6) Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).

7) Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).

8) Register Laboratorium TB (TB.04).

9) Formulir mandatory notification untuk TB. (*)

b. Pencatatan dan Pelaporan di Kabupaten/Kota

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan:

1) Register TB Kabupaten/Kota (TB.03)

2) Laporan Triwulan Penemuan dan Pengobatan Pasien TB (TB.07)

3) Laporan Triwulan Hasil Pengobatan (TB.08)

4) Laporan Triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Intensif (TB.11)


122

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

122

5) Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang dan Analisis Hasil Uji silang

Kabupaten (TB.12)

6) Laporan OAT (TB.13)

7) Data Situasi Ketenagaan Program TB

8) Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.

9) Formulir pelacakan kasus TB yang datang dari luar negeri. (**)

c. Pelaporan di Provinsi

Dinas Kesehatan Provinsi menggunakan formulir pelaporan sebagai berikut:

1) Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per kabupaten/kota.

2) Rekapitulasi Hasil Pengobatan per kabupaten/kota.

3) Rekapitulasi Hasil Pengobatan gabungan TB dan TB Resistan Obat di tingkat

Provinsi.

4) Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per kabupaten/kota.

5) Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang propinsi per kabupaten/kota.

6) Rekapitulasi Laporan OAT per kabupaten/ kota.

7) Rekapitulasi Data Situasi Ketenagaan Program TB.

8) Rekapitulasi Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.

2. Indikator Program TB

Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan

program (marker of progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program

pengendalian TB digunakan beberapa indikator.


Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada 2, yaitu:

. Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan

. Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR).

Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut

di atas, yaitu:

a. Indikator Penemuan TB

1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB

2) Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua TB paru

diobati.

3) Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati diantara pasien TB

terkonfirmasi bakteriologis.

4) Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB

5) Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR)

6) Proposi pasien TB yang dites HIV

7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif

8) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/

MDR yang ada.


123

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

123

9) Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji

kepekaan OAT lini kedua.

10) Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB RR/MDR

ditemukan.

b. Indikator Pengobatan TB

1) Angka konversi (Conversion Rate)

2) Angka kesembuhan (Cure Rate)

3) Angka putus berobat

4) Angka keberhasilan pengobatan TB anak

5) Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak yang

mendapatkan PP INH

6) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

7) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART

8) Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatment Success Rate

9)

c. Indikator Penunjang TB

1) Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji silang

untuk pemeriksaan mikroskopis

2) Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik diantara peserta

PME uji silang

3) Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME empat kali setahun.


4) Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT lini

Tiap tingkat pelaksana program memiliki indikator pada tabel berikut:


126

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

126

Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan

disebabkan:

• Penjaringan terduga TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi

kriteria terduga TB, atau

• Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).

Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan :

• Penjaringan terlalu ketat atau

• Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu)

2) Proporsi Pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis diantara Semua Pasien

TB Paru Tercatat/diobati

Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis diantara

semua pasien Tuberkulosis paru tercatat (bakteriologis dan klinis). Indikator ini

menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara

seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati.

Rumus:

Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis Jumlah seluruh pasien TB Paru x 100%

Angka ini minimal 70%. Bila angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang

memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular.

3) Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB

Adalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang diobati diantara seluruh

pasien TB yang diobati.


Rumus:

Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 thn) yg diobati x 100% Jumlah seluruh pasien TB yg diobati

Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini

diharapkan berkisar 8 – 12% pada wilayah dimana seluruh kasus TB Anak

ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik,

angka ini menggambarkan over atau under diagnosis, serta rendahnya angka

penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang

diharapkan, maka perlu diperiksa prosedur diagnosis TB Anak di fasyankes.

4) Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)

Adalah prosentase jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan

dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada da1la2m6

Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan

disebabkan:

• Penjaringan terduga TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi

kriteria terduga TB, atau

• Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).

Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan :

• Penjaringan terlalu ketat atau

• Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu)

2) Proporsi Pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis diantara Semua Pasien

TB Paru Tercatat/diobati

Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis diantara

semua pasien Tuberkulosis paru tercatat (bakteriologis dan klinis). Indikator ini

menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara

seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati.


Rumus:

Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis x 100% Jumlah seluruh pasien TB Paru

Angka ini minimal 70%. Bila angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang

memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular.

3) Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB

Adalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang diobati diantara seluruh

pasien TB yang diobati.

Rumus:

Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 thn) yg diobati x 100% Jumlah seluruh pasien TB yg diobati

Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini

diharapkan berkisar 8 – 12% pada wilayah dimana seluruh kasus TB Anak

ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik,

angka ini menggambarkan over atau under diagnosis, serta rendahnya angka

penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang

diharapkan, maka perlu diperiksa prosedur diagnosis TB Anak di fasyankes.

4) Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)

Adalah prosentase jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan

dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada da1la2m6

Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan

disebabkan:

• Penjaringan terduga TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi

kriteria terduga TB, atau

• Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).

Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan :

• Penjaringan terlalu ketat atau


• Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu)

2) Proporsi Pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis diantara Semua Pasien

TB Paru Tercatat/diobati

Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis diantara

semua pasien Tuberkulosis paru tercatat (bakteriologis dan klinis). Indikator ini

menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara

seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati.

Rumus:

Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis x 100% Jumlah seluruh pasien TB Paru

Angka ini minimal 70%. Bila angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang

memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular.

3) Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB

Adalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang diobati diantara seluruh

pasien TB yang diobati.

Rumus:

Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 thn) yg diobati x 100% Jumlah seluruh pasien TB yg diobati

Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini

diharapkan berkisar 8 – 12% pada wilayah dimana seluruh kasus TB Anak

ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik,

angka ini menggambarkan over atau under diagnosis, serta rendahnya angka

penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang

diharapkan, maka perlu diperiksa prosedur diagnosis TB Anak di fasyankes.

4) Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)

Adalah prosentase jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan

dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam
Jumlah pasien Baru TB paru Terkonfirmasi

Bakteriologis

Jumlah seluruh pasien TB Paru

x 100%

Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 th)

yang diobati

Jumlah seluruh pasien TB yang diobati

x 100%
128

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

128

Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan

estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara

pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk

usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan.

7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif

Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini

menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB.

Rumus:

Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai hasil tes

HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB) Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes
HIV x 100%

(sebelum dan selama pengobatan TB)

Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan

prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah

tertentu.

8) Angka Konversi (Conversion Rate)

Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi

Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani

masa pengobatan tahap awal.

Program pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena

berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui

apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.


Rumus:

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg

hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif x 100% Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi
Bakteriologis yg

diobati

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara

mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang

mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya

yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan tahap awal (2 bulan/ 3

bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat

dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.

128

Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan

estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara

pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk

usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan.

7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif

Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini

menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB.

Rumus:

Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai hasil tes

HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB) x 100% Jumlah pasien TB yang terdaftar yang
melakukan tes HIV

(sebelum dan selama pengobatan TB)

Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan

prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah
tertentu.

8) Angka Konversi (Conversion Rate)

Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi

Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani

masa pengobatan tahap awal.

Program pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena

berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui

apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.

Rumus:

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg

hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif x 100% Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi
Bakteriologis yg

diobati

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara

mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang

mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya

yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan tahap awal (2 bulan/ 3

bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat

dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.

128

Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan

estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara

pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk

usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan.

7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif

Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini
menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB.

Rumus:

Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai hasil tes

HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB) x 100% Jumlah pasien TB yang terdaftar yang
melakukan tes HIV

(sebelum dan selama pengobatan TB)

Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan

prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah

tertentu.

8) Angka Konversi (Conversion Rate)

Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi

Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani

masa pengobatan tahap awal.

Program pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena

berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui

apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.

Rumus:

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg

hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif x 100% Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi
Bakteriologis yg

diobati

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara

mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang

mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya

yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan tahap awal (2 bulan/ 3

bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.

Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai

hasil tes HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB)

Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan

tes HIV (sebelum dan selama pengobatan TB)

x 100%

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Baketeriologis

yang hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Baketeriologis

yang diobati

x 100%
129

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

128

menyajikan

diantara

bentuk

ini

100%

menunjukkan

daerah

Terkonfirmasi

menjalani

karena

mengetahui

100% cara

yang

diantaranya

bulan/ 3

dapat

129

9) Angka Kesembuhan (Cure Rate)

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB

Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang sembuh setelah selesai masa pengobatan,

diantara pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat.


Untuk kepentingan khusus (survailans), angka kesembuhan dihitung juga untuk

pasien Paru Terkonfirmasi Bakteriologis pengobatan ulang (kambuh dan dengan

riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan:

. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat

terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat.

. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat

baris kedua (second-line drugs).

. Menunjukkan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi

pada pasien dengan HIV.

. Untuk perhitungan, digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti

sebutan numerator dan denominator dengan jumlah pasien TB paru pengobatan

ulang.

Rumus:

Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis

yang sembuh x 100% Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis

yang diobati

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara

mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang mulai

berobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang

sembuh setelah selesai pengobatan.

Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan

TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan

digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.

Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap

perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap,


meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow-up), dan tidak dievaluasi.

• Angka pasien putus berobat (lost to follow-up) tidak boleh lebih dari 10%, karena

akan menghasilkan proporsi kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan

datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan dari pengendalian

Tuberkulosis.

129

9) Angka Kesembuhan (Cure Rate)

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB

Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang sembuh setelah selesai masa pengobatan,

diantara pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat.

Untuk kepentingan khusus (survailans), angka kesembuhan dihitung juga untuk

pasien Paru Terkonfirmasi Bakteriologis pengobatan ulang (kambuh dan dengan

riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan:

. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat

terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat.

. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat

baris kedua (second-line drugs).

. Menunjukkan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi

pada pasien dengan HIV.

. Untuk perhitungan, digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti

sebutan numerator dan denominator dengan jumlah pasien TB paru pengobatan

ulang.

Rumus:

Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis

yang sembuh x 100% Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis


yang diobati

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara

mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang mulai

berobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang

sembuh setelah selesai pengobatan.

Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan

TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan

digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.

Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap

perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap,

meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow-up), dan tidak dievaluasi.

• Angka pasien putus berobat (lost to follow-up) tidak boleh lebih dari 10%, karena

akan menghasilkan proporsi kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan

datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan dari pengendalian

Tuberkulosis.

Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi

Bakteriologis yang sembuh

Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi

Bakteriologis yang diobati

x 100%
130

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

130

• Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena peningkatan

kualitas pengendalian TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang

antara 10-20 % dalam beberapa tahun.

Sedangkan angka gagal untuk pasien baru TB paru BTA positif tidak boleh lebih

dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh

lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.

10) Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR)

Angka Keberhasilan Pengobatan adalah angka yang menunjukkan prosentase

pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang menyelesaikan

pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien

baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat. Dengan demikian angka

ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan

lengkap.

Rumus:

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis

(sembuh + pengobatan lengkap) Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang x 100%

diobati

11) Angka Keberhasilan Pengobatan TB Anak

Adalah persentase TB Anak yang dinyatakan sembuh dan Pengobatan Lengkap

(PL) diantara seluruh pasien TB Anak yang diobati.

Rumus:
Jumlah pasien TB Anak yg sembuh dan Pengobatan

Lengkap x 100%

Jumlah pasien TB Anak yg diobati

Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program

Nasional. Angka indikator ini diharapkan sebesar 85%. Apabila kurang dari

angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan

kasus TB Anak di suatu wilayah.

12) Proporsi Anak yang Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang

Mendapatkan PP INH

Adalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara

seluruh anak yang mendapatkan PP INH.

130

• Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena peningkatan

kualitas pengendalian TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang

antara 10-20 % dalam beberapa tahun.

Sedangkan angka gagal untuk pasien baru TB paru BTA positif tidak boleh lebih

dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh

lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.

10) Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR)

Angka Keberhasilan Pengobatan adalah angka yang menunjukkan prosentase

pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang menyelesaikan

pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien

baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat. Dengan demikian angka

ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan

lengkap.
Rumus:

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis

(sembuh + pengobatan lengkap) x 100% Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang

diobati

11) Angka Keberhasilan Pengobatan TB Anak

Adalah persentase TB Anak yang dinyatakan sembuh dan Pengobatan Lengkap

(PL) diantara seluruh pasien TB Anak yang diobati.

Rumus:

Jumlah pasien TB Anak yg sembuh dan Pengobatan

Lengkap x 100%

Jumlah pasien TB Anak yg diobati

Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program

Nasional. Angka indikator ini diharapkan sebesar 85%. Apabila kurang dari

angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan

kasus TB Anak di suatu wilayah.

12) Proporsi Anak yang Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang

Mendapatkan PP INH

Adalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara

seluruh anak yang mendapatkan PP INH.

130

• Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena peningkatan

kualitas pengendalian TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang

antara 10-20 % dalam beberapa tahun.

Sedangkan angka gagal untuk pasien baru TB paru BTA positif tidak boleh lebih

dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh
lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.

10) Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR)

Angka Keberhasilan Pengobatan adalah angka yang menunjukkan prosentase

pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang menyelesaikan

pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien

baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat. Dengan demikian angka

ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan

lengkap.

Rumus:

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis

(sembuh + pengobatan lengkap) x 100% Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang

diobati

11) Angka Keberhasilan Pengobatan TB Anak

Adalah persentase TB Anak yang dinyatakan sembuh dan Pengobatan Lengkap

(PL) diantara seluruh pasien TB Anak yang diobati.

Rumus:

Jumlah pasien TB Anak yg sembuh dan Pengobatan

Lengkap x 100%

Jumlah pasien TB Anak yg diobati

Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program

Nasional. Angka indikator ini diharapkan sebesar 85%. Apabila kurang dari

angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan

kasus TB Anak di suatu wilayah.

12) Proporsi Anak yang Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang

Mendapatkan PP INH
Adalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara

seluruh anak yang mendapatkan PP INH.

Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Biologis

(sembuh + pengobatan lengkap)

Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Biologis

yang diobati

x 100%

Jumlah pasien TB Anak yang sembuh dan

Pengobatan Lengkap

Jumlah pasien TB Anak yang diobati

x 100%
131

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

131

Rumus:

Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan Jumlah Anak yang mendapatkan PP INH x 100%

Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB

dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.

Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang

diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.

13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK.

Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program

TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.

Rumus:

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

selama pengobatan TB x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART

Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART.

Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk

memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.

Rumus:

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima

pengobatan ARV (baru memulai atau melanjutkan


pengobatan ARV) x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)

Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis

Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh

laboratorium mikroskopis TB yang ada di seluruh wilayah.

Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/

BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.

Rumus:

Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang x 100% Jumlah seluruh lab mikroskopis TB

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.

131

Rumus:

Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan x 100% Jumlah Anak yang mendapatkan PP INH

Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB

dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.

Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang

diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.

13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK.

Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program

TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.

Rumus:

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

selama pengobatan TB x 100%


Jumlah pasien TB dengan HIV positif

14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART

Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART.

Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk

memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.

Rumus:

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima

pengobatan ARV (baru memulai atau melanjutkan

pengobatan ARV) x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)

Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis

Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh

laboratorium mikroskopis TB yang ada di seluruh wilayah.

Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/

BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.

Rumus:

Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang x 100% Jumlah seluruh lab mikroskopis TB

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%. 131

Rumus:

Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan x 100% Jumlah Anak yang mendapatkan PP INH

Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB

dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.

Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang

diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.


13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK.

Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program

TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.

Rumus:

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

selama pengobatan TB x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART

Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART.

Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk

memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.

Rumus:

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima

pengobatan ARV (baru memulai atau melanjutkan

pengobatan ARV) x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)

Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis

Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh

laboratorium mikroskopis TB yang ada di seluruh wilayah.

Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/

BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.

Rumus:

Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang x 100% Jumlah seluruh lab mikroskopis TB
Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%. 131

Rumus:

Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan x 100% Jumlah Anak yang mendapatkan PP INH

Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB

dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.

Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang

diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.

13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK.

Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program

TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.

Rumus:

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

selama pengobatan TB x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART

Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART.

Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk

memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.

Rumus:

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima

pengobatan ARV (baru memulai atau melanjutkan

pengobatan ARV) x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)


Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis

Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh

laboratorium mikroskopis TB yang ada di seluruh wilayah.

Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/

BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.

Rumus:

Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang x 100% Jumlah seluruh lab mikroskopis TB

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.

131

Rumus:

Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan x 100% Jumlah Anak yang mendapatkan PP INH

Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB

dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.

Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang

diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.

13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK.

Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program

TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.

Rumus:

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

selama pengobatan TB x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART

Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART.
Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk

memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.

Rumus:

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima

pengobatan ARV (baru memulai atau melanjutkan

pengobatan ARV) x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)

Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis

Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh

laboratorium mikroskopis TB yang ada di seluruh wilayah.

Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/

BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.

Rumus:

Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang x 100% Jumlah seluruh lab mikroskopis TB

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.

Jumlah anak yang menyelesaikan

PP INH selama 6 bulan

Jumlah anak yang mendapatkan PP INH

x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang

menerima PPK selama pengobatan TB

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang


menerima pengobatan ARV (baru memulai

atau melanjutkan pengobatan ARV)

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

x 100%

Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti

PME Uji Silang

Jumlah seluruh lab mikroskopis TB

x 100%
133

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

133

Selain dari kinerja pembacaan mikroskopis, kualitas laboratorium juga dilihat

dengan menilai 6 unsur kualitas sediaan mikroskopis, yaitu: kualitas dahak, ukuran,

ketebalan, kerataan, pewarnaan, dan kebersihan.

Interpretasi dari suatu laboratorium berdasarkan hasil uji silang dinyatakan terdapat

kesalahan bila:

. Terdapat PPT atau NPT

. Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil dibanding

periode sebelumnya atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua

fasyankes di kabupaten/kota tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi

beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.

. Bila terdapat 3 NPR.

Kinerja setiap laboratorium harus selalu dimonitor secara rutin. Walaupun

laboratorium sudah memiliki kinerja pembacaan mikroskopis yang baik, perhatian

khusus perlu diberikan apabila ditemukan kondisi seperti berikut:

. Terdapat tren peningkatan kesalahan kecil dibanding periode sebelumnya,

. Memiliki kesalahan lebih tinggi dari rata-rata semua fasyankes di

kabupaten/kota tersebut,

. Memiliki kesalahan kecil beberapa kali dalam jumlah yang signifikan

Setiap fasyankes diharapkan dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren

hasil interpretasi setiap triwulan dan meningkatkan kualitas pemeriksaan

laboratorium.
17) Jumlah Laboratorium dengan Frekuensi Partisipasi 4 kali per Tahun

Adalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per tahun

dibandingkan dengan jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang.

Rumus:

Jumlah lab mikroskopis TB yang mengikuti PME Uji Silang

4 kali per tahun Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TB yang x 100%

mengikuti PME Uji Silang

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.

Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan keteraturan

laboratorium dalam mengikuti uji silang.

18) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus

TB RR/ MDR yang ada

Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding jumlah

perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada di wilayah tersebut. 133

Selain dari kinerja pembacaan mikroskopis, kualitas laboratorium juga dilihat

dengan menilai 6 unsur kualitas sediaan mikroskopis, yaitu: kualitas dahak, ukuran,

ketebalan, kerataan, pewarnaan, dan kebersihan.

Interpretasi dari suatu laboratorium berdasarkan hasil uji silang dinyatakan terdapat

kesalahan bila:

. Terdapat PPT atau NPT

. Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil dibanding

periode sebelumnya atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua

fasyankes di kabupaten/kota tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi

beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.

. Bila terdapat 3 NPR.


Kinerja setiap laboratorium harus selalu dimonitor secara rutin. Walaupun

laboratorium sudah memiliki kinerja pembacaan mikroskopis yang baik, perhatian

khusus perlu diberikan apabila ditemukan kondisi seperti berikut:

. Terdapat tren peningkatan kesalahan kecil dibanding periode sebelumnya,

. Memiliki kesalahan lebih tinggi dari rata-rata semua fasyankes di

kabupaten/kota tersebut,

. Memiliki kesalahan kecil beberapa kali dalam jumlah yang signifikan

Setiap fasyankes diharapkan dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren

hasil interpretasi setiap triwulan dan meningkatkan kualitas pemeriksaan

laboratorium.

17) Jumlah Laboratorium dengan Frekuensi Partisipasi 4 kali per Tahun

Adalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per tahun

dibandingkan dengan jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang.

Rumus:

Jumlah lab mikroskopis TB yang mengikuti PME Uji Silang

4 kali per tahun x 100% Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TB yang

mengikuti PME Uji Silang

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.

Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan keteraturan

laboratorium dalam mengikuti uji silang.

18) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus

TB RR/ MDR yang ada

Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding jumlah

perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada di wilayah tersebut.

Jumlah lab mikroskopis TB yang mengikuti


PME Uji Silang 4 kali per tahun

Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TB

yang mengikuti PME Uji SIlang

x 100%
134

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

134

Rumus:

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dalam 1

tahun Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah tersebut x 100%

dalam 1 tahun

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi bersumber pada TB.06 MDR.

Sedang jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR dihitung setiap tahun berdasarkan

perkiraan kasus TB RR/MDR diantara kasus TB Baru maupun kasus TB

Pengobatan ulang.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% setiap tahunnya.

Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur upaya penemuan kasus TB

RR/MDR.

19) Proporsi pasien terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi

pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua

Adalah persentase kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan

pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua dibanding keseluruhan jumlah kasus

terkonfirmasi TB RR/MDR yang ditemukan.

Rumus:

Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan pemeriksaan uji

kepekaan OAT lini kedua x 100%

Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan
OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya.

Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur

diagnosis yang telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB

XDR/Pra XDR.

20) Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR

ditemukan atau enrollment rate

Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang diobati dibandingkan dengan

pasien TB RR/MDR yang ditemukan dalam satu triwulan.

Rumus:

Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati x 100% Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

134

Rumus:

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dalam 1

tahun x 100% Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah tersebut

dalam 1 tahun

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi bersumber pada TB.06 MDR.

Sedang jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR dihitung setiap tahun berdasarkan

perkiraan kasus TB RR/MDR diantara kasus TB Baru maupun kasus TB

Pengobatan ulang.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% setiap tahunnya.

Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur upaya penemuan kasus TB

RR/MDR.

19) Proporsi pasien terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi

pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua


Adalah persentase kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan

pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua dibanding keseluruhan jumlah kasus

terkonfirmasi TB RR/MDR yang ditemukan.

Rumus:

Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan pemeriksaan uji

kepekaan OAT lini kedua x 100%

Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan

OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya.

Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur

diagnosis yang telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB

XDR/Pra XDR.

20) Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR

ditemukan atau enrollment rate

Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang diobati dibandingkan dengan

pasien TB RR/MDR yang ditemukan dalam satu triwulan.

Rumus:

Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati x 100% Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

134

Rumus:

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dalam 1

tahun x 100% Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah tersebut

dalam 1 tahun

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi bersumber pada TB.06 MDR.


Sedang jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR dihitung setiap tahun berdasarkan

perkiraan kasus TB RR/MDR diantara kasus TB Baru maupun kasus TB

Pengobatan ulang.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% setiap tahunnya.

Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur upaya penemuan kasus TB

RR/MDR.

19) Proporsi pasien terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi

pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua

Adalah persentase kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan

pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua dibanding keseluruhan jumlah kasus

terkonfirmasi TB RR/MDR yang ditemukan.

Rumus:

Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan pemeriksaan uji

kepekaan OAT lini kedua x 100%

Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan

OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya.

Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur

diagnosis yang telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB

XDR/Pra XDR.

20) Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR

ditemukan atau enrollment rate

Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang diobati dibandingkan dengan

pasien TB RR/MDR yang ditemukan dalam satu triwulan.


Rumus:

Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati x 100% Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi

dalam 1 tahun

Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah

tersebut dalam 1 tahun

x 100%

Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan

pemeriksa uji kepekaan OAT lini kedua

Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

x 100%

Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati

Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan x 100%


135

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

134

MDR.

berdasarkan

TB

TB

konfirmasi

dilakukan

kasus

kepekaan

alur

TB

MDR

134

MDR.

berdasarkan

TB

TB

konfirmasi

dilakukan

kasus

kepekaan

alur
TB

MDR

135

Jumlah pasien TB RR/MDR yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada

TB.06 MDR dan TB.01 MDR.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100%.

Indikator ini dihitung setiap triwulan sebagai alat ukur keberhasilan upaya

memastikan semua pasien TB RR/MDR yang ditemukan diobati sehingga rantai

penularan bisa diputus. Pencapaian target ini sangat tergantung pada efektifitas

kegiatan KIE yang dilakukan di fasyankes maupun masyarakat.

21) Angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR atau Treatment Success Rate

Adalah Keberhasilan Pengobatan TB RR/MDR adalah angka yang menunjukkan

persentase pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan pengobatan (baik yang

sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien TB RR/MDR yang

diobati. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka

kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.

Rumus:

Jumlah pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan pengobatan

(sembuh + pengobatan lengkap) x 100%

Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati

Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%.

3. Supervisi Program Pengendalian Tuberkulosis

Supervisi TB bertujuan meningkatkan kinerja petugas, melalui suatu proses yang

sistematis untuk meningkatkan pengetahuan petugas, meningkatkan ketrampilan

petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas.
Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah:

. Observasi

. Diskusi

. Bantuan teknis

. Bersama-sama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan

. Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama, dan

. Memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran

perbaikan.

Supervisi merupakan kegiatan monitoring langsung dan kegiatan pembinaan untuk

mempertahankan kompetensi standar melalui on the job training. Supervisi juga dapat

dimanfaatkan sebagai evaluasi pasca pelatihan untuk bahan masukan perbaikan

pelatihan yang akan datang.

135

Jumlah pasien TB RR/MDR yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada

TB.06 MDR dan TB.01 MDR.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100%.

Indikator ini dihitung setiap triwulan sebagai alat ukur keberhasilan upaya

memastikan semua pasien TB RR/MDR yang ditemukan diobati sehingga rantai

penularan bisa diputus. Pencapaian target ini sangat tergantung pada efektifitas

kegiatan KIE yang dilakukan di fasyankes maupun masyarakat.

21) Angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR atau Treatment Success Rate

Adalah Keberhasilan Pengobatan TB RR/MDR adalah angka yang menunjukkan

persentase pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan pengobatan (baik yang

sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien TB RR/MDR yang

diobati. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka


kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.

Rumus:

Jumlah pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan pengobatan

(sembuh + pengobatan lengkap) x 100%

Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati

Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%.

3. Supervisi Program Pengendalian Tuberkulosis

Supervisi TB bertujuan meningkatkan kinerja petugas, melalui suatu proses yang

sistematis untuk meningkatkan pengetahuan petugas, meningkatkan ketrampilan

petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas.

Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah:

. Observasi

. Diskusi

. Bantuan teknis

. Bersama-sama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan

. Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama, dan

. Memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran

perbaikan.

Supervisi merupakan kegiatan monitoring langsung dan kegiatan pembinaan untuk

mempertahankan kompetensi standar melalui on the job training. Supervisi juga dapat

dimanfaatkan sebagai evaluasi pasca pelatihan untuk bahan masukan perbaikan

pelatihan yang akan datang.

Jumlah pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan

pengobatan (sembuh+pengobatan lengkap)

Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati


x 100%
136

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

136

Supervisi harus dilaksanakan di semua tingkat dan disemua unit pelaksana, karena

dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah

dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang kinerja harus selalu

diberikan untuk memberikan dorongan semangat kerja.

Pelaksanaan supervisi harus direncanakan secara seksama. Sebelum supervisi

dilakukan, supervisor haruslah mengkaji laporan atau temuan-temuan supervisi

sebelumnya, misalnya tentang: temuan yang belum selesai ditindak lanjuti, catatan

tentang tindakan perbaikan yang telah maupun yang perlu ditindaklanjuti.

Tahapan kegiatan supervisi meliputi: perencanaan, Persiapan, Pelaksanaan, Pemecahan

Masalah, dan penyusunan Laporan serta memberikan umpan balik secara tertulis.

a. Perencanaan Supervisi

Sebelum melaksanakan supervisi efektif perlu dilakukan perencanaan dengan baik,

sehingga supervisi dapat mencapai tujuannya. Hal-hal yang penting diperhatikan

didalam perencanaan supervisi adalah:

1) Supervisi harus dilaksanakan secara rutin dan teratur pada semua tingkat.

• Supervisi ke faskes (misalnya: Puskesmas, RS, BBKPM/BKPM, termasuk

laboratorium) harus dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.

• Supervisi ke kabupaten/kota dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan

sekali, dan

• Supervisi ke provinsi dilaksanakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.

2) Pada keadaan tertentu frekuensi supervisi perlu ditingkatkan, yaitu:


• Pelatihan baru selesai dilaksanakan.

• Pada tahap awal pelaksanaan program.

• Bila kinerja dari suatu faskes kurang baik.

b. Persiapan supervisi

Persiapan perlu dilakukan agar pelaksanaan supervisi mencapai tujuannya secara

efektif dan efisien. Persiapan supervisi meliputi:

1) Penyusunan jadual kegiatan.

2) Pengumpulan informasi pendukung.

3) Pemberitahuan atau perjanjian ke faskes/dinkes/instansi yang akan dikunjungi.

4) Penyiapan atau pengembangan daftar tilik supervisi.

5) Menyusun kerangka laporan.

c. Pelaksanaan supervisi.

Dalam pelaksanaan supervisi hal-hal yang perlu diperhatikan, terutama:

1) Kepribadian supervisor:

• Mempunyai kepribadian yang menyenangkan dan bersahabat.


137

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

137

• Mampu membina hubungan baik dengan petugas di faskes/dinkes/instansi yang

dikunjungi.

• Menjadi pendengar yang baik, penuh perhatian, empati, tanggap terhadap

masalah yang disampaikan, dan bersama-sama petugas mencari pemecahan.

• Melakukan pendekatan fasilitatif, partisipatif dan tidak instruktif.

2) Kegiatan penting selama supervisi di faskes

• Melakukan review catatan dan buku register

• Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas

• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja

• Melakukan wawancara dengan pasien TB dan PMO, bila memungkinkan

• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.

• Mengecek penerapan metode LQAS

• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif.

• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas diinstitusi tersebut.

• Memberikan umpan balik saran yang jelas, realistis, sederhana dan dapat

dilaksanakan

3) Kegiatan penting selama supervisi di Kabupaten/Kota.

• Melakukan review dokumen, data program dan catatan-catatan

• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.

• Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas

• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja


• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif,

• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas di institusi tersebut.

• Memberikan laporan termasuk umpan balik saran yang jelas, realistis,

sederhana dan dapat dilaksanakan

4) Kegiatan penting selama supervisi di Propinsi.

• Melakukan review dokumen, data dan catatan-catatan

• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.

• Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas

• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja

• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif,

• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas di institusi tersebut.

• Memberikan laporan termasuk umpan balik saran yang jelas, realistis,

sederhana dan dapat dilaksanakan

d. Pemecahan Masalah (Problem-solving) dalam supervisi

Beberapa langkah praktis dalam melakukan pemecahan masalah kinerja adalah:


139

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

139

3. Mengumpulkan data untuk mendukung perumusan kebijakan untuk intervensi tertentu.

Agenda Prioritas Riset Operasional Penanggulangan TB di Indonesia.

Dalam menetapkan prioritas riset operasional, perlu menekankan pada pemahaman bahwa

riset operasional diharapkan membuahkan suatu solusi yang memperbaiki program

penanggulangan TB. Ada beberapa pertimbangan lain yang perlu dipikirkan adalah dalam

menetapkan prioritas riset operasional yaitu :

1. Daya ungkit: Hasil penelitian diharapkan dapat mengubah kebijakan dan implementasi

kegiatan berdampak dalam pencapaian tujuan program Pengendalian TB;

2. Relevan: Intervensi yang sedang diuji coba dan hasil yang diharapkan perlu relevan

dengan objektif program Pengendalian TB;

3. Terandalkan: Hasil riset operasional menghasilkan kesimpulan yang kuat untuk

menginformasikan pada pengambil keputusan;

4. Mengurangi kesenjangan: Hasil penelitian akan mengisi kesenjangan informasi atau

menambahkan fakta baru;

5. Efisiensi: Diharapkan dapat memberikan dampak yang besar dengan biaya yang tidak

terlalu besar;

6. Prioritas nasional: Topik atau tema riset sudah diidentifikasi sebagai prioritas nasional

baik oleh pemerintah atau kelompok ahli yang berwenang.

Riset operasional TB perlu disesuaikan dan diprioritaskan sesuai kondisi epidemi TB dan

Strategi Program Pengendalian TB di Indonesia, maka dibutuhkan riset operasional untuk:

1. Memperbaiki kualitas program:


a. Peningkatan aksesibilitas pencegahan, diagnosis, dan pengobatan TB dan TB-HIV

b. Terbentuk kerjasama pihak pelayanan pemerintah dan swasta dalam penanggulangan

TB.

c. Terbentuk kerjasama antara penanggungjawab program TB, dengan program

kesehatan lain yang terkait, seperti Penangulangan HIV, Penanggulangan Penyakit

Tidak Menular-Diabetes Melitus.

d. Mengoptimalkan akses dan kepatuhan pengobatan pengobatan TB,

e. Peningkatan akses pengobatan bagi orang dengan TB resistan obat.

2. Peningkatan peran-serta masyarakat umum & khusus (LSM, Kaum Bisnis, dll).

a. Mengembangkan metode yang menggerakan peran-serta masyarakat termasuk

komponen pendanaan yang mampu meningkatkan efektivitas program.

b. Mengembangkan perilaku yang mampu menekan penularan TB.

3. Mengubah perilaku masyarakat dan penyedia layanan

a. Mengembangkan metode perubahan perilaku masyarakat.

b. Mengembangkan metode yang mengubah perilaku penyedia layanan.

4. Upaya intensifikasi penemuan kasus TB yang dilihat dari sisi penyedia layanan maupun

masyarakat rentan.

a. Meningkatkan akses layanan pengobatan pada populasi rentan dan termarjinalkan.

b. Memperkuatkan integrasi layanan TB dan HIV.


140

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

140

c. Upaya mencegah penularan TB di fasilitas kesehatan, keluarga, dan masyarakat.

Agenda riset operasional TB di Indonesia harus diselaraskan dengan agenda riset

operasional global, terutama kesesuaiannya dengan kondisi dan kebutuhan setempat.

Agenda riset operasional perlu diselaraskan juga dengan dinamika perkembangan program

TB serta ketersediaan sumber daya (pendanaan).


141

BAB XIV

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

137

BAB XIV

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

A. Konsep Perencanaan dan Penganggaran.

Perencanaan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sistematis untuk menyusun

rencana berdasarkan kajian rinci tentang keadaan masa kini dan perkiraan keadaan yang

akan muncul dimasa mendatang berdasarkan pada fakta dan bukti. Pada dasarnya rencana

adalah alat manajemen yang berfungsi membantu organisasi atau program agar dapat

berkinerja lebih baik dan mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien. Tujuan dari

perencanaan adalah tersusunnya rencana program, tetapi proses ini tidak berhenti disini

saja karena setiap pelaksanaan program tersebut harus dipantau agar dapat dilakukan

koreksi dan dilakukan perencanaan ulang untuk perbaikan program.

Perencanaan yang baik adalah:

1. Berbasis data, informasi atau fakta yang akurat tentang situasi epidemiologis dan

program

2. Berjangka menengah atau panjang, biasanya 5 tahun.

3. Mempunyai jangkauan ke depan yang memberikan tantangan dalam pelaksanaannya

4. Bersifat umum, menyeluruh dan biasanya dijabarkan lebih lanjut dalam rencana kerja

atau rencana operasional yang lebih rinci.

5. Luwes, dinamis, dan tidak statis, serta tanggap terhadap berbagai perubahan penting

yang terjadi di llingkungan tempat dan waktu berlakunya rencana.


Anggaran merupakan hasil dari proses perencanaan, merupakan suatu rencana jangka

pendek yang disusun berdasarkan dari rencana kegiatan jangka panjang yang telah

ditetapkan dalam proses penyusunan program untuk mencapai tujuan atau kondisi tertentu

yang diinginkan dengan berbagai sumber daya.

Prinsip perencanaan dan penganggaran pengendalian TB harus memperhatikan hal-hal

berikut:

1. Kegiatan yang direncanakan sesuai dengan tugas pokok, dan fungsi, serta kewenangan.

2. Perencanaan yang dilakukan harus efektif, efisien, dan fokus pada pencapaian target

indikator kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian

Kesehatan, Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN)/ Rencana Program

Jangka Menengah Daerah (RPJMD), strategi nasional pengendalian TB, dan rencana

aksi di daerah

3. Perencanaan dilakukan berdasarkan skala prioritas serta perencanaan terpadu/sinergi

untuk menghindari duplikasi anggaran

BAB XIV

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
143

BAB XIV

PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

139

1. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)

Alokasi pembiayaan dari APBN digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan

program TB nasional, namun dalam upaya meningkatkan kualitas program di daerah,

Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB melimpahkan kewenangan

untuk mengelola dana APBN dengan melibatkan pemerintah daerah dengan mekanisme

sebagai berikut:

a. Dana dekosentrasi (dekon) yaitu dana dari pemerintah pusat (APBN) yang diberikan

kepada pemerintah daerah sebagai instansi vertikal yang digunakan sesuai dengan

tugas pokok dan fungsi. Dana dekonsentrasi untuk program pengendalian TB

digunakan untuk memperkuat jejaring kemitraan di daerah melalui lintas program dan

lintas sektor, meningkatkan monitoring dan evaluasi program pengendalian TB di

kabupaten/kota melalui pembinaan teknis, meningkatkan kompetensi petugas TB

melalui pelatihan tatalaksana program TB.

b. Dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan adalah dana perimbangan yang

ditujukan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Kesehatan di Daerah. Dana ini diserahkan

kepada daerah melalui pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyediakan sarana

dan prasarana pelayanan kesehatan seperti alat dan bahan penunjang di laboratorium

dalam rangka diagnosis TB dan perbaikan infrastruktur di kabupaten/kota termasuk

gudang obat,

c. Bantuan operasional kesehatan (BOK) diserahkan kepada fasilitas pelayanan


kesehatan untuk membiayai operasional petugas, dan dapat digunakan sebagai

transport petugas fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelacakan kasus yang

mangkir TB, pencarian kontak TB

2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Alokasi pembiayaan dari APBD digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan

program TB di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, berdasarkan tugas, pokok dan

fungsi dari pemerintah daerah.

3. Dana Hibah

Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB merupakan salah satu program

yang mendapat kepercayaan menerima dana hibah dari luar negeri. Saat ini berbagai

keberhasilan telah banyak dicapai oleh program TB, namun sebagian besar pembiayaan

masih tergantung kepada donor (PHLN).

Hibah dari Global Fund merupakan bagian terpenting dari keseluruhan dana untuk

program TB, permasalahan yang terkait dengan pendanaan donor (restriksi/suspend)

akan berdampak secara langsung terhadap kinerja program. Kondisi saat ini hampir 61%

dana operasional pengendalian TB terutama di provinsi dan kabupaten/kota dibiayai oleh

Global Fund, walaupun sudah ada kebijakan proporsi pemerintah (APBN) dari 23% pada
147

BAB XIV

PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

143

d. Menyediakan dan meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan pengendalian TB di

fasilitas pelayanan kesehatan

e. Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis kegiatan pengendalian TB

f. Pendanaan kegiatan operasional pengendalian TB yang terkait dengan tugas pokok

dan fungsi

g. Pemantapan surveilans epidemiologi TB di tingkat kabupaten/kota

Pembagian peran dan wewenang dalam program pengendalian TB tidak hanya yang

bersifat vertikal namun juga horisontal dimana keterlibatan dari lintas program, lintas sektor

dan unit pelaksana teknis dari Direktorat Jenderal PP&PL seperti Kantor Kesehatan

Pelabuhan (KKP) dan B/BTKL sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai