iii
SIMPOSIUM VII
PENANGANAN OPERATIF INKONTINENSIA URINE TIPE
STRES
Pendahuluan
Berdasarkan kesepakatan ICS (International
Continence Society) pada tahun 1996, inkontinensia urine
adalah ketidakmampuan mengendalikan keluarnya urine, yang
terlihat secara langsung dan menimbulkan dampak sosial dan
hygiene bagi penderitanya (1). Berdasarkan definisi tersebut,
maka diagnosis inkontinensia urine harus ditegakan di klinik
setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter atau tenaga
kesehatan yang lain. Angka kejadian inkontinensia urine
dilaporkan sangat rendah, karena sebagian besar kasus
inkontinensia urine ini tersembunyi pada populasi umum. Di
Negara yang pelayanan kesehatan sudah baik saja, hanya 20
persen perempuan dengan keluhan berkemih yang tidak
terkendali yang datang mencari pertolongan medis, sementara
sebagian besar dari mereka menganggap keluhan ini sudah
wajar akibat usia yang makin tua, karena melahirkan anak
beberapa kali, atau karena pekerjaan berat. Bahkan ada yang
tidak mencari pertolongan ke tenaga kesehatan, karena
menganggap keluhan inkontinensia urine ini tidak mungkin
diobati atau tidak mungkin disembuhkan (2).
Pada tahun 2002, ICS menyampaikan definisi yang lain,
Inkontinensia urine adalah keluarnya urine yang tidak dapat
dikendalikan (Haylen et al, 2002). Setiap orang yang tidak
mampu menahan atau mengendalikan keluarnya urine
digolongkan sebagai inkontinensia urine. Dengan definisi ini
251
prevalensi penderita perempuan penderita inkontinensia urine
bisa diketahui dengan penelitian menggunakan kuisioner.
Penelitian yang berbasis populasi diharapkan dapat
menggambarkan prevalensi kasus inkontinensia urine dengan
lebih baik (1,2).
Inkontinensia urine digolongkan menjadi beberapa jenis
berdasarkan mekanisme pathogenesis, keluhan, dan
penanganannya. Pembagian yang sering ditulis oleh para ahli
adalah inkontinensia urine tipe stress, inkontinensia urine tipe
urge dan inkontinensia urine campuran atau mixed.
Inkontinensia urine tipe stress adalah keluarnya urine yang
tidak terkendali karena peningkatan tekanan intra abdomen
seperti batuk, bersin, atau tertawa, tanpa adanya kontraksi dari
otot detrusor. Inkontinensia urine tipe urge adalah keluarnya
urine yang tak dapat dikendalikan oleh karena timbulnya
keinginan berkemih yang mendadak, biasanya karena
kapasitas kandung kemih yang kecil dan hiperaktif dari otot
detrusornya. Inkontinensia tipe mixed atau campuran adalah
keluhan keluarnya urine yang tak terkendali akibat hiperaktif
detrusor dan juga provokasi oleh tekanan intraabdomen. Selain
ketiga jenis ini, ada juga beberapa jenis inkontinensia yang lain,
seperti inkontinensia kontinyu, transient, fungsional, dan
inkontinensia overflow (1,3,4).
Inkontinensia urine memang tidak berdampak langsung
pada ancaman keselamatan nyawa penderitanya, tapi sangat
mengganggu aktivitas keseharian, kontak sosial, ketidak
nyamanan yang menetap, sehingga sangat mengganggu
kualitias hidup penderitanya. Inkontinensia tipe stress adalah
jenis yang paling sering terjadi pada perempuan, yaitu sekitar
40-50% dari seluruh kejadian inkontinensia urine. Penanganan
secara konservatif dengan latihan otot dasar panggul sudah
dibuktikan memberikan hasil yang memuaskan, jika penderita
didiagnosis pada derajat yang masih ringan. Sebagian besar
252
penderita inkontinensia urine datang menemui tenaga medis
pada keadaan atau derajat yang sudah berat, sehingga
penanganan konservatif akan lebih sulit. Pada kondisi inilah
dibutuhkan kemampuan tenaga medis yang kompeten untuk
melakukan penanganan operatif pada perempuan dengan
inkontinensia urine tipe stress (2,4).
Inkontinensia urine tipe stress
Inkontinensia urine tipe stress adalah keluarnya urine
yang tidak dapat dikendalikan, yang diprovokasi oleh
peningkatan tekanan intra abdomen seperti batuk, bersin,
tertawa, atau mengangkat beban berat. Pada inkontinensia
urine tipe stress ini kapasitas kandung kemihnya dalam batas
normal dan volume residual urine juga normal. Berdasarkan
pathogenesis dan penyebabnya, Inkontinensia urine tipe stress
terbagi menjadi 2, yaitu (5):
1. Stress Urinary Incontinence (SUI) jenis hipermobilitas.
Inkontinensia urine ini disebabkan oleh terjadinya
kelemahan pada jaringan penyangga uretra dan blader
neck, sehingga saat terjadi peningkatan tekanan intra
abdomen terjadi pelebaran sudut uretrovesika, yang
mengakibatkan rendahnya tekanan penutupan uretra,
dan urine mudah keluar melalui uretra. Jaringan
penyangga urtera terdiri dari otot levator ani, fascia
puboservikalis, arkus tendineus fascia pelvik (ATFP),
dan ligamentum pubouretralis. Kelemahan jaringan ini
umumnya terjadi karena kehamilan dan persalinan,
pekerjaan dan aktivitas yang menyebabkan
peningkatan tekanan intra abdomen secara terus
menerus, obesitas, umur tua dan menopause. Faktor
risiko SUI tipe hipermobilitas ini sama dengan disfungsi
dasar panggul yang lain, seperti prolaps organ panggul.
Pada pemeriksaan fisik SUI tipe hipermobilitas,
ditemukan terjadinya penurunan blader neck, yang
diketahui dengan pemeriksaan Q-tip tes, Boney tes,
253
atau dengan pemeriksaan ultrasonografi blader neck
secara translabial.
2. Stress Urinary Incontinence (SUI) jenis intrinsic
sphincteric deficiency (ISD). Pada SUI jenis ISD ini,
keluarnya urine yang tidak terkendali disebabkan oleh
terjadinya kelemahan spingter uretra interna. Spingter
uretra interna dibentuk oleh mukosa dan submukosa
uretra, yang tersusun secara berlipat-lipat sehingga
kedua lapisan ini membuat muara uretra menjadi
waterseal. Lapisan mukosa dan submukosa yang
menjadi spingter interna uretra inilah yang membuat
tekanan penutupan uretra lebih tinggi dibandingkan
tekanan intra vesika, sehingga urine tidak keluar tanpa
kendali. Kerusakan atau kelemahan pada spingter
uretra interna akan menyebabkan terjadinya
inkontinensia urine yang dipicu oleh batuk, bersin,
tertawa, atau aktivitas lain yang meningkatkan tekanan
intra abdomen. Kerusakan atau kelemahan ini bisa
terjadi akibat penggunaan kateter menetap dalam waktu
yang lama, penggunaan instrumen urologi yang invasif,
kemoterapi, radioterapi, invasi keganasan, atau kondisi
menopause.
256
tindakan berupa pemasangan sling. Pada prosedur
pemasangan sling, terdiri dari sling uretra proksimal dan
miduretral sling. Operasi perbaikan SUI dengan menggunakan
miduretral sling, sampai sekarang merupakan gold standar
penanganan SUI, karena (4,5,7):
258
Gambar 1. Kelly plication (8)
261
Prosedur operasi sling ini pertamaklai dikerjakan oleh
Giordano pada tahun 1907 dengan menggunakan flap
muskulus gracilis. Pada tahun 1942, Aldridge mulai melakukan
sling fascia suburetra, yang modifikasinya dikerjakan sampai
sekarang. Beberapa material biologis pernah digunakan
sebagai sling pada prosedur ini, seperti fascia lata, fascia rektus
abdominis, flap muskulus gracilis, ligamentum rotundum, dan
lain-lain. Sedangkan material sintetik seperti, mersilene, nylon,
marlex, polyproypylene, dan lain-lain. Para ahli uroginekologi
akan menghindari menggunakan operasi sling sintetik ini pada
kasus paenderita dengan riwayat mendapat paparan radiasi,
riwayat erosi sling dan riwayat operasi pada uretra sebelumnya
(4,6,9)
.
Secara keseluruhan, keberhasilan operasi ini sekitar 82-
90% pada 5 tahun pertama, dan makin berkurang dengan
makin lamanya pengamatan. Pada kasus SUI karena ISD,
angka keberhasilan prosedur sling proksimal ini sekitar 80-90%,
lebih tinggi dibandingkan prosedur Burch dan sling miduretral.
Tetapi tindakan sling proksimal ini tidak menjadi pilihan utama
karena komplikasinya masih tinggi (6).
Mid-urethral Tension-Free Slings
Mid-urethral Tension-Free Slings juga dikenal sebagai
minimally invasive mid-urethral sling (MIMUS), TVT, dan trans-
obturator sling (TOT). Prosedur operatif ini mulai banyak
dilakukan di Eropa dan bahkan sampai Amerika, dan sekarang
menjadi pilihan pertama pada peananganan operasi SUI.
Operasi ini diindikasikan pada SUI karena hipermobilitas, SUI
karena ISD, inkontinensia urine campuran dengan dominan tipe
stress. Kontra indikasi pada kasus overaktivitas detrusor yang
berat, retensio urine, dan prolaps organ panggul derajat berat
(6)
.
262
Berbagai prosedur sling mid-uretra yang telah
dikerjakan pada SUI menunjukkan tingkat keberhasilan yang
cukup tinggi dalam pengamatan 7 tahun pertama. Tingkat
keberhasilan dilaporkan lebih tinggi pada SUI karena
hipermobilitas dibandingkan SUI karena ISD. Rerata
keberhasilan tindakan pada SUI karena hipermobilitas, lebih
dari 90% pada tahun pertama dan 85% pada pengamatan 5-7
tahun. Kegagalan umumnya terjadi pada penderita SUI dengan
penyakit paru obstruktif, asma, obesitas, dan penyakit penyerta
lainnya (6).
Operasi sling mid-uretral yang sekarang sering
dikerjakan adalah TVT dan TOT. Kedua operasi ini menjadi
pilihan pertama, walaupun tingkat keberhasilan yang hamper
sama dengan kolposuspensi Burch, karena tindakan ini lebih
cost effective, waktu operasi yang lebih singkat dan komplikasi
yang lebih ringan. Mekanisme kerja dari sling mid-uretral ini
kemungkinan adalah sebagai berikut (6):
o Membentuk formasi atau hammock di bawah uretra
yang memberika kompresi sehingga terjadi oklusi uretra
saat peningkatan tekanan intra abdomen
o Reformasi dari ligamentum pubouretralis pada mid-
uretra yang diikuti terjadinya sokongan pada uretra saat
terjadi tekanan tinggi pada uretra.
o Operasi ini mengakibatkan terjadinya inflamasi dan
perubahan metabolic yang menyebabkan peningkatan
kolagen dan penguatan pada ligamentum fascia
puboservikalis dalam menyangga uretra.
Perbedaan prosedur TVT dan TOT terletak pada area
memfiksasi dari sling yang digunakan. Pada tindakan TVT sling
menggantung mid-uretra kea rah pubis, sedangkan TOT
mengarahkan sling melewati foramen obturatorius.
263
Tension Free Vaginal Tape (TVT) dan TOT
TVT pertamakali dikerjakan di Swedia oleh Ulmsten,
dan akhirnya berkembang luas di seluruh Eropa bahkan sampai
ke Amerika menjadi tindakan perbaikan SUI yang paling aman
dan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Tindakan TVT ini
bisa melalui 2 route tergantung tempat mulai memasukan
trokard. Pertama adalah route suprapubik atau top-down
approach, yaitu memasukkan trokard dar suprapubik dan
diarahkan ke vagina di daerah mid-uretra. Sedangkan bottom-
up approach atau route vaginal, trokard dimasukkan mulai dari
vagina. Sebelum mulai tindakan TVT, dibutuhkan pengosongan
kandung kemih agar tidak terjadi cedera, karena sling akan
menggantung uretra kea rah suprapubik. Disarankan juga untuk
melakukan sistoskopi sebelum dan sesudah tindakan untuk
menghindari komplikasi cedera kandung kemih yang mungkin
terjadi (6,9).
Pada prosedur TOT, sling digantung melewati foramen
obturatorius, sehingga kemungkinan terjadinya cedera
kandung kemih hamper tidak ada. Pendekatan pada TOT juga
ada secara inside-out dan outside-in, yaitu arah mulai
pemasangan sling dari vagina (area mid-uretra) ke inguinal
melewati foramen obturatorius dan dari inguinal melalui
foramen obturatorius kea rah vagina. Komplikasi yang mungkin
terjadi pada tindakan ini adalah cedera arteri, vena atay nervus
obturator yang lewat di foramen tersebut. Efek samping pasca
operasi yang sering terjadi adalah adanya buttock pain pada
minggu pertama setelanh tindakan.
264
(6)
Gambar 3. Prosedur TVT dan TOT
265
(6)
Gambar 4. Polypropylene mesh untuk TOT
Masalah yang masih tersisa dari penanganan operatif
SUI di Indonesia adalah masalah harga sling sintetik (mesh)
yang relatif mahal dan belum tertanggung oleh asuransi
kesehatan. Kemungkinan karena inkontinensia urine dan
masalah dasar panggul yang lainnya belum menjadi prioritas
pelayanan kesehatan di Indonesia. Seperti kita ketahui,
inkontinensia urine dan disfungsi dasr panggul adalah masalah
gangguan kualitas hidup perempuan. Bagaimanapun juga
seorang dokter terutama dokter spesialis Obstetri dan
Ginekologi diwajibkan mengerti bahwa wanita tidak hanya
membutuhkan hidup yang panjang, tapi juga berkualitas.
Karena wanita ingin dimengerti.
DAFTAR PUSTAKA
1. Reynolds, W.S., Kaufman, M.R., Dmochoswki, R.D.
Etiology and Epidemiology of Urinary Incontinence. In:
Surgery for Urinary Incontinence. Elsevier Saunders,
2013. Halaman: 1-4.
2. Siddighi, S., Snowden, S.L. Epidemiology: Urinary
Incontinence, Fecal Incontinence, and Pelvic Organ
Prolapse. In: Urogynecology & Female Pelvic
Reconstructive Surgery. Siddighi editor. McGraw-Hill
Medical Publishing Division, 2007. P. 20-26.
3. Chai, T.C., Gupta, G.N. Physiology of Lower Urinary
Tract-Badder and Urethra. In: Ostegard’s
Urogynecology and Pelvic Floor Dysfunction. Sivth
edition. Lippincott Williams&Wilkins, 2008. P: 55-64.
4. Scheufelle, L., Abraham, K. Conservative Therapy for
Stress Incontinence. In: Ostegard’s Urogynecology and
266
Pelvic Floor Dysfunction. Sivth edition. Lippincott
Williams&Wilkins, 2008. P: 206-24.
5. Barber, M.D. Surgical Treatmen of Stress Incontinence.
In: Ostegard’s Urogynecology and Pelvic Floor
Dysfunction. Sivth edition. Lippincott Williams&Wilkins,
2008. P: 225-63.
6. Siddighi, S. Surgical Management of Stress Urinary
Incontinence: Vaginal Procedures. In: Urogynecology &
Female Pelvic Reconstructive Surgery. Siddighi editor.
McGraw-Hill Medical Publishing Division, 2007. P. 93-
102.
7. Siddighi, S. Surgical Management of Stress Urinary
Incontinence: Open Retropubic Operation. In:
Urogynecology & Female Pelvic Reconstructive
Surgery. Siddighi editor. McGraw-Hill Medical
Publishing Division, 2007. P. 103-112.
8. Wheeless, C.R., Roenneburg, M.L. Retropubic
Urethropexy: Mharsall-Marcetti-Krantz and Burch
Operations. In: Atlas of Pelvic Surgery (online edition).
Copyright - all rights reserved / Clifford R. Wheeless, Jr.,
M.D. and Marcella L. Roenneburg, M.D.
9. Arshiya, S., Noor, L., Rangaswamy, P.A., and Sundari,
T. Etiology, Risk Factor, and Pathophysiology Stress
Urinary Incontinence: A Review. International Research
Journal of Biological Sciences. Vol. 4(6), 75-82, June
(2015).
267
Hotel Sanur Paradise, 14 - 15 Desember 2017
PKB8 -,Akreditasi 101 Nomen: 21/XI/2017/SKP/IDI-BALI(Peserta : 8 SKP,Pembicara: 8 SKP,Moderator: 2 SKP,Panitia: 1 SKP)