Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN PUSTAKA

TERAPI FIBRILASI

Oleh :
Dewa Ayu Mas Shintya Dewi

BAGIAN ANESTESI DAN REANIMASI


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2017

1
I. PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskular menyebabkan 12 juta kematian di seluruh dunia


setiap tahunnya dan merupakan penyebab kematian primer di Amerika Serikat.1
Walaupun fibrilasi ventrikel jarang ditulis sebagai penyebab kematian, namun
fibrilasi ventrikel setiap tahun bertanggung jawab terhadap lebih dari 400.000
sudden cardiac death (SCD) di Amerika Serikat.1
Pada fibrilasi ventrikel, jantung kehilangan kemampuannya untuk berfungsi
sebagai pompa. Hal ini akan mengakibatkan menurun bahkan hilangnya cardiac
output yang diikuti oleh hipoperfusi jaringan dan karena kekurangan oksigen,
akan menyebabkan iskemia jaringan secara keseluruhan, dimana otak dan
miokardium adalah jaringan yang paling mudah terkena. Oleh sebab itu fibrilasi
ventrikel yang tidak mendapatkan penanganan dikatakan sebagai penyebab primer
dari SCD.1
Tindakan defibrilasi segera sangat penting untuk penanganan fibrilasi
ventrikel maupun takikardi ventrikel tanpa denyut.1,2,3 Sampai saat ini, early
defibrillation masih merupakan terapi yang paling tepat dan cepat untuk fibrilasi
ventrikel dibandingkan dengan obat-obatan yang memerlukan waktu lebih lama
untuk bekerja. Shock yang mengalirkan arus melalui jantung secara seragam dan
serentak akan mendepolarisasi sejumlah tertentu (critical mass) otot jantung.3
Tujuan tindakan ini adalah untuk mempengaruhi semua kelainan listrik jantung
dan membiarkan sel pacemaker intrinsik jantung untuk mengatur dan mengambil
alih konduksi primer yang normal. Ritme konduksi normal ini akan
mengembalikan jumlah cardiac output yang mencukupi kebutuhan untuk
metabolisme tubuh.
Usaha defibrilasi yang berhasil sangat tergantung pada jeda waktu antara
onset fibrilasi ventrikel dan prosedur defibrilasi dan resusitasi.2,4 Gelombang
fibrilasi ventrikel biasanya dimulai dengan amplitudo dan frekuensi yang relatif
tinggi dan kemudian menurun sampai menjadi asistole dalam 15 menit.2 Hal ini
kemungkinan berhubungan dengan cadangan energi yang dimiliki sel otot
jantung. Fibrilasi ventrikel dengan onset segera dengan amplitudo yang tinggi,

2
lebih sensitif terhadap usaha defibrilasi dibandingkan fibrilasi ventrikel yang telah
berlangsung lama. Tingkat keberhasilan tindakan defibrilasi menurun 5-10%
untuk setiap menit penundaan waktu dihitung dari onset fibrilasi ventrikel.2 Oleh
karena hal tersebut, pengetahuan tentang prosedur defibrilasi sangatlah penting
untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan dalam hal resusitasi
penderita.

3
I. FIBRILASI VENTRIKEL

II.1. Definisi
Fibrilasi ventrikel merupakan irama yang paling penting untuk diketahui
pada Emergency Cardiovascular Care (ECC).1,2 Irama ini merupakan suatu tanda
dimana banyak daerah pada ventrikel mengalami variasi dalam fase depolarisasi
dan repolarisasi, dan tidak terjadi suatu depolarisasi ventrikular yang teratur.
Beberapa ahli menyatakan fibrilasi ventrikel sebagai suatu “kekacauan
miokardium (myocardial chaos)”.2 Pada fibrilasi ventrikel, ventrikel tidak
berkontraksi sebagai suatu unit sehingga tidak dapat menghasilkan suatu cardiac
output yang efektif. Ketika para klinisi melihat langsung suatu jantung yang
mengalami fibrilasi ventrikel pada suatu tindakan torakotomi, mereka
mendeskripsikan ventrikel seperti suatu kantong yang penuh dengan cacing hidup
(like a bag filled with live worms)”.2

II.2. Klasifikasi
Suatu henti jantung yang disebabkan oleh infark miokardium seringkali
terjadi setelah jantung tersebut mengalami proses fibrilasi ventrikel. Istilah coarse
dan fine ventricular fibrillation digunakan untuk menjelaskan gambaran
amplitudo dari gelombang yang terbentuk pada fibrilasi ventrikel. Coarse
ventricular fibrillation secara umum menunjukkan fibrilasi ventrikel yang baru
terjadi dalam waktu singkat dengan amplitudo yang tinggi, biasanya kurang dari
3-5 menit.1,2 Terjadinya coarse ventricular fibrillation memerlukan adenosine
triphosphate energi tinggi dalam jumlah yang banyak. Jika jantung mendapatkan
shock defibrilasi sebelum cadangan energi ini habis maka kontraksi yang spontan
dan teratur dari jantung akan lebih mungkin terjadi. Fine ventricular fibrillation
dengan gambaran menyerupai asistole menunjukkan suatu fibrilasi ventrikel
sudah berlangsung lama dengan amplitudo yang rendah.2 Seringkali tertunda atau
tidak dilakukannya CPR akan diikuti dengan terjadinya kolap, dimana cadangan
ATP akan menjadi habis dan tidak mungkin lagi terjadi sirkulasi spontan setelah
pemberian shock.

4
Para ahli yang terlibat dalam ECC Guidelines 2000 menggambarkan
bermacam tipe fibrilasi ventrikel berdasarkan respon penderita terhadap shock
menjadi lebih jelas yaitu1,2 :
 Persistent atau shock-resistent ventricular fibrillation adalah fibrilasi
ventrikel yang terjadi setelah suatu shock defibrilasi yang multiple.
 Refractory ventricular fibrillation adalah fibrilasi ventrikel yang
terjadi setelah shock, pemberian agen adrenergik, penguasaan jalan
nafas dan pemberian obat antiaritmia.
 Recurrent atau Intermittent ventricular fibrillation adalah fibrilasi
ventrikel yang muncul lagi atau berlanjut terus setelah perbaikan dari
spontaneous perfusing rhythm.

II.3. Terapi
Terapi spesifik pertama dari suatu ventricular fibrillation/pulseless
ventricular tachycardi adalah selalu pemberian defibrilasi listrik secepatnya.1,2,4
Defibrilasi spontan tanpa suatu shock listrik juga dapat terjadi, namun biasanya
merupakan suatu perubahan transisional dari fibrilasi ventrikel menjadi asistole
atau beberapa aktivitas listrik tanpa disertai denyut jantung sebelum kemudian
menjadi asistole. Tidak satupun yang mencatat terjadinya defibrilasi spontan dari
suatu fibrilasi ventrikel menjadi irama jantung yang teratur dan normal tanpa
didahului shock defibrilasi.

5
III.TERAPI DEFIBRILASI

III.1. Sejarah singkat

Praktek defibrilasi pertama kali dimulai pada tahun 1920, yang dibiayai
oleh Consolidated Edison of New York sebagai respon adanya peningkatan jumlah
kecelakaan dan kematian akibat sengatan listrik. Pada tahun 1947, Claude S.
Beck, seorang dokter spesialis bedah thorak di Cleveland, dan kawan-kawannya
mempertunjukkan kesuksesan defibrilasi pertama pada manusia menggunakan
pedal internal pada jantung. Beck melakukan shock dengan arus bolak-balik untuk
meresusitasi anak laki-laki berusia 14 tahun yang denyut nadinya tidak teraba atau
hilang selama operasi bedah thorak elektif. Keberhasilannya kemudian diterima
dengan cepat, dan praktek ini kemudian berkembang dengan menggunakan
jumlah energi yang bervariasi. Pada awal tahun 1960-an, Lown dan kawan-kawan
mendemonstrasikan kelebihan dan keamanan penggunaan arus searah (DC)
dibanding arus bolak-balik (AC).5

III.2. Definisi
Shock defibrilasi mengantarkan energi listrik dalam jumlah yang sangat
banyak dan hampir serentak dengan durasi beberapa milidetik yang akan mengalir
antara elektrode positif dan negatif melewati jantung yang mengalami fibrilasi
ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa denyut.2,3 Aliran arus listrik ini tidak
secara langsung membuat jantung berdenyut normal, tapi mendepolarisasi seluruh
miokardium sehingga kemudian terjadi complete electrical silence atau asystole.
Periode electrical silence pasca pemberian shock yang singkat ini akan
memberikan efek repolarisasi spontan pada sel pacemaker jantung untuk pulih.2
Siklus regular dari repolarisasi dan depolarisasi dari sel pacemaker ini akan
kembali mengatur terjadinya aktifitas kontraktil yang normal.
Defibrilator adalah suatu alat yang menghasilkan shock listrik dalam jumlah
yang terkontrol pada pasien untuk mengakhiri aritmia jantung. Teknik pemberian

6
shock listrik biasanya dikenal dengan defibrilasi jika shock diberikan untuk
menghentikan fibrilasi ventrikel. Cardioversion merupakan istilah yang
digunakan jika shock digunakan untuk aritmia lain seperti fibrilasi atrium, fluter
atrium, atau takikardia ventrikel.2
Suatu defibrilator biasanya terdiri dari capacitor charger, capacitor
penyimpan energi dan discharge circuit.2 Capacitor charger mengubah tenaga
dari sumber dengan tegangan yang relatif rendah menjadi tegangan dengan tingkat
yang cukup untuk memberikan shock. Jika defibrilator diset “charge”, capacitor
charger akan menaikkan tegangan pada capacitor penyimpan energi sampai
simpanan ini mencapai jumlah energi yang diinginkan untuk melakukan
defibrilasi. Discharge circuit kemudian menghantarkan energi pada electrode baik
dengan gelombang monophasik atau biphasik. Karena kedua elektrode
ditempatkan terpisah pada dinding dada, dengan organ jantung diantaranya, maka
arus listrik akan mengalir melewati jantung juga.

III.3. Tipe gelombang


Defibrilator modern menghantarkan energi dalam bentuk gelombang dalam
dua katagori besar, yaitu gelombang monophasik dan gelombang biphasik.2,5,6
Bentuk gelombang monophasik menghantarkan arus dalam satu arah (polaritas),
sedang bentuk gelombang biphasik menghantarkan arus yang mengalir sesuai
dengan arah elektrode positif dalam durasi tertentu dan kemudian berlawanan arah
dimana arus mengalir dengan arah negatif pada sisa waktu saat terjadi
penghentian arus listrik. Pada kedua bentuk gelombang diatas, defibrilator juga
dapat bervariasi dalam kecepatan meningkat dan kembalinya ke titik dengan
tegangan (voltage) nol,. Gelombang yang meningkat tajam dan kembali secara
bertahap disebut gelombang damped sinusoidal. Sedangkan gelombang yang
meningkat tajam dan kemudian terpotong tiba-tiba disebut gelombang truncated
exponential.5,6
Sejak awal ditemukannya dikatakan bahwa defibrilator gelombang biphasik
lebih baik dibandingkan dengan gelombang monophasik.3,5,6 Hal itu disebabkan
karena kemampuan gelombang biphasik untuk mendefibrilasi jantung dengan
jumlah arus yang lebih rendah dibandingkan dengan gelombang monophasik.

7
Kelebihan ini akan mengurangi kemungkinan komplikasi kerusakan sel otot
jantung akibat pemberian shock dengan energi yang tinggi. Bentuk gelombang
biphasik yang pertama kali ditemukan adalah gelombang biphasic truncated
exponential impedance-compensated dimana gelombang energi diubah oleh
defibrilator untuk mengganti/mengimbangi tahanan dinding dada yang tinggi.2,3
Gelombang ini menghantarkan arus tanpa peningkatan energi pada setiap
shocknya yaitu sebesar 150 joule saja dengan durasi total sebesar 20 milidetik.
Beberapa penelitian membandingkan gelombang ini dengan gelombang
damped sinusoidal sebesar 200 dan 360 joule.6 Hasil yang didapatkan adalah
bahwa defibrilasi yang dicapai pada saat pertama kali pemberian shock dengan
gelombang biphasik truncated exponential sama dengan shock dengan gelombang
damped sinusoidal monophasik. Hal ini menunjukkan bahwa shock berulang
dengan gelombang biphasik dengan energi yang lebih rendah ( kurang dari 200
joule ) sama dengan, bahkan lebih baik untuk terminasi fibrilasi ventrikel segera
dibandingkan dengan shock dengan gelombang monophasik dengan
menggunakan peningkatan energi (200, 300, 360 J) pada tiap shock berikutnya.

III.4. Mekanisme kerja


Defibrilasi atau cardioversi yang baik memerlukan energi yang cukup untuk
membangkitan aliran arus transmiokardium untuk menghentikan aritmia.2 Namun
operator harus menghindari penghantaran arus yang terlalu besar oleh karena
dapat menyebabkan kerusakan miokardium yang cukup signifikan. Shock
defibrilasi mengalirkan sangat banyak elektron pada jantung dalam waktu yang
sangat singkat. Tekanan yang mendorong aliran elektron ini disebut potensial
listrik yang diukur dalam satuan volts. Resistensi selalu terdapat pada aliran
elektron ini yang disebut hambatan, yang diukur dalam satuan ohm. Secara
singkat dapat dijabarkan yaitu elektron mengalir disebut dengan arus (ampere)
dengan suatu tekanan (volts) dalam periode waktu tertentu (milidetik) di seluruh
suatu bahan yang mempunyai resistensi atau tahanan (ohm).2,3
Operator memilih energi shock (joule) dalam menjalankan defibrilator,
namun yang benar-benar mendefibrilasikan jantung adalah aliran arus elektron
(ampere). Defibrilasi didapat dengan membangkitkan suatu amplitudo aliran arus

8
dan mempertahankan aliran tersebut dalam suatu interval waktu. Amplitudo arus,
durasi shock dan bagaimana amplitudo arus berubah selama interval tersebut
memiliki hubungan yang sangat kompleks dalam menentukan bagaimana shock
yang diberikan, akan melakukan defibrilasi.
Para peneliti mengatakan bahwa istilah current density merupakan kunci
dari keberhasilan defibrilasi.2,5 Current density adalah rasio dari besarnya arus
yang mengalir di seluruh konduktor ke daerah yang dilewati oleh aliran arus
tersebut, dinyatakan sebagai aliran arus per unit area (ampere/cm2). Current
density tergantung pada dosis shock yang dipilih, berbeda dengan jumlah arus
yang melewati seluruh jantung. Fractional transmyocardial current (arus elektron
thoracic pathway diantara dua elektrode defibrilator dan posisi jantung di dalam
jalur tersebut) yang tergantung pada dosis shock yang dipilih, lebih ditentukan
oleh posisi elektrode dan anatomi thorak.2
Berdasarkan hukum ohm dimana arus = voltage ÷ tahanan,2 maka operator
dapat mempengaruhi arus listrik dari defibrilator dengan memberikan efek
langsung pada tahanan transthorak daripada aspek lain dari defibrilasi. Banyak
faktor yang mempengaruhi tahanan transthorak. Faktor-faktor tersebut
diantaranya adalah energi yang dipilih, ukuran elektrode, kualitas kontak antara
kulit dengan elektode, jumlah dan interval waktu dari shock yang sebelumnya,
material electrode yang menempel pada kulit, fase ventilasi, jarak antar kedua
elektrode (ukuran dada), dan tekanan kontak antara elektrode dan dada. Penelitian
yang dilakukan telah berhasil menentukan tahanan transthorak manusia
normalnya antara 15-150 ohm, dan rata-rata tahanan orang dewasa sekitar 70-80
ohm.2,3,5 Jika tahanan transthorak tinggi maka shock dengan energi yang rendah
mungkin akan gagal untuk melewatkan arus yang cukup di seluruh jantung untuk
menimbulkan defibrilasi.
Operator sebaiknya melakukan beberapa hal untuk mengurangi tahanan
transthorak yaitu dengan menekan pedal elektrode, sedangkan self-adhesive
elektrode tidak memerlukan tekanan tambahan.2 Ketika menggunakan pedal
elektrode, elektrode harus selalu dilapisi dengan gel atau pasta khusus untuk
defibrilasi. Terdapatnya material yang menempel antara elektrode dengan dinding
dada dapat meningkatkan tahanan transthorak. Jika menggunakan self-adhesive

9
elektrode maka tekan dengan kuat dan merata di seluruh permukaan pedal untuk
mendapatkan perlekatan yang baik. Pertimbangkan adanya rambut dada yang
banyak oleh karena seringkali kontak antara kulit dan elektrode terganggu dan
terdapat udara yang terperangkap dalam jumlah yang signifikan. Keadaan ini
dapat meningkatkan tahanan dan dapat menimbulkan percikan arus listrik, dimana
pada tempat yang mengandung oksigen cukup banyak seperti misalnya critical
care unit akan dapat menimbulkan percikan api atau kebakaran. Sehingga
mungkin diperlukan pencukuran secukupnya pada daerah tempat menempelnya
elektrode. Sebagai pencegahan berikan tekanan kuat pada kontak antara pedal dan
dada untuk mengurangi tahanan dan tempatkan pedal sepenuhnya menempel
pada kulit untuk mencegah percikan listrik antara elektrode satu dengan yang lain.
Pertimbangkan fase respirasi oleh karena volume tidal yang besar dapat
meningkatkan tahanan dengan bertambahnya jarak antara kedua elektrode.2
Kebanyakan pasien yang mengalami henti jantung akan berada pada fase akhir
ekspirasi saat diberikan shock oleh karena penolong yang memberikan bantuan
ventilasi akan menghentikan ventilasi buatan saat pasien menerima shock.2,4

III.5. Kebutuhan energi


Keberhasilan defibrilasi tergantung pada pemilihan energi yang sesuai
untuk membangkitkan current density yang cukup di seluruh jantung untuk
defibrilasi.2,5 Karena fractional myocardial current akan mempengaruhi current
density yang dihasilkan di seluruh jantung, penempatan elektrode akan sangat
penting. Sebuah shock tidak akan menghentikan aritmia jika energi yang dipilih
dan aliran arus transmiokardium yang dihasilkan terlalu rendah, sedangkan jika
energi dan arus yang digunakan terlalu tinggi akan mengakibatkan kerusakan
fungsional dan morfologi dari otot jantung.2
Pemilihan energi yang sesuai akan mengurangi kebutuhan akan shock yang
berulang dan mengurangi kerusakan sel otot pada tiap kali shock. Energi yang
diatur terlalu rendah akan membuat jantung tetap dalam keadaan fibrilasi, sedang
shock dengan energi yang terlalu besar akan menyebabkan jantung mengalami
asistole atau AV blok.2,6 Walaupun hubungan antara ukuran tubuh dengan energi
untuk defibrilasi telah diperdebatkan selama sepuluh tahun belakang ini, namun

10
tidak didapatkan hubungan yang pasti. Yang berpengaruh adalah fractional
transmyocardial current dan tahanan aliran arus dari pedal elektrode satu ke yang
lainnya.2 Hubungan kedua kombinasi tadi menentukan kepadatan arus pada
jantung dan efek akhir dari shock. Pada orang dewasa, massa tubuh disekitar jalur
arus tadi sangat kecil pengaruhnya.
Dalam sebuah studi prospectif, angka dari keberhasilan defibrilasi dan
jumlah pasien yang terresusitasi dan nantinya keluar dari rumah sakit adalah sama
diantara pasien yang mendapatkan shock monophasik sebesar 175 J dan 320 J,
walaupaun beberapa pasien tetap mengalami fibrilasi ventrikel pada dosis yang
lebih rendah dan beberapa pasien mengalami AV blok dan asistole pada dosis
yang lebih tinggi.3,5,6 Dengan dasar ini, dimana diketahui besar energi shock
pertama yang diberikan dapat efektif dalam rentang energi yang lebar, maka pada
pertengahan tahun 1980 direkomendasikan pemberian energi untuk defibrilasi
yang pertama adalah sebesar 200 J.2 Dengan adanya defibrilator dengan
gelombang biphasik, besar energi yang tepat untuk shock ulangan kedua dan
shock berikutnya menjadi bahan diskusi yang serius. Ketika hanya defibrilator
dengan gelombang monophasik saja yang tersedia, besar energi yang
direkomendasikan untuk shock ulangan kedua diatur dalam rentang antara 200 J
sampai 300 J.2 Alasan mengapa mempertahankan energi shock kedua dengan
besar energi yang sama adalah bahwa tahanan transthorak menurun setelah shock
yang pertama. Aliran arus yang dihasilkan akan lebih tinggi pada shock kedua
bahkan dengan memberikan besar energi yang sama. Sedang, penurunan tahanan
transthorak setelah shock berikutnya sangat kecil, sehingga peningkatan arus
baru akan tercapai jika besar energi ditingkatkan.
Pada ECC Guidelines 2000 tidak dibuat rekomendasi definitif tentang
berapa besarnya energi yang harus dibeirkan untuk percobaan defibrilasi pertama
kali dan berikutnya jika memakai defibrilator dengan gelombang biphasik.2 Hasil
penelitian sekarang banyak mendapatkan bahwa energi shock biphasik cukup
efektif walaupun dengan energi sebesar kurang dari 200 J. Meskipun tersedia
defibrilator dengan gelombang biphasik dengan peningkatan atau tanpa
peningkatan energi, belum ada cukup data untuk merekomendasikan salah satu di
antaranya. Tingkat keberhasilan shock biphasik tanpa peningkatan energi untuk

11
terminasi fibrilasi ventrikel dalam jangka pendek adalah sama bahkan lebih baik
daripada tingkat keberhasilan shock monophasik dengan peningkatan energi pada
setiap pemberian shock ulangan. Namun belum ada studi yang menunjukkan
kelebihan dalam tingkat keberhasilan jangka panjang seperti keluar dari rumah
sakit.
Salah satu alternatif defibrilasi adalah dengan pendekatan arus selain
pendekatan energi (current-based defibrillation). Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa aliran elektron yang sebenarnya mendefibrilasi fibrilasi
ventrikel dan aritmia jantung lainnya. Dengan memakai current-based
defibrillation maka penghitungan tahanan menjadi sangat penting karena aliran
arus sangat dipengaruhi oleh tahanan atau resistensi.2 Teknologi yang
dikembangkan saat ini akan dapat melakukan pengukuran besarnya tahanan
transthorak sebelum memberikan shock defibrilasi. Beberapa defibrilator yang
sudah dipasarkan saat ini menggunakan teknologi untuk mengatur arus dan
durasinya untuk mendapatkan tingkat energi yang spesifik. Current-based
defibrillation akan mencegah pemberian defibrilasi dengan energi yang rendah
pada pasien dengan tahanan yang tinggi ataupun pemberian defibrilasi dengan
energi yang tinggi pada pasien dengan tahanan yang rendah.2 Hal ini akan
memungkinkan defibrilasi akan lebih berhasil dan mengurangi kemungkinan
terjadinya kerusakan miokardium karena arus yang terlalu besar. Arus yang
optimal untuk mendefibrilasi ventrikel adalah 30 sampai 40 ampere untuk
gelombang monophasik damped sinusoidal dan lebih sedikit untuk gelombang
biphasik. Pada pasien dengan tahanan transthorak rata-rata, standar energi yang
direkomendasikan adalah sebesar 200 joules yang akan menghasilkan arus shock
pertama sebesar 30 ampere. Untuk pasien dengan tahanan yang lebih besar maka
energi sebesar 200 joules tidak akan cukup.2 Penelitian-penelitian sedang meneliti
seberapa besar arus yang cukup untuk defibrilasi menggunakan gelombang
biphasik.

III.6. Algoritma
Suksesnya shock secara sederhana dinilai dari berhentinya fibrilasi ventrikel,
tidak ada hubungannya dengan kembalinya spontaneous electrical complexes,

12
kontraksi jantung dan sirkulasi. Walaupun kembalinya sirkulasi spontan sangat
penting pada proses resusitasi, hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor selain
kemampuan shock untuk menghentikan fibrilasi. Penatalaksanaan fibrilasi
ventrikel yang lebih rinci bias dilihat pada bagan dibawah :

13
Primary ABCD Survey
Focus: basic CPR and Defibrillation
 Check responsiveness
 Activate emergency response system
 Call for defibrillator
A Airway: open the airway
B Breathing: provide positive-pressure ventilations
C Circulation: give chest compressions
D Defibrillation: assess for and shock VF/pulseless VT, up to 3 times
(200J, 200 to 300J, 360J, or equivalent biphasic) if necessary

Rhythm after first 3 shocks?

Persistent or recurrent VF/VT

Secondary ABCD Survey


Focus: more advanced assessments and treatments
A Airway: place airway device as soon as possible
B Breathing: confirm airway device placement by exam plus
confirmation device
B Breathing: secure airway device; purpose-made tube holders preferred
B Breathing: confirm effective oxygenation and ventilation
C Circulation: establish IV access
C Circulation: identify rhythm → monitor
C Circulation: administer drugs appropriate for rhythm and condition
D Differential Diagnosis: search for and treat identified reversible causes

Ephinephrine 1mg IV push repeat every 3 to 5 minutes


or
Vasopressin 40 U IV, single dose 1 time only

Resume attempts to defibrillate


1 x 360J (or equivalent biphasic) within 30 to 60 seconds

Consider antiarrhythmics:
 Amiodarone (IIb for persistent or recurrent VF/pulseless VT)
 Lidocaine (Indeterminate for persistent or recurrent VF/pulseless VT)
 Magnesium (IIb if known hypomagnesemic state)
 Procainamide (Indeterminate for persaistent VF/pulseless VT: IIb for
recurrent VF/pulseless VT)

Resume attempts to defibrillate

Bagan 1. Penatalaksanaan Ventricular Fibrillation/Pulseless Ventricular

Tachycardia (diambil dari ACLS : Principles and Practice

2003)2,7

14
III.7. Elektrode
Penempatan bantalan atau pedal elektrode defibrilator merupakan hal yang
sangat penting namun sering terlupakan. Elektrode sebaiknya ditempatkan pada
posisi yang dapat mengoptimalkan aliran arus pada miokardium. Fractional
transmyocardial current ini mempengaruhi kepadatan arus (current density) yang
dibangkitkan di dalam jantung.2 Diperkirakan bahwa walaupun penempatan
elektrode sudah tepat, hanya 4% sampai 25% dari arus yang dialirkan akan
melewati jantung. Penempatan yang disarankan adalah yaitu sternal-apex atau
anterior-apex.2 Elektrode sternal atau anterior diletakkan pada sebelah kanan
sternum bagian atas di bawah clavicula. Elektrode apex diletakkan di sebelah kiri
dari nipple dengan pusat elektrode pada midaxillary line. Pendekatan alternatif
yang diterima, namun jarang dilakukan, yaitu meletakkan elektrode di bagian
depan atas dari apex kiri (prekordial) dan yang lain di bagian posterior di
belakang jantung, di lokasi infrascapula. Penempatan tadi akan memaksimalakan
aliran arus pada seluruh bagian jantung. Operator sebaiknya memastikan kedua
pedal elektrode tidak bersentuhan secara langsung ataupun tidak langsung melalui
pasta atau gel. Jika tidak, maka arus akan mengalir terutama melewati dinding
dada tanpa melewati jantung dan kemungkinan menimbulkan bahaya percikan
atau pancaran listrik terhadap pasien atau operator.2
Salah satu kesalahan penempatan elektrode adalah diletakkannya elektrode
terlalu dekat sehingga mengurangi jumlah arus yang melewati jantung. Elektrode
sternal yang diletakkan di atas sternum akan menghambat banyak sekali aliran
arus. Jika kedua elektrode ditempatkan dengan benar maka semua arus akan
mengalir di seluruh miokardium. Suatu penelitian menggunakan manikin di
Inggris mendukung pendapat bahwa peletakan yang salah dari electrode apex
adalah positional errors yang paling sering terjadi, yaitu sebesar 90%.2,6
Menempatkan pedal apex terlalu ke anterior jauh dari lokasi yang disarankan di
dekat axillary line akan menghasilkan shock defibrilasi yang kurang efektif.
Penempatan elektrode defibrilasi apex tepat pada mammae sebaiknya dihindari
pada pasien perempuan. Posisi ini akan meningkatkan tahanan transthorak secara
signifikan. Tempatkan elektrode pada bagian lateral atau bagian bawah mammae.

15
Secara umum, semakin besar elektrode maka semakin kecil tahanannya.
Tapi elektrode yang terlalu besar dapat menyebabkan kontak yang tidak adekuat
dengan dinding dada dan aliran akan melewati jalur ektrakardiak dan tidak
melewati jantung sehingga aliran arus yang melewati jantung akan berkurang.
Untuk orang dewasa, kebanyakan elektrode defibrilator bervariasi dengan
diameter 8,5 sampai 12 cm. Asosiasi dari Advancement of Medical
Instrumentation menyarankan ukuran elektrode individu minimal sebesar 50 cm2 .
Jumlah daerah elektrode sebaiknya minimal 150 cm2. Bayi dan anak-anak
memerlukan elektrode dengan ukuran yang lebih kecil lagi, yaitu 4,5-8 cm .2,4
Penolong sebaiknya menekan pedal dengan kuat pada dinding dada, yaitu
sebesar 25 pound tekanan setiap pedal. Beberapa defibrilator yang lama
mempunyai pegas pada pedal dan memerlukan daya tolak sebesar 25 pound
untuk menekan pegas dan menutup sirkuitnya. Desain ini dijamin aman
diletakkan pada otot , meminimalkan percikan listrik pada udara dan mengurangi
bahaya dari terkena pedal saat tidak dicharge dengan hati-hati. Jumlah tekanan ini
akan memeras udara residu dari paru-paru, membuat kedua pedal menjadi saling
berdekatan satu dengan lainnya, sehingga mengurangi tahanan transthorak.
Bantalan elektrode self-adhesive tidak memerlukan aplikasi tekanan yang kuat,
namun penelitian telah memperlihatkan bahwa adhesive electrode sama efektifnya
dengan pedal metal yang rigid. Semua pasien dengan henti jantung, telah
kehilangan kapasitas residual paru-paru selama dilakukan kompresi dinding dada,
sehingga hanya tertinggal sedikit sekali untuk diperas keluar dengan tekanan
pedal. Elektrode seperti ini memiliki tingkat keamanan yang tinggi dan lebih
mudah digunakan. Elektrode ini dapat mengurangi peluang terjadinya percikan
listrik atau menyimpangnya aliran listrik.2

III.8. Komplikasi
Penggunaan defibrilator untuk terapi defibrilasi tidak terlepas dari
kekurangan-kekurangannya. Komplikasi yang dapat terjadi seperti misalnya
kerusakan sel otot jantung dan percikan api atau kebakaran. Aliran arus yang
sangat besar dapat merusak sel otot jantung. Terdapat studi yang melaporkan
terjadinya kerusakan sel otot jantung pada anjing dengan menggunakan energi

16
yang lebih besar dari 400 J. Hasil studi tentang rusaknya sel otot jantung akibat
pemakaian gelombang monophasik pada binatang dengan tahanan transthorak
yang lebih kecil tidak sesuai dengan pemakaian defibrilator dengan gelombang
biphasik pada manusia. Kecilnya tahanan transthorak akan mengakibatkan aliran
arus yang relatif overdosis pada binatang. Namun sayangnya, hal ini tidak
diketahui dengan jelas karena kebanyakan penelitian melaporkan hasil dalam
hubungannya dengan energi (joule) bukan jumlah arus (ampere) yang diberikan
pada binatang. Penelitian-penelitian tadi kebanyakan memakai peningkatan kadar
Troponin I, Troponin T jantung dan perubahan gambaran EKG. Pengulangan
shock yang berikutnya bukan hanya akan mengurangi keberhasilan defibrilasi,
tapi juga meningkatkan risiko kerusakan sel otot jantung dibanding hanya satu
shock yang langsung efektif menghentikan fibrilasi jantung. Peningkatan kadar
Troponin I telah dilaporkan terjadi pada pengulangan shock dengan defibrilator
gelombang biphasik. Walaupun pada ECC Guidelines 2000 tidak dibuat
rekomendasi definitif tentang berapa besarnya energi yang digunakan untuk
percobaan defibrilasi namun dikatakan pemilihan jumlah arus yang sesuai akan
mengurangi jumlah shock ulangan yang diperlukan dan mencegah kerusakan sel
otot jantung. Pada suatu studi eksperimental pada 15 tikus yang menerima shock
biphasik sebesar 2 sampai 20 joule menunjukkan terjadinya gangguan fungsi
miokardium. Dosis arus listrik tadi pada 450-550 gram tikus sama dengan dosis
2000-3200 joule pada rata-rata orang dewasa. Hasil pada penelitian lain
memperingatkan bahwa adanya risiko kerusakan sel otot jantung pada
penggunaan energi shock dengan gelombang biphasik lebih besar dari 200 joule.5
Selama prosedur resusitasi, pasien, petugas kesehatan, dan peralatan medis
dapat mengalami bahaya kebakaran karena usaha defibrilasi dilakukan pada
lingkungan yang kaya akan oksigen. Komplikasi ini bervariasi antara percikan api
yang akan mengagetkan, timbulnya asap, rusaknya peralatan, luka bakar yang
parah pada pasien, bahkan kematian pasien. Hal ini pertama kali terjadi dan
diberitakan pada tahun 1972, pada laporan tahunan Emergency Care Research
Institute. Tiga faktor penting untuk terjadinya hal tersebut adalah pertama adanya
percikan listrik, kedua percikan listrik tadi terjadi di ruangan dengan kandungan
oksigen yang tinggi, dan ketiga adanya bahan yang memungkinkan terjadinya

17
penyebaran api. Kebanyakan lokasi prosedur resusitasi, seperti di rumah sakit,
memenuhi ketiga faktor tadi. Defibrilator adalah sumber arus listrik, tabung
oksigen atau sumber oksigen di dinding adalah sumber oksigen yang tersedia di
ruangan, sedangkan selimut dan pakaian pasien sangat mudah terbakar. Karena
mudahnya terjadi kebakaran, maka pada ACLS Provider Manual mencakup
paparan singkat untuk menghindari adanya aliran oksigen pada permukaan dada
selama defibrilasi.2

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Kazzi AA, Bright A. Ventricular Fibrillation. Available at :


http://www.eMedicine.com. Accessed September 5, 2005.
2. Cummins RO. ACLS : Principles and Practice. American Heart Association,
2003 : 57-70, 89-134.
3. Yamanouchi Y, Brewer JE, Olson KF, Mowrey KA, Mazgalev TN, Wilkoff
BL, et al. Fully Discharging Phases. A New Approach to Biphasic Waveform
for External Defibrillation. Available at : http://www.Ciculation.com.
Accessed September 5, 2005
4. Safar P. Cardiopulmonary Cerebral Resuscitation. W.B. Saunders, 1981 : 131-
6.
5. Efimorov IR. History of fibrillation and defibrillation. Available at :
http://www.eMedicine.com. Accessed September 5, 2005
6. Niemann JT, Garner D, Lewis RJ. Left Ventricular Function after Monophasic
and Biphasic and Monophasic Waveform Defibrillation. Available at :
http://www.eMedicine.com. Accessed September 5, 2005
7. Tang W, Weil MH, Sun S, Povoas HP, Klouche K, Kamohara T, Bisera J. A
Comparison of Biphasic and Monophasic Waveform Defibrillation After
Prolonged Ventricular Fibrillation. Available at : http://www.eMedicine.com.
Accessed September 5, 2005.
8. Hazinski MF, Cummins RO, Field JM. Handbook of Emergency
Cardiovascular Care for healthcare providers. American Heart Association,
2000 : 1-11.

19

Anda mungkin juga menyukai